You are on page 1of 32

LAPORAN KELOMPOK

PROBLEM BASE LEARNING

SISTEM TRAUMATOLOGI DAN EMERGENCY

MODUL 1
KESADARAN MENURUN

OLEH

KELOMPOK 10

Wa Ode Nurul Amalia 110 212 0008


Venasari 110 212 0033
Ihsanul Ma’arif 110 212 0042
Meitia Dwi Tirtasari 110 212 0050
Abdul Rahman 110 212 0062
Rifka Novriyanti 110 212 0070
Aulia Rizkiaprilina Azwar 110 212 0083
Aldila Dea Amalinda 110 212 0098
Sitti Hajar Malika 110 212 0110
Faedil Ichsan Ciremai 110 212 0153

Tutor : dr. Berri Erida Hasby

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

2015
Skenario 2

Laki – laki 25 tahun masuk ke UGD RS dengan kesadaran menurun. Setelah diletakkan
ditempat tidur dan diperiksa, penderita hanya mengeluarkan suara dengan kalimat yang tidak
jelas, tanda vital TD 180/100 mmHg, nadi 140 x / menit, lemah, pernapasan 40x/menit, suhu
38 ° c, pasien kesan overweight.

Kata Sulit

Tidak ditemukan

Kalimat kunci

1) Laki – laki 25 tahun


2) Kesadaran menurun
3) Bersuara dengan kalimat yang tidak jelas
4) Tanda vital
TD: 180/100 mmHg
N: 140 x/ menit
P: 40x/menit
S: 38 ° c,
5) Overweight

Pertanyaan

1) Bagaimana etiologi dari kesadaran menurun?


2) Mengapa bisa terjadi penurunan kesadaran?
3) Bagaimana cara menilai kesadaran pada pasien ini?
4) Jelaskan interpretasi dari tanda vital pada skenario!
5) Jelaskan hubungan antar gejala dan overweight pada pasien di skenario!
6) Bagaimana penanganan:
a. Primary survey
b. Secondary survey
JAWAB

1. Bagaimana etiologi dari kesadaran menurun?

Tidak sadar atau kesadaran menurun adalah kondisi mental dan perilaku dari menurunnya
pemahaman (comprehension), rasionalitas (coherence), dan kapasitas motivasi.
Ketidaksadaran, diawali dengan ketidakmampuan untuk mempertahankan fokus pikiran dan
kerja, serta adanya disorientasi. Jika kondisi ini memburuk akan terjadi penurunan kesadaran
mental secara menyeluruh, termasuk kerusakan dalam ingatan, persepsi, komprehensi,
penyelesaian masalah, bahasa, praksis, fungsi visiospasial dan aspek perilaku emosional
lainnya yang merupakan bagian dari otak.1

Penyebab perubahan tingkat kesadaran:

Fungsi normal sistem aktivasi retikulasi dapat terganggu oleh adanya lesi struktural fokal dari
otak untuk proses yang lebih difus:1

1) Struktural:
a. Intratentorial (secara langsung melibatkan batang otak) misalnya: trauma, infark,
perdarahan, tumor, demielinisasi)
b. Supratentorial (menekan batang otak)
c. Penyebab patologis serupa, terutama yang mengenai hemisfer serebri kanan
2) Difus:
a. Penurunan ketersediaan substansi yang dibutuhkan untuk metabolisme normal
otak (hipoksia, hipoglikemi)
b. Penyakit metabolik lain (gagal ginjal, gagal hati, hipotermia, defisiensi vitamin)
c. Epilepsi (mempengaruhi aktivitas distrik normal batang otak)
d. Inflamasi otak/selaput otak (ensefalitis, meningitis)
e. Obat-obatan dan toksin (opiat, anti depresan, hipnotik, alkohol)

Penyebab kesadaran menurun:

Asal patologis Penyebab utama Penyebab sekunder Lokasi


Intrakranial Vaskuler Hemorragik Intracerebral
Subarachnoid
Subdural
Elstradural
Infark
Infeksi Meningitis
Encephalitis
Abses
Tumor Massa efect
Edema serebri
Post epileps
Trauma kepala Vaskuler
Hipoksia
ensefalopaty
Edema serebri
Ekstrakranial Kardiovaskuler Syok
Hipertensi berat
Infeksi Septik
Metabolik Hiper/hipoglikemia
Gangguan elektrolit

2. Mengapa bisa terjadi penurunan kesadaran?


Kesadaran dibagi dua yaitu kualitas dan derajat kesadaran. Jumblah (kuantitas)
input/rangsangan menentukan derajat kesadaran, sedangkan kualitas kesadaran ditentukan
oleh cara pengolahan input yang menghasilkan output SSP. Pada topik koma kita lebih
menitikberatkan kepada derajat dari kesadaran. 2,3
Berdasarkan skema diatas kita dapat melihat bahwa input/rangsangan dibagi dua,
spesifik dan non-spesifik. Input spesifik merujuk kepada perjalanan impuls aferen yang khas
dimana menghasilkan suatu kesadaran yang khas pula. Lintasan yang digunakan impuls-
impuls tersebut dapat dinamakan lintasan yang menghubungkan suatu titik pada tubuh
dengan suatu titik di daerah korteks primer (penghantarannya berlangsung dari titik ke titik),
yang berarti bahwa suatu titik pada kulit yang dirangsang mengirimkan impuls yang akan
diterima oleh sekelompok neuron dititik tertentu daerah reseptif somatosensorik primer.
Setibanya impuls aferen di tingkat korteks terwujudlah suatu kesadaran akan suatu modalitas
perasaan yang spesifik, yaitu perasaan nyeri di kaki atau di wajah atau suatu penglihatan,
penghiduan atau suatu pendengaran tertentu.2,4
Input yang bersifat non-spesifik adalah sebagian dari impuls aferen spesifik yang
disalurkan melalui lintasan aferen non-spesifik (lintasan ini lebih dikenal sebagai “diffuse
ascending reticular system”) yang terdiri dari serangkaian neuron-neuron di substansia
retikularis medulla spinalis dan batang otak yang menyalurkan impuls aferen ke thalamus
(inti intralaminar). 2,4
Inti intralaminar yang menerima impuls non-spesifik tersebut akan menggalakkan dan
memancarkan impuls yang diterimanya menuju/merangsang/menggiatkan seluruh korteks
secara difuse dan bilateral sehingga timbul kesadaran/kewaspadaan.
Karena itu, neuron-neuron inti intralaminar disebut “neuron penggalak
kewaspadaan”, sedangkan neuron-neuron diseluruh korteks serebri yang digalakkan disebut
“neuron pengemban kewaspadaan”.
Apabila terjadi gangguan sehingga kesadaran menurun sampai derajat yang terendah,
maka koma yang dihadapi dapat terjadi oleh sebab ‘neuron pengemban kewaspadaan sama
sekali tidak berfungsi (koma kortikal bihemisferik)’ atau oleh sebab ‘neuron penggalak
kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan (koma
diensefalik)’.4
Dari penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa berdasarkan susunan anatomi, koma dibagi
menjadi 2 yaitu; koma kortikal bihemisferik dan koma diensefalik.
1. Koma kortikal bihemisferik 5,6,7

Neuron merupakan satuan fungsional susunan saraf. Berbeda struktur, metabolisme dan
fungsinya dengan sel tubuh lain. Pertama, neuron tidak bermitosis. Kedua, untuk
metabolismenya neuron hanya menggunakan O2 dan glukosa saja. Sebab bahan baku seperti
protein, lipid, polysaccharide dan zat lain yang biasa digunakan untuk metabolisme sel tidak
dapat masuk ke neuron karena terhalang oleh ‘blood brain barrier’.
Angka pemakaian glukosa ialah 5,5 mg/100 gr jaringan otak/menit. Angka pemakaian
O2 ialah 3,3 cc/100 gr jaringan otak/menit.
Glukosa yang digunakan oleh neuron 35% untuk proses oksidasi, 50% dipakai untuk
sintesis lipid, protein, polysaccharide, dan zat-zat lain yang menyusun infrastruktur neuron,
dan 15% untuk fungsi transmisi.
Hasil akhir dari proses oksidasi didapatkan CO2 dan H2O serta ATP yang berfungsi
mengeluarkan ion Na dari dalam sel dan mempertahankan ion K di dalam sel. Bila
metabolisme neuron tersebut terganggu maka infrastruktur dan fungsi neuron akan lenyap,
bilamana tidak ada perubahan yang dapat memperbaiki metabolisme.
Koma yang bangkit akibat hal ini dikenal juga sebagai Koma Metabolik. Yang dapat
membangkitkan koma metabolik antara lain:
- Hipoventilasi
- Anoksia iskemik.
- Anoksia anemik.
- Hipoksia atau iskemia difus akut.
- Gangguan metabolisme karbohidrat.
- Gangguan keseimbangan asam basa.
- Uremia.
- Koma hepatik
- Defisiensi vitamin B.
2. Koma diensefalik.5,6,7
Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formation retikularis di daerah
mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran). Secara anatomik koma
diensefalik dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu koma akibat lesi supratentorial dan lesi
infratentorial.
Lesi supratentorial5,6,7
Proses desak ruang supratentorial, lama kelamaan mendesak hemisferium kearah
foramen magnum, yang merupakan satu-satunya jalan keluar untuk suatu proses desak
didalam ruang tertutup seperti tengkorak. Karena itu batang otak bagian depan
(diensefalon) mengalami distorsi dan penekanan.
Saraf-saraf otak mengalami penarikan dan menjadi lumpuh dan substansia
retikularis mengalami gangguan. Oleh karena itu bangkitlah kelumpuhan saraf otak yang
disertai gangguan penurunan derajat kesadaran. Kelumpuhan saraf otak okulomotorius dan
trokhlearismerupakan cirri bagi proses desak ruang supratentorial yang sedang menurun
ke fossa posterior serebri.
Yang dapat menyababkan lesi supratentorial antara lain; tumor serebri, abses dan
hematoma intrakranial.

Lesi infratentorial5,6,7
Ada 2 macam proses patologik dalam ruang infratentorial (fossa kranii posterior).
Pertama, proses diluar batang otak atau serebelum yang mendesak system retikularis.
Kedua, proses didalam batang otak yang secara langsung mendesak dan merusak system
retikularis
batang otak.
Proses yang timbul berupa (i).penekanan langsung terhadap tegmentum
mesensefalon (formasio retikularis). (ii) herniasi serebellum dan batang otak ke rostral
melewati tentorium serebelli yang kemudian menekan formation retikularis di
mesensefalon. (iii) herniasi tonsiloserebellum ke bawah melalui foramen magnum dan
sekaligus menekan medulla oblongata. Secara klinis, ketiga proses tadi sukar dibedakan.
Biasanya berbauran dan tidak ada tahapan yang khas.
Penyebab lesi infratentorial biasanya GPDO di batang otak atau serebelum,
neoplasma, abses, atau edema otak.

3. Bagaimana cara menilai kesadaran pada pasien ini?


Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadaprangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi:8
1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor
yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban
verbal.
5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

Pada scenario : tingkat kesadarannya adalah dalam derajat 4 yaitu


koma. Kuantitas Kesadarandiukur dengan Glascow Coma Scale.
Seseorang yang dikatakan koma, GCS < 8

4. Jelaskan interpretasi dari tanda vital pada skenario!


Tekanan darah: 21
normal ≥ 120mmHg/ ≥80mmhG
pre hipertensi 120-139mmHg/80-89mmHg
hipertensi I 140-159mmHg/90-99mmHg
hipertensi II ≥160mmHg/ ≥100mmHg
Pada scenario didapatkan Tekanan Darah Hipertensi derajat II
(180mmHg/100mmHg)

Nadi normal : 60-100x/menit


Pada scenario didapatkan Nadi Takikardi ( 140x/menit)

Pernafasan normal : 16-24x/menit


Pada scenario didapatkan Takipneau (40x/menit)
Suhu normal 36,5-37,2 C
Pada Skenario didapatkan Suhu Febris ( 38 C)
5. Jelaskan hubungan antar gejala dan overweight pada pasien di skenario!

Hubungan gejala dan overweight yaitu: 9,10

6. Bagaimana penanganan:
c. Primary survey
d. Secondary survey

A. Primary Survey

Primary Survey
1. Airway 11,12, 13,
A. Pemeriksaan
Pembebasan Jalan Napas
Apakah korban sadar ? ( Cek kesadaran )
1. Periksa kesadaran korban dengan menepuk bahu dan memanggil dengan suara
keras. “ siapa namanya ? “. “ coba buka mata ! ”
2. Panggil bantuan dari orang sekitar, meminta mereka untuk ikut menolong dan
telepon 118 atau rumah sakit terdekat. Minta bantuan medic / ambulans. Sebut
lokasi kejadian dengan jelas.
3. Jika korban telungkup, balikkan pelan – pelan agar terlentang. Korban harus
ditolong dalam posisi terlentang di atas alas keras.

4. Bebaskan jalan nafas dari sumbatan pangkal lidah dengan satu tangan di
dahi korban. Doronglah dahi kebelakang agar kepala menengadah dan mulut
sedikit terbuka ( head tilt ).

5. Bebaskan jalan napas dari sumbatan pangkal lidah. Dengan satu tangan
didahi korban. Doronglah dahi kebelakang agar kepala menengadah dan
mulut sedikit terbuka ( head tilit ). Pertolongan dapat ditambah dengan
mengangkat dagu ( chin lift ).
Pada orang yang tidak sadar, posisi kepala cenderung flexi. Akibat flexi ini,
menyebabkan terjadinya sumbatan akibat pangkal lidah jatuh ke belakang.

Posisi kepala flexi, jalan nafas buntu.


Jalan nafas bebas karena kepala diposisikan eksensi dengan head tilit dan chin lift.

Tindakan lain untuk membebaskan jalan napas bila dengan head tilt dan chin lift,
jalan nafas tetap obstruksi adalah : dengan kedua tangan kita di dagu korban
diangkat sehingga deretan gigi rahang bawah berada didepan deretan gigi rahang
atas.

Jaw thrust
Bebaskan jalan nafas dari sumbatan benda asing.
Buka mulut korban bersihkan benda asing yang ada didalam mulut korban dengan
mengorek dan menyapukan dua jari penolong yang telah dibungkus degan secrik
kain.

Finger sweep maneuver administered to an unconscious victim of foreign body


airway obstruction.
B. Permasalahan 12,13
1. Jika pasien sadar, dia mampu berbicara dengan jelas tanpa suara tambahan. Ini
berarti laringnya mampu dilewati udara yang artinya airway is clear.
2. Terdapat pengecualian untuk pasien luka bakar. Kalau kita temukan jejas
kehitaman pada lubang hidung pasien atau lendir kehitaman yang keluar dari
hidung pasien itu mungkin disebabkan sudah terjadinya inflamasi pada saluran
pernapasan akibat inhalasi udara bersuhu tinggi. Pasien tidak langsung
menunjukan gejala obstruksi saluran nafas segera.
3. Terjadi obstruksi total maka akan timbul apnea biasa nya disebabkan obstruksi
akibat benda asing
4. -Kalau terjadi obstruksi parsial maka pasien akan menunjukan tanda bunyi
nafas tambahan. Beberapa bunyi nafas itu antara lain: Gurgling (kumur-
kumur), Stridor (crowing), dan Snoring (mengorok)

C. Penanganan11,12,13
C-spine kontrol mutlak harus dilakukan terutama pada pasien yang
mengalami trauma basis cranii. Ciri nya adalah keluar darah atau cairan (LCS)
bercampur darah dari hidung atau telinga. C-spine kontrol dilakukan dengan
indikasi:
1. Multiple trauma
2. Terdapat jejas di daerah serviks ke atas
3. Penurunan kesadaran
2. Breathing13
A. Pemeriksaan
 Periksa apakah korban bernafas ( Look, listen, and feel)
 Dekatkan pipi penolong ke mulut dan hidung korban, mata penolong lihat
ke arah dada.
LIHAT, DENGAR, RASAKAN !!

B. Permasalahan11
Lihat keadaan torak pasien, ada atau tidak cyanosis, dan kalau pasien
sadar maka pasien mampu berbicara dalam satu kalimat panjang. Keadaan dada
pasien yang menggembung apalagi tidak simetris mungkin disebabkan
pneuomotorak atau pleurahemorage. Untuk membedakannya dilakukan perkusi di
daerah paru. Suara paru yang hipersonor disebabkan oleh pneumotorak sementara
pada pleurahemorage suara paru menjadi redup.

C. Penanganan12

Hal yang dapat dilakukan antara lain RESUSITASI PARU, bisa


dilakukan melalui. 11, 12, 13
1. Mouth-to mouth/Mouth-to-nose

2. Mouth to mask

3. Bag- to mask (Ambu bag).

Jika terdapat ventilator maka oksigen dapat diberikan melalui:11, 12.13


1. Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu memberikan oksigen 24-
44 %. Sementara saturasi oksigen bebas sebesar 21 %.
2. Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask hanya sebesar
35-60%.
Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing mask ini lah
pilihan utama pada pasien cyanosis. Konsentrasi oksigen yang diantarkannya
sebesar 80-90%. Perbedaan antara rebreathing mask dan non-rebreathing mask
terletak pada adanya valve yang mencegah udara ekspirasa terinhalasi kembali.

Non RebreathingMask (NRM)


merupakan suatu alat yang digunakan untuk terapi oksigen dengan prinsip kerja
aliran udar ekspirasi dan inpirasi dari alat hanya mengalir satu arah keluar saat
ekspirasi. Saat inspirasi udaraluar tidak dapat masuk ke dalam alat sedangkan saat
ekspirasi udara CO2 yang tinggi dapat dibuang.Aliran oksigen yang dapat
diberikan menggunakan alat ini adalah 10-15 L/menit, dengan konsentrasi FiO2
yang mampu dicapai sebanyak 80-95%. Hal ini memungkinkan karena pada NRM
terdapat kantong reservoar yang mampu menampung oksigen. Pada alat ini juga
terdapat katup yang menghalangi bercampurnya aliran oksigen dengan udara
lingkungan dan ekspirasi, sehingga memungkinkan untuk pemberian aliran oksigen
yang lebih tinggi. 23

Frekuensi pemberian nafas buatan:


Dewasa : 10 - 12 x pernafasan / menit, masing-masing 1,5 - 2 detik
Anak (1-8th) : 20 x pernafasan / menit, masing-masing 1 - 1,5 detik
Bayi (0-1th) : lebih dari 20 x pernafasan / menit, masing-masing 1 - 1,5
detik
Bayi baru lahir : 40 x pernafasan / menit, masing-masing 1 - 1,5 detik

Bahaya bagi penolong yang melakukan bantuan pernafasan dari mulut ke


mulut: Penyebaran penyakit, Kontaminasi bahan kimia, dan Muntahan penderita.
Saat memberikan bantuan pernafasan petunjuk yang dipakai untuk
menentukan cukup tidaknya udara yang dimasukkan adalah gerakan naiknya dada.
Jangan sampai memberikan udara yang berlebihan karena dapat mengakibatkan
udara juga masuk dalam lambung sehingga menyebabkan muntah dan mungkin
akan menimbulkan kerusakan pada paru-paru.

Alat Bantu Pernafasan


1. Tindakan Pemasangan ETT (Endo Tracheal Tube)/ Intubasi 12,13
a) Pengertian
Pemasangan Endotracheal Tube (ETT) atau Intubasi adalah memasukkan
pipa jalan nafas buatan kedalam trachea melalui mulut. Tindakan Intubasi
baru dapat di lakukan bila : cara lain untuk membebaskan jalan nafas
(airway) gagal, perlu memberikan nafas buatan dalam jangka panjang, ada
resiko besar terjadi aspirasi ke paru.
b) Tujuan
1. Membebaskan jalan nafas
2. Untuk pemberian pernafasan mekanis (dengan ventilator).
c). Persiapan Tindakan

1. Posisi pasien terlentang dengan kepala ekstensi (bila dimungkinkan


pasien di tidurkan dengan obat pelumpuh otot yang sesuai )
2. Petugas mencuci tangan
3. Petugas memakai masker dan sarung tangan
4. Melakukan suction
5. Melakukan intubasi dan menyiapkan mesin pernafasan (Ventilator)
o buka blade pegang tangkai laryngoskop dengan tenang
o buka mulut pasien
o masukan blade pelan-pelan menyusuri dasar lidah-ujung blade sudah
sampai di pangkal lidah- geser lidah pelan-pelan ke arah kiri

2. Tindakan Pemasangan Oropharyngeal Tube


1. Prosedur ini digunakan untuk ventilasi sementara pada penderita yang tidak
sadar sementara intubasi penderita sedang dipersiapkan.
2. Pilih airway yang cocok ukurannya. Ukuran yang cocok sesuai dengan jarak
dari sudut mulut penderita sampai kanalis auditivus eksterna.
3. Buka mulut penderita dengan manuver chin lift atau teknik cross-finger
(scissors technique).
4. Sisipkan spatula lidah diatas lidah penderita, cukup jauh untuk menekan
lidah, hati-hati jangan merangsang penderita sampai muntah.
5. Masukkan airway ke posterior, dengan lembut diluncurkan diatas lengkungan
lidah sampai sayap penahan berhenti pada bibir penderita. Airway tidak boleh
mendorong lidah sehingga menyumbat airway.
6. Tarik spatula lidah.
7. Ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask.
3. Tindakan Pemasangan Nasopharyngeal Tube

1. Prosedur ini digunakan apabila penderita terangsang untuk muntah pada


penggunaan airway orofaringeal.
2. Lubang hidung dinilai untuk melihat adanya penyumbatan (seperti polip,
fraktur, perdarahan).
3. Pilih airway yang ukurannya cocok.
4. Lumasi airway nasofaringeal dengan pelumas yang dapat larut dalam air atau
dengan air.
5. Masukkan ujung airway kedalam lubang hidung dan arahkan ke posterior dan
menuju ke arah telinga.
6. Dengan hati-hati masukkan airway orofaringeal menuju hipofaring dengan
sedikit gerakan memutar, sampai sayap penahan berhenti pada lubang
hidung.
7. Ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask.
3. Circulation11, 12,13
A. Pemeriksaan
Menentukan denyut nadi leher

B. Permasalahan
Pertama kali yang harus diperhatikan adalah kemungkinan pasien
mengalami shock. Nilai sirkulasi pasien dengan melihat tanda-tanda perfusi darah
yang turun seperti keadaan pucat, akral dingin, nadi lemah atau tidak teraba.
Shock yang tersering dialami pasien trauma adalah shock hemoragik.
Luka pasien trauma yang sering menimbulkan keadaan shock antara lain
luka pada abdomen, pelvis, tulang panjang, serta perdarahan torak yang massive.
Kalau terjadi henti jantung maka lakukan massasse jantung.

C. Penanganan
Pentingnya Terapi Cairan

Cairan tubuh berhubungan dengan fungsi kardiovaskuler yang sangat penting untuk
oksigenasi jaringan. Oksigen yang tidak cukup akan menyebabkan hipoksia atau bahkan
anoksia. Peredaran darah yang baik berarti oksigenasi jaringan baik. Oksigenasi yang baik,
memerlukan perfusi yangbaik. Perfusi yang baik memerlukan curah jantung yang baik, dan salah
satu indicator dari curah jantung yang baik adalah tekanan darah yang baik.24

Terapi cairan digunakan untuk mengembalikan hemodinamik, seperti tekanan darah


dan perfusi jaringan, serta mencegah dehidrasi dan syok. intervensi awal yang paling
penting dalam resusitasi pada pasien fase akut.25

Indikasi Terapi Cairan

Terdapat 3 indikasi utama dalam memulai terapicairan.

Ketidakmampuan untuk makan dan minum cukup cairan untuk mengganti kehilangan cairan yang
normal terjadi.

Perlu koreksi keseimbangan cairan, jumlah, dan komposisi elektrolit

Perlu nutrisi intravena karena usus tidak berfungsi.

Contoh: Ringer laktat

Cairan paling fisiologis jika sejumlah volume besardiperlukan. Banyak dipergunakan


sebagai replacementtherapy, antara lain untuk: syok hipovolemik, diare,trauma, luka
bakar

Laktat yang terdapat di dalam RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat
untukmemperbaiki keadaan seperti metabolic asidosis.

Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untukrumatan sehari-hari, apalagi


untuk kasus defisit kalium.

Tidak mengandung glukosa sehingga bila akandipakai sebagai cairan maintenance


harus ditambahglukosa untuk mencegah terjadinya ketosis.

Memiliki beberapa kekurangan:

Tidak mengandung HCO3-

Tidak mengandung K+

KadarNa+ dan Cl- relatif sehingga dapat terjadi asidosis hyperchloremia, asidosis
dilutional dan hypernatremia.

Dextrose 5% dan 10%


Digunakan sebagai cairan maintenance pada pasien dengan pembatasan intake
natrium atau cairan pengganti pada pure water deficit

Penggunaan perioperatif untuk:

Berlangsungnya metabolisme

Menyediakan kebutuhan air

Mencegah hipoglikemia

Mempertahankan protein yang ada, dibutuhkan minimal 100g KH untuk mencegah


dipecahnya kandungan protein tubuh.24

Menentukan lokasi pijat jantung. Titik tumpu pijat jantung adalah di tengah – tengah
sternum.
Tumit 1 tangan diletakkan di atas sternum, kemudian tangan satunya diletakkan di
atas tangan yang sudah berada di titik pijat jantung ( di-tengah-sternum)
Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu dilakukan tiupan nafas,
agar tidak menekan dada

CPR (pijat jantung)

Penolong mengambil posisi tegak lurus di atas dada korban dengan siku lengan
lurus.
Menekan tulang sedalam kira-kira 4-5 cm. Setiap melepas 1 pijatan, tangan jangan
masih menekan dada korban.

Cara lain : CPR + TIUPAN NAFAS

Total = 30x piatan


Yang disela dengan 2x tiupan nafas
Lakukan 30 kali pijat jantung dengan diselingi 2 kali nafas buatan ini berulang
selama 2 menit
Setelah 2 menit ( 7 – 8 siklus )raba nadi leher
Bila masih belum teraba denyut nadi leher, lanjutkan 30 X pijat jantung dan 2 X
nafas buatan
Lakukan tindakan ini terus sampai datang bantuan atau ambulans

Cara memberi nafas buatan :

Pertahankan posisi tetap tengadah


Jepit hidung dengan tangan
Yang mempertahankan kepala tetap tengadah
Buka mulut penolong lebar – lebar sambil menarik nafas panjang
Tempelkan mulut penolong di atas mulut korban dengan rapat
Hembuskan udara lembut korban sampai terlihat dada terangkat / bergerak naik
Lepaskan mulut penolong, biarkan udara keluar dari mulut korban, dada korban
tampak bergerak turun
Berikan hembusan nafas kedua dengan cara yang sama
Penatalaksanaan secara umum :
1. Korban tidak sadar ( call for help )
2. Bebaskan jalan nafas
3. Jalan nafas bebas tidak bernafas : raba nadi carotis
4. Nadi tidak teraba : beri pijatan jantung dan nafas buatan 30 pijat + 2
nafas
5. Pasang monitor EKG

III.2. Secondary Survey16


Dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase
resusitasi. Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC pasien sudah stabil. Bila
sewaktu survei sekunder kondisi pasien memburuk maka kita harus kembali
mengulangi PRIMARY SURVEY. Semua prosedur yang dilakukan harus dicatat
dengan baik.

Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat
perlukaan.16
Riwayat “ AMPLE ” patut diingat3:
A : alergi
M : medikasi ( obat yang diminum saat ini )
P : past illness ( penyakit penyerta ) / pregnancy
L : last meal
E : event / environment ( lingkungan ) yang berhubungan dengan kejadian
perlukaan.
Pemeriksaan Fisik
Periksa setiap bagian tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang, dan nyeri
pada palpasi. Pemeriksaan dari kepala sampai ke jari kaki (head-to-toe examination)
dilakukan dengan perhatian utama16
1. Kepala
2. Maksilo-fasial
3. Vertebra servikalis dan leher
4. Thorax
5. Abdomen
6. Perineum
7. Muskulo-skeletal

Nilai lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat untuk
menilai respons atas resusitasi dan untuk mengetahui perburukan. Selanjutnya cari
riwayat, termasuk laporan petugas pra RS, keluarga, atau korban lain.16

Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis


sebelumnya, alergi dan medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan
terakhir, kejadian sekitar kecelakaan. Data ini membantu mengarahkan survei
sekunder mengetahui mekanisme cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera
karena suhu dingin (cold injury), dan kondisi fisiologis pasien secara umum.16

Pemeriksaan Pencitraan dan Laboratorium


Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting yang menuntun
penilaian awal. Pastikan hemodinamik cukup stabil saat membawa pasien keruang
radiologi.16

Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal.


Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus selesai dalam 20
menit. Gas darah arterial juga penting namun kegunaannya dalam pemeriksaan
serial digantikan oleh oksimeter denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat
kedatangan, dengan pengertian bahwa dalam perdarahan akut, turunnya Ht mungkin
tidak tampak hingga mobilisasi otogen cairan ekstravaskuler atau pemberian cairan
resusitasi IV dimulai.16
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi. Skrining
urin untuk penyalahguna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui
penyebab penurunan kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma,
elektrolit serum, parameter koagulasi, hitung jenis darah, dan pemeriksaan
laboratorium umum lainnya kurang berguna saat 1-2 jam pertama dibanding setelah
stabilisasi dan resusitasi.16

INDIKASI PENGAKHIRAN RESUSITASI


a. Resusitasi yang Berhasil
Adekuat (mencukupi)
1. Dada dan perut bergerak naik dan turun seirama dengan pernafasan
2. Udara terdengar dan terasa saat keluar dari mulut / hidung
3. Korban tampak nyaman
4. Frekuensinya cukup (12-20 x/menit)

b. Resusitasi yang Tidak Berhasil


Kurang Adekuat (kurang mencukupi)16
1. Gerakan dada kurang baik
2. Ada suara nafas tambahan
3. Kerja otot bantu nafas
4. Sianosis (kulit kebiruan)
5. Frekuensi kurang atau berlebihan
6. Perubahan status mental
Tidak Bernafas3
1. Tidak ada gerakan dada dan perut
2. Tidak terdengar aliran udara melalui mulut atau hidung
3. Tidak terasa hembusan nafas dari mulut atau hidung

ALGORITMA INITIAL ASESSMENT14,15.16


1. Primary Survey
Airway
 Perhatikan patensi airway
 Dengar suara napas
 Mengobservasi retraksi otot – otot intercostal dan supraclavicular
 Inspeksi orofaring secepat dan menyeluruh, lakukan chn lift dan jau thrust,
hilangkan benda yang menghalangi jalan napas
 Re-posisi kepala, pasang collarneck
 Lakukan cricothyroidotomy atau traheostomy atau intubasi ( oral / nasal )

Breathing
 Periksa frekuensi napas
 Perhatikan gerakan respirasi
 Palpaso thorax
 Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
 Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
 Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumothorax
Circulation
 Periksa frekuensi denyut jantung dan denyut nadi
 Periksa tekanan darah
 Pemeriksaan pulse oxymetri
 Periksa vena leher dan warna kulit ( adanya sianosis )
 Resusitasi cairan dengan memasang 2 IV lines
 Torakotomi emergency bila diperlukan
 Operasi eksplorasi vasckular emergency

Lakukan tube thoracostomy / WDS ( water sealed drainage, merupakan


tatalaksana definitif tension pneumothorax ), ( continuous suction )
WSD sebagai alat diagnostik, terapik, dan follow up, mengevakuasi darah atau
udara sehingga pengembangan paru maksimal lalu lakukan monitoring
Penyulit ialah perdarahan dan infeksi atau super infeksi

Disability
 Nilai GCS dan reaksi pupil
 Tentukan tingkat kesadaran ketika sambil lakukan ABC
 Rujuk ke rumah sakit terdekat dengan peralaan medis sesuai kebutuhan
atau yang mempunyai fasilitas bedah saat kondisi pasien sudah distabilkan.
 monitoring tanda vital dan pulse oksimetri
 Bantuan kardiorespirasi bila perlu
 Pemberian darah bila perlu
 Pemberian obat sesuai instruksi dokter ( analgesik jangan diberikan karena
bisa membiasakan symptom
 Dokumentasi selama perjalanan

2. Secondary survey dilanjutkan dengan Tatalaksana definitif


Prinsip tatalaksana di UGD
8. Eksposure
 Buka pakaian penderita, cegah hipotermia, tempatkan di tempat tidur
dengan memperhatikan jalan nafas terjaga. Pemasangan IV line tetap
9. Re-evaluasi
 Laju nafas
 Suhu tubuh
 Pulse oksimetri
 Saturasi O2
 Pemasangan kateter folley ( kateter urin ), monitor dieresis,
dekompresi V. urinaria sebelum DPL
 NGT bila tidak ada kontraindikasi ( fraktur basis kranii )
 Bersihkan dengan antiseptic luka memar dan lecet bila ada lalu
kompres dan obat
Pemeriksaan Fisik padad Secondary Survey16

Head:

observasi dan palpasi, ukuran dan respon pupil, telinga, membran thympani diperiksa
untukmelihat adanya darah atau CSF. Battle’s sign (ecchymosis di mastoid) yg menunjukkan
adanyaFraktur Basis Cranii. Serta diperiksa dan dicari Cedera di daerah Maxillofacial dan
cervical spine.

Neck:

harus diimobilisasi jika dicurigai ada cedera cervical. Rontgen cervical lateral (C1-C7) harus
dikerjakan.

Chest:

inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi serta thoraks foto. Diperiksa dan dicari Pelebaran

mediastinum, fractur costae, flail segment, haemothorax, pneumothorax, dan contusio paru.

Abdomen:

fokus pada pemeriksaan untuk mencari kondisi akut yang membutuhkan intervensi bedah.

Keputusan untuk segera melaksanakan DPL, Ct-Scan, atau laparotomi cito harus segera

diambil.

Rectal:

adanya darah menunjukkan perforasi rektum, prostat letaktinggi menandakan adanyaruptur


uretra, terabanya fragmen tulang di dinding rektum menunjukkan adanya frakturpelvis.

Examination of Extremities:

Dicari adanya cedera vaskular dan musculoskeletal. Hilangnya denyut nadi perifer
merupakan

indikasi dilakukannya aortografi.

Neurologic examination:

Pemeriksaan untuk menentukan fungsi cerebralhemispheric, brainstem dan spinallevels

Re-Evaluasi

‡Penurunan keadaan dapat dikenal apabila dilakukan evaluasi ulang terus menerus, sehingga
gejala yg baru timbul segera dapat dikenali dan dapat ditangani
secepatnya.

‡Monitoring tanda vital dan produksi urin penting. Produksi urin org dewasa sebaiknya
dijaga ½ cc/kgBB/jam, pd anak 1 cc/kgBB/jam. Bila penderita
dalam keadaan kritis dapat dipakai pulse oximeter dan end tidal CO2 monitoring.
Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Golongan opiat atau anxiolitika harus
diberikan secara i.v dan sebaiknya jangan i.m.

Terapi Definitif

‡Terapi definitif dimulai setelah primary dan secondary survey selesai. Untuk keputusan
merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Apabila keputusan merujuk
penderita telah diambil, maka harus dipilih rumah sakit terdekat yang cocok untuk
penanganan pasien.

Rujukan

‡Bila cedera penderita terlalu sulit untuk dapat ditangani, penderita harus dirujuk. Proses
rujukan ini harus dimulai saat alasan untuk merujuk ditemukan, karena menunda
rujukan akan meninggikan morbiditas dan mortalitas penderita. Tentukan : indikasi rujukan,
prosedur rujukan, kebutuhan penderita selama perjalanan, dan cara komunikasi dg dokter yg
akan dirujuk.

Transportasi

Syarat Transportasi Penderita

Memenuhi syarat

- Gangguan Pernapasan & CV telah ditanggulangi; Resusitasi bila perlu

- Perdarahan dihentikan

- Luka ditutup

- Patah tulang difiksasi

Selama Tranportasi

Monitor:

- Kesadaran

- Pernapasan

- Tekanan Darah dan Denyut nadi


- Daerah perlukaan

Syarat Alat Transportasi

Kendaraan

- Darat (Ambulance,Pick up, truck,gerobak,dll)

- Laut (perahu,rakit,kapal,perahu motor dll)

- Udara (Pesawat terbang,helikopter)

Yang terpenting adalah:

-Penderita dapat terlentang

-Cukup luas minimal untuk 2 penderita & petugas dapat bergerak leluasa
- Cukup tinggi sehingga petugas dapat berdiri dan infus dapat jalan
- Dapat melakukan komunikasi ke sentral komunikasi dan rumah sakit

- Identitas yang jelas sehingga mudah dibedakan dari ambulan lain.

Penatalaksanaan

PENATALAKSANAAN20

1.Ekstrakranial  metabolik. Prinsip terapi KAD adalah dengan mengatasi dehidrasi,


hiperglikemia, dan ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit penyerta yang ada.

Ada 3 komponen penting dalam tatalaksana ketoasidosis diabetik yaitu resusitasi cairan,
insulin dan penggantian kalium. Terapi resusitasi cairan merupakan terapi pertama dan utama
pada kasus ketoasidosis diabetik. Resusitasi cairan harus sudah diinisiasi dari sejak hasil lab
masih dalam tahap proses pemeriksaan. Diharapkan, dengan resusitasi yang cepat dan tepat
volume cairan intravaskular dapat dikembalikan serta perfusi ke organ vital membaik.

Pada pasien dewasa, kita perlu memberikan normal saline sebanyak 2 liter dalam 2 jam
pertama dilanjutkan dengan 2 liter pada 4 jam berikutnya. Selanjutnya, pemberian cairan
dititrasi sesuai dengan perbaikan kondisi klinis pasien dan kondisi hidrasinya. Jika gula darah
sudah menurun hingga kurang dari 300 mg/dl, perlu diberikan cairan berisi dextrose 5%.
Pada pemberian cairan resusitasi, kita perlu memperhatikan beberapa kondisi yang mungkin
muncul antara lain adalah edema cerebral dan respiratory distress syndrome. Kondisi tersebut
disebabkan oleh overload cairan. Namun, kondisi tersebut jarang terjadi.
Setelah memulai resusitasi cairan, serta hasil elektrolit sudah didapatkan, kita dapat
menginisiasi terapi insulin. Pemeriksaan elektrolit penting untuk didapatkan lebih dahulu
untuk memastikan bahwa kadar kalium tidak dalam kondisi hipokalemia. Mengapa seperti
itu? Pemberian insulin menyebabkan kalium ditarik masuk ke dalam intrasel sehingga
kadarnya dalam darah akan menurun. Kondisi hipokalemia tersebut dapat menyebabkan
disritmia serta paralisis respiratori. Kondisi hipokalemia itu sendiri disebabkan karena
defisiensi insulin, asidosis, diuretik osmosis, dan muntah.

Insulin diberikan dalam bentuk bolus serta infus. Pada awal pemberian, kita berikan insulin
bolus IV sebanyak 0,1 unit/kgBB dilanjutkan dengan 0,1 unit/kgBB/jam (maksimal 10 unit
/jam). Insulin yang digunakan adalah insulin yang bekerja jangka pendek. Selama pemberian
terapi insulin, kita perlu pantau glukosa darah dengan pemeriksaan dari darah kapiler. Infus
insulin sebaiknya terus dilanjutkan hingga keton serum bersih serta anion gap normal. Untuk
menjaga kondisi normoglikemia, pemberian dextrose 5% juga perlu diberikan.

Penggantian kalium perlu dilakukan secara hati-hati karena kondisi hiperkalemia maupun
hipokalemia dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa. Oleh karena itu,
pemeriksaan kadar serum serta EKG perlu dilakukan sebelum menginisiasi terapi kalium ini.

Inisiasi pemberian kalium sebaiknya diinisiasi kecuali pasien memiliki kadar kalium >5,5
meq/l atau pasien mengalami anuria. Kalium diberikan dalam bentuk KCl dengan kecepatan
maksimal 5-15 meq/jam. Jika kadar kalium sudah di bawah 3,5 meq/l, terapi pengganti
kalium segera diberikan sejak sebelum inisiasi terapi insulin dilakukan. Target kadar kalium
yang diharapkan adalah dalam kisaran 4-5 meq/l.

2.Hipertensi Enchepalopati22

Pengobatan ensefalopati disesuaikan dengan penyebab dan gejala yang muncul. Ensefalopati
yang disebabkan oleh infeksi diobati dengan antibiotika. Ensefalopati yang disebabkan oleh
gangguan fungsi hati berat membutuhkan obat-obatan untuk hati dan pada kasus kanker hati
terkadang membutuhkan transplantasi hati. Ensefalopati yang disebabkan oleh gangguan
fungsi ginjal membutuhkan terapi cuci darah.

Penderita dengan keluhan kejang diberikan obat antikonvulsan (obat antikejang). Penderita
dengan penurunan kesadaran biasanya membutuhkan bantuan alat pernapasan. Penderita
dengan kelemahan anggota gerak tubuh membutuhkan fisioterapi pada tahap pemulihan.
DAFTAR PUSTAKA

1. The Merek Manual for Health Care Professionals, [Online]. 2008.[cited: 2015
September 30]: avaible from: URL: http://www.mumj.org/Issues/v 10
2. Harsono (ed.) 2005 buku ajar Neurologis klinis, Edisi ketiga. Penerbit Gajah Mada
University Press.
3. Prof. Dr. dr. B. Chandra, Neurologi Klinik, Kepala Bagian Ilmu Penyakit Saraf
FK.Unair / RSUD Dr. Soetomo Surabaya,.
4. Priguna Sidharta, M. D., Ph. D. , Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, Dian
Rakyat.
5. Sidharta, Priguna, dan Mardjono, Mahar 2004 Neurologis Klinis Dasar. Penerbit
Dian Rakyat.
6. J.G.Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional. Diterjemahkan
oleh dr. Andri Hartono, Gadjah Mada University press, cetakan ke empat 1993.
7. Prof.DR.dr. S.M. Lumbantobing (ed. 2005) Neurologi Klinik, pemeriksaan fisik
dan mental, cetakan ketujuh. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
8. Lumbantobing,PDds. Pemeriksaan Neurologis. Neurologi Klinik. Pemeriksaan
Fisik dan Mental. Jakarta:FK UI Hal: 7-8
9. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. 2013. Jakarta: Dian
Rakyat. Halaman: 192-199.
10. Rilantono Lily L. Penyakit Kardiovaskular. 2013. Jakarta: FK UI. Halaman: 365-367
11. Jeremy P.T. Ward, jane Ward, dkk. Dalam: Amalia Safitri, editor. At a Glance
Sistem Respirasi. Edisi 2. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2008. hal. 11-13.
12. Dr. Abdul Mukty, dr. Adji Widjaja, dkk. Dalam: Hood Alsagaff, H. Abdul Mukty,
editor. Edisi 7. Surabaya: Airlangga University Press, 2010. hal. 7-20
13. Clair St, Saint. Dalam : American college of surgeons, editor. Advanced Trauma
Life Support. Edisi 7. Chicago: Ikatan Ahli Bedah Indonesia; 2004. Hal. 112, 113,
114, 115, 139
14. Sudoyo, W Aru.dkk.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Halaman
158
15. Ginsberg, Lionel. Lecture Notes Neurologi Edisi VIII.Halaman 8
16. Aryamehr Syahdad, Dr. Cardiopulmonary Resusciation (CPR). Makassar:
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Pada Program Pendidikan Dokter Spesialis
Anestesi FK UNHAS:2003
17. Principle and Practice of Emergency Neurology, 2003
18. Plum and Posner’s 2007
19. The Merek Manual for Health Care Professionals, 2008
20. Newton CRH. Clinical Emergency Medicine : Diabetes-Related Emergencies. New York:
Cambridge University Press; 2005. P. 223-227
21. Asnelia Devicaesaria. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo [Cited: 2015, October 1]. Avaible URL:
http://cme.medicinus.co/file.php/1/LEADING_ARTICLE_Hipertensi_Kritis.pdf.
22. Fredy, Filex Chikita.Enchepalopati Neurologi. [online: 2014-05-30]. [cited: 2015,
Oktober, 01] Avaible URL from: http://www.kerjanya.net/faq/5741-
ensefalopati.html
23. Hendrizal. Pengaruh Terapi Oksigen Menggunakan Non-Rebreathing Mask
terhadap Tekanan Parsial CO2 Darah pada Pasien Cedera Kepala Sedang. [cited:
2015, Oktober, 02] Avaible URL from.
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Hendrizal.pdf
24. Azis, Zaimursyaf. Terapi Cairan. [cited: 2015, Oktober, 02] Avaible URL from:
https://www.scribd.com/doc/97287967/TERAPI-CAIRAN
25. Admin Kalbe Medical. Kontroversi dalam Terapi Cairan. Dosis dan Jenis Cairan.
Kalbe. [online: 2014-06-06 06:45]. [cited: 2015, Oktober, 02] Avaible URL from:
http://www.kalbemed.com/News/tabid/229/id/16723/Kontroversi-dalam-
Terapi-Cairan-Dosis-dan-Jenis-Cairan.aspx

You might also like