You are on page 1of 33

PAPER

TERAPI KOGNITIF PADA PASIEN LANSIA DENGAN


RESIKO BUNUH DIRI

Paper ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik

Dosen Pembimbing : Eva NA.S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.Kom

Anggota Kelompok :

1. Candra Ariani (2620152723)


2. Elly Pratiwi (2620152731)
3. Renita Yopi Choiri (2620152749)
4. Rini Sulistyo Wati (2620152752)
5. Wahyu Dwi Astuti (2620152757)
6. Zalfiana Ikhsani Dewi (2620152762)

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lansia merupakan seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih.
Jumlah penduduk lansia dunia diperkirakan ada 500 juta dengan usia rata-
rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar.
Di negara Indonesia kelompok lansia berdasarkan proyeksi 2010-2035
terus meningkat. Secara nasional, jumlah penduduk lansia di Indonesia
pada 2015 lalu sudah menembus 18 juta orang. Sedang di Kota Yogya,
Dinas Sosial Kota Yogyakarta memprediksikan jumlah masyarakat
kelompok lansia di Kota Yogyakarta akan mengalami peningkatan.
Bahkan saat ini, jumlah lansia di Yogyakarta sudah mencapai 13-15
persen dari total jumlah penduduk Kota Yogyakarta (Dinas Sosial
Yogyakarta, 2018)
Namun walaupun presentase lansia mengalami peningkatan, angka
bunuh diri pada lansia pun juga meningkat di seluruh dunia. Menurut data
terbaru WHO ada lebih dari 800 ribu orang lansia di dunia yang
memutuskan bunuh diri pada setiap tahunnya. Asia Tenggara
menyumbang sekitar 39 % dari seluruh kasus bunuh diri didunia pada
tahun 2012 (CNN Indonesia, 2015). Sementara itu di Indonesia angka
bunuh diri lansia mencapai 1,6 hingga 1,8 / 100 ribu jiwa pada tahun 2010.
Adapun berdasarkan data dari kepolisian Republik Indonesia pada tahun
2014 terdapat sekitar 457 kasus bunuh diri. Menurut Hiro Penerangan
masyarakat divisi humas polri, bunuh diri yang terjadi di Yogyakarta yaitu
160 kasus (Viva 2015).
Ada beberapa Faktor penyebab bunuh diri pada lansia, salah
satunya dikarenakan depresi. Resiko bunuh diri pada pasien yang
mengalami depresi sangat nyata. Depresi adalah suatu faktor resiko terkuat
upaya bunuh diri lansia dan bunuh diri yang telah dilakukan serta
kemungkinan penyebab pada sekitar 75% bunuh diri yang dilakukan.
Sekitar 39% bunuh diri yang berhasil dilakukan oleh individu diatas usia
65 tahun, angka tertinggi antara usia 75 tahun dan 85 tahun. Upaya bunuh
diri pada mereka diatas usia 60 tahun lima kali kemungkinan lebih berhasil
dilakukan. Angka bunuh diri pada lansia pria tujuh kali lebih besar
dibandingkan lansia wanita (Jaime dan Liz, 2008). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi depresi pada lansia sebesar 54,2%.
Dengan derajat depresi yang dialami adalah depresi derajat ringan 45,8%.
Kejadian depresi cenderung dialami oleh laki-laki (69,3%), kelompok usia
75 tahun (90%), tingkat pendidikan rendah (44,3%), tidak bekerja
(100,0%), tingkat penghasilan perbulan rendah (80,0%), tidak menikah
(75,0%), tinggal sendiri (75,0%), dependen (66,7%), mengalami gangguan
kognitif (47,4%), terisolasi (100,0%), memiliki pengalaman stres dalam
dua tahun terakhir (55,6%), memiliki penyakit kronis (52,4%), menjadi
kepala keluarga (66,7%), buta huruf (66,7%), mengonsumsi alkohol
(72,7%), dan sedang menjadi perokok (66,7%).
Sejauh ini, prevelensi depresi pada lansia di dunia berkisar 8-15%.
Hasil meta analisis dari laporan negara-negara didunia menggambarkan
prevelensi rata-rata depresi pada lansia 13,5% dengan perbandingan
wanita dan pria 14,1 : 8,6 (Rahmawati,2008). Berdasarkan penelitian
Wirasto (2007) di kota Yogyakarta prevelensi gangguan depresi pada
lansia mencapai 56,4%.
Cara mengatasi risiko bunuh diri pada lansia dapat dilakukan
dengan cara melakukan terapi dan pendekatan kepada lansia. Terapi
kognitif adalah terapi yang mempergunakan pendekatan terstruktur, aktif,
direktif dan berjangkan waktu singkat, untuk menghadapi berbagai
hambatan dalam kepribadian, misalnya ansietas atau depresi. Sehingga
terapi ini pas digunakan untuk mengatasi permasalahan ini.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka kelompok
menyusun makalah tentang “Terapi Kognitif Pada Lansia dengan Risiko
Bunuh Diri.”
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui terapi kognitif pada pasien lansia dengan risiko bunuh diri
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi terapi kognitif pada pasien lansia dengan
risiko bunuh diri
b. Mengetahui tujuan terapi kognitif pada pasien lansia dengan risiko
bunuh diri
c. Mengetahui manfaat terapi kognitif pada pasien lansia dengan
risiko bunuh diri
d. Mengetahui proses pelaksanaan terapi kognitif pada pasien lansia
dengan risiko bunuh diri
e. Mengetahui petunjuk terapi kognitif pada pasien lansia dengan
risiko bunuh diri
BAB II
KONSEP DASAR

A. Terapi Kognitif
1. Definisi
Kognisi adalah suatu tindakan atau proses memahami. Terapi kognitif
menjelaskan bahwa bukan suatu peristiwa yang menyebabkan
kecemasan dan tanggapan maladaptif melainkan harapan masyarakat,
penilaian, dan interpretasi dari setiap peristiwa ini. Sugesti bahwa
perilaku maladaptif dapat diubah oleh berhubungan langsung dengan
pikiran dan keyakinan orang (Stuart, 2009).
Secara khusus, terapis kognitif percaya bahwa respon maladaptif
muncul dari distorsi kognitif. Distorsi kognitif merupakan kesalahan
logika, kesalahan dalam penalaran, atau pandangan individual dunia
yang tidak mencerminkan realitas. distorsi dapat berupa positif atau
negatif. Misalnya, seseorang yang secara konsisten dapat melihat
kehidupan dengan cara yang realistis positif dan dengan demikian
mengambil peluang berbahaya, seperti menyangkal masalah kesehatan
dan mengaku sebagai "terlalu muda dan sehat untuk serangan jantung".
distorsi kognitif mungkin juga negatif, seperti yang diungkapkan oleh
orang yang menafsirkan semua situasi kehidupan disayangkan sebagai
bukti kurang lengkap diri. Distorsi kognitif umum tercantum dalam
tabel di bawah ini (Stuart, 2009)

2. Tujuan
Menurut Setyoadi, dkk (2011) beberapa mekanisme koping dengan
menggunakan terapi kognitif adalah sebagai berikut :
a. Membantu klien dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan
menentang keakuratan kognisi negative klien. Selain itu, juga
untuk memperkuat persepsi yang lebih akurat dan mendorong
perilaku yang dirancang untuk mengatasi gejala depresi. Dalam
beberapa penelitian, terapi ini sama efektifnya dengan terapi
depresan.
b. Menjadikan atau melibatkan klien subjek terhadap uji realitas.
c. Memodifikasi proses pemikiran yang salah dengan membantu
klien mengubah cara berpikir atau mengembangkan pola piker
yang rasional.
d. Membentuk kembali pikiran individu dengan menyangkal asumsi
yang maladaptive, pikiran yang mengannggu secara otomatis, serta
proses pikir tidak logis yang dibesar-besarkan. Berfokus pada
pikiran individu yang menentukan sifat fungsionalnya.
e. Menghilangkan sindrom depresi dan mencegah kekambuhan.
Tanda dan gejala depresi dihilangkan melalui usaha yang
sistematis yaitu mengubah cara berpikir maladaptive dan otomatis.
Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi bahwa kepercayaan-
kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia,
dan masa depan yang dapat menyebabkan depresi. Klien
menyadari kesalahan cara berpikirnya. Kemudian klien harus
belajar cara merespon kesalahan tersebut dengan cara yang lebih
adaptif. Dengan perspektif kognitif, klien dilatih untuk mengenal
dan menghilangkan pikiran-pikiran dan harapan-harapan negative.
Cara lain adalah dengan membantun klien mengidentifikasi kondisi
negative, mencari alternative, membuat skema yang sudah ada
menjadi lebih fleksibel, dan mencari kognisi perilaku baru yang
lebih adaptif.
f. Membantu menargetkan proses berpikir serta perilaku yang
menyebabkan dan mempertahankan panik atau kecemasan.
Dilakukan dengan cara penyuluhan klien, restrukrisasi jognitif,
pernapasan rileksasi terkendali, umpan balik biologis,
mempertanyakan bukti, memeriksa alternative, dan reframing.
g. Menempatkan individu pada situasi yang biasanya memicu
perilaku gangguan obsesif kompulsif dan selanjutnya mencegah
responsnya. Misalnya dengan cara pelimpahan atau pencegahan
respons, mengidentifikasi, dan merestrukturisasi distorsi kognitif
melalui psikoedukasi.
h. Membantu individu mempelajari respons rileksasi, membentuk
hirarki situasi fobia, dan kemudian secara bertahap dihadapkan
pada situasinya sambil tetap mempertahankan respons rileksasi
misalnya dengan cara desensitisasi sistematis. Restrukturisasi
kognitif bertujuan untuk mengubah persepsi klien terhadap situasi
yang ditakutinya.
i. Membantu individu memandang dirinya sebagai orang yang
berhasil bertahan hidup dan bukan sebagai korban, misalnya
dengan cara restrukturisasi kognitif.
j. Membantu mengurangi gejala klien dengan restrukturisasi system
keyakinan yang salah.
k. Membantu mengubah pemikiran individu dan menggunakan
latihan praktik untuk meningkatkan aktivitas sosialnnya.
l. Membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan
internal.

3. Manfaat
Menurut Parrish,et.al (2009) yaitu :
a. Memberikan dampak positif pada penderita resiko bunuh diri atau
depresi
b. Menunjukkan hasil yang sangat signifikan untuk penurunan tanda
dan gejala resiko bunuh diri
c. Dapat menurunkan perasaan negatif dan menurunkan kondisi
depresi
4. Macam-Macam Terapi Kognitif
Menurut Yosep (2009) ada beberapa teknik kognitif terapi yang harus
diketahui oleh perawat jiwa. Pengetahuan tentang teknik ini
merupakan syarat agar peran perawat jiwa bisa berfungsi secar
optimal. Dalam pelaksanaan teknik-teknik ini harus dipadukan dengan
kemampuan lain seperti teknik komter, milieu therapy dan counseling.
Beberapa teknik tersebut antara lain:
a. Teknik Restrukturisasi Kongnisi (Restructuring Cognitive)
Perawat berupaya untuk memfasilitasi klien dalam melakukan
pengamatan terhadap pemikiran dan perasaan yang muncul. Teknik
restrukturasasi dimulai dengan cara memperluas kesadaran diri dan
mengamati perasaan dan pemikiran yang mungkin muncul.
Biasanya dengan menggunakan pendekatan 5 kolom. Masing-
masing kolom terdiri atas perasaan dan pikiran yang muncul saat
menghadapi masalah terutama yang dianggap menimbulkan
kecemasan saat ini.
Perawat jiwa dapat memberikan blanko restructuring cognitive,
untuk kemudian diisi oleh klien. Setelah mendapat penjelasan
seperlunya, maka hasil analisa klien dan blanko yang sudah terisi
dibahas secara bersama.
b. Teknik Penemuan Fakta-Fakta (Questioning the evidence)
Perawat jiwa mencoba memfasilitasi klien agar membiasakan
menuangkan pikiran-pikiran abtraknya secara konkrit dalam
bentuk tulisan untuk memudahkan menganalisanya. Tahap
selanjutnya yang harus dilakukan perawat saat memfasilitasi
kognitif terapi adalah mencari fakta untuk mendukung keyakinan
dan kepercayaannya. Klien yang mengalami distorsi dalam
pemikirannya seringkali memberikan bobot yang sama terhadap
semua sumber data atau data-data yang tidak disadarinya,
seringkali klien menganggap data-data itu mendukung pemikiran
buruknya. Data bisa diperoleh dari staf, keluarga atau anggota lain
dalam masyarakat sebagai support dalam lingkungan sosialnya.
Lingkungan tersebut dapat memberikan masukan yang lebih
realistik kepada klien dibanding dengan pemikiran-pemikiran
buruknya. Dalam hal ini penemuan fakta dapat berfungsi sebagai
penyeimbang pendapat klien tentang pikiran buruknya.
Berdasarkan data-data yang bisa dipercaya klien bisa mengambil
kesimpulan yang tepat tentang perasaanya selama ini.
c. Teknik penemuan alternatif ( examing alternatives)
Banyak klien melihat bahwa masalah terasa sangat berat karena
tidak adanya alternative pemecahan lagi. Khususnya pada pasien
depresi dan percobaan bunuh diri. Latihan menemukan dan
mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah klien bisa
dilakukan antara klien dengan bantuan perawat. Klien dianjurkan
untuk menuliskan masalahnya. Mengurutkan masalah-masalah
paling ringan dulu. Kemudian mencari dan menemukan
alternatifnya. Klien depresi atau klien klien gangguan jiwa lain
menganggap masalahnya rumit karena akumulasi berbagai masalah
seperti: listrik belum dibayar, suami selingkuh, anak sakit, genteng
bocor dan lain-lain. Bila diurutkan dari yang paling ringan
biasanya klien bisa menemukan alternatif – alternatif yang bisa
dilakukan. Sebagai contoh alternatif listrik belum dibayar klien
boleh memikirkan tentang : mungkin perlu surat keterangan tidak
mampu, menerima pemutusan sementara, mengganti dengan alat
penerangan lain, gabung dengan tetangga, bermusyawarah dengan
keluarga yang lebih mampu dan sebagainya. Disini penting sekali
bagi perawat jiwa untuk merangsang klien agar berani berfikir
“lain dari yang biasany “ atau berani “berpikir beda”.
d. Dekatastropik (decatastrophizing)
Teknik dekatastropik dikenal juga dengan teknik bila dan apa ( the
what-if then ). Hal ini meliputi upaya menolong klien untuk
melakukan evaluasi terhadap situasi dimana klien mencoba
memandang masalahnya secara berlebihan dari situasi alamiah
untuk melatih beradaptasi dengan hal terburuk debngan apa-apa
yang mungkin terjadi.
Pertanyaan – pernyataan yang dapat diajukan perawat adalah:
“ apa hal terburuk yang akan terjadi bila…”
“ apakah akan gawat sekali bila hal tersebut memang betul-betul
terjadi…?”
“ tindakan pemecahan masalah apabila hal tersebut benar-benar
terjadi…?”
Tujuannya adalah untuk menolong klien melihat konsekuensi dari
kehidupan. Dimana tidak selamanya sesuatu itu terjadi atau tidak
terjadi. Sebagai contoh klien yang tinggal dipantai harus berani
berfikir : “ apa yang akan saya lakukan bila tsunami tiba-tiba
datang?; gempa tiba-tiba melanda?; suami tiba-tiba tenggelam?;
dan sebagainya.
e. Reframing
Reframing adalah strategi dalam merubah persepsi klien terhadap
situasi atau perilaku. Hal ini meliputi memfokuskan terhadap
sesuatu atau aspek lain dari masalah atau mendukung klien untuk
melihat masalahnya dari sudut pandang saja. Perawat jiwa penting
untuk memperluas kesadaran tentang keuntungan-keuntungan dan
kerugian-kerugian dari masalah. Hal ini dapat menolong klien
melihat masalah secara seimbang dan melihat dalam prespektif
yang baru. Dengan memahami aspek positif dan negatif dari
masalah yang dihadapi klien dapat memperluas kesadaran dirinya.
Strategi ini juga dapat memicu kesempatan pada klien untuk
merubah dan menemukan makna baru, sebab begitu makna
berubah maka akan berubah perilaku klien. Sebagai contoh, PHK
dapat dipandang sebagai stressor tetapi setelah klien merubah
makna PHK, ia dapat berfikir bahwa PHK merupakan kesempatan
untuk belajar bisnis, menemukan pengalaman baru, banyaknya
waktu bersama keluarga, saatnya belajar home industry dan meraih
peluang kerja yang lainnya.
f. Thought Stopping
Kesalahan berpikir sering kali menimbulkan dampak seperti bola
salju bagi klien. Awalnya masalah tersebut kecil, tetapi lama
kelamaan menjadi sulit dipecahkan. Teknik berhenti
memikirkannya ( thought stoping ) sangat baik digunakan pada
saat klien mulai memikirkan sesuatu sebagai masalah. Klien dapat
menggambarkan bahwa masalahnya sudah selesai. Menghayalkan
bahwa bel berhenti berbunyi. Menghayalkan sebuah bata di
dinding yang digunakan untuk menghentikan berpikir
dysfunctional. Untuk memulainya, klien diminta untuk
menceritakan masalahnya dan mengatakan rangkuman masalahnya
dalam khayalan. Perawat menyela khayalan klien dengan cara
mengatakan keras-keras “berhenti”. Setelah itu klien mencoba
sendiri untuk melakukan sendiri tanpa selaan dari perawat.
Selanjutnya klien mencoba menerapkannya dalam situasi
keseharian.
g. Learning New Behavior With Modeling
Modeling adalah strategi untuk merubah perilaku baru dalam
meningkatkan kemampuan dan mengurangi perilaku yang tidak
dapat diterima. Sasaran perilakunya adalah memecahkan masalah-
masalah yang disusun dalam beberapa urutan kesulitannya.
Kemudian klien melakukan observasi pada seseorang yang berhasil
memecahkan masalah yang serupa dengan klien dengan cara
modifikasi dan mengontrol lingkungannya. Setelah itu klien
meniru perilaku orang yang dijadikan model. Awalnya klien
melakukan pemecahan secara bersama dengan fasilitator.
Selanjutnya klien mencoba memecahkannya sendiri sesuai dengan
pengalaman yang diperolehnya bersama fasilitator. Sebagai contoh
pada klien yang memiliki stressor kesulitan ekonomi, klien bisa
ikut magang dulu sambil belajar bisnis atau berdagang dengan
orang lain, setelah mendapat pengalaman klien bisa melakukannya
sendiri.
h. Membentuk Pola ( shaping )
Membentuk pola perilaku baru oleh perilaku yang diberikan
reinforcement. Misalnya anak yang bandel dan tidak akur bdengan
orang lain berniat untuk damai dan hangat dengan orang lain, maka
pada saat niatnya itu menjadi kenyataan, klien diberi pujian.
i. Token Economy
Token economy adalah bentuk reinforcement positif yang sering
digunakan pada kelompok anak-anak atau klien yang mengalami
masalah psikiatrik. Hal ini dilakukan secara konsisten pada saat
klien mampu menghindari perilaku buruk atau melakukan hal yang
baik. Misalnya setiap berhasil bangun pagi klien mendapat permen,
setiap bangun kesiangan mendapat tanda silang atau gambar bunga
berwarna hitam. Kegiatan berlangsung terus menerus sampai suatu
saat jumlahnya diakumulasikan.
j. Role Play
Role play memungkinkan klien untuk belajar menganalisa perilaku
salahnya melalui kegiatan sandiwara yang bisa dievaluasi oleh
klien dengan memanfaatkan alur cerita dan perilaku orang lain.
Klien dapat menilai dan belajar mengambil keputusan berdasarkan
konsekuensi-konsekuensi yang ada dalam cerita. Klien biasa
melihat akibat-akibat yang akan terjadi melalui cerita yang
disuguhkan. Misalnya klien melihat role play tentang seorang
pasien yang tidak mau makan obat, tidak mau mandi dan sering
merokok.
B. Resiko Bunuh Diri
1. Definisi
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang
dapat mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan
psikiatri karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya.
Perilaku bunuh diri disebabkan karena stress yang tinggi dan
berkepanjangan dimana individu gagal dalam melakukan mekanisme
koping yang digunakan dalam mengatasi masalah. Beberapa alasan
individu mengakhiri kehidupan adalah kegaggalan untuk beradaptasi,
ehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat
terjadi karea kehilangan interpersonal atau gagal melakukan hubungan
yang berarti, perasaan marah atau bermusuhan, bunuh diri dapat
merupakan hokum pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri
keputuasaan (Stuart,2006).

2. Tanda dan Gejala


a. Mempunyai ide untuk bunuh diri
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati
c. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
d. Impulsif
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakkan
f. Memiliki riwayat percobaab bunuh diri
g. Verbal terselubung (berbicara tentang)
h. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic,
marah).
i. Kesehatan mental (secara klinis klien terlihat sangat depresi,
psikolosis, dan menyalah gunakan alcohol)
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau
terminal)
k. Kehilanggan pekerjaaan atau karir
l. Status perkawinan (mengalami kegaggalan dalam perkawinan)
m. Menjadi korban perilaku kekerasaan saat kecil

3. Faktor-Faktor Resiko Bunuh Diri


a. Faktor Predisposisi
Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman
perilaku destruktif diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai
berikut :
1) Diagnosis psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya
dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa.
Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko
untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan efektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah antipasti, impulsive, dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya
adalah pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosisal,
kejadian-kejadian negative dalam hidup. Kekuatan dukungan
social sangat penting dalam menciptakan intevensi yang
teapeutik, dengan telebih dahulu mengetahui penyebab
masalah, respon seseorang dalam meenghadapi masalah
tersebut.
4) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri
merupakan faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang
melakukan tindakan bunuh diri.
5) Faktor Biokimia
Data menunjukan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri
terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak
seperti serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat
tersebut dapat dilihat melalui Ekman gelombng Otak Electro
Encephalo Graph (EEG).
b. Faktor presipitasi
Perilaku destuktif diri dapat ditimbulkan dialami oleh stress
berlebihan yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali
berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat
menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media
mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan
bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal individu yang
emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.

4. Macam-Macam Bunuh Diri


Sosiolog Emile Durkhein (2010) membedakan bunuh diri menjadi
empat jenis yaitu :
a. Bunuh diri egoistic, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh orang-
orang yang merasa kepentingan individu lebih tinggi dari pada
kepentingan kesatuan sosialnya.
b. Bunuh diri altrusitik, yaitu bunuh diri karena adanya perasaan
integrasi antar sesame individu yang satu dengan yang lainnya
shingga menciptakan masyarakat yang memiliki integritas yang
kuat misalnya bunuh diri.
c. Nunuh diri anomi, yaitu tipe bunuh diri yang demikian tidak
banyak dibahas oleh durkhein. Pada tipe bunuh diri anomi terjadi
dalam situasi di mana nilai dan norma yang berlaku di masyarakat
melemah, sebaiknya bunuh diri fatalistic terjadi ketika nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat meningkat dan terasa
berlebihan.
Menurut Kartono (2010) bunuh diri dapat di golongkan dalam tipe
yaitu :
a. Bunuh diri konvensional, adalah produk dari tradisi dan paksaan
dari opini umum untuk mengukuti kriteria kepantasan, kepastian
social dan tuntutan sosial.
b. Bunuh diri personal, bunuh diri banyak terjadi pada manusia
modern, karena orang merasa lebih bebas dan tidak mau tunduk
pada aturan dan perilaku tertentu.

5. Pencegahan Bunuh Diri


Ada beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan, menurut
Edwin Sneidman seorang pelopor yang nengembangkan strategi umum
dalam pencegahan bunuh diri mengungkapkan tiga hal yang yaitu
sebagai berikut:
a. Mengurangi penderita dan rasa sakit psikologis yang mendalam
menurut beberapa ahli pelaku percobaan bunuh diri biasanya
memiliki setidaknya satu gangguan psikologis yang mendasarinya,
sehingga penangganan secara psikologis dianggap upaya yang
sangat tepat untuk mencegah bunuh diri.
b. Membuka pandangan, yaitu memperluas pandangan yang terbatas
dengan membantu individu melihat berbagi pilihan selain pilihan
ekstreem dengan membiarkan penderita dan ketiadaan terus
berlangsung.
c. Mendorong orang yang bersangkutan meskipun hanya selangkah
dari tindakan yang menghancurkan diri sendiri.
C. Terapi Kognitif pada Lansia Resiko Bunuh Diri
1. Petunjuk Pelaksanaan Terapi Kognitif
a. Tujuan
1) Meningkatkan rasa penerimaan dalam kelompok
2) Memperkenalkan diri satu sama lain
3) Membangkitkan minat mengikuti kegiatan
b. Setting Tempat
Terapis bersama lansia duduk bersama membentuk lingkaran.
c. Alat
Buku kerja, alat tulis, name tag, photo keluarga.
d. Metode
Diskusi dan tanya jawab
e. Langkah Kerja
1) Persiapan
a) Membuat kontrak dengan lansia satu hari sebelumnya bahwa
terapi akan dilaksanakan secara berkelompok selama 12 (dua
belas sesi) dengan waktu pelaksanaan 45 – 60 menit. Lansia
berada di tempat terapi 10 menit sebelum kegiatan
berlangsung.
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2) Pelaksanaan
a) Fase Orientasi
Mengucapkan salam, terapis memperkenalkan diri dan
perkenalan dengan semua lansia, menanyakan nama dan
panggilan lansia.
b) Evaluasi/Validasi
Menanyakan bagaimana perasaan lansia. Lansia menulis pada
buku kerja tentang masalah psikososial dan harapannya di
masa tua.
c) Kontrak
(1) Menjelaskan kegiatan Terapi Kelompok Reminiscence
dengan jumlah sesi 12 (dua belas) pertemuan dan
membuat jadwal pertemuan.
(2) Menjelaskan tujuan sesi 1 yaitu kenangan tentang
keluarga Terapis menjelaskan aturan main sebagai
berikut :
(a) Lama kegiatan 45 -60 menit.
(b) Lansia mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
(c) Lansia berperan aktif dalam mengungkapkan pikiran,
perasaan, perilaku.
3) Fase kerja
Beri kesempatan lansia mengidentifikasi identitas pribadinya,
seperti :
(1) Nama-nama ( nama awal, tengah dan akhir)
(2) Asal keluarga
(3) Lokasi atau negara
(4) Nama panggilan
(5) Nama berbeda di setiap waktu dan tempat seperti apa orang
mengenal nama mu di rumah rumah atau saat bekerja , saat
kecil atau saat dewasa.
(6) Perubahan nama, seperti saat menikah, setelah bercerai, nama
dari negara lain.
(7) Apa yang dirasakan terkait nama
(8) Jika diberikan kesempatan memilih, maka akan memilih
nama....?
(9) Hal apa saja terkait dengan nama.
a. Ajak lansia berdiri di tempat, mengucapkan salam dengan
berbagai cara (Mengucap salam, membungkuk,
menggoyangkan tangan, melambai, menepuk,
mengacungkan jempol), kemudian menyebutkan identitas
secara bergantian. Kegiatan ini dimulai demonstrasi awal
oleh fasilitator selanjutnya lansia secara bergiliran searah
jarum jam (dari orang sebelah kiri ke sebelah kanan
terapis). Beri penghargaan dengan tepuk pandu positif dan
mengucapkan “...........(nama panggilan lansia) luar biasa.
(sambil mengacungkan jempol denganwajah berseri)”
Tea break : Menyiapkan minuman dan snack di atas meja
b. Lansia dibagi menjadi kelompok kecil dan mendiskusikan
tentang tempat tinggal, dimana mereka bertumbuh dan
berkembang.
1) Daerah mana yang mereka sukai
2) Apakah di tengah kota besar, kota kecil, desa?
3) Apakah rumah permanen, rumah betang, pondok,
lanting atau rumah di atas klotok (kapal kecil) ?
4) Apakah perumahan padat penduduk, dekat hutan ,
dekat aliran sungai.
5) Apakah suka musim hujan atau tidak, rapih atau
berantakan?

Kemudian lansia mencatat dalam buku kerja yang telah


dibagikan.

1) Memberikan reinforcement positif bagi setiap


kemampuan lansia.
2) Terapis memberikan kesempatan kepada lansia secara
bergantian menceritakan pengalaman tersebut kepada
peserta lainnya dalam kelompok besar.
3) Lansia diberikan kesempatan memilih salah satu lagu
daerah yang menggambarkan kehidupan mereka saat
itu dan dapat dinyanyikan (dapat diiringi alat musik
khas daerah kalteng seperti kecapi atau alat musik
lainnya).
4) Fase terminasi
a) Evaluasi subjektif / objektif
(1) Menanyakan perasaan lansia
(2) Mengevaluasi kemampuan lansia mengenal
identitasnya.
(3) Mengevaluasi kemampuan lansia memperkenalkan diri.
(4) Mengevaluasi kemampuan lansia menceritakan tempat
tinggal dimana mereka bertumbuh dan berkembang.
(5) Mengobservasi ekspresi lansia saat menceritakan
kenangan tentang dirinya.
b) Rencana tindak lanjut
Lansia menulis tentang harapan dan masalahnya saat ini di
wisma.
c) Kontrak yang akan datang
(1) Menyepakati kegiatan sesi 2 yaitu kenangan pada masa
kanakkanak dan kehidupan keluarga, terapis
menanyakan permainan yang disenangi masa kanak-
kanak dan menganjurkan lansia membawa benda
kenangan terkait hal tersebut 1 atau 2 benda, kemudian
membawa photo masa kecil 1 atau 2 untuk pertemuan
berikutnya. (Apabila lansia memiliki benda kenangan
tersebut).
(2) Menyepakati waktu dan tempat kegiatan sesi 2
d) Evaluasi
Evaluasi mengenai ketepatan waktu pelaksanaan terapi
khususnya tahap kerja, keaktifan lansia, proses pelaksanaan
secara keseluruhan. Evaluasi kemampuan lansia saat
melaksanakan kegiatan sesi 1 (satu) dalam kelompok
Tanggal :
2. Teknik penemuan alternatif ( examing alternatives)
Banyak klien melihat bahwa masalah terasa sangat berat karena
tidak adanya alternative pemecahan lagi. Khususnya pada pasien
depresi dan percobaan bunuh diri. Latihan menemukan dan mencari
alternatif-alternatif pemecahan masalah klien bisa dilakukan antara
klien dengan bantuan perawat. Klien dianjurkan untuk menuliskan
masalahnya. Mengurutkan masalah-masalah paling ringan dulu.
Kemudian mencari dan menemukan alternatifnya. Klien depresi atau
klien klien gangguan jiwa lain menganggap masalahnya rumit karena
akumulasi berbagai masalah seperti: listrik belum dibayar, suami
selingkuh, anak sakit, genteng bocor dan lain-lain. Bila diurutkan dari
yang paling ringan biasanya klien bisa menemukan alternatif –
alternatif yang bisa dilakukan. Sebagai contoh alternatif listrik belum
dibayar klien boleh memikirkan tentang : mungkin perlu surat
keterangan tidak mampu, menerima pemutusan sementara, mengganti
dengan alat penerangan lain, gabung dengan tetangga, bermusyawarah
dengan keluarga yang lebih mampu dan sebagainya. Disini penting
sekali bagi perawat jiwa untuk merangsang klien agar berani berfikir
“lain dari yang biasany “ atau berani “berpikir beda”.

3. Proses Terapi Kognitif


Menurut Kristyaningsih, T. (2009) terapi kognitif dipraktikan diluar
sesi terapi dan menjadi modal utama dalam mengubah gejala. Terapi
berlangsung lebih kurang 12-16 sesi yang terdiri atas:
a. Fase awal (sesi 1-4)
1) Membentuk hubungan terapeutik dengan klien.
2) Mengajarkan klien tentang bentuk kognitif yang salah serta
pengaruhnyan terhadap emosi dan fisik.
3) Menentukan tujuan terapi.
4) Mengajarkan klien untuk mengevaluasi pikiran-pikirn yang
otomatis.
b. Fase pertegahan (sesi 5-12)
1) Mengubah secara berangsur-angsur kepercayaan yang salah.
2) Membantu klien mengenal akar kepercayaan diri. Klien
diminta mempraktikan keterampilann berespons terhadap hal-
hal yang menimbulkan depresi dan memodifikasinya.
c. Fase akhir (13-16)
1) Menyiapkan klien untuk terminasi dan memprediksi situasi
beresiko tinggi yang relevan untuk terjadinya kekambuhan.
2) Mengonsolidasikan pembelajaran melalui tugas-tugas terapi
sendiri.
Role play terapi kognitif pada lansia resiko bunuh diri sebagai berikut:
SP 1 Pasien: Melindungi pasien dari percobaan bunuh diri
ORIENTASI
Salam:
“Assalamualaikum, selamat pagi Pak B”. “Perkenalkan saya Perawat A”.
“Nama bapak siapa, senang dipanggil apa?”
“Hari ini saya dinas pagi di ruangan ini, mulai pukul 07.00 – 14.00.
Selama di rumah sakit ini saya yang akan merawat Pak B”
Evaluasi validasi:
“Bagaimana kabar Pak B hari ini?”
“Bagaimana tidur tadi malam Pak B, nyenyakkan Pak?”
Kontrak:
“Baiklah Pak bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang apa yang
bapak alami selama ini?”
“Berapa lama kita bercakap- cakap? 20 menit bagaimana Pak? Oiya,
mau dimana kita bercakap- cakapnya? Disini saja bagaimana Pak?”
Tujuan:
“Baiklah pak, tujuan kita bercakap-cakap hari ini yaitu untuk melindungi
Pak B dari tingkah laku yang dapat melukai diri sendiri ”.
KERJA
“Bagaimana perasaan bapak setelah kejadian itu terjadi Pak? Apakah
bapak merasakan penderitaan yang luar biasa? Apakah bapak merasakan
kehilangan yang sangat dalam? kalau saya boleh tahu apakah bapak
sudah memiliki anak? Apakah dengan kejadian ini pak B merasa menjadi
merasa tidak berguna lagi bagi orang- orang disekitar bapak? Atau
pernahkah bapak menyalahkan diri bapak sendiri? Oiya pak, pernahkah
terlintas dipikiran bapak untuk menyakiti diri bapak sendiri atau bahkan
ada dorongan untuk mencoba bunuh diri? Apa sebabnya? Bagaimana
caranya Pak? Apa yang bapak rasakan?”
Jika pasien telah menyampaikan ide bunuh dirinya, segera lanjutkan
dengan tindakan keperawatan untuk melindungi pasien dari keinginannya
untuk melakukan bunuh diri, yaitu dengan mengatakan: “Baiklah,
sepertinya Bapak B membutuhkan pertolongan untuk mengendalikan
dorongan bunuh diri yang sering bapak rasakan”. Pak, saya ingin
memeriksa seluruh isi kamar Bapak untuk memastikan tidak ada benda-
benda yang membahayakan Bapak B. Begini pak B, karena Bapak masi
memiliki keinginan untuk melakukan bunuh diri, maka saya tidak akan
meninggalkan Pak B sendiri di kamar.”
“Pak, kalau boleh tahu apa yang bapak lakukan jika dorongan bunuh diri
itu muncul? Oo..begitu, ya bagus pak. Ada cara lain untuk mengatasi jika
dorongan itu muncul, yaitu Bapak bisa langsung memanggil perawat yang
ada di ruangan dan minta bantuan pada perawat tersebut. Contohnya
begini: suster..tolong, dorongan untuk melakukan bunuh diri itu muncul.
Selain kepada perawat bapak juga bisa minta bantuan kepada keluarga
atau orang yang sedang membesuk bapak. Jadi, Pak B tidak boleh
sendirian ya. Begitu Pak B. Coba Pak B lakukan seperti yang saya
lakukan tadi. Ya begitu Pak. Bagus! Coba sekali lagi Pak! Bagus! Nah,
latih terus ya Pak!”
TERMINASI
Evaluasi subjektif:
“Bagaimana perasaan Pak B setelah melakukan latihan ini?”
Evaluasi objektif:
“Pak, bisa Bapak praktikkan kembali bagaimana caranya mengendalikan
dorongan bunuh diri? Masih ingatkan Pak? Bagus!!”
Rencana tindak lanjut:
“Baiklah Pak, bapak dapat melakukan cara ini jika dorongan bunuh diri
ada. Bagaimana kalau latihan ini kita masukkan ke dalam jadwal harian
bapak? Beri tanda kalau sudah dilakukan.”
Kontrak:
“Oiya pak, bagaimana kalau besok kita bercakap-cakap tentang
melindungi pasien dari isyarat bunuh diri? Bapak maunya jam berapa?
Mau dimana? Baiklah mungkin itu saja latihan kita hari ini. Besok kita
ketemu lagi ya Pak.”
“Terima kasih. Assalamu’alaikum.”
Sp II Pasien: meningkatkan harga diri dan menidentifikasi aspek
positif pasien isyarat bunuh diri
ORIENTASI
Salam :
“Assalamualaikum Pak B, bagaimana perasaannya Bapak saat ini? ”
Evaluasi dan validasi :
“Pak, kemarin kita sudah bercakap-cakap tentang cara mengendalikan
dorongan bunuh diri yang Bapak rasakan. Apakah Bapak sudah
mempraktekkannya?”
“Boleh saya lihat jadwal latihannya, Pak?” Bagus!”
Kontrak :
“Seperti janji kita kemarin, hari ini kita akan bercakap-cakap tentang
aspek positif Bapak, bagaimana cara berfikir positif dan menghargai diri
sebagai individu yang berharga”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang, Pak?”
“Berapa lama Bapak mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 20
menit tentang hal tersebut?”
Tujuan :
“Nah Pak, nanti kita harapkan Bapak bisa untuk berfikir positif terhadap
diri dan mampu menghargai diri sendiri.”

KERJA
“Apa pekerjaan Bapak dahulu?”
“Bagaimana prestasi Bapak selama bekerja?”
“Apakah Bapak suka berorganisasi?” Organisasi apa?” Apa jabatan
Bapak?”
“Adakah hal yang membahagiakan yang dulu pernah Bapak rasakan?”
“Apa kegiatan sehari-hari Bapak dahulu?”
“Keterampilan apa yang Bapak miliki? Apa hobby Bapak? (Melukis)
“Wah.., rupanya Bapak bisa melukis ya, tidak semua orang bisa melukis
lho Pak”(atau yang lain sesuai yang diucapkan pasien).
“Bisa Bapak ceritakan kepada saya kapan pertama kali ibu belajar
melukis? siapa yang dahulu mengajari Bapak melukis? Dimana?”
“Bisa Ibu certitakan bagaimana cara melukis yang baik itu?”
“ Bagus!!”
“Coba kita buat jadual untuk kemampuan Bapak ini ya, berapa kali
sehari/seminggu Bapak mau melukis?”
“Oh ya Pak, 3 kali seminggu ya. Senin, Rabu, dan Jum’at”
“Apa yang Bapak harapkan dari kemampuan melukis ini?”
“Bagaimana pendapat bapak tentang keluarga Bapak? Apakah mereka
menyayangi Bapak? “
“Bagaimana Bapak menunjukkan Kasih sayang Bapak?”
“Bapak masih mempunyai keluarga yang memperhatikan dan menyayangi
bapak. Selain itu, bapak juga memiliki fisik dan kepintaran. Bukankah itu
modal yang bagus untuk memulai hidup baru?”

“Apa yang sedang bapak fikirkan sekarang?”


“Apakah Bapak tahu apa saja cara yang bisa kita lakukan agar selalu
berfikir positif?”
“Pertama Buat daftar ucapan syukur harian. Buatlah minimal 5 hal yang
Bapak syukuri setiap hari. Kedua, Berbicara positif pada diri sendiri.
Jadikan diri Bapak sendiri sebagai teman bukan musuh, lalu rangkul dan
berpikirlah positif kepada diri sendiri. Ketiga, Nyatakan kata-kata positif
kepada orang lain dan kepada diri sendiri seharian penuh. Buatlah
sebuah usaha untuk mengisi tiap-tiap hari dengan kata-kata dan pikiran
optimis. Keempat, Ketahui cita-cita, impian dan minat Bapak. Fokus untuk
memperoleh hal-hal yang Bapak minati dalam hidup. Impian Bapak
adalah pemberi motivasi dan Bapak menginginkan untuk mengejar sebuah
masa depan yang positif.
“Apakah Bapak memunyai suatu Impian, cita-cita, dan atau minat?”
“Nah Bagus sekali, Bapak sudah punya Impian”
“Apa Usaha Bapak untuk mncapai Impian itu?”
“Coba Kita masukkan dalam jadwal harian Bapak. Bapak mau latihannya
berapa kali?”
“Tiga kali seminggu juga?” Hari apa aja Pak?”
“Selasa, Rabu, Sabtu?”

“Apa sajakah menurut bapak berharga di dalam diri Bapak?”


(Ini bisa sifat, watak, skill, pengetahuan, kelebihan, pedoman hidup yang
Bapak yakini, kebaikan Bapak, sikap, atribut akademik, modal sosial yang
Bapak miliki, dan lain-lain)
“Apa sajakah pekerjaan yang menurut Bapak itu bernilai atau berharga
buat diri bapak? ( entah itu untuk hari ini atau hari esok). Untuk
meningkatkan Rasa menghargai diri Bapak bisa memulai dengan
menyadari kelebihan dan kekurangan diri, kemudian kelebihan itu Bapak
maksimalkan untuk dipacai, selanjutnya latihlah diri untuk memiliki jiwa
yang lebih besar, pikiran yang lebih besar atau pertimbangan yang lebih
bijak. Latihlah menghadapi persoalan dengan keputusan. Jauhi hal – hal
yang berpotensi menegatifkan perasaan dan pikiran.

TERMINASI
Evaluasi Subjektif :
“Bagaimana perasaan Bapak setelah kita bercakap-cakap tentang aspek
positif Bapak, bagaimana cara berfikir positif dan menghargai diri
sebagai individu yang berharga”
“Apakah ada yang ingin Bapak tanyakan?”
Evaluasi Objektif :
“Jadi Pak, sudah tahukan tentang aspek positif Bapak? Bisa Bapak
jelaskan lagi?”
“Tadi kan kita sudah bagaimana cara berfikir positif dan menghargai diri
sebagai individu yang berharga”
“Bagaimana caranya Pak?”
“Setelah ini coba bapak lakukan latihan bagaimana cara berfikir positif
dan menghargai diri sebagai individu yang berharga”
“Nanti kalau Bapak ada masalah, Bapak bisa mempraktekkan cara yang
telah kita pelajari tadi.”
Rencana tindak lanjut :
“Ini ada format kegiatan cara berfikir positif dan menghargai diri. Nanti
kalau Bapak melakukan sesuai dengan jadwal kita, bapak kasih contreng
ya disini.”
Kontrak Waktu :
“Besok kita ketemu lagi ya , Pak?”
“Bapak maunya jam berapa?”
“Tampatnya dimana?”
“Nanti kita akan membicarakan tentang pola yang efektif Pak , setuju?”
Wasslakum wr. wb
SP III Pasien: Meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan
masalah (pola koping) pasien isyarat bunuh diri
ORIENTASI
Salam :
“Assalamu’alaikum Pak B”
Evaluasi Validasi :
“Bagaimana perasaan Pak B saat ini? Masih adakah dorongan untuk
mengakhiri kehidupan pak?”
Kontrak Waktu :
“Baiklah pak, masih ingat dengan janji kita kemaren pak? Iya, benar
sekali pak. Jadi sesuai janji kita kemaren hari ini kita akan membahas
tentang rasa syukur atas pemberian Tuhan yang masih Bapak B miliki.
Bapak maunya berapa lama kita bercakap-cakap? 20 menit? Iya baiklah
pak. Bapak maunya dimana? Disini saja? baiklah pak.”
Tujuan :
“Baiklah pak, tujuan kita bercakap-cakap hari ini yaitu untuk
meningkatkatkan harga diri bapak, bahwa banyak hal yang perlu
disyukuri dalam hidup ini, ya pak.”

KERJA
“Baiklah Pak B Menurut bapak, apa saja yang yang patut Pak B syukuri
dalam hidup ini? Coba bapak pikirkan siapa saja kira-kira yang akan
sedih dan merasa dirugikan dan kehilangan kalau Pak B meninggal?
Sekarang coba bapak ceritakan hal-hal yang baik dalam kehidupan
bapak. Keadaan yang bagaimana yang akan membuat Pak B merasa
puas? Iya bagus pak. Ternyata dalam kehidupan bapak masih ada hal-hal
baik yang patut Pak B syukuri kan? Bagaimana menurut bapak? Coba
bapak sebutkan kegiatan apa yang masih dapat Pak B lakukan selama ini?
Nah bagaimana kalau Pak B mencoba melakukan kegiatan tersebut, mari
kita latih pak.”
TERMINASI :
Evaluasi Subjectif :
“Bagaimana perasaan Pak B setelah kita bercakap-cakap buk?”
Evaluasi Objectif :
“Bisa bapak sebutkan kembali apa-apa saja yang patut bapak syukuri
dalam kehidupan Pak B.“
Rencana Tindak Lanjut :
“Nah jadi jika terjadi dorongan untuk mengakhiri kehidupan, ingat dan
ucapkan berulang-ulang hal-hal yang baik dalam kehidupan pak B. Iya,
bagus pak. Selain itu coba bapak ingat-ingat lagi hal-hal lain yang masih
Pak B miliki dan patut untuk disyukuri. Iya begitu pak. Nah, bagaimana
kalau kegiatan yang kita latih tadi dimasukkan ke dalam jadwal harian
bapak, maunya jam berapa pak? Iya baiklah pak. Jangan lupa ditandai
dalam jadwal harian kalau sudah dilakukan ya pak seperti M (mandiri)
kalau dilakukan sendiri, B (Bantu) kalau diingatkan dan T (tidak) kalau
tidak melakukan.”
Kontrak Yang Akan Datang :
“Baiklah pak sepertinya waktu kita sudah habis sesuai dengan janji kita
tadi. Besok jam 10.00 saya akan datang lagi dan kita akan membahas
tentang cara mengatasi masalah dengan baik. Bapak maunya dimana?
Disini saja? Baiklah pak. Tapi kalau ada perasaan-perasaan yang tidak
terkendali segera hubungi saya ya pak!”
Salam :
“Baiklah pak, saya permisi dulu. Assalamu’alaikukum pak”
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Peningkatan populasi lansia di dunia yang semakin meningkat mengakibat
banyak menimbulkan berbagai macam permasalahan. Salah satunya yaitu
lansia dengan depresi sehingga dapat menimbulkan resiko bunuh diri.
Biasanya perilaku bunuh diri disebabkan karena setress yang tinggi dan
berkepanjangan dimana individu gagal dalam melakukan mekanisme koping
yang digunakan dalam mengatasi masalah atau cara mengakhiri keputusan
pada seseorang. Dalam hal ini kebanyakkan para lansia memilih untuk
mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, karena mereka menganggap
bahwa bunuh diri langkah terakhir untuk menyelesaikan suatu masalah.
Namun, akan berbeda apabila para lansia ketika mengalami depresi dapat
melaksanakan terapi kognitif yang menggunakan pendekatan
terstruktur,aktif dan berjangkau dalam waktu singkat.
Dengan menggunakan terapi kognitif tersebut para lansia dapat hidup
sejahtera dan bahagia. Angka presentase resiko bunuh diri pada lansia akan
menurun. Peran perawat dalam hal ini sangatlah penting karena para lansia
membutuhkan dukungan dari berbagai pihak dan termasuk orang
terdekatnya untuk mencegah terjadinya bunuh diri.
B. Saran
1. Klien dan Keluarga
Sebagai panduan dalam mengatasi pikiran negatif yang timbul
2. Bagi Pemerintah
Memfasilitasi sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pemberian
asuhan keperawatan sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan yang diberikan.
3. Bagi Tenaga Kesehatan
Membentuk terapi pendukung bagi klien dan keluarga dengan masalah
risiko bunuh diri.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Melanjutkan kerjasama dengan pihak rumah sakit, selain untuk
praktik mahasiswa juga untuk pengembangan berbagai terapi
keperawatan spesialistik guna untuk menangani klien dengan masalah
keperawatan risiko bunu diri.
DAFTAR PUSTAKA

Durkheim, emile. 2010. Suicide (diahlibahasakan dalam bahasa inggris oleh


Jhon A. Spaulding&Geroge Simpson) Neww York: Free Press.

Jaime dan Liz Schaeffer. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatrik. Edisi II. Jakarta :
EGC.
Kristyaningsih, T. 2009. Pengaruh Terapi Kognitif Terhadap Harga Diri dan
Kondisi Depresi Di Ruang RSUP Fatmawati Jakarta. Tesis. Tidak
dipublikasikan.
Setyoadi, dkk. 2011. Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik.
Jakarta: Salemba Medika.
Stuart, G.W. 2009. Principle and Practice of Psychiatric Nursing. St Louis:
Mosby.
Stuart GW, Sundeen. 2009. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta.
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditamam.

You might also like