You are on page 1of 5

MIASTENIA GRAVIS

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi/Pengertian
Miastenia Gravis yang berarti “kelemahan otot yang serius” adalah satu-satunya penyakit neuromuskuler
yang menggabungkan kelelahan cepat otot voluntar dan waktu penyembuhan yang lama (penyembuhan
dapat butuh waktu 10 hingga 20 kali lebih lama daripada normal). (Sylvia A. Price : 1148)
Miastenia Gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh
yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter). (Brunner & Suddarth : 2196)

3. Etiologi Miastenia Gravis


Kelainan primer pada Miastenia Gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada neuromuscular
junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat
partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba
pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi
yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka
saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan
demikian terjadilah kontraksi otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia
Gravis tidak diketahui.
Dulu dikatakan, pada Miastenia Gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi
menurut teori terakhir, faktor imunologik yang berperanan.

4. Manifestasi klinis Miastenia Gravis


Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah mengalami kelelahan, yang umumnya
memburuk setelah aktivitas dan berkurang setelah istirahat. Pasien dengan penyakit ini akan mengalami
kelelahan hanya karena penggunaan tenaga yang sedikit seperti menyisir rambut, mengunyah dan
berbicara, dan harus menghentikan segalanya untuk istirahat.
Berbagai gejala yang muncul sesuai dengan otot yang terpengaruh. Otot-otot simetris terkena, umumnya
ini dihubungkan dengan saraf kranial. Karena otot-otot okular terkena maka gejala awal yang muncul
adalah diplopia (pengelihatan ganda) dan ptosis (jatuhnya kelopak mata). Kelemahan pada otot bulbar
menyebabkan masalah mengunyah dan menelan dan adanya bahaya tersedak dan aspirasi.

5. Patofisiologi terjadinya penyakit

Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada tranmisi impuls
saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran postsinaps
pada sambungan neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70% - 90% reseptor
asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap individu. Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai
penyakit autoimun yang bersikap langsung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi
neuromuscular.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia
gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait
dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus,
arthritis rheumatoid, dan lain-lain.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita
miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan
penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody
pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia
gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien
yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada
penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai
“penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor
asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan
organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia
timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda,
dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa
juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin
akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan
silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor
asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran
post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor
asetilkolin yang baru disintesis.

6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat pasien dan pemeriksaan fisik. Pemeriksa harus memiliki
pengetahuan mengenai Miastenia Gravis. Banyak pasien telah berterus terang kepada psikiater karena
gejala mereka hanya memiliki dasar fisiologis. Meminta pasien untuk memperlihatkan aktivitas berulang
hingga kelelahan adalah bukti-bukti yang dapat membantu menegakkan diagnosis. Elektromiografi
(EMG) memperlihatkan satu ciri khas penurunan dalam amplitudo unit motorik potensial dengan
penggunaan yang terus menerus. Tes khusus untuk Miastenis Gravis adalah adanya antibodi serum
terhadap reseptor asetilkolin. Setidaknya 80% penderita Miastenia Gravis memiliki kadar antibodi serum
tinggi yang abnormal, tetapi penderita bentuk penyakit Miastenia Gravis okular yang ringan atau tunggal
dapat memiliki hasil negatif palsu. Diagnosis dipastikan dengan tes Tensilon. Edrofonium klorida
(Tensilon) adalah suatu obat penghambat kolinesterase, yang diberikan secara intravena. Pada pasien
Miastenia Gravis memperlihatkan perbaikan otot dalam 30 detik. Ketika didapatkan hasil positif, perlu
didapatkan diagnosis banding antara Miastenia Gravis sejati dengan sindron miastenik. Penderita sindrom
miastenia memiliki gejala yang sama dengan Miastenia Gravis sejati, namin penyebabnya berkaitan
dengan proses patologis lain (seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang menyebar). Usia
awitan kedua keadaan ini adalah faktor pembeda yang penting. Penderita Miastenia Gravis sejati biasanya
berusia muda, sedangkan penderita sindrom miastenia cenderung lebih tua. Gejala sindrom miastenia
biasanya menghilang bila penyakit dasarnya dapat dikontrol.
Pada Miastenia Gravis terjadi kelainan kelenjar timus. Walaupun terlalu kecil untuk dapat dilihat secara
radiologis, kelenjar timus sebagian besar pasien secara histologis adalah abnormal. Perempuan usia muda
cenderung mengalami hiperplasia timus sedangkan laki-laki usia tua cenderung mengalami neoplasma
timus.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Miastenia Gravis ditentukan dengan meningkatkan fungsi pengobatan pada obat
antikolinesterase dan menurunkan serta mengeluarkan sirkulasi antobodi. Terapi mencakup agens-agens
antikolinesterase dan terapi imunosupresif, yang terdiri dari plasmeferesis dan timektomi.
Agens-agens antikolinesterase. Obat ini bereaksi dengan meningkatkan konsentrasi asetilkolin yang
relatif tersedia pada persimpangan neuromuskular. Mereka diberikan untuk meningkatkan respons otot-
otot terhadap impuls saraf dan meningkatkan kekuatan otot. Kadang-kadang mereka diberikan hanya
mengurangi simtomatik.
Obat-obatan dalam pengobatan digunakan piridostigmin bromida (Mestinon), ambenonium khlorida
(Mytelase), dan neostigmin bromida ( Prostigmine).
Terapi imunosupresif ditentukan dengan tujuan menurunkan produksi antibodi antoreseptor atau
mengeluarkan langsung melalui perubahan plasma. Terapi imunosupresif mencakup kortikosteroid,
plasmaferesis dan timektomi. Terapi kortikosteroid dapat menguntungkan pasien dengan miastenia yang
pada umumnya berat. Kortikosteroid digunakan mereka dengan efek terjadinya penekanan respons imun
pasien, sehingga menurunkan jumlah penghambatan antibodi. Dosis antikolinesterase diturunkan sampai
kemampuan pasien untuk mempertahankan respirasi efektif dan kemampuan menelan dipantau. Dosis
steroid berangsur-angsur ditingkatkan dan obat antikolinesterase diturunkan dengan lambat.
Prednison digunakan dalam beberapa hari untuk menurunkan efek samping, kadang-kadang pasien
memperlihatkan adanya penurunan kekuatan otot setelah terapi dimulai, tetapi ini biasanya hanya
sementara.
Obat-obat sitotoksik juga diberikan. Walaupun mekanisme aksi yang muncul tidak sepenuhnya
dimengerti, namun obat-obat seperti azatioprin (Imuran) dan siklofosfamid (Cytoxan) menurunkan titer
sirkulasi antisetilkolin pada reseptor antibodi. Efek samping yang muncul kadang-kadang terjadi dan
hanya pasien dengan penyakit berat saja yang diobati dengan obat-obatan ini.
Pertukaran plasma (plasmeferesis) adalah teknik yang memungkinkan pembuangan selektif plasma dan
komponen plasma pasien.sel-sel yang sisa kembali dimasukkan. Penukaran plasma menghasilkan reduksi
sementara dalam titer sirkulasi antibodi. Proses ini mempunyai pengaruh ynag hebat pada pasien tetapi
tidak mengobati keadaan abnormal (menghasilkan antireseptor antibodi) sampai waktu yang panjang.

Penatalaksanaan pembedahan
Pada pasien Miastenia Gravis timus tampak terlibat dalam produksi antibodi AchR. Timektomi
(pembedahan mengangkat timus) menyebabkan pengurangan penyakit substansial, terutama pada pasien
dengan tumor atau hiperplasia kelenjar timus. Timektomi yaitu membuka sternum karena seluruh timus
harus dibuang. Hal ini dianggap bahwa timektomi pada awal perjalanan penyakit adalah terapi spesifik,
sehingga tindakan ini mencegah pembentukan antireseptor antibodi. Setelah pembedahan, pasien dipantau
di ruang perawatan intensif untuk memberikan perhatian khusus dalam fungsi pernapasan.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktek keperawatan. Proses
keperawatan terdiri dari lima tahap yang saling berhubungan yaitu :
1. PENGKAJIAN
Data subyektif :
 Pasien mengatakan mengalami kelelahan pada waktu beraktivitas ringan seperti berjalan, menyisir
rambut, dan berbicara.
 Pasien mengatakan susah mengunyah dan menelan.
 Pasien mengatakan kesulitan dalam mengucapkan kata-kata.
 Pasien mengatakan kelopak mata jatuh dan pengelihatan ganda.
 Pasien mengatakan kesulitan bernapas.

Data obyektif :
 Ptosis dan diplopia.
 Pasien tampak lemah ketika beraktivitas ringan seperti berjalan, menyisir rambut.
 Disfonia.
 Dispneu.
 Kesulitan dalam mengunyah dan menelan.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan pada data pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan yang muncul meliputi :
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan.
2) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot-otot ekstremitas.
3) Risiko terhadap aspirasi berhubungan dengan kelemahan otot bulbar.
4) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan reflek batuk yang lemah dan
ketidakmampuan membersihkan mukus dari cabang trakeobronkial.
5) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan mengunyah dan
menelan.
6) Risiko cedera berhubungan dengan kelemahan otot ekstremitas, pengelihatan ganda (diplopia) dan
ptosis.
7) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pengelihatan ganda (diplopia) dan ptosis.
8) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan suara (disfonia).

3. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Pada tahap penyusunan rencana tindakan, hal yang dilakukan adalah : menentukan prioritas diagnosa
keperawatan, menentukan tujuan, menentukan kriteria evaluasi dan menentukan rencana tindakan.
a. Prioritas diagnosa keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan reflek batuk yang lemah dan
ketidakmampuan membersihkan mukus dari cabang trakeobronkial.
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan.
3) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot-otot ekstremitas.
4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan mengunyah dan
menelan.
5) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan suara (disfonia).
6) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pengelihatan ganda (diplopia) dan ptosis.
7) Risiko cedera berhubungan dengan kelemahan otot ekstremitas, pengelihatan ganda (diplopia) dan
ptosis.
8) Risiko terhadap aspirasi berhubungan dengan kelemahan otot bulbar.
b. Rencana Keperawatan dapat dilihat pada lampiran.

4. EVALUASI
1) Bersihan jalan napas efektif.
2) Mencapai fungsi pernapasan adekuat.
3) Beradaptasi pada kerusakan mobilitas.
4) Nutrisi pasien adekuat.
5) Pasien mampu berkomunikasi dengan alternatif pilihan pasien
6) Pasien mampu mengekspresikan konsep diri yang positif.
7) Pasien dapat melihat dengan bantuan penutup mata
8) Tidak mengalami aspirasi.
DAFTAR PUSTAKA

- Brunner & Suddart. (1996), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol 3, EGC, Jakarta.
- Carpenito, L.J. (2001) Handbook of Nursing Diagnosis (Buku terjemahan), Ed.8. EGC, Jakarta.
- Sylvia, A. (2005), Patofisiologi konsep klinis proses penyakit, Edisi 6, Vol 2, EGC, Jakarta.

You might also like