Professional Documents
Culture Documents
Paper ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik
Anggota Kelompok :
A. Latar Belakang
Lansia merupakan seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih.
Jumlah penduduk lansia dunia diperkirakan ada 500 juta dengan usia rata-
rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar.
Di negara Indonesia kelompok lansia berdasarkan proyeksi 2010-2035
terus meningkat. Secara nasional, jumlah penduduk lansia di Indonesia
pada 2015 lalu sudah menembus 18 juta orang. Sedang di Kota Yogya,
Dinas Sosial Kota Yogyakarta memprediksikan jumlah masyarakat
kelompok lansia di Kota Yogyakarta akan mengalami peningkatan.
Bahkan saat ini, jumlah lansia di Yogyakarta sudah mencapai 13-15
persen dari total jumlah penduduk Kota Yogyakarta (Dinas Sosial
Yogyakarta, 2018)
Namun walaupun presentase lansia mengalami peningkatan, angka
bunuh diri pada lansia pun juga meningkat di seluruh dunia. Menurut data
terbaru WHO ada lebih dari 800 ribu orang lansia di dunia yang
memutuskan bunuh diri pada setiap tahunnya. Asia Tenggara
menyumbang sekitar 39 % dari seluruh kasus bunuh diri didunia pada
tahun 2012 (CNN Indonesia, 2015). Sementara itu di Indonesia angka
bunuh diri lansia mencapai 1,6 hingga 1,8 / 100 ribu jiwa pada tahun 2010.
Adapun berdasarkan data dari kepolisian Republik Indonesia pada tahun
2014 terdapat sekitar 457 kasus bunuh diri. Menurut Hiro Penerangan
masyarakat divisi humas polri, bunuh diri yang terjadi di Yogyakarta yaitu
160 kasus (Viva 2015).
Ada beberapa Faktor penyebab bunuh diri pada lansia, salah
satunya dikarenakan depresi. Resiko bunuh diri pada pasien yang
mengalami depresi sangat nyata. Depresi adalah suatu faktor resiko terkuat
upaya bunuh diri lansia dan bunuh diri yang telah dilakukan serta
kemungkinan penyebab pada sekitar 75% bunuh diri yang dilakukan.
Sekitar 39% bunuh diri yang berhasil dilakukan oleh individu diatas usia
65 tahun, angka tertinggi antara usia 75 tahun dan 85 tahun. Upaya bunuh
diri pada mereka diatas usia 60 tahun lima kali kemungkinan lebih berhasil
dilakukan. Angka bunuh diri pada lansia pria tujuh kali lebih besar
dibandingkan lansia wanita (Jaime dan Liz, 2008). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi depresi pada lansia sebesar 54,2%.
Dengan derajat depresi yang dialami adalah depresi derajat ringan 45,8%.
Kejadian depresi cenderung dialami oleh laki-laki (69,3%), kelompok usia
75 tahun (90%), tingkat pendidikan rendah (44,3%), tidak bekerja
(100,0%), tingkat penghasilan perbulan rendah (80,0%), tidak menikah
(75,0%), tinggal sendiri (75,0%), dependen (66,7%), mengalami gangguan
kognitif (47,4%), terisolasi (100,0%), memiliki pengalaman stres dalam
dua tahun terakhir (55,6%), memiliki penyakit kronis (52,4%), menjadi
kepala keluarga (66,7%), buta huruf (66,7%), mengonsumsi alkohol
(72,7%), dan sedang menjadi perokok (66,7%).
Sejauh ini, prevelensi depresi pada lansia di dunia berkisar 8-15%.
Hasil meta analisis dari laporan negara-negara didunia menggambarkan
prevelensi rata-rata depresi pada lansia 13,5% dengan perbandingan
wanita dan pria 14,1 : 8,6 (Rahmawati,2008). Berdasarkan penelitian
Wirasto (2007) di kota Yogyakarta prevelensi gangguan depresi pada
lansia mencapai 56,4%.
Cara mengatasi risiko bunuh diri pada lansia dapat dilakukan
dengan cara melakukan terapi dan pendekatan kepada lansia. Terapi
kognitif adalah terapi yang mempergunakan pendekatan terstruktur, aktif,
direktif dan berjangkan waktu singkat, untuk menghadapi berbagai
hambatan dalam kepribadian, misalnya ansietas atau depresi. Sehingga
terapi ini pas digunakan untuk mengatasi permasalahan ini.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka kelompok
menyusun makalah tentang “Terapi Kognitif Pada Lansia dengan Risiko
Bunuh Diri.”
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui terapi kognitif pada pasien lansia dengan risiko bunuh diri
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi terapi kognitif pada pasien lansia dengan
risiko bunuh diri
b. Mengetahui tujuan terapi kognitif pada pasien lansia dengan risiko
bunuh diri
c. Mengetahui manfaat terapi kognitif pada pasien lansia dengan
risiko bunuh diri
d. Mengetahui proses pelaksanaan terapi kognitif pada pasien lansia
dengan risiko bunuh diri
e. Mengetahui petunjuk terapi kognitif pada pasien lansia dengan
risiko bunuh diri
BAB II
KONSEP DASAR
A. Terapi Kognitif
1. Definisi
Kognisi adalah suatu tindakan atau proses memahami. Terapi kognitif
menjelaskan bahwa bukan suatu peristiwa yang menyebabkan
kecemasan dan tanggapan maladaptif melainkan harapan masyarakat,
penilaian, dan interpretasi dari setiap peristiwa ini. Sugesti bahwa
perilaku maladaptif dapat diubah oleh berhubungan langsung dengan
pikiran dan keyakinan orang (Stuart, 2009).
Secara khusus, terapis kognitif percaya bahwa respon maladaptif
muncul dari distorsi kognitif. Distorsi kognitif merupakan kesalahan
logika, kesalahan dalam penalaran, atau pandangan individual dunia
yang tidak mencerminkan realitas. distorsi dapat berupa positif atau
negatif. Misalnya, seseorang yang secara konsisten dapat melihat
kehidupan dengan cara yang realistis positif dan dengan demikian
mengambil peluang berbahaya, seperti menyangkal masalah kesehatan
dan mengaku sebagai "terlalu muda dan sehat untuk serangan jantung".
distorsi kognitif mungkin juga negatif, seperti yang diungkapkan oleh
orang yang menafsirkan semua situasi kehidupan disayangkan sebagai
bukti kurang lengkap diri. Distorsi kognitif umum tercantum dalam
tabel di bawah ini (Stuart, 2009)
2. Tujuan
Menurut Setyoadi, dkk (2011) beberapa mekanisme koping dengan
menggunakan terapi kognitif adalah sebagai berikut :
a. Membantu klien dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan
menentang keakuratan kognisi negative klien. Selain itu, juga
untuk memperkuat persepsi yang lebih akurat dan mendorong
perilaku yang dirancang untuk mengatasi gejala depresi. Dalam
beberapa penelitian, terapi ini sama efektifnya dengan terapi
depresan.
b. Menjadikan atau melibatkan klien subjek terhadap uji realitas.
c. Memodifikasi proses pemikiran yang salah dengan membantu
klien mengubah cara berpikir atau mengembangkan pola piker
yang rasional.
d. Membentuk kembali pikiran individu dengan menyangkal asumsi
yang maladaptive, pikiran yang mengannggu secara otomatis, serta
proses pikir tidak logis yang dibesar-besarkan. Berfokus pada
pikiran individu yang menentukan sifat fungsionalnya.
e. Menghilangkan sindrom depresi dan mencegah kekambuhan.
Tanda dan gejala depresi dihilangkan melalui usaha yang
sistematis yaitu mengubah cara berpikir maladaptive dan otomatis.
Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi bahwa kepercayaan-
kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia,
dan masa depan yang dapat menyebabkan depresi. Klien
menyadari kesalahan cara berpikirnya. Kemudian klien harus
belajar cara merespon kesalahan tersebut dengan cara yang lebih
adaptif. Dengan perspektif kognitif, klien dilatih untuk mengenal
dan menghilangkan pikiran-pikiran dan harapan-harapan negative.
Cara lain adalah dengan membantun klien mengidentifikasi kondisi
negative, mencari alternative, membuat skema yang sudah ada
menjadi lebih fleksibel, dan mencari kognisi perilaku baru yang
lebih adaptif.
f. Membantu menargetkan proses berpikir serta perilaku yang
menyebabkan dan mempertahankan panik atau kecemasan.
Dilakukan dengan cara penyuluhan klien, restrukrisasi jognitif,
pernapasan rileksasi terkendali, umpan balik biologis,
mempertanyakan bukti, memeriksa alternative, dan reframing.
g. Menempatkan individu pada situasi yang biasanya memicu
perilaku gangguan obsesif kompulsif dan selanjutnya mencegah
responsnya. Misalnya dengan cara pelimpahan atau pencegahan
respons, mengidentifikasi, dan merestrukturisasi distorsi kognitif
melalui psikoedukasi.
h. Membantu individu mempelajari respons rileksasi, membentuk
hirarki situasi fobia, dan kemudian secara bertahap dihadapkan
pada situasinya sambil tetap mempertahankan respons rileksasi
misalnya dengan cara desensitisasi sistematis. Restrukturisasi
kognitif bertujuan untuk mengubah persepsi klien terhadap situasi
yang ditakutinya.
i. Membantu individu memandang dirinya sebagai orang yang
berhasil bertahan hidup dan bukan sebagai korban, misalnya
dengan cara restrukturisasi kognitif.
j. Membantu mengurangi gejala klien dengan restrukturisasi system
keyakinan yang salah.
k. Membantu mengubah pemikiran individu dan menggunakan
latihan praktik untuk meningkatkan aktivitas sosialnnya.
l. Membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan
internal.
3. Manfaat
Menurut Parrish,et.al (2009) yaitu :
a. Memberikan dampak positif pada penderita resiko bunuh diri atau
depresi
b. Menunjukkan hasil yang sangat signifikan untuk penurunan tanda
dan gejala resiko bunuh diri
c. Dapat menurunkan perasaan negatif dan menurunkan kondisi
depresi
4. Macam-Macam Terapi Kognitif
Menurut Yosep (2009) ada beberapa teknik kognitif terapi yang harus
diketahui oleh perawat jiwa. Pengetahuan tentang teknik ini
merupakan syarat agar peran perawat jiwa bisa berfungsi secar
optimal. Dalam pelaksanaan teknik-teknik ini harus dipadukan dengan
kemampuan lain seperti teknik komter, milieu therapy dan counseling.
Beberapa teknik tersebut antara lain:
a. Teknik Restrukturisasi Kongnisi (Restructuring Cognitive)
Perawat berupaya untuk memfasilitasi klien dalam melakukan
pengamatan terhadap pemikiran dan perasaan yang muncul. Teknik
restrukturasasi dimulai dengan cara memperluas kesadaran diri dan
mengamati perasaan dan pemikiran yang mungkin muncul.
Biasanya dengan menggunakan pendekatan 5 kolom. Masing-
masing kolom terdiri atas perasaan dan pikiran yang muncul saat
menghadapi masalah terutama yang dianggap menimbulkan
kecemasan saat ini.
Perawat jiwa dapat memberikan blanko restructuring cognitive,
untuk kemudian diisi oleh klien. Setelah mendapat penjelasan
seperlunya, maka hasil analisa klien dan blanko yang sudah terisi
dibahas secara bersama.
b. Teknik Penemuan Fakta-Fakta (Questioning the evidence)
Perawat jiwa mencoba memfasilitasi klien agar membiasakan
menuangkan pikiran-pikiran abtraknya secara konkrit dalam
bentuk tulisan untuk memudahkan menganalisanya. Tahap
selanjutnya yang harus dilakukan perawat saat memfasilitasi
kognitif terapi adalah mencari fakta untuk mendukung keyakinan
dan kepercayaannya. Klien yang mengalami distorsi dalam
pemikirannya seringkali memberikan bobot yang sama terhadap
semua sumber data atau data-data yang tidak disadarinya,
seringkali klien menganggap data-data itu mendukung pemikiran
buruknya. Data bisa diperoleh dari staf, keluarga atau anggota lain
dalam masyarakat sebagai support dalam lingkungan sosialnya.
Lingkungan tersebut dapat memberikan masukan yang lebih
realistik kepada klien dibanding dengan pemikiran-pemikiran
buruknya. Dalam hal ini penemuan fakta dapat berfungsi sebagai
penyeimbang pendapat klien tentang pikiran buruknya.
Berdasarkan data-data yang bisa dipercaya klien bisa mengambil
kesimpulan yang tepat tentang perasaanya selama ini.
c. Teknik penemuan alternatif ( examing alternatives)
Banyak klien melihat bahwa masalah terasa sangat berat karena
tidak adanya alternative pemecahan lagi. Khususnya pada pasien
depresi dan percobaan bunuh diri. Latihan menemukan dan
mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah klien bisa
dilakukan antara klien dengan bantuan perawat. Klien dianjurkan
untuk menuliskan masalahnya. Mengurutkan masalah-masalah
paling ringan dulu. Kemudian mencari dan menemukan
alternatifnya. Klien depresi atau klien klien gangguan jiwa lain
menganggap masalahnya rumit karena akumulasi berbagai masalah
seperti: listrik belum dibayar, suami selingkuh, anak sakit, genteng
bocor dan lain-lain. Bila diurutkan dari yang paling ringan
biasanya klien bisa menemukan alternatif – alternatif yang bisa
dilakukan. Sebagai contoh alternatif listrik belum dibayar klien
boleh memikirkan tentang : mungkin perlu surat keterangan tidak
mampu, menerima pemutusan sementara, mengganti dengan alat
penerangan lain, gabung dengan tetangga, bermusyawarah dengan
keluarga yang lebih mampu dan sebagainya. Disini penting sekali
bagi perawat jiwa untuk merangsang klien agar berani berfikir
“lain dari yang biasany “ atau berani “berpikir beda”.
d. Dekatastropik (decatastrophizing)
Teknik dekatastropik dikenal juga dengan teknik bila dan apa ( the
what-if then ). Hal ini meliputi upaya menolong klien untuk
melakukan evaluasi terhadap situasi dimana klien mencoba
memandang masalahnya secara berlebihan dari situasi alamiah
untuk melatih beradaptasi dengan hal terburuk debngan apa-apa
yang mungkin terjadi.
Pertanyaan – pernyataan yang dapat diajukan perawat adalah:
“ apa hal terburuk yang akan terjadi bila…”
“ apakah akan gawat sekali bila hal tersebut memang betul-betul
terjadi…?”
“ tindakan pemecahan masalah apabila hal tersebut benar-benar
terjadi…?”
Tujuannya adalah untuk menolong klien melihat konsekuensi dari
kehidupan. Dimana tidak selamanya sesuatu itu terjadi atau tidak
terjadi. Sebagai contoh klien yang tinggal dipantai harus berani
berfikir : “ apa yang akan saya lakukan bila tsunami tiba-tiba
datang?; gempa tiba-tiba melanda?; suami tiba-tiba tenggelam?;
dan sebagainya.
e. Reframing
Reframing adalah strategi dalam merubah persepsi klien terhadap
situasi atau perilaku. Hal ini meliputi memfokuskan terhadap
sesuatu atau aspek lain dari masalah atau mendukung klien untuk
melihat masalahnya dari sudut pandang saja. Perawat jiwa penting
untuk memperluas kesadaran tentang keuntungan-keuntungan dan
kerugian-kerugian dari masalah. Hal ini dapat menolong klien
melihat masalah secara seimbang dan melihat dalam prespektif
yang baru. Dengan memahami aspek positif dan negatif dari
masalah yang dihadapi klien dapat memperluas kesadaran dirinya.
Strategi ini juga dapat memicu kesempatan pada klien untuk
merubah dan menemukan makna baru, sebab begitu makna
berubah maka akan berubah perilaku klien. Sebagai contoh, PHK
dapat dipandang sebagai stressor tetapi setelah klien merubah
makna PHK, ia dapat berfikir bahwa PHK merupakan kesempatan
untuk belajar bisnis, menemukan pengalaman baru, banyaknya
waktu bersama keluarga, saatnya belajar home industry dan meraih
peluang kerja yang lainnya.
f. Thought Stopping
Kesalahan berpikir sering kali menimbulkan dampak seperti bola
salju bagi klien. Awalnya masalah tersebut kecil, tetapi lama
kelamaan menjadi sulit dipecahkan. Teknik berhenti
memikirkannya ( thought stoping ) sangat baik digunakan pada
saat klien mulai memikirkan sesuatu sebagai masalah. Klien dapat
menggambarkan bahwa masalahnya sudah selesai. Menghayalkan
bahwa bel berhenti berbunyi. Menghayalkan sebuah bata di
dinding yang digunakan untuk menghentikan berpikir
dysfunctional. Untuk memulainya, klien diminta untuk
menceritakan masalahnya dan mengatakan rangkuman masalahnya
dalam khayalan. Perawat menyela khayalan klien dengan cara
mengatakan keras-keras “berhenti”. Setelah itu klien mencoba
sendiri untuk melakukan sendiri tanpa selaan dari perawat.
Selanjutnya klien mencoba menerapkannya dalam situasi
keseharian.
g. Learning New Behavior With Modeling
Modeling adalah strategi untuk merubah perilaku baru dalam
meningkatkan kemampuan dan mengurangi perilaku yang tidak
dapat diterima. Sasaran perilakunya adalah memecahkan masalah-
masalah yang disusun dalam beberapa urutan kesulitannya.
Kemudian klien melakukan observasi pada seseorang yang berhasil
memecahkan masalah yang serupa dengan klien dengan cara
modifikasi dan mengontrol lingkungannya. Setelah itu klien
meniru perilaku orang yang dijadikan model. Awalnya klien
melakukan pemecahan secara bersama dengan fasilitator.
Selanjutnya klien mencoba memecahkannya sendiri sesuai dengan
pengalaman yang diperolehnya bersama fasilitator. Sebagai contoh
pada klien yang memiliki stressor kesulitan ekonomi, klien bisa
ikut magang dulu sambil belajar bisnis atau berdagang dengan
orang lain, setelah mendapat pengalaman klien bisa melakukannya
sendiri.
h. Membentuk Pola ( shaping )
Membentuk pola perilaku baru oleh perilaku yang diberikan
reinforcement. Misalnya anak yang bandel dan tidak akur bdengan
orang lain berniat untuk damai dan hangat dengan orang lain, maka
pada saat niatnya itu menjadi kenyataan, klien diberi pujian.
i. Token Economy
Token economy adalah bentuk reinforcement positif yang sering
digunakan pada kelompok anak-anak atau klien yang mengalami
masalah psikiatrik. Hal ini dilakukan secara konsisten pada saat
klien mampu menghindari perilaku buruk atau melakukan hal yang
baik. Misalnya setiap berhasil bangun pagi klien mendapat permen,
setiap bangun kesiangan mendapat tanda silang atau gambar bunga
berwarna hitam. Kegiatan berlangsung terus menerus sampai suatu
saat jumlahnya diakumulasikan.
j. Role Play
Role play memungkinkan klien untuk belajar menganalisa perilaku
salahnya melalui kegiatan sandiwara yang bisa dievaluasi oleh
klien dengan memanfaatkan alur cerita dan perilaku orang lain.
Klien dapat menilai dan belajar mengambil keputusan berdasarkan
konsekuensi-konsekuensi yang ada dalam cerita. Klien biasa
melihat akibat-akibat yang akan terjadi melalui cerita yang
disuguhkan. Misalnya klien melihat role play tentang seorang
pasien yang tidak mau makan obat, tidak mau mandi dan sering
merokok.
B. Resiko Bunuh Diri
1. Definisi
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang
dapat mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan
psikiatri karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya.
Perilaku bunuh diri disebabkan karena stress yang tinggi dan
berkepanjangan dimana individu gagal dalam melakukan mekanisme
koping yang digunakan dalam mengatasi masalah. Beberapa alasan
individu mengakhiri kehidupan adalah kegaggalan untuk beradaptasi,
ehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat
terjadi karea kehilangan interpersonal atau gagal melakukan hubungan
yang berarti, perasaan marah atau bermusuhan, bunuh diri dapat
merupakan hokum pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri
keputuasaan (Stuart,2006).
KERJA
“Apa pekerjaan Bapak dahulu?”
“Bagaimana prestasi Bapak selama bekerja?”
“Apakah Bapak suka berorganisasi?” Organisasi apa?” Apa jabatan
Bapak?”
“Adakah hal yang membahagiakan yang dulu pernah Bapak rasakan?”
“Apa kegiatan sehari-hari Bapak dahulu?”
“Keterampilan apa yang Bapak miliki? Apa hobby Bapak? (Melukis)
“Wah.., rupanya Bapak bisa melukis ya, tidak semua orang bisa melukis
lho Pak”(atau yang lain sesuai yang diucapkan pasien).
“Bisa Bapak ceritakan kepada saya kapan pertama kali ibu belajar
melukis? siapa yang dahulu mengajari Bapak melukis? Dimana?”
“Bisa Ibu certitakan bagaimana cara melukis yang baik itu?”
“ Bagus!!”
“Coba kita buat jadual untuk kemampuan Bapak ini ya, berapa kali
sehari/seminggu Bapak mau melukis?”
“Oh ya Pak, 3 kali seminggu ya. Senin, Rabu, dan Jum’at”
“Apa yang Bapak harapkan dari kemampuan melukis ini?”
“Bagaimana pendapat bapak tentang keluarga Bapak? Apakah mereka
menyayangi Bapak? “
“Bagaimana Bapak menunjukkan Kasih sayang Bapak?”
“Bapak masih mempunyai keluarga yang memperhatikan dan menyayangi
bapak. Selain itu, bapak juga memiliki fisik dan kepintaran. Bukankah itu
modal yang bagus untuk memulai hidup baru?”
TERMINASI
Evaluasi Subjektif :
“Bagaimana perasaan Bapak setelah kita bercakap-cakap tentang aspek
positif Bapak, bagaimana cara berfikir positif dan menghargai diri
sebagai individu yang berharga”
“Apakah ada yang ingin Bapak tanyakan?”
Evaluasi Objektif :
“Jadi Pak, sudah tahukan tentang aspek positif Bapak? Bisa Bapak
jelaskan lagi?”
“Tadi kan kita sudah bagaimana cara berfikir positif dan menghargai diri
sebagai individu yang berharga”
“Bagaimana caranya Pak?”
“Setelah ini coba bapak lakukan latihan bagaimana cara berfikir positif
dan menghargai diri sebagai individu yang berharga”
“Nanti kalau Bapak ada masalah, Bapak bisa mempraktekkan cara yang
telah kita pelajari tadi.”
Rencana tindak lanjut :
“Ini ada format kegiatan cara berfikir positif dan menghargai diri. Nanti
kalau Bapak melakukan sesuai dengan jadwal kita, bapak kasih contreng
ya disini.”
Kontrak Waktu :
“Besok kita ketemu lagi ya , Pak?”
“Bapak maunya jam berapa?”
“Tampatnya dimana?”
“Nanti kita akan membicarakan tentang pola yang efektif Pak , setuju?”
Wasslakum wr. wb
SP III Pasien: Meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan
masalah (pola koping) pasien isyarat bunuh diri
ORIENTASI
Salam :
“Assalamu’alaikum Pak B”
Evaluasi Validasi :
“Bagaimana perasaan Pak B saat ini? Masih adakah dorongan untuk
mengakhiri kehidupan pak?”
Kontrak Waktu :
“Baiklah pak, masih ingat dengan janji kita kemaren pak? Iya, benar
sekali pak. Jadi sesuai janji kita kemaren hari ini kita akan membahas
tentang rasa syukur atas pemberian Tuhan yang masih Bapak B miliki.
Bapak maunya berapa lama kita bercakap-cakap? 20 menit? Iya baiklah
pak. Bapak maunya dimana? Disini saja? baiklah pak.”
Tujuan :
“Baiklah pak, tujuan kita bercakap-cakap hari ini yaitu untuk
meningkatkatkan harga diri bapak, bahwa banyak hal yang perlu
disyukuri dalam hidup ini, ya pak.”
KERJA
“Baiklah Pak B Menurut bapak, apa saja yang yang patut Pak B syukuri
dalam hidup ini? Coba bapak pikirkan siapa saja kira-kira yang akan
sedih dan merasa dirugikan dan kehilangan kalau Pak B meninggal?
Sekarang coba bapak ceritakan hal-hal yang baik dalam kehidupan
bapak. Keadaan yang bagaimana yang akan membuat Pak B merasa
puas? Iya bagus pak. Ternyata dalam kehidupan bapak masih ada hal-hal
baik yang patut Pak B syukuri kan? Bagaimana menurut bapak? Coba
bapak sebutkan kegiatan apa yang masih dapat Pak B lakukan selama ini?
Nah bagaimana kalau Pak B mencoba melakukan kegiatan tersebut, mari
kita latih pak.”
TERMINASI :
Evaluasi Subjectif :
“Bagaimana perasaan Pak B setelah kita bercakap-cakap buk?”
Evaluasi Objectif :
“Bisa bapak sebutkan kembali apa-apa saja yang patut bapak syukuri
dalam kehidupan Pak B.“
Rencana Tindak Lanjut :
“Nah jadi jika terjadi dorongan untuk mengakhiri kehidupan, ingat dan
ucapkan berulang-ulang hal-hal yang baik dalam kehidupan pak B. Iya,
bagus pak. Selain itu coba bapak ingat-ingat lagi hal-hal lain yang masih
Pak B miliki dan patut untuk disyukuri. Iya begitu pak. Nah, bagaimana
kalau kegiatan yang kita latih tadi dimasukkan ke dalam jadwal harian
bapak, maunya jam berapa pak? Iya baiklah pak. Jangan lupa ditandai
dalam jadwal harian kalau sudah dilakukan ya pak seperti M (mandiri)
kalau dilakukan sendiri, B (Bantu) kalau diingatkan dan T (tidak) kalau
tidak melakukan.”
Kontrak Yang Akan Datang :
“Baiklah pak sepertinya waktu kita sudah habis sesuai dengan janji kita
tadi. Besok jam 10.00 saya akan datang lagi dan kita akan membahas
tentang cara mengatasi masalah dengan baik. Bapak maunya dimana?
Disini saja? Baiklah pak. Tapi kalau ada perasaan-perasaan yang tidak
terkendali segera hubungi saya ya pak!”
Salam :
“Baiklah pak, saya permisi dulu. Assalamu’alaikukum pak”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peningkatan populasi lansia di dunia yang semakin meningkat mengakibat
banyak menimbulkan berbagai macam permasalahan. Salah satunya yaitu
lansia dengan depresi sehingga dapat menimbulkan resiko bunuh diri.
Biasanya perilaku bunuh diri disebabkan karena setress yang tinggi dan
berkepanjangan dimana individu gagal dalam melakukan mekanisme koping
yang digunakan dalam mengatasi masalah atau cara mengakhiri keputusan
pada seseorang. Dalam hal ini kebanyakkan para lansia memilih untuk
mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, karena mereka menganggap
bahwa bunuh diri langkah terakhir untuk menyelesaikan suatu masalah.
Namun, akan berbeda apabila para lansia ketika mengalami depresi dapat
melaksanakan terapi kognitif yang menggunakan pendekatan
terstruktur,aktif dan berjangkau dalam waktu singkat.
Dengan menggunakan terapi kognitif tersebut para lansia dapat hidup
sejahtera dan bahagia. Angka presentase resiko bunuh diri pada lansia akan
menurun. Peran perawat dalam hal ini sangatlah penting karena para lansia
membutuhkan dukungan dari berbagai pihak dan termasuk orang
terdekatnya untuk mencegah terjadinya bunuh diri.
B. Saran
1. Klien dan Keluarga
Sebagai panduan dalam mengatasi pikiran negatif yang timbul
2. Bagi Pemerintah
Memfasilitasi sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pemberian
asuhan keperawatan sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan yang diberikan.
3. Bagi Tenaga Kesehatan
Membentuk terapi pendukung bagi klien dan keluarga dengan masalah
risiko bunuh diri.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Melanjutkan kerjasama dengan pihak rumah sakit, selain untuk
praktik mahasiswa juga untuk pengembangan berbagai terapi
keperawatan spesialistik guna untuk menangani klien dengan masalah
keperawatan risiko bunu diri.
DAFTAR PUSTAKA
Jaime dan Liz Schaeffer. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatrik. Edisi II. Jakarta :
EGC.
Kristyaningsih, T. 2009. Pengaruh Terapi Kognitif Terhadap Harga Diri dan
Kondisi Depresi Di Ruang RSUP Fatmawati Jakarta. Tesis. Tidak
dipublikasikan.
Setyoadi, dkk. 2011. Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik.
Jakarta: Salemba Medika.
Stuart, G.W. 2009. Principle and Practice of Psychiatric Nursing. St Louis:
Mosby.
Stuart GW, Sundeen. 2009. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta.
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditamam.