You are on page 1of 19

LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI PENYAKIT

1. Pengertian

Dispepsia adalah kondisi yang umum dan bentuk yang paling sering
dijumpai adalah Dispepsia Non Ulkus (DNU). Setelah menyingkirkan kelainan
organik, dokter dan pasien harus menentukan bersama apakah dilakukan
endoskopi awal untuk menegakkan diagnosis pasti terlebih dahulu atau dicoba
sebelumnya dengan terapi empirik. Antasid, Antagonis Reseptor H2 dan obat

promotilitas efektif untuk beberapa pasien dan peranan HP dalam DNU masih
sedang dipelajari. Untuk membantu dokter dalam menghadapi pasien dispepsia
dibentuk algoritma pengobatan, walaupun masih banyak versi. Penanganan stres
dan dibentuknya hubungan yang baik antara dokter dan pasien juga memegang
peranan penting terutama untuk pasien dengan gejala yang kronis.

2. Klisifikasi

Dispepsia adalah istilah non spesifik yang dipakai pasien untuk


menjelaskan keluhan perut bagian atas. Gejala tersebut bisa berupa nyeri atau
tidak nyaman, kembung, banyak flatus, rasa penuh, bersendawa, cepat kenyang
dan borborygmi ( suara keroncongan dari perut ). Gejala ini bisa akut, intermiten
atau kronis.

Istilah gastritis yang biasanya dipakai untuk menggambarkan gejala


tersebut di atas sebaiknya dihindari karena kurang tepat. Dispepsia Non Ulkus
(DNU) atau Dispepsia Idiopatik adalah dispepsia kronis atau berulang
berlangsung lebih dari 1 bulan dan sedikitnya selama 25% dalam kurun waktu
tersebut gejala dispepsia muncul, tidak ditemukan penyakit organik yang bisa
menerangkan gejala tersebut secara klinis, biokimia, endoskopi (tidak ada ulkus,
tidak ada oesophagitis dan tidak ada keganasan) atau radiografi.

Dispepsia tanpa kelainan endoskopi yang bukan diklasifikasikan sebagai


DNU dapat pula ditemukan pada Sindrom Kolon Iritatif, refluks gastroesofageal,
penyakit saluran empedu, penggunaan obat, intoleransi makanan dan penyakit
sistemik lainnya. ( lihat Tabel 1.). Penggunaan obat seperti OAINS dan
kortikosteroid dapat pula menyebabkan kelainan struktural mulai dari
gastritis(erosif dan hemorhagik) sampai dengan ulkus gaster / duodenum.

Tabel 1. Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi

A. Idiopatik atau DNU

B. Organik

I. Obat-obatan

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik


(makrolides, metronidazole), Besi, KCl, Digitalis,
Estrogen, Etanol (alkohol), Kortikosteroid, Levodopa,
Niacin, Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine,
Theophiline

II. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)

a. Alergi

susu sapi, putih telur, kacang, makanan


laut, beberapa jenis produk kedelai dan
beberapa jenis buah-buahan

b. Non-alergi

 produk alam : laktosa, sucrosa,


galactosa, gluten, kafein, dll.
 bahan kimia : monosodium
glutamate (vetsin), asam benzoat,
nitrit, nitrat, dll.

Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan


oleh penyakit dasarnya, misalnya pada penyakit pankreas dan
empedu tidak bisa mentoleransi makanan berlemak, jeruk
dengan PH yang relatif rendah sering memprovokasi gejala
pada pasien ulkus peptikum atau esophagitis.

III.Kelainan struktural

A. Penyakit oesophagus

 Refluks gastroesofageal dengan


atau tanpa hernia
 Akhalasia
 Obstruksi esophagus

B. Penyakit gaster dan duodenum

 Gastritis erosif dan hemorhagik;


sering disebabkan oleh OAINS
dan sakit keras (stres fisik) seperti
luka bakar, sepsis, pembedahan,
trauma, shock
 Ulkus gaster dan duodenum
 Karsinoma gaster

C. Penyakit saluran empedu

 Kholelitiaasis dan
Kholedokolitiasis
 Kholesistitis
D. Penyakit pankreas

 Pankreatitis
 Karsinoma pankreas

E. Penyakit usus

 Malabsorbsi
 Obstruksi intestinal intermiten
 Sindrom kolon iritatif
 Angina abdominal
 Karsinoma kolon

IV.Penyakit metabolik / sistemik

a. Tuberculosis
b. Gagal ginjal
c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar
d. Diabetes melitius
e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid
f. Ketidakseimbangan elektrolit
g. Penyakit jantung kongestif

V. Lain-lain

a. Penyakit jantung iskemik


b. Penyakit kolagen
3. Anatomi dan Fisiologi

A. Struktur

Saluran Alimentari sistem pencernaan tubuh manusia dari oral sampai


dengan anus yang berukuran kurang lebih 8 m dimana pada saluran ini terdapat
beberapa kelenjar dari ludah, hati pankreas yang mengeluarkan sekresinya ke tuba
panjang tersebut.

Pada saluran alimentari bagian atas terdapat faring anteroir yang


memisahkan antara orofaring dan naso faring. Orofaring dan naso faring menuju
nasal . Penutup kartilago tipis yang diseliputi olrh jaringan lunak yaitu epiglotis
secara reflek menutup laring selama menelan dan mengalirnya makanan serta air
kedalam esofagus.

Esofagus adalah tuba dengan panjang kurang lebih 25 cm ( 10 inci )


dimana sepertiga bagian atasnya merupakan otot skeletal seperti pada mulut dan
faring sisanya ( 2/3 bagian bawah esofagus ) merupakan otot halus sampai dengan
sfingter ani interna. Sedangkan sfingter ani externa merupakan otot skeletal.
Esofagus dibatasi oleh sfingter daatas dan dibawahnya, disebelah atas dibatasi
oleh sfingter krikofaringeal dan dibawahnya dibatasi oleh sfingter kardiak pada
lambung.

Ssfingter lainnya adalah sfingter pilorus. Sfingter ini terletak pada


pertemuan antara lambung dengan duodenum.
4. Patofisiologi

Patofisiologi DNU masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut


mungkin berperan penting (multifaktorial): (5,9,14)

 Abnormalitas Motorik Gaster


Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50%
pasien DNU mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam
gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan
motilitas antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan
tersebut dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang "kaku"
bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal
seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun
bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari
corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh
refleks vagal. Pada beberapa pasien DNU, refleks ini tidak berfungsi
dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.
 Perubahan sensifitas gaster
Lebih 50% pasien DNU menunjukkan sensifitas terhadap
distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat:
makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi
udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau distensi dini bagian
Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.
 Stres dan faktor psikososial
Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik
dan morbiditas psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien
DNU dari pada subyek kontrol yang sehat.
Banyak pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan keluhan
dispepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan
perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan
motilitas gaster .
Kepribadian DNU menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan
dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan
depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan non-
gastrointestinal ( GI ) seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan
mudah letih. Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan
sehari-harinya akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih buruk
dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan
orang normal. Gambaran psikologik DNU ditemukan lebih banyak
ansietas, depresi dan neurotik.

 Gastritis HP

Gambaran gastritis HP secara histologik biasanya gastritis non-


rosif non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran
histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan
keadaan klinik yang bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastrtitis
akibat infeksi HP sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak
khas. Tidak jarang suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi
gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan normal.
Beberapa gambaran endoskopik yang sering dihubungkan dengan
adanya infeksi HP adalah (Malfertheimen, 1994):

a. Erosi kronik di daerah antrum.


b. Nodularitas pada mukosa antrum.
c. Bercak-bercak eritema di antrum.
d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema
di daerah korpus.

Peranan infeksi HP pada gastritis dan ulkus peptikum


sudah diakui, tetapi apakah HP dapat menyebabkan DNU masih
kontroversi. Pravelensi HP pasien DNU tidak berbeda dengan
kontrol. Di negara maju, hanya 50% pasien DNU menderita
infeksi HP, sehingga penyebab dispepsia pada DNU dengan HP
negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa DNU dengan
HP positif. Bukti terbaik peranan HP pada DNU adalah gejala
perbaikan yang nyata setelah eradikasi kuman HP tersebut,
tetapi ini masih dalam taraf pembuktian studi ilmiah. Banyak
pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat walaupun
dengan pengobatan plasebo. Studi "follow up" jangka panjang
sedang dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.

 Kelainan GI fungsional

DNU cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan


fungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada
non-kardiak dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan
Sindrom Kolon Iritatif menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga
pasien dengan dispepsia kronis juga mempunyai gejala Sindrom
Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti ini sering ada gejala
extra GI seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan
ginekologi.
Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala Sindrom
Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defikasi,
perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya mengalami
perubahan, perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan
perut kembung. Beberapa pasien juga mengalami aerophagia,
lingkaran setan dari perut kembung diikuti oleh masuknya udara untuk
menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang lebih parah. Ini
memerlukan perbaikan tingkah laku.
Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti
dan tidak selalu muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang
konsisten dari bermacam terapi yang digunakan untuk terapi DNU
mendukung keanekaragaman kelompok ini.
5. Diagnosis

Sebelum diagnosis DNU dibuat, kita harus menyingkirkan


kemungkinan dispepsia organik yang mempunyai banyak penyebab seperti
tampak pada Tabel 1. Diagnosis yang dihubungkan dengan penyebab ini
didapat secara sistematis, yaitu dengan anamnesis yang teliti dan terarah,
pemeriksaan fisik, laboratorium yang disesuaikan dengan hasil anamnesis
dan pemeriksaan penunjang (endoskopi dan radiografi).

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya dari satu sisi akan


memberikan hasil yang baik, akan tetapi pemeriksaan lengkap akan
mengakibatkan biaya yang harus dikeluarkan pasien akan tinggi, sehingga
dalam menentukan penyebab sindrom dispepsia ini para dokter harus dapat
memilih pemeriksaan yang tepat dan terarah tanpa harus melakukan semua
pemeriksaan (7). Beberapa faktor yang menentukan perlu tidaknya
pemeriksaan penunjang adalah tingkat kroniksitas gejala, kemungkinan
penyakit organik yang serius, respon pasien terhadap terapi empirik dan
tingkat kecemasan pasien. (9)

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK

Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol


(Tabel-1.) dan jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau
mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu (Tabel 1.)
perlu diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm"(peringatan) seperti disfagia, berat
badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah
yang sangat sering, hematemesis, melena atau jaudice kemungkinan besar adalah
merupakan penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan /
atau "USG" atau "CT Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma
gaster atau esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan
pankreas empedu.(9)
Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial
misalnya: masalah anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar
manusia (orang tua, mertua, tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri
(istri sibuk, istri muda, dimadu, bertengkar, cerai), pekerjaan dan pendidikan
(kegiatan rutin, penggusuran, PHK, pindah jabatan, tidak naik pangkat). Hal ini
berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang.

Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien


ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri
berkurang dengan mencerna makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering
membangunkan pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus duodenum
Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelah
makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak spesifik
(bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan
asam pada mulut. Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya
didapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan karsinoma. Sebaliknya bila
muncul setelah beberapa jam setelah makan sering terjadi pada ulkus duodenum.
Pasien DNU lebih sering mengeluhkan gejala di luar GI, ada tanda kecemasan
atau depresi, atau mempunyai riwayat pemakaian psikotropik. Pemeriksaan fisik
untuk menemukan organomegali, tumor abdomen, ascites, jaudice tetap penting
dikerjakan untuk menyingkirkan penyakit organik.

6. Manisfestasi klinik

Oleh karena dispepsia ini merupakan kumpulan gejala-gejala di mana


pada suatu keadaan satu gejala lebih dominan dari yang lain, sehingga para ahli
membagi gejala-gejala ini dalam beberapa sub-group:

1. Dispepsia tipe refluks yaitu adanya rasa terbakar pada epigastrium, dada
atau regurgitasi dengan gejala perasaan asam di mulut.
2. Dispepsia tipe dismotilitas yaitu nyeri epigastrium yang bertambah sakit
setelah makan, disertai kembung, cepat kenyang , rasa penuh setelah
makan, mual atau muntah, bersendawa dan banyak flatus.
3. Dispepsia tipe ulkus yaitu nyeri epigastrium yang mereda bila makan atau
minum antasid dan nyeri biasanya terjadi sebelum makan dan tengah
malam.
4. Dispepsia non-spesifik yaitu dispepsia yang tidak bisa digolongkan dalam
satu kategori di atas.

Sayangnya, dengan pengecualian dispepsia tipe refluks, sub-group di atas tidak


membedakan antara DNU dan dispepsia organik.

 Dispepsia tipe refluks biasanya terbukti secara endoskopi atau monitor


PH ambulatoar sehingga sebaiknya tipe ini langsung kita obati sebagai
penyakit refluks gastroesophageal.
 Beberapa pasien dengan dispepsia tipe dismotilitas ternyata menderita
ulkus peptikum sebaliknya penderita dengan dispepsia tipe ulkus
menderita DNU.(9)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan yang mungkin dikerjakan antara lain: darah lengkap, elektrolit,


calcium dan amylase, fungsi hati, fungsi tyroid dan ECG. Terutama untuk pasien berumur
lebih dari 45 tahun dan umur muda dengan gejala yang sering kambuh. Kita harus
selektif dalam pemeriksaan ini dengan mengingat indikasi klinik dan pertimbangan
biaya-efektifitas.(9)

PEMERIKSAAN PENUNJANG.

Endoskopi segera dikerjakan jika memang ada gejala "peringatan" dan pasien
yang sangat kuatir tentang adanya penyakit serius yang mendasarinya. Untuk pasien
lainnya, para klinisi harus memutuskan antara segera mengetahui diagnosa definitif
dengan endoskopi dan mengetahui dulu hasil terapi percobaan medis empiris (therapi
exjuvantivus).

 Foto seri sinar-X dengan Barium pada GI atas kurang akurat


dibanding endoskopi untuk diagnosis ulkus peptikum dan refluks
gastroesofageal.
 Test non-invasif untuk mendeteksi infeksi HP dengan IgG serologik atau
Urea Breath Test (lihat Algoritma I.) Keduanya mempunyai sensitivitas dan
spesifiksitas > 90%
 "USG dan CT Scan" hanya dilakukan bila secara klinis atau laboratoris ada
kecurigaan ke arah penyakit pankreas atau empedu.
 Pengukuran PH Intraesophagus (monitor 24 jam) dilakukan terhadap pasien
dengan Dispepsia Non Spesifik dan hasil endoskopi yang normal untuk
mendiagnosa kemungkinan refluks gastroesofageal. Tapi bagaimanapun hal
ini tidak praktis, untuk kasus yang dicurigai penyakit refluks
gastroesofageal langsung kita terapi imperik anti refluks.

7. Penatalaksanaan Medis

 Perbaikan kebiasaan sehari-hari, pasien harus mengerti bahwa gejala


dispepsia bisa kambuh kembali tetapi dapat dicegah melalui perubahan gaya
hidup dan pemilihan jenis makanan. Keluhan yang timbul setelah makan
sebaiknya mencoba dengan makanan porsi kecil dan rendah lemak. Kopi
dan alkohol harus dihindari, demikian juga makanan tertentu yang
nampaknya mencetuskan gejala. Coba hentikan obat-obat tertentu terutama

OAINS.T
 Bila secara anamnesis ditemukan adanya stresor psikososial, ada baiknya
diatasi dulu faktor psikologiknya, kalau perlu dengan konseling ke psikiater.
Bila dengan cara ini keluhan berkurang atau hilang sama sekali, gastrokopi
tidak diperlukan lagi.

INTERVENSI OBAT

Sebenarnya banyak pasien DNU tidak memerlukan pengobatan (bahkan "FDA"


Amerika sudah menyetujui), tetapi pada beberapa kasus pemakaian obat yang bijaksana
dapat membantu. Lebih dari 60% pasien menunjukkan perbaikan dengan terapi placebo.
Oleh karena itu, perbaikan gejala bisa merupakan akibat dan efek placebo atau manfaat
hubungan pasien-dokter.

 Antasid dan obat anti sekresi


Efektifitas antasid untuk terapi DNU tidak nampak dalam percobaan klinik
terkontrol tetapi karena sangat aman dan tidak mahal, bisa diteruskan untuk pasien yang
berespon baik. Demikian pula efektifitas penggunaan Antagonis Reseptor H 2 ( ARH2 )

seperti : cimetidine, ranitidine dan famotidine belum terbukti. Beberapa studi mengenai
obat anti sekresi ini menyimpulkan bahwa penggunaannya paling efektif untuk dispepsia
tipe refluks (penyakit refluks gastroesofageal) dan tipe ulkus. Obat ini jarang
menimbulkan efek samping. Pasien yang berespon sebaiknya diterapi selama 2-4 minggu.
Terapi jangka panjang dengan ARH2 sebaiknya dihindari kalau penghentian obat gejala

muncul kembali.

Obat penyekat pompa proton (PPP) seperti Omeprazole dan Lansoprazole tidak
memberikan perbaikan gejala yang lebih besar pada pasien DNU dibanding ARH 2,

sehingga tidak direkomendasikan karena harganya lebih mahal. Obat ini sangat efektif
untuk terapi refluks gastroesofageal melebihi ARH2.

 Obat promotilitas

Obat seperti Metoclopramide, Cisapride dan Domperidone sangat baik mengobati


pasien dispepsia yang disertai atau disebabkan gangguan motilitas (Dispepsia tipe
dismotilitas).(7,9). Metoclopramide dan domperidone keduanya bekerja pada antagonis
reseptor D2-dopomine yang meningkatkan motilitas gaster dan mengurangi mual.

Metoclopramide melewati sawar darah otak sehingga efek samping: anxietas, mengantuk,
agitasi, disfungsi motor extrapyramidal dan dyskinesia tarda terjadi pada kurang lebih
20%-30% pasien. Untuk penggunaan lama hati-hati pada pasien tua. Domperidone tidak
melewati sawar darah otak sehingga efek samping seperti di atas tidak timbul. Cisapride
adalah agonis 5-HT4 serotonin bekerja meningkatkan motilitas esophagus dan gaster.

Efek samping jarang dilaporkan.

Penelitian lebih lanjut obat promotilitas untuk DNU masih diperlukan. Data saat ini
menunjukan bahwa terapi cisapride setiap hari selama 2-4 minggu lebih mahal dibanding
pengobatan yang diperlukan selama eksaserbasi gejala saja.

ERADIKASI HP

Hasil percobaan klinik yang ada sekarang masih belum bisa membuktikan apakah
eradikasi HP berakibat perbaikkan gejala secara bermakna pada pasien DNU.
Nampaknya hanya sebagian kecil saja pasien DNU mengambil manfaat dari eradikasi
kuman HP, sebagian besar masih belum. Bahkan ada beberapa ahli berpendapat bahwa
HP saja tidak cukup menyebabkan gejala karena dispepsia dapat terjadi pada pasien tanpa
infeksi HP, dan infeksi HP dapat terjadi tanpa gejala dan mereka juga mempertanyakan
dan memperdebatkan bukti penelitian yang mendukung hipotesis bahwa HP merupakan
etiologi dari DNU . Berdasarkan "konsensus Maastricht" (12-13 September 1996) pada
pertemuan "Eropean Helicobacter Pylori Study Group" disepakati bahwa eradikasi HP
pada pasien DNU hanya disarankan (bukan sangat dianjurkan seperti misalnya pada
tukak lambung/duodenum) oleh karena tidak berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang nyata.

Sampai saat ini masih terdapat perbedaan strategi dalam hal kapan sebaiknya test
serologi HP dikerjakan pada pasien dengan kecurigaan DNU, apakah sebelum terapi
empiris diberikan (lampiran: Algoritma I & II) atau setelah terapi empiris dinyatakan
gagal (lampiran: Algoritma III & IV). Kelompok studi HP Indonesia (KSHPI)
merekomendasikan test serologi sebelum terapi empiris diberikan dan terapi eradikasi HP
dikerjakan hanya pada penderita dispepsia dengan HP positif pada test serologi dan pada
pemeriksaan Rapid Urea Test (CLO), Patologi Anatomi atau Kultur (HP) yang diperoleh
secara endoskopi sedikitnya salah satu positif. KSHPI juga berpendapat bahwa eradikasi
HP pada DNU hanya dianjurkan (bukan sangat dianjurkan) dan terutama untuk tipe
ulkus. Pemeriksaan secara endoskopi wajib dikerjakan sebelum dilakukan terapi eradikasi
HP.. Strategi lain untuk pertimbangan biaya efektivitas diusulkan oleh Fredrick,
Silverstein dan Ofman. Mereka berpendapat terapi eradikasi HP pada pasien dengan
kecurigaan DNU bisa langsung dimulai begitu test serologi HP positif tanpa menunggu
pemeriksaan endoskopi (lampiran: Algoritma II). Pemeriksaan endoskopi baru dikerjakan
kalau eradikasi HP gagal menghilangkan dispepsia atau dispepsia kambuh kembali.
Marshall berpendapat bahwa untuk melakukan eradikasi HP pada penderita DNU
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:

 keluhan berlangsung cukup lama dan mengganggu penderita


 faktor penyebab lain dapat disingkirkan (misalnya OAINS)
 terapi konvensional (antasid, ARH2) tidak menolong

Sejalan dengan pemikiran Marshall tersebut, timbul strategi eradikasi HP setelah


terapi empiris dianggap gagal (lampiran: Algoritma III & IV). Algoritma III diusulkan
oleh: John R. Lambert (Australia) tahun 1993 sedangkan Algoritma IV adalah konsensus
ahli gastroenterologi dari Australia, Malaysia, Singapura dan Hongkong pada pertemuan

mereka di Kuala Lumpur Juni 1996 dalam "Ist Asian Pacific Working Party on Functional
Dyspepsia" dan kemudian diperbaiki pada pertemuan mereka di Sydney-Australia
Nopember 1997. Strategi ini dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa eradikasi HP untuk
pasien DNU masih kontroversial.

Tabel 2.menunjukkan obat yang terbukti efektif dalam eradikasi kuman HP. Terapi
antibiotika yang dipilih berhubungan dengan kecilnya resiko efek samping dan dengan
pembentukan resistensi obat bila eradikasi itu gagal. Dokter harus membicarakan resiko
dan keuntungan pengobatan tersebut dengan pasiennya.

Pilihan utama di negara maju adalah kombinasi: Penyekat Pompa Proton +


Clarithromycin + Metronidazole atau Amoxicillin. Jika gagal dipertimbangkan dengan
pemberian empat macam obat yaitu menambahkan Bismuth. Untuk di Indonesia banyak
para peneliti melaporkan angka kekebalan yang tinggi terhadap Metronidazole dan
Amoxicillin. Di samping itu kendala lain adalah efek samping Metronidazole. Menurut
pengalaman penderita-penderita Indonesia yang mendapat terapi Metronidazole untuk
penyakit lain kurang dapat mentolerir Metronidazole. Apalagi untuk penderita dispepsia
yang sering kali memang sudah mengeluh mual, sehingga banyak penderita tidak dapat
menyelesaikannya karena angka efek samping yang tinggi.
Tabel 2. Rekomendasi Pengobatan Anti Hp

OBAT DOSIS DURASI ERADIKASI

Kelompok 1 (3 jenis obat):

pBismuth 4 x II tablet

4 x 500 mg 14 hari 88% - 90%


p Tetracycline
4 x 250 mg
p Metronidazole

Kelompok 2, 3 dan 4 (3 jenis obat):

p Penyekat pompa
proton 2 x I kapsul

2 x 500 mg
p Clarithromycin atau
2 x 1000 mg 10-14 hari 86% - 91%
Amoxicillin
2 x 500 mg

p Metronidazole atau 2 x 1000 mg

Amoxicillin

Catatan:

Bismuth: Colloidal Bismuth Subcitrate 60 mg atau Bismuth Subsalicylate 60 mg

Penyekat Pompa Proton:Omeprazole 20 mg, Lanzoprazole 30mg atau Pantoprazole 40mg

Metaanalisis pada percobaan klinik yang sudah diseleksi menunjukkan bahwa 20%
pasien DNU akan mengambil keuntungan terhadap eradikasi Hp.
PENANGANAN PENDERITA DENGAN GEJALA REFRAKTER

Sebagian kecil pasien tidak berespon terhadap pengobatan yang diberikan


sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien ini dianjurkan "check up" teratur
untuk mengungkapkan keluhannya dan status kesehatannya. Jika tidak ada perubahan
secara klinik sebaiknya dihindari pemeriksaan diagnostik lebih jauh karena mahal dan
akan merusak kepercayaan pasien terhadap diagnosis yang telah dibuat. Perhatian pasien
perlu diarahkan dari menemukan "penyebab" ke pembentukan strategi positif untuk
melawan gejala-gejala kronik tersebut. Konsultasi ke psikologi atau psikiater penting
untuk pasien dengan gejala refrater. Antidepressant trisiklik tidak direkomendasikan
karena dapat memperlambat pengosongan gaster (terutama untuk pasien gastroparesis).
Sebaliknya Serotonin Reuptake Inhibitor dapat menyebabkan mual pada beberapa pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adi P, Wasiati N, Soeroso Y, Oesman N. Terapi Penderita Dispepsia


Pemakai Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS). Pertemuan Ilmiah
Nasional IX PPHI, Kongres Nasional VIII PGI, PEGI. Surabaya, 15
September 1997.
2. Djayapranata I. Segi Praktis Penanganan Penderita Dengan Infeksi
Helicobacter Pylori. Pertemuan Ilmiah Nasional IX PPHI, Kongres
Nasional VIII PGI, PEGI. Surabaya, 15 September 1997.
3. Friedman HH, Mehta SJ, Indigestion, Gaseousness and Flatulence. Dalam:
Problem-Oriented Medical Diagnosis. Boston/Toronto: Little, Brown and
Company, 1988: 186-88
4. Freidman LS, Isselbacher KJ, Indigestion. Dalam: Harrison's Principles of
Internal Medicine. Hamburg: Mc. Graw - Hill Book Company, 1987: 171-
73.
5. Jain AK, Gupta JP, Gupta S, Rao KP, Bahte PB, Neuroticism and Stressful
Live Events In-Patients with Non Ulcer Dyspepsia. Dalam: Journal
Association Physician India. Pebruari 1995, 43 (2): 90-1
6. Lambert JR. The Role of Helicobacter Pylori in Nonulcer Dyspepsia A
Debate for. Dalam: Dooley CP. ed. Gastroenterology Clinics of North
America. Philadelphia: W.B. Saunders, 1993: 141-51.
7. Manan C. Sindrom Dispepsia. Dalam: Mansyur M. ed. Dispepsia. Jakarta:
Yayasan Penerbit IDI, 1994: 1-7.
8. Manan C. Penyakit-penyakit yang Berhubungan Dengan Asam Lambung.
Simposium New Perspective in the Management of Acid Related Disease,
Surabaya, 15 September 1997.
9. Mc. Callum RW. Evolving Approach to Dyspepsia and Nonulcer
Dyspepsia. Pertemuan Ilmiah Nasional IX PPHI, Kongres Nasional VIII
PGI, PEGI. Surabaya, 15 September 1997.
10. Mc. Laren D.S. Food Idiosyncrasies. Medicine Digest 1994; 12: 5-9
11. Rani A.A, Sumodiharjo S, et al. Konsensus Nasional
Penanggulangan Infeksi Helicobacter Pylori. Jakarta, 21 Desember 1996.
12. Sjahli A. Obat-Obat Prokinetik Masa Kini. Dalam: Medika 1991;
No.2 Tahun 17: 157-60
13. Soemanto R. Gangguan Gastro Intestinal Yang Berhubungan
Dengan Emosi. Simposium Penatalaksanaan Gangguan Psikosomatik,
Surabaya, 19 Januari 1995.
14. Soemoharjo S. Mengenal Lebih Dekat Helicobacter Pylori Dan
Penyakit Gastroduodenal. Mataram, 1997.
15. Talley N.J. The Role of Helicobacter Pylori in Nonulcer Dyspepsia
A Debate-Against. Dalam: Dooley CP. ed. Gastroenterology Clinics of
North America. Philadelphia: W.B. Saunders, 1993: 153-67.
16. Talley NJ, Lam SK, Goh KL, Fock KM, Management Guides Line
for Uninvestigated and Functional Dyspepsia in the Asia-Pacific Region.

1st Asian Pacific Working Party on Functional Dyspepsia. Kuala Lumpur,


Juni 1996 dan pertemuan di Sydney-Australia Nopember 1997.

You might also like