You are on page 1of 5

Cek lengkapnya di

http://swaramuslim.net/comments.php?id=1477_0_1_0_C atau
http://swaramuslim.net/islam/kristologi/fiqih_lintas_agama/index.htm

Materi ini merupakan Kata Sambutan Irfan S. Awwas dalam kapasitasnya sebagai
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia, pada acara Debat Publik
"Fiqih Lintas Agama" yang berlangsung tanggal 15 Januari 2004 di UIN
(Universitas Islam Negeri) Jakarta.

MENAKAR KEKAFIRAN BERFIKIR


TIM PENULIS PARAMADINA:
Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer,
Komarudin Hidayat, Masdar F. Mas'udi, Zainun Kamal,
Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rahman,
Ahmad Gaus AF dan Mun'im A. Sirry.

DI DALAM BUKU: FIKIH LINTAS AGAMA


Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Cet. I September 2003)

Fikih Pluralis yang dikembangkan oleh Tim Penulis Paramadina dan dikemas dalam
sebuah buku berjudul, "Fikih Lintas Agama" yang diterbitkan bersama oleh Yayasan
Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, merupakan salah satu bentuk kekafiran
berfikir. Menyimak isinya yang dengan enteng mengorbankan prinsip-prinsip Islam
untuk kepentingan "berhala kemanusiaan" jelas amat berbahaya. Kerangka berfikir
liberal yang mendasari opini para penulis, syarat dengan fitnah serta pelecehan
terhadap Syari'at Islam. Selain itu juga mengandung unsur penghinaan terhadap
keyakinan umat beragama. Berdasarkan hal itu, maka pada tanggal 12 Dzulqa'dah
1424 H (4 Januari 2004 M), Majelis Mujahidin, sebuah institusi tansiq untuk
Penegakan Syari'at Islam, menantang melakukan debat publik dengan tim penulis
buku Fiqih Lintas Agama. Para penulis harus bertanggung jawab secara intelektual
dan juga moral terhadap kandungan isi buku tersebut. Melalui debat publik,
Majelis Mujahidin sebenarnya ingin melestarikan tradisi para ulama, ketika
menghadapi persoalan yang masih diperselisihkan, siap diajak ber-munadharah.

Debat publik yang diusulkan Majelis Mujahidin, secara spesifik dimotivasi oleh
beberapa alasan, antara lain: Pertama, pada akhir kata pengantarnya, editor buku
mengajak masyarakat luas untuk menguji berbagai gagasan dalam buku ini. Kedua,
gagasan dalam buku dimaksud ternyata mengandung distorsi pemikiran yang
berbahaya serta pelecehan terhadap aqidah Islam. Para penulisnya telah melakukan
manipulasi, misalnya dengan mengutip pendapat Imam As-Syatibi dalam kitab Al
Muwafaqod mengenai Maqasidus Syari'ah, yang ternyata tujuan yang dimaksudkan
penulis buku berlawanan dengan penjelasan di dalam buku aslinya.

Alasan Ketiga, pluralisme agama yang dikembangkan dalam buku ini merupakan
kerangka berfikir "Talbisul Iblis", yaitu memoles kebathilan dengan menggunakan
dalil-dalil agama atau argumentasi al-haq untuk tujuan kesesatan, seperti
prilaku para pendeta Yahudi dan Nasrani. Ringkas kata, mereka menggunakan
dalil-dalil kebenaran untuk tujuan kebathilan. Agama diorientasikan kepada
kepentingan manusia, sehingga ketika manusia merasa kepentingannya tidak
terwakili, maka mereka merasa bebas untuk pindah agama atau bahkan tidak
beragama sama sekali. Keempat, buku ini dapat mengundang salah paham terhadap
syari'at Islam seperti yang umum dilakukan para orientalis dan kaki tangannya.
Sebagaimana yang dilakukan Ahmad Amin dan Qasim Amin di Mesir yang menulis
tentang Islam, Aqidah dan Syari'ah, kritik terhadap fiqih yang dilakukan tim
penulis Paramadina di dalam Fikih Lintas Agama, memposisikan mereka yang
berbeda
pendapat dengan gagasan sesatnya ini sebagai orang "yang ingin menjadikan fikih
bukan sebagai cara atau alat memahami doktrin agama, melainkan sebagai dogma
yang kaku, rigid yang ujung-ujungnya adalah formalisasi Syari'ah Islam" (hal. 4
alinea 3). Dan formalisasi Syari'ah Islam dipandang sebagai kecenderungan orang
yang kurang wawasan, dan tidak berfikir dalam kerangka kemanusiaan. Mereka
curiga,"Fikih, secara implisit ataupun eksplisit telah menebarkan kebencian dan
kecurigaan terhadap agama lain. Ada beberapa istilah yang selalu dianggap musuh
dalam fikih klasik, yaitu "musyrik", "murtad", dan "kafir". Apakah Islam memang
benar-benar sebagai agama yang menebarkan permusuhan dan kekerasan...? (hal.
2
alinea 2 dan 3). yang ujung-ujungnya kata mereka, formalisasi syari'at Islam.

Oleh karena itu, untuk membuktikan betapa berbahayanya buku ini dalam hal
menyesatkan manusia serta fitnah terhadap Islam, kami akan meminta penjelasan
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara konfrehensif sebagai upaya
klarifikasi terhadap penulis mengenai gagasan yang, dalam pandangan Majelis
Mujahidin merupakan kekafiran berfikir.

Pada bagian keempat buku ini terdapat pernyataan yang cukup menarik, tentang
perlunya dialog agama dalam upaya menjalin kerjasama lintas agama. Dan juga
dinyatakan, tidak ada kerjasama tanpa didahului dialog, dan dialog yang tidak
berlanjut pada kerjasama merupakan dialog setengah hati, bahkan verbalisme.
Apabila pernyataan ini berlaku untuk debat kita hari ini, sudah semestinya Anda
tidak mampu mengalahkan argumentasi yang kami kemukakan, maka kerjasama
kita
adalah: Harus ada keberanian untuk mohon maaf dan menyatakan taubatan nasuha
terhadap kekafiran berfikir yang Anda tunjukkan dalam buku ini.

A. MUQADDIMAH

1. Di dalam buku ini dinyatakan perlunya menjadikan Kemanusiaan sebagai pijakan


di dalam membuat FIQIH.

Bagaimana Anda berbicara tentang fiqih lintas agama, sementara dalam realitas
manusia tidak seluruhnya beragama, bahkan ada yang menentang agama dan tidak
beragama sama sekali, berarti Anda masih berada dalam kerangka berfikir
eksklusifisme. Apabila orang-orang yang tidak beragama dan menentang agama
kepentingan mereka tidak tersentuh sama sekali, bukankah hal ini bertentangan
dengan semboyan "Kemanusiaan"yang anda jadikan pijakan.

2. Apabila Anda berbicara soal agama, anda harus menjelaskan apa yang menjadi
rukun-rukun atau unsur dasar dari agama yaitu:
a. Al Ma'bud (Siapa yang menjadi fokus sesembahan).
b. Syari'ah (Bagaimana cara sesembahan itu dilakukan).
c. Al 'Abid (Penyembah-Nya).

Kaitannya dengan gagasan Anda tentang fikih lintas agama, maka Anda harus
menjelaskan sesembahannya siapa, cara yang ditempuhnya bagaimana. Jika Anda
mengatakan, bahwa masing-masing umat beragama menyembah menurut
kepercayaannya
sendiri-sendiri, jelas suatu pernyataan yang kontradiktif, karena masing-masing
menurut caranya sendiri-sendiri. Disini tidak ada lintasnya, karena di dalam
lintasan itu bertemu dalam satu titik sehingga warna perbedaan masing-masing
ditinggalkan. Kalau Anda jawab, bahwa yang dimaksudkan dalam pergaulan
sehari-hari itu aspeknya sangat luas. Maukah orang Hindu meninggalkan doktrin
ke-Kastaan, orang Kristen meninggalkan doktrin penyaliban dan penebusan dosa,
orang Budha meninggalkan doktrin vegetarian, orang Yahudi meninggalkan doktrin
riba boleh diambil dari non Yahudi, dan Anda sendiri, maukah para penulis
meninggalkan sikap pemberontakan Anda terhadap syari'ah Islam?

3. Anda menyebut kata-kata "Musyrik", "Kafir", dan "Murtad" sebagai istilah


fiqih (hal 2 alinea 2), padahal istilah tersebut jelas terdapat di dalam
al-Qur'an. Misalnya kata-kata Musyrik terdapat antara lain di dalam:
Qs. At-Taubah, 9: 28 artinya, kaum musyrik itu najis.
Qs. At-Taubah, 9: 34 artinya, kaum musyrik itu membenci Islam.
Qs. Nuh, 71:120 artinya, Nabi Nuh bukan golongan musyrik
Qs. Rum, 30: 31 artinya, melarang kalian menjadi orang musyrik
Qs. At-Taubah 9: 3 artinya Allah berlepas diri dari kaum musyrik

Kafir:

Qs. Al-Baqarah, 2:6 artinya, orang kafir tidak bisa diajak kepada kebenaran.
Qs. Mukmin, 40:28 artinya, kaum kafir itu usaha dan rencananya sesat.
Qs. Mukmin 40:50 artinya, kaum kafir hanya menyeru kepada kesesatan.

Murtad:

Qs. Al-Maidah, 5:54 artinya, orang mukmin dilarang murtad.


Qs.Muhammad, 47:23 artinya, orang murtad dikendalikan oleh syetan

Apakah ayat-ayat al-Qur'an itu adalah fiqih? Apakah Anda tidak dapat membedakan
antara fikih (pemahaman) dengan Qur'an (obyek pemahaman)? Jika ayat al-Qur'an
itu fiqih berarti mengambil sumber dari yang lebih tinggi, karena fiqih itu
adalah produk pemahaman manusia atas teks-teks agama. Seperti yang Anda
katakan
pada hal 5 alinea 3, "Hingga kini, rumusan Syafi'i itu diposisikan begitu agung,
sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi dari nash-nash
Syar'i. Buktinya setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah
kerangka Syafi'i".

Fikih sebagai alat memahami teks, bagaimana bisa dianggap lebih tinggi dari
Qur'an? Ini kerancuan berfikir yang keterlaluan. Konklusi logis apabila ayat
al-Qur'an dianggap fiqih berarti Allah menjadi obyek hukum dari sesuatu yang
dianggap lebih tinggi dari Allah, lalu Allah berfikir untuk memahami apa yang
menjadi kehendak atau menjadi titah dari sesuatu yang lebih tinggi itu, sehingga
keluar ayat-ayat al-Qur'an sebagai hasil pemahaman Allah tersebut. Apakah
demikian yang Anda maksud?

4. Apabila Anda menyoal Fiqih Islam supaya membuka diri sehingga menerima
fiqih-fiqih di luar Islam. Tunjukkan pada kami, apakah agama-agama selain Islam:
Nasrani, Budha, Hindu, Khonghucu dllnya punya fiqih yang bisa dijadikan bahan
untuk merumuskan fiqih lintas agama? Di dalam buku ini Anda tidak paparkan
contoh-contohnya, tolong saudara beri contoh!
Sebagai perbandingan mengenai hukum pidana, ada hukum pidana Indonesia dan
negara-negara lain. Jika kita bicara hukum pidana lintas negara, maka tentu ada
parameter atau rumusan yang kita jadikan rujukan untuk menyusun hukum pidana
lintas negara itu. Nah, yang Anda kemukakan di dalam buku ini, adalah keluhan
mengenai persoalan-persoalan yang jawabannya sudah diterangkan di dalam fiqih
Islam, tetapi kemudian dengan mengatasnamakan masyarakat non muslim Anda
sebagai
hal yang tidak dapat diterima.

Misalnya, haram bagi umat Islam mengadakan perayaan natal bersama, tidak boleh
memberi salam atau mendo'akan umat non muslim. Dilarang orang kafir masuk
masjid, dilarang wanita muslimah menikah dengan lelaki kafir. Semua ini sudah
ada jawabannya di dalam fikih Islam, tetapi kemudian Anda ingin mengakomodir
keberatan dengan melakukan sebaliknya. Maka hal ini tidak bisa disebut fiqih
lintas agama, tetapi pembatalan terhadap Syari'ah Islam. Bila Anda punya hujjah
yang lebih kuat yang sesuai dengan Qur'an dan Sunnah, silakan Anda kemukakan.
Tetapi Anda tidak bisa membatalkan hukum haramnya menikahkan muslimah
dengan
lelaki kafir, hanya karena misalnya Nurcholish Madjid menikahkan puterinya
dengan lelaki Yahudi. Atau ikut natal bersama, hanya karena Said Agil Siraj
mencontohkan itu. Siapa pun dia, selain Nabi Saw. maka dia tidak bisa dianggap
sebagai representasi dari ajaran Islam, juga tidak bisa diposisikan sebagai
uswah hasanah sebagaimana Nabi Muhammad.

Jika benar Quraisy Sihab menyatakan Yahudi dan Nasrani tidak lagi memusuhi umat
Islam, hal ini bertentangan dengan statemen Samuel Huntington yang menyakatan:
Musuh terbesar barat pasca komunisme adalah Islam. Jika Anda menyeru untuk
meninggalkan pendapat Imam Syafi'i tentang hal di atas, padahal dia berpendapat
sesuai dengan Al Qur'an dan Sunnah Nabi, maka pendapat selainnya yang menyalahi
Qur'an dan Sunnah Nabi lebih layak untuk ditinggalkan.

5. Pada hal 4 alia 3, Anda menolak formalisasi Syari'ah Islam dengan alasan, hal
itu berpotensi menimbulkan perilaku diskriminatif atau pemaksaan kepada pihak
lain. Apabila Anda konsistensi berpegang atas dasar berfikir semacam ini, maka
kami bertanya kepada Anda: Apakah hukum-hukum sekuler yang digunakan oleh
negara-negara sekuler dalam mengatur kehidupan warga negaranya tidak juga
menggunakan pola formalistik dan fundamentalistik? Misalnya undang-undang pajak,
undang-undang lalu lintas, undang-undang pidana dan lain sebagainya yang dalam
penerapannya mendapat tentangan dari banyak pihak, tetapi tetap saja dipaksakan
melalui kekuasaan.

Kalau saudara keberatan terhadap formalisasi syariat Islam dengan alasan akan
memicu konflik antar umat beragama, maka demi keadilan, Anda harus menyatakan
hal yang sama terhadap formalisme undang-undang sekuler. Kalau saudara
menerima
formalisme undang-undang hukum sekuler, tetapi menolak formalisasi syari'at
Islam, maka Anda tidak saja telah meninggalkan prinsip berfikir ilmiyah,
argumentasi obyektif serta berwawasan kemanusiaan, tetapi juga Islam dan umat
Islam yang berpegang teguh pada aqidah Islam.

6. Berbicara agama Anda mesti menjelaskan apa tujuan hidup yang digariskan oleh
agama, apa hubungan antara penyembah ('abid) dengan yang disembah (ma'bud),
apakah hubungan bersifat setara sehingga menimbulkan tanggungjawab timbal balik
atau bersifat vertikal sehingga hanya ada beban kepada sepihak dan
pertanggunganjawab kepada pihak yang disembah. Sebab tanpa penjelasan
semacam
ini berarti tidak ada agama, karena agama yang tidak menjelaskan posisi
penyembahnya terhadap otoritas Yang Disembahnya, maka itu hanyalah permainan
hawa nafsu dan kebingungan orang yang tidak berakal. Maka dalam fiqih lintas
agama yang Anda propagandakan harus jelas rumusan tentang tujuan hidup dan
tanggungjawab pada orang-orang yang beragama. Apabila Anda tidak dapat
menjelaskan berarti Anda berfikir antagonistic dan kontradiktif diametral karena
mengunakan kata-kata fiqih dan agama yang mempunyai konotasi dan pemahaman
mutlak tertentu tetapi ternyata batas-batas tujuan dan tanggungjawabnya tidak
jelas.

Kalau saudara ingin membangun agama baru dengan nama "agama pluralisme",
maka
saudara harus menjelaskan tujuan sentral agama ini dan kepada siapa tempat
manusia menyampaikan tanggungjawabnya nanti setelah mati, dan konsekuensi dari
perbuatan-perbuatan orang yang menjalankan "agama pluralisme" itu. Apabila Anda
tidak dapat menjelaskan secara benar, maka fikih lintas agama jelas merupakan
sinkretisme yang dapat menjerumuskan pengikutnya kepada kemusyrikan dan
murtad
Dien.

Cek lengkapnya di
http://swaramuslim.net/comments.php?id=1477_0_1_0_C atau
http://swaramuslim.net/islam/kristologi/fiqih_lintas_agama/index.htm

You might also like