Professional Documents
Culture Documents
REPUBLIK INDONESIA
Memperbarui Kebijakan
Sektor Perhubungan
A Background Paper
Dukungan Terhadap
RENSTRA 2015-2019
BAB I. P E N D A H U L U A N ............................................................................................... 2
1.1. Pengantar ................................................................................................................ 2
1.2. Merancang Masa Depan .......................................................................................... 3
1.3. Politik Transportasi Indonesia .................................................................................. 4
1.4. Transportasi Bagian dari Solusi ................................................................................. 6
i
6.2. Peralihan Ekonomi Global ...................................................................................... 59
6.3. Sea- Borne Trade ................................................................................................... 60
6.4. Asean Connectivity ................................................................................................ 61
6.5. Tantangan Daya Saing Global ................................................................................. 62
ii
11.3. Peran Pemerintah Dalam Transportasi Perkotaan ................................................ 99
11.4. Evaluasi Transportasi Perkotaan......................................................................... 101
11.5. Kebijakan Transportasi Perkotaan ...................................................................... 103
11.6. Target Pengembangan Transportasi Perkotaan .................................................. 105
11.7. Membangun Kembali Kebijakan Transportasi Perkotaan .................................... 106
iii
BAGIAN KE- 1
PERENCANAAN
PEMBANGUNAN NASIONAL
SEKTOR PERHUBUNGAN
Dari waktu ke waktu, gunung-gunung yang biru menjulang, bentangan sawah yang menghijau,
dan pohon nyiur yang tinggi melambai, selalu nampak sama dan konsisten. Mereka berdiri tegak
disana dalam harmoni besar di tanah dan di air Indonesia, gugusan pulau dan kepulauan terbesar
di dunia. Mereka memegang teguh konsistensi dan kepatuhan yang amat tinggi terhadap prinsip-
prinsip keseimbangan alam raya super-kolosal, diwahyukan oleh Kekuasaan Yang Tertinggi, Sang
Pencipta Alam Raya. Akan tetapi tengoklah kehidupan manusia dibawahnya, di permukaan
planet bumi ini. Lihatlah kelembagaan buatannya, perilaku politiknya, dan paradigma yang
mendikte berbagai-bagai aspek kehidupannya. Lihatlah kehidupan ekonomi, sosial, dan politik
dari masyarakatnya. Mereka sudah berubah sangat jauh. Pendulum waktu telah mengayun keras
dari satu ekstrim ke ekstrim lainnya, mengubah negeri secara drastik dan cepat, membangun
harapan baru namun sekaligus membangkitkan ketidakpastian, dan menempatkan negeri dalam
penantian panjang. Indonesia telah banyak berbuat dalam kurun waktu yang sangat cepat:
demokrasi, desentralisasi, privatisasi, pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam percaturan
politik internasional. Namun Indonesia tetap saja masih membutuhkan perubahan cepat dari
banyak aspek sosial ekonomi bangsa. Salah satunya adalah pembangunan infrastruktur ekonomi
termasuk transportasi untuk mendukung bangkitnya perekonomian bangsa menuju Negara
ekonomi maju beberapa tahun kedepan. Indonesia 2015 tidak pernah akan sama lagi dengan
Indonesia 1965 ketika sumberdaya alam, sumberdaya mineral, minyak dan gas bumi, hutan, dan
laut masih terpendam rapih di bumi dan air Indonesia. Setengah abad sudah berlalu dan cara kita
memandang negeri dan membangunnya sudah harus berubah. Kita berlomba dengan waktu
(sd110412).
1.1. PENGANTAR
Akan tetapi secara jujur harus diakui bahwa Indonesia adalah juga sebuah bangsa yang juga
sedang dalam penantian (A Nation in Waiting). Sejak 1998, lima pemerintahan dengan empat
Presiden telah memerintah negeri ini. Pemerintahan yang baru dengan Presiden yang baru akan
segera tampil di tampuk kekuasaan pada akhir 2014 dan mulai efektif bekerja di tahun 2015.
Ekonomi di tahun-tahun 2015 dan seterusnya diproyeksikan tetap tumbuh positif di kisaran 6,0-
6,3% dalam perjalanan bangsa menuju perekonomian besar di dunia. Akan tetapi masih banyak
masalah-masalah bangsa ini yang belum dapat terselesaikan dan makin menumpuk sejalan
dengan bergulirnya waktu. Semua masalah tersebut akan menumpuk di meja kerja
pemerintahan yang baru dan terlepas dari banyak prestasi ekonomi yang tercapai selama ini,
mereka menjadi pekerjaan rumah yang tertunda (pending matters) yang belum mencapai
penyelesaian yang tuntas sampai saat ini.
Indonesia 2015 tentu tidak sama dengan Indonesia 1965 ketika sumberdaya alam, mineral,
hutan, dan minyak dan gas bumi masih cukup berlimpah dan belum banyak dieksploitasi secara
besar-besaran dan ketika kompetisi global belum memperlihatkan kekuatan adidayanya.
Setengah abad sudah berlalu dan tahun 2015 adalah tahun dimana sumberdaya alam dan
mineral Indonesia sudah banyak tergerus dan Indonesia sudah berada ditengah-tengah
kompetisi global yang makin memperlihatkan keniscayaan yang perkasa. Setengah abad telah
Mewujudkan Indonesia yang maju dan sejahtera melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi
tidak terlepas dari ketersediaan jaringan dan sistem infrastruktur transportasi yang sanggup
1
Indonesia sudah 25 tahun berada di dalam kategori negara berpendapatan menengah bawah dan sudah masuk Middle
Income Trap. Saat ini PDB per kapita Indonesia baru mencapai USD 5.170. Waktu tinggal 5 tahun lagi paling lama untuk
segera masuk ke tingkatan negara berpenghasilan menengah atas dengan PDB per kapita USD 7.250-11.750. KOMPAS,
16 Desember 2013.
2
Undang Undang No. 25/2004, diberlakukan pada 5 Oktober 2004 mengatur proses perencanaan pembangunan
nasional pada tingkatan nasional dan daerah.
3
Undang Undang No. 17/2007 tentang RPJPN diberlakukan pada Februari 2007, dua tahun setelah terbitnya Peraturan
Presiden No.7/2005 tentang RPJMN I, menggambarkan situasi pemerintahan baru dimana agenda administrasi dan
agenda politik tidak beriringan satu sama lain.
Era pemerintahan baru 2015-2019 dengan RPJMN III dan RENSTRA III dipandang sangat strategis
sekaligus sangat kritis. Strategis dalam pengertian inilah era dimana infrastruktur, transportasi,
dan sistem pelayanan publik yang profesional harus dibangun secara radikal untuk menutup
defisit dan kesenjangan yang sudah berakumulasi bertahun-tahun. Ini adalah pemerintahan
dengan masa tugas 5 atau 10 tahun kedepan yang mengemban tugas untuk membangun
transportasi sesuai dengan amanat undang-undang rencana pembangunan jangka panjang. Kritis
dalam pengertian bahwa kegagalan untuk membangun infrastruktur transportasi akan
membawa dampak negatif yang sangat besar bagi kemajuan perekonomian, daya saing global,
dan tingkat kesejahteraan masyarakat bangsa.
Politik transportasi Indonesia adalah sikap politik, persepsi, dan pandangan yang berujung
kepada opsi kebijakan utama di dalam arus utama pembangunan nasional dimana
pembangunan dan penyediaan transportasi, infrastruktur, sarana, dan jasa pelayanannya,
menjadi program pembangunan yang mengemuka dan bahwa opsi transportasi didukung oleh
4
KKPPI adalah Komite Kebijakan Percepatan Peyediaan Infrastruktur dengan Menko Perekonomian sebagai Ketua dan
menteri-menteri terkait sebagai anggota. Dibentuk pertama kali pada tahun 1981 dengan Keppres 81/2001 tentang
Komite Kebijakan Percapatan Penyediaan Infrastruktur, kemudian diperbarui dengan Peraturan Presiden Nomor 42
Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2011.
Dalam misi yang pertama tersebut diatas, RPJPN mengarahkan pencapaian sasaran pokok
transportasi sebagai tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan
berkesinambungan sehingga pendapatan per kapita pada tahun 2025 mencapai tingkat
kesejahteraan setara dengan negara-negara berpenghasilan menegah, dengan tingkat
pengangguran terbuka tidak lebih dari 5% dan jumlah penduduk miskin tidak lebih dari 5%.
Selain itu juga dalam misi ini, RPJPN mengarahkan tersusunnya jaringan infrastruktur
perhubungan yang andal dan terintegrasi satu sama lain. Dalam misi yang kedua, yakni
pembangunan yang merata dan berkeadilan, RPJPN mengamanatkan tingkat pembangunan yang
makin merata ke seluruh wilayah yang diwujudkan dengan peningkatan kualitas hidup dan
kesejahteraan masyarakat, termasuk berkurangnya kesenjangan wilayah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam misi yang ketiga, RPJPN mengamanatkan terbangunnya
jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia.
Indonesia juga diproyeksikan oleh beberapa lembaga internasional sebagai satu dari beberapa
negara ekonomi maju di dunia beberapa dekade dari sekarang. Sesungguhnya, Indonesia
memiliki semua prakondisi dan prasayarat untuk menjadi negara maju di dunia: sumberdaya
alam, sumberdaya mineral, gas, minyak bumi, hutan, kekayaan laut, penduduk yang besar dan
makin berpendidikan, tenaga kerja, dan tujuan pariwisata alam. Akan tetapi setelah merdeka
selama 68 tahun, semua kekayaan di bawah tanah, di lautan, di hutan belantara, di udara, dan
disemua sudut-sudut geografis kepulauan Nusantara ini nampaknya belum secara cerdik dan
cendekia dimanfa’atkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bangsa dan rakyat Indonesia.
Sebagian dari kekayaan itu sudah sangat tergerus, dieksploitasi oleh sebagian kecil kelompok
kepentingan bagi tujuan-tujuan ekonomi jangka pendek. Kekayaan sumber daya maritim kita
yang begitu besar yang merupakan keunggulan komparatif (comparative advantages) kita
5Undang-Undang No.17/2007 adalah dasar hukum yang kuat bagi pelaksanaan pembangunan nasional jangka panjang
2005-2025, terdiri dari empat pembangunan nasional jangka menengah, dua yang pertama sudah hamper berlalu. Dua
berikutnya segera menjelang. Pemerintah berkewajiban melaksanakan prinisp-prinsip kebijakan nasional dari Undang-
Undang ini. Patut diketahui bahwa Undang-Undang ini mengamanatkan pembangunan infrastruktur dan transportasi
dengan melaksanakannya melalui kerjasama pemerintah dengan partisipasi sektor swasta.
Dengan luas wilayah mencapai 2,02 juta kilometer persegi, Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 230 juta jiwa saat ini, terdiri dari
lebih dari 17.000 pulau-pulau besar dan kecil membentang sepanjang 5.000 kiometer dan
dengan lebih dari 80.000 kilometer garis pantai dan 3,1 juta kilometer persegi wilayah perairan.
Dilihat dari berbagai sisi pandang, banyak yang dapat dipercakapkan tentang sistem transportasi
di negara kepulauan terbesar di dunia ini. Akan tetapi secara sangat sederhana dapatlah
disimpulkan bahwa kesatuan ekonomi dan persatuan politik dari negara kepulauan ini hanya
dapat dilestarikan dengan sistem jaringan infrastruktur transportasi yang efisien, handal, dan
terintegrasi. Tanpa itu Indonesia hanyalah kumpulan dari pulau-pulau yang dipisahkan oleh
keragaman etnik budaya, ego kedaerahan, dan primordialisme sempit.
Pemerintahan, Presiden, kabinet, dan menteri-menteri datang silih berganti tiap 5 tahun sekali.
Dalam era Orde Baru program pembangunan berkali-kali dan secara berjenjang diperbincangkan
mulai dari rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang) tingkat desa, kecamatan, kabupaten,
propinsi, dan tingkat nasional. Mekanisme tahunan tersebut saat ini juga diperdebatkan dalam
forum musyawarah perencanan pembangunan seperti Musrenbangda, Musrenbangpus, dan
Musrenbangnas. Inti dari semua pembicaraan dan koordinasi tersebut adalah sinkronisasi,
persamaan pandangan, dan konsensus dari rencana pembangunan tingkat daerah yang akan
menerima dana bantuan dan alokasi dana perimbangan dari pusat dengan rencana pemerintah
pusat yang diwakili oleh setiap kementerian dan lembaga pusat yang menerima dana
APBN/DPA. Hasil perbincangan juga berkali-kali dituangkan kedalam dokumen resmi
pemerintah: Repelita, Propenas, RPJPN, RPJMN, RKP dan dokumen operasional lainnya. Sejalan
dengan itu program dan proyek-proyek pembangunan berkali-kali dibahas dimulai dari
penetapan indikator makro ekonomi, pagu anggaran, RAPBN, APBN-P, DAU, DAK. , Komisi DPR,
Banggar DPR, dll. Kementerian dan lembaga bersama-sama dengan DPR bekerja terus menerus,
rutin dan monoton berkesinambungan, dari satu tahun anggaran ke tahun anggaran berikutnya.
Reformasi telah berjalan selama satu setengah dekade. Pemerintahan demokratis sudah
berjalan selama lebih dari sembilan tahun. Namun masalah-masalah besar bangsa masih tetap
menjadi agenda nasional yang belum terselesaikan. Kondisi sosial politik dan perekonomian riil
masih belum pulih betul dan belum mencapai skala dan kecepatan penuh. Infrastruktur,
termasuk transportasi mengalami defisit dan kesenjangan yang sangat kronis dan laten.
Gridlocks dan bottlenecking terjadi di hampir semua lini fasilitas dan di garis depan infrastruktur
transportasi.
Mengapa kita tidak pernah bisa berhasil membangun transportasi secara cepat, masif, dan
berkesinambungan? Mengapa pembangunan infrastruktur yang begitu cepat dan mudah
dilaksanakan di negeri orang menjadi sulit, lama, dan bermasalah di negeri kita? Bukankah
ekonomi kita tumbuh dengan 6,3%-6,8% se tahun, inflasi terkendali, dan pasar modal kita adalah
yang terbaik di Asia Pasifik? Bukankah IHSG menembus batas 4.000 serta ranking kita sudah
Investment Grade? Bukankah kita sudah sefaham untuk mengembangkan Kemitraan Pemerintah
dan Swasta oleh karena APBN dan APBD selalu tidak pernah cukup-dulu, sekarang, dan kedepan-
untuk pembiayaan infrastruktur? Pertanyaan-pertanyaan ini apa boleh buat masih harus kita
kedepankan bukan dalam konotasi memprotes keadaan namun dalam konotasi membangunkan
semangat kebangsaan dan pembangunan untuk segera bangkit sebagai bangsa besar.
Kajian Latar Belakang (Background Study) ini bertujuan menyampaikan argumentasi yang
bersifat substantif dan pesan ekonomi politik yang jelas dan sahih kepada pemerintahan baru
2015-2019 tentang perlunya melakukan hal-hal yang besar dalam pembangunan ekonomi lima
tahun kedepan oleh karena sesungguhnya Indonesia sedang berlomba dengan waktu. Ini
termasuk membangun transportasi secara cepat, radikal, dan berkesinambungan untuk
menutup defisit dan mengurangi kesenjangan. Namun membangun hal-hal besar membutuhkan
argumentasi yang kuat dan pembangunan masif harus disertai dengan perubahan tatanan
peraturan dan perundang-undangan, pembaruan kebijakan yang lebih maju dan inovatif,
perubahan kelembagaan ekonomi yang akan melaksanakan pekerjaan besar tersebut,
meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kerja birokrasi dan sumberdaya manusianya,
serta membangun politik anggaran yang mendukung pembangunannya.
Laporan Kajian Latar Belakang ini menyampaikan beberapa perubahan dan atau pengayaan
kebijakan nasional sektor perhubungan sebagai masukan untuk RENSTRA 2015-2019 dengan
memperhatikan dokumen-dokumen perencanaan strategis yang sudah ada sebelumnya di
Kementerian Perhubungan. Sistematika pembahasan secara garis besar diuraikan dalam Bab-
Bab berikut ini.
Pasca Orde Baru, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan Rapat paripurna ke-1 pada
tanggal 19 Oktober 1999 dan mengeluarkan ketetapan No. TAP/IV/MPR/1999 tentang Garis-
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004. GBHN tersebut mengamanatkan agar arah
kebijakan penyelenggaraan negara dituangkan dalam Program Pembangunan Lima Tahun
(PROPENAS) yang dirinci dalam Program Pembangunan Tahunan (REPETA) yang memuat APBN
dan ditetapkan oleh Prsiden bersama dengan DPR. Repelita digantikan oleh PROPENAS yang
dipayungi oleh Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
Tahun 2000-2004, diterbitkan pada 20 November 2000. Namun periode 1998-2004 penuh
dengan pergolakan politik domestik dan pergantian pemerintahan sehingga tidak diketahui
secara jelas bagaimana kinerja dari PROPENAS selama masa pergolakan politik dari pertengahan
1998 sampai ke akhir tahun 2014.
Sejak tahun 2005 pembangunan nasional diarahkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Pada tanggal 5 Februari 2007 pemerintah menetapkan Undang Undang Nomor 17 tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025. Karena
agenda pemilihan umum dan kondisi politik yang berkembang pasca pemilihan Presiden tahun
2004, maka RPJPN ini baru ditetapkan setelah ditetapkannya Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang pertama 2005-2009. RPJPN
ditetapkan sebagai acuan nasional dalam pembangunan yang berkelanjutan setelah
ditiadakannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan diperkuatnya otonomi daerah dan
desentralisasi pemerintahan. Penetapan RPJPN sendiri diamanatkan dalam Undang Undang No.
25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Menurut UU
17/2007, RPJP terbagi kedalam empat RPJMN dan menganut paradigma perencanaan yang
visioner sehingga hanya memuat arahan secara garis besar sebagai pedoman dalam membuat
RPJM nasional, walaupun RPJMN pada saatnya harus disesuaikan dengan visi, misi, dan program
Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.
RPJPN juga menetapkan arah pembangunan ekonomi untuk mewujudkan bangsa yang berdaya
saing, antara lain dengan memperkuat perekonomian domestik yang berorientasi dan berdaya
saing global. Untuk itu industri dan jasa infrastruktur nasional, termasuk transportasi, harus
dikembangkan sesuai dengan kebijakan perekonomian nasional agar mampu mendukung
peningkatan produksi dan daya saing global sesuai dengan prinsip-prinsip internacional (the
internasional best practice). Untuk memenuhi arahan tersebut, RPJPN secara eksplisit
menetapkan bahwa peran pemerintah akan difokuskan kepada perumusan kebijakan sementara
peran swasta akan ditingkatkan untuk membangun proyek-proyek yang bersifat komersial.
Kerjasama dengan swasta, menurut RPJPN, akan diarahkan antara lain kepada pembangunan
infrastruktur transportasi.
RPJPN diamanatkan oleh Undang-Undang No. 17/2007 yang menggariskan secara eksplisit
terwujudnya sistem dan jaringan transportasi nasional yang terintegrasi, multimoda, efisien dan
maju sehingga dapat mendukung persatuan dan kesatuan ekonomi nasional dan mobilitas
perekonomian secara efisien dan handal. Pasal 3 dari UU No.17/2007 bahkan menyebutkan
secara eksplisit bahwa RPJPN merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan
Negar republic Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, yaitu untuk
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social dalam bentuk rumusan, visi,
misi, dan arah pembangunan nasional. Tugas besar ini harus dipikul oleh setiap Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Kesadaran akan pentingnya investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur dan transportasi
sebenarnya sudah ada sejak tahun 1995. Pada masa-masa sebelum krisis tahun 1997/1998,
sudah ada partisipasi swasta, termasuk swasta asing, dalam pembangunan infrastruktur seperti
pembangkit listrik, air minum, dan jalan tol, namun skema yang digunakan bukanlah Kemitraan
Pemerintah dan Swasta (KPS) yang hadir melalui tender kompetitif yang transparan dan
akuntabel serta tidak mengikuti prinsip-prinsip standar internasional. Setelah krisis dan Orde
Baru digantikan oleh Orde Reformasi, upaya untuk mempromosikan peran serta sektor swasta
dalam skema KPS dilakukan dengan pembentukan KKPPI melalui penerbitan Keppres No.
81/2001. KKPPI adalah lembaga ad-hoc antar Kementerian untuk koordinasi dan percepatan
pembangunan infrastruktur melalui KPS. KKPPI diketuai oleh Menko Perekonomian dengan
anggota semua Menteri di bidang Infrastruktur. Pada Tahun 2005, Pemerintah dan KADIN
menyelenggarakan Indonesian Infrastructure Summit, yang diikuti dengan paket Kebijakan
Bidang Infrastruktur di Tahun 2006. Ini menunjukkan adanya political will yang kuat untuk
mensukseskan pengembangan infrastruktur melalui skema KPS. Sejak itu, dimulailah proses
reformasi peraturan perundangan dan kerangka pengaturan di bidang infrastruktur, termasuk
transportasi. Peraturan perundangan di bidang transportasi telah direvisi atau diperbarui untuk
mengurangi monopoli negara dan mengarahkannya menuju ke industri dan pasar transportasi
yang lebih terbuka kepada investasi dari sektor swasta, namun sayangnya hal ini belum diikuti
dengan reformasi dan restrukturisasi kebijakan dan regulasi dalam institusi/kelembagaan
transportasi.
Sementara itu RENSTRA Kementerian Perhubungan 2005-2009 diisi oleh kegiatan pemeliharaan,
peningkatan, dan pembangunan di setiap sub sektor transportasi (darat, laut, udara,
perkeretaapian), program pengembangan SDM, litbang, SAR, dan pengembangan kapasitas
institusi. Sebagian besar program pembangunan di transportasi darat, gagal mencapai target
yang ditetapkan dalam Renstra. Di bidang ASDP sebagian besar target dapat dicapai, termasuk
rehabilitasi pelabuhan penumpang untuk mengatasi backlog. Sub sektor perkeretaapian telah
menyelesaikan beberapa program 2005-2009, termasuk target untuk mengangkut 202 juta
orang di tahun 2009 dan 18,7 milyar penumpang-km. Namun target investasi dan pendanaan
untuk prasarana dan sarana tidak dapat tercapai. Program rehabilitasi dan pemeliharaan
prasarana pelabuhan jarang yang capaiannya sesuai dengan target RENSTRA, demikian juga
dengan program reformasi dan restrukturisasi kelembagaan. Pembangunan pelabuhan
mengalami kemajuan yang signifikan, termasuk juga di bidang pelayaran. Di bidang transportasi
Pada tahun 2011, MP3EI dengan koridor ekonominya hadir dengan daftar panjang proyek
infrastruktur dan transportasi. Beberapa akan didanai APBN, sebagian kecil oleh BUMN,
sebagian besarnya oleh swasta. Pemerintah sepertinya memaksakan untuk memulai konstruksi
dari sejumlah proyek tersebut di tahun 2014. Sementara itu sektor transportasi diproyeksikan
tumbuh rata-rata 9,48% (diatas pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional 6,3%). Total investasi
yang dibutuhkan diperkirakan akan mencapai sekitar Rp. 325 triliun per tahun, di mana sekitar
Rp 292 triliun (90%) akan berasal dari swasta. Investasi swasta akan digunakan untuk membiayai
proyek airport-link, KA batubara, armada bus, kapal penyeberangan, pembangunan pelabuhan,
pembangunan kapal, pembangunan bandara, dan penambahan armada pesawat terbang.
Walaupun Kementerian Perhubungan sudah mengindikasikan banyak proyek-proyek
transportasi yang dapat dikerjasamakan dengan sektor swasta dalam PPP-Book Transportasinya,
namun RENSTRA 2010-2014 nampaknya gagal mengartikulasikan secara detail mengenai cara
mendapatkan dana dari swasta. Proyek-proyek tidak dipersiapkan sebaik-baiknya sebagaimana
kaidah proyek-proyek KPS, skema KPS tidak didiskusikan sesuai kebutuhan sektor swasta dan
simpul KPS (PPP-Node) belum berfungsi sebagaimana mestinya. Proses dan prosedur pendanaan
tetap difokuskan kepada APBN , tidak ada rencana dan aksi yang serius dan terstruktur untuk
mengimplementasikan KPS sesuai best-practice. Pusat Kemitraan di Sekretariat Jenderal
Kemenhub belum mencapai kapasitas untuk dapat melakukan tugas dalam melaksanakan
proyek KPS secara tuntas dari persiapan hingga transaksi. Perlu pemisahan penugasan secara
jelas antara Biro Perencanaan dengan Pusat Kemitraan, masing-masing untuk mengurusi dana
Pemerintah dan satunya lagi untuk KPS, namun keduanya harus dapat bekerjasama dengan baik.
RPJMN III yang akan disusun kedepan ini membawa misi besar untuk terpenuhinya ketersediaan
infrastruktur transportasi yang didukung oleh mantapnya kerjasama pemerintah dan dunia
usaha. Selain itu juga diamanatkan agar ketersediaan infrastruktur tersebut sesuai dengan
rencana tata ruang nasional ditandai oleh berkembangnya jaringan infrastruktur transportasi.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, misi besar ini menjadi beban berat bagi RPJMN III dan
RENSTRA III oleh karena beban pembangunan masa lalu yang harus diselesaikan dan beban
pembangunan kedepan yang berakumulasi untuk mencapai hasil-hasil pembangunan seperti
diamanatkan oleh RPJPN.
RPJMN IV adalah periode lima tahun terakhir dalam RPJPN yang akan dicapai melalui struktur
perekonomian makin maju dan kokoh ditandai dengan daya saing perekonomian yang
kompetitif dan berkembangnya keterpaduan antara industri, pertanian, kelautan dan sumber
daya alam, dan sektor jasa. Pada akhir 2025, kondisi maju dan sejahtera makin terwujud dengan
terselenggaranya jaringan transportasi yang andal bagi seluruh masyarakat yang menjangkau
seluruh wilayah NKRI.
RPJMN I dan RENSTRA I 2005-2009 adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional yang
pertama yang digunakan oleh pemerintahan yang baru terpilih pada Oktober 2004. Pada saat itu
tidak ada intervensi yang berarti terhadap pekerjaan teknokratik yang dikoordinasikan oleh
Bappenas dalam konsolidasi dan finalisasi naskah RPJMN I, kecuali bahwa Bappenas ditugaskan
untuk merancang Agenda Kerja Kabinet dalam 100 hari pemerintahan baru. Sementara itu
RPJMN II 2010-2014 disusun untuk program pembangunan Presiden dan pemerintahan yang
sama sehingga juga tidak ada intervensi yang sangat kuat dari pemerintah terhadap penyusunan
dan finalisasi dokumen tersebut pada tahun 2009. Oleh karena itu RPJMN II dan RENSTRA II
nampaknya disusun sebagai kelanjutan dari dokumen sebelumnya terlepas dari mandat yang
lebih progresif dari RPJPN dan amanat pembukaan pasar dan industri transportasi dari undang-
undang transportasi yang baru. Walaupun RPJMN disusun dengan kadar dan determinasi
ekonomi politik yang cukup kuat, namun determinasi dari kerja teknokratik nampak sangat
dominan dalam penyusunan naskah RPJMN I dan RPJMN II sehingga pendekatan non-linier
6
menjadi hal yang tidak memungkinkan untuk diambil . RENSTRA nampaknya juga mengambil
lintasan yang sama dengan RPJMN; dokumen perencanaan sektor ini disusun secara teknokratik
rutin dan tanpa lompatan kebijakan dan program yang berarti bagi percepatan pembangunan
dan restrukturisasi kelembagaan yang berarti.
RPJMN I, RPJMN II, dan RPJMN III ditugaskan oleh RPJPN untuk mempromosikan dan
menggunakan skema partisipasi sektor swasta (private sector participation, PSP) dalam
percepatan pembangunan transportasi. RENSTRA hendaknya juga mengambil sikap ekonomi
politik yang sama. PSP dalam sektor transportasi pada 2015-2019 harus disegerakan dan
kelembagaan serta sumberdaya manusia di Kementerian yang bertugas untuk ini harus
6 Ada 2 pendekatan yang dapat ditempuh dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan:
determinasi teknokratik dan determinasi politik. Pendekatan teknokratik sangat mempertimbangkan
kaedah akademik, logika, dan berdasarkan data masa lalu yang akurat dan informasi lainnya, sedangkan
pendekatan politik mengedepankan keberpihakan kepada suatu keadaan yang secara faktual perlu untuk
diperhatikan dan harus dicapai dalam pembangunan ekonomi. Rasio kedua pendekatan ini sangat
tergantung kepada tingkat kemajuan perekonomian suatu bangsa yang sedang membangun dan kepada
visi kebangsaan dan determinasi politik pemimpinnya dalam pembangunan itu sendiri.
Setelah mendiskusikan hal-hal tersebut diatas, adalah logis apabila perencanaan strategis sektor
perhubungan tidak menggunakan pendekatan linier dalam garis kebijakan dan perencanannya.
Dalam RENSTRA 2015-2019, khususnya dalam konteks partispasi sektor swasta, perencanaan
tidak seyogyanya hanya didasarkan atas data-data historis masa lalu saja, kemudian melakukan
regresi atau ekstrapolasi linier terhadapnya dan keluar dengan proyeksi masa depan. Proyeksi
teknokratik seperti itu menghasilkan masa depan dari masa lalu (Future of the Past). Dalam hal
pencapaian target pembangunan perhubungan dengan skema KPS, RENSTRA III harus
mengambil jalur non-linier untuk mencapai masa depan dari masa depan itu sendiri (Future of
the Future)8. Proyeksi lima tahun kedepan harus bersifat nonlinier dalam pengertian bahwa
determinasi politik dapat mewarnai perencanaan dalam rangka sektor transportasi dibangun
secara cepat, masif, dan radikal sehingga dapat segera mengisi kesenjangan dan mengurangi
defisit infrastruktur dan jasa pelayanan transportasi yang sudah sangat kronis saat ini.
Gambar 2.1 secara grafis menggambarkan suatu pemikiran akademik yang bersifat hipotetis dari
trayektori perencanaan, dikonstruksikan atas dasar pemahaman tentang situasi terkini sektor
perhubungan di Indonesia dan dengan mempertimbangkan kondisi geo-strategik global dan
spektrum jangka panjang perekonomian nasional. Lintasan yang ditempuh adalah non-linier dan
cenderung menjadi eksponensial. RENSTRA III akan mengambil posisi diatas RENSTRA II dalam
hal determinasi teknokratik dan determinasi politik. Kedua determinasi ini dituntut makin tinggi
dan RENSTRA III harus dapat menterjemahkan kedua determinasi tersebut dalam garis-garis
kebijakan dan perencanaan sektor. Ini akan sejalan dengan makin sengitnya persaingan global
dan kompleksitas dari tatanan sosial, ekonomi, dan politik domestik.
9
Dalam skenario akademik ini RPJM IV harus dipandang sebagai conjecture . Target
pembangunan jangka panjang di tahun 2025 untuk mewujudkan sistem transportasi yang maju
7 Ironi terbesar kita sebagai bangsa barangkali kenyataan bahwa elit politik dan ekonomi negeri ini memghabiskan waktu
praktis setahun penuh untuk membahas, menegosiasikan, dan menetapkan anggaran Negara setiap tahunnya yang
notabene hanya merupakan 30% dari total dana pembangunan yang diperlukan. Sedangkan kita tidak cukup member
perhatian kepada investasi sector swasta yang merupakan 70% dari total dana pembangunan.
8 The future of future adalah perencanaan merancang masa depan dari masa depan itu sendiri tanpa terlalu terikat
dengan data dan fakta masa lalu. Pendekatan ini seringkali memerlukan intervensi politik dalam pengertian bahwa kita
ingin sesuatu itu dapat dibangun di akhir masa perencanaan kalau perlu tanpa mengingat kendala biaya dan hambatan
lainnya. Pendekatan ini bersifat non-linier dan menggambarkan keseimbangan yang direncanakan antara determinasi
teknokratik dan determinasi politik.
9 Conjecture menurut New World Dictionary prediksi dari informasi atau bukti yang tidak pasti. Conjecture adalah
hipotesa yang nampaknya benar namun belum tentu terbukti benar. Terlepas dari kebenaran hipotesa, pendekatan
politik dalam conjecture diperlukan untuk merealisasikan sesuatu keadaan yang diinginkan di masa depan yang tidak
mungkin terlaksana dengan cara-cara biasa dan linier.
RPJMN III
RENSTRA Dalam 5 tahun
2015-2019 berikutnya, kita
membangun dengan
Conjecture (The
RPJMN II
Establishmnent)
RENSTRA
RPJMN I
2010-2014
RENSTRA
2005-2009
RENSTRA Kementerian Perhubungan 2010-2014, atau yang selanjutnya disebut sebagai RENSTRA
2010-2014, ditetapkan melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 7 Tahun 2010.
Proses penyusunan RENSTRA 2010-2014 tersebut melalui langkah-langkah sebagaimana terlihat
pada Gambar 3.1.
Visi
Dephub
Program Pembangunan
2010-2014 (Kebutuhan)
Memperhatikan proses kerja kerja persiapan RENSTRA 2010-2014 pada Gambar 3.1 tersebut
dapat diambil pelajaran sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
a. Proses kerja dalam bagan alir tersebut tidak secara eksplisit disebutkan bahwa penyusunan
RENSTRA 2010-2014 mempertimbangkan mandat dari RPJMN (Perpres No. 5 Tahun 2010) di
sektor transportasi, dokumen perencanaan wilayah (RTRWN, PP 26 Tahun 2008) dan
transportasi (Sistranas dan rencana induk/masterplan setiap sub sektor);
b. Idealnya terdapat proses penjaringan aspirasi masyarakat untuk mendapatkan masukan
mengenai kondisi/keadaan sektor transportasi yang diinginkan terwujud pada akhir periode
perencanaan RENSTRA 2010-2014 ini, yang selanjutnya akan dituangkan dalam Visi Dephub;
c. Tidak semua kaidah dalam Permen PPN/Bappenas No 5 Tahun 2009 tentang Pedoman
Penyusunan Renstra K/L diikuti secara persis dalam proses kerja penyusunan RENSTRA 2010-
2014, di mana:
1. Pertimbangan penyusunan Visi Dephub idealnya tidak hanya hasil evaluasi pencapaian
target kinerja tahun 2005-2009 serta target pertumbuhan dan kebutuhan investasi
Tahun 2010-2014, tetapi juga: (i) asas legal tiap sub sektor transportasi serta justifikasi
lingkup kewenangan Kementerian, (ii) struktur organisasi serta tugas pokok dan fungsi
Kementerian, (iii) perjaringan aspirasi masyarakat, serta (iv) hasil analisis identifikasi
permasalahan, potensi, kelemahan, peluang serta tantangan dalam 5 tahun ke depan10.
10
Kotak yang mengarah ke “Visi Dephub” dapat ditambahkan kotak-kotak baru, yakni: Peraturan
Perundangan Sub-Sektor Transportasi, Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kementerian, Aspirasi
Masyarakat, dan Hasil Analisis Lingkungan Strategis”.
Memperhatikan hasil review terhadap proses kerja penyusunan RENSTRA 2010-2014 di atas
terdapat beberapa kondisi kritis yang perlu diperhatikan, yakni:
a. Belum semua faktor pertimbangan yang harus dielaborasi disampaikan secara eksplisit
dalam proses kerja penyusunan Renstra 2010-2014, sehingga ada kemungkinan arah
kebijakan bidang perhubungan tidak memenuhi: (1) mandat RPJMN 2010-2014, (2) amanah
peraturan perundangan di bidang transportasi, dan (3) aspirasi masyarakat, serta bisa jadi
tidak compatible dengan (1) perkembangan lingkungan strategis, dan (2) tugas serta fungsi
Kementerian Perhubungan serta Unit Organisasi di bawahnya;
b. Terdapat “missing-link” dalam alur hubungan antara arah kebijakan (visi, misi, tujuan, dan
sasaran) dengan upaya pelaksanaannya (strategi, kebijakan, program dan kegiatan),
sehingga memperbesar resiko tidak tecapainya tujuan dan sasaran karena strategi dan
kebijakan ataupun program dan kegiatan yang diambil kurang tepat.
Atas dasar tersebut, direkomendasikan bahwa untuk penyusunan Renstra 2015-2019 sebaiknya
dilakukan penyempurnaan pendekatan, setidaknya dalam:
a. Proses penetapan arah kebijakan (visi, misi, tujuan dan sasaran) yang mempertimbangkan
seluruh faktor secara komprehensif, termasuk aspirasi publik/stakeholders;
b. Secara terstruktur dan lugas menyampaikan hubungan antara arah kebijakan tersebut
dengan strategi implementasinya (strategi, kebijakan serta program dan kegiatan) sehingga
terdapat runtutan yang jelas mengenai apa yang dituju dan apa yang akan dikerjakan untuk
mencapai tujuan tersebut dalam 5 tahun ke depan.
11
Panah ke kotak “Misi Dephub” langsung berasal dari kotak “Visi Dephub”.
12
Panah ke kotak “Tujuan Pembangunan” berasal dari “Visi Dephub” dan “Kekuatan, Kelemahan, Peluang,
Ancaman”
13
Terdapat juga panah dari kotak “Misi Dephub” ke kotak “Strategi”
14
Sesuai pasal 1 (11) PP 40/2006 kegiatan pokok didefinisikan sebagai kegiatan yang mutlak harus ada
untuk mencapai sasaran hasil dari suatu program. Sedangkan program sesuai pasal 1 (10) PP/40/2006
adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau
kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.
Tabel 3.1 memperlihatkan struktur penulisan RENSTRA 2010-2014 yang terdiri dari 8 Bab dan 10
Lampiran.
Pasal 13(1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana
Pembangunan Nasional menegaskan bahwa muatan pokok dari RENSTRA suatu
Kementerian/Lembaga (K/L) adalah: visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, serta program dan
kegiatan pokok sesuai dengan tugas dan fungsi. Oleh karena itu, sebenarnya muatan pokok dari
RENSTRA 2010-2014 berada pada Bab V yakni tentang arah kebijakan pembangunan
Kementerian Perhubungan. Adapun substansi pada bab-bab lainnya dapat dianggap sebagai
pengantar ataupun penjelasan lebih detail dari muatan pokok di Bab V tersebut.
Untuk penyusunan RENSTRA 2015-2019 sebaiknya dipisahkan antara muatan utama dari
RENSTRA dengan naskah akademik pendukungnya. Selain itu, lampiran matriks sebaiknya
dibatasi hanya pada matriks kinerja dan matriks pendanaan (dan sebaiknya bersifat indikatif).
Muatan pokok RENSTRA 2010-2014 (visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan)
diperlihatkan dalam Tabel 3.2. Terdapat beberapa diskusi yang dapat disampaikan terhadap
muatan pokok tersebut, yakni:
a. Secara teoritis kalimat “Visi” dalam RENSTRA 2010-2014 dapat dinilai sudah memenuhi
seluruh kriteria dari sebuah visi yang efektif15, yang mungkin dapat diperbaiki dari kalimat
“visi” tersebut adalah penambahan frasa positioning atau peran dari sektor transportasi
dalam skala nasional maupun dalam percaturan ekonomi global ke depan;
b. Kelima kalimat “misi” dalam RENSTRA 2010-2014 juga sudah secara komprehensif
menyampaikan upaya-upaya apa saja yang akan dilakukan untuk mencapai “visi”. Beberapa
pakar seperti Drucker (2000) dan Wheelen (2006) menyatakan bahwa misi merupakan alasan
mendasar eksistensi suatu organisasi. Merujuk pernyataan para pakar tersebut, maka misi
harus sesuai dengan ruang lingkup dari tugas dan fungsi dari organisasi pelaksananya. Jika
“misi” pada RENSTRA 2010-2014 tersebut disandingkan dengan tugas dan fungsi
Kementerian Perhubungan pada Perpres 24/2010, akan cukup sulit untuk
memadupadankannya, karena fungsi-fungsi Kementerian tidak secara langsung diekspresikan
kalimatnya dalam misi (kemungkinan karena fungsi yang dicantumkan dalam Perpres
16
24/2010 sifatnya terlalu umum) ;
c. Terdapat kerancuan mengenai acuan untuk merumuskan “tujuan” dalam RENSTRA K/L di
Indonesia. Jika merujuk pada pasal 13 (2) PP 40/2006 maka “tujuan” merupakan penjabaran
langsung dari “visi” K/L, sedangkan jika mengikuti ketentuan pada Permen PPN/Bappenas
5/2009 maka “tujuan” merupakan tindak lanjut dari misi sebagai bagian dari upaya untuk
mencapai “visi”. Jika memperhatikan kalimat “tujuan” pada RENSTRA 2010-2014 cenderung
15
Thompson, Strickland, and Gamble (2007) menyatakan terdapat 6 karakteristik dari strategic vision yang
efektif, yakni: graphic, directional, focused, flexible, feasible, desirable, dan easy to comunicated
16 Sesuai Pasal 321 dan Pasal 322 Perpres 24/2010 Kementerian Perhubungan mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan di bidang perhubungan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara, sedangkan fungsi Kementerian Perhubungan terdiri dari: (a)
perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang perhubungan, (b) pengelolaan barang
milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Perhubungan, (c) pengawasan atas
pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Perhubungan, (d) pelaksanaan bimbingan teknis dan
supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Perhubungan di daerah, dan (e) pelaksanaan kegiatan
teknis yang berskala nasional.
Dengan memperhatikan ulasan tersebut di atas, maka dalam penyusunan muatan pokok
RENSTRA 2014-2019 mendatang, penting untuk diperhatikan tentang:
a. Perlunya dibuat matriks ketelusuran antara visi, misi, tujuan, sasaran, strategi dan kebijakan,
serta program dan kegiatan yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengontrol rasionalitas
hubungan diantara elemen perencanaan tersebut;
b. Misi sebaiknya memperhatikan lebih dalam tugas dan fungsi serta kewenangan Kementerian
Perhubungan dalam penyelenggaraan sektor transportasi nasional;
c. Sasaran dibuat lebih kuantitatif/terukur untuk memudahkan dalam menyusun dan mengukur
jenis dan ukuran dari strategi dan kebijakan (termasuk program dan kegiatan) yang
diperlukan untuk mewujudkannya;
d. Perlu diaplikasikan analisis SWOT atau jenis analisis lainnya untuk merumuskan kebijakan
strategis yang perlu ditempuh dalam perioda RENSTRA 2015-2019, di mana dalam proses
tersebut harus secara serius mengelaborasi perkembangan lingkungan strategis dan isu-
strategis eksisting dan yang diperkirakan akan muncul dalam 5 tahun ke depan;
e. Meskipun nomenklatur program dan kegiatan sudah dipatok secara generik dalam peraturan
perundangan yang berlaku, akan sangat baik jika tetap diidentifikasi karakteristik pokok dari
program dan kegiatan tersebut (khususnya program/kegiatan yang dianggap sebagai
prioritas atau strategis) yang secara langsung berkaitan dengan pencapaian sasaran
pembangunan nasional di bidang transportasi.
Dari sisi penyerapan anggaran dari Tahun 2010-2012, seluruh satuan kerja di Lingkungan
Kementerian Perhubungan mampu menyerap alokasi APBN sekitar 87,62%35. Meskipun tidak
dapat dikatakan bahwa daya serapnya rendah, bagaimanapun juga kemampuan untuk
mengeksekusi anggaran harus ditingkatkan, karena keberadaan kegiatan/proyek yang gagal
dilaksanakan atau tidak tuntas pelaksanaannya, akan mempengaruhi pencapaian target kinerja
Kementerian Perhubungan.
Tabel 3.3 disampaikan kemajuan kegiatan dan alokasi pendanaan di bidang perhubungan yang
berasal dari KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta) sebagaimana tertuang dalam Renstra 2010-
2014. Total terdapat direncanakan sebanyak 20 proyek KPS dengan perkiraan dana investasi
yang dibutuhkan sekitar Rp. 98,6 Trilyun.
Hanya 2 proyek KPS yang direncanakan dalam RENSTRA 2010-2014 yang sudah mencapai tahap
konstruksi, yakni proyek rel KA Bangko Tengah – Srengsem (dilakukan oleh konsorsium yang
dibentuk oleh PT. BA) dan proyek monorel Jakarta (yang dilanjutkan kembali konstruksinya di
Tahun 2013). Selain itu, hanya 3 proyek yang sudah mencapai tahap pelelangan (yakni: jalur KA
Puruk Cahu-Bangkuang, Jalur KA Bangkuang-Lupak Dalam, dan Dermaga Tanah Ampo).
Sedangkan 15 proyek KPS lainnya masih belum menunjukkan progress yang berarti, bahkan
beberapa diantaranya diambil alih pengerjaannya oleh Pemda/Pusat seperti Bandara Kertajati,
Bandara Sentani, Bandara Juwata.
35
Rata-rata penyerapan anggaran K/L di Indonesia pada Tahun 2010 sebesar 92,1%; pada Tahun 2011
sekitar 87%, sedangkan Tahun 2012 sekitar 85,44%.
Dalam PPP Book Bappenas Tahun 2013 sebagian besar rencana KPS RENSTRA 2010-2014 tidak
muncul lagi dalam list proyek yang dikategorikan prospective maupun pontential. Ini
menunjukkan bahwa banyak proyek KPS yang di-list dalam Renstra 2010-2014 belum memadai
persiapannya secara teknis (kajian kelayakan, penyiapan dokumen lelang, dlsb). Selain
permasalahan teknis, lambatnya eksekusi dari proyek-proyek KPS tersebut juga merujuk pada
perlunya peningkatan kapabilitas lembaga pelaksananya (simpul KPS di Bappenas dan di
Kementerian) serta pelengkapan beberapa regulasi yang diperlukan untuk mendukungnya.
Terkait dengan proyek KPS, dalam RENSTRA 2015-2019 perlu dimuat (1) inisiatif baru terkait
dengan skema-skema pelibatan sumber dana swasta di sektor transportasi, (2) daftar proyek KPS
yang benar-benar telah dan akan disiapkan eksekusinya dalam 5 tahun ke depan, serta (3)
strategi dan kebijakan untuk meningkatkan kapabilitas lembaga pelaksana KPS di Kementerian
Perhubungan.
Tabel 3.4 memperlihatkan rangkuman data capaian kinerja Kementerian Perhubungan Tahun
2010-2012 untuk beberapa Indikator Kinerja Utama (IKU) yang dapat diperbandingkan dan
diagregasikan di level Kementerian. Sepengkapnya daftar capaian untuk IKU lainnya disampaikan
di Tabel 3.5. Sebagai catatan tidak semua IKU dapat diperbandingkan capaiannya antara Tahun
2010 dengan Tahun 2012 karena indikator yang dilaporkan dalam LAKIP (Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah) berbeda-beda36.
Dari Tabel 3.4 terlihat adanya kemajuan capain dari IKU Kementerian Perhubungan, di Tabel 3.5
juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Namun demikian belum dapat dikualifikasi
apakah kemajuan tersebut sudah sesuai target yang ditetapkan, karena dalam RENSTRA 2010-
2014 tidak dimuat IKU dan target capaian kinerja tidak ditetapkan secara eksplisit, dan apakah
capaian tersebut sesuai dengan kebutuhan kinerja sektor transportasi yang diharapkan untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat?
Idealnya, dalam Renstra 2015-2019, IKU dan target capaiannya dinyatakan secara jelas sehingga
akan memudahkan evaluasinya, selain itu juga memudahkan dalam merumuskan strategi dan
kebijakan yang tepat jika terdapat permasalahan dalam capaian kinerjanya setiap tahun. Namun
demikian, untuk menetapkan target capaian IKU Renstra 2015-2019 tidaklah mudah, karena
harus ada penjelasan hubungannya antara target capaian tersebut dengan target pertumbuhan
ekonomi, skala permintaan perjalanan yang harus diakomodir, serta kapasitas kelembagaan dan
SDM, serta konsekuensi pendanaan untuk mencapainya.
Bagaimanapun juga, muatan pokok dalam Renstra 2015-2019 (visi dan misi, tujuan dan sasaran,
strategi dan kebijakan, serta program dan kegiatan pokok) harus dibuat se-terstruktur dan se-
terukur mungkin.
36
Dalam Renstra tidak dimuat IKU Kementerian Perhubungan. IKU di Lingkungan Kementerian
Perhubungan baru ditetapkan pada akhir Tahun 2010 melalui PM 85/2010 (yang kemudian diganti dengan
PM 68/2012). Sehingga IKU yang dilaporkan dalam LAKIP Tahun 2010, 2011, dan 2012 menggunakan daftar
yang berbeda, sehingga tidak semuanya dapat diperbandingkan.
Berikut ini disampaikan rekomendasi pendekatan dan struktur RENSTRA 2015-2019 sebagai
tindak lanjut dari hasil evaluasi yang disampaikan sebelumnya.
Penyusunan Renstra 2015-2019 disarankan untuk mengikuti pendekatan teknis seperti pada
bagan alir di Gambar 3.2. Pendekatan teknis yang diusulkan ini sedapat mungkin sudah
disesuaikan dengan pedoman penyusunan RENSTRA K/L (Permen PPN/Bappenas 5/2009) serta
kaidah ilmiah dalam perencanaan strategis.
PROGRAM KEMENHUB
EVALUASI RENSTRA 2010-2014:
STRATEGIC ACTIONS 2015-2019
REALISASI PROGRAM & KEGIATAN
(regulation, investment,
CAPAIAN KINERJA
services)
KEGIATAN POKOK
KEMENHUB 2015-2019
Dengan pendekatan penyusunan RENSTRA 2015-2019 tersebut jelas terdapat suatu proses
kajian teknokratik yang melatarbelakangi penyusunan Renstra, dimana rumusan pokok hasil
kajian ini akan dituangkan dalam dokumen RENSTRA 2015-2019 yang resmi. Selain itu,
diharapkan bahwa: (1) Penetapan visi dan misi Kemenhub telah mempertimbangkan seluruh
aspek pertimbangan secara komprehensif, (2) Terdapat runtutan ketelusuran antara arah
kebijakan (visi dan misi, tujuan dan sasaran) dengan rencana aksi implementasinya (strategi dan
kebijakan, program dan kebijakan). Akan sangat baik jika dapat disusun suatu matriks atau
diagram yang dapat menggambarkan bagaimana hubungan substantif diantara muatan pokok
dalam RENSTRA 2015-2019, termasuk juga dengan hasil kajian teknokratiknya.
Proses tersulit dalam menyusun Renstra adalah memastikan bahwa: (1) seluruh arah kebijakan
diterima semua pihak sebagai suatu yang ilmiah, rasional, dan dibutuhkan, dan (2) target dan
Sebagaimana telah dijelaskan pada Sub Bab 3.2 bahwa sistematika dasar dari suatu RENSTRA
K/L sesuai Permen PPN/Bappenas 5/2009 hanya terdiri dari 4 Bab dan 2 Lampiran, namun
demikian ada beberapa muatan background-study yang perlu dimasukkan dalam dokumen
utama RENSTRA 2015-2019 untuk memperlihatkan keterkaitannya dengan landasan hukum,
lingkungan strategis, dan capaian RENSTRA sebelumnya. Perlu juga disampaikan detail
pembahasan bagi kebijakan yang ditujukan secara khusus (misalnya transportasi perkotaan)
serta elaborasi tentang kebijakan energi, teknologi, dan lingkungan. Direkomendasikan struktur
dokumen RENSTRA 2015-2019 sebagaimana disampaikan pada Tabel 3.6.
Detail pembahasan secara teknokratik mengenai apa saja yang perlu dipertimbangkan dan
dimasukkan sebagai muatan dari setiap Bab dari Renstra 2015-2019 tersebut dibahas secara
mendalam di bab-bab selanjutnya.
Sektor transportasi Indonesia sedang dalam proses migrasi dari monopoli negara (Public
Monopoly) kepada pembukaan pasar dan industri, dimana investasi sektor swasta dan masyarakat
dapat berperan besar dalam pembangunan dan penyelenggaraan industri dan jasa pelayanan
transportasi Indonesia. Ini dimungkinkan karena berlakunya Undang-Undang transportasi yang
baru yang memberi jalan lapang bagi terwujudnya industri transportasi nasional dimana sektor
swasta dapat berperan ikut membangun infratsruktur dan jasa pelayanan transportasi yang
selama ini hanya dilakukan oleh pemerintah dan BUMN. Pembukaan pasar dan industri
transportasi ini memerlukan beberapa perubahan dari peraturan yang lebih operasional,
kelembagaan, dan skema investasi serta pembiayaannya. Akan tetapi setelah enam tahun berlalu,
peta jalan dari migrasi tersebut belumlah terlalu jelas dan masih belum terbuka kepada publik
untuk dikonsultasikan (sd041213).
4.1. PENGANTAR
Visi Kemenhub sesuai PM 49/2008 tentang Rencana Jangka Panjang Departemen Perhubungan
2005-2025 adalah “Terwujudnya pelayanan transportasi yang handal, berdaya saing dan
memberikan nilai tambah”. Sedangkan misi Kemenhub sesuai PM 49/2008 adalah (i)
Memulihkan kinerja pelayanan jasa transportasi, (ii) Melaksanakan konsolidasi melalui
restrukturisasi dan reformasi di bidang peraturan perundang-undangan, kelembagaan dan SDM,
(iii) Meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan jasa transportasi, (iv)
Meningkatkan kapasitas dan mendorong pengembangan teknologi transportasi dalam rangka
menjamin tersedianya pelayanan transportasi yang berkelanjutan dengan kuantitas dan kualitas
yang memadai. Misi Kemenhub dalam PM 49/2008 mengalami perubahan/modifikasi dalam
RENSTRA 2010-2014 yang mengintrodusir aspek keselamatan dan keamanan.
Staf Ahli Bidang Staf Ahli Hukum Staf Ahli Staf Ahli Bidang Staf Ahli Ekonomi,
Teknologi, Energi, dan Reformasi Bidang Logistik dan Kawasan, dan
dan Lingkungan Birokrasi Keselamatan Multimoda Kemitraan
Mewujudkan sistem transportasi yang efisien, handal, dan terintegrasi merupakan satu dari
banyak tugas besar Pemerintah, kini dan yang akan datang. Selama ini, cara Pemerintah dalam
menyelenggarakan bidang perhubungan/sektor transportasi terus mengalami evolusi seiring
tuntutan perkembangan jaman.
Dengan asumsi bahwa transportasi adalah sektor yang berkaitan hajat hidup orang banyak
sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, maka dalam waktu yang sangat lama dibelakang,
tugas besar tersebut dijalankan oleh Pemerintah (dengan Dephub/Kemenhub sebagai pelaksana
utamanya) melalui penerapan monopoli negara dimana pemerintah memiliki, membiayai,
membangun, dan mengelola semua fasilitas infrastruktur dan jasa pelayanan transportasi dan
menguasai semua bisnis transportasi dari hulu ke hilir. Pemerintah kemudian mendelegasikan
sebagian hak monopolinya tersebut kepada BUMN yang mengoperasikan fasilitas transportasi
tersebut dengan menjalankan bisnis yang terintegrasi secara vertikal dari hulu ke hilir tanpa ada
partisipasi apapun dari sektor swasta.
Di banyak kasus di masa lalu, BUMN menjalankan fungsi ganda sebagai regulator dan operator.
Di masa Orde Baru, peran pemerintah dan BUMN transportasi sangat kuat sehingga kontrol
terhadap kualitas pelayanan praktis tidak berjalan dan bisnis dijalankan tanpa transparansi dan
akuntabilitas publik. Pada saat itu pengelolaan transportasi oleh pemerintah nampak lebih
menggunakan pendekatan sosial-politik dan keamanan sehingga industri, pasar, dan jasa
pelayanan transportasi terisolasi dari ranah ekonomi pasar dan tarif ditetapkan oleh pemerintah
untuk tujuan sosial politik dan prinsip cost-recovery bahkan tidak dikenal. Walaupun monopoli
publik dapat dipandang sebagai praktek skala penuh dari kewajiban dan pelayanan Pemerintah
terhadap kebutuhan publik atas jasa pelayanan transportasi (Public Service Obligation),
ketertutupan sektor dan BUMN dalam pengelolaan dan pelayanan publik memberikan indikasi
bahwa monopoli publik tidak pernah dapat mencapai tahapan dimana pelayanan publik dapat
diselenggarakan secara efisien, handal, aman, dan nyaman. Transportasi sebagai industri yang
dapat menjadi motor penggerak pembangunan, bahkan tidak berkembang; satu dan lain hal
oleh karena monopoli negara menutup peluang bagi adanya pembaruan dalam modernisasi dan
Belakangan sudah muncul kesadaran bahwa kemampuan Pemerintah semakin terbatas dan
perkembangan di belahan dunia lain yang membuktikan bahwa penyediaan layanan publik di
sektor transportasi dapat dilakukan lebih baik dengan mengikuti prinsip ekonomi pasar. UU
baru di sektor transportasi yang ditetapkan pasca reformasi 1998 (UU 23/2007 Perkeretaapian,
UU 17/2008 Pelayaran, UU 1/2009 Penerbangan, UU 22/2009 LLAJ) telah membuka seluas-
luasnya penyediaan layanan transportasi kepada pasar.
Beberapa tantangan besar yang menghadang sektor perhubungan pasca Undang-Undang baru
dan garis kebijakan untuk menghadapi tantangan tersebut harus secara tegas dinyatakan dalam
RENSTRA 2015-2019. Salah satu dari hal yang menarik untuk disimak barangkali adalah
bagaimana sikap dan perilaku sektor transportasi terhadap perubahan Undang-Undang dan
bagaimana sektor beranjak dari dominasi sektor publik ke pembukaan pasar transportasi. Salah
satu instrument yang penting dalam keterbukaan pasar dan pengembangan industri transportasi
adalah peran serta sektor swasta. Banyak varian dan ada spektrum yang cukup lebar dalam pola
Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS) di sektor transportasi. Yang paling sederhana, KPS bisa
berbentuk hanya kontrak manajemen dalam megoperasikan infrastruktur publik, skema KPS
konvensional, KPS Aliansi Strategis, dan investasi swasta penuh (private financing initiatives)
khususnya untuk fasilitas khusus. Pembangunan transportasi di koridor-koridor ekonomi,
kawasan ekonomi khusus, dan di sistem logistik nasional membuka peluang sangat besar bagi
partisipasi sektor swasta ini. Opsi ini sekarang harus menjadi isu penting dalam garis kebijakan
RENSTRA 2015-2019 agar cita-cita Nasional untuk masuk ke jajaran negara sejahtera dapat
diwujudkan.
Bab ini melakukan peninjauan agak menyeluruh dari sektor transportasi, termasuk sistem
perencanaan yang melekat seperti SISTRANAS, RPJP Perhubungan, RENSTRA, Rencana Induk
Subsektor, dan dokumen perencanaan lainnya. Tinjauan agak mendalam dilakukan terhadap
setiap subsektor dengan harapan ada benang merah yang dapat ditarik secara jelas dari setiap
analisis yang dibuat untuk melihat seberapa jauh integrasi sektor perhubungan dapat
dikorelasikan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya.
Setelah beberapa dekade transportasi dalam “pelukan” monopoli negara, saat ini sektor
transportasi menjalani proses perubahan besar dalam misinya melayani pergerakan ekonomi
nasional dengan melakukan pembaruan kerangka peraturan dan perundang-undangannya.
Perubahan tersebut mulai terjadi pada subsektor jalan ketika pada tahun 2004 pemerintah
menerbitkan UU 38/2004 tentang Jalan menggantikan UU 13/1980. Sejalan dengan itu dilakukan
pemisahan fungsi regulator dan operator jalan tol dari PT Jasa Marga. Sampai tahun 1987, PT
Jasa Marga adalah satu-satunya operator tol di Indonesia untuk melakukan investasi dan operasi
jalan tol melalui APBN dan pinjaman luar negeri serta obligasi perusahaan. Proses perubahan ini
diatur dalam PP 15/2005 tentang Jalan Tol dan PP 36/2007 tentang Jalan (kemudian PP 15/2005
diperbarui oleh PP 44/2009 dan kemudian diperbarui lagi dengan PP 43/2013). Kerangka hukum
dan peraturan tersebut mengamanatkan pembentukan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang
37
kemudian dibentuk dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 295/PRT/M/2005 . Ini
menyebabkan PT Jasa Marga berubah menjadi operator yang bekerja sesuai dengan lisensi dan
konsesi dari pemerintah dan BPJT, sama seperti operator jalan tol lainnya. Sementara itu Bina
Marga adalah satu-satunya kelembagaan pemerintah yang mengelola jalan nasional non-tol.
Pemisahan antara regulator dan operator serta keterbukaan terhadap pasar sudah diamanatkan
dalam Undang-Undang transportasi yang baru. Sektor perhubungan mulai melakukan
pembaruan hukum pada tahun 2007 dengan diterbitkannya UU 23/2007 tentang
Perkeretaapian, yang kemudian diikuti oleh UU 17/2008 tentang Pelayaran, UU 1/2009 tentang
Penerbangan, dan terakhir UU 22/2012 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
UU 23/2007 tentang Perkeretaapian membuka pasar dan industri perkeretaapian nasional bagi
investasi sektor swasta, baik dalam penyelenggaraan perkeretaapian umum maupun
37
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) adalah badan non-struktural yang berada langsung dibawah dan
bertanggungjawab kepada Menteri Pekerjaan Umum. BPJT memiliki kewenangan untuk melaksanakan
sebagian dari kewenangan Pemerintah dalam mengelola jalan tol, yang meliputi regulasi, manajemen,
bisnis, dan pengawasan terhadap entitas bisnis yang membangun jalan tol untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat.
Hal yang sama juga terjadi di transportasi udara, UU 1/2009 tentang Penerbangan memiliki
beberapa tujuan yang diantaranya berkesuaian dengan prinsip ekonomi pasar, diantaranya
peningkatan daya saing industri angkutan udara dan pengurangan praktek persaingan usaha
yang tidak sehat. UU 1/2009 memandatkan dibentuknya Otoritas Bandara (OB) merupakan salah
satu kelembagaan baru yang dibentuk oleh Menteri Perhubungan untuk tugas-tugas
melaksanakan prinsip-prinsip keselamatan, keamanan, dan pelayanan bandara. Dalam UU
1/2009 peran Pemda dibuka untuk mengembangkan usaha-usaha tertentu di bandar udara yang
tidak terkait langsung dengan keselamatan penerbangan. Peran swasta dibuka lebih lebar, tidak
terbatas hanya pada layanan jasa angkutan dan pelayanan jasa kebandarudaraan, tetapi juga
pada kegiatan usaha penunjang angkutan udara dan pelayanan jasa terkait bandar udara.
Sedangkan untuk layanan navigasi, UU 1/2009 memandatkan untuk dibentuk BLU (Badan
Layanan Umum) yang bernama Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan yang
sifat pengusahaannya hanya cost-recovery.
Pemerintah juga memperbarui Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)
dengan menerbitkan UU 22/2009. Pasal 29 UU 22/2009 memberikan mandat kepada
pemerintah untuk membentuk Dana Preservasi Jalan yang dikelola dengan prinsip
berkelanjutan, akuntabilitas publik, transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian (prinsip cost
recovery untuk pemeliharaan jalan). Undang-undang ini juga mengharuskan Pemerintah Pusat
dan Daerah untuk menyusun Rencana Induk Jaringan lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RIJLLAJ)
pada tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Peluar swasta dibuka lebar oleh UU
22/2009 dalam: penyediaan layanan angkutan, penyediaan fasilitas pendukung LLAJ (trotoar,
laujur sepeda, tempat penyeberangan, halte, fasilitas penyandang cacat dan lansia), terminal
barang khusus, pengujian kendaraan bermotor, dan diklat SDM.
Table 4.1 dibawah ini memperlihatkan pembaruan kerangka hukum sektor transportasi, berikut
dengan analisa kondisi terkini dari pelaksanaan peraturan tersebut dalam rangka pemisahan
fungsi operator dan regulator serta keterbukaan industri terhadap pasar.
Namun sangat disayangkan bahwa setelah enam tahun penerbitan undang-undnag baru, migrasi
dari monopoli negara kepada keterbukaan pasar dan industri transportasi masih mengalami masa-
masa sulit untuk dilaksanakan (lihat ulasan pada Tabel 4.1). Mandat Undang-Undang dalam
pembentukan kelembagaan baru dalam bisnis dan industri transportasi masih belum berjalan dan
petahana BUMN masih sangat tertutup untuk pembukaan pasar dan merubah skema bisnisnya
menjadi lebih berdaya menghadapi persaingan. Pemerintah juga nampaknya tidak terlalu
bersemangat untuk mempromosikan perubahan dan secara cepat dan lugas membentuk
kelembagaan baru tersebut untuk menarik minat swasta dalam berinvestasi. Sektor swasta tentu
tidak punya insentif apapun kalau pasar dan industri transportasi masih secara “de-facto” bersifat
monopoli. Apakah baik pemerintah maupun BUMN tidak punya insentif samasekali bagi adanya
perubahan, terlepas dari amanat undang-undang?
Transportasi Indonesia sedang menjalani tahap awal migrasi dari monopoli oleh negara menjadi
keterbukaan pasar. Ini ditandai oleh terbitnya Undang-Undang baru yang meninggalkan monopoli
dan membuka pasar, industri, dan jasa infrastruktur transportasi bagi investasi sektor swasta. Dalam
Undang Undang yang baru sektor swasta diberikan peluang yang besar untuk melakukan investasi
pada proyek-proyek yang bersifat komersial dan “cost recovery”. Dengan variasi skema pembiayaan
seperti BOT, BOO, dan BLT, sektor swasta dapat memiliki, mengelola, dan mengoperasikan fasilitas
infrastruktur transportasi dan jasa pelayanannya yang selama ini menjadi domain sektor publik.
Undang-undang yang baru juga memberi ruang bagi kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam
situasi dimana proyek-proyek tersebut kurang layak secara finansial namun sangat layak secara
ekonomi. Pembangunan transportasi ke depan harus didukung oleh investasi swasta. Oleh karena itu
sektor transportasi harus mempersiapkan diri dalam kelembagan dan sumberdaya manusia yang
mampu memikul tugas ini.
Pembangunan infrastruktur transportasi membutuhkan pembiayaan dalam skala yang masif dan
dalam periode yang panjang. Pemerintah diharapkan akan terus meningkatkan investasi dan
pembelanjaan sektor publik-nya dalam tahun-tahun mendatang sehingga dapat mencapai 5% PDB
atau bahkan 7% PDB. Pemerintah mempunyai kewajiban (Public Sector Obligation) untuk
membangun infrastruktur dasar yang layak dan diinginkan secara ekonomi tetapi tidak layak secara
komersial. Kemitraan pemerintah dan swasta (Public Private Partnership) sangat diperlukan untuk
membangun proyek-proyek yang layak secara ekonomi namun kurang layak secara finansial. Ada 2
opsi yang dapat diambil: (1) PPP Konvensional dan (2) Aliansi Strategis. Sementara itu proyek-proyek
yang layak secara ekonomi dan finansial dapat diserahkan sepenuhnya kepada pembiayaan sektor
swasta (Private Financing Initiatives, PFI). Ini termasuk proyek-proyek khusus yang dapat bersifat
unsolicited dan sebenarnya tidak memerlukan lelang kompetitif. Keterbatasan sumber daya
Masa depan sistem transportasi Indonesia akan dipengaruhi oleh empat faktor (4 building blocks):
demokrasi, desentralisasi, globalisasi, dan privatisasi, dengan masing-masing konsekuensinya
sebagai berikut:
i. Demokrasi ekonomi dan pembangunan infrastruktur khususnya dengan skema PPP menuntut
adanya transparansi dan akuntabilitas publik. Oleh karena itu diperlukan “good public and
corporate governance”.
ii. Desentralisasi memberi pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota dana-dana alokasi
daerah dan kewenangan penuh dan peran strategis dalam pembangunan wilayah dan
infrastruktur, termasuk pembangunan transportasi. Desentralisasi membutuhkan kapasitas
fiskal, kemampuan kelembagaan di daerah, dan pengetahuan yang cukup dari penyelenggara
negara di tingkat lokal untuk membangun daerah dan menyejahterakan rakyatnya.
iii. Globalisasi ekonomi, arus finansial global, kompatibilitas global, dan daya saing global akan
menjadi ikon pembangunan ekonomi dan produktivitas nasional.
iv. Privatisasi akan mengedepankan sektor swasta dengan segala kemampuan manajemen,
teknologi, dan sumberdaya manusia nya dalam pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang
dalam tahap awal dimulai dengan Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS).
Transportasi Indonesia adalah portofolio yang besar dalam perekonomian nasional dan kinerjanya
untuk mendukung mobilitas perekonomian oleh karenanya akan sangat tergantung kepada kegiatan
dan permintaan pasar ekonomi, apakah dalam skala global, regional, atau nasional dan lokal. Di
tataran domestik, pertumbuhan ekonomi dan membesarnya jumlah golongan menengah akan
Transportasi Indonesia sesungguhnya sudah lama melakukan antisipasi pembangunan sektor yang
makin dinamis dan kompleks dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 49/2005
di bulan Agustus 2005. Peraturan Menteri ini meluncurkan Sistem Transportasi Nasional
(SISTRANAS), sebuah dokumen perencanaan dan kebijakan sektor perhubungan yang menguraikan
pernyataan kebijakan yang komprehensif di sektor transportasi, yang seyogyanya dipergunakan
sebagai pedoman dalam penyusunan perencanaan dan kebijakan teknis dibawahnya. SISTRANAS
adalah sistem terintegrasi yang diuraikan dalam Tataran Transportasi Nasional, Tataran Transportasi
Wilayah, dan Tataran Transportasi Lokal. Ini berarti bahwa transportasi regional domestik sudah
betul-betul dipertimbangkan dalam determinasi politik transportasi Indonesia. Dalam pernyataan
kebijakannya, SISTRANAS menggariskan tujuh kebijakan nasional transportasi yang diringkaskan
didalam Tabel 4.2 di bawah ini. Garis kebijakan SISTRANAS ini dirasa masih relevan saat ini dan oleh
karenanya sangat patut dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan RENSTRA 2015-2019.
Pada Sub Bab ini disampaikan rangkuman dari rencana induk setiap sub-sektor transportasi sebagai
landasan dalam pengembangan masing-masing moda transportasi ke depan.
Sub-sektor transportasi darat terdiri dari 4 komponen besar, yakni: (1) transportasi jalan, (2)
transportasi penyeberangan, (3) transportasi sungai dan danau, serta (4) transportasi perkotaan.
Sampai dengan laporan ini disusun, baru transportasi penyeberangan yang sudah memiliki rencana
induk, yakni Cetak Biru Transportasi Penyeberangan yang ASDP diresmikan dengan Peraturan
Menteri Perhubungan No. KM 6/2010. Adapun Penyusunan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Nasional (RIJLLAJN) yang diamanatkan dalam Pasal 14 UU 22/2009 tentang LLAJ
belum ditetapkan, demikian juga dengan angkutan sungai dan danau serta transportasi perkotaan37.
37
Direktorat Bina Sistem Transportasi Perkotaan (BSTP), Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dalam beberapa tahun terakhir sudah
melakukan bantuan teknis untuk menyusun Rencana Induk Transportasi Perkotaan di beberapa kawasan aglomerasi di Indonesia secara
terpisah-pihak. Namun rencana induk secara nasional untuk transportasi perkotaan belum disusun.
Dalam Cetak Biru Transportasi Penyeberangan tersebut juga dimuat tolok ukur rencana
pengembangan sebagaimana disampaikan pada Tabel 4.3.
Untuk jangka waktu yang masih lama kedepan, moda transportasi jalan masih tetap akan berfungsi
sebagai tulang punggung dan mendominasi pergerakan orang dan barang di Indonesia. Untuk
mengurangi beban jaringan jalan, UU 23/2007 memerintahkan untuk mengoptimalkan peran moda
kereta api. Selain mendorong migrasi dari monopoli negara kepada pembukaan pasar
perkeretaapian nasional, UU 23/3007 juga memberikan tugas kepada pemerintah untuk membuat
Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNAS) yang telah selesi diwujudkan dengan Peraturan
Menteri Perhubungan No. 43/2012.
RIPNAS memproyeksikan bahwa sampai Tahun 2030 di Indonesia akan terbangung sepanjang 12.000
km jalur KA (railway track) yang terdiri dari 6.800 km jaringan di Jawa, 2.900 km di Sumatera, 1.400
km di Kalimantan, 500 km di Sulawesi, dan 500 km di Papua. Peta rencana pengembangan jalur KA di
setiap Pulau tersebut disampaikan pada Gambar 4.3.
Sejalan dengan itu akan diperlukan sekitar 4.800 unit lokomotif dan 67.615 unit gerbong. Program
ini termasuk Trans Sumatera Railways dan High Speed Train di Jawa. Semua program sampai tahun
2030 ini akan memerlukan investasi sebesar sekitar USD 67,2 Milyar yang terdiri dari USD 33,2
Milyar untuk rolling-stocks dan USD 34 Milyar untuk infrastruktur, adapun detailnya disampaikan
pada Tabel 4.5.
Di sub sektor transportasi laut, UU 17/2008 tentang Pelayaran memandatkan penyusunan dokumen
Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN) sebagai pedoman dalam penetapan lokasi, pembangunan,
pengoperasian, pengembangan pelabuhan, dan penyusunan Rencana Induk Pelabuhan. RIPN
diluncurkan dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. KP 414/2013 dan difokuskan kepada
Tabel 4.7: Kebutuhan Investasi (Juta USD) untuk pengembangan pelabuhan di Indonesia
Koridor ekonomi 2011-2015 2016-2020 2021-2030 Total
Sumatera 2267 3755 6911 12934
Jawa 5506 3530 6005 15041
Bali-Nusa Tenggara 426 828 1168 2422
Kalimantan 1454 1061 2190 4705
Sulawesi 870 1077 1923 3871
Papua-Maluku 1688 2138 4267 8093
Total 12212 12390 22456 47066
Sumber: Lampiran KP 414/2013 tentang RIP
38
AusAid-IndII: Academic paper to Support National Port Master Plan Decree. March 2012.
Indonesia berada dalam trayektori mobilitas angkutan udara global dan saat ini dalam posisi sekitar
0,2-0,3 perjalanan-udara per kapita. Untuk mengantisipasi pertumbuhan permintaan perjalanan
udara diperlukan upaya besar untuk mengembangkan infrastruktur bandar udara sebagai simpul
penentu kapasitas layanan transportasi udara. Untuk itu, Tatanan Kebandarudaraan Nasional (TKN)
diresmikan dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 69/2013.
Transportasi multimoda terkait erat dengan inisiatif MP3EI (Perpres 32/2011) dan Sistem Logistik
Nasional (Sislognas) (Perpres 26/2012) yang mensyaratkan konektivitas untuk mewujudkan konsep
koridor ekonomi. Oleh karena itu, regulasi yang terkait dengan pengembangan transportasi
multimoda (PP 8/2011 tentang Angkutan Multimoda, KM 15/2010 tentang Cetak Biru Transportasi
Antarmoda/Multimoda, PM 8/2012 tentang Penyelenggaraan Dan Pengusahaan Angkutan
Multimoda) perlu ditindaklanjuti dan dilaksanakan secara konsisten dalam kurun waktu 5 tahun
kedepan.
Perlu kiranya ditinjau kembali regulasi tentang KPS untuk memicu investasi swasta dalam
transportasi multimoda., khususnya dalam kaitannya dengan special transport. Selain itu, perlu
dibentuk badan atau regulator yang netral dan independen untuk regulasi, investigasi, keselamatan,
dan keamanan angkutan multimoda. Transportasi multimoda dan logistik bersifat lintas sektoral dan
kelembagaan yang mengelolanya nampaknya juga harus lintas sektoral dan tidak dapat dikelola
secara biasa, linier, dan birokratis. Karena sifatnya tersebut Transportasi Multimoda membutuhkan
dokumen perencanaan operasional yang menjelaskan hal-hal makro dan cross-cutting dari
multimoda, seperti kelembagaan, investasi, pembiayaan, peran pemerintah, peran BUMN, peran
sektor swasta, dan hal-hal yang terkait dengan kerjasama internasional dalam transportasi antar
negara dan dalam skema modern financing. Peran pelabuhan sangat penting dalam Transportasi
Multimoda. Oleh karena itu Kapasitas pelabuhan utama juga harus ditingkatkan. Perlu dipertegas
dan diperkuat peran Otoritas Pelabuhan sebagai regulator. Konsep Pendulum Nusantara supaya
lebih diperjelas dengan suatu Naskah Akademik yang legitimate. Dalam hal kereta api, undang-
undang mengindikasikan terbentuknya Multi Operators yang menuju kepada kompetisi yang lebih
berimbang antara berbagai moda transportasi. Akses kereta api perlu dibangun menuju ke
pelabuhan dan bandar udara internasional dengan kompetisi yang sehat, berimbang, dan dibangun
oleh pemerintah, misalnya dengan insentif dan disinsentif.
Untuk menyediakan kebutuhan sarana dan prasarana transportasi sesuai yang dicanangkan dalam
rencana induk dan mengantisipasi pertumbuhan permintaan perjalanan diperlukan jumlah dana
yang sangat besar. Tabel 4.8 menyampaikan perkiraan kasar mengenai kebutuhan investasi sektor
transportasi dari Tahun 2015-2019. Total perkiraaan kebutuhan dana sekitar 75,4 Milyar USD atau
sekitar Rp 792 Trilyun untuk 5 tahun.
Tabel 4.8 Perkiraan kasar kebutuhan investasi sektor transportasi 2015-2019 (tanpa jalan)
HARGA SATUAN BIAYA
NO KEBUTUHAN JUMLAH SATUAN
(USD) (USD)
(1)
A. PERKERETAAPIAN 18.677.400.000
A.1 Sarana 9.216.400.000
A.1.1 Lokomotif 1.334 Unit 2.500.000 3.335.000.000
A.1.2 Kereta 7.767 Unit 400.000 3.106.800.000
A.1.3 Gerbong 11.016 Unit 100.000 1.101.600.000
39
KM 15/2010 sudah memuat matriks yang berisi program-program (soft and hard measures) di sejumlah simpul/lokasi
untuk pengembangan angkutan antarmoda/multimoda yang akan dilaksanakan dari Tahun 2010 hingga 2030, namun
sayangnya tidak disertai dengan perkiraan biaya implementasinya.
KOTAK 3
TRANSPORTASI DAN EKONOMI 5.1. PENGANTAR
Tidak menjadi soal apakah ekonomi yang Adalah kenyataan yang tidak perlu diperdebatkan lagi
melahirkan transportasi atau transportasi bahwa transportasi dan ekonomi menjadi satu kesatuan
yang memicu pertumbuhan ekonomi. Tidak yang tidak terpisahkan, bahwa efisiensi pergerakan
menjadi soal apakah indeks harga saham ekonomi hanya dapat dilakukan apabila transportasi
gabungan menembus batas psikologis atau berfungsi secara efisien dan efektif, dan bahwa
inflasi terkendali. Yang menjadi soal adalah
transportasi yang buruk dan tidak efisien akan
kenyataan bahwa ketika roda karet dan roda
besi berputar kencang diatas aspal yang menghambat pergerakan ekonomi. Itulah sebabnya
mulus dan jalan baja, ketika turbin memutar mengapa negara-negara ekonomi maju selalu memiliki
mesin kapal-kapal peti kemas raksasa sistem dan jaringan transportasi yang maju, profesional,
mengarungi samudera, ketika mesin jet dan efisien, baik dalam penyediaan infrastruktur,
melepas landas pesawat komersial dari sarana, teknologi, tingkat pelayanan, manajemen, dan
landas pacu; ketika itulah peradaban suatu dalam tata kelolanya. Sebaliknya negara-negara
bangsa dibangun sebagai landasan kokoh berkembang yang ekonominya belum maju biasanya
diatas mana kesejahteraan, kemakmuran, juga memiliki sistem dan jaringan transportasi yang
dan kekayaan suatu bangsa dibangun.
tertinggal jauh dari kondisi maju dan efisien, bahkan
Transportasi ada didalamnya. (sd230813)
masih ada yang masih tradisional dan primitif dengan
teknologi dan manajemen yang ketinggalan jaman.
Indonesia nampak berada ditengah-tengahnya dan mengalami semacam paradoks atau anomali.
Ekonomi makro Indonesia maju dan stabil, pertumbuhan ekonomi positif, pendapatan per kapita
meningkat, jumlah golongan menengah juga meningkat, akan tetapi transportasi dan sistem
logistiknya tidak maju dan tidak efisien. Kedua entitas tersebut-ekonomi dan transportasi- saat ini
nampaknya tidak seiring sejalan di Indonesia. Ekonomi makro tumbuh relatif stabil dan meyakinkan,
sedangkan transportasi bukan hanya tidak tumbuh dengan cepat, melainkan relatif menyusut
menghadapi tekanan pergerakan ekonomi yang terus meningkat tajam. Dalam kurun waktu satu
dekade belakangan ini sangat terasa bahwa Indonesia sedang menghadapi defisit dan kesenjangan
infrastruktur dan sistem pelayanan transportasi yang sangat besar di segala lini: jalan, kereta api,
pelabuhan, bandar udara, dan lintas penyeberangan.
Defisit infrastrukur transportasi terjadi karena tidak tersedianya kapasitas yang cukup dalam sistem
jaringan transportasi yang dapat menampung pergerakan ekonomi yang tumbuh sangat pesat.
Bandara Soekarno-Hatta, misalnya, saat ini sudah dibebani sekitar 52,5 juta penumpang per tahun,
sekitar 300% dari kapasitas terpasang saat ini. Sebagai solusi interim dan tergesa-gesa, sebagian
beban penerbangan akan dialihkan ke Bandara Halim Perdanakusumah. Antrian dan kemacetan
panjang secara kronik terjadi di jalan-jalan arteri nasional seperti Pantura Jawa dan Jalintim
Indonesia mengalami krisis ekonomi yang sangat parah di pertengahan tahun 1997 sampai 1998.
Ekonomi mengalami kontraksi sampai dengan minus 14% dan mengakibatkan dampak yang sangat
buruk bagi sektor-sektor ekonomi dan infrastruktur. Pada tahun 1997, pemerintah mengeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres) No. 39/1997 tentang penangguhan kembali 241 proyek pemerintah,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta yang berkaitan dengan pemerintah atau BUMN.
Keppres ini membatalkan atau menunda sekitar 240 proyek-proyek infrastruktur dan transportasi
dan menyebabkan investasi berhenti total, bahkan operasi dan pemeliharan fasiltas transportasi
yang ada pun seringkali terabaikan. Pada saat itu konsentrasi kebijakan dan anggaran pemerintah
dipusatkan kepada jaringan keamanan sosial (social security net) dan upaya restrukturisasi sektor
keuangan dan perbankan. Walaupun pemerintah akhirnya mencabut Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 39 Tahun 1997 dan pada tahun 2002 menerbitkan Keppres Nomor 15 Tahun 2002 untuk
mngupayakan kembali pembangunan infrastruktur dan transportasi, kecepatan dan investasi
pemerintah dalam pembangunan transportasi tetap tidak cukup besar sampai saat ini, 15 tahun
setelah krisis berlalu. Sejak itu sampai sekarang pembangunan infrastruktur dengan investasi swasta
menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang sangat lamban untuk direalisasikan. Sementara itu
investasi pemerintah berbanding PDB jug aterus menurun dari sekitar 5,6% di tahun 1993 menjadi
KOTAK 4 sekitar 2,3% di tahun 2000 sampai sekitar tahun 2005.
THROWING INFRASTRUCTURE
OVERBOARD Namun Indonesia bangkit secara perlahan dari
keterpurukan. Pada tahun 1999 sampai 2003 ekonomi
When times are hard, capital spending on mulai tumbuh positif perlahan tapi pasti walaupun lebih
infrastructure is the first item to go, and banyak ditopang oleh konsumsi dibanding investasi dan
operations and maintenance are often close ekspor. Bahkan pada tahun 2003 ekonomi hampir
behind. Despite the long-term economic
sepenuhnya ditopang oleh konsumsi, baik konsumsi
cost of slashing infrastructure spending,
governments find it less politically costly pemerintah maupun masyarakat (Gambar 5.1). Sejak
than reducing public employment or wages. 2004 ekonomi terus bertumbuh pada kisaran sekitar 5%-
Studies of fiscal adjustment and expenditure 6,3%, juga kebanyakan masih ditopang oleh konsumsi
reduction find that capital expenditures are dan investasi belanja barang dan modal pemerintah.
cut more than current expenditures, with Ekonomi menurun ke angka sekitar 4,5% di tahun 2008-
infrastructure capital spending often taking 2009 akibat krisis global, namun meningkat kembali ke
the biggest reduction. Cutbacks in kisaran 6,3% sejak 2010 sampai semester pertama 2013.
operations and maintenance expenditure Di semester kedua 2013, ekonomi nampak mengalami
are worrisome (World Bank, 1994).
penurunan ke skala 5,5-5,9% akibat menurunnya nilai
mata uang rupiah terhadap dolar (Rp.12.700 per US
dolar di penghujung tahun 2013) dan defisit transaksi berjalan.
Inflasi melonjak menjadi 8,8% year-on-year pada bulan Agustus, setelah Pemerintah menaikkan
harga bahan bakar pada bulan Juni untuk mengurangi biaya subsidi. Harga beberapa bahan pokok
juga meningkat, yang diakibatkan oleh pembatasan impor. Pasar ekspor yang lemah dan
menurunnya harga komoditas ekspor memangkas nilai ekspor menjadi 5,2% pada tengah tahun
pertama. Sebagai akibatnya, necara berjalan mengalami defisit sebesar $15,7 milyar, atau 3,5% dari
PDB. Pasar finansial domestik ikut terdampak oleh penurunan investasi portofolio dari pasar negara
berkembang oleh investor global. Pada saat yang bersamaan, terjadi lonjakan infasi domestik dan
pelemahan transaksi berjalan. Pasar saham dan obligasi melemah, dan Rupiah terdepresiasi 11%
terhadap Dolar AS hingga akhir September.
Gambar 5.1: Komponen Pertumbuhan Ekonomi (%) ADB telah mengurangi proyeksi pertumbuhan
Masa Transisi 1999-2003 PDB dari Asian Development Outlook (ADO)
2013 untuk tahun 2013 dan 2014, dengan
pertumbuhan yang sedikit lebih baik diharapkan terjadi tahun 2014 dengan ekspektasi bahwa inflasi
telah terkendali dan membaiknya kondisi perdagangan dunia. Inflasi diprediksi akan lebih tinggi dari
prediksi sebelumnya sebagai dampak dari kenaikan harga bahan bakar. Perkiraan defisit neraca
berjalan pada 2013 adalah 3,4% dari PDB, dan diperkirakan akan berkurang pada tahun 2014 dengan
dukungan perdagangan dunia yang lebih baik, terdepresiasinya rupiah, dan berbagai kebijakan yang
telah dilaksanakan untuk menurunkan impor dan memacu ekspor.
Sumber Rujukan: ADB. 2013. Asian Development Outlook 2013 Update. Manila.
Dalam National Summit yang dilaksanakan di Jakarta, 29-30 Oktober 2009, tidak lama setelah
pemerintahan kedua SBY, Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi hingga 7% pada
periode 2010-2014. Total investasi pembangunan yang diperlukan mencapai Rp 10.000 triliun
(sekitar US$ 1 triliun pada nilai tukar saat itu Rp.10.000/US$), yakni Rp. 200 triliun per tahun.
Disadari bahwa pemerintah hanya mampu menyediakan sekitar 20% dari jumlah tersebut. Sekitar
80% harus datang dari investasi sektor swasta dan masyarakat. Proyeksi investasi dan peran sektor
swasta ini adalah pernyataan yang kesekian dari pemerintah setelah Infrastructure Summit pada
tahun 2005 dan 2006 digelar pemerintah bersama-sama KADIN mencapai puncak antusiasme dan
minat investor global akan pembangunan infrastruktur di Indonesia namun mengalami antiklimaks
pada tahun-tahun sesudahnya karena ketidaksiapan proyek-proyek yang siap dikerjasamakan
dengan investor swasta. Sampai tahun 2013 masih ada Konferensi Internasional tentang infrastriktur
Gambar 5.4 memperlihatkan kerangka disain MP3EI yang terdiri dari Visi Indonesia 2025, inisiatif
strategi, strategi utama, dan prinsip dasar.
Sampai sejauh ini baru 2 KEK yang telah ditetapkan oleh Dewan Nasional dengan Peraturan
Pemerintah. Yang pertama adalah KEK Tanjung Lesung yang ditetapkan dengan PP No. 26/2012 dan
yang kedua adalah KEK Sei Mangke yang ditetapkan dengan PP No. 29/2012. Masih banyak wilayah
dengan potensi ekonominya yang spesifik yang akan ditetapkan lagi sebagai KEK, namun
perencanaan riil yang terkait dengan pembangunan dan penyediaan transportasi baik didalam KEK
maupun akses dari dan ke KEK masih akan menunggu ketetapan dari Dewan Nasional KEK.
Dunia berubah sangat cepat dalam dua dekade belakangan ini. Bukan saja perekonomian dunia yang
mengalami perubahan cepat menjadi lebih berbasiskan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dan
menjadi lebih digital, namun juga perekonomian global mengalami pergeseran kawasan. Kekuatan
ekonomi mulai beralih dari kutub kekuasaan finansial Eropah dan Amerika menuju Asia, Cina, dan India.
Abad ini adalah abad Asia dan Indonesia berada di beranda depannya. Banyak faktor yang menyumbang
perubahan global tersebut. Di negera-negara dengan perekonomian maju, salah satu faktor utamanya
adalah infrastruktur transportasi yang terbangun dengan cepat, radikal, dan masif dan yang secara efisien
dan efektif memungkinkan ekonomi tumbuh dan berkembang dengan cepat. Kita sering berkunjung ke
Cina untuk melakukan studi banding tetapi kita tidak cukup cepat belajar dari Cina dalam kecepatan dan
determinasi membangun infrastruktur transportasi (sd071213).
Masih banyak dari kita yang belum sadar akan proses perubahan besar di
lingkungan strategis global dimana ekonomi dunia secara perlahan namun pasti
akan merubah dirinya dari ekonomi yang berbasiskan industri manufaktur dan
teknologi hard-core menjadi ekonomi baru yang berdasarkan pada ilmu
pengetahuan, soft-core, dan teknologi informasi. Setelah revolusi industri
berkembang pada awal abad ke-19 , kita saat ini menyaksikan sebuah revolusi
baru yang senyap namun niscaya di bidang telekomunikasi, informasi, dan teknologi transportasi
yang membentuk kembali landscape perekonomian kita dan membawa ekonomi global ke dalam
dunia tanpa batas. Transformasi ekonomi saat ini ke ekonomi baru telah berjalan dalam transisi yang
rapih, konsisten, dan halus. Namun prinsip-prinsip dan karakteristik dari ekonomi baru telah secara
bertahap diadopsi oleh proses produksi dan industri manufaktur serta oleh semua sektor ekonomi
dan juga industri infrastruktur transportasi, teknologi , dan jasa .
40
Tapscot (1999) menegaskan bahwa ekonomi dunia yang maju saat ini telah mengalami
transformasi dari ekonomi yang berbasiskan industri kepada ekonomi berbasiskan ilmu pengetahuan
dan teknologi informasi. Didalam ekonomi berbasiskan ilmu pengetahuan, informasi dalam jumlah
sangat besar dapat diakses dan didapatkan melalui jaringan internet dalam waktu yang sangat cepat
dan bersifat sangat segera (real time) sehingga kesegeraan dan real time delivery menjadi kunci dari
setiap aktivitas ekonomi. Ekonomi global yang baru ini dicirikan oleh persaingan yang ketat untuk
menciptakan inovasi produk atau pelayanan. Namun demikian walaupun perdagangan dan transaksi
akan banyak diselenggarakan melalui jaringan global, peran infrastruktur transportasi tetap penting.
Transportasi, telekomunikasi dan informasi, akan memegang peran yang sangat penting dalam
memfasilitasi pergerakan ekonomi global. Revolusi teknologi transportasi yang berbasiskan ilmu
40
Pembahasan tentang Ekonomi Baru dunia ini dapat dilihat di: Tapscott, D. The Digital Economy. Promise and Peril in the Age
of Networked Intelligence. Mc Graw-Hill, 1999.
Lingkup dan karakteristik dari ekonomi global terlihat dari Gambar 6.1 dibawah ini dimana ada 12
sifat mendasar yang membentuk fenomena baru perekonomian dunia. Ekonomi dunia baru dan
yang pada saatnya juga akan menjadi sifat perekonomian nasional Indonesia akan berbasiskan ilmu
pengetahuan oleh karena teknologi informasi akan sangat tergantung kepada perkembangan yang
dinamis dari ilmu pengetahuan. Kapital dalam bentuk uang adalah fungsi dari ilmu pengetahuan
dimana aset intelektual menjadi kunci keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan, atau bahkan
pemerintahan suatu negara. Tidak ada batas dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan oleh
karenanya juga tidak ada batas dalam ekonomi global dan hanya ada satu perekonomian global di
duina modern kita yang tanpa batas walaupun organisasi, korporasi, dan kelembagaan ekonomi
lainnya beroperasi dalam skala regional, nasional, atau lokal. Walaupun agak maju kedepan, tidak
dapat dinafikan bahwa ekonomi baru ini akan mengurangi ketergantungan suatu masyarakat kepada
konsep negara bangsa dan akan meningkatkan saling ketergantungan dinatara bangsa-bangsa di
dunia.
Di dalam ekonomi baru dunia ini informasi diakses dan dikirim dalam bentuk digital dan
dikomunikasikan melalui jaringan digital dengan kecepatan cahaya dan dalam jumlah yang sangat
besar. dInformasi dapat disimpan dan dipanggil secara instan dari seluruh bagian dunia .
Information can be stored and retrieved instantly from around the world; and the quality of data and
information can be far better than in analog transmission providing the market with near perfect
information.
Apa pengaruh ekonomi baru dan global ini terhadap perekonomian suatu negara seperti Indonesia
termasuk infrastruktur dan sistem pelayanan transportasinya? Masih harus dilihat
perkembangannya lebih lanjut berapa sensitif dan fleksibelnya kerangka peraturan dan kelembagaan
ekonomi Indonesia, termasuk birokrasinya, dalam melakukan adaptasi dan penyesuaian, namun
yang pasti adalah bahwa ekonomi baru akan secara bertahap merubah metabolisme dari
transformasi ekonomi suatu negara dan pada saatnya tentu juga akan merubah sistem pelayanan
infrastruktur dan pelayanan transportasi bukan saja oleh karena industri transportasi akan menuntut
efisiensi tinggi namun juga oleh karena teknologi lama akan hilang dari konstalasi global dan
kompatibilitas dengan teknologi baru menjadi keharusan.
The New
Economy
Mungkin dapat dibayangkan bahwa pada suatu saat Indonesia dan perekonomian nasional serta
mesin birokrasinya akan membutuhkan infrastruktur informasi berupa national broadband super
highway yang dapat mendukung mobilitas data dan informasi masif dalam pergerakan ekonomi
kapasitas tinggi. Pemerintah kedepan harus menyiapkan koridor informasi (information super
highway) yang dapat di akses oleh publik sebagai bagian dari pelayanan publik yang efisien dan
murah dan sekaligus menghilangkan proses rente ekonomi dan “underground economy” dari
birokrasi yang selama ini menggurita dan menjadi beban masyarakat. Pemerintah oleh karenanya
harus mendukung daya kreasi dan inovasi masyarakat dan menghilangkan hambatan birokrasi
terhadap perubahan dan terobosan ekonomi. Negara tidak akan memiliki daya saing kalau
kelembagaan ekonomi dan birokrasinya bertahan dengan sistem lama yang sekarang.
KOTAK 4
The Global Shift
Negeri seperti Indonesia ini yang harus bertahan
The global economy, designedditengah-tengah terpaan persaingan ketat
by Western powers with the ekonomi global harus melakukan redefinisi dan
United States as lead architect,
restrukturisasi perekonomian nasionalnya
is in the process of
sehingga dapat meningkatkan kompatibilitasnya
reconfiguration. The 2008 dengan perekonomian global yang baru. Jika
global financial crisis has
kita gagal melakukan itu, maka kita akan
terminated America’s reign as sole economic
kehilangan daya saing global kita dan kita hanya
superpower and opened up important new spheres
of influence to developing nations. The West is no akan menjadi pasar bagi ekonomi global
tersebut. Dalam skala dunia, kalau kita amati
longer in control of the global economy, and the rest
of the world knows it. The new drivers of economic lebih jauh, peralihan dari ekonomi industri
kepada ekonomi baru nampaknya berjalan
activities are the developing nations. Their collective
presence in one market after another is becoming secara mulus tanpa goncangan dan karakteristik
larger and more significant with each passing year. ekonomi baru akan secara bertahap diterapkan
So, welcome to the new world – one neither flat nor dalam proses produksi dan industri manufaktur
curved but messy and multipolar. The last economic
sebagaimana juga oleh semua sektor ekonomi,
superpower –the United States– will face great
termasuk industri infrastruktur dan birokrasi
difficulties adjusting as the tempo of global economic
activity beats more to the tune of the developing dengan e-government-nya. Transportasi,
nations and not American-led globalization. (Joseph sebagaimana juga halnya dengan
P. Quinlan, The Last Economic Superpower, 2011). telekomunikasi akan memainkan peran penting
dalam memfasilitasi pergerakan ekonomi global.
Proses tersebut diharapkan akan menuju
kepada efisiensi total dari perekonomian, bisnis, industri, dan administrasi publik dari suatu negara
yang secara terstruktur menerapkan prinsip-prinsip ekonomi baru.
Sementara itu Asian Development Bank membuat proyeksi atas skema peralihan
perekonomian dunia ke Asia sebagaimana terlihat dari Gambar 6.2 dimana pada
tahun 2050 perekonomian Asia bangkit dengan 52% dari perekonmian dunia dan
indonesia bersama-sama dengan enam Negara Asia lainnya akan menyumbang
sekitar 91% dari perekonomian Asia pada tahun 2010-2050. Ditinjau dari berbagai
aspek sosial politik, demografi, dan lingkungan strategis lainnya, Indonesia adalah bangsa yang
sedang berubah cepat. Namun berbagai-bagai permasalahan strategis dan agenda ekonomi besar
menghadang pembangunan transportasi Indonesia kedepan. Tantangan pembangunan muncul baik
dari lingkungan geo-strategis global maupun dari dinamika sosial ekonomi domestik yang bergerak
dan berubah secara cepat. Dari tantangan global muncul tuntutan akan daya saing dan
kompatibilitas Indonesia dalam percaturan perekonomian dunia, khususnya dalam kawasan Asia
ketika mobilitas perdagangan global makin menyatukan jaringan infrastruktur dan transportasi
dunia. Dari tantangan domestik, sebagian merupakan warisan masa lalu yang tidak pernah
terselesaikan dengan tuntas dan menjadi agenda tertunda (Pending Matters) untuk waktu yang
sangat lama dan sebagian lagi merupakan beban pembanguan jangka panjang yang memang harus
dilaksanakan dan beban yang muncul dari inisiatif baru pemerintah yang semuanya berakumulasi
dalam beban pembangunan periode
kritis 2015-2025. Beban pembangunan
lima tahun kedepan oleh karenanya
sangat berat oleh karena harus
menangung baik beban masa lalu
maupun tugas-tugas baru yang
diamanatkan oleh RPJPN dan undang-
undang. Ritme birokrasi yang rutin dan
datar dapat dipastikan tidak dapat
menghadapi tantangan besar ini. Dan
sebagaimana diperlihatkan dalam
Gambar 2.1 pada Bab II, diperlukan
perubahan non-linier atau bahkan
eksponensial, pendekatan inkon-
vensional, out-of-the-box, dan tata
Gambar 6.2: Skenario Perekonomian Dunia
kelola pemerintahan dan birokrasi yang
Sumber: Asian Development Bank, 2012
kompeten dan profesional. Kondisi
infrastruktur transportasi Indonesia saat ini masih jauh dari ideal yang dapat mendukung perubahan
besar tersebut.
Beban-beban pembangunan masa lalu dan masa depan ini menjadi isu-isu strategis nasional yang
harus dipertimbangkan sebaik-baiknya dan sesungguh-sunguhnya dalam pembuatan RENSTRA III
2015-2019. Dokumen perencanaan ini harus lebih inovatif dan ofensif dibandingkan pendahulunya.
Segenap aparatur pemerintahan yang ditugasi untuk pelaksanaan pembangunan pun harus inovatif
dan ofensif. Periode 2015-2019 adalah masa dimana transportasi harus dibangun dengan cepat,
Sebagaimana negara berkembang berkontribusi saham dan pertumbuhan semakin besar untuk
kedua dunia GDP dan perdagangan barang, kontribusi mereka terhadap perdagangan lewat laut
dunia juga meningkat. Pada tahun 2011, total 60 persen dari volume perdagangan lewat laut dunia
berasal dari negara-negara berkembang dan 57 persen dari perdagangan ini disampaikan di wilayah
mereka (gambar 3.1 (a)). Negara-negara berkembang sekarang pemain utama dunia baik sebagai
eksportir dan importir, pergeseran yang luar biasa dari pola sebelumnya ketika mereka melayani
terutama sebagai daerah pemuatan barang volume tinggi (terutama volume bahan baku yang tinggi
dan sumber daya).
Perkumpulan bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mempunyai visi untuk membangun Komunitas
ASEAN 2015 dan salah satu misinya adalah membangun Konektivitas ASEAN yang dapat menjamin
komunitas ASEAN lebih kompettitif dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap perubahan ekonomi
global. ASEAN Connectivity dibentuk berdasarkan kesepakatan dalam ASEAN Summit ke-15 di
Thailand pada tanggal 24 Oktober 2009, dan diperkuat dalam ASEAN Summit ke-16 di Vietnam pada
tanggal 8-9 April 2010 yang menggariskan perllunya Master Plan of ASEAN Connectivity (MPAC)
dengan sasaran dan jadwal waktu yang jelas termasuk pembangunan dan pembiayaan infrastruktur
sebagai pelaksanaan dari MPAC tersebut. Membangun konektivitas diantara negara-negara ASEAN
dipercaya dapat meningkatkan kerjasama ekonomi melalui perdagangan, investasi, pariwisata, dan
pembangunan sektor-sektor ekonomi lainnya. MPAC berisi identifikasi dari beberapa proyek-proyek
transportasi yang menjadi prioritas untuk dibangun termasuk ASEAN Highway Network, Melaka-
Pekanbaru Interconnection, West Kalimantan-Sarawak Interconnection, dan studi RoRo dan short-
sea shipping. Pembiayaan dari proyek-proyek infrastruktur transportasi MPAC akan dimobilisasi
melalui ASEAN Infrastructure Fund, PPP, and melalui pasar keuangan dan pasar modal lokal dan
regional. Beberapa proyek-proyek strategis transportasi yang sudah diprogramkan dalam MPAC
diperlihatkan dalam Tabel 6.1., sedangkan Gambar 6.5 dibawah ini memperlihatkan skema
hubungan antara ASEAN Connectivity dengan ASEAN Community.
Setelah kekuatan besar ekonomi dunia mulai pudar di belahan bumi bagian barat
dan ketika banyak negara besar dan menengah di Asia mengalami peningkatan
ekonomi yang sangat besar, maka tantangan besar utama yang akan muncul dari
skala regional dan global adalah daya saing kita sebagai bangsa yang masih belum
tinggi, bahkan dalam skala Asia. Dalam skala waktu yang cepat Cina sudah menjadi
kekuatan besar ekonomi dunia dan India menyusul dibelakangnya. Perlahan tapi
pasti Vietnam dan Myanmar menggeliat maju secara cepat sementara Singapura, Malaysia, dan
Thailand sudah berada lebih dahulu didepan barisan negara-negara maju di Asia Tenggara. Global
Competitiveness Report edisi 2010- 2011 dan 2012-2013 berturut-turut memuat daftar Global
Competitiveness Index.
Dalam “The Global Competitiveness Repport" terdapat indikator-indikator yang digunakan dalam
penilaian. Indikator-indikator tersebut digolongkan menjadi tiga indikator yaitu: faktor utama
pendorong ekonomi, faktor pendorong ekonomi dengan efisiensi, faktor pendorong ekonomi
dengan inovasi. Isi dari indikator-indikator tersebut dapat dilihat pada gambar 6.6. Infrastruktur
termasuk dalam faktor utama sebagai pendorong daya saing perekonomian global, oleh karena itu
perkembangan infrastruktur yang baik akan sangat berpengaruh pada perekonomian Indonesia
untuk peningkatan daya saing global.
Eff iciency
Enhancers
Dari ketiga penilaian Indikator-indikator dasa saing global, Kedudukan Indonesia pada daya saing di
Asia tahun 2013-2014, Indonesia menduduki peringkat nomer 5 setelah Singapore, Malaysia, Brunei
Darussalam, Thailand (Tabel 6.1). Jika daya saing global dilihat dalam hal kualitas Instrastruktur
transportasi secara keseluruhan dari tahun 2009 s/d tahun 2014, terlihat bahwa Indonesia
mengalami peningkatan di tahun 2009 s/d 2012 yaitu dari peringkat 96 di tahun 2009 menjadi
peringkat 82 di tahun 2011, namun di tahun 2013 infrastruktur Indonesia tidak mengalami
peningkatan peringkat di bidang Infrastruktur (Tabel 6.2). Hal ini dapat dikatakan bahwa dalam hal
Infrastruktur sesungguhnya Indonesia tidak memiliki daya saing global di tahun 2013-3014.
Dilihat pada gambar grafik dibawah dalam bidang infrastruktur Indonesia pada tahun 2009 s/d 2012
mengalami peningkatan infrastruktur dari skala 3 ke 4 namun ditahun 2013-2014 infrastruktur
Indonesia tidak mengalami peningkatan dalam daya saing global. Mengingat infrastruktur masuk
dalam salah satu pilar yang utama dalam peningkatan daya saing global, maka seharusnya kita
melakukan gebrakan dalam pengembangan infrastruktur Indonesia agar dapat meningkatkan daya
saing global.
Sementara itu proyeksi yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memberikan fakta
bahwa jumlah penduduk dunia sudah mencapai 7 miliar jiwa pada 31 Oktober 2011 dan akan
mencapai 8 miliar jiwa pada pertengahan tahun 2024 (10 tahun mendatang). Saat ini penduduk
dunia sudah mencapai 7,2 miliar dan jarum detik kependudukan terus berdetak kencang menambah
jumlah penduduk dunia dari waktu ke waktu43. Tabel 7.1 memperlihatkan versi PBB tentang 10
negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia ada kondisi saat ini. Dalam konstalasi demografi
global, Indonesia adalah negara ke-4 terbesar penduduknya di dunia setelah Cina, India, dan
Amerika. Pada akhir tahun 2013, penduduk Indonesia menurut versi PBB ini sudah mencapai 251,4
juta jiwa. Pertumbuhan penduduk Indonesia terus meningkat cukup tajam dalam beberapa tahun
belakangan ini, dua dekade setelah program keluarga berencana di masa Orde Baru berhasil
mengerem pertumbuhan ini. Namun selepas Orde Baru program tersebut meredup dan penduduk
nampaknya kembali bertumbuh dengan angka yang cukup tinggi, sekitar 1,21%, sejak tahun 2000-
an.
Reputasi Indonesia sebagai negara keempat terbesar penduduknya di dunia barangkali akan tetap
dipegang untuk waktu yang belum dapat diketahui kedepan. Gambar 7.1 memperlihatkan proyeksi
41 Fasli Djalal, Kepala BKKBN, pada pembukaan Parenting Education Dalam Rangka Hari Anak Nasional Tahun 2013, 17 Juli
2013.http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/07/17/mq2oy6-2013-penduduk-indonesia-diperkirakan-250-
juta-jiwa.
43 Worldometers, http://www.worldometers.info/world-population/
44
Proyeksi Penduduk Indonesia. BPS-Bappenas-UNFPA, Juli 2005
7.2. URBANISASI
Implikasi jumlah penduduk yang sangat besar ini terhadap transportasi sangat kompleks. Pergerakan
antar pulau, antar propinsi, antar kabupaten, bahkan antar desa serta pergerakan intra wilayah
menjadi beban besar bagi sistem dan jaringan transportasi kita yang saat ini sudah sangat jenuh dan
rapuh menahan beban ekonomi yang ada. Tetapi justru disinilah letak titik baliknya. Disinilah
sebenarnya tugas mulia transportasi Indonesia.
Konsentrasi penduduk di Jawa, urbanisasi masif, dan kesenjangan wilayah adalah tiga fenomena
yang berkaitan satu sama lain. Seperti telah diuraikan diatas, marjinalisasi ekonomi kawasan
perdesaan menjadi salah satu sebab utama dari kesemua fenomena laten tersebut. Dan marjinalisasi
ekonomi terjadi karena langkanya fasilitas transportasi untuk menggerakkan potensi ekonomi
perdesaan itu sendiri, membangun kegiatan ekonomi lokal, dan menahan lajunya arus urbanisasi.
Kuncinya sederhana. Seandainya kita dapat membangun transportasi yang lebih radikal di luar Jawa,
di perdesaan, dan di wilayah terkebelakang
namun secara ekonomi memiliki potensi yang
besar, maka maka wilayah–wilayah yang sangat
kaya akan sumberdaya alam, mineral,
perkebunan besar, dan produk budidaya hutan
akan mempunyai akses terhadap pasar dan
pelabuhan serta bandara. Ekonomi lokal akan
berkembang pesat dan menarik penduduk Jawa
melakukan migrasi ke luar Jawa atau bahkan
kembali ke desa semata-mata karena
kemudahan ekonomi dan pendapatan yang
lebih tinggi.
Ditinjau dari berbagai aspek sosial ekonomi dan politik, pemerintah sudah saatnya menaruh
perhatian yang besar terhadap masa depan Pulau Jawa, bukan dalam konotasi memperlebar
45
Banjir yang melanda Pulau Jawa termasuk Jakarta, di sepanjang bulan Januari 2014 memberi indikasi yang kuat akan
menrunnya daya dukung pulau terhadap kehidupan penduduknya. Banjir disepanjang Pantura dan kota-kota pesisir utara
bahkan di kota-kota pedalaman, telah melumpuhkan jalur transportasi darat dan menyebabkan harga pangan meroket naik
akibat mobilitas angkutan barang yang terhambat. Banjir Pulau Jawa telah beberapa kali terjadi di masa lalu dan nampaknya
akan terus terjadi di masa depan seiring dengan menurunnya area resapan air dan penggundulan hutan di hilir, hilngnya
embung-embung dan situ akibat diurug dan dijadikan permukiman, serta makin dahsyatnya urbanisasi. Pulau Jawa mengalami
paradox besar. Di satu sisi perekonomiannya sangat dominan dalam pendapatan nasional, di sisi lain jumlah penduduk yang
besar dan daya dukung lahannya telah jauh berkurang telah menyebabkan kualitas kehidupan makin berkurang.
Sesungguhnyalah tantangan yang dihadapi sektor perhubungan sangat besar dan komprehensif. Ini
utamanya disebabkan oleh terjadinya defisit infrastruktur dan jasa pelayanan transportasi di
semua lini: jaringan jalan, kereta api, pelabuhan, bandar udara, dan angkutan penyeberangan.
Semua fasilitas transportasi berada dalam tekanan besar yang muncul akibat kenaikan permintaan
perjalanan yang sangat tinggi sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi, kependudukan,
urbanisasi, kelangkaan energi, lingkungan, keterbatasan lahan, dan keterbatasan pembiayaan.
Semua tekanan ini seakan-akan menafikan kemajuan yang sudah dicapai selama ini. Tantangan
besar lainnya adalah terjadinya kesenjangan (gap) yang besar antar wilayah dalam sistem pasokan
transportasi dan pelayanannya. Gap transportasi merupakan salah satu faktor utama terjadinya
kesenjangan ekonomi antar wilayah dan menyebabkan biaya ekonomi sangat tinggi di kawasan
Indonesia bagian timur, khususnya Papua, yang sangat sedikit sekali memiliki aksesibilitas dan
konektivitas wilayah.
Beban pelaksanaan pembangunan sektor perhubungan yang harus dipikul oleh RENSTRA 2015-
2019 sangat besar. Target keberhasilan pembangunan periode 2005-2009 dan 2010-2014 yang
belum tercapai akan menjadi beban RENSTRA III untuk menyelesaikannya. Sementara itu beban
RENSTRA III sendiri yang diamanatkan oleh RPJPN dan RPJMN III juga sangat besar. Pada akhir
tahun 2025, diharapkan sudah terealisasikannya pembangunan jaringan sistem transportasi
nasional yang menjangkau seluruh negeri dan sanggup memikul beban mobilitas perekonomian
secara efisien dan efektif. Beban tahun 2019 oleh karenanya harus membuka jalan seluas-luasnya
bagi target RPJPN tersebut tercapai dengan memuaskan. RPJMN III dan RENSTRA III juga sangat
kritis dalam pengertian bahwa lima tahun kedepan nampaknya akan merupakan jendela waktu
dimana pembangunan trasportasi harus dilakukan secara lebih masif dan radikal untuk menutup
defisit dan mempersempit kesenjangan.
Berdasarkan pengalaman masa lalu terkait dengan perencanaan dan implementasinya, terdapat
kekhawatiran bahwa akan terjadi lagi kelambatan dalam proses pembangunan proyek-proyek
strategis transportasi oleh karena adanya mata rantai yang terputus (missing link) dalam rantai
“kebijakan-perencanaan-implementasi” yang disebabkan utamanya oleh kurang baiknya kapasitas
delivery kelembagaan yang ada. Pemerintah ternyata tidak cukup cepat dalam implementasi
kebijakan dan perencanaan sehingga banyak proyek-proyek yang sudah ada di daftar tidak kunjung
dapat dibangun untuk segera mendukung pergerakan ekonomi yang makin lama makin meningkat.
Sementara ukuran birokrasi terus tumbuh, kualitas dan kapasitas kelembagaan dan birokrasi yang
masih lemah telah berdampak kepada kapasitas pemerintah membuat kemajuan dalam project
delivery. Sejauh ini belum ada upaya untuk meninjau bagaimana keterpautan antara kualitas
kelembagaan dengan kinerja peraturan/perundang-undangan dan dengan kapasitas untuk delivery.
Namun harus diakui bahwa pemerintah sudah cukup banyak membuat kemajuan, khususnya
dalam kerangka kebijakan dan peraturan perundang-undangan dan ini adalah sisi positif yang harus
8.1. PENGANTAR
Namun demikian konsekuensi dari membangun konektivitas nasional transportasi tidak mudah. Ini
adalah tugas besar yang harus diemban oleh pemerintahan baru tahun 2015-2019. Jaringan
transportasi harus diperluas dan dibangun lebih banyak lagi untuk meningkatkan keseimbangan
transportasi antara Jawa dan luar Jawa dan meningkatkan aksesibilitas di daerah kawasan timur
Indonesia, daerah terpencil, dan pedesaan, kawasan perbatasan, serta daerah tertinggal lainnya.
Jaringan dan sistem pelayanan transportasi juga harus diperluas pada daerah-daerah dimana
investasi swasta pada sektor-sektor ekonomi seperti pertanian, industri manufaktur, pertambangan,
kehutanan, dan jasa telah berkembang namun masih sangat membutuhkan fasilitas transportasi
yang efisien dan maju. Khusus untuk daerah perkotaan, RENSTRA harus memberi perhatian khusus
untuk membangun konektivitas dan
jaringan jalan dan kereta api kota untuk
mengatasi kemacetan yang sangat masif
dan ancaman total gridlock.
Pembangunan konektivitas transpor-tasi
tersebut diatas membutuhkan inisiatif
baru dalam kerangka kebijakan, kerangka
legal dan peraturan, kelembagaan, dan
pembiayaan yang kreatif.
Gambar 8.1: Konsepsi Konektivitas
Sumber: Economic Corridor Study, 2011 Table 8.1 memperlihatkan kebijakan
utama transportasi Indonesia 2015-2019,
yakni membangun konektivitas nasional tersebut dengan 4 initiatif kebijakannya. Membangun
konektivitas nasional juga berarti melakukan upaya besar melayani peningkatan mobilitas nasional
akibat jumlah penduduk yang bertambah banyak, urbanisasi, dan dalam upaya mengatasi
kesenjangan wilayah. Pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi, produktivitas ekonomi,
dan daya saing daerah tergantung kepada akses ke pasar yang dimungkinkan dengan adanya sistem
transportasi lokal yang efisien dan efektif. Oleh karena itu RENSTRA harus secara tegas
menggariskan target pembangunan transportasi di wilayah-wilayah timur Indonesia dan wilayah
Fakta yang sangat telanjang bahwa transportasi Indonesia sedang mengalami defisit dan
kesenjangan dalam tugasnya memikul pergerakan ekonomi di seluruh wilayah nusantara memberi
indikasi dan dorongan yang sangat kuat akan mutlak perlunya pemerintah membangun dan
memperluas sistem jaringan infrastruktur dan pelayanan transportasi di seluruh wilayah negeri. Ini
adalah tugas besar yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu hanya 5 tahun kedepan di dalam
RPJMN III, namun masih tetap harus dilanjutkan dalam RPJMN IV sampai tahun 2025 dan sekaligus
memenuhi amanat Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025. Dan karena
wilayah Indonesia sangat luas dan anggaran pembangunan pemerintah selalu tidak mencukupi,
maka dalam RENSTRA 2015-2019 perlu ditegaskan perlunya sejauh mungkin partisipasi BUMN dan
sektor swasta dalam membangun konektivitas nasional yang dapat mempunyai lingkup dari
pembangunan jalur-jalur utama ekonomi (road and rail trunk lines) di koridor-koridor ekonomi dan
lintas utama strategis di wilayah non-koridor, sampai kepada jaringan transportasi di luar Jawa, dan
transportasi keperintisan di wilayah terpencil dan tertinggal. Tugas besar ini akan sejalan dengan
tugas besar lainnya yakni membangun industri transportasi nasional yang diuraikan pada seksi 8.3
dibawah ini.
Tugas besar membangun dan memperluas jaringan dan kapasitas transportasi nasional ini juga
sejalan dengan prinsip-prinsip kebijakan yang sudah dicanangkan SISTRANAS pada tahun 2005 yang
lalu tentang keterpaduan tatanan transportasi nasional, wilayah, dan lokal dan bahwa transportasi
Indonesia memerlukan peningkatan kualitas dan kapasitas infrastruktur dan pelayanannya,
khususnya di daerah tertinggal, kepada kelompok tertentu, dan dalam keadaan darurat (Lihat Tabel
4.2). Rencana pembangunan dan perluasan jaringan transportasi ini banyak tersebar secara eksplisit
pada beberapa Rencana Induk dan Cetak Biru Transportasi yang sudah diresmikan dengan
Keputusan atau Peraturan Menteri Perhubungan serta dalam beberapa dokumen lintas sektoral
seperti Koridor Ekonomi MP3EI, SISLOGNAS, Multimoda, dan Kawasan Ekonomi Khusus. Dokumen
perencanaan dan rencana induk tersebut adalah sahih (legitimate) dan tidak ada alasan untuk
RENSTRA untuk tidak menampungnya dalam perencanaan pembangunan transportasi 5 tahun
kedepan. Ada keperluan yang mendesak oleh karenanya untuk melakukan konsolidasi dari beberapa
dokumen perencanaan strategis tersebut diatas dan menuangkannya kedalam kebijakan nasional
RENSTRA 2015-2019 ini. RENSTRA tidak perlu menciptakan dan membangun proyek-proyek nya dari
awal dan lebih baik mengakomodasi berbagai dokumen strategis yang ada dalam konfigurasi yang
lebih terintegrasi antar subsektor. Beberapa proyek-proyek strategis yang tercantum dalam berbagai
Kebijakan dan program strategis RENSTRA juga diarahkan untuk membangun transportasi di
wilayah-wilayah Indonesia dimana investasi baik oleh pemerintah maupun investasi swasta di
lakukan di setiap sektor ekonomi dan sektor produktif lainnya. Ini termasuk pembangunan
transportasi untuk mendukung sektor-sektor industri, pertanian, perkebunan, pariwisata,
pertambangan, kehutanan, dan industri jasa. Untuk itu perlu diketahui betul agar investasi
pemerintah dalam sektor transportasi betul-betul memenuhi permintaan pasar ekonomi dan
investasi strategis sektor swasta. Salah satu indikatornya adalah dengan mengetahui berapa rasio
dari nilai asset transportasi terhadap PDRB daerah. Untuk wilayah yang terbukti mempunyai
pertumbuhan ekonomi tinggi diatas pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional yang 6,3%, atau
wilayah yang sebenarnya mempunyai potensi pertumbuhan ekonomi tinggi asalkan difasilitasi
dengan transportasi yang baik, maka pertumbuhan transportasi seharusnya berada diatas angka
pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Untuk itu perlu konsensus untuk menetapkan berapa rasio
nilai aset transportasi terhadap PDRB daerah. Kecenderungan di Indonesia adalah wilayah yang
PDRB-nya tinggi mempunyai rasio nilai aset terhadap PDRB yang rendah sementara wilayah yang
PDRB-nya rendah justru mempunyai rasio yang tinggi.
Penelitian akademik tentang besaran aset dan investasi transportasi dibandingkan dengan PDRB
suatu wilayah barangkali belum pernah dilakukan sejauh ini, namun sambil menunggu riset yang
perlu dilakukan, angka yang rasional barangkali dapat diambil secara konsensus agar wilayah-
wilayah di Indonesia mempunyai rasio sekurang-kurangnya 20%, artinya nilai aset transportasi,
termasuk sektor jalan, adalah sebesar 20% dari PDRB wilayah tersebut. Wilayah yang mempunyai
rasio tinggi diatas 40% dapat berkonsentrasi kepada pemeliharaan rutin dan berkala dari fasilitas
infrastruktur transportasi sampai ekonomi lebih bertumbuh dan berkembang sebelum melakukan
investasi yang baru. Wilayah dengan rasio rendah menjadi focus investasi baikpemerintah maupun
swasta. Meningkatkan secara sangat berarti investasi pemerintah untuk membangun infrastruktur
transportasi mutlak diperlukan agar investasi sektor swasta dapat secara bersamaan ditingkatkan
dengan alasan-alasan kelayakan ekonomi dan komersial. Pemerintah harus melihat keuntungan
ekonomi jangka panjang kepada masyarakat luas akibat investasi infrastruktur tersebut. Kompetisi
yang sehat dapat membangun pasar dan industri infrastruktur transportasi Indonesia dengan
meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan serta perubahan yang kreatif. Pembukaan pasar bagi
sektor swasta akan memperkuat struktur industri dan pasar transportasi yang menuju kepada
percepatan pertumbuhan ekonomi.
Konsentrasi investasi pemerintah dan sektor swasta mudah dilihat dari beberapa data empiris yang
ada seperti kawasan industri, kawsan ekonomi khusus, industri properti skala besar, kompleks
industri pertanian dan perkebunan, areal pertambangan, dll. Data lebih rinci dapat dimintakan
kepada sektor ekonomi terkait. Untuk ini Bappenas dapat melakukan koordinasi lebih lanjut dengan
sektor-sektor ekonomi terkait untuk mendapatkan informasi, data, konfirmasi, dan klarifikasi
pengembangan industri masing-masing sektor dalam kurun waktu 5-10 tahun kedepan. Pemerintah
harus melakukan audit dan stock-taking untuk mengetahui besarnya nilai aset transportasi.
Transportasi Multimoda terkait erat dengan Sistem Logistik Nasional dan program koridor ekonomi
MP3EI. Peraturan Presiden No. 26/2012 tentang Sislognas dan Peraturan Menteri Perhubungan yang
terkait dengan sistem logistik nasional perlu ditindaklanjuti dan dilaksanakan secara konsisten dalam
kurun waktu 5 tahun kedepan. Peraturan Menteri Perhubungan No. 15/2010 tentang transportasi
multimoda/intermoda mengacu kepada 25 pelabuhan utama, 7 pelabuhan khusus untuk batubara
dan CPO, 9 kota-kota besar, dan 183 wilayah belakang (hinterland) yang terkait dengan logistik.
Peraturan Menteri Perhubungan No. 8/2012 mengatur sisi bisnis dari transportasi multimoda
sebagai penjelasan operasional dari Peraturan Pemerintah No. 8/2011 tentang Transportasi
Multimoda. Mungkin perlu dikaji kembali efektivitas dan daya tarik peraturan tersebut melihat
kenyataan bahwa tidak banyak investor swasta yang tertarik masuk ke bisnis multimoda. Kebijakan
yang digariskan dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional mensyaratkan perlunya integrasi
pelabuhan dengan akses jalan atau kereta api. Untuk itu kapasitas jalan atau kereta api Jawa harus
ditingkatkan untuk angkutan barang.
Perlu ditinjau kembali regulasi tentang KPS untuk memicu investasi swasta dalam transportasi
multimoda., khususnya dalam kaitannya dengan Special Transport. Selain itu perlu dibentuk badan
atau regulator yang netral dan independent untuk regulasi, investigasi, keselamatan, dan keamanan
angkutan multimoda. Transportasi multimoda dan logistik bersifat lintas sektoral dan kelembagaan
yang mengelolanya nampaknya juga harus lintas sektoral dan tidak dapat dikelola secara biasa,
linier, dan birokratis. Karena sifatnya tersebut Transportasi Multimoda membutuhkan dokumen
perencanaan operasional yang menjelaskan hal-hal makro dan cross-cutting dari multimoda, seperti
kelembagaan, investasi, pembiayaan, peran pemerintah, peran BUMN, peran sektor swasta, dan hal-
hal yang terkait dengan kerjasama internasional dalam transportasi antar negara dan dalam skema
modern financing. Peran pelabuhan sangat penting dalam Transportasi Multimoda. Oleh karena itu
Kapasitas pelabuhan utama juga harus ditingkatkan. Perlu dipertegas dan diperkuat peran Otoritas
Pelabuhan sebagai regulator. Konsep Pendulum Nusantara supaya lebih diperjelas dengan suatu
Naskah Akademik yang legitimate. Dalam hal kereta api, undang-undang mengindikasikan
terbentuknya Multi Operators yang menuju kepada kompetisi yang lebih berimbang antara berbagai
moda transportasi. Akses kereta api perlu dibangun menuju ke pelabuhan dan bandar udara
internasional dengan kompetisi yang sehat, berimbang, dan dibangun oleh pemerintah, misalnya
dengan insentif dan disinsentif.
Peran pelabuhan sangat penting dalam Transportasi Multimoda. Oleh karena itu perlu dipertegas
dan diperkuat peran Otoritas Pelabuhan sebagai regulator. Konsep Pendulum Nusantara supaya
lebih diperjelas dengan suatu Naskah Akademik yang legitimate. Dalam hal kereta api, undang-
undang mengindikasikan terbentuknya Multi Operators yang menuju kepada kompetisi yang lebih
berimbang antara berbagai moda transportasi. Akses kereta api perlu dibangun menuju ke
pelabuhan dan bandar udara internasional dengan kompetisi yang sehat, berimbang, dan dibangun
oleh pemerintah, misalnya dengan insentif dan disinsentif.
Pembangunan dan penyediaan infrastruktur dan jasa pelayanan transportasi masih berorientasi
pusat. Oleh karena itu ada keperluan yang mendesak untuk lebih menyeimbangkan transportasi
pusat dengan transportasi daerah. Sebenarnya desentralisasi dan otonomi daerah memberi hak dan
kewenangan daerah dalam perencanaan, pembiayaan, dan pembangunan transportasi di daerah.
Akan tetapi sampai kini desentralisasi belum memberikan dampak yang positif dan berarti bagi
penyediaan transportasi skala sub-nasional. Selain itu tingkat keterampilan, pengetahuan, dan
pengalaman perlu ditingkatkan untuk dapat merencanakan, membangun, membiayai, dan
mengelola berbagai-bagai fasilitas infrastruktur transportasi dan sistem pelayanannya yang modern,
efisien, dan andal, khususnya infrastruktur dengan menggunakan skema KPS.
RENSTRA harus mewujudkan transportasi yang lebih berimbang antara pusat dan daerah, antara
Jawa dan luar Jawa untuk beberapa alasan strategis, antara lain mempersempit kesenjangan
wilayah, menurangi urbanisasi, revitalisasi ekonomi local, penggunaan yang lebihefektif ari DAU dan
DAK, dan menngkatkan rasa memiliki dari pemerintah daerah terhadap transportasi di daerahnya.
Membangun konektivitas nasional juga mencakup membangun konektivitas yang jauh lebih baik di
daerah perkotaan. Untuk RENSTRA 2015-2019 disarankan agar pemerintah sudah berorientasi
kepada transportasi publik cepat masal berbasis rel, khususnya untuk kota-kota berpenduduk satu
juta jiwa keatas. Rencana Induk Perkeretaapian Nasional sudah mencantumkan program ini untuk 12
kota-kota besar di Indonesia. RENSTRA hendaknya menindaklanjuti program RIPNAS ini dan
memprogramkan pekerjaan persiapan dan investasinya untuk 5 tahun kedepan.
Salah satu komponen utama dari program membangun konektivitas nasional adalah membangun
sistem dan jaringan transportasi yang mendukung SISLOGNAS. Peraturan Presiden No. 26 tahun
2012 serta Cetak Biru Pengembangan SISLOGNAS memberi dasar hukum dan landasan substansi
yang sahih bagi RESNTRA untuk menindaklanjutinya dalam program strategis membangun
konektivitas nasional ini. Cetak Biru SISLOGNAS (CBS) menggariskan tersedianya jaringan infrastuktur
transportasi yang memadai dan handal dan beroperasi secara efisien sehingga terwujud konektivitas
domestik (domestic connectivity) baik konektivitas lokal (local connectivity) maupun konektivitas
nasional (national connectivity) dan konektivitas global (global connectivity) yang terintegrasi dengan
transportasi laut sebagai tulang punggungnya. Oleh karena itu kebijakan SISLOGNAS adalah
melakukan integras simpul-simpul infrastruktur (pelabuhan, terminal, stasiun, depo, pusat distribusi,
gudang, dll) dengan sarana dan prasarana jaringan transportasi (jalan, kereta api, laut, sungai,
danau, dan udara, dll) yang menghubungkan masyarakat pedesaan, perkotaan, pusat pertumbuhan
ekonomi, antar pulau maupun lintas negara sehingga terwujud konektivitas lokal, nasional dan
global dalam rangka kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional (national economic authority and
security)dan terwujudnya Indonesia sebagai Negara Maritim. (Gambar 8.2). Perwujudan dari
kebijakan tersebut adalah terbentuknya Jaringan Transportasi Antar Pulau dan Nasional dengan
membangun jaringan infrastruktur transportasi yang mengikat kuat interkoneksi antara pedesaan,
kawasan-kawasan industri, perkotaan dan antar pulau, serta Infrastruktur dan Jaringan Transportasi
Global yang menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi utama (national gate way) ke
pelabuhan hub internasional baik diwilayah barat Indonesia maupun wilayah timur Indonesia
(International Hub Port of Indonesia), dan antara Pelabuhan Hub International di Indonesia dengan
Hub Port International di berbagai negara yang tersebar pada lima benua.
Tabel 8.2 memperlihatkan pentahapan pengembangan SISLOGNAS mulai tahun 2011 sampai dengan
2025 menurut Perpres 26/2012 dan CBS. Sasaran pengembangan logistik nasional pada tahun 2011-
2015 adalah penguatan sistem logistik domestik dengan meletakkan dasar yang kokoh bagi
terwujudnya Sistem Logistik Nasional yang efektif dan efisien dalam rangka mencapai visi Locally
Integrated dan mewujudkankan landasan yang memadai untuk berintegrasi dengan jejaring logistik
ASEAN. Untuk itu dilakukan pembenahan regulasi, pengembangan SDM, dan peningkatan
infrastruktur logistik sehingga terwujud integrasi logistik lokal dan nasional. Untuk itu ongkos
Logistik Nasional terhadap GDP tahun 2015 turun 3 % dari tahun 2011 dan Score LPI Indonesia
menjadi 3,1. Untuk periode RENSTRA 2015-2019, sasarannya adalah integrasi jejaring logistik ASEAN
dengan memperkokoh integrasi Logistik Dalam Negeri, sinkronisasi, koordinasi dan integrasi dengan
jejaring logistik ASEAN, dan meletakkan dasar landasan yang kokoh untuk berintegrasi dengan
jejaring logistik Global dalam rangka mencapai visi Globally Connected. Pada tahapan ini diharapkan
Ongkos Logistik Nasional terhadap GDP pada tahun 2020 turun 4 % dari tahun 2015 dan Score LPI
Indonesia 3,5. Pada tahapan terakhir (RPJMN IV) sasarannya adalah beroperasinya Sistem Logistik
Nasional yang effektif dan effisien yang terintegrasi dengan jejaring logistik Global serta integrasi
Sistem Logistik Nasional kedalam Jaringan Logistik Global Sehingga Terwujud Konektivitas Logistik
Global. Pada akhir tahun 2025 diharapkan ongkos Logistik Nasional terhadap GDP turun 5 % dari
tahun 2020 dengan Score LPI Indonesia 3,5. Untuk setiap tahapan tersebut diperlukan
pembangunan infrastruktur transportasi sebagaimana diperlihatkan dalam kolom terakhir Tabel 8.2.
Tahap II (2016-2020). Memperkokoh integrasi Logistik Ongkos Logistik Dibangunnya pelabuhan hub laut internasional untuk Kawasan Timur Indonesia di
Integrasi jejaring Dalam Negeri, sinkronisasi, Nasional terhadap Bitung, dan untuk Kawasan Barat Indonesia di Kuala Tanjung
Logistik ASEAN koordinasi dan integrasi dengan GDP tahun 2020 Pengembangan pelabuhan kargo udara di Manado, Bali, Balikpapan, Morotai,
RPJMN III jejaring logistik ASEAN, dan turun 4 % dari Biak, dsb
RENSTRA III meletakkan dasar landasan yang tahun 2015 Beroperasinya model sistem pelayanan 24/7 kargo udara di bandara utama
kokoh untuk berintegrasi Score LPI Terbangun dan beroperasi secara efektif dan efisien jaringan transportasi laut
dengan jejaring logistik Global Indonesia 3,3 antar pulau dalam rangka mewujudkan transportasi laut sebagai backbone
dalam rangka mencapai visi transportasi nasional
Globally Connected. Terbangunnya Trans Java dan Trans Sumatera, serta Jalur KA yang
menghubungkan antara pusat produksi dan simpul transportasi
Meningkatnya peran angkutan truk angkutan sungai, danau dan penyeberangan
sebagai bagian dari angkutan multi moda disetiap koridor ekonomi
Terbangun dan terkoneksinya jaringan transportasi multi moda antar pelabuhan
hub internasional, pelabuhan laut utama, bandar udara utama, pusat-pusat
pertumbuhan dan dry port.
5. Memberlakukan azas Terlaksananya azas cabotage untuk seluruh jenis 6. Meningkatkan Berfungsinya secara baik pelabuhan pengumpan,
cabotage untuk barang/muatan, kecuali untuk penunjang kegiatan aksesibilitas angkutan optimalisasi pelayaran perintis, dan mekanisme PSO;
angkutan laut dalam usaha hulu dan hilir migas (offshore). barang di daerah Terbangunnya terminal antarmoda untuk mendukung
negeri secara penuh Seluruh muatan angkutan laut dalam negeri diangkut tertinggaldan/atau optimalisasi angkutan perintis dalam mendukung
sesuai jadwal oleh kapal berbendera Indonesia & dioperasikan oleh wilayah terpencil, dan kelancaran arus barang di daerah terpencil/belum
Roadmap perusahaan angkutan laut nasional (full cabotage). daerah padat (macet) berkembang.
Terwujudnya kemitraan kontrak jangka panjang antara Meningkatnya jumlah armada kapal laut nasional
pemilik barang dan pemilik kapal, melalui pemanfatan untuk menunjang logistik barang antar pulau.
informasi ruang kapal dan muatan sesuai Inpres Nomor Terselenggaranya kapal ro-ro (short sea shipping) di
5 Tahun 2005. sepanjang Pantai Utara Jawa dan Jalur Lintas Timur
Terlaksananya Inpres Nomor 2 tahun 2009 terkait Sumatera sebagai alternatif utama angkutan barang
dengan kewajiban angkutan barang milik pemerintah untuk mengurangi beban jalan
diangkut oleh kapal berbendera Indonesia. Berfungsinya secara regular angkutan perintis/short
sea shipping untuk mendukung kelancaran arus
barang di daerah terpencil/belum berkembang.
9.1. PENGANTAR
Sudah jelas bahwa investasi pemerintah dan pembelanjaan sektor publik lainnya
tidak akan pernah cukup untuk membangun transportasi Indonesia di seluruh
wilayah, baik untuk investasi infrastrukturnya, investasi sarana perhubungannya,
maupun untuk jasa pelayanannya. Oleh karena itu investasi swasta menjadi keharusan (imperative)
dan pasar dan industri transportasi nasional harus dikembangkan jauh melampaui batas-batas
entitas perekonomian APBN. Selama ini pasar dan industri tersebut terlalu kecil karena terpusat
kepada belanja APBN dan BUMN dan tidak berkembang karena akses kepada perluasan pasar
terhalang oleh monopoli atau “de-facto” monopoli bahkan setelah penerbitan undang-undang baru
yang mengamanatkan keterbukaan pasar. Sementara itu mengembangkan pasar dan industri
transportasi membutuhkan peran sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya. Indonesia
membutuhkan pengembangan pasar dan industri transportasi yang efisien, berdaya saing tinggi,
dan andal untuk dapat melayani pertumbuhan dan pengembangan perekonomian kedepan. Untuk
membangun industri transportasi dan mengembangkan pasar transportasi yang efisien dan berdaya
saing tinggi, Indonesia perlu menciptakan penyediaan jasa infrastruktur dan pelayanan transportasi
yang lebih kompetitif dan lebih berimbang antara sektor publik/BUMN dengan sektor swasta.
Karakter monopoli yang masih melekat harus diminimalkan atau dihilangkan. Untuk itu harus ada
insentif pemerintah untuk membangun kompetisi yang sehat dan menguntungkan pengguna di satu
sisi dan industri transportasi nasional di sisi lain. Ini sebenarnya merupakan jiwa dan semangat
undang-undang transportasi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Pembukaan pasar
penerbangan dan sekuritisasi dan restrukturisasi PT Jasa Marga untuk jalan tol, misalnya, memberi
contoh yang baik dari good corporate governance dan fokus kepada operasi dan manajemen yang
lebih profesional. Model korporatisasi dan sekuritisasi dapat juga dilaksanakan di sektor lain seperti
perkeretaapian, pelabuhan, penerbangan, dan pelayaran. Dalam hal ini, pemisahan vertikal, spasial,
dan horizontal dari bisnis BUMN yang terintegrasi secara vertikal dari hulu ke hilir patut untuk
dipertimbangkan kembali untuk membuka ruang bagi kompetisi yang lebih sehat dan efisiensi
ekonomi yang lebih besar. Untuk itu dipandang sangat penting bagi Indonesia membangun struktur,
pasar, dan bisnis industri transportasi nasional yang berdaya saing tinggi secara nasional dan
internasional untuk mempercepat pembangunan dan penyediaan transportasi Indonesia.
Table 9.1 memperlihatkan 5 inisiatif kebijakan dalam kebijakan utama membangun industri
transportasi nasional yang efisien dan berdaya saing tinggi.
Kebijakan yang pertama dalam membangun industri transportasi nasional adalah Revitalisasi dan
Pengarusutamaan Program Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS). Program KPS telah berjalan
selama 12 tahun sejak dibentuknya Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI)
pada Juni 2001 dengan Keppres 81/2001 dengan tugas menyusun kebijakan dan strategi
mempercepat pembangunan infrastruktur, khususnya terkait dengan KPS, melakukan koordinasi
perencanaan dan program, dan menetapkan solusi permasalahan yang muncul dari percepatan
pembangunan infrastruktur. Keppres No.81/2001 diperbarui dengan Perpres No.42/2005, dan
kemudian dengan Perpres No.12/2011. KKPPI memperlihatkan kinerjanya yang baik pada era 2004-
2007 dengan bantuan Bank Dunia untuk memperkuat sekretariatnya dengan para profesional yang
melaksanakan tugas-tugas fungsional KPS, namun mengalami kemunduran sejak itu. Sampai saat ini
walaupun sudah dilakukan dua kali pembaruan Perpresnya, KKPPI belum terasa efektif dalam
mempercepat skema KPS dalam penyediaan infrastruktur Indonesia. Selama kurun waktu 2007-
2013 KKPPI sangat jarang bersidang dan membuat keputusan tentang KPS. Sejalan dengan itu
upaya yang dilakukan oleh P3-Central Unit yang ada di Bappenas pun tidak berhasil membawa KPS
kedalam arus utama kebijakan nasional sehingga kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah
tidak mempunyai insentif dan anggaran on-top untuk mengerjakan KPS dengan sungguh-sungguh.
Lahirnya program koridor ekonomi MP3EI29 yang dikelola oleh KP3EI30 kemudian menjadikan KKPPI
tersingkir dari perhatian pemerintah yang saat ini fokus kepada pembangunan strategis
infrastruktur di koridor ekonomi31.
29
MP3EI adalah Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 yang disahkan dengan
Peraturan Presiden No. 32/2011.
30
KP3EI adalah Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 yang melakukan koordinasi,
pemantauan dan evaluasi, dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian permasalahan dan hambatn pelaksanaan MP3EI.
31
KKPPI pernah akan diintegrasikan kedalam KP3EI karena focus pemerintah kepada program MP3EI namun sampai saat ini
belum ada realisasinya
Selain itu proyek-proyek KPS sering terkendala pembebasan tanah. Dalam konteks ini Pemerintah
perlu untuk melihat kembali kondisi kerangka hukum dan peraturan tentang pembebasan tanah.
Apabila kerangka tersebut sudah benar, maka barangkali modus pelaksanaan pembebasan tanah
dan kelembagaannya perlu ditinjau ulang untuk mempercepat proses pembebasan tanah. Dalam
jangka agak panjang perlu dipertimbangkan agar ada kepemilikan tanah oleh pemerintah untuk
proyek-proyek infrastruktur transportasi dimana pemerintah dapat menyewakan tanah tersebut
kepada operator swasta atau menggunakannya sebagai government equity dalam proyek-proyek
berbasis KPS atau Aliansi Strategis KPS. Dalam komteks kompetisi dan efisiensi barangkali perlu di
percepat program korporatisasi-profitisasi-sekuritisasi BUMN transportasi dengan intervensi
pemerintah yang lebih dalam, termasuk pemberian insentif dan disinsentif. Beberapa pelajaran
internasional seperti BUMN di China dan Vietnam dapat diacu secara cermat dan hati-hati
disesuaikan dengan kondisi politik di Indonesia. Tabel 9.2 memeperlihatkan program strategis dari
kebijakan KPS ini.
Studi untuk melakukan revitalisasi kelembagaan KKPPI telah dilakukan oleh Bappenas dengan
bantuan ADB dan JICA dan keluar dengan penyederhanaan struktur organisasi KKPPI dan pengayaan
fungsi-fungsi KKPPI. Gambar 9.1 memperlihatkan usulan organisasi KKPPI baru dengan revisi
Perpres dan Tabel 9.2 memperlihatkan fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh KKPPI dan atau
P3CU untuk membuat proyek-proyek infrastruktur dengan skema KPS berjalan baik32. Ini harus
dibarengi oleh perkuatan kelembagaan PPP-Node di Kemenhub sebagai pemilik dan penggagas
proyek-proyek KPS transportasi.
Situasi pada sekitar Juni 2013 memberi indikasi kuat bahwa pemerintah tidak akan melakukan
penggabungan KKPPI kedalam KP3EI dan bahwa pemerintah tetap mempertahankan keberadaan
KKPPI dan sepakat untuk merevitalisasinya. Pada uraian sebelumnya dijelaskan bahwa membangun
industri transportasi yang efisien dan berdaya saing tinggi memerlukan revitalisasi KPS. Sementara
itu migrasi undang-undang transportasi memberi jalan lapang bagi reformasi sektor-sektor
infrastruktur dalam konteks kelembagaan, operator, infrastruktur fisik, investasi, dan pembiayaan.
Pembukaan pasar, industri, dan jasa transportasi bagi sektor swasta dapat mempercepat
modernisasi dan kemajuan pembangunan dan penyediaan infrastruktur nasional. Pembangunan
infrastruktur transportasi akan menjadi portofolio ekonomi yang besar dalam trayektori
perekonomian besar Indonesia kedepan.
Sesungguhnya transportasi Indonesia sedang menjalani tahap awal migrasi dari monopoli oleh negara
menjadi keterbukaan pasar. Ini ditandai oleh terbitnya undang-undang baru yang meninggalkan
monopoli dan membuka pasar, industri, dan jasa infrastruktur transportasi bagi investasi sektor
swasta. Dalam Undang-Undang yang baru sektor swasta diberikan peluang yang besar untuk
melakukan investasi pada proyek-proyek yang bersifat komersial dan “cost recovery”. Dengan variasi
32
JICA PPP Network Enhancement Project, January 2012
Sementara itu pemerintah sudah bergerak maju dengan skema penjaminan dan fasilitas pendukung
investasi swasta dalam bentuk VGF untuk menjembatani gap dalam kelayakan finansial proyek-proyek
KPS. Pembentukan BUMN dalam investasi (PT SMI) dan penjaminan (PT PII) juga merupakan langkah
maju dalam mendukung proyek-proyek KPS.
Ketua KKPPI
Menko Perekonomian
Sekretaris KKPPI
Sekretaris Jenderal Menko Perekonomian
SISTRANAS pada tahun 2005 menggariskan pentingnya peningkatan efisiensi dan daya saing dari
transportasi nasional yang antara lain dapat dilakukan dengan penyederhanaan perijinan dan
melakukan beberapa deregulasi yang diperlukan. Efisiensi sebenarnya dapat juga dilakukan
sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang yakni dengan melakukan pemisahan operator
dari fungsi regulator dan membentuk kelembagan baru dalam bisnis dan pengusahaan
transportasi seperti Badan Usaha Sarana dan Badan Usaha Prasarana untuk sektor
perkeretaapian, Otoritas Pelabuhan untuk sektor perhubungan laut , dan Otoritas Bandara
untuk sektor perhubungan udara. Otoritas pelabuhan dan Otoritas Bandara sudah dibentuk
untuk pelabuhan dan bandara komersial sedangkan Badan Usaha Sarana dan Prasarana
perkeretaapian belum terbentuk.
9.4. KNR 07 – MENINGKATKAN PERAN DAN DAYA SAING BADAN USAHA MILIK NEGARA
Indonesia perlu menciptakan kesetaraan antara BUMN dan operator swasta dalam mekanisme
pasar, industri, dan jasa transportasi nasional, termasuk dalam hal kontrak, perhitungan
depresiasi, subsidi, serta skema KPS lainnya untuk membangun iklim investasi yang sehat dan
dalam penetapan tarif yang bersaing secara sehat. Sementara itu kompetisi yang sehat
memerlukan keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas publik yang tinggi dari setiap pelaku
bisnis dan industri transportasi, termasuk BUMN. Dalam hal ini pengenalan dari sistem cost
accounting dan manajemen yang berstandar internasional (international best practice) perlu
diacu.
Saat ini opsi pembiayaan pembangunan dan penyediaan infrastruktur dan jasa pelayanan
transportasi masih sangat terbatas dan terpusat pada APBN. Sementara itu peran BUMN masih
terbatas dan dalam skala besar masih membutuhkan dukungan pemerintah. Sampai saat ini
skema pembangunan transportasi denganskema KPS masih sangat langka. Dalam waktu 5 tahun
kedepan ketika pembangunan harus dipercepat dan diperbanyak, ketergantungan kepada APBN
dan pinjaman luar negeri tidak dapat dipertahankan lagi dan berbagai-bagai opsi pembiayaan
modern harus diaplikasikan. Sementara pembiayaan APBN harus ditingkatkan, perlu dicari
sumber pendanaan lain seperti Obligasi Infrastruktur dan KPS. Sementara itu prinsip “user pay
principle’ seperti road charges, road funds, dan road pricing sudah dapat dicoba untuk
diterapkan. Ada keperluan yang mendesak untuk memperluas spektrum KPS dengan
mempergunakan berbagai-bagai skema pembiayaan modern (Modern Project Financing) dan
Creative Financing seperti Performance Based Annuity Scheme (PBAS), Lease and Operate,
pembangunan berbasis partisipasi masyarakat (community based development), kontrak tahun
jamak, dan sekuritisasi. Pemerintah perlu menetapkan Transport Pricing, user charges, dan
subsidi untuk mendukung pemeliharaan, operasi, dan pembangunan transportasi kedepan.
Naskah Akademiknya perlu dibuat untuk membangun dukungan politik dan kesediaan rezim
keuangan untuk mendukungnya.
Kerangka legal dan peraturan yang ada tidak memberi definisi dan ruang bermain yang jelas bagi
partisipasi sektor swasta yang lebih efisien dan kompetitif dalam penyelenggaraan industri
infrastruktur dan jasa pelayanan transportasi Indonesia. Berbagai modus dan varian dari KPS,
misalnya, tidak terinci dalam Peraturan Presiden tentang KPS dan tidak dikenali dalam Peraturan
Menteri terkait dengan KPS.
Upaya untuk terus menerus meningkatkan investasi sector swasta dalam pembangunan dan
penyelenggaraan transportasi.
Implementasi skema kontrak baru seperti PBAS dan Kontrak tahun Jamak untuk menarik
investasi swasta.
10.1. PENGANTAR
Sesungguhnya cerita tentang transportasi adalah cerita tentang kegiatan sosial ekonomi dari
manusia dan masyarakat baik didalam batas suatu wilayah maupun menyeberangi batas-batas
wilayah administrasi dan politik. Lebih dalam lagi transportasi adalah cerita tentang karakteristik
dan perilaku manusia secara ekonomi, sosial, politik, dan budaya, tentang kehidupan sehari-
harinya dan tentang kebutuhannya sebagai mahluk sosial dan ekonomi. Oleh karena itu para
perencana transportasi harus mempergunakan pendekatan komprehensif ini dalam
merencanakan dan membangun sektor transportasi di Indonesia, sementara pendekatan teknis
ilmiah diperlukan untuk mendukung kualitas proses pembuatan keputusan publik oleh
pemerintah. Untuk itu, perencana transportasi harus mampu memahami interaksi yang sangat
kompleks dari dinamika masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi sebagai bagian integral
dari kehidupan mereka; cara-cara mereka berkomunikasi, melakukan perjalanan dan
mengerjakan bisnisnya, dan mengerti apa dampak dari semua kegiatan mereka terhadap
pendapatan, keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan mereka. Lebih dari itu dalam skala
yang lebih agregat, perencana kebijakan transportasi harus mampu mengurai pertalian yang
erat antara transportasi dengan lingkungan alam yang makin rusak, daya dukung lahan yang
menurun, energi yang makin menipis, lingkungan yang makin rusak, dan sumber daya alam yang
makin terkikis.
Oleh karena persinggungannya yang sangat melekat dengan segenap hajat hidup dan kehidupan
masyarakat banyak, maka banyak isu-isu kemanusiaan yang sifatnya eksternal terhadap
transportasi dan bersifat lintas sektoral namun sangat mempengaruhi kualitas penyelenggaraan
transportasi baik dari sisi kebijakan, operasi, dan pelaksanaan pembangunan transportasi
Indonesia kedepan. Isu-isu lintas sektoral ini belum mendapat perhatian yang cukup besar dari
proses pembuatan kebijakan public dan keputusan politik di sektor transportasi. Oleh karena itu
dalam periode 2015-2019 sudah sewajarnya jika RENSTRA melakukan internalisasi dari
eksternalitas ini dan megintegrasikannya kedalam kebijakan utama sektor transportasi.
Internalisasi dan integrasi isu-isu strategis lintas sektoral ini kedalam kebijakan transportasi
memerlukan koordinasi lintas sektoral atau bilateral antara transportasi dan sektor lainnya
seperti sektor energi, pendidikan, dan ligkungan hidup. Internalisasi dan integrasi inipun penting
untuk dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan transportasi dan kualitas hidup
masyarakat pengguna transportasi. Transportasi yang hemat energi dan bebas polusi, misalnya,
akan meningkatkan kualitas dari kedua sisi yakni sisi sistem pasokan transportasi dan sisi
permintaan yakni pengguna transportasi. Pada beberapa isu strategis seperti transportasi dalam
kaitannya dengan energi dan telekomunikasi, perlu dimulai suatu eksplorasi yang lebih
komprehensif didalam kurun waktu 5 tahun kedepan untuk mencapai efisiensi ketiga sektor
tersebut dalam misinya membangun perekonomian nasional. Ada korelasi yang dekat antara
transportasi, energi, dan telekomunikasi dalam konteks membangun konektivitas fisik dan
konektivitas virtual. Ekonomi virtual sebagaimana diuraikan dalam Bab VI memungkinkan para
pekerja kerah putih untuk bekerja secara virtual melalui internet dan melakukan
“telecommuting” ke kantornya. Makin besar kapasitas broadband makin besar pula
kemungkinan bekerja secara virtual yang akhirnya menciptakan konektivitas virtual ini. Bekerja
secara virtual akan megurangi kebutuhan untuk melakukan perjalanan secara fisik dan
Tabel 10.1: Kebijakan Nasional RENSTRA – INTERNALISASI ISU-ISU STRATEGIS LINTAS SEKTOR
Kode KEBIJAKAN UTAMA
Kebijakan
KNR 11 Transportasi, Energi, dan Lingkungan Hidup
KNR 12 Transportasi dan Pendidikan Dini
KNR 13 Keselamatan dan Keamanan Transportasi
KNR 14 Penelitian dan Teknologi Transportasi
KNR 15 Isu Gender dalam Transportasi
KNR 16 Aspek Sosial Politik transportasi
KNR 17 Transportasi dan Tata Ruang
KNR 18 Sumberdaya Manusia Perhubungan
KNR 19 Peninjauan Kembali Kerangka Peraturan dan Perundang-undangan
SISTRANAS telah menggariskan pentingnya pemeliharaan dan kualitas lingkungan hidup serta
penghematan penggunaan energi dalam transportasi dan oleh karenanya harus dilakukan upaya
besar yang konsisten dalam konservasi dan diversifikasi pemakaian energi bahan bakar minyak
dalam transportasi (fuel-efficient transport). Transportasi Indonesia sangat tidak efisien dan
boros dalam penggunaan energi berbasis fosil. Ini utamanya disebabkan belum berjalannya
diversifikasi dan konservasi energi, dominasi moda jalan dalam angkutan orang dan barang,
makin macetnya jalan-jalan di perkotaan dan di jalur srategis lintas pulau dan lintas kabupaten
serta absennya sistem transportasi multimoda. Oleh karena itu transportasi adalah salah satu
penyumbang terbesar emisi gas buang CO2 yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim
global oleh karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bahan bakar minyak. Lebih dari
80%-90% dari pergerakan nasional juga sangat tergantung
kepada moda jalan raya padahal kemacetan di kota-kota
Permintaan minyak besar dan menengah serta rusaknya banyak jaringan jalan
dunia meningkat terus
dan tidak ada di daerah menambah parah dan buruknya emisi gas
akhirnya. buang. Ironisnya, konsumsi energi berbasis fosil dari
transportasi yang boros ini terjadi ditengah-tengah
produksi minyak
51
Jumpa Pers Menteri ESDM tentang Kinerja Sektor ESDM tahun 2013. KOMPAS, 28 Desember 2013.
Karena melakukan perjalanan rutin dengan berbagai moda transportasi yang bervariasi dengan
waktu, jarak, dan lintasan, maka setiap individu dan agregatnya yakni masyarakat, akan
membentuk karakter dan persepsinya sendiri dalam memandang dan bersikap terhadap sistem
transportasi yang ada. Pembentukan karakter ini dapat dipercepat dan diarahkan ke persepsi
dan karakter positif yang mendukung efisiensi dan produktivitas pergerakan apabila sejak dini
dilakukan proses pendidikan tentang transportasi dan interrelasinya dengan keseharian
masyarakat. Oleh karena itu dipandang perlu untuk dilakukan upaya pendidikan dini terhadap
anak didik untuk menanamkan karakter keberaturan, kesantunan berlalu lintas, efisiensi
perjalanan, dan kecintaan kepada angkutan umum. BP-SDM barangkali dapat merancang
program pendidikan dini ini bekerjasaman dengan Ditjen Pendidikan Dasar Kementerian
Pendidikan dn Kebudayaan serta Kepolisian.
Teknologi transportasi akan terus berkembang. RENSTRA 2015-2019 melalui Badan Litbang
Kemenhub harus mulai mengembangkan riset terapan untuk menangkap perkembangan
teknologi transportasi, khususnya teknologi Kereta Api Cepat, Intelligent Transport System,
Teknologi Navigasi Penerbangan, dan teknologi kapal peti kemas (Mother Vessels). Sejalan
dengan itu kemampuan sumberdaya manusia untuk mengoperaikan teknologi transportasi masa
depan menjadi perhaian utama.
Banyak kejadian dalam penyelenggaraan dan pelayanan transportasi yang terkait dengan isu
Gender. RESNTRA seyogyanya mempertimbangkan untuk melakukan optimasi dari kebijakan
pemerintah dan partisipasi public dalam pelayanan transportasi yang berperspektif gender.
Termasuk kedalam inisitaif ini adalah kebijakan perlakuan khusus terhadap kelompok rentan,
lansia, penyandang cacat, dan kaum perempuan dalam layanan dan sarana transportasi, serta
pendidikan dini untuk mengenal isu gender dalam transportasi. Perlu juga dilakukanpromosi dan
sosialisasi isu strategis gender dalam transportasi.
Transportasi sangat erat terkait dengan aspek-aspek sosial politik dari masyarakat.
Penyelenggaraan transportasi dan operasi armada transportasi darat, laut, dan udara sangat
bersinggungan dengan kehidupan sosial politik para pengguna. Dimensi sosial politik ini sejauh
ini kurang dibahas dalam proses perencanaan transportasi.
Transportasi dan tata ruang adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. Sayangnya kedua
entitas ini tidak diimplementasikan secara sungguh-sungguh dan konsisten di lapangan.
RENSTRA perlu untuk membahas ini lebih mendalam bagaimana korelasi yang sangat dekat dari
kedua entitas tersebut dapat ditingkatkan sebagaimana teori dan konsep yang kita ketahui
tentang interrelasi yang positif dari keduanya.
Meninjau kembali kerangka hukum dan peraturan yang ada dimaksudkan untuk melihat dan
mengurangi hambatan dalam pencapaian target pembangunan sektor transportasi. Ini
merupakan proses berjenjang dan tidak harus melakukan revisi undang-undang. Tujuannya
adalah untuk mengenali hambatan dan kendala legal dalam pembangunan sistem infrastruktur
dan jasa pelayanan transportasi. Hambatan dan kendala legal kemungkinan ada baik di UU,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau di Peraturan Menteri. Ini dilakukan, apabila
perlu, sebagai “last resort” dan dalam situasi “extra-ordinary” untuk menanggulangi defisit dan
Kerangka hukum dan peraturan harus dapat memperluas skema investasi KPS untuk melingkupi
juga Design-Build-Operate, Lease-Operate, Annuity-based Design-Finance-Build-Operate,
Performance Based Contracts, dll. Untuk kota-kota besar dan metropolitan seperti Jabodetabek,
perlu dibentuk Badan Otoritas Transportasi yang berfungsi sebagai integrator dari perencanaan,
pengoperasian, investasi, dan pembiayaan dari sistem transportasi perkotaan, khususnya untuk
sistem yang besar seperti MRT, Monorel, dan BRT. Hal ini memerlukan payung hukum yang
kuat. Dalam konteks ini kerangka legal dan kelembagaan dari restrukturisasi jangka panjang
subsektor seperti perkeretaapian (misalnya dengan Peraturan Pemerintah) bagi pembentukan
Badan Usaha Sarana dan Prasarana Perkeretaapian, pemisahan yang tegas antara fungsi
kepemerintahan/regulasi dengan fungsi pelaksanaan/operator.
Selain itu perlu peninjauan kembali kerangka peraturan yang terkait dengan investasi dan
pembiayaan oleh sektor swasta, KPS, dan Private Financing Initiatives (PFI) untuk proyek-proyek
infrastruktur transportasi, serta skema rekayasa finansial non-APBN (off-budget) lainnya seperti
Domestic Capital Market, Obligasi Infrastruktur, dll.
Ketika dunia menciut dan merubah bentuk geografisnya oleh karena kemajuan dari teknologi
informasi dan transportasi, kota-kota kita secara paradoks membesar dan menyebar sedemikian
rupa tidak beraturannya sehingga bahkan teknologi yang sama pun tidak dapat mengatasi
hambatan waktu dan ruang. Kota-kota kita adalah entitas ekonomi yang besar dan menyumbang
cukup besar terhadap pembentukan produk domestik bruto nasional. Akan tetapi mereka sangat
tidak berdaya menghadapi kemacetan masif yang makin menggurita. Perang melawan
kemacetan kota-kota besar nampaknya masih akan panjang dan sejauh ini kita tidak pernah
keluar sebagai pemenangnya. Akibat urbanisasi masif yang telah berjalan selama beberapa
dekade, maka pada tahun 2025 sebagian besar penduduk di Jawa dan Sumatera, khususnya,
akan tinggal di kota dan daerah perkotaan. Penduduk perkotaan di Jawa saja, misalnya, akan
mencapai sekitar 120 juta orang. Transportasi perkotaan oleh karenanya akan menjadi makin
rumit dan kompleks; sistem yang tradisional akan dibebani oleh permintaan perjalanan kota
yang makin meningkat secara tajam. Sejalan dengan proses urbanisasi masif yang tidak
terbendung, kelangkaan visi, dan ketidakhadiran kebijakan nasional dan lokal yang lugas, berani,
dan visioner, kota-kota besar dan menengah di Indonesia tumbuh dan berkembang sangat cepat
dan sporadik seringkali tanpa
mengindahkan tata ruang,
kelestarian lingkungan, dan daerah
resapan air. Pembangunan kota
seringkali juga berbauran dengan
mobilitas ekonomi marjinal dari
kemiskinan kota yang dapat
berujung kepada keberantakan
dan pelapukan kota (urban sprawl
and decay). Gambar 11.1
memperlihatkan ritme dari
urbanisasi kota-kota di Indonesia
dari tahun 1970 ke tahun 2010 dan
Gambar 11.1: Pertumbuhan Kota di Indonesia
Sumber: Ditjen Penataan Ruang, 2013 proyeksinya ke tahun 2020
sebagaimana dilaporkan oleh
Gambar 11.2: Urban Sprawl di Jabodetabek, 1972-2005 Menurunnya secara konsisten peran
Sumber: Predicted by JICA Sitramp Study, 2004 angkutan umum di perkotaan telah
berjalan sangat lama. Sebagai ilustrasi
historis, sebenarnya sejak usai Perang Dunia II peran angkutan umum di perkotaan di dunia,
khususnya di Amerika, perlahan dan pasti menjadi berkurang terkikis oleh maraknya
penggunaan mobil-mobil pribadi dan pembangunan jaringan jalan bebas hambatan. Ini adalah
fenomena global dan kebangkitan industri kendaraan bermotor dan pembangunan jaringan
jalan yang masif merupakan sebab utama dari keterpurukan transportasi publik. Sejak 1975,
Meyer dan Ibanez 52 telah menyimpulkan bahwa sekitar 84% pekerja di kota-kota besar
menggunakan mobil pribadi untuk melakukan perjalanan bekerja ke pusat-pusat kota dan hanya
sekitar 8% yang menggunakan
angkutan umum. Pada dekade 1960
dan 1970-an, kebijakan transportasi
kota di Amerika diarahkan kepada
keseimbangan yang proporsional
antara penggunaan mobil pribadi dan
angkutan umum, tetapi tanpa sukses
yang berarti untuk meningkatkan
pangsa pasar angkutan umum. Dari
tahun 1940 ke 1960 pengguna
angkutan umum menurun dari 13,1
miliar penumpang ke 9,4 miliar
Gambar 11.3: Penurunan Peran Angkutan Umum di sementara jumlah mobil pribadi yang
Jabbodetabek, 2002 ke 2010 terdaftar meningkat pesat dari 27,5
Sumber: JUTPI Commuter Survey, 2011
juta ke 61 juta dan jumlah perjalanan
Car termasuk taxi dan Bajaj, Others termasuk KA dan Ojek
mobil pribadi meningkat dari 240
miliar ke 533 miliar kendaraan-km.
52
Meyer and Ibanez.
Tabel 11.1: Modal Share Transportasi Perkotaan (2010, %) Pemerintah dan masyarakat
Tipologi Kota Jumlah Mobil Sepeda Kend. Bus harus memiliki politik trans-
Pribadi Motor pribadi portasi perkotaan dimana
Metropolitan 11 19,8 53,0 72,8 27,2 pergerakan manusia, dan
Kota Besar 15 20,0 73,0 93,0 7,0 bukan pergerakan
Kota Menengah 60 15,3 79,6 94,9 5,1 kendaraan, yang menjadi
Sumber: GIZ Study, 2013 pusat perhatian kebijakan,
program, dan kegiatan
pembangunan. Kita semua
KOTAK 5 percaya bahwa pengurangan
THE CONVENTIONAL WISDOM perjalanan mobil-mobil
pribadi dan sepeda motor
People believe that the problem of congestion in urban areas has serta peningkatan pemakaian
been precipitated by the automobile; that the automobile, on the angkutan umum cepat masal
contrary, has been our escape from congestion, that neither urban toll
dapat mengurangi
roads nor mass rapid transportation nor any other mechanical
kemacetan di perkotaan.
contrivance can solve the problems of massive urban congestion. As a
solution of the traffic problem these devices are pure deception. Tetapi pada skala kota
Putting the emphasis on supplying transportation facilities rather than megalopolitan seperti
controlling the demand serves only to aggravate congestion. As long Jaodetabek apakah teori ini
as nothing is done fundamentally to rehabilitate the cities themselves, benar dapat menyelesaikan
the quicker will people forsake them and the greater the problems for masalah masih harus
those left behind to cope with. The automobile and mass dibuktikan lebih lanjut.
transportation are both guilty of promoting congestion; and finally Apakah MRT secara sendiri
that neither is the primary culprit, but rather a host of other factors juga dapat mengurangi
that have resulted in the successful attempt to crowd too many
kemacetan? Solusi kota-kota
people and too much economic activity into too little space (Wilfred
Owen,1966). besar barangkali tidak hitam-
putih, tetapi lebih
merupakan kombinasi yang
optimal antara berbagai-bagai opsi yang ada. Karena sesungguhnya tidak ada dikotomi antara
jalan tol kota dengan MRT, karena kedua-duanya merupakan upaya yang parsial ketika kota-kota
Beberapa dekade dalam pembiaran dan berada jauh diluar arus utama kebijakan nasional,
transportasi kota-kota besar di Indonesia saat ini berada dalam ancaman kelumpuhan total
(total gridlock) akibat kemacetan masif dan komplikasi dengan tata ruang yang terabaikan,
kemiskinan kota yang meruyak, angkutan umum yang tradisional dan cenderung primitif, dan
membludaknya mobil-mobil pribadi, ojek, angkot, dan sepeda motor di ruang-ruang jalan. Kota-
kota besar, menegah, dan kecil di Indonesia, khususnya di Jawa, saat ini menghadapi
permasalahan sosial ekonomi yang kompleks dan dengan cepat menjadi ajang konflik horizontal
dan vertikal dari berbagai kepentingan yang berbenturan satu sama lain. Urbanisasi yang tidak
terbendung mengisi ruang-ruang kota, lahan hijau, bantaran sungai, dan bersama-sama dengan
kekumuhan dan kemiskinan kota seolah-olah berjalan beriringan dengan pembangunan simbol-
simbol fisik modernisasi ekonomi kota, suatu pembauran nilai-nilai budaya dan peradaban dari
dua habitat yang jelas berbeda jauh. Ada kepentingan kaum urban marjinal yang harus dilayani
oleh kewajiban dan pelayanan umum birokrasi dan ada juga kebutuhan pemenuhan hajat hidup
golongan menengah dan golongan menengah atas kota yang tuntutannya terhadap kualitas
kehidupan makin tinggi.
Golongan pertama mengisi ruang-ruang kota dengan berbagai kegiatan informal, termasuk
memenuhi lorong-lorong, persimpangan jalan, dan bahkan boulevard dengan ojek dan gerobak
dorong; golongan kedua memenuhi ruang jalan dengan kendaraan pribadi yang mewah dan
modern dan makin banyak jumlahnya dari waktu ke waktu. Golongan ekonomi lemah dan
golongan menengah atas ini bersaing memperebutkan ruang jalan kota dan menciptakan bentuk
eksternalitas disekonomi tanpa ada upaya internalisasi samasekali dari otoritas yang berwenang.
Ini adalah salah satu konflik yang kasat mata di daerah perkotaan kita, dimana pembuat
perjalanan berjuang setiap saat untuk memperebutkan ruang jalan kota demi sampai di tempat
tujuannya. Banyak lagi konflik perkotaan yang bermula dari transportasi kota yang buruk yang
berujung kepada dampak sosial, ekonomi, dan budaya. Terminal bus yang menjadi ajang ketidak
beraturan pergerakan orang dan kendaraan, kriminal dan tindak pidana di angkot dan taksi,
serta perebutan ruang jalan oleh pedagang kaki lima, gerobak dorong, dan pasar tumpah,
semuanya merefleksikan konflik horizontal yang menjadi laten karena kondisi transportasi yang
cenderung tidak membaik. Kota adalah ajang dimana kaum marjinal, the transport
disadvantages, berbenturan dengan kaum urban yang amat sejahtera, the urban affluent, dan
pemerintah sebenarnya dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan skema redistribusi
pendapatan dimana kaum sejahtera membayar pajak progresif dan kaum tidak berada
mendapat manfa’at dari pembenahan dan perbaikan kualitas pelayanan angkutan umum yang
terjangkau yang menggunakan pendapatan pajak progresif tersebut.
Sebenarnya tidak perlu ada dikotomi antara peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dalam pengembangan transportasi perkotaan yang efisien, andal, dan nyaman bagi rakyatnya.
Baik pusat maupun daerah mempunyai perannya masing-masing. Apalagi untuk kota-kota besar
yang mempunyai sumbangan PDRB cukup besar terhadap perekonomian nasional. Oleh karena
itu baik RPJMN maupun RENSTRA serta beberapa rencana induk perhubungan hendaknya
mempunyai program pembangunan transportasi perkotaan yang terintegrasi secara moda dan
pembiayaan didalamnya. Didalam idealisme teori ekonomi dengan kompetisi yang sehat dan
Sejalan dengan otonomi daerah dan semakin banyaknya kota-kota yang tumbuh dan
berkembang dengan pesat, kemampuan sumber pendanaan daerah cenderung tidak
memungkinkan untuk membangun transportasi perkotaan secara sistem yang utuh untuk
menopang pergerakan di dalamnya. Melihat situasi ini, Pemerintah Pusat (dalam hal ini
Kementerian Perhubungan) membuka peluang dengan skema bantuan teknis kepada
pemerintah daerah untuk mengembangkan transportasi perkotaan.
Kementerian Perhubungan sejauh ini telah melakukan bantuan teknis kepada banyak kota
dalam berbagai jenis antara lain sebagai berikut:
Sebagaimana data, perkembangan sistem transit di Indonesia masih relatif lambat, tidak saja
dari jumlah kota yang sudah menerapkan, akan tetapi juga dari kapasitasnya. Setelah dilakukan
evaluasi terhadap sistem transit pada kota-kota yang telah mendapat bantuan teknis dari
Kementerian Perhubungan dapat digambarkan keadaan dan kinerja sebagaimana uraian berikut.
Proporsi terbesar jumlah koridor yang sudah dioperasikan adalah 1-2 koridor (62%), kemudian 3-
5 koridor (23%) dan sisanya 5 koridor atau lebih. Secara pelayanan, baru 31% yang didukung
feeder dan sisanya belum didukung oleh feeder, dimana pengoperasiannya didominasi oleh bus
sedang (77%) dan sisanya bus besar. Dari sisi pengelolaan, terbesar dilaksanakan oleh Pemda
(85%) dan sisanya oleh BUMD. Sebagian besar pembayaran dilakukan secara manual (62%) dan
sisanya menggunakan e-ticketing.
Jumlah penumpang per tahun yang diangkut kurang atau sama dengan 1.000.000 orang
mempunyai porsi terbesar (61%); kemudian diikuti oleh kisaran 1.000.000-3.000.000
penumpang (23%) dan sisanya di atas 3.000.000 penumpang, dengan load factor di atas 0.81
hanya mencapai 8%. Sedangkan biaya pemeliharaan armada terbesar berasal dari APBD (69%)
kemudian diikuti oleh BUMD (16%) dan sisanya oleh operator.
Dari sisi pentarifan, 85% menerapkan tarif yang berbeda untuk penumpang umum dan pelajar,
sedangkan sisanya penumpang umum dan pelajar diperlakukan sama. Porsi terbesar besaran
tarif yang diterapkan kurang atau sama dengan Rp 3000 (75%) dan sisanya di atas Rp 3000.
Pengoperasian ini didominasi oleh kelompok dengan pendapatan rata-rata kurang dari Rp 5
Miliar per tahun (64%).
Secara umum penerapan sistem transit menyangkut pengadaan dan penetapan status asset.
Berdasarkan evaluasi, dapat disampaikan temuan-temuan sebagai berikut:
1. Menyangkut pengadaan, pembelian bus yang dibiayai melalui APBN dengan cara On The
Road mempunyai keunggulan atau segi positif yang lebih banyak dibandingkan dengan Off
The Road;
2. Dalam penetapan status asset, penyerahan asset kepada BUMN dengan pola Peneyertaan
Modal Negara (PMN) mempunyai keunggulan atau segi positif yang lebih banyak
dibandingkan dengan penyerahan asset kepada Pemerintah Daerah.
Rincian hasil identifikasi di atas sebagaimana tertuang dalam Lampiran IV.
2. Sistem transit dianggap tidak menarik bagi kota-kota yang belum menerapkan karena
dipersepsikan membebani dari segi anggaran (PAD yang tidak memungkinkan untuk
membangun sistem transit (prasarana serta sarana) dan subsidi operasional).
5. Penerapan sistem transit perlu terpadu (fisik/prasarana, pelayanan serta dalam konteks
transportasi cerdas dengan memanfaatkan IT) dalam membentuk transportasi antar moda
dengan dilengkapi pengembangan transportasi tidak bermotor dalam rangka menuju
terwujudnya transportasi perkotaan yang berkelanjutan, yang didukung komitmen yang
kuat dari Kepala Daerah dalam bentuk perencanaan, pendanaan dan kesiapan
pengoperasian.
6. Sistem transit perlu diterapkan pada kota-kota yang memenuhi syarat sedini mungkin
namun belum menerapkannya dalam rangka untuk meredam atau menghindari pesatnya
ketergantungan kepada kendaraan pribadi, terutama penggunaan sepeda motor.
Memperhatikan kota-kota di Indonesia yang ada, sistem transit sangat optimal dan cocok
sebagai tulang punggung (backbone) pergerakan pada kota sedang hingga kota besar
dengan penduduk 1,5 juta jiwa dan menjadi sistem pendukung untuk sistem angkutan
umum massal yang berdaya angkut lebih besar untuk kota-kota dengan penduduk di atas
1,5 juta jiwa.
7. Sesuai data, pada tahun 2010 di Indonesia terdapat 86 (delapan puluh enam) kota sedang
hingga metropolitan dengan rincian sebagai berikut:
a) kota sedang (< 500 ribu jiwa) : 60 kota;
b) kota besar (500 ribu – 1 juta jiwa) : 15 kota;
c) kota metropolitan (> 1 juta jiwa) : 11 kota.
Dalam pengembangan transportasi perkotaan dengan pendekatan 5 pilar ini, peran Kementerian
Perhubungan sebagai intansi yang bertanggungjawab dalam pembinaan transportasi perkotaan
sangat dominan. Peran Kementerian Perhubungan diwujudkan dalam bentuk pemberian
bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimanatkan dalam Undang-Undang No 22 tahun
2009 tengan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 6 ayat (1) huruf d.
Peningkatan peran angkutan umum dilakukan untuk meningkatkan porsi perjalanan pengguna
angkutan umum (modal split) menjadi 30%.
Beberapa program yang dilakukan untuk meningkatkan peran angkutan umum adalah:
a. Pengembangan jaringan, infrastruktur dan pelayanan angkutan umum massal berbasis jalan
pada kawasan perkotaan besar, kawasan perkotaan metropolitan dan kawasan perkotaan
megapolitan;
Untuk melaksanakan program ini dilakukan beberapa kegiatan, antara lain:
Penyediaan lajur khusus angkutan massal berbasis jalan baik diatas permukaan jalan,
terowongan maupun laying (flyover);
Penyediaan mobil bus besar, mobil bus mix, mobil bus gandeng, mobil bus temple, mobil
bus tingkat
Penyediaan fasilitas pendukung angkutan massal beerbasis jalan dalam bentuk halte,
fasilitas pejalan kaki, bus priority, info di bus dan halte, system tiketing dan/atau
pembangunan pusat kendali penyelenggaraan angkutan umum massal berbasis jalan;
Penyediaan subsidi/PSO penyelenggaraan angkutan massal pada tahap awal pernerapan.
Untuk kawasan perkotaan sedang dan kawasan perkotaan besar penerapan angkutan umum
massal berbasis jalan dimulai dengan penerapan angkutan umum dengan sistem transit
sebagai transisi menuju penerapan angkutan umum massal berbasisi jalan;
b. Perbaikan sistem kepemilikan angkutan umum pada kawasan perkotaan kecil dan kawasan
perkotaan sedang.
Untuk melaksanakan program ini dilakukan beberapa kegiatan, antara lain:
Strategi penataan angkutan umum;
Pemberian bantuan penggatian angkutan umum.
Penerapan manajemen dan rekayasa lalu lintas dengan tujuan dapat meningkatkan kecepatan
rata-rata di jalan nasional pada kawasan perkotaan dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan
ruang lalu lintas di jalan.
Beberapa program yang dilakukan dalam rangka penerapan manajemen dan rekayasa lalu lintas
adalah:
Perbaikan kapsitas jalan dan persimpangan, khususnya untuk peningkatan pelayanan
angkutan umum;
Penerapan Sistem APILL Terkoordinasi (ATCS)/ITS di semua ibukota propinsi, semua kota-
kota yang memiliki angkutan umum massal berbasis jalan dan kota-kota yang berada pada
jalur logistik nasional
Penyediaan perlengkapan jalan yang berkaiatan langsung dengan pengguna jalan di semua
jalan perkotaan;
Penerapan ANDALALIN untuk rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman dan
infrastruktur.
Kebijakan penurunan polusi udara dan suara dilakukan dengan beberap aprogram, yaitu:
Gasifikasi angkutan umum;
Pemanfaatan energy alternative;
Penerapan teknologi ramah lingkungan
Penerapan manajemen kebutuhan lalu lintas (transport demand management) dilakukan untuk
menekan penggunaan kendaraan pribadi dn meningkatkan penggunaan angkutan umum
sehingga modal split kendaraan pribadi dapat turun menjadi 50%.
Beberapa program yang dilakukan dalam upaya penerapan manajemen kebutuhan lalu lintas
adalah:
Pembatasaan penggunaan kendaraan pribadi pada ruas jalan/koridor/kawasan tertentu,
seperti penerapan 3 in 1, 4 in 1, dan pembatasan kendaraan pribadi dengan pengenaan
retribusi pengendalian lalu lintas (road pricing);
Pembatasan parkir di ruang milik jalan;
Pembatasan parkir secara umum (parking policy)
Pengembangan fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor dilakukan untuk
meningkatkan modal split pejalan kaki dan pesepeda menjadi 20%.
Beberapa program yang dilakukan dalam upaya pengembangan fasilitas pejalan kaki dan
kendaraan tidak bermotor, adalah:
Pengembangan fasilitas pejalan kaki dan pedestrian
Target pelaksanaan pendekatan 5 (lima) pilar kebijakan transportasi yang berkelanjutan, adalah:
2. Target penerapan manajemen dan rekayasa lalu lintas yang terintegrasi dengan pelayanan
angkutan;
Tidak ada ruas jalan atau persimpangan, kawasan perkotaan metropolitan dan kawasan
perkotaan megapolitan yang bottleneck secara fisik.
Semua ibukota propinsi, dan kota-kota yang berada pada jalur logistik nasional telah
dilengkapi Sistem APILL Terkoordinasi (ATCS)/ITS
semua kota-kota yang memiliki angkutan umum massal berbasis jalan Sistem APILL
Terkoordinasi (ATCS)/ITS, sekurang-kurangnya untuk penerapan bus priority;
semua jalan nasional di kawasan perkotaan telah dilengkapi dengan perlengkapan jalan
yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan;
semua rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman dan infrastruktur yang
strategis telah dilengkapi dengan surat persetujuan Dokumen Andalalin
Sejujurnya transportasi perkotaan di Indonesia perlu ditata ulang secara lebih terstruktur dan
untuk itu harus ada keberanian dan kemauan politik yang kuat untuk membangun (kembali?)
kebijakan nasional transportasi perkotaan. Beberapa opsi kebijakan yang terbarukan dari
transportasi perkotaan Indonesia adalah sebagai berikut:
Yang pertama adalah kebijakan untuk melakukan semacam audit dan stock-taking dari situasi
dan kondisi riil transportasi perkotaan saat ini. Ini dilakukan untuk beberapa kota-kota besar
terpilih di Jawa dan luar Jawa. Studi transportasi perkotaan yang pernah dilakukan menjadi salah
satu komponen dari stock-taking ini sehingga tidak perlu dilakukan upaya ulang yang besar
untuk kebijakan ini. Pilih 12 atau 16 kota-kota besar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan
Sulawesi sebagai kota-kota besar yang direncanakan akan dibangun sistem angkutan umum
cepat masal baik berbasis bus maupun berbasis rel. Lakukan survey lalu lintas, asal tujuan, dan
inventarisasi semua fasilitas transportasi yang ada atau updating dari hasil studi yang pernah
ada. Lakukan audit dan stock-taking permasalahan transportasi. Rencanakan sstem angkutan
umum cepat masal.
Kebijakan kedua adalah membangun kembali sistem angkutan umum yang modern dan maju
dengan orientasi kepada BRT atau MRT. Untuk kota-kota besar yang terpilih tersebut diatas
segera dirancang pembangunan MRT. Opsinya adalah BRT atau MRT. Pembangunan KA
Perkotaan sudah direncanakan dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional untuk 12 kota-
kota besar dan RENSTRA segera menindaklanjuti ini dengan pekerjaan persiapan yang
diperlukan.
Perlu dipercepat penyelesaian Rencana Induk LaluLintas dan Angkutan Jalan termasuk Rencana
Induk Transportasi Perkotaan untuk memayungi program BRT atau MRTSebagai bahan
pertimbangan dalam RENSTRA, aglomerasi kota-kota besar seperti SARBAGITA, METRO
BANDUNG RAYA, KERBANGKERTASUSILA, MEBIDANGPRO, dan JABODETABEK sendiri dapat
menjadi target pembenahan kebijakan dan pembangunan BRT atau MRT (Gambar 11.4-11.7).
Studi RPJMN III Urban Transport yang dilakukan oleh Bappenas/GIZ memberikan pandangan
awal dari pembenahan kota-kota besar tersebut seperti dibawah ini.
Target RENSTRA 2015-2019: pangsa Angkutan Target RENSTRA 2015-2019 membangun Trans
Umum: 25% dari 2,1% saat ini. Metro Bandung di 13 koridor
Membangun BRT pada jaringan utama sebanyak Reformasi sistem pelayanan angkutan umum
17 trayek dengan rincian 3 trayek berbasis Integrasi jarigan jalan kota dengan moda lainnya.
bandara, 3 berbasis wisata, dan 11 berbasis Penggunaan lajur khusus bus TMB untuk 13
komuter. koridor.
Membangun jaringan pengumpan (feeder
service). Sumber: GIZ Study, 2013
Kebijakan yang ketiga adalah peningkatan kapasitas dan kualitas jaringan jalan kota. Sesuai
dengan audit perkotaan, ditelaah kembali kemungkinan untuk memperluas jaringan jalan kota,
meningkatkan kapasitasnya, dan meningkatkan kualitasnya sepanjang kondisi sosial politik
memungkinkan. Kota-kota di Indonesia pada umumnya mempunyai rasio panjang jalan terhadap
luas area yang kecil, mungkin antar 5-7%. Perluasan jaringan dan kapasitas jalan sedapat
mungkin dilakukan untuk meningkatkan rasio tersebut secara bertahap menjadi sekitar 10-12%.
Kota-kota besar, menengah, dan kecil mengupayakan memperbesar rasio jalan kotanya
sampai sekitar maksimum 12% dari luas wilayahnya apabila itu memungkinkan.
Perluasan jaringan jalan sedapat mungkin memperhitungkan peningkatan kapasitas dan
kualitas jalan dan meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap transportasi public.
Menata kembali status Jalan Nasional di perkotaan.
Kebijakan yang keempat adalah menerapkan Manajemen Sistem Transportasi Perkotaan yang
modern, mulai dari skala mikro persimpangan dan ruas jalan dengan Manajemen lalu Lintas dan
Persimpangan sampai kepada full-scale demand management seperti Electronic Road Pricing.
Dalam skala dan kondisi tertentu yang memungkinkan, penerapapan Area Traffic Control System
(ATCS) dapat dikembangkan. Transportasi kota dengan 2 komponen utama yakni jaringan jalan
dan system angkutan umum perlu dinaungi oleh Sisem manajemen Transportasi yang
komprehensif dan sesuai dengan hierarki pergerakan, fasilitas ruang jalan, dan skala
kepadatan/kemacetan lalu lintas yang ada. Spektrumnya adalah dari Manajemen lalu Lintas
sampai kepada Travel Demand Management.
Pembentukan Jabodetabek Transport Authority (OTJ) perlu segera dipercepat secara bertahap
dengan membentuk terlebih dahulu Badan Interim. Badan Interim perlu dilengkapi dengan
Special Delivery Unit yang merancang dn melakukan disain dari bentuk kelembagaan, dasar
hukumnya, dan program kedepan.
Untuk waktu yang sangat lama kebelakang infrastruktur dan transportasi hanya dibiayai
oleh APBN, APBD, Pinjaman Luar Negeri, dan beberapa skema subsidi dan hibah ke
pemerintah daerah. Setelah begitu lama BUMN menikmati penyertaan modal pemerintah
dalam bentuk investai prasarana dan sarana, pada beberapa tahun belakangan ini BUMN
mulai berperan melakukan investasi dengan dana korporasinya. Skema Kemitraan
Pemerintah dan Swasta sudah lama digerakkan namun belum mencapai hasil yang
diharapkan. Potensi dana dalam negeri non-APBN sangat besar tetapi belum dapat
dimanfa’atkan bagi pembiayaan transportasi. Dana perbankan, dana pensiun, dana
asuransi, dana kelembagaan non-bank, dana pasar modal, dan dana sektor swasta lainnya
jumlahnya mencapai ribuan triliun rupiah. Inilah Domestic Capital Market yang belum
banyak dimanfa’atkan untuk investasi dan pembiayaan infrastruktur dan transportasi.
Masih ada kendala regulasi dan kelembagaan yang menghalanginya. RENSTRA seyogyanya
mulai melihat kemungkinan pembiayaan ini untuk proyek-proyek infrastruktur
transportasinya yang akan dikerjasamakan dengan sektor swasta.
Gambar 12.1 memperlihatkan spektrum dan opsi investasi dan pembiayaan infrastruktur
transportasi yang dapat bervariasi mulai dari investasi dan pembiayaan sepenuhnya oleh
pemerintah sampai dengan investasi dan pembiayaan sepenuhnya oleh sektor swasta. Pemerintah
masih berkewajiban membangun transportasi dasar yang tidak komersial namun secara ekonomi
sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Ini adalah pasar dimana sektor swasta tidak mungkin berperan
oleh karena secara financial tidak layak dan bersifat non-cost recovery. Sementara itu proyek-
proyek yang bersifat full cost recovery dan oleh karenanya layak secara ekonomi dan secara
finansial dapat diserahkan sepenuhnya kepada pembiayaan sektor swasta (Private Financing
Initiatives, PFI). Ini termasuk proyek-proyek khusus (misalnya Special Railway, Special Ports, dll.)
yang dapat bersifat unsolicited dan sebenarnya tidak memerlukan lelang kompetitif. Keterbatasan
sumber daya pembiayaan yang bisa dialokasikan Pemerintah Indonesia dalam pembangunan
infrastruktur transportasi telah memberikan peluang besar bagi swasta untuk berpartisipasi melalui
skema kerjasama pemerintah dengan swasta (KPS). Untuk proyek-proyek yang secara finansial
kurang layak namun secara ekonomi sangat diinginkan untuk kepentingan perekonmian dan
kesejahteraan masyarakat dapat dibangun melalui skema KPS.
Debt Financing
Islamic Financing
Investment Fund
Gambar 12.1
Skema Investasi dan Guarantee Fund
Pembiayaan
Pembangunan Corporate Bond
Transportasi
Aliansi Strategis KPS (PPP Strategic Alliance) merupakan skema pendanaan proyek-proyek
infrastruktur skala besar dan sangat besar dimana baik pemerintah maupun sektor swasta secara
sendiri-sendiri tidak mungkin membiayai atau membangunnya karena sifatnya yang sangat padat
modal, padat teknologi, dan membutuhkan manajemen modern dan maju. AS-KPS ini belum
pernah diterapkan di Indonesia, juga masih langka diterapkan di dunia untuk proyek-proyek
infrastruktur. Akan tetapi sebenarnya penggabungan dua kekuatan utama-pemerintah dan
swasta/industri-merupakan kekuatan besar untuk melaksanakan pekerjaan besar dibanding apabila
yang satu menjadi yang memerintah dan yang lainnya menjadi yang terperintah. Dalam AS_KPS
pemerintah bersama-sama dengan investor swasta atau konsorsium investor swasta dari awal
mempersiapkan proyek, berbagi risiko, menempatkan equity-financing-nya masing-masing, dan
bersama-sama juga mencari debt-financing dari sumber-sumber eksternal. Pemerintah dapat
menerbitkan obligasi infrastruktur sebagai equity-nya dan konsorsium swasta dapat menerbitkan
corporate bond. Peran keduanya adalah setara dimuka hukum. Penggunaan skema pendanaan
BUMN dimana pemerintah masih harus bertanggungjawab dalam sebagian pekerjaan merupakan
bentuk awal dari AS-KPS oleh karena sebenarnya BUMN sudah harus berperilaku sebagai korporasi
dan melakukan berbagai-bagai upaya project financing sama seperti sektor swasta berperilaku.
Sampai dengan saat ini belum diketahui secara agak pasti berapa besaran (magnitude) investasi
yang diperlukan oleh sektor transportasi (RPJMN dan RENSTRA 2015-2019) untuk memperkecil
defisit dan kesenjangan transportasi dan sekaligus juga membangun kapasitas baru untuk
mendukung perekonomian maju Indonesia kedepan. Beberapa kajian latar belakang RPJMN III
memilki versi dan pendekatannya masing-masing. Sebagai ilustrasi, upaya awal telah dilakukan
Bappenas-JICA yang antara lain sedang melakukan kajian latar belakang untuk RPJMN III bidang
infrastruktur, khususnya terkait dengan debottlenecking dan Key Performance Index (KPI). Kajian ini
menggunakan pendekatan makro, top-down dan dengan menggunakan benchmarking negara-
negara maju di Asia atau pendapatan per kapita sebesar USD 14.000. Beberapa temuan awal dari
kajian tersebut diringkaskan dalam Tabel 12.1 dibawah ini. Prakiraan awal investasi sekor
perhubungan sebesar Rp. 1.270 triliun selama 2015-2019 ini adalah pada skala penuh 100% sesuai
dengan international benchmarking negara-negara berpendapatan menengah dengan pendapatan
per kapita sebesar USD 14.000. Angka untuk scenario 75% dan 50% masing-masing adalah Rp.
1.006 triliun dan Rp. 657 triliun. Belum diketahui bagaimana studi Bappenas/JICA ini membangun
algoritma korelasi antara tingkat pendapatan per kapita dengan kebutuhan infrastruktur/
transportasi Indonesia dlam waktu 5 tahun kedepan. Studi ini merekomendasikan kombinasi skema
pembiayaan antara APBN, BUMN, KPS, dan off-balance financing, termasuk juga pinjaman dan
obligasi.
Tabel 12.1: Prakiraan Besaran Investasi Transportasi (Pendekatan Makro, Skenario Penuh)
Subsektor Output KPI dan Input KPI Investasi
(Rp. T)
Perkeretaapian Jalan KA sepanjang 1.660 km dan jalur KA Perkotaan sepanjang 277,8
760 km dan sekitar 1.720 lokomotif dan 24.476 gerbong atau
railcars.
Transportasi Laut/ Terminal peti kemas di 25 pelabuhan, pengembangan 91 563,8
Pelabuhan pelabuhan non-komersial, pembangunan Cilamaya, Kuala
Tanjung, dan Kalibaru, dan pengembangan transportasi
multimoda, dll.
Transportasi Udara/ Pengembangan Bandara Soekarno-Hatta, Bandara baru di 182,5
Bandar Udara Medan, Karawang, dll., pengembangan dan pembangunan 25
bandara utama komersial dan 274 bandara UPT, navigasi udara,
keperintisan, dll.
ASDP Pengembangan pelabuhan dan pengadaan kapal fery, 90,7
pelabuhan fery baru, menyambung 48 jalur pelayaran antar
pantai, dan short-sea shipping untuk Pantai Utara Jawa.
Transportasi Perkotaan Armada bus BRT dan fasilitas KA Perkotaan lainnya 155,1
Total 1.269,9
Sumber: Bapenas-JICA RPJMN Background Study, Nov. 2013
Sementara itu dalam versi studi yang berbeda, Bappenas juga melakukan prakiraan investasi
infrastruktur seperti pada Gambar 12.3 yang memperlihatkan prakiraan besaran investasi bidang
infrastruktur yang dirancang oleh Bappenas untuk periode RPJMN III 2015-2019. Infrastruktur
memerlukan dana investasi sebesar Rp. 2.015 triliun untuk 5 tahun kedepan mulai 2015 dan hanya
30% yang dapat disediakan oleh investasi sektor publik, sedangkan 70% yangmerupakan financing
gap harus dicari dari investasi sektor swasta, BUMN, dan masyarakat. Ini adalah besaran untuk
capacity expansion dan rehabilitasi besar infratruktur.
Dari proyeksi dana non-pemerintah, Bappenas memprakirakan beban BUMN sebesar 30%
(Rp.604,5 triliun), beban KPS 20% (RP.403 Triliun), dan selebihnya dari creative financing atau off-
budget financing sebesar 20% (Rp.403 triliun). Berdasarkan pengalaman 2010-2014, investasi yang
diperlukan untuk transportasi sebesar sekitar 50% dari investasi infrastruktur, yakni sebesar sekitar
Rp. 1.008 triliun.
Investasi penuh sektor swasta dalam pembangunan dan penyedian transportasi seringkali
didahului oleh unsolicited projects berupa fasilitas khusus, seperti KA Khusus untuk angkutan
batubara (Coal Rail), Pelabuan Khusus (Special Ports), dan Bandara Khusus (Special Airports) untuk
industri pariwisata.
Studi untuk melakukan revitalisasi kelembagaan KKPPI dtelah dilakukan oleh Bappenas dengan
bantuan ADB dan JICA dan keluar dengan penyederhanaan struktur organisasi KKPPI dan
pengayaan fungsi-fungsi KKPPI. Gambar 12. 4 memperlihatkan usualn otganisasi KKPPI baru
dengan revisi Perpres dan Tabel 12.2 memperlihatkan fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh
KKPPI dan atau P3CU untuk membuat proyek-proyek infrastruktur dengan skema KPS berjalan
baik53. Ini harus dibarengi oleh perkuatan kelembagaan PPP-Node di Kemenhub sebagai pemilik
dan penggagas proyek-proyek KPS transportasi.
Untuk waktu yang sangat lama kebelakang pembangunan infrastruktur dan transportasi
Indonesia hanya dibiayai oleh APBN, APBD, Pinjaman Luar Negeri, dan beberapa skema subsidi
dan hibah ke pemerintah daerah. Pasa sekitar tahun 1970-an sektor swsta mulai ikut
membangun beberapa ruas jalan tol, instalasi air minum, dan pembangkit listrik dengan
bekerjasama dengan beberapa perusahaan nasional yang terpilih namun bukan dalam skema
kerjasama atau kemitraan yang dirancang baik. Tahun 2001 pemerintah mulai bergerak
merancang kemitraan pemerintah dan swasta (KPS) dengan membentuk KKPPI namun hingga
saat ini KPS belum mencapai hasil yang diharapkan. Beberapa tahun belakangan ini BUMN
mulai berperan melakukan investasi dengan dana korporasinya mngkin sebagai solusi antara
sebelum KPS dapat berjalan dengan baik.
Tabel 12.3:
Aset Perbankan Nasional KPS hampir selalu berkaitan dengan pembiayaan proyek
Bulan/Tahun Total Aset (Project Financing). Salah satu dari opsi pembiayaan proyek
(Rp. T) adalah dana dalam negeri (Domestic Capital Market, DCM). Di
Dec. 2008 2.310,6 Indonesia, DCM terdiri dari dana yang ada di perbankan,
Dec. 2009 2.534,1 industri asuransi, dana pensiun, pasar modal, dan di lembaga
Dec. 2010 3.008,9 keuangan non-bank. Potensi penggunaan dana dalam negeri di
Jan. 2011 2.990,7 Indonesia sangat besar. Pasar modal di Indonesia (IDX),
Febr. 2011 2.993,1 misalnya, sudah mencapai harga saham gabungan sekitar 4.500
Maret 2011 3.065,8 di akhir tahun 2013 dengankapitalisasi modal mencapai Rp……
April 2011 3.069,1
. Banyak negara ekonom maju menggunakan pasar modal
Mei 2011 3.196,4
untuk membiayai infrastrukturnya melalui penerbitan obligasi
Juni 2011 3.195,1
Juli 2011 3.216,8 dan ekuitas. Dana perbankan, dana pensiun, dana asuransi,
Agust. 2011 3.252,6 dana kelembagaan non-bank, dana pasar modal, dan dana
Sept. 2011 3.371,5 sektor swasta lainnya jumlahnya mencapai ribuan triliun rupiah.
Okt. 2011 3.407,5 Inilah Domestic Capital Market (DCM) yang belum banyak
Nov. 2011 3.569,9 dimanfa’atkan untuk investasi dan pembiayaan infrastruktur
Dec. 2011 3.651,8 dan transportasi. Masih ada kendala regulasi dan kelembagaan
Jan. 2012 3.598,7 yang menghalanginya. Banyak keuntungan yang dapat
Febr. 2012 3.628,1 diperoleh ketika dana-dana domestik ini dapat digunakan untuk
Maret 2011 3.708,7 pembiayaan transportasi. Salah satu diantaranya adalah
Sumber: D.S. Besar,
Bank Indonesia, Juni 2012.
hilangnya risiko nilai tukar akibat fluktuasi kurs mata uang
rupiah terhadap dolar. Kedua adalah bahwa dana domestik
yang saat ini kebanyakan disimpan sebagai deposito dan investasi saham dapat dipergunakan
secara lebih produktif.
53
JICA PPP Network Enhancement Project, January 2012
54
http://www.gbindonesia.com/en/finance/article/2013/indonesia_s_capital_markets.php. Sampai saat ini
belum diketahui bagaimana dana kapitalisasi pasar modal ini dapat dimanfa’atkan bagi pembangunan
infrastruktur.
13.1. PENGANTAR
Dalam suatu proses perencanaan pembangunan suatu komunitas ada rangkaian yang
terbentang cukup eksplisit dari rezim kebijakan di hulu sampai kepada rezim implementasi dan
delivery di hilir. Kelembagaan pemerintah sangat berperan dalam proses ini. Ada rangkaian yang
terbentang dari kapasitas kelembagaan, kualitas peraturan dan kebijakan, serta kualitas
pelaksanaan (delivery). Di Indonesia untuk waktu yang sangat lama, peran pemerintah pusat
sangat kuat oleh karena sentralisasi ekonomi dan politik yang masif, khususnya di era Orde Baru
1969-1989. Pemerintah menguasai segenap hajat hidup rakyat banyak, dari kekuasaan membuat
undang-undang, peraturan, kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, pengoperasian,
dan pengawasan. Pemerintahlah yang ditopang oleh barisan teknokrat andal adalah satu-
satunya pihak yang mengelola negara dan membiayai pembangunan sedangkan masyarakat
banyak, termasuk sektor swasta dan kaum cerdik cendekia, hanya mengikuti dan tidak
mengambil posisi kunci dari setiap kiprah pembangunan.
Banyak negara termasuk Indonesia melakukan transformasi dari peran negara dalam
pembangunan. Peningkatan peran masyarakat termasuk sektor swasta dan cerdik cendekia
dalam pembangunan merupakan fenomena yang terjadi di beberapa negara maju dan negara
yang sedang bergerak menuju demokratisasi ekonomi dan demokratisasi politik. Menurut
Gasmi, et.al.55 (2006), di negara-negara maju, tujuan dari reformasi peran tersebut adalah untuk
memperbaiki fungsi dan peran industri dan ekonomi yang selama ini dikelola oleh monopoli
publik atau bahkan oleh monopoli swasta. Di negara-negara berkembang, tujuannya sama yakni
memperbaiki kinerja pembangunan yang selama ini dikelola oleh monopoli negara. Namun ada
perbedaan dalam dua hal. Pertama adalah pelayanan publik di negara-negara berkembang
seringkali sangat tidak andal atau bahkan tidak hadir samasekali. Ini terjadi misalnya di Indonesia
dimana transportasi atau telekomunikasi perdesaan, jalan desa, listrik, dan sanitasi di daerah
tertinggal sangat langka atau bahkan tidak ada samasekali. Kedua, Negara brkembang seperti
Indonesia sedikit sekali mempunyai pengalaman dalam kelembagaan yang lebih kompleks yang
terbangun dari sistem ekonomi pasar dan privatisasi. Yang dihadapi adalah ketidaksempurnaan
dari system kelembagaan dan birokrasi yang selama ini tidak efektif dalam tata kelola
pemerintahan modern dan maju56.
Ada korelasi yang positif antara kualitas dari kelembagaan politik dan kinerja dari kerangka
peraturan yang pada gilirannya akan mempengaruhi efektivitas dari reformasi industri
infrastruktur transportasi. Di Indonesia, banyak kelembagaan ekonomi dan politik dibentuk,
termasuk di bidang pembangunan infrastruktur. Akan tetapi tidak ada upaya sejauh ini untuk
melihat keterpautan antara kualitas kelembagaan tersebut dengan kinerja pelaksanaan
peraturan dan delivery proyek-proyek infrastruktur.
55
Farid Gasmi, Paul Noumba, and Laura Recuero Virto. Political accountability and regulatory performance
in infrastructure industries: an empirical analysis.World Bank Policy Research Working Paper 4101,
December 2006.
56
Ibid.
RENSTRA 2015-2019 sudah harus menggariskan secara eksplisit jadwal waktu pembentukan
kelembagaan ekonomi dan bisnis industri transportasi seperti Badan Usaha Sarana dan Badan
Usaha Prasarana Perkeretaapian (BUSP dan BUPP). Kedua badan usaha tersebut diperlukan
bukan saja untuk melaksanakan amanat undang-undang perkeretaapian (UU No. 23/2007)
namun juga untuk maksud yang lebih besar yakni terwujudnya suatu industri perkeretaapian
nasional yang maju dan modern dengan multi- operator.
Pendekatan perencanaan non-linier seperti diuraikan dalam Bab II membawa implikasi kepada
kapasitas kelembagaan dan kualitas sumberdaya manusia untuk melaksanakan kerja cepat,
tepat, professional, dan efisien serta berdaya guna tinggi. Beban besar RENSTRA 2015-2019
membutuhkan kerja birokrasi professional. Namun sambil menunggu tumbuhnya
profesionalisme dan kapasitas delivery yang tinggi, dapat dipertimbangkan untuk membentuk
unit kerja khusus untuk mempercepat delivery (Special Delivery Unit, SDU). Unit khusus ini
bekerja di unit-unit pelaksana untuk mendukung secara substansi dan konsepsi dari semua
pekerjaan yang membutuhkan kecepatan, ketepatan, dan kualitas delivery.
Untuk mengemban misi pembangunan RENSTRA 2015-2019 dan melakukan upaya besar
mengejar backlog dan defisit transportasi selama ini, maka dalam kurun waktu 5 tahun kedepan,
disarankan agar perencanaan dan pelaksanaan pembangunan transportasi mengambil lintasan
non-linier. Dalam konteks itu, ada tiga hal “inkonvensional” yang dapat dipertimbangkan secara
sungguh-sungguh. Pertama adalah opsi untuk membentuk atau mengundang semacam “special
purpose vehicle (SPV) yang menjadi korporasi strategis (strategic corporation). Korporasi
strategis ini begitu besar dan mempunyai keandalan teknologi, manajemen, dan jaringan untuk
memobilisasi pendanaan global sehingga mampu melakukan tugas untuk membangun proyek-
proyek transportasi skala besar dan sangat besar. Korporasi strategis ini dapat merupakan
konsorsium dari BUMN atau hybrid dari BUMN dan investor atau financier swasta nasional dan
internasional, atau sebuah entitas ekonomi yang berdiri sendiri dengan keahlian, kemampuan
finansial, teknologi, dan manajemen yang canggih untuk melaksanakan pembangunan skala
besar. Salah satu dari indikasi awal dari kemungkinan adanya SPV ini adalah terbinya Perpres
untuk menugaskan BUMN membangun proyek-proyek kereta api dan pelabuhan yang tidak
dapat dilaksanakan oleh APBN dan sulit dilaksanakan dengan KPS konvensional.
Transportasi harus dikenali dari berbagai sisi pandang dan kiprah masyarakat. Dengan
memperhatikan ekonomi politik transportasi Indonesia sebagaimana diuraikan dalam Bab bab
sebelumnya dan mempertimbangkan amanat undang-undang tentang RPJPN, maka transportasi
saat ini harus dipandang dari sisi yang amat berbeda dari sisi pandang kita satu atau dua dekade
yang lalu. Ilmu pengetahuan dan teknologi transportasi yang diajarkan di perguruan tinggi
Indonesia sekitar dua dekade yang lalu berkisar pada pengetahuan teknis dan rekayasa tentang
jalan raya mencakup teknik lalu lintas, geometrik, dan perkerasan jalan, teknik dan konstruksi
jalan kereta api, pelabuhan, dan lapangan terbang, serta pengetahuan tentang bahan dan
material yang terkait dengan pembangunan fasilitas transportasi tersebut. Pengetahuan tentang
teknik dan rekayasa transportasi serta ekonomi transportasi bahkan baru diajarkan sekitar satu
dekade yang lalu khususnya yang terkait dengan metode untuk menghitung kelayakan ekonomi
proyek-proyek transportasi dengan juga melihat interaksi antara beberapa moda transportasi
yang bersaing dalam satu koridor yang sama. Sejalan dengan waktu, pengajaran tentang ilmu
transportasi kemudian nampak didominasi oleh transportasi perkotaan sejalan dengan makin
terdidiknya para staf pengajar dalam disiplin ilmu tersebut pada tingkat magister dan doktoral
baik didalam maupun diluar negeri. Ilmu pengetahuan tentang moda transportasi lain seperti
jalan kereta api, pelabuhan, lapangan terbang makin tersisih dari arus utama pendidikan formal
transportasi sejalan dengan makin berkurangnya tenaga pengajar senior serta turunnya minat
pengajar muda pada ilmu-ilmu tersebut.
Terpusatnya bidang pengajaran ilmu transportasi pada wilayah perkotaan dengan permodelan
konvensional menyebabkan pengetahuan tentang transportasi wilayah yang lebih makro dengan
interaksi multimoda dalam kaitannya dengan ekonomi wilayah menjadi tidak berkembang
dengan baik. Sementara itu fokus perkembangan ilmu transportasi yang bertumpu pada
pergerakan orang di perkotaan telah menyebabkan pengetahuan transportasi barang dan
teknologi sarananya seperti armada angkutan laut, pesawat terbang, lokomotif dan kereta
barang serta kapal peti kemas tidak mendapat minat yang cukup banyak dari para pendidik dan
mahasiswa teknik sipil di Indonesia. Pengetahuan tentang pergerakan barang, sistem distribusi
dan logistik, serta pergerakan peti kemas internasional hanya dimiliki oleh industri yang
berkaitan, para pemilik kapal, masyarakat eksportir dan importir, serta oleh entitas pelabuhan
dan pemilik angkutan barang dengan truk. Pengetahuan tersebut sangat terkait dengan
manajemen ekonomi mikro perusahaan dan industri transportasi. Kecuali kurikulum beberapa
Fakultas Ekonomi yang mencakup skala mikro perusahaan dari ekonomi pergerakan barang dan
logistik, disiplin teknik sipil di banyak Universitas jarang mengajarkan pengetahuan tersebut
sebagai bagian dari kurikulum resminya.
Situasi mulai berubah pada awal tahun 1990-an dengan mulai diajarkannya pengetahuan
tentang perencanaan dan kebijakan transportasi dalam skala yang lebih makro dengan melihat
transportasi sebagai industri pelayanan publik dan industri komersial yang terkait erat dengan
aspek-aspek peraturan perundang-undangan, kelembagaan, pembiayaan, dan investasi. Dalam
bahasa yang lebih terang, transportasi mulai dilihat dalam peranannya dalam menopang
Visi dan misi pembangunan sektor perhubungan kedepan sebagaimana diamanatkan dalam
RPJPN, RPJMN, RENSTRA, dan semua Rencana Induk membawa konsekuensi besar terhadap
kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas dan berkompeten untuk mengoperasikan
sistem infrastruktur, pelayanan, teknologi, dan manajemen transportasi di masa depan. Sumber
daya manusia sangat penting dalam peningkatan kuantitas, kualitas dan layanan transportasi
Indonesia kedepan. Sehinnga diperlukan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) yang dapat
menghasilkan SDM dengan kompetensi tinggi dalam menghadapi tantangan pembangunan
transportasi kedepan. Filosofi MSDM menekankan sifat strategis yang menginterintegrasikan
pengelolaan SDM dengan strategi bisnis secara keseluruhan mulai dari penetapan Visi, Misi,
Sasaran, Strategi & Kebijakan, Inisiatif, Target Action, Step sampai kepada penetapan organisasi
dan struktur, merekrut orang yang tepat, menempatkan orang yang tepat di jabatan yang tepat,
memberdayakan dan mengembangkannya secara berimbang.
14.2.1. Visi, Misi, dan Tujuan Strategis BPSDM Perhubungan RPJMN 2015-2019
1) Visi
Terwujudnya Sumber Daya Manusia Perhubungan yang prima, profesional dan beretika dalam
menyelenggarakan transportasi yang handal serta berorientasi zero accident.
2) Misi
Untuk mencapai visi tersebut di atas, maka telah dirumuskan Misi Badan Pengembangan SDM
Perhubungan adalah sebagai berikut:
a. Mengelola pendidikan, pelatihan dan penyuluhan transportasi yang profesional untuk
menciptakan kapasitas dan kualitas SDM Perhubungan sesuai kebutuhan;
b. Membangun organisasi yang efektif dengan SDM kompeten, dan sistem informasi yang
handal dalam memenuhi kebutuhan stakeholders.
3) Tujuan Strategis
a. Ultimate Goal
Tersedianya sumber daya manusia Perhubungan sebagai faktor kunci dalam mencapai
transportasi yang handal serta berorientasi zero-accident.
b. Supporting Goals
Lulusan yang prima, profesional dan beretika dengan kapasitas dan kualitas sesuai
kebutuhan.
Kesadaran masyarakat terhadap keselamatan transportasi.
4) Sasaran Srategis
Sasaran strategis Badan Pengembangan SDM Perhubungan sebagai berikut :
c. Terwujudnya peserta diklat transportasi yang berpotensi tinggi yang didukung fisik dan
jasmani yang prima.
d. Terwujudnya lulusan dikla transportasi yang prima, profesional dan beretika.
e. Terwujudnya sistem dan metoda penyelenggaraan diklat transportasi yang berbasis
teknologi informasi.
Kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan beberapa strategi BPSDM Perhubungan antara lain:
Badan Pengembangan SDM Perhubungan merupakan suatu organisasi yang bersifat dinamis,
sehingga diperlukan upaya yang senantiasa memperhatikan dan menganalisis dinamika
lingkungan strategis yang ada, baik isu strategis yang bersifat lokal seperti implementasi UU
Transportasi, UU Sisdiknas, peningkatan demand transportasi 2 kali pertumbuhan ekonomi,
kurangnya SDM Transportasi yang berkompeten; isu regional seperti persaingan antar negara
ASEAN, produksi pelaut, KSER IMT-GT, IMS-GT, BIMP-EAGA, APEC; maupun isu internasional
seperti Kampanye IMO “Go to Sea”, mempertahankan IMO white list, international recognition
bagi pelaut Indonesia, kekurangan SDM Penerbang, teknisi pesawat dan Pelaut dunia.
Dalam rangka reformasi birokrasi di bidang pengelolaan keuangan, Badan Layanan Umum (BLU)
dibentuk sebagai upaya meningkatkan kinerja pelayanan lembaga pendidikan di lingkungan UPT
Badan Pengembangan SDM Perhubungan. Tujuan dibentuknya Badan Layanan Umum (BLU) ini
adalah peningkatan efisiensi dan efektifitas sistem pendidikan yang berbasis pada IPTEK,
peningkatan kualitas pelayanan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat, serta
pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi,
otonomi keilmuan dan manajemen. Selain itu, UPT Badan Pengembangan SDM Perhubungan
juga melakukan akreditasi institusi Diklat Perhubungan (pemerintah, BUMN, swasta) dengan
indikator terciptanya lulusan diklat Perhubungan yang dapat memenuhi standar minimum
bertaraf Nasional dan Internasional. Secara kontinyu dan berkelanjutan, melakukan pembinaan,
restrukturisasi dan reformasi manajemen penyelenggaraan diklat perhubungan dengan indikator
penyelenggaraan program diklat sektor transportasi yang efektif dan efisien. Untuk memenuhi
tingginya kebutuhan akan diklat kompetensi transportasi akhir-akhir ini, Badan Pengembangan
SDM Perhubungan juga melakukan penyempurnaan kelembagaan UPT berupa peningkatan
status lembaga pendidikan yaitu Politeknik menjadi Sekolah Tinggi dan untuk Balai menjadi
Politeknik dan Akademi.
Tingginya permintaan pasar akan SDM Transportasi yang memiliki kompetensi bertaraf
internasional mendorong BPSDM Perhubungan melakukan strategi berupa perkuatan lembaga
pendidikan SDM Transportasi melalui akreditasi internasional bagi lembaga pendidikan. Strategi
ini bertujuan agar para lulusan lembaga diklat tersebut memiliki daya saing tinggi dan dapat
langsung terserap oleh pasar kerja baik nasional maupun internasional.
Disamping hal tersebut, adanya lembaga-lembaga diklat swasta yang juga berperan dalam
mencetak SDM Transportasi mendorong BPSDM Perhubungan melakukan kerjasama dengan
lembaga pendidikan swasta melalui bantuan penggunaan alat praktek diklat. Dengan adanya
kerjasama tersebut dapat membantu Pemerintah dalam hal ini BPSDM Perhubungan untuk
meningkatkan target pemenuhan kebutuhan SDM Transportasi di masa yang akan datang.
Dalam upaya pengembangan sarana dan prasarana diklat diperlukan perbaikan, pembangunan,
modernisasi dan optimalisasi sarana dan prasarana diklat. Perbaikan dan/atau pembangunan
prasarana di lingkungan Badan Pengembangan SDM Perhubungan dapat dilakukan secara
sistematis, terencana, terukur dan berkelanjutan, dengan indikator terpenuhinya standar sarana
prasarana sesuai konvensi nasional dan internasional.
Tuntutan akan kualitas, kompetensi dan profesionalisme lulusan pendidikan dan pelatihan
harus diimbangi dengan peningkatan dan pengembangan kualitas dan profesionalisme tenaga
pengajar/pendidik (widyaiswara, dosen, instruktur) serta tenaga penyelenggara pendidikan dan
pelatihan, untuk itu harus dapat memenuhi kebutuhan tenaga kependidikan (kuantitas dan
kualitas) serta meningkatkan kemampuan akademik, professional dan jaminan kesejahteraan
tenaga pendidik, sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal agar dapat
dihasilkan lulusan yang memiliki kompetensi, disiplin, tanggung jawab dan integritas yang tinggi.
Selain program rintisan gelar, BPSDM Perhubungan juga mengikutsertakan SDM Aparatur
Perhubungan dalam program pelatihan teknis, manajemen diklat dan program non-gelar secara
optimal, sistematis, dan berkelanjutan.
Dalam upaya peningkatan mutu dan pengembangan kemampuan SDM Transportasi yang lebih
luas dan kompeten diperlukan suatu upaya untuk melakukan analisis perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.Analisis senantiasa dilakukan untuk memahami
karakteristik kebutuhan transportasi.Dengan demikian program diklat yang dibutuhkan dapat
dipersiapkan sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Dengan adanya kebutuhan akan SDM
Perhubungan dengan kompetensi tertentu harus dipersiapkan kurikulum silabi/modul yang
sesuai dengan perkembangan iptek dan kebutuhan pasar serta memenuhi standar
internasional.
Untuk pendidikan, disusun kurikulum silabi yang bertaraf internasional, untuk pelatihan
dikembangkan kursil/modul pelatihan dengan tujuan menjaga kualitas kompetensi yang dimiliki
oleh SDM Perhubungan dan untuk penyuluhan disusun modul penyuluhan untuk disampaikan
kepada masyarakat pada umumnya dan kepada SDM Perhubungan (Darat, Laut dan Udara) pada
khususnya.
Dari sasaran strategis tersebut, telah ditetapkan Indikator kinerja Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM.68
Tahun 2012 tentang Penetapan Indikator Kinerja Utama (IKU) di Lingkungan Kementerian
Perhubungan adalah sebagai berikut:
1. Jumlah peserta diklat transportasi darat, laut, udara, perkeretaapian dan aparatur
perhubungan, pertahun sesuai standar diklat BPSDM Perhubungan.
Target IKU BPSDM Perhubungan RPJMN 2015-2019 sebagaimana dalam tabel terlampir.
15.1. PENGANTAR
Undang-Undang menghendaki agar masyarakat ikut dalam menjaga kualitas perencanaan dan
penyelenggaraan transportasi. Mekanisme dari partisipasi publik ini dapat diselenggarakan
melalui Knowledge Sharing (KS), yakni suatu portal atau website yang mampu memicu terjadinya
diskusi atau dialog interaktif antara pemerintah sebagai penyelenggara transportasi dengan
masyarakat luas sebagai pengguna transportasi atau bahkan dengan segenap pemangku
kepentingan lainnya seperti akademi, industri, sektor swasta, organisasi profesi, dan LSM.
Informasi yang menjadi bahan dialog dapat berupa pertukaran informasi mengenai perencanaan
dan pelaksanaan proyek-proyek strategis yang menjadi hajat hidup masyarakat luas, best
practice, urban mobility, dan lain-lain inisiatif baru pemerintah seperti termaktub dalam Renana
Induk, Cetak Biru, dan dokumen perencanaan lainnya. Pada saat yang dekat ini barangkali draft
Background Paper RENSTRA sudah dapat di-upload ke portal yang ada untuk menjadi bahan
diskusi oleh pemangku kepentingan.
Portal yang ada sekarang barangkali belum mampu untuk menyelenggarakan diskusi interaktif
oleh karena sifatnya yang masih statis dan belum ada operator yang dididik khusus untuk itu. KS
membutuhkan portal yang real time, interaktif, dan memfasilitasi pertukaran pendapat dan
menampung saran masyarakat luas secara on-line, begitu rupa sehingga perenanaan dan
kebijakan pemerintah dapat dikoreksi dan di verifikasi dalam waktu cepat. Ini untuk
memfasilitasi delivery dan sharing of knowledge agar mudah dilakukan, mudak diakses,
user friendly dan demand responsive ("just enough" and "just in time") untuk
kepentingan para pembuat keputusan, praktisi transportasi, dan pemangku
kepentingan lainnya.
Bab-bab sebelumnya telah banyak membahas hal-hal penting yang perlu dipertimbangkan dan
dimasukkan di dalam Renstra 2015-209. Bab 3 membahas evaluasi terhadap Renstra 2010-2014,
Bab 4 menyampaikan audit umum terhadap kondisi, permasalahan, dan rencana setiap sub
sektor transportasi, sedangkan Bab 5 s.d Bab 7 mengilustrasikan perkembangan lingkungan
strategis yang akan mempengaruhi rona sektor transportasi nasional dalam 5 tahun ke depan.
Bab 8 s.d Bab 11 memberikan pokok-pokok kebijakan nasional yang perlu diluncurkan untuk
menjawab tantangan tersebut. Selanjutnya Bab 12 s.d Bab 15 memberikan petunjuk mengenai
strategi apa yang perlu ditempuh untuk menjalankan berbagai kebijakan di atas.
Bab ini menyampaikan proses dan hasil perumusan muatan pokok yang direkomendasikan bagi
Renstra 2015-2019 (visi, misi, tujuan, sasaran, strategi dan kebijakan, dan program dan kegiatan
pokok) untuk menjembatani (bridging) antara pokok-pokok temuan dan rekomendasi dari
background study ini dengan sistematika dan nomeklatur suatau Renstra K/L sebagaimana
disarankan dalam PP 40 Tahun 2006 dan Permen PPN/Bappenas 5/2009.
Visi Kementerian Perhubungan sebagaimana dimuat dalam Renstra 2010-2014 (lihat Tabel 3.2)
bersumber kepada KM 49/2008 tentang RPJP Departemen Perhubungan 2005-2025 (ditetapkan
tanggal 26 September 2008). KM 49/2008 tersebut sudah mempertimbangkan UU 17/2007
tentang RPJPN, namun tentu saja belum mempertimbangkan regulasi penting lain yang
ditetapkan sesudahnya (seperti: UU 1/2009 tentang Penerbangan, UU 22/2009 tentang LLAJ, PP
8/2011 tentang Angkutan Multimoda, Perpres 32/2011 tentang MP3EI, Perpres 26/2012 tentang
Sislognas, dan sejumlah PP sub-sektor transportasi yang banyak dikeluarkan setelah Tahun
2009). Oleh karena itu, Visi dalam KM 49/2008 tersebut dimungkinkan untuk diubah
disesuaikan dengan arahan dari sejumlah peraturan terbaru tersebut.
Tabel 16.1 menyampaikan beberapa mandat visioner terkait dengan sektor transportasi yang
dimuat dalam beberapa peraturan perundangan terkait. Dari beberapa mandat tersebut
terdapat beberapa karakter pokok dari sistem transportasi yang perlu diperhatikan dalam
perumusan Visi Kementerian Perhubungan:
Karakter dampak sektor transportasi: adalah kemampuannya dalam menunjang (1)
pencapaian sasaran pembangunan nasional di segala bidang (ekonomi, sosial, budaya,
lingkungan, hankam, dlsb), (2) pemerataan pembangunan (3) kedaulatan/persatuan
dan ketahanan nasional;
Karakter wujud/teknis/kinerja sektor transportasi: adalah sistem transportasi yang: (1)
memiliki konektivitas (lokal, nasional, global) sesuai konstelasi tata ruang, ekonomi,
dan kebutuhan logistik, (2) mampu memperlancar perpindahan orang dan/atau
barang, (2) menyediakan pelayanan yang selamat, aman, nyaman, cepat, lancar, tepat,
tertib, teratur, efisien;
Karakter komponen pendukung sektor transportasi: yakni (1) dikelola oleh industri
transportasi yang kuat, berdaya saing melalui persaingan sehat serta (2) SDM yang
profesional di bidangnya masing-masing.
Selanjutnya, misi yang diemban oleh Kementerian Perhubungan (yang seharusnya berada dalam
posisi sebagai regulator, namun dengan tetap menjadi pemegang mandat utama dari UU di
bidang transportasi) secara teoretis akan merangkum pernyataan tentang apa yang akan
dikerjakan oleh lembaga dalam usahanya mewujudkan visi (lihat pasal 1 butir 16 PP 40/2006).
Apa yang dikerjakan oleh Kementerian Perhubungan tentu saja tidak dapat dilepaskan dari tugas
dan fungsi yang diamanatkan oleh Presiden dalam Perpres 24/2010. Dalam pasal 321 Perpres
24/2010 disebutkan tugas Kementerian Perhubungan adalah menyelenggarakan urusan di
bidang perhubungan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara. Pada dasarnya tidak cukup spesifik dijelaskan apa saja “urusan di bidang
perhubungan dalam pemerintahan” yang dimaksud, kecuali jika dianggap bahwa fungsi
Kementerian Perhubungan dalam pasal 322 Perpres 24/2010 dapat dianggap sebagai
penjelasan, dimana disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas tersebut Kementerian
Perhubungan menyelenggarakan fungsi: (a) perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan
di bidang perhubungan; (b) pengelolaan barang milik/kekayaan negara (BMN) yang menjadi
tanggung jawab Kementerian Perhubungan; (c) pengawasan atas pelaksanaan tugas di
lingkungan Kementerian Perhubungan; (d) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas
pelaksanaan urusan Kementerian Perhubungan di daerah; dan (e) pelaksanaan kegiatan teknis
yang berskala nasional. Namun demikian fungsi dalam pasal 322 Perpres 24/2010 tersebut
Dari diskusi di atas, maka akan sangat baik jika dalam misi Kementerian Perhubungan 2015-2019
disampaikan mengenai apa yang akan dilakukan oleh Kementerian Perhubungan di setiap
Bidang Transportasi (Perhubungan Darat, Perhubungan Laut, Perhubungan Udara, dan
Perkeretaapian) untuk mencapai Visi yang ditetapkan. Pertanyaannya adalah: apakah (1) setiap
bidang perhubungan ditetapkan misinya masing-masing, mission to each sub-sector, atau (2)
bidang perhubungan dianggap sebagai satu kesatuan dan misi ditetapkan untuk setiap aspek
kinerja (misalnya: kualitas pelayanan, penyediaan jaringan, kelembagaan dan SDM, teknologi
dan investasi, dlsb), mission to every aspect.
Jika diperhatikan kalimat misi yang dimuat dalam Renstra 2010-2014 (PM 7/2010, lihat Tabel
3.2) merupakan modifikasi dari kalimat misi dalam RPJP Dephub 2005-2025 (KM 49/2008).
Adapun secara substantif pendekatan misi dalam Renstra 2010-2014 lebih condong kepada
mission to every aspect yang tercakup dalam bidang perhubungan. Pendekatan penetapan misi
ini sangat berpengaruh dalam penyusunan tujuan dan sasaran organisasi. Sebagaimana telah
dibahas pada Sub Bab 3.3 dan Sub Bab 3.4.2, dengan pendekatan ini, pengukuran kinerja
pencapaian sasaran melalui IKU Kemenhub yang ditetapkan secara menyatu ternyata sulit
diukur (karena karakteristik setiap aspek dalam masing-masing sub sektor juga berbeda) dan
tidak muncul bagaimana kebijakan Kementerian terkait peran/misi setiap moda transportasi
sesuai keunggulan komparatif-nya masing-masing dalam transportasi nasional secara
keseluruhan, selain itu misi untuk bidang penunjang (BPSDMP, Balitbanghub, Setjen, dan Itjen)
tidak dimunculkan secara eksplisit.
Tabel 16.3 menyampaikan perbandingan rumusan misi Kementerian Perhubungan dari Renstra
2010-2014 dengan rumusan misi dari background paper ini untuk Renstra 2015-2019.
Tujuan, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 13 (2) PP 40/2006, adalah penjabaran visi
kementerian/lembaga (K/L) yang bersangkutan dan dilengkapi dengan rencana sasaran nasional
yang hendak dicapai dalam rangka mencapai sasaran program prioritas Presiden. Tentu saja,
sebagai penjabaran visi (visi umumnya bersifat abstrak dan berdurasi jangka panjang) sebaiknya
tujuan sudah bersifat terukur (kuantitatif/kualitatif) dan pencapaiannya berjangka menengah (5
tahun ke depan). Oleh karenanya tujuan harus benar-benar kompatible dengan perkembangan
lingkungan strategis dan tantangan sektor transportasi dalam 5 tahun ke depan.
Sebagaimana telah disampaikan pada Bab 8 s.d Bab 11 bahwa untuk menjawab tantangan 5
tahun ke depan terdapat 4 tema besar kebijakan pembangunan sektor transportasi57, yakni: (1)
Membangun Konektivitas Nasional, (2) Membangun Pasar dan Industri Transportasi Nasional, (3)
Mengintegrasikan Isu-Isu Lintas Sektor, dan (4) Meningkatkan Kinerja Transportasi Perkotaan.
Oleh karena itu sangat tepat jika tujuan pembangunan sektor transportasi yang dimuat dalam
Renstra Kementerian Perhubungan 2010-2015 mengelaborasi keempat tema besar kebijakan
tersebut dalam rumusannya.
Lebih lanjut, sasaran atau target adalah hasil yang diharapkan dari suatu program atau keluaran
yang diharapkan dari suatu kegiatan (pasal 1 Butir 1 PP 40/2006). Adapun pengertian hasil
(outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-
kegiatan dalam satu program58. Sebagaimana diketahui bahwa setiap Unit Eselon I (ditjen teknis
57
Dalam draft RPJMN 2015-2019 bidang infrastruktur (edisi Desember 2013) yang dikeluarkan Kedeputian Sarana dan
Prasarana, Kemeneg PPN/Bappenas, terdapat kerangka arah dan fokus kebijakan pembangunan bidang
infrastruktur, yakni: peningkatan standar pelayanan infrastruktur, penguatan konektivitas nasional, integrasi lintas
sektoral, sinkronisasi infrastruktur, dan peran serta badan usaha dalam pembangunan infrastruktur.
58
Sesuai pasal 1 butir 10 PP 40/2006, program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi
anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.
Jika dibandingkan dengan sasaran dalam Renstra 2010-2014 (lihat Tabel 3.2) maka rekomendasi
sasaran dari background paper ini untuk Renstra 2015-2019 terlihat lebih terukur/kuantitatif,
namun disisi lain terdapat kondisi agregat sektor transportasi yang tidak diukur bersamaan atau
hanya ditampilkan di sub-sektor yang paling dominan, sebagai contoh: (1) keselamatan dan
dampak lingkungan (konsumsi BBM dan emisi CO2) hanya ditargetkan untuk wajib diturunkan
pada bidang LLAJ yang mengkontribusi lebih dari 80% untuk kedua indikator tersebut, (2)
pengembangan transportasi intermoda difokuskan pada simpul pelabuhan, bandara, dan jalur
KA yang diharapkan saling berinteraksi secara kooperatif untuk angkutan barang, (3) ukuran
konektivitas, kapasitas, dan kinerja layanan diukur secara berbeda untuk setiap moda sesuai
dengan karakteristik dan perannya masing-masing, (4) kontribusi sektor transportasi dalam
menurunkan biaya transportasi dan logistik diukur secara tidak langsung melalui peningkatan
intermodality dan perbaikan kinerja pada jaringan ataupun simpul utama, dlsb.
Cara penetapan sasaran dan pengukuran kinerja secara berbeda untuk setiap program di
masing-masing sub-sektor yang diusulkan oleh background paper ini untuk Renstra 2015-2019
memungkinkan setiap moda untuk menonjolkan perannya masing-masing atau memprioritaskan
penyelesaian masalah paling krusial. Adapun komponen kinerja yang belum terukur di level
Kementerian akan dapat diukur dalam penyusunan sasaran dan indikator kinerja utama di setiap
sub-sektor/Unit Eselon I masing-masing.
59
Dalam Keppres 29/2013 tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat T.A 2014, Kementerian Perhubungan
melaksanakan 9 program, yakni: Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya (oleh
Setjen), Program Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur (Itjen), Program Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Transportasi Darat (Ditjen Hubdat), Program Pengelolaan dan Penyelenggaraan Transportasi Laut
(Ditjen Hubla), Program Pengelolaan dan Penyelenggaraan Transportasi Udara (Ditjen Hubud), Program Pengelolaan
dan Penyelenggaraan Transportasi Perkeretaapian (Ditjen KA), Program Penelitian dan Pengembangan (Balitbang),
Program Pengembangan SDM (BPSDM)
Kapasitas dan
Indikator Kinerja Utama dan Target
keselamatan
Transportasi
Konektivitas
lingkungan
logistic cost
Tata kelola
Energi dan
Intermoda
Transport/
perkotaan
Sasaran Utama
industri
kualitas
Program Misi Kinerja Tahun 2019
Pelaku
(Level Kementerian)
(Level Kementerian)
Pengelolaan dan Mengoptimalkan peran a) Meningkatnya konektivitas 1) Jumlah trayek/lintas angkutan bus
Penyelenggaraan LLAJ, LLASDP, dan jaringan trayek/lintas angkutan dan ASDP perintis = 400 lintas
Transportasi transportasi perkotaan jalan, sungai, danau, dan 2) Prosentase terpenuhinya frekuensi
Darat (Ditjen sebagai pilar utama penyeberangan pelayanan pada lintas penyeberangan
Hubdat) penyelenggaraan utama = 100%
transportasi yang b) Meningkatnya kinerja dan 3) Peningkatan kecepatan perjalanan di
berkelanjutan keselamatan lalu lintas pada ruas jalan nasional sebesar 10% dari
jaringan jalan nasional melalui kondisi base-line
pelaksanaan manajemen dan 4) Menurunnya jumlah kecelakaan lalu
rekayasa lalu lintas lintas di jalan nasional sebanyak 50%
dari kondisi base- line
c) Meningkatnya kontribusi LLAJ 5) Menurunnya tingkat konsumsi BBM
dalam mewujudkan bersubsidi (energi tak terbarukan)
transportasi yang dari LLAJ sebanyak 20% dari kondisi
berkelanjutan base-line
6) Jumlah pengurangan emisi gas rumah
kaca (CO2) dari LLAJ melalui aplikasi
teknologi dan modal-shifting
sebanyak 30% dari kondisi base-line
d) Meningkatnya kinerja angkutan 7) Jumlah kota yang menerapkan
umum perkotaan angkutan massal berbasis jalan = 34
kota
8) Modal share angkutan umum
perkotaan di Ibukota Provinsi = 45%
Pengelolaan dan Mewujudkan transportasi e) Meningkatnya konektivitas 9) Jumlah voyage angkutan laut perintis
Penyelenggaraan laut sebagai tulang jaringan pelayaran nasional = 2500 vayage/th
Transportasi punggung logistik negara 10) Prosentase regularitas jaringan trayek
Laut (Ditjen maritim Indonesia yang liner angkutan barang = 100%
Hubla) didukung industri f) Meningkatnya keterhubungan 11) Jumlah pelabuhan yang menyediakan
pelayaran nasional yang dan kinerja layanan pelabuhan fasilitas intermoda = 5 pelabuhan
kuat nasional 12) Jumlah pelabuhan yang memenuhi
kriteria kinerja (WT, AT, ET) sesuai
yang ditetapkan = 114 pelabuhan
g) Meningkatnya kapabilitas 13) Pangsa muatan luar negeri yang
industri pelayaran nasional diangkut kapal nasional = 40%
14) Menurunnya umur kapal nasional
diatas 25 tahun = 50%
Pengelolaan dan Mewujudkan peran h) Meningkatnya konektivitas 15) Jumlah rute penerbangan perintis =
Kapasitas dan
Indikator Kinerja Utama dan Target
keselamatan
Transportasi
Konektivitas
lingkungan
logistic cost
Energi dan
Tata kelola
Intermoda
Transport/
perkotaan
Sasaran Utama
industri
kualitas
Program Misi Kinerja Tahun 2019
Pelaku
(Level Kementerian)
(Level Kementerian)
Kapasitas dan
Indikator Kinerja Utama dan Target
keselamatan
Transportasi
Konektivitas
lingkungan
logistic cost
Energi dan
Tata kelola
Intermoda
Transport/
perkotaan
Sasaran Utama
industri
kualitas
Program Misi Kinerja Tahun 2019
Pelaku
(Level Kementerian)
(Level Kementerian)
kemajuan sektor
transportasi nasional
Dukungan Mewujudkan tata kelola p) Meningkatnya kualitas 30) Nilai AKIP Kementerian Perhubungan
Manajemen dan pemerintahan yang baik di pengelolaan keuangan dan = AA
Pelaksanaan Lingkungan Kementerian kinerja di Lingkungan 31) Opini BPK atas Laporan Keuangan
Tugas Teknis Perhubungan Kementerian Perhubungan Kementerian Perhubungan = WTP
Lainnya (Setjen)
____________________ _____________ ___________________________ _____________ _____________ _____________________
Pengawasan
dan Peningkatan
Akuntabilitas
Aparatur (Itjen)
Agnes M. E. (2003) Websters New World Dictionary and Thesaurus, 4th Edition, July 1st 2003, John Wiley &
Sons.
Australian Aid-Indonesian Infrastructure Initiative (2012) Academic paper to Support National Port Master Plan
Decree: Creating an Efficient, Competitive and Responsive Port System for Indonesia, Technical Report,
March 2012
Bappenas (2013) Bahan Lokakarya I Background Study untuk Penyusunan RPJMN III 2015-2019 Sektor
Transportasi, Jakarta 11 September 2013.
Bappenas, BPS, UNFPA (2005) Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025.
Clarkson Research Services (2012) Shipping Review & Outlook. Spring 2012.
Drucker, F.D (2000) Management Challenges for the 21st Century, 1st edition (June 26, 2001), HarperBusiness.
Farid Gasmi, Paul Noumba, and Laura Recuero Virto. Political accountability and regulatory performance in
infrastructure industries: an empirical analysis.World Bank Policy Research Working Paper 4101,
December 2006.
Global Environment Outlook 2000. United Nations Environment Programme’s Millenium Report on the
Environment. Earthscan Puoications Ltd., the UK, 1999.
Gomez-Ibanez, J.A and K.A.Small. Road Pricing for Congestion Management : A Survey of International Practice.
Transportation Research Board, 1994.
Gomez-Ibanez, J.A.. and J.R.Meyer. Going Private : The International Experience with Transport Privatization.
The Brooking Institution, 1993.
Indonesia Infrastructure Initiatives (IndII). National Strategy for the Implementation of ASEAN Open Sky Policy.
Stage II, Final Report, June 2011.
Quinlan, Joseph P. The Last Economic Superpower. The Retreat of Globalization, The End of American
Dominance, and What We Can DO About It. McGraw Hill, 2011
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2013) Public Private Partnerships Infrastructure
Projects Plan in Indonesia 2013, Jakarta, November 2013.
Kementerian Perhubungan (2011) Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2010, Maret 2011.
Kementerian Perhubungan (2012) Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2011, Maret 2012.
Kementerian Perhubungan (2013) Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2012, Maret 2013.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 414 Tahun 2013 tentang Penetapan Rencana Induk Pelabuhan
Nasional
Meyer, J.R., Kain, J.F., and M.Wohl. The Urban Transportation Problems. Harvard University Press, 1965.
Meyer, J.R. and J.A.G. Ibanez. Auto, Transit, and Cities. Harvard University Press, 1981.
Moavenzadeh, F. dan D. Geltner. Transportation, Energy, and Economic Development: A Dilemma in the
Developing World. Elsevier Science Publishers B.V., 1984.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (sebagaimana pernah diubah
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011)
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak serta
Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar
Udara
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan