You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gastroenteritis atau penyakit diare adalah penyakit yang terjadi


akibat adanya peradangan pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh
infeksi (Cakrawardi et. al,2009). Penyakit ini ditandai dengan gejalanya
terutama diare, muntah atau keduanya dan dapat juga disertai dengan demam,
nyeri abdomen dan anoreksia (Elliott J. E., 2007). Secara global, setiap tahun
diperkirakan dua juta kasus gastroenteritis yang terjadi di kalangan anak
berumur kurang dari lima tahun. Walaupun penyakit ini seharusnya dapat
diturunkan dengan pencegahan, namun penyakit ini tetap menyerang anak
terutamanya yang berumur kurang dari dua tahun. Selain menyebabkan
jumlah kematian yang tinggi di kalangan anak, penyakit gastroenteritis juga
menimbulkan beban kepada ibu bapa dari segi biaya pengobatan dan waktu.
Penyakit ini terutama disebabkan oleh makanan dan minuman yang
terkontaminasi akibat akses kebersihan yang buruk (Howidi et. al, 2012).

Gastroenteritis atau penyakit diare masih merupakan masalah


kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena
morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Survei morbiditas yang
dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan (Depkes) dari tahun 2000
sehingga tahun 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000
incidence rate penyakit diare 301/1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi
374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun
2010 menjadi 411/1000 penduduk. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT), studi mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke
tahun diketahui bahawa diare masih menjadi penyebab utama kematian balita
di Indonesia. Penyebab utama kematian karena diare perlu tatalaksana yang
cepat dan tepat (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,2011). Biasanya
gastroenteritis dapat pulih sendiri tanpa terapi. Penatalaksanaan kasus
gastroenteritis mempunyai tujuan mengembalikan cairan yang hilang akibat
diare. Kegagalan dalam pengobatan gastroenteritis dapat menyebabkan infeksi
berulang atau gejala berulang dan bahkan timbulnya resistensi. Untuk
menanggulangi masalah resistensi tersebut, WHO telah merekomendasikan
pengobatan gastroenteritis berdasarkan penyebabnya. Terapi antibiotik
diindikasikan untuk gastroenteritis yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Hal
ini karena antibiotik merupakan obat andalan untuk terapi infeksi bakteri.
Namun, ketepatan dosis dan lama pemberian antibiotik adalah sangat penting
agar tidak terjadi resistensi bakteri dan infeksi berulang (Cakrawardi et. al,
2009). Resistensi antibiotik di kalangan bakteri enterik dapat menimbulkan
implikasi buruk karena dapat mengancam nyawa dan menyebabkan penyakit
yang lebih serius (A Elmanama et al., 2013).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa konsep medis Gastroenteritis?

2. Apa konsep keperwatan Gastroenteritis?

1.3 Tujuan

1. Untuk menjelaskan konsep medis Gastroenteritis.

2. Untuk menjelaskan konsep keperwatan Gastroenteritis.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP DASAR MEDIS

2.1.1 Pengertian
Gastroenteritis adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara
berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih buang air besar
dengan bentuk tinja yang encer atau cair (Suriadi dan Yuliani, 2001 : 83).
Penyebab utama gastroenteritis adalah adanya bakteri, virus, parasit
( jamur, cacing, protozoa). Gastroenteritis akan di tandai dengan muntah
dan diare yang dapat menghilangkan cairan dan elektrolit terutama natrium
dan kalium yang akhirnya menimbulkan asidosis metabolic dapat juga
terjadi cairan atau dehidrasi ( Setiati, 2009).
Diare adalah buang air besar dengan jumlah feces yang lebih banyak
dari biasanya (normal 100-200 ml/jam feces). Dengan feces berbentuk cairan
atau setengah cair (setengah padat) dapat pula disertai frekuensi BAB yang
meningkat.
(Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Arief Mansjoer, 2000)
Diare akut adalah diare yang awalnya mendadak dan berlangsung
singkat, dalam beberapa jam sampai 7 atau 14 hari.
(Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Arief Mansjoer, 2000)
Diare adalah BAB encer atau cair lebih dari tiga kali sehari
(WHO/1980).

2.1.2 Etiologi
Infeksi merupakan penyebab utama diare akut, baik oleh bakteri,
parasit maupun virus. Penyebab lain adalah faksin dan obat, nutrisi enteral
diikuti puasa yang berlangsung lama, kemoterapi, impaksi fekal (overflow
diarrhea) atau berbagai kodisi lain.
- Infeksi bakteri : vibrio, escherichia coli, salmonella, shigella,
campylobacter, yershinia, dan lain-lain.
- Infeksi virus : entenevirus, (Virus ECHO, coxsackaie, poliomelitis),
adenovirus, rotovirus, dan lain-lain.
- Infeksi parasit : cacing (ascori, trichoris, oxyuris, histolitika, gardia
lamblia, tricomona hominis), jamur (candida albicans)
Infeksi diluar alat perncernaan makanan seperti : Otitis media akut
(OMA), tansilitis, aonsilotaringitis, bronco pneumonia, encetalitis.

2.1.3 Anatomi Dan Fisiologi Gastrointestinal


Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaaan

1. Anatomi
Menurut Syaifuddin, ( 2003 ), susunan pencernaan terdiri dari :
a. Mulut
Terdiri dari 2 bagian :
1) Bagian luar yang sempit / vestibula yaitu ruang diantara
gusi, gigi, bibir, dan pipi.
a) Bibir
Di sebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan di sebelah
dalam di tutupi oleh selaput lendir (mukosa). Otot
orbikularis oris menutupi bibir. Levator anguli oris
mengakat dan depresor anguli oris menekan ujung
mulut.
b) Pipi
Di lapisi dari dalam oleh mukosa yang mengandung
papila, otot yang terdapat pada pipi adalah otot
buksinator.
c) Gigi
2) Bagian rongga mulut atau bagian dalam yaitu rongga
mulut yang di batasi sisinya oleh tulang maksilaris
palatum dan mandibularis di sebelah belakang
bersambung dengan faring.
a) Palatum
Terdiri atas 2 bagian yaitu palatum durum (palatum
keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari
sebelah tulang maksilaris dan lebih kebelakang yang
terdiri dari 2 palatum. Palatum mole (palatum
lunak) terletak dibelakang yang merupakan lipatan
menggantung yang dapat bergerak, terdiri atas
jaringan fibrosa dan selaput lendir.
b) Lidah
Terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh
selaput lendir, kerja otot lidah ini dapat digerakkan
ke segala arah. Lidah dibagi atas 3 bagian yaitu :
Radiks Lingua = pangkal lidah, Dorsum Lingua =
punggung lidah dan Apek Lingua + ujung lidah.
Pada pangkal lidah yang kebelakang terdapat
epligotis. Punggung lidah (dorsum lingua) terdapat
puting-puting pengecapatau ujung saraf pengecap.
Fenukun Lingua merupakan selaput lendir yang
terdapat pada bagian bawah kira-kira ditengah-
tengah, jika tidak digerakkan ke atas nampak
selaput lendir.
c) Kelenjar Ludah
Merupakan kelenjar yang mempunyai ductus
bernama ductus wartoni dan duktus stansoni.
Kelenjar ludah ada 2 yaitu kelenjar ludah bawah
rahang (kelenjar submaksilaris) yang terdapat di
bawah tulang rahang atas bagian tengah, kelenjar
ludah bawah lidah (kelenjar sublingualis) yang
terdapat di sebelah depan di bawah lidah.
Di bawah kelenjar ludah bawah rahang dan kelenjar
ludah bawah lidah di sebut koronkula sublingualis
serta hasil sekresinya berupa kelenjar ludah (saliva).
Di sekitar rongga mulut terdapat 3 buah kelenjar
ludah yaitu kelenjar parotis yang letaknya dibawah
depan dari telinga di antara prosesus mastoid kiri
dan kanan os mandibular, duktusnya duktus
stensoni, duktus ini keluar dari glandula parotis
menuju ke rongga mulut melalui pipi (muskulus
buksinator). Kelenjar submaksilaris terletak di
bawah rongga mulut bagian belakang, duktusnya
duktus watoni bermuara di rongga
mulut bermuara di dasar rongga mulut. Kelenjar
ludah di dasari oleh saraf-saraf tak sadar.
d) Otot Lidah
Otot intrinsik lidah berasal dari rahang bawah (m
mandibularis, oshitoid dan prosesus steloid)
menyebar kedalam lidah membentuk anyaman
bergabung dengan otot instrinsik yang terdapat pada
lidah. M genioglosus merupakan otot lidah yang
terkuat berasal dari permukaan tengah bagian dalam
yang menyebar sampai radiks lingua.
b. Faring (tekak)
Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut
dengan kerongkongan (esofagus), di dalam lengkung
faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar
limfe yang banyak mengandung limfosit.
c. Esofagus
Panjang esofagus sekitar 25 cm dan menjalar melalui dada
dekat dengan kolumna vertebralis, di belakang trakea dan
jantung. Esofagus melengkung ke depan, menembus
diafragma dan menghubungkan lambung. Jalan masuk
esofagus ke dalam lambung adalah kardia.
d. Gaster ( Lambung )
Merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang
paling banyak terutama didaerah epigaster. Lambung
terdiri dari bagian atas fundus uteri berhubungan dengan
esofagus melalui orifisium pilorik, terletak dibawah
diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di
sebelah kiri fudus uteri.
e. Intestinum minor ( usus halus )
Adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang
berpangkal pada pylorus dan berakhir pada seikum,
panjang + 6 meter. Lapisan usus halus terdiri dari :
1) lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot
melingkar ( m.sirkuler)
2) otot memanjang ( m. Longitudinal ) dan lapisan
serosa (sebelah luar ).
Pergerakan usus halus ada 2, yaitu:
1) Kontraksi pencampur (segmentasi)
Kontraksi ini dirangsang oleh peregangan usus halus
yaitu.desakan kimus
2) Kontraksi Pendorong
Kimus didorong melalui usus halus oleh gelombang
peristaltik. Aktifitas peristaltik usus halus sebagian
disebabkan oleh masuknya kimus ke dalam duodenum,
tetapi juga oleh yang dinamakan gastroenterik yang
ditimbulkan oleh peregangan lambung terutama di
hancurkan melalui pleksus mientertus dari lambung
turun sepanjang dinding usus halus.
Perbatasan usus halus dan kolon terdapat katup ileosekalis
yang berfungsi mencegah aliran feses ke dalam usus halus.
Derajat kontraksi sfingter iliosekal terutama diatur oleh
refleks yang berasal dari sekum. Refleksi dari sekum ke
sfingter iliosekal ini di perantarai oleh pleksus mienterikus.
Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut
zat-zat diserap ke hati melalui vena porta. Dinding
usus melepaskan lender (yang melumasi usus) dan air
(yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan
yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah
kecil enzim yang mencerna protein, gula, dan lemak. Iritasi
yang sangat kuat pada mukosa usus,seperti terjadi pada
beberapa infeksi dapat menimbulkan apa yang dinamakan
”peristaltic rusrf” merupakan peristaltic sangat kuat yang
berjalan jauh pada usus halus dalam beberapa menit.
Intesinum minor terdiri dari :
a) Duodenum ( usus 12 jari )
Panjang + 25 cm, berbentuk sepatu kuda
melengkung ke kiru. Pada lengkungan ini terdapat
pankreas. Dan bagian kanan duodenum ini terdapat
selaput lendir yang membuktikan di sebut papila
vateri. Pada papila veteri ini bermuara saluran
empedu ( duktus koledukus ) dan saluran pankreas (
duktus pankreatikus ).
b) Yeyenum dan ileum
Mempunyai panjang sekitar + 6 meter. Dua perlima
bagian atas adalah yeyenum dengan panjang ± 2-3
meter dan ileum dengan panjang ± 4 – 5 meter.
Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding
abdomen posterior dengan perantaraan lipatan
peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai
mesenterium. Akar mesenterium memungkinkan
keluar dan masuknya cabang-cabang arteri dan vena
mesentrika superior, pembuluh limfe dan saraf ke
ruang antara 2 lapisan peritoneum yang membentuk
mesenterium. Sambungan antara yeyenum dan
ileum tidak mempunyai batas yang tegas. Ujung
bawah ileum berhubungan dengan seikum dengan
seikum dengan perataraan lubang yang bernama
orifisium ileoseikalis, orifisium ini di perkuat
dengan sfingter ileoseikalis dan pada bagian ini
terdapat katup valvula seikalis atau valvula baukini.
Mukosa usus halus. Permukaan epitel yang sangat
luas melalui lipatan mukosa dan mikrovili
memudahkan pencernaan dan absorbsi. Lipatan ini
dibentuk oleh mukosa dan submukosa yang dapat
memperbesar permukaan usus. Pada penampangan
melintang vili di lapisi oleh epiel dan kripta yang
menghasilkan bermacam-macam hormon jaringan
dan enzim yang memegang peranan aktif dalam
pencernaan.
f. Intestinium Mayor ( Usus besar )
Panjang ± 1,5 meter lebarnya 5 – 6 cm. Lapisan–lapisan usus
besar dari dalam keluar : selaput lendir, lapisan otot melingkar,
lapisan otot memanjang, dan jaringan ikat. Lapisan usus besar
terdiri dari :
1) Seikum
Di bawah seikum terdapat appendiks vermiformis
yang berbentuk seperti cacing sehingga di sebut juga
umbai cacing, panjang 6 cm.
2) Kolon asendens
Panjang 13 cm terletak di bawah abdomen sebelah
kanan membujur ke atas dari ileum ke bawah hati. Di
bawah hati membengkak ke kiri, lengkungan ini di
sebut Fleksura hepatika, di lanjutkan sebagai kolon
transversum.
3) Appendiks ( usus buntu )
Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari
akhir seikum.
4) Kolon transversum
Panjang ± 38 cm, membunjur dari kolon asendens
sampai ke kolon desendens berada di bawah
abdomen, sebelah kanan
terdapat fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapat
fleksura linealis.
5) Kolon desendens
Panjang ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian
kiri membunjur dari atas ke bawah dari fleksura
linealis sampai ke depan ileum kiri, bersambung
dengan kolon sigmoid.
6) Kolon sigmoid
Merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak
miring dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuk
menyerupai huruf S. Ujung bawahnya berhubung
dengan rectum.
Fungsi kolon : Mengabsorsi air dan elektrolit serta
kimus dan menyimpan feses sampai dapat dikeluarkan.
Pergerakan kolon ada 2 macam :
1) Pergerakan pencampur (Haustrasi) yaitu kontraksi
gabungan otot polos dan longitudinal namun
bagian luar usus besar yang tidak terangsang
menonjol keluar menjadi seperti kantong.
2) Pergarakan pendorong ”Mass Movement”, yaitu
kontraksi usus besar yang mendorong feses ke
arah anus.
g. Rektum dan Anus
Terletak di bawah kolon sigmoid yang menghubungkan
intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga
pelvis di depan os sakrum dan os koksigis.
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang
menghubungkan rectum dengan dunia luar ( udara luar ).
Terletak di antara pelvis, dindingnya di perkuat oleh 3 sfingter:
a. Sfingter Ani Internus
b. Sfingter Levator Ani
c. Sfingter Ani Eksternus
Di sini di mulailah proses devekasi akibat adanya massmovement.
Mekanisme :
1). Kontraksi kolon desenden
2). Kontraksi reflek rectum
3). Kontraksi reflek sigmoid

2.1.4 Patofisiologi
Berdasarkan Hasan (2005), mekanisme dasar yang menyebabkan
timbulnya diare adalah:
1. Gangguan sekresi
Akibat gangguan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus
akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam rongga
usus dan selanjutnya diare tidak karena peningkatan isi rongga
usus.
2. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat di serap
akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi,
sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga
usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus
untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya
kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare,
sebaliknya jika peristaltik
usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan
yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.

2.1.5 Klasifikasi Kelompok


Klasifikasi Tanda dan Gejala
Tak ada dehidrasi Tak ada tanda dan gejala dehidrasi :
- Keadaan umum baik, sadar
- Tanda vital (tekanan darah, suhu, nadi,
pernapasan) dalam batas normal
Dehidrasi tak berat Dua atau lebih tanda-tanda berikut :
- Gelisah, rewel
- Mata cekung
- Air mata kurang
- Haus (minum banyak)
- Mulut dan bibir sedikit kering
- Cubitan kulit perut kembali lambat
- Tangan dan kaki hangat
Dehidrasi berat Dua atau lebih tanda-tanda berikut :
- Kondisi umum lemas
- Kesadaran menurun – tidak sadar
- Mata cekung
- Air mata tidak ada
- Tidak mampu untuk minum/minum lemah
- Mulut dan bibir kering
- Cubitan kulit perut kembali sangat lambat ( ≥ 2
detik)
- Tangan dan kaki dingin

2.1.6 Manifestasi Klinis


Pasien dengan diare akut akibat infeksi sering mengalami naurea,
muntah, nyeri perut sampai kejang perut, deman dan diare. Terjadinya
renjatan hipovolemik harus dihindari. Kekurangan cairan menyebabkan
pasien akan merasa haus, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit
menurun, serta suara menjadi serak. Gangguan Biokimiawi seperti asidosis
metabolik akan menyebabkan frekuensi pernafasan lebih cepat dan dalam
(pernafasan kusmaul). Bila terjadi renjatan hipovolemik barat maka denyut
nadi cepat (lebih dari 120x / menit). Tekanan darah menurun sampai tak
terukur, pasien gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstrimitas dingin, kadang
sianosis. Kekurangan kalium menyebabkan aritmia jantung perfusi ginjal
menurun sehingga timbul anuria, sehingga bila kekurangan cairan tak segera
diatasi dapat timbul penyakit berupa nekrosis tubulas akut. Secara klinis
diare karena infeksi akut terbagi menjadi 2 golongan :
1. Koleriform, dengan diare yang terutama terdiri atas cairan saja.
2. Disentriform, pada diare didapatkan lendir kental dan kadang-kadang
darah.
 Akibat diare
- Dehidrasi.
- Asidosis metabolik.
- Gangguan gizi akibat muntah dan berak-berak.
- Hipoglikemi.
- Gangguan sirkulasi darah akibat yang banyak keluar sehingga terjadi
syock.
 Derajat dehidrasi
1. Tidak ada dehidrasi bila terjadi penurunan BB 2,5 %.
2. Dehidrasi ringan, bila terjadi penurunan BB 2,5 – 5 %.
3. Dehidrasi sedang, bila terjadi penurunan BB 5 – 10 %.
4. Dehidrasi berat, bila terjadi penurunan BB 10 %.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan darah tepi lengkap.
2. Pemeriksaan analisis gas darah, elektrolit, ureum, kreatin dan berat jenis,
plasma dan urine.
3. Pemeriksaan urin lengkap.
4. Pemeriksaan feces lengkap dan biakan feces dari colok dubur.
5. Pemeriksaan biakan empedu bila demam tinggi dan dicurigai infeksi
sistemik.

2.1.8 Penatalaksanan
Pada anak-anak, penatalaksanaan diare akut akibat infeksi terdiri:
1. Rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan.
4 hal penting yang perlu diperhatikan
a. Jenis cairan.
Pada diare akut yang ringan dapat diberikan oralit. Diberikan cairan
ringel laktat bila tidak terjadi dapat diberikan cairan NaCl Isotonik
ditambah satu ampul Na bicarbonat 7,5 % 50 m.
b. Jumlah cairan.
Jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang
dikeluarkan.
c. Jalan masuk atau cara pemberian cairan.
Rute pemberian cairan pada orang dewasa dapat dipilih oral / IV.
d. Jadwal pemberian cairan.
Dehidrasi dengan perhitungan kebutuhan cairan berdasarkan metode
Daldiyono diberikan pada 2 jam pertama. Selanjutnya kebutuhan
cairan Rehidrasi diharapkan terpenuhi lengkap pada akhir jam ke tiga.
2. Identifikasi penyebab diare akut karna infeksi.
Secara klinis, tentukan jenis diare koleriform atau disentriform.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang yang terarah.
3. Terapi simtomatik.
Obat anti diare bersifat simtomatik dan diberikan sangat hati-hati atas
pertimbangan yang rasional. Antimotalitas dan sekresi usus seperti
Loperamid, sebaiknya jangan dipakai pada infeksi salmonella, shigela
dan koletis pseudomembran, karena akan memperburuk diare yang
diakibatkan bakteri entroinvasif akibat perpanjangan waktu kontak antara
bakteri dengan epithel usus. Pemberian antiemetik pada anak dan remaja,
seperti metoklopopomid dapat menimbulkan kejang akibat rangsangan
ekstrapiramidal.
4. Terapi Definitif
Pemberian edurasi yang jelas sangat penting sebagai langkah
pencegahan. Higiene perorangan, sanitasi lingkungan dan imunisasi
melalui vaksinasi sangat berarti, selain terapi farmakologi. (Kapita
Selekta Kedokteran 1 Edisi 2000)

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi diare mencakup potensial terhadap disritmia jantung akibat
hilangnya cairan dan elektrolit secara bermakna (khususnya kehilangan
kalium). Pengeluaran urin kurang dari 30 ml / jam selam 2 –3 hari berturut-
turut. Kelemahan otot dan parastesia. Hipotensi dan anoreksia serta
mengantuk karena kadar kalium darah di bawah 3,0 mEq / liter (SI : 3 mmol
/ L) harus dilaporkan, penurunan kadar kalium menyebabkan disritmia
jantung (talukardio atrium dan ventrikel, febrilasi ventrikel dan kontraksi
ventrikel prematur) yang dapat menimbulkan kematian.

2.1.10 Pencegahan
Dalam pencegahan penyakit Gastroenteritis dapat dilihat dalam lima
tingkat pencegahan (five levels of prevention) sebagai berikut :
1) Perbaikan status gizi individu/perorangan ataupun masyarakat untuk
membentuk daya tahan tubuh yang lebih baik dan dapat
melawan Agent penyakit yang akan masuk kedalam tubuh, seperti
mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung zat gizi yang lebih baik dan
diperlukan oleh tubuh.
2) Pemberian ASI Ekslusif kepada bayi yang baru lahir, karena ASI banyak
mengandung kalori, protein dan vitamin yang banyak dibutuhkan oleh tubuh,
pencegahan ini bertujuan untuk membentuk system kekebalan tubuh sehingga
terlindung dari berbagai penyakit infeksi seperti Gastroenteritis.
3)Diagnosa Dini dan Pengobatan Segera (Early Diagnosis and Prompt
Treatment)
4) Pemberantasan Cacat (Disability Limitation) Penyakit Gastroenteritis ini
jika tidak diobati secara baik dan teratur akan dapat menyebabkan kematian.
Pembatasan kecacatan (Disability Limitation) dalam mencegah terjadinya
penyakitGastroenteritis dapat dilakukan dengan berbagai upaya diantaranya :
- Mencegah proses penyakit lebih lanjut dengan cara melakukan pengobatan
secara berkesinambungan sehingga tercapai proses pemulihan yang baik.
- Melakukan perawatan khusus secara berkala guna memperoleh pemulihan
kesehatan yang lebih cepat.
- Mencuci tangan sebelum makan
5) Rehabilitasi (Rehabilitation) Rehabilitasi (Rehabilitation) dalam mencegah
terjadinya penyakit Gastroenteritis dapat dilakukan dengan rehabilitasi
fisik/medis apabila terdapat gangguan kesehatan fisik akibat
penyakit Gastroenteritis
2.2 KONSEP KEPERAWATAN

2.2.1 PENGKAJIAN
a. Pengumpulan data
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
nomor register, diagnosa medis, dan tanggal MRS.
2. Keluhan utama
Klien mengeluh BAB cair lebih dari 3 kali yang mendadak dan
berlangsung singkat dalam beberapa jam kadang disertai muntah.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pada umumnya didapatkan keluhan utama pada penderita, yaitu
peningkatan frekuensi BAB dari biasanya dengan konsistensi cair,
muntah, nyeri perut sampai kejang perut , demam, lidah kering, turgor
kulit menurun.
4. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya dikaitkan dengan riwayat medis lalu berhubungan dengan
perjalanan kearea geografis lain.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Meliputi susunan keluarga penyakit keturunan atau menular yang
pernah di derita anggota keluarga.
6. Riwayat kehamilan dan persalinan
 Pre natal : Keadaan gizi ibu sewaktu hamil, penyakit infeksi
yang diderita ibu hamil, psikologis ibu hamil,
PMx kehamilan, penggunaan obat-obatan dan
jamu.
 Natal : Meliputi keadaan klien saat lahir, kelainan-
kelaian yang didapatkan, keadaan trauma saat
melahirkan, BB dan TB Kx.
: Menyangkut keadaan klien setelah lahir sampai
 Post natal usia 28 hari serta kelainan lain yang didapat dan
riwayat imunisasi yang didapatkan.
7. Riwayat tumbuh kembang
 Pertumbuhan meliputi : BB, TB
 Perkembangan meliputi : perkembangan psikososial, motorik
halus, motorik kasar.
Menurut (Erik Erekson 1963) :
 Anak usia 9 bulan masuk pada tahap percaya dan tidak percaya (0
– 1 tahun).
 Bayi lahir dan kontak dengan mutlak tergantung dengan orang
lain.
 Rasa aman dan rasa percaya pada lingkungan merupakan
kebutuhan bayi.
 Hubungan antara ibu dan anak harmonis yaitu memalui
kebutuhan fisik, psikologis dan sosial.
8. Riwayat imunisasi
Meliputi imunisasi BCG, Hepatitis I, II, III, DPT I, II, III, Polio I, II,
III, IV, Campak.
9. Riwayat nutrisi
Meliputi pemberian ASI dan makanan tambahan serta jenis makanan
tambahan yang diberikan.
10. Pola-pola fungsi kesehatan
 Pola Eliminasi urin.
Biasanya pada diare eliminasnya normal (ringan), oliguri (sedang),
anuria (berat).
 Pola Eliminasi Alvi.
Pada klien dengan diare akut biasanya BAB cair lebih banyak atau
sering dari kebiasaan sebelumnya.
 Pola Natrisi dan metabolisme.
Pada klien diare akut terjadi peningkatan bising usus dan peristaltik
usus yang menyebabkan terganggunya absorbsi makanan akibat
adanya gangguan mobilitas usus. Sehingga menimbulkan gejala
seperti rasa kram pada perut, perut terasa mual atau tidak enak dan
anoreksia, maka kebutuhan nutrisi menjadi terganggu karena
asupan yang kurang.
 Pola istirahat tidur.
Pada umumnya pola istirahat menjadi terganggu akibat gejala yang
ditimbulkan seperti : mendadak diare, muntah, nyeri perut, sehingga
Kx sering terjaga.
11. Pemeriksaan fisik.
1). Keadaan umum
Kesadaran (baik, gelisah, Apatis/koma), GCS, Vital sign, BB dan
TB.
2). Kulit, rambut, kuku
Turgor kulit (biasa – buruk), rambut tidak ada gangguan, kuku
bisa sampai pucat.
3). Mata
Biasanya mulai agak cowong sampai cowong sekali.
4). THT dan mulut
THT tidak ada gangguan, tapi biasanya mulutnya kering.
5). Thorak dan abdomen
Tidak didapatkan adanya sesak, abdomen biasanya nyeri, dan bila
di Auskulkasi akan ada bising usus sehingga meningkat.
6). Sistem respirasi
Biasanya pernafasan lebih cepat dan dalam (pernafasan kusmaul).
7). Sistem kordovaskuler
Pada kasus ini bila terjadi renjatan hipovolemik berat denyut nadi
cepat (lebih dari 120x/menit).
8). Sistem genitourinaria
Pada kasus ini bisa terjadi kekurangan kalium menyebabkan
perfusi ginjal dapat menurun sehingga timbul anuria.
9). Sistem gastro intestinal
Yang dikaji adalah keadaan bising usus, peristaltik ususnya terjadi
mual dan muntah atau tidak, perut kembung atau tidak.
10). Sistem muskuloskeletal
Biasanya tidak ada gangguan.
11). Sistem persyarafan
Pada kasus ini biasanya kesadaran gelisah, apatis / koma.
b. Analisa Data
1). - Data mayor : Penderita diare dengan frekuensi lebih dari biasa
dan timbul rasa haus.
- Data minor : Penderita biasanya muntah sebelum dan sesudah
makan / minum, mukosa mulut kering, turgor
kulit menurun.
Kemungkinan Penyebab : out put yang berlebihan.
Masalah : kekurangan volume cairan.
2). - Data mayor : Penderita biasanya mengalami kram abdomen
dan penurunan nafsu makan dan mual.
- Data minor : Penderita didapati mata cowong, mukosa bibir
kering, akral dingin, lemah, BB menurun, tulang
pipi menonjol.
Kemungkinan Penyebab : input yang inade kuat
Masalah : nutrisi.
3). - Data mayor : Penderita pada umumnya istirahatnya
terganggu.
- Data minor : Pada penderita didapati pucat, gelisah, lemah.
Kemungkinan Penyebab : eleminasi yang sering dan kram abdomen.
Masalah : istirahat - tidur.
(Dongoes edisi 3 EGC 2000)

2.2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Gangguan volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh b/d out put yang
berlebihan d/d frekuensi diare yang meningkat dari biasanya, rasa haus,
muntah, mukosa bibir kering, turgor kulit menurun.
2. Gangguan pemenuhan nutrisi b/d input yang inadeguat d/d penurunan
nafsu makan, mutah,Kx mengalami kram abdomen, mata cowong,
mukosa bibir kering, tulang pipi menonjol, penurunan BB.
3. Gangguan istirahat – tidur b/d eliminasi yang sering dan kram abdomen
ditandai dengan sring terbangun, pucat, gelisah dan lemah.
(Lynda Juall Carpernito 2001)

2.2.3 PERENCANAAN
1. Diagnosa I
Gangguan keseimbangan cairan b/d out put yang berlebihan d/d klien
berak cair lebih dari 3 x sehari, mual, muntah, klien lemah, turgor kulit
menurun.
Tujuan : keseimbangan cairan kembali normal dalam waktu 6 – 8 jam.
 Kriteria hasil : - Intake dan output seimbang
Diare berhenti.
Turgor kulit baik
Kadar elektrolit dalam batasan normal :
* Natrium = 3,5 –5,5 mEq/l
* Kalium = 135-145 mEq/l
Tidak mual dan muntah
Mukosa bibir lembab
o Rencana tindakan :
1. Lakukan pendekatan pada penderita.
R : memudahkan kerja sama antara perawat dan klien.
2. Catat frekuensi, jumlah dan konsistensi faces yang keluar.
R : memudahkan membuat asuhan keperawatan secara tepat
untuk intervensi selanjutnya.
3. Anjurkan penderita untuk minum banyak (sedikit-sedikit sering).
R : untuk mengganti caiaran yang hilang.
4. Kolaborasai dengan tim dokter dalam pemberian obat dan infus.
R : terapi yang tepat dan cepat dapat mempercepat kesembuhan
dan mencegah komplikasi secara dini.
5. Monitoring tanda-tanda dehidrasi.
R : mendeteksi secara dini tanda-tanda dehidrasi.
6. Anjurkan penderita untuk tidak makan makanan yang merangsang
timbulnya diare.
R : untuk mencegah diare lebih lama lagi.
2. Diagnosa II
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi b/d absorbsi yang tidak adekuat
d/d klien mengalami anorexia, nause dan vomiting, klien tidak
menghabiskan porsi makan yang disajikan
o Tujuan : kebutuhan nutrisi tubuh dapat dipenuhi.
o Kriteria hasil : - Intake nutrisi yang adekuat.
Mual, muntah tidak ada.
Klien dapat menghabiskan porsi makan yang
disajikan.
Hb dalam batas normal = 12-17 gr%
Ukuran lila 8-10 cm
Klien tidak terlihat anemis
o Rencana Tindakan
Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.
R : memudahkan kerja sama antara perawat dan klien.
Kaji tingkat nutrisi klien.
R : untuk mengetahui keadaan nutrisi klien.
Beri makanan dalam porsi kecil tetapi sering.
R : untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh.
Hitung BB.
Ukur lingkar lengan.
Sajikan makanan dengan menarik sesuai dengan selera anak tetapi
tidak memperparah penyakit anak.
Kolaborasi dengan tim medis (kokter) dalam pemberian terapi.
3. Diagnosa III
Gangguan istirahat – tidur b/d eliminasi yang sering dan tidak terkontrol
serta kram abdomen d/d Kx sering terbangun, pucat, gelisah dan lemah.
 Tujuan
Kebutuhan istirahat – tidur dengan tenang.
 Kriteria Hasil
Sapat istirahat tidur dengan tenang.
Kram abdomen tidak ada.
Diare berhenti.
 Rencana Tindakan
1. Lakukan pendekatan pada penderita dan keluarganya.
R : memudahkan kerja sama antara perawat dan klien.
2. Berikan suasana lingkungan yang nyaman dan tenang.
R : dapat membantu kenyamanan dan ketenangan Kx.
3. Kolaborasi dengan tim medis (dokter) untuk pemberian obat.
R : membantu proses kesembuhan.

2.2.4 IMPLEMENTASI
Implementasi adalah realita dari tindakan yang telah ditentukan dan diuraikan
sesuai denga prioritas masalah. Hal ini disesuaikan dengan kondisi,
kebutuhan, sumberdaya, fasilitas yang ada pada saat dilakukan tindakan
keperawatan.

2.2.5 EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan sebagai
pengukuran dari keberhasilan rencana tindakan keperawatan.
Evaluasi dikatakan berhasil jika pasien menunjukkan perubahan sesuai
dengan standrt yang telah ditetapkan.
Hasil evaluasi dapat berupa :
a. Tujuan tercapai
Jika pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan standart yang telah
ditetapkan
b. Tujuan tercapai sebagian
Jika pasien menunjukkan perubahan sebagian dari standart dan kriteria
yagn telah ditetapkan

c. Tujuan tidak tercapai


Pasien yang tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali
bahkan timbul masalah baru.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Diare merupakan suatu gejala dari bermacam-macam penyakit.
Penyebab pasti dari diare ini tidak dapat diketahui secara pasti, tetapi
haruslah dengan melakukan berbagai macam pemeriksaan dan riwayat
penyakit sekarang, serta apa saja yang dilakukan oleh penderita diare
terakhir sekali. Barulah diketahui klien itu menderita penyakit apa.
Dengan munculnya diare pada anak, terutama yang masih bayi tidak
dapat dianggap remeh walaupun hanya diare beberapa kali dalam sehari
(diare ringan). Karena 80% lebih tubuh bayi terdiri dari air. Yang bila terjadi
diare berarti cairan dan elektrolit dalam tubuh bayi keluar, sehingga bayi
rentan untuk kekurangan cairan dan elektrolit. Apalagi bila diare berat maka
dehidrasi tidak dapat dihindari lagi dan dapat terjadi hipovolemik shock.
Oleh karena itu sebagai perawat perlu dan penting sekali untuk
memberi penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada orang tua yang
mempunyai anak dan bayi. Agar selalu memelihara kesehatan dan mencegah
timbulnya diare, dengan jalan menjaga kebersihan baik fisik dan psikologis.
Karena bila bayi stress juga dapat terjadi diare. Memperhatikan gizi
makanan juga sangat penting. Bila terjadi diare maka segeralah beri minum
yang banyak atau dengan memberikan oralit (larutan gula garam) untuk
pertolongan pertama, kemudian segeralah bawa kepada tenaga kesehatan
atau rumah sakit.

3.2 Saran
Sebaiknya mahasiswa harus lebih mampu memamahi konsep medis
dan konsep keperawatan mengenai Gastroenteritis. Dengan pengetahuan yang
dimiliki diharapkan mahasiswa dapat menyalurkan dan menerapkannya dalam
kehidupan sehari – hari dan lingkungan praktek.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Maka dari itu kami sebagai penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari
seluruh pihak demi sempurnanya makalah ini. Saran yang dapat penulis
berikan adalah agar mahasiswa dapat memahami tentang Gastroenteritis. Pada
makalah berikutnya menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Arief Mansjoer. Dkk, (2000) Kapita Selekta Kedokteran,


Jakarta Media Aesculapius, FKUI.
Marilynn E. Dongoes, (2000) Rencana Asuhan Keperawatan,
Jakarta, EGC.
Lynda Juall Carpernito (2001), Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8 EGC.
Jakarta.
Sylfia A. Price, (1995) Patofisiologi,
Jakarta. EGC.

You might also like