You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

Jamur adalah mikroorganisme yang berada bebas di lingkungan, bagian dari flora normal
manusia dan hewan memiliki kemampuan yang menyebabkan infeksi superfisial ringan sampai infeksi
berat dan dapat menyebabkan kematian. Jamur merupakan organisme saprofit yang memiliki
mekanisme evolusi untuk bertahan pada host mamalia. Infeksi jamur umumnya insidental dan infeksi
sistemik jarang terjadi, tapi dapat menyebabkan kematian yang tinggi. Pada infeksi sistemik prognosis
penyakit bergantung pada faktor host daripada virulensi jamur.

Respon imun pada infeksi jamur sangat kompleks sehingga jamur menginvasi, tanpa tidak
dikenali oleh sistem imun dan menyebabkan infeksi berat yang berakibat peningkatan angka kesakitan
dan kematian. Infeksi jamur berkembang menjadi masalah kesehatan besar setelah infeksi bakteri.
Invasive Fungal Infections (IFIs) adalah infeksi jamur yang menginvasi organ dalam dan berkolonisasi
sehingga menyebabkan penyakit sistemik. IFIs sering ditemukan pada kasus imunosupresi dan
imunodefisiensi. Banyak laporan IFIs dapat terjadi bahkan pada individu imunokompeten, sehingga hal
ini yang membuat IFIs menjadi salah satu patogen yang mengancam dalam dekade terakhir.

Ditemukannya bentuk elemen jamur dalam bentuk cendawan atau ragi pada jaringan yang
dibiopsi atau aspirasi jarum yang dikonfirmasi kultur dan pemeriksaan histopatologi dapat
dideskripsikan sebagai Invasive Fungal Infection (IFIs). Definisi Invasive Fungal Infection Cooperative
Group (IFICG) dari European Organization for Research and Treatment for Cancer (EORTC) dan
Mycology Study Group (MSG) of National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID).
Manifestasi klinis dapat berupa demam berkelanjutan meskipun telah diberikan kemoprofilaks
spektrum luas, ditemukan bukti radiologis lesi dengan dikonfirmasi hasil kulturnya suatu infeksi jamur.
Diantara jamur yang dapat menyebabkan infeksi yaitu ragi (Candida Sp, Cryptococcus Spp) dan
cendawan (Aspergilus Spp, Fusarium Spp, Scedosporium prolificans, Mucor, Rhizopus dan Rhizomucor
Absidia). Invasive Fungal Infection (IFIs) juga dapat disebabkan jamur dimorfik termasuk Histoplasma
capsulatum, coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis, Paracoccidioides spp, Sporothrix spp dan
Penicillium marneffii. Diantara jamur penyebab tersebut, Candida spp, Cryptococcus spp, Aspergillus
spp, Mucor dan Rhizopus merupakan saprofit di tanah dan lingkungan pada manusia dan hewan
komensal.

Infeksi jamur umumnya accidental dapat menyebabkan infeksi jamur sistemik yang jsrang
dapat menyebabkan kematian tinggi. Pada infeksi sistemik prognosis penyakit bergantung pada faktor
host daripada virulensi jamur. Jamur menjadi masalah kesehatan yang besar menyusul infeksi bakteri.
Ini dihubungkan dengan imunosupresi akibat infeksi AIDS atau keganasan dan kelainan metabolik
seperti diabetes.

1
Jamur awalnya dikenal sebagai patogen tanaman dan menjadi ancaman pada pertanian, saat
ini telah berubah menjadi patogen primer atau opurtunistik yang dapat menyebabkan infeksi pada
individu imunokompeten dan imunokompromise. Jamur mempunyai sekitar 100.000 spesies yang
hanya 300 yang dikenal yang dapat menginfeksi manusia dan hewan. Beberapa spesies jamur dapat
hidup pada manusia dan hewan adalah candida spp, dan beberapa jamur dermatofita hidup pada
kulit, rambut dan kuku manusia dan hewan dan sangant mudah berpindah, kebanyakan tidak
terdiagnosa. Jamur dermatofita adalah infeksi yang biasa pada manusia. Kriteria diagnosis IFI adalah
ditemukannya jamur pada isolasi jamur dari kultur darah dan tempat steril dari sumber luka, bukti
radiologis, tidak ada bukti infeksi yang lain dan perbaikan kondisi klinis pasien setelah pemberian obat
anti jamur.

Candida albicans adalah patogen oportunistik jamur yang paling penting. Biasanya tinggal
sebagai komensal di saluran gastrointestinal dan genitourinari serta flora oral dan konjungtiva. Namun,
hal itu menyebabkan infeksi saat host menjadi lemah atau immunocompromised. Infeksi ini bisa
superfisial dan mempengaruhi kulit atau mukosa atau bisa masuk ke aliran darah dan menyebar ke
organ dalam. Pagano et al (2010) mengatakan bahwa dalam beberapa dekade, Candida Spp telah
dikenal sebagai patogen tersering yang menyebabkan IFIs. Hachem et al (2010) menagatakan bahwa
faktor risiko IFIs antara lain operasi (terutama operasi abdominal), luka bakar, rawat inap jangka
panjang di intensive care unit (ICU) dan pemberian antibiotik spektrum luas dan agen imunosupresif
sebelumnya. Jarvis et al (2010) menagatakan kemajuan manajemen medis dalam kemoterapi
antineoplastik, transplantasi organ, hemodialisis, nutrisi parenteral, dan kateter vena sentral
berkontribusi pada invasi jamur dan kolonisasi. Messer et al (2014) juga melaporkan dalam study di 20
pusat kesehatan di swiss, didapatkan angka IFIs semakin meningkat hingga 85% pada pasien-pasien
dnegan netropenia, pasien tranplantasi, pemakaian antibiotika dan pemasangan vena sentral. Spesies
Candida lainnya ditemukan pada individu sehat termasuk Candida glabrata, Candida tropicalis,
Candida parapsilosis, dan Candida krusei. Kelima spesies yang disebutkan di atas menyebabkan lebih
dari 90% infeksi invasif, walaupun prevalensi relatif spesies tersebut bergantung pada lokasi geografis,
populasi pasien, dan pengaturan klinis. Munculnya Candida guilliermondii, Candida kefyr, Candida
rugosa, Candida dubliniensis, dan Candida famata sebagai patogen juga telah dilaporkan di seluruh
dunia. Faktanya, Natinonal Nasocomial Infections Surveillance System (NNISS) 2012 melaporkan
spesies Candida sebagai patogen aliran darah nosokomial paling umum keempat. Angka kematian
diperkirakan setinggi 45%, mungkin karena metode diagnostik yang tidak efisien dan terapi antijamur
awal yang tidak tepat.Almyroudes et al (2015) studi di Kanada 15-40% pasien dengan imunodefisiensi
mengalami IFIs dengan angka kematian hingga 87%.

Candida Spp sebagai patogen paling umum penyebab IFIs. Namun terdapat pergeseran dalam
satu darsawarsa ini. Mayar et al ( 2015) meneliti 19 pusat kesehatan di USA , 56% kasus IFIs
disebabkan oleh Aspergillus Fumigatus. Hal senada juga di dapatkan oleh Lass-Forl C et al (2015)

2
didapatkan bahwa telah terjadi endemik Aspergillus Terrus dan patogen tersebut resisten terhadap
Amphoterisin B.

Melihat semakin tingginya angka kejadian IFIs dan tingginya angka morbiditas dan mortalitas
dari IFIs tersebut, maka penulis membuat referat Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Jamur Invasif ini
untuk mempeljari IFIs lebih lanjut.

BAB II

PATOGENESIS DAN DIAGNOSIS INFEKSI JAMUR INVASIF

2.1. Patogenisitas dan Virulensi Jamur

Berdasarkan virulensi dan patogenisitas, jamur terbagi 2 tipe, yaitu jamur patogen sejati dan
jamur oportunistik. Virulensi jamur dapat dihubungkan dengan banyak faktor. Diantaranya
kemampuan jamur untuk tumbuh pada suhu 37 0C dan adaptasi lingkungan di dalam jaringan host
(khususnya jamur dimorfik) membantu mereka berkolonisasi dan menginfeksi. Faktor yang
bertanggung jawab untuk patogenisitas jamur adalah spesifik. Enzim, toksin, dan produk jamur
berperan pada virulensinya dan patogenisitas. Aspergilus Spp menghasilkan protease (elastin-serine
protease dan elastin-metalloprotease) dan aspartic acid proteinase. Gliotoxin dan restrictocin adalah
produk racun dari Aspergilus Spp. Sintesis Phenoloxidase/melanin bersama dengan keberadaan
kapsulnya membuat Cryptococcus menjadi patogen oportunistik.

Candida Spp adalah jamur oportunis yang mempunyai flora normal pada manusia yang dapat
menyebabkan infeksi pada kulit superfisial, kuku, infeksi saluran kemih dan kandidemia. Candida Spp
dapat membentuk biofilm, digambarkan sebagai perlekatan mikrobial pada permukaan biotik atau
abiotik membentuk matriks polimer yang menjadi substrat pada pertumbuhan mikroba. Kemampuan
ini menyebabkan Candida menjadi penyebab infeksi nosokomial. Beberapa jamur seperti
Cryptococcus neoformans, Candida albicans dan Aspergillus fumigatus dilaporkan menghasilkan sterol

3
regulatory element binding proteins (SREBPs) yang membantu jamur mentoleransi lingkungan
hipoksik pada jaringan host dan menyebabkan resistensi terhadap obat anti jamur.

Patogenesis infeksi jamur sangat kompleks, telah dilaporkan bahwa jamur patogen dari
tanaman memiliki protein tertentu termasuk non ribosomal peptide synthetases (NRPS’s) dan
polyketide synthases (PKS’s) yang tidak ditemukan atau hanya ada pada beberapa jamur saprofit.
Faktor predisposisi IFIs adalah netropenia, resipient transplantasi organ (sumsum tulang, stem sel atau
organ solid), AIDS, nenatus preterm, pasien terapi imunosupresif yang menjalani terapi intensif. Terapi
antibiotik spektrum luas, kemoterapi kanker, pemasangan kateter atau alat medis lainnya dan usia tua.
Predisposisi genettik IFIs karena penurunan aktivitas NADPH oksidase, sintesis abnormal TNF-α, IL-10
dan sitokin lainnya baru-baru ini telah dilaporkan. Pada tabel 2.1 faktor-faktor predisposisi tersebut
dapat dilihat .

Tabel 2.1 Faktor Predisposisi Untuk Infeksi Jamur Invasif

Infectons
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Cytomegalo Virus (CMV)
Mycobacterium tuberculosis
Inadequte treatment of superficial fungal infection
Malignancy
Hematological Malignancy (Leukaemia, Multiple Myeloma)
Non-Hematological malignancy (Breast Carcinoma)
Debilitated patents
Critically ill on mechanical ventillation
Patients i ICU’s and NICU’s
Transplant patients
Stem cell transplants
Organ transplants (Kidney)
Non-Infectous causes
Severe trauma (Accident)
Major surgical procedure
Indwelling prosthetic devises
Fungal colonization in mucosal surfaces
Exposure to Building dust
Chronic airway obstruction (COPD)(Asthma)
Immunosuppressive therapy (Steroids)
Chronic broad spectrum antibacterial treatment
Extremes of age
Immunological Deficiency
Neutropenia

4
Autoimmune diseases
Genetc Predisposition
Impaired NADPH oxidase activity
Abnormal synthesis of tumour necrosis factor α (TNF- α)
Interleukin 10 and other cytokines

Respon imun host sama dengan infeksi mikroba lain memegang peranan penting dalam infeksi
jamur. Mekanisme imun innate dan adaptif berperan penting selama infeksi jamur invasif. Respon
berperan sebagai barier pertahanan pertama yang melawan masuknya patogen ke dalam tubuh,
sedangkan respon imun adaptif merupakan mekanisme lanjutan dari respon imun innate untuk
mengeradikasi patogen di dalam tubuh. Produk akhirnya pada respon imun adalah terbentuknya sel
memori terhadap antigen spesifik.

Jamur adalah kelompok mikroorganisme yang terlindung baik dari stres eksternal pertahanan
sistem imun karena komponen dinding selnya terbuat dari karbohidrat polimer kompleks berupa
mannans (rantai molekul mannose ditambahkan ke protein jamur melalui rantai N atau O), chitin
(polimer N-acetylglucosamine) dan glucan (polimer glukosa). Prognosis infeksi jamur invasif
bergantung pada beragam faktor antara lain kondisi klinis pasien saat itu (underlying disease), status
imun, patogenisita dan virulensi spesies jamur dan lokasi lesi infeksi.

Penelitian baru-baru ini telah melaporkan interaksi komunitas jamur (mycobiome) dan flora
bakteri usus, mempengaruhi sistem imun, berfungsi sebagai perlindungan atau sebagai penyebab
penyakit. Suatu defek pada reseptor imun innate yaitu gen Dectin-1 (CLEC7A) dihubungkan dengan
penurunan sistem imun terhadap koloni jamur, dapat menyebabkan kolitis ulseratif berat. Reseptor
Dectin-1 adalah reseptor lectin tipe C yang dapat mengenali β-glucans, yaitu komponen terbesar
dinding sel jamur. Penelitian ini juga melaporkan lebih 100 jenis jamur yang berada dalam 50 generasi
yang membentuk mikrobiota usus. Candida tropicalis adalah spesies jamur dominan, diikuti
Trichosporon yang keduanya merupakan patogen oportunistik dan Sachharomyces yang non patogen.
Hasil penelitian juga menyatakan bahwa penurunan jumlah Saccharomyces non patogen dan
peningkatan Candida spp menyebabkan kolitis ulseratif berat.

Fungal pattern-recognition receptors (PRR’s) berperan penting dalam mengenali pola


molekuler jamur patogen. Sel sistem imun yang aktif berperan dalam pertahanan melawan patogen
jamur invasif adalah netrofil, monosit, makrofag dan sel dendritik, sel natural killer dan sitokin lainnya.
Penelitian menunjukan bahwa Toll-like receptors (TLR’s) dan non-TLR’s (TLR2, TLR4, TLR9, C-type lectin
receptors; CLR’s dan galectin family proteins) pada makrofag mempunyai kemampuan mengenali
pathogen-associated molecular patterns (PAMP’s) dari jamur yang menginvasi dan menginisiasi respon
inflamasi. Hal ini bergantung pada respon diferensiasi myeloid primer gen-88 (MYD-88) yang
menginisisasi jalur persinyalan. Metode lainnya dalaam mengenali jamur berupa NLR’s (NOD-like

5
receptors), yang teraktivasi memproduksi interleukin (IL-1 β and IL-18). Bagaimana respon host
terhadap invasi jamur belum sepenuhnya dipahami tapi penelitian terkini telah melaporkan peran
aktivitas chitinase ( gen CHIT1) terhadap respon infeksi jamur, yang menunjukkan peningkatan
aktivitas selama reaksi inflamasi saat adanya beragam sitokin. Penelitian juga mengatakan bahwa
single nucleotide polymorphisms (SNP’s) pada beberapa gen (DECTIN1, TLR1, TLR4, TLR6, TLR9) yang
mengkode sitokin dan reseptor dihubungkan dengan kerentanan atau resistensi terhadap infeksi
jamur.

Infeksi jamur pada host diawali dengan masuknya konidia jamur ke host dan internalisasi ke
dalam sel host. Tahap pertama dari aktivasi sistem imun terhadap konidia adalah tahap pengenalan
molekul permukaan yang khas antara sel imun (makrofag) dnegan konidia. Konidia yang masuk ke
dalam jaringan tubuh host dapat dikenali melalui struktur pathogen associated molecular patterns
(PAMPS) khas yang tidak dimiliki oleh organisme lain. Makrofag akan mengenali struktur PAMPS
konidia melalui pattern recognition receptor (PRRs) yang spesifik. Terdapat dua bentuk PRRs yaitu
bentuk yang melekat pada perukaan sel serta bentuk yang disekresikan. PRRs yang melekat pada
permukaan sel imun antara lain TLRs, mannan binding lectin (MBL) dan C-type lectin receptor/CLR
(dectin-1). PRRs yang terdapat dalam bentuk sekresi antara lain lung surfactan proteins A dan D (SP-A
dan SP-D).

Pattern recognition receptor (PRRs) yang spesifik akan mengenali struktur yang terdapat pada
permukaan dinding sel jamur. TLR merupakan kelas mayor PRRs yang berperan penting dalam respon
imun terhadap jamur. Dua subtipe TLR yang berperan penting dalam proses ini antara lain TLR2 dan
TLR4. TLR2 berperan penting untuk mengenali struktur zimosan, fosfolipomanan,
glukoronoksilomanan (GXM) pada dinding sel jamur. TLR4 berperan penting untuk mengenali struktur
GXM dan O-linked manan. Dectin-1 akan mengenali struktur β-glucan sedangkan ketiga bentuk PRRs
yang tersekresi (SP-A, SP-D, MBL) akan mengenali gugus karbohidrat pada permukaan jamur.

Pengenalan antara PRRs dengan struktur PAMPS akan menginduksi berbagai proses imun
dalam rangka mengeliminasi patogen. Pengenalan PAMPS melalui dectin-1, TLR2 dan TLR4 akan
meningkatkan pembentukan sitokin proinflamasi TNF alfa. Sementara itu , pengenalan PAMPS melalui
SP-A dan SP-D berperan penting untuk meningkatkan kemotaksis, fagositosis, oxidative killing, serta
aglutinasi konidia. Selain itu, pengenalan antara PRRs dengan struktur PAMPS juga berperan penting
dalam meningkatkan sekresi kemokin macrophage inflammatory protein (MIP) dan protein
antimikrobial. MIP-1 dan MIP-2 berperan dalam induksi kemotaksis ke jaringan lesi. Selain itu, kemokin
ini juga berperan penting untuk menginduksi diferensiasi netrofil dan monosit menjadi makrofag. Pada
gambar 2.1 dapat dilihat bagaimana proses pengenalan struktur PAMPS melalui reseptor TLR2, TLR4
serta dectin-1 hingga menginduksi TNF alfa.

6
Gambar 2.1.Proses Pengenalan Antigen Jamur Oleh Sel Imun

Eradikasi konidia oleh makrofag terjadi melalui proses fagositosis. Pada tahap awal, konidia
yang telah diinternaisasi oleh makrofag akan berada di dalam fagosom. Pada tahap lanjut, eradikasi
konidia terjadi melalui proses asidifikasi dan pembentukan reactive oxygen intermediet (ROI) di
fagolisosom. Fagolisosom sendiri terbentuk dari fusi antara fagosom dngan lisosom. Sebanyak 90%
konidia yang diinternalisasi oleh makrofag akan mati dalam 24 jam. Sisanya akan berkembang menjadi
bentuk hifa atau tetap tetap bertahan dalam bentuk resting conidia.

Bentuk morfologi resting conidia serta hifa merupakan aktivator potensial kaskade
komplemen. Bentuk morfologi yang berbeda akan mengaktivasi komplemen dari jalur yang berbeda
pula. Bentuk resting conidia akan menginduksi aktivasi komplemen melalui jalur alternatif (alternative
pathways), sedangkan bentuk hifa akan menginduksi komplemen melalui jalur klasik (classical
pathways).

Hifa yang tumbuh ke ruang ekstraseluler (menembus makrofag) akan menginduksi aktivasi
sistem imun ekstraseluler. Aktivasi sistem imun ekstraseluler ditandai dengan terjadinya proses

7
inflamasi, sekresi ROI ke ekstraseluler, peningkatan kemotaksis netrofil dan peningkatan produksi
peptida antimikrobial. Terjadinya proses inflamasi ditandai dengan peningkatan sitokin TNF alfa,
interleukin-15, dan interleukin-8. Sebanyak 50% hifa yang tumbuh ke ruang ekstraseluler akan mati
dalam 2 jam.

Resting conidia merupakan bentuk yang resisten terhadap proses eradikasi oleh sel imun.
Bentuk morfologi ini lebih resisten terhadap sekresi ROI dan kationik petida oleh sel netrofil. Selain itu
internalisasi bentuk tersebut oleh netrofil hanya mampu menginduksi proses degranulasi dan
respiratory burst yang lemah. Respon netrofil akan meningkat jika bentuk morfologi resting conidia
berubah menjadi bentuk resting conidia swelling. Pada pasien netropenia, peranan netrofil akan
digantikan oleh sel natural killer (NK) dan platelet. Namun bagaimana mekanisme imun tersebut
belum jelas.

Sel dendritik (DCs) merupakan sel yang menghubungkan antara sistem imun alamiah dengan
adaptif. Sel tersebut mampu memfagositosis jamur dalam bentuk konidia maupun hifa melalui PRRs
yang berbeda. Pengenalan morfologi tertentu oleh TLR2 dan TLR4 pada permukaan DCs akan
menstimulus respon imun yang berbeda.

Respon imun seluler akan terinduksi oleh pengenalan konidia oleh DCs melalui TLR4. Sel imun
yang berperan dalam mekanisme tersebut adalah sel Th1. aktivasi Th1 akan menginduksi terjadinya
proses inflamasi unutk menghilangkan patogen intraseluler. Beberapa sitokin proinflamasi yang
berperan dalam mekanisme ini antara lain Interferon gamma, IL-6, IL-12, TNF alfa serta GM-CSF.

Respon imun humoral akan terinduksi oleh pengenalan hifa oleh DCs melalui TLR2. Sel imun
yang berperan dalam mekanisme imun ini adalah Th2. Aktivasi sel Th2 akan menginduksi aktivasi sel
plasma (sel efektor) untuk mensekresikan imunoglobulin pada permukaan selnya untuk menjadi
antibodi. Proses isotope switching akan memfasilitasi terbentuknya berbagai antibodi sel plasma.
Antibodi utama yang berperan pada infeksi jamur adalah IgE. IgE akan menginduksi rekasi
hipersensitivitas tipe cepat melalui mekanisme antibody derived cell cytotoxicity (ADCC). Mekanisme
tersebut dimulai dengan pengenalan antara kompleks IgE pada permukaan hifa dengan sel efektor
(eosinofil, basofil, sel mast) melalui Fc reseptor. Proses ini akan menginduksi terjadinya degranulasi
mediator histamin, leukotrien dan major basic protein (MBP) dari sel efektor. Proses degranulasi
tersebut akan menginduksi terjadinya kerusakan jaringan. Pada gambar 2.2 dijelaskan proses respon
imun humoral pada infeksi jamur.

8
Gambar 2.2. Proses Respon Imun Humoral Pada Infeksi Jamur

Bentuk morfologi hifa memiliki karakteristik khas yang mampu menginduksi terjadinya infeksi
kronis. Bentuk hifa mampu memproduksi kolagenase, elastase, dan protease yang berperan penting
dalam destruksi matriks ekstraseluler secara langsung. Bentuk morfologi hifa juga mampu melekat
pada matriks ekstraseluler. Kedua hal inilah yang akan memfasilitasi terjadinya infeksi yang kronis dan
progresif, dimana proses remodeling jaringan akan diikuti oleh terjadinya kerusakan jaringan kembali.

Respon imun Th1 berperan sebagai faktor proteksi terhadap infeksi jamur dibandingkan
dengan Th2. Aktivasi pada sistem imun humoral digunakan oleh jamur untuk menghindar dari sistem
imun seluler. Hal ini dianggap menguntungkan bagi jamur oleh karena jamur dapat menghindar dari
aktivitas respiratory burst dan juga menghindar dari terdapatnya sekresi antifungal yang diinduksi oleh
aktivasi Th1.

Secara umum, terdapat enam mekanisme yang memungkinkan bagi jamur untuk menhindar
dari sistem imun host yaitu menghindari pengenalan PAMPs yang menginduksi inflamasi, modulasi
sinyal inflamasi, pembentukan molekul pengumpan pada permukaan sel jamur, menghindar dari
respon fagositosis, kemampuan bertahan dengan cara membentuk morfologi yang baru, serta evasi
komplemen.

2.2. Diagnosis IFIs

9
Ada beberapa kriteria untuk menentukan diagnostik infeksi jamur. Kriteria tersebut adalah
probable dan possible IFIs. Penilaian kriteria tersebut berdasarkan terhadap gejala dan tanda yang
ditemukan pada host, gejala klinis pada organ lain dan secara mikrobiologis. Dikatakan probable
apabila terdapat setidaknya satu kriteria host diikuti dengan satu kriteria mikrobiologi dan satu mayor
atau dua minor dari gejala klinis organ lain. Sedangkan kriteria possible apabila terdapat setidaknya
satu kriteria host diikuti dengan satu kriteria mikrobiologi atau satu mayor atau dua minor dari gejala
klinis organ lain.

Kriteria host adalah netropenia (<500/m3) lebih dari 10 hari, adanya demam persisten selama
lebih kurang 96 jam yang refrakter terhadap pemberian antibiotik spektrum luas, suhu >38 derajat
atau <36 derajat dengan diikuti kondisi (netropenia >10 hari dalam 60 hari terakhir, sedang dalam
pemakaian agen imunosupresif dalam 30 hari terakhir, ada riwayat IFIs sebelumnya, status HIV
positif).

Untuk kriteria mikrobiologi yaitu didapatkannya kultur jamur positif ( aspergilus sp, fusarium
sp, zygomycetes, scedosporium sp atau C. neoformans) dari sputum atau BAL, kultur positif atau
sitologi direct positif dari aspirasi sinus, sitologi positif dari jamur atau Criptoccos dari sputum dan
BAL, pasitif aspergillus antigen dari BAL, CSF atau >2 kali sampel darah, antigen cryptococcal positif
didarah, urinalisa atau kultur urine positif yeast dalam 2 sampel dengan status tidak terpasang kateter,
positif kultur darah Candida sp, kultur sputum negatif bakteri namun dengan abnormalitas pada paru.
Sedangkan kriteria untuk gejala klinis organ lain dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2. Kriteria Gejala Klinis Organ Lain Pada IFIs

10
Metode
labor untuk
diagnosis IFIs
antara
lainteknik
mikologi
konvensional,
biokimia
(produk jamur),
metode
imunologik dan
molekuler.
Mikroskopi
basah dari
sampel
menggunakan
konsentrasi
berbeda dari
potassium
hidroksida
(KOH) dapat
menunjukkan
elemen jamur.
Pewarnaan
gram, giemsa, tinta india dan pewarnaan fluoresen dengan calcofluor white meningkatkan
kesempatan menemukan elemen jamur dengan mikroskop. Imunohistokimia dan imunofluoresen
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnosis. Sabourauds Dextrose Agar (SDA), Chromogenic
media, Czapec-Dox media, Corn Meal Agar (CMA), Muller Hinton agar (MHA) dan RPMI 1640 adalah
media kultur yang sering dipakai. Antibodi (Spesifik Anti-Candida, Anti-Aspergillus) dan Antigen jamur
secara umum (mannan, galactomannan) dan antigen spesifik (Cryptococcal Ag) merupakan metode
imunologik yang berguna untuk diagnosis IFIs. Deteksi metabolit jamur meliputi enolase, arabinitol,
creatinine dan β-(1-3) D-glucan membantu dalam diagnosis spesifik spesies dan genus. Pemeriksaan
PCR (conventional, nested-PCR, real-time PCR), Microarray, nucleic acid sequence-based amplification
(NASBA) dan pyrosequensing merupakan metode molekuler yang tersedia untuk mengelompokkan
dan konfirmasi jenis. Metode cepat (MALDI-TOF) untuk mendeteksi jamur telah dilaporkan baru-baru
ini.

11
BAB III

TATALAKSANA INFEKSI JAMUR INVASIF

3.1. Terapi Ant-Jamur

Obat anti-jamur yang digunakan dalam perawatan klinis, bermacam-macam namun hanya ada
beberapa kelas agen antijamur yang tersedia untuk terapi IFIs. Dapat dilihat pada gambar 3.1.

12
Gambar 3.1. Mekanisme Kerja Anti Jamur

3.1.1. Azoles: Inhibitor dari Lanosterol 14-α-Demethylase

Famili terbesar obat antijamur adalah famili azole. Azoles mengganggu membran sel dengan
menghambat aktivitas lanosterol 14-α-demethylase, enzim yang terlibat dalam biosintesis ergosterol.
Ergosterol, yang analog dengan kolesterol pada sel hewan, adalah komponen sterol terbesar dari
membran sel jamur. Karena ergosterol dan kolesterol memiliki perbedaan struktural yang cukup,
kebanyakan agen antijamur yang ditargetkan untuk mengikat ergosterol atau biosintesis tidak bereaksi
silang dengan sel host. family azole meliputi imidazol (miconazole, econazole, clotrimazole, dan
ketoconazole) dan triazol (flukonazol, itrakonazol, dan agen vorikonazol terbaru (turunan triazol
sintetik trioksi flukonazol) dan posasonazol (analogisasi hidroksilasi itrakonazol)). Banyak azol efektif
untuk penggunaan topikal dan untuk pengobatan dan profilaksis infeksi jamur invasif. Dalam hal ini,
agen ini mendapat persetujuan dari Food and Drug Administration (FDA) AS dan European Medicines
Agency (EMEA)

3.1.2. Echinocandins: Inhibitor Sintesis Glucan

Echinocandins (caspofungin, micafungin, dan anidulafungin) adalah agen antijamur lipopeptida


yang menghambat sintesis dinding jamur dengan penyumbatan nonkompetitif dari glukan.
Penghambatan enzim ini menyebabkan pembentukan dinding sel jamur dengan integritas struktural
yang terganggu, yang akhirnya berakibat pada kerentanan sel terhadap lisis osmotik. Ketiga agen
(caspofungin, micafungin, dan anidulafungin) menunjukkan aktivitas fungisida yang bergantung pada
konsentrasi terhadap sebagian besar spesies jamur dan telah disetujui oleh badan pengawas FDA
untuk pengobatan kandidiasis esofagus dan invasif, termasuk kandidemia.

3.1.3. Poliena: Mengikat Ergosterol

Poliena seperti nistatin dan amfoterisin B (keduanya terisolasi dari Streptomyces spp.)
Mengikat ergosterol dan mengganggu komponen lipid utama membran sel jamur yang menghasilkan
produksi pori-pori berair. Akibatnya, permeabilitas seluler diubah dan menyebabkan kebocoran
komponen sitosolik dan, oleh karena itu akan menyebabkan kematian jamur.

3.1.4. Analog Nukleosida: Inhibitor Sintesis DNA / RNA

Flucytosine adalah analog pirimidin. Ini diangkut ke sel jamur melalui sitosin , kemudian
dideaminasi menjadi 5-fluorourasil dan terfosforilasi menjadi 5-fluorodeoksiuridin monofosfat.
Nukleotida terfluorinasi ini menghambat sintesis timidilat dan dengan demikian mengganggu sintesis
DNA. Senyawa 5-fluorodeoxyuridine monophosphate dapat lebih terfosforilasi dan dimasukkan ke
RNA, sehingga mempengaruhi sintesis RNA dan protein.

13
3.1.5. Agen Anti jamur lainnya

Allylamines dan thiocarbamates juga mengganggu membran sel dengan menghambat


squalene-epoxidase, enzim yang terlibat dalam biosintesis ergosterol. Griseofulvin (spirodiketone
trisiklik, yang pertama kali diisolasi dari Penicillium griseofulvum) bertindak dengan mengganggu
produksi mikrotubulus spindle dan sitoplasma, sehingga menghambat mitosis jamur.

3.2. Pengobatan IFIs

Pemilihan terapi antijamur oleh apakah agen digunakan untuk mengobati infeksi superfisial
atau IFIs. Infeksi superfisial dapat diobati dengan obat antijamur topikal. Infeksi sistemik dapat diobati
dengan preparat oral atau intravena (IV). Pada tabel 3.1 dapat dilihat pilihan anti jamur untuk IFIs
berdasarkan jenis jamur dan sensitivitasnya berdasarkan Sanford Guide To Antimicrobial Therapy.

Tabel 3.1. Pilihan Anti Jamur Berdasarkan Organisme Penyebab dan Sensitivitas

14
Parameter farmakokinetik tidak selalu sebanding secara langsung karena data berasal dari
berbagai sumber dan uji coba. Namun, rute pemberian dan ekskresi seringkali menjadi pertimbangan
penting dalam memilih agen antijamur yang sesuai. Beberapa obat tersedia hanya sebagai preparat IV
(misalnya caspofungin, micafungin, anidulafungin, dan amfoterisin B), hanya sebagai preparat oral
(misalnya posaconazole dan flucytosine) atau dapat diberikan melalui rute IV dan oral (misalnya
flukonazol, itrakonazol, dan vorikonazol) tergantung kelarutan obatnya. flukonazol dan caspofungin
terutama diekskresikan ke dalam urin sebagai bentuk aktif. Keduanya adalah agen pilihan untuk
pengobatan infeksi jamur saluran kemih. Akan tetapi, beberapa obat antijamur ini telah banyak
digunakan dan menyebabkan meningkatnya perkembangan resistensi anti jamur.

Anti jamur dalam cara kerjanya menargetkan beragam stadium jalur metabolik dan dapat
ditempatkan di kelompok berbeda termasuk azoles, polyenes, fluoropyrimidine analogs,
echinocandins, morpholines, allylamines dan thiocarbamates. 5-Fluorocytocine (5-FC) dan 5-
Fluorouracil adalah 2 anti-jamur yang disintesis dari DNA nucleotide cytosine yang digunakan untuk
mengobati infeksi pada manusia. 5-FC memiliki aktivitas spektrum luas tidak hanya terhadap jamur
(bentuk ragi dan hifa) tetapi juga protozoa (Leishmania and Acanthamoeba spp). Agen anti jamur 5-FC
telah direkomendasikan menjadi terapi infeksi jamur namun perlu dikombinasikan dengan anti-jamur
lain karena mencegah kemungkinan untuk menjadi resisten. Aksi farmakologi dari 5-FC terutama
karena aktivitas fungistatik, yang menghambat sintesis protein dalam replikasi DNA dimana hal ini
akan menghambat pertumbuhan jamur. Efek samping dari 5-FC minimal dan terbatas pada hati.

Amphotericin-B (AmB), nystatin and natamycin adalah tiga kelompok polyene/macrolide anti
jamur yang dulu digunakan untuk mengobati infeksi jamur pada manusia . Agen anti jamur tersebut
disintesis dari bakteri Streptomyces. Polyene memiliki target kerja ergosterol, yang merupakan
komponen utama sel jamur dengan cara mendestabilisasi membran plasma sehingga akan
mencetuskan lisis sel. Toksisitas Amphotericin-B terbatas pada hati dan ginjal dan diminimalisasikan
dengan menggunakan Amphotericin-B liposomal. Keuntungan pada AmB yaitu jarang timbul resistensi
pada jamur.

Kelompok anti-jamur azole secara farmakologis dibagi menjadi 2 kelompok: imidazole yang
memiliki 2 atom nitrogen dan triazole yang memiliki 3 atom nitrogen. Target kerja anti jamur ini adalah
pada proses sintesis ergosterol dimana dia akan mencetuskan pembentukan racun yang mematikan
bagi jamur. Clotrimazole, econazole, miconazole (imidazoler), fluconazole, ketoconazole, itraconazole,
voriconazole, posaconazole dan ravuconazole (undertrial) (triazoles) adalah kelompok anti jamur
azole. Imidazole digunakan kebanyakan sebagai agen topikal karena toksisitas yang berat ketika
dikonsumsi secara oral. Triazole telah dimodifikasi berkala dan sekarang digunakan untuk mengobati
infeksi jamur yang disebabkan ragi dan cendawan.

Echinocandins adalah anti jamur baru yang disintesis dari lipopeptida yang dihasilkan oleh
berbagai ragam jamur (Aspergillus rugulovalvus, Zalerion arboricola and Papularia sphaerosperma)

15
dan telah disetujui untuk terapi IFIs termasuk CaspofunginB, micafungin, anidulafungin,
pneumocandin B and papulacandin. Echinocandins bekerja pada β (1-3)-glucan synthase, sebuah
enzim yang penting untuk mempertahankan integritas dinding sel. Keuntungan dengan echinocandin
adalah kurang toksik, aktivitas spektrum luas dan efek sinergis pada terapi kombinasi. Terbinafine,
tolnaftate, amorolfine, ciclopirox and griseofulvin digunakan sebagai agen topikal dan efektif pada
terapi infeksi jamur superfisial termask jamur dermatofit.

BAB IV

RESISTENSI TERHADAP ANTI JAMUR

Meskipun jarang, resistensi anti-jamur menyebabkan kecemasan pada terapi IFIs sejak 10
tahun terakhir. Resistensi adalah ketahanan mikroba dan progresi penyakit setelah terapi. Resistensi
terbagi menjadi resistensi primer atau innate resisten dan resistensi didapat. Mekanisme resistensi
terhadap anti-jamur berbeda pada tiap kelompok obat. Penurunan absorbsi obat dan akumulasi obat,
dapat mengurangi afinitas obat terhadap targetnya serta perubahan jalur metabolik untuk
mengganggu kosentrasi obat pada sel adalah terjadinya resistensi anti jamur.

Penelitian juga telah mengembangkan mekanisme molekuler mengenai resistensi obat pada
jamur. CDR1 (Candida drug resistance 1), CDR2, CgCDR1 (Candida glabarata drug resistance 1),
CgCDR2, CaMDR1 (candida albicans multidrug resistance 1), CgFLR1 (Candida glabarata fluconzole

16
resistance1) dan ERG11 (echinocandin resistance gene) adalah beberapa gen yang diidentifikasi pada
Candida spp yang menyebabkan resistensi obat. Disamping itu, biofilm juga faktor potensial penyebab
resistensi anti-jamur, karena produksi material exopolimerik yang menghambat atau menahan
penetrasi obat anti-jamur.

Resistensi antijamur didasarkan kepada perbedaan mekanisme, yaitu pengurangan


akumulasi obat intraseluler, penurunan afinitas/prosesi terhadap target obat, dan penetralan
terhadap efek obat. Mekanisme resistensi akan berbeda tergantung pada mode aksi komponen anti
jamur. Mekanisme seluler dan molekuler yang mendukung resistensi melawan kelas-kelas anti jamur
yang disebutkan sebelumnya.

4.1.Resistensi Azole

Fluconazole dan itraconazole telah digunakan secara luas untuk kemoprofilaksis dan
pengobatan infeksi jamur sistemik karena bioavailabilitas oralnya yang baik dan profil keamanannya.
Sejak lebih dari 10 tahun yang lalu setelah itu, resistensi fluconazole telah dilaporkan dalam jumlah
tinggi pasien. Dalam penjelasan, C. albicans sering ditemukan resisten terhadap azole pada pasien
terinfeksi HIV dengan kandidiasis orofaring. Namun, resistensi ini tidak terlalu penting pada pasien
dengan penyakit lainnya, seperti kandidiasis vagina dan kandidemia. Kerentanan terhadap fluconazole
yang berkurang secara intrinsik juga telah dilaporkan untuk spesies Candida non-albicans seperti C.
glabrata, C. krusei, dan C. lusitaniae. Diduga variasi struktur azole merupakan penyebab pola resistensi
silang di antara spesies Candida.

Target antijamur azole adalah lanosterol14-α-demethyl seperti yang dikode oleh gen ERG11.
Mutasi beberapa poin telah dicirikan dan dihubungkan dengan peningkatan minimum inhibitory
concentration (MIC) azole .

Dua mekanisme berkontribusi untuk mengimbangi efek obat. Sistem yang pertama melibatkan
peningkatan regulasi gen ERG11 yang menyebabkan peningkatan intraseluler dari protein target.
Ekspresi berlebihan ERG11 terjadi oleh regulasi faktor transkripsi dan duplikasi gen. Mekanisme yang
kedua, walaupun sangat jarang, telah diidentifikasi dalam beberapa isolat klinis C. albicans. Perubahan
pada tahap akhir biosintesis ergosterol melalui inaktivasi ERG3 mengakibatkan pada inaktivasi total C5
sterol desaturase. Sehingga toksik 14-methylated sterols tidak lagi terakumulasi, dan strain yeast
memproduksi membran sel yang mengandung sterol yang lainnya.

4.2. Resistensi Echinocandin

Obat echinocandin direkomendasikan sebagai lini pertama untuk kandidiasis invasif. Namun,
laporan resistensi echinocandin pada pasien dengan infeksi gabungan C. albicans, C. glabrata, C.
tropicalis, dan C. krusei terus meningkat. Kenyataannya, resistensi C. glabrata meningkat dari 4,9%
menjadi 12,3% di antara tahun 2001 hingga 2010. Koresistensi terhadap echinocandin dan azole pada

17
isolat klinis C. glabrata telah dilaporkan. Resistensi intrinsik echinocandin dari C. parapsilosis, C.
orthopsilosis, C. metapsilosis, dan C. guilliermondii telah dilaporkan. Resistensi sekunder terhadap
echinocandin dihubungkan.

Dengan mekanisme berikut, titik mutasi di gen FKS1 dan/atau FKS2 yang mengkode kompleks
(1,3)-β-D-glucan synthase. Mutasi pada FKS1 tidak mengubah pengikatan substrat namun
menurunkan nilai max.

4.3. Resistensi Polyene

Setelah digunakan lebih dari 30 tahun, resistensi minimal terhadap amfoterisin B telah mulai
ditemukan. Efek samping dan toksisitas merupakan masalah utama pada penggunaan profilaksis dari
amfoterisin B konvensional. Resistensi biasanya tergantung pada spesies. C. glabrata dan C. krusei
yang rentan terhadap amfoterisin B, meskipun menunjukkan MICs yang lebih tinggi terhadap polyene
daripada C. albicans. Karena itu, dosis amfoterisin B yang lebih tinggi dari biasanya direkomendasikan
oleh Infectious Disease Society of America untuk mengobati kandidemia yang disebabkan oleh C.
glabrata dan C. krusei. Sebagai tambahan, beberapa Candida spp. termasuk C. lusiteniae dan C.
guilliermondii, di samping C. glabrata, memiliki kemampuan mengekspresikan resistensi terhadap
amfoterisin B. Antifungal lipopeptide caspofungin, juga dilaporkan pada pasien transplantasi.

Resistensi yang didapat disebabkan oleh penurunan atau kurangnya kandungan ergosterol di
membran sel. Penelitian menunjukkan membran isolat Candida yang resisten polyene memiliki
kandungan ergosterol yang relatif rendah, dibandingkan isolat yang rentan polyene. Defisiensi ini
mungkin merupakan akibat mutasi fungsi gen ERG3 atau ERG6 yang mengkode beberapa enzim yang
terlibat dalam biosintesis ergosterol.

4.4. Resistensi Flucytosine

Resistensi primer terhadap flucytosine masih rendah (<2%). Resistensi sekunder terjadi akibat
inaktivasi enzim-enzim pada jalur pyrimidine . Ambilan obat dipengaruhi oleh titik mutasi di gen FCY2
yang mengkode cytosine permease. Resistensi yang didapat terhadap flucytosine juga berasal dari titik
mutasi di gen FCY1 yang mengkode cytosine deaminase atau gen FUR1 yang mengkode uracil
phosphoribosyl transferase. Enzim-enzim ini mengkatalis konversi 5fluorocytosine menjadi 5-
fluorouracil dan 5-fluorouracil menjadi 5fluorouridine monophosphate, secara berurutan. Resistensi
ditemukan paling sering terhadap flucytosine adalah akibat mutasi gen FUR1. Beberapa titik mutasi
telah ditemukan pada C. albicans, C. glabrata, dan C. Lusitaniae. Kejadian resistensi antijamur yang
cepat, toksisitas dan variabilitas formulasi yang tersedia dari beberapa agen, dan peningkatan
frekuensi infeksi Candida spp. non albicans perlu strategi pengobatan sehingga lebih efektif dan
kurang toksik.

18
4.5. Kebutuhan Akan Antjamur Baru

Strategi penanggulangan resistensi obat adalah meliputi penggunaan antijamur baru, seperti
liposomal amphotericine B, amphotericin B lipid complex, amphotericin B colloidal dispersion,
itraconazole, dan cyclodextrin itraconazole atau terapi kombinasi, sebagai contoh, amphotericin B +
flucytosine, fluconazole + flucytosine, amphotericin B + fluconazole, caspofungin + liposomal
amphotericin B, dan caspofungin + fluconazole.

Dalam perkembangan obat anti jamur, terapi alternatif mencakup penggunaan zat aktif baru
yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, sebagai produk alami, agen sintetis atau bahan polimerik yang
telah di uji coba secara in vitro. Beberapa penelitian melaporkan aktivitas ekstrak mentah tumbuhan
berfungsi melawan mikroorganisme sebagai anti jamur yang kuat. Telah dilaporkan pengobatan
kandidiasis yang berhubungan dengan alat kedokteran dengan menggunakan carvacrol, geraniol, dan
thymol. Penelitian lain, terpenoid dapat mengobati yeast C. albicans dalam bentuk hifa yang tumbuh
pada konsentrasi yang non toksik pada sel. Sehingga terpenois mungkin berguna di masa datang
tsebagai anti jamur kemoterapeutik dan sinergis dengan obat konvensional seperti fluconazole.
Komponen lain dengan aktivitas antimikologi yang diperoleh dari tumbuhan adalah saponins dan
alkaloids. Organisme laut, jamur endofitik dan mikroorganisme lingkungan terrestrial juga sumber
yang spesifik anti jamur, walaupun lebih sedikit. Penelitian lain juga telah melaporkan aktivitas
antimikroba dari komponen anthracycline, peptides, pyrones, lipopeptides, dan terpenoids .

Anti jamur meliputi agen sintetis non polimer diklasifikasikan ke dalam empat kelompok yaitu
pertama kompleks N,N-dimethyl biguanide berbasis kimia. mempunyai toksisitas rendah dan dapat
digunakan sebagai agen spektrum luas yang potensial. Kelompok kedua berasal dari senyawa struktur
anti jamur tradisional, memiliki aktivitas antimikroba lebih baik dari struktur aslinya. Kelompok ketiga
dibentuk dari peptida sintesis, yaitu human lactoferrin derived peptide ditoleransi baik pada uji
preklinis dan uji klinis. Kelompok terakhir meliputi senyawa yang berasal dari produk alami
semisintesis seperti senyawa dari echinocandins: micafungin sodium, anidulafungin, caspofungin
acetate, dan pneumocandin. Agen ini menunjukkan fungsi optimal pada penggunaan parental,
kelemahannya derivat echinocandin tidak diabsorbsi optimal pada penggunaan peroral sehingga
digunakan hanya untuk pemberian IV. Senyawa enfumafungin adalah triterpeneglycoside baru yang
bekerja menghambat (1,3)-β-D-glucan synthase. Beberapa produk sintesis yang berasal dari
enfumafungin sekarang dalam pengembangan untuk optimalisasi aktivitas anti-jamur in vivo dan
efikasi oral.

Sumber ketiga senyawa anti-jamur, bernama material polimerik dapat diklasifikasikan dalam 7
kelompok yaitu polimer dengan 4 atom nitrogen yang berbeda dalam struktur yaitu aromatik atau
struktur heterosiklik, cationic conjugated polyelectrolytes, 4 atom nitrogen pada rantai utama, block
copolymers, dan synthetic dan dendrimeric peptides. Semuanya menunjukkan efektifitas terhadap
beraragam mikroorganisme sesuai efek grup amonium quartenary. Peptida antimikroba, diantaranya

19
yaitu arylamide dan phenylene ethynylene backbone polymers yang berasal dari polynorbornene
bergantung pada strukturnya, berperan sebagai antimikroba dan aktivitas hemolitik rendah,
polymethacrylate dan polymethacrylamide dengan gugus rantai hidrofobik dan kationik. Aktivitas
antimikroba lain berasal dari aktivitas superfisial (surfactan) didasarkan senyawa polimer yang
mengandung fluorine. Polimer yang mengandung halogen, dimana halogen adalah pusat proses
inhibisi, seperti phenylmethacrylate polymers degan kandungan clorine . Halogen dapat membentuk
ikatan kovalen dengan nitrogen yang menghasilkan polimerik N-halamines dengan aktivitas
antimikroba spektrum luas tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan.

Soykam et al (2011) menganalisa chelates yang bekerja sebagai anti mikroba yang berbeda
seperti N-vinylimidazole copolymerized dengan phenacylmethacrylate atau 1,3-thiazol-2-yl-carbamoyl
methyl methacrylate dengan Cd (II), Cu (II), Ni (II), Kompleks Ni(II) menunjukkan peningkatan aktivitas
daripada ion Cu(II) dan CO(II). Namun kurang efektif dibandingkan fluconazole.

Kompleks lainnya yang mengandung Cu(II) dilaporkan memiliki aktivitas anti-jamur yang baik
karena ikatan elektrostatik terhadap DNA jamur. Imidazole, polimer dan copolimer dengan efektivitas
antimikroba bergantung pada struktur polimerik. Polimer dapat berisi organik antimikroba dan
senyawa anorganik. Agen antimikroba organik yaitu chlorhexidine telah digabungkan menjadi
mikropartikel polimerik, menjadi hidrogel polimerik untuk memodulasi pelepasan obat. Penelitian lain
menggabungkan triklosan ke nanopartikel polimerik. Agen anorganik antimikroba sering
menggabungkan logam kepada polimer, seperti perak. Logam ini menyebabkan toksisitas lebih tinggi
pada mikroorganisme daripada sel mamalia. Nanocomposite perak telah dilaporkan pada literatur
berdasarkan nanopartikel yang mengandung perak seperti silver-zirconium phosphate nanoparticles
atau silver zeolites. Senyawa anorganik yang dimuat kepada polimer adalah perunggu, partikel
perunggu memiliki aktivitas antimikroba, meskipun jarang diteliti dibanding perak.

Agen-agen telah dicoba secara in vitro pada candida, meskipun demikian, secara umum belum
berguna untuk terapi klinis, dalam hal ini, ada 3 agen yang menjanjikan yaitu E1210, albaconazole, dan
isavuconazole. E1210 adalah anti jamur spektrum luas dengan mekanisme menghambat biosintesis
glycosylphosphatidylinositol jamur. Efikasi oral E1210 dievaluasi dalam model murine pada candidiasis
orofaring dan diseminata. Hasilnya menunjukkan E1210 secara signifikan mengurangi sejumlah
candida pada mulut dibandingkan terapi kontrol dan survival dari tikus yang diinfeksi candida, respon
terapi tergantung pada dosis.

Albaconazole adalah triazole oral baru dengan spektrum luas farmakokinetik unik dan toleransi
yang baik. Telah dibuktikan bahwa senyawa ini sangat efektif in vitro melawan ragi patogen dan pada
hewan yang terinfeksi candidiasis sistemik. Bioavailabilitas oral 80% pada tikus dan 100% pada anjing.
Uji pada manusia menunjukkan albaconazole diabsorbsi dengan cepat dan menunjukkan parameter
farmakokinetik yang baik dengan efikasi terapetik dosis tunggal albaconazole ≥ 40 mg lebih efektif dari

20
150 mg fluconazole untuk terapi candidiasis vulvovaginal. Albaconazole saat ini dalam uji klinis fase II.
Dengan toksisitas rendah ketika diberikan pada hewan dan manusia.

Isavuconazole (metabolit aktif larut air adalah isavocunazonium) adalah merupakan triazole
larut air generasi kedua terbaru dengan aktivitas spektrum luas, termasuk pada strain yang resisten
azole. Penelitian pada tikus netropeni yang terinfeksi candida diseminata menunjukkan hasil terapi
yang signifikan mengurangi kerusakan ginjal pada tikus yang terinfeksi C. tropikalis dan toksisitas pada
otak pada tikus yang terinfeksi C. krusei. Anti jamur kelompok azole ini saat ini dalam penelitian fase
III, pada pasien dengan kandidiasis sistemik. Formulasi oral dan iv menunjukkan profil farmakokinetik
dan farmakodinamik yang baik. Obat ini berpotensi menjadi agen penting untuk terapi infeksi jamur
invasif, karena aktivitas invitro yang luas dan poten, profil farmakokinetik yang baik, dan tidak ada efek
samping yang berat.

21
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

1. Kejadian Invasive fungal infections (IFIs) meningkat dalam 30 tahun terakhir karena kemunculan
HIV, virus influenza, beberapa keadaan imunodefisiensi antara lain : transplantasi organ, kanker,
defek genetik, dan kondisi autoimun.

2. Invasive fungal infections (IFIs) menjadi penyebab utama morbiditas dari populasi yang rentan,
karena lebih 90% IFIs telah terjadi pada individu imunosupresi.

3. Diagnosis IFIs terdiri atas dua kriteria probable dan possible, kriteria tersebut berguna untuk
mendiagnosis IFIs lebih dini pada populasi beresiko.

4. Tata laksana IFIs dapat diberikan anti jamur yang secara mekanisme kerja dapat digolongkan ke
dalam 5 kelompok besar, untuk pemilihan obat dan sedian tergantung atas etiologi jamur dan
klinis IFIs.

5. Terapi jamur resisten dilakukan dengan mengkombinasikan anti jamur golongan yang berbeda.

6. Obat Anti IFIs baru adalah E1210, albaconazole, dan isavuconazole, meskipun masih dalam
penelitian lanjutan.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan skrining IFIs pada pasien imunosupresif yang di rawat di RSUP Dr. M Djamil
Padang untuk mencegah terjadinya peningkatan angka kematian.

DAFTAR PUSTAKA

22
1. Ascioglu S, Rex JH, Pauw BD, Bennett JE, Defining Opportunistic Invasive Fungal Infections in
Immunocompromised Patients with Cancer and Hematopoietic Stem Cell Transplants: An
International Consensus. Clinical Infectious Diseases 2012;34:7-14.

2. Guo HX, Xiang MF, Qiang F, Xin MW, Yu HJ. Impact of invasive fungal infection on outcomes of
severe sepsis: a multicenter matched cohort study in critically ill surgical patients. Critical Care
2008, 12:R5.

3. Edwards JE Jr. Invasive Candida infections. N Engl J Med. 2011;324: 1060-1062.

4. Ramana KV, Kumar MV, Rao SD, Akhila R, Sandhya, et al.Pulmonary Cryptococcosis
Secondary to Bronchial Asthma Presenting as Type I Respiratory Failure- A Case Report
with Review of Literature. Virol Mycol, 2012 1:107.

5. Chandrasekar PH, Alaganden G, Manavathu E. Aspergillus: an Increasing Problem in Tertiary


Care Hospitals. Clinical Infectious Diseases, 2008; 30, 984-985.

6. Kontoyiannis DP, Marr KA, Park BJ. Prospective Surveillance for Invasive Fungal Infections in
Hematopoietic Stem Cell Transplant Recipients, 2001-2006: Overview of the Transplant
Associated Infection Surveillance Network (TRANSNET) Database. Clin Infect Dis. 2010;
50:1091-1100.

7. Lackner M, Sybren GDH. Scedosporium spp.: Emerging Agents of Systemic Disease. J Invasive
Fungal Infect. 2011; 5(2):43-7.

8. Tania AB, Raad RA, Dandachi D, Souha SK, Zeina AK. Three Cases of Mucormycosis from the
Middle East: Diferent Risk Factors Leading to Diferent Outcomes. J Invasive Fungal Infect
2011; 5(4):118-22.

9. Kabangila R, Semvua K, Rambau P, Jackson P, Mshana SE, Jaka H. Pulmonary Histoplasmosis


Presenting as Chronic Productive Cough, Fever, and Massive Unilateral Consolidation in a 15-
year-old Immune-Competent boy: a Case Report Journal of Medical Case Reports 2011; 5:374.

10. Cruz R, Vieille P, Oschilewski D. Sporothrix globosa isolation related to a case of


lymphocutaneous sporotrichosis. Rev Chilena Infectol. 2012; 29(4):401-5

11. Stephenie Y. Wong N, Wong KF, “Penicillium marnefei Infection in AIDS,” Pathology
Research International, vol. 2011; 10-15.

12. Basiri K, Meidani M, Rezaie F, Soheilnader S, Fatehi F. A rare case of Trichosporon brain
abscess, successfully treated with surgical excision and antifungal agents. Neurol Neurochir
Pol.2012; 46(1):92-5.

23
13. Barber GR, Brown AE, Kiehn TE, . Catheter -related Malassezia furfur fungaemia in
immuocompromised patients. Am J Med. 2003; 95: 365-370.

14. Hatori H, Inoue C, Tomita Y, Kanbe T. A case of oral geotrichosis caused by Geotrichum
capitatum in an old patient. Jpn J Infect Dis .2007;60: 300-311.

15. Chandler F, Wats J. Mycotic, Actinomycotic, and Algal Infections. In Kissane J (ed)
Anderson’s Pathology, 9th ed. C.V. Mosby, St. Louis,2006: 391-432.

16. Hahn-Ast C, Glasmacher A, Mückter S. Overall survival and fungal infection-related mortality in
patients with invasive fungal infection and neutropenia after myelosuppressive chemotherapy
in a tertiary care centre from 1995 to 2006. J Antimicrob Chemother.2010; 65:761-768.

17. Vandepute P, Ferrari S, Coste A. Antifungal resistance and new strategies to control fungal
infections. International Journal of Microbiology. 2012; 1-26.

18. Hogan L, Klein BS, Levitz SM. Virulence Factors of Medically Important Fungi. Clin Microbiol
rev 2006;9(4): 469-488.

19. Bien CM , Espenshade PJ. Sterol Regulatory Element Binding Proteins in Fungi: Hypoxic
Transcription Factors Linked to Pathogenesis Eukaryotic Cell 2010, 9(3):352.

20. Yoder OC, Turgeon BG. Fungal genomics and pathogenicity. Current Opinion in Plant Biology
2008, 4:315-321.

21. Thiel R. Systemic mycoses: An overview for modern natural health professionals. The Original
Internist, 2010; 17(3):119-12.

22. Walsh T, Hiemenz J, Pizzo PA. Evolving risk factors for invasive fungal infections:All neutropenic
patients are not the same.Clinical Infectious Diseases, 2004; 18: 793-798.

23. Segal BH, Romani LR. Invasive aspergillosis in chronic granu- lomatous disease. Med Mycol
2009; 47:S282-S290.

24. Bašková L, Buchta V. Laboratory diagnostics of invasive fungal infections: an overview with
emphasis on molecular approach. Folia Microbiol.2012 57:421-430.

25. Cuenca-Estrella M, Bassetti M, Lass-Flörl C, Rácil Z, Richardson M, Rogers TR Detection and


investigation of invasive mould disease. J Antimicrob Chemother 2011; 66:i15-i24.

26. El-Mahallawy HA, Shaker HH, Ali Helmy H, Mostafa T, Razak Abo-Sedah A. Evaluation of pan-
fungal PCR assay and Aspergillus antigen detection in the diagnosis of invasive fungal infections
in high risk paediatric cancer patients. Med Mycol 2006;44:733-739.

24
27. Park C, Kwon EY, Shin NY, Choi SM, Kim SH, Park SH, Lee DG, Choi JH, Yoo JH. Evaluation of
nucleic acid sequence based amplification using fluorescence resonance energy transfer (FRET-
NASBA) in quantitative detection of Aspergillus 18S rRNA. Med Mycol 2011; 49:73-79.

28. Spiess B, Seifarth W, Hummel M, Frank O, Fabarius A, Zheng C, Mörz H, Hehlmann R, Buchheidt
D .DNA microarray-based detection and identification of fungal pathogens in clinical samples
from neutropenic patients. J Clin Microbiol 2007;45:3743-3753.

29. Borman AM, Linton CJ, Oliver D, Palmer MD, Szekely A, Johnson EM. Rapid molecular
identification of pathogenic yeasts by pyrosequencing analysis of 35 nucleotides of internal
transcribed spacer 2. J Clin Microbiol 2010; 48:3648-3653.

30. Bille E, Dauphin B, Leto J, Bougnoux ME, Bereti JL, Lotz A, Suarez S, Meyer J, Join-Lambert O,
Descamps P, Grall N, Mory F, Dubreuil L, Berche P, Nassif X, Ferroni A. MALDI-TOF MS
Andromas strategy for the routine identification of bacteria, mycobacteria, yeasts, Aspergillus
spp. and positive blood cultures. Clin Microbiol Infect. 2012.

31. Benson JM, Nahata MC, Clinical use of systemic antifungal agents. Clinical Pharmacy, 1998;
7(6): 424-438.

32. Barret JP, Vardulaki KA, Conlon C. A S ystematic review of the antifungal effectiveness and
tolerability of amphotericin B formulations,” Clinical Therapeutics, 2003; 25(5):1295-1320.

33. Marco F, Pfaller MA, Messer SA, Jones RN. Anti- fungal activity of a new triazole, voriconazole
compared with three other antifungal agents tested against clinical isolates of filamentous
fungi,” Medical Mycology, 2008; 36(6):433-436.

34. Jabra MA, Falkler WA, Timothy FM .Fungaln Biofilms and Drug Resistance. Emerging
infectious Diseases. 2004; 10 (1): 14-19.

35. Tournu H, Van Dijck P. Candida Biofilms and the Host: Models and New Concepts for
Eradication. International Journal of Microbiology, 2012, 1-16.

36. Wüthrich M, Deepe Jr. GS, Klein B. Adaptive Immunity to Fungi. Annu Rev Immunol. 2012; 30:
115-148.

37. Bourgeois, C., Majer, O., Frohner, I. E., Tierney, L, Kuchler, K. Fungal Attacks on Mammalian
Hosts: Pathogen elimination requires sensing and tasting. Curr. Opin. Microbiol. 2010; 13:401-
408.

38. Iliyan DI, Funari VA, Taylor KD. Interactions between commensal fungi and the C-type lectin
receptor Dectin-1 influence colitis. Science. 2012 ; 336(6086): 1314-1317.

25
39. Loebnitz CM, Ostermann H, Franzke A, Loefler J. Immunological Aspects of Candida and
Aspergillus Systemic Fungal Infections. Interdisciplinary Perspectives on Infectious Diseases.
2013;234;712-19

40. Carvalho, A.. Polymorphisms in Toll-like receptor genes and susceptibility to pulmonary
aspergillosis. J. Infect. Dis. 2008; 197:618-621.

41. Said-Sadier, N., Padilla, E., Langsley, G. Ojcius, D. M.Aspergillus fumigatus stimulates the NLRP3
inflammasome through a pathway requiring ROS production and the Syk tyrosine kinase. PLoS
ONE 2010; 5: e10008.

42. Vega K, Chitin MK. Chitinase Responses, and Invasive Fungal Infections. International Journal
of Microbiology Volume 2012, Article ID 920459, 10 pages.

43. Plantinga, T. S. Genetic variation of innate immune genes in HIV-infected african patients with
or without oropharyngeal candidiasis. J. Acquir. Immune Defic. Syndr. 2010; 55: 87-94.

44. Cunha, C. Dectin-1 Y238X polymorphism associates with susceptibility to invasive aspergillosis
in hematopoietic transplantation through impairment of both recipient- and donor- dependent
mechanisms of antifungal immunity. Blood 2010; 116:5394-5402.

45. Garcia-Solache, MA, Casadevall, A. Global warming will bring new fungal diseases for
mammals. M Bio .2010

46. Marr K. Fungal infections in oncology patients: update on epidemiology, prevention, and
treatment. Cur Opin Oncol. 2010:22:138-142.

47. Maschmeyer G, Paterson T. New immunosuppressive agents and risk for invasive fungal
infections. Curr Infec Dis Reps. 2009;11:435-438

48. Caira M, Girmenia C, Maria R. Invasive fungal infections in patients with acute myeloid
leukemia and in those submited to allogeneic hematopoietic stem cell transplant: who is at
highest risk? Eur J Haem. 2008; 81:242-243.

26

You might also like