You are on page 1of 12

Penyakit Inflamasi Kronik Pada Saluran Cerna Bagian Bawah Kiri

Riama Sihombing
102012185

Falkutas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
riamasihombing7@gmail.com

Pendahuluan

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi kronik yang melibatkan saluran
cerna, bersifat remisi dan relaps/kambuhan, dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum
diketahui jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, yaitu Kolitis Ulseratif (KU, Ulcerative
Colitis), Penyakit Crohn (PC, Crohn’s Disease), dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut,
maka dimasukkan dalam kategori Indeterminate Colitis. Hal ini untuk secara praktis
membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya yang telah diketahui penyebabnya
seperti infeksi, iskemia dan radiasi.

Skenario

Seorang perempuan berusia 35 tahun datang ke poliklinik umum dengan keluhan saat BAB
kotorannya bercampur darah berwarna merah segar 4-5 kali sejak 3 hari yang lalu.

Pembahasan

Anamnesis

Kolitis adalah peradangan akut atau kronik yang mengenai kolon. Kolitis berhubungan dengan
enteritis (peradangan pada intestinal) dan proktitis (peradangan pada rektum).
Berikut adalah hal-hal yang perlu ditanyakan saat anamnesis :

1. Kapan terjadi perubahan kebiasaan buang air besar ? Bagaimana konsitensinya : adakah
darah atau lendir?

1
2. Apakah pasien mengalami nyeri abdomen? Jika “Ya”, dimana? Apakah berhubungan dengan
defekasi?
3. Apakah pasien mengalami demam, penurunan berat badan, anoreksia, atau tanda-tanda
anemia?
4. Apakah pasien mengalami intoleransi / alergi makanan?
5. Pada serangan berat apakah gejalanya menunjukkan hipovolemia/ abdomen akut?
6. Pernakah ada perubahan gejala ? Waspadai insidensi karsinoma setelah 5-10 tahun penyakit
aktif.1
Pemeriksaan Fisik

Setelah melakukan anamnesis, harus dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik terdiri dari
pemeriksaan tanda- tanda vital, inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pertama adalah
pemeriksaan tanda- tanda vital seperti suhu, tekanan darah, frekuensi pernapasan, dan nadi. Lalu
dilakukan inspeksi. Inspeksi merupakan proses dari melihat saja tanpa melakukan apa- apa. Lihat
apakah adanya pucat, ikterus atau limfadenopati, apakah pasien kurus atau obesitas. Ketiga
adalah melakukan palpasi abdomen. Tanyakan jika ada nyeri atau nyeri tekan, sangat berhati-
hatilah terutama jika ada. Lihat wajah pasien saat memeriksa adanya nyeri atau nyeri tekan.
Lakukan palpasi semua area abdomen. Setiap massa atau kelainan harus dicatat degan teliti
mengenai ukuran, posisi, bentuk, konsistensi, lokasi, tepi, monilitas saat respirasi, dan
pulsatilitas. Lakukan auskultasi utnuk mendengarkan bising usus (terdengar atau tidak, normal/
tidak, hiperaktif, bernada tinggi, berdenting (menunjukkan obstruksi)). Lalu dilakukan
pemeriksaan untuk mengetahui apakah ada asites. Distensi abdomen, pekak pada pemeriksaan
pekak berpindah.

Pada pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum pasien. Apakah pasien
tampak sakit ringan atau sakit berat. Kemudian perhatikan bentuk tubuh pasien, apakah pasien
tampak kurus atau bergizi buruk.

Untuk menyingkirkan diagnosis banding periksa apakah pasien memiliki tanda-tanda seperti
iritis, anemia, distensi abdomen atau nyeri tekan abdomen atau fistula. Pada auskultasi periksa
bunyi usus.

2
Pemeriksaan Penunjang

A. Gambaran Laboratorium
Adanya abnormalitas parameter laboratorium dalam hal kadar hemoglobin, leukosit,
LED, trombosit, C-reactive protein, kadar besi serum dapat terjadi pada kasus IBD, tetapi
gambaran demikian juga dapat ada pada kasus infeksi. Tidak ada parameter laboratorium
yang spesifik untuk IBD. Sebagian besar hanya merupakan parameter proses inflamasi
secara umum atau dampak sistemik akibat proses inflamasi gastrointestinal yang
mempengaruhi proses digesti/absorpsi.
Juga tidak terdapat perbedaan yang spesifik antara gambaran laboratorium PC dan KU.
Data laboratorium lebih banyak berperan untuk menilai derajat aktifitas penyakit dan
dampaknya pada status nutrisi pasien. Penurunan kadar Hemoglobin, Hematokrit dan besi
serum dapat menggambarkan derajat kehilangan darah lewat saluran cerna. Tingginya
laju endap darah dan C reactive protein yang positif menggambarkan aktifitas inflamasi,
serta rendahnya kadar albumin mencerminkan status nutrisinya yang rendah.
Spesimen feses dapat diperiksa untuk menilai ada tidaknya bakteri patogen atau parasite.
Berbagai petanda serologic dicoba dikaitkan untuk menunjang diagnosis IBD.
Antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) banyak dikaitkan dengan PC dan KU.
B. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi mempunyai peran penting dalam diagnosis dan penatalaksanaan
kasus IBD. Akurasi diagnostik kolonoskopi pada IBD adalah 89% dengan 4% kesalahan
dan 7% hasil meragukan.
Pada dasarnya KU merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon secara difus dan
kontinu, dimulai dari rectum dan menyebar/progresif ke proksimal. Data dari beberapa
Rumah Sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi KU adalah 80% pada rectum dan
rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis) dan 8% melibatkan seluruh kolon
(pan-colitis). Sedangkan PC bersifat transmural, segmental dan dapat terjadi pada saluran
cerna bagian atas, usus halus ataupun kolon. Dari data yang ada, dilaporkan 11% kasus
PC terbatas pada ileo-caecal, 33% ileo-kolon dan 56% hanya di kolon. Daerah ileo-caecal
merupakan daerah predileksi untuk beberapa penyakit yaitu PC, TBC, amoebiasis. Dari
data yang ada dilaporkan bahwa lesi kolonoskopik terbatas pada ileo-caecal disebakan
oleh 17,6% PC, 23,5% TBC, 17,6% amoebiasis dan 35,4% karena kolitis infektif.

3
Kapsul endoskopi dapat dipakai untuk menvisualisasikan lumen usus halus pada PC, tapi
harus dipertimbangkan risiko bila terdapat striktur usus halus dapat menimbulkan retensi
kapsul dan berdampak timbulnya obstruksi usus.
C. Radiologi
Teknik pemeriksaan radiologi kontras ganda merupakan pemeriksaan diagnostic pada
IBD yang saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda dapat
memperlihatkan lesi striktur, fistula, mukosa yang ireguler, gambaran ulkus dan polip,
ataupun perubahan distensibilitas lumen kolon berupa penebalan dinding usus dan
hilangnya haustrae. Interpretasi radiologik tidak berkorelasi dengan aktifitas penyakit.
Pemeriksaan radiologic merupakan kontraindikasi pada KU berat karena dapat
mencetuskan megakolon toksik. Foto polos abdomen secara sederhana dapat mendeteksi
adanya dilatasi toksik yaitu tampak lumen usus yang melebar tanpa material feses
didalamnya. Untuk menilai adanya keterlibatan usus halus dapat dipakai metode
enteroclysis yaitu pemasangan kanul nasogastric sampai melewati ligamentum Treitz
sehingga barium dapat dialirkan secara kontinu tanpa terganggu oleh kontraksi pilorus.
Peran Computed Tomography (CT) scan dan ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada
PC dalam mendeteksi adanya abses ataupun fistula.
D. Histopatologi
Spesimen yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostik dari pada spesimen
yang diambil secara biopsi perendoskopik. Terlebih lagi bagi PC yang lesinya bersifat
transmural sehingga tidak terjangkau dengan teknik biopsi perendoskopik. Gambaran
khas untuk KU adalah adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel mononukleus dan
polimorfonuklear di lamina propria. Sedangkan pada PC adanya granuloma tuberkuloid
(terdapat pada 20-40% kasus) merupakan hal yang karakteristik disamping adanya
infiltrasi sel makrofag dan limfosit di lamina propria serta ulserasi yang dalam.

Working Diagnosis

Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali dengan
demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit yang ringan, bisa terdapat
satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa
manifestasi sistemik.

4
Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan, berdasarkan frekuensi
diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang terjadi dan laju endap darah.
Perjalanan penyakit kolitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun
dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan
pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama
hanya melibatkan lapisan mukosa. Secara endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis ulseratif
relatif mudah dengan menilai gradasi berat ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang
terlibat. Pada kolitis ulseratif, terdapat reaksi radang yang secara primer mengenai mukosa
kolon. Secara makroskopik, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik.
Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada
daerah tersisa mukosa yang normal.2

Differential Diagnosis

 Diverkulitis
Divertikulitis adalah peradangan pada satu atau lebih divertikula dalam saluran
pencernaan. Divertikulitis adalah kantong kecil yang menggembung dan dapat terbentuk
di mana saja di sistem pencernaan, termasuk lambung, kerongkongan dan usus kecil.
Namun, divertikula paling sering ditemukan dalam usus besar. Divertikula yang umum,
terjadi pada orang setelah memasuki usia 40 tahun. Bila Anda memiliki peradangan pada
divertikula, kondisi ini dikenal sebagai diverticulosis.
Penyebab peradangan atau infeksi pada divertikula ini tidak jelas. Satu teori menyatakan
bahwa divertikulitis disebabkan oleh peningkatan tekanan dalam usus besar dapat
melemahkan dinding divertikula, yang menyebabkan infeksi. Teori lain menyatakan
bahwa bukaan sempit divertikula bisa menjebak kotoran, yang dapat menyebabkan
infeksi. Atau halangan dalam pembukaan sempit divertikulum dapat mengurangi suplai
darah ke daerah yang menyebabkan peradangan.
Tanda-tanda umum dan gejala diverticulitis meliputi: 1. Nyeri yang sering tiba-tiba,
parah dan terletak di sisi kiri bawah perut 2. Perubahan kebiasaan buang air besar 3.
Nyeri perut 4. Demam 5. Mual dan muntah 6. Sembelit 7. Diare 8. Kembung 9.
Pendarahan dari dubur.

5
Divertikulitis dalam membedakannya dengan KU cukup sulit, baik secara klinis ataupun
radiografi. Keduanya dapat menyebabkan demam, nyeri abdomen, leukositosis,
meningkatnya ESR, obstruksi parsial, dan fistula. Satu-satunya cara membedakan adalah
dengan dilakukannya endoskopi, karena pada diverkulitis tidak terjadi perubahan mukosa
yang drastis seperti pada KU, serta pada divertikulitis dapat terlihat adanya lubang
kantong-kantong yang terlihat dari lumen usus. Namun harus tetap diingat bahwa
endoskopi dilakukan ketika pasien sedang tidak dalam masa diare, karena ditakutkan jika
divertikulitis sedang dalam fase akut, maka ketika dilakukan endoskopi dapat terjadi
perforasi.3
 Kolitis Infeksi
Kolon merupakan organ target infeksi tersering pada system gastrointestinal. Gejala
kolitis infeksi bervariasi, dari asimptomatik, ringan, diare yang sembuh sendiri, sampai
kolitis toksik fulminant. Diagnosis dan terapi yang dini sangat penting dalam mencegah
perburukan penyakit.
Banyak organisme yang berkaitaan sebagai penyebab colitis infeksi ini, yaitu mulai
bakteri, parasite, jamur, dan virus. Pembahasan ini difokuskan pada kolitis infeksi yang
sering ditemukan di Indonesia sebagai daerah tropic, yaitu kolitis amoeba, shigellosis,
dan kolitis tuberculosis. Di samping itu dibahas pula kolitis pseudomembran yang
timbulnya terkait dengan pamakaian antibiotik, dan infeksi E.coli pathogen yang
dilaporkan sebagai salah satu penyebab utama diare kronik diberbagai kota besar di
Indonesia.
 TBC Usus
Penyakit TBC usus adalah salah satu jenis penyakit yang menahun yang berarti sudah ada
dan terjadi dengan perlahan berat. Selain itu juga, jika TBC paru biasanya akan
menyebabkan penderita menjadi susah bernapas karena organ pernapasan yang
mengalami serangan serangan bakteri dan juga pada TBC usus maka kuman ini juga akan
menyerang usus. Selain itu, selain organ usus yang diserang penyakit TBC adalah seperti
otak, ginjal, dan juga saluran pencarnaan, tulang, kelenjar getah bening dan juga yang
lainnya. Gejala TBC usus adalah :
Demam
Nafsu makan yang menurun

6
Berat badan yang menurun
Nyeri perut
Adanya benjolan di dalam perut
Susah buang air besar
Radang usus buntu
 Penyakit Crohn (PC)3
Pada PC, proses inflamasi bersifat transmural, jadi melibatkan semua lapisan dinding
usus, sehingga meningkatkan resiko perforasi maupun dalam proses kelanjutannya
menimbulkan proses fibrosis, fistulasi, abses dan striktur. Berbeda dengan KU, PC dapat
terjadi pada semua bagian saluran cerna. Lebih kurang 35% terjadi di ileo-caecal, 28% di
usus halus, 32% hanya melibatkan kolon, 1-4% berada di gastroduodenal dan lebih
kurang 18% berlokasi di perianal.
Pada PC selain gejala umum diatas adanya fistula merupakan hal yang karakteristik
(termasuk perianal). Nyeri perut relatif lebih mencolok. Hal ini disebabkan oleh sifat lesi
yang transmural sehingga dapat menimbulkan fistula dan obstruksi serta berdampak pada
timbulnya bacterial overgrowth. Secara endoskopik penilaian aktivitas penyakit KU
relatif mudah dengan menilai gradasi berat ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian
usus yang terlibat. Tetapi pada PC ha tersebut lebih sulit, terlebih bila ada keterlibatan
usus halus (tidak terjangkau oleh teknik pemeriksaan kolonoskopi), sehinnga dipakai
kriteria yang lebih spesifik (Crohn’s Disease Activity Index) yang didasari oleh adanya
penilaian demam, data laboratorium, manifestasi ekstraintestinal, frekuensi diare, nyeri
abdomen, fistulasi, penurunan berat badan, terabanya masa intraabdomen dan rasa sehat
pasien.

Gambaran Klinis4

Diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi klinis IBD
yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstra intestinal seperti artritis, uveitis,
pioderma gangrenosum, eritema nodusum dan kolangitis. Disamping itu tentunya disertai dengan
gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti
gangguan nutrisi. Gambaran klinis KU relatif lebih seragam dibandingkan gambaran klinis pada
PC. Hal ini disebabkan distribusi anatomik saluran cerna yang terlibat pada KU adalah kolon,

7
sedangkan pada PC lebih bervariasi yaitu dapat melibatkan atau terjadi pada semua segmen
saluran cerna, mulai dari mulut sampai anorektal.

Perjalanan klinik IBD ditandai oleh fase aktif dan remisi. Fase remisi ini dapat disebabkan oleh
pengobatan tetapi tidak jarang dapat terjadi spontan. Dengan sifat perjalanan klinik IBD yang
kronik-eksaserbasi-remisi, diusahakan suatu kriteria klinik sebagai gambaran aktifitas penyakit
untuk keperluan pedoman keberhasilan pengobatan maupun menetapkan fase remisi. Secara
umum Disease Activity Index (DAI) yang didasarkan pada frekuensi diare, ada tidaknya
perdarahan per-anum, penilaian kondisi mukosa kolon pada pemeriksaan endoskopi, dan
penilaian keadaan umum, dapat dipakai untuk maksud tersebut.

Etio-Patogenesis

Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun penjelasannya yang memadai
mengenai pola distribusinya. Tidak dapat disangkal bahwa factor genetic memainkan peran
penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada anak kembar dan adanya keterlibatan
familial. Teori adanya peningkatan permeabilitas epitel usus, terdapatnya antineutrophil
cytoplasmic autoantibodies, peran nitric oxide, dan riwayat infeksi (terutama Mycobacterium
paratuberculosis) banyak dikemukakan. Yang tetap menjadi masalah adalah hal apa yang
mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya kompleks, antara interaksi antigen
eksogen, kemudahan masuk antigen (termasuk permeabilitas usus) dan kemungkinan disregulasi
mekanisme imun pasien IBD. Secara umum diprakirakan bahwa proses pathogenesis IBD
diawali oleh adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon, yang terjadi pada
individu yang rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek imun, lingkungan, sehingga
terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus. Merokok akan meningkatkan risiko
terjadinya PC tapi bersifat protektif terhadap timbulnya KU.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada IBD terdapat disregulasi respon imunologik mukosa
terhadap antigen mikroba komensal pada host yang genetik rentan dan dimodifikasi oleh peran
faktor lingkungan.

8
Epidemiologi5

Prevalens tertinggi di negara-negara Amerika Utara, Eropa Utara, dan Inggris, sementara di Asia
cukup rendah. Insidens tertinggi terjadi pada decade kedua dan ketiga kehidupan, dan puncak
kedua pada usia 50-80 tahun. Tidak ada perbedaan insidens antara laki-laki dan perempuan.
Angka kejadian KU umumnya lebih tinggi disbanding PC. Data epidemiologi di Indonesia
belum pernah dipublikasikan, namun laporan RSCM tahun 1991-1996 menyebutkan bahwa KU
lebih tinggi kekerapannya pada pasien yang dirujuk untuk kolonoskopi atau dengan kecurigaan
colitis. Data juga menunjukkan bahwa IBD menyusun 25,9% pasien yang dirujuk dengan diare
kronik, berdarah, dan nyeri perut.

Penatalaksanaan

Mengingat bahwa etiologi dan pathogenesis IBD belum jelas, maka tujuan umum terapi adalah
tercapainya fase remisi penyakit dan berusaha memperpanjang masa remisi tersebut. Disamping
itu juga, tujuan terapi adalah mencegah terjadinya komplikasi.

 Obat Golongan Kortikosteroid


Sampai saat ini obat golongan glukokortikoid merupakan obat pilihan untuk PC (untuk
semua derajat) dan KU derajat sedang dan berat. Pada umumnya pilihan jatuh pada
prednisone, metilprednisolon (bentuk preparat peroral) atau steroid enema. Dosis rata-
rata steroid yang banyak digunakan untuk mencapai fase remisi adalah setara dengan 40-
60 mg prednisolone, yang kemudian dilakukan tapering dose setelah remisi tercapai
dalam waktu 8-12 minggu.
 Obat Golongan Asam Amino Salisilat
Obat yang sudah lama dan mapan dipakai dalam pengobatan IBD adalah preparat
sulfasalazine yang merupakan gabungan sulpiridin dan aminosalisilat dalam ikatan azo.
Obat ini memiliki efek anti-inflamasi lokal, secara khusus pada kolon, dan dapat
diberikan secara rektal atau oral.
 Obat Golongan Imunosupresif
Obat golongan ini seperti 6-mercaptopurin (6-MP), azathioprine, siklosporin,
methotrexate dan obat golongan Anti-Tumor Necroting Factor (TNF).

9
Dosis standar azathioprine 2-2,5 mg/kg/hari dan 6-MP 1-1,5 mg/kg/hari. Methotrexate
adalah intimetabolik folat yang dapat menginduksi remisi PC (pada dosis 25 mg
perminggu intramuscular atau subkutan) dan mempertahankan remisi pada dosis lebih
rendah (15 mg perminggu). Siklosporin digunakan sebagai usaha alur akhir terapi
medikal dalam perawatan rumah sakit, mempunyai efek pendek dan mempunyai
toksisitas yang membatasi untuk penggunaan jangka panjang.

Terapi bedah : peran terapi bedah terutama bila pengobatan konservatif/medikamentosa gagal
atau terjadinya komplikasi (perdarahan, obstruksi ataupun megakolon toksik).

Komplikasi

Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi:

Perforasi usus yang terlibat.


Terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis.
Megakolon toksik (terutama pada KU).
Perdarahan.
Degenerasi maligna.

PC sering menimbulkan komplikasi akibat adanya lesi penetrasi dan stenosis yang menimbulkan
perforasi, abses, fistulasi dan obstruksi gastrointestinal. Keterlibatan usus halus juga dapat
berdampak pada malabsorpsi yang menimbulkan anemia. Predileksi PC pada ileo-caecal juga
dapat menganggu proses re-absorpsi empedu.

Kanker kolorektal merupakan risiko jangka panjang pada KU. Terdapat beberapa faktor risiko
termasuk lama dan panjang usus terlibat, derajat inflamasi, riwayat kanker dalam keluarga dan
adanya kolangitis sklerosing primer. Risiko terjadinya kanker biasanya pada 8-10 tahun
perjalanan sakit. Diperkirakan risio terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13%.

Prognosis

Pada dasarnya, penyakit IBD merupakan penyakit yang bersifat remisi dan eksaserbasi. Cukup
banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan dalam jangka waktu yang lama.

10
Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respons terhadap
pengobatan konservatif.

Kesimpulan

Kolitis Ulserativa merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus besar mengalami
peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut dan demam. Kolitis
ulserativa bisa dimulai pada umur berapapun, tapi biasanya dimulai antara umur 15-35 tahun.
Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa tidak selalu mempengaruhi seluruh ketebalan dari
usus dan tidak pernah mengenai usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon
sigmoid (ujung bawah dari usus besar) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau seluruh usus
besar.

Prognosis dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respon terhadap pengobatan
konservatif.

11
Daftar Pustaka

1. Ndraha Suzanna. Bahan Ajar Gastroenterohepatologi. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas


Kedokteran Ukrida; 2013. hal. 59-68.
2. Roggeveen MJ, Tismenetsky M, Shapiro R. Best cases from the AFIP: ulcerative colitis.
RadioGraphics; 2006.p.26.
3. Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. Harrison’s principles of internal
medicine. Volume 2. 18th ed. USA: The McGrawHill Companies; 2012. p. 2477-87.
4. Setiati Siti, Alwi Idrus, Sudoyo AW, Marcellus Simadibrata, Setyohadi B, Syam AF.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. Edisi ke-6. Jakarta: InternaPublishing;
2014.h.1817.
5. Tanto Chris, Liwang Frans, Hanifati Sonia, Pradipta Eka Adip. Kapita selekta
kedokteran. Jilid 1. Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius; 2014.h.598.

12

You might also like