You are on page 1of 31

SKENARIO 1

Seorang laki-laki 45 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam dirasakan
lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan fisik kesadaran
somnolen, nadi bradikardi, suhu tubuh hiperperiksia (pengukuran jam 20.00 WIB), lidah terlihat
typhoid tongue. Pemeriksaan tes Widal didapatkan titer anti-salmonella typhi O meningkat.
Pasien bertanya kepada dokter apa diagnosa dan cara pencegahan penyakitnya.

1
LO 1. Memahami dan Menjelaskan Demam

LI 1.1 Memahami dan menjelaskan Demam

Demam adalah kenaikan suhu tubuh dari normalnya yang ditengahi oleh kenaikan titik-ambang
regulasi panas hipotalamus. Pusat regulasi/pengatur panas hipotalamus mengendalikan suhu
tubuh dengan menyeimbangkan sinyal dari reseptor neuronal perifer dingin dan panas.Dimana
suhu dapat diukur melalui axila ,oral,dan rectal .

Terdapat perbedaan antara pengukuran suhu di aksila dan oral maupun rektal. Dalam keadaan
biasa perbedaan ini berkisar sekitar 0.5ºC; suhu rektal lebih tinggi daripada suhu oral. Suhu
tubuh mengikuti irama sirkadian: suhu pada dini hari rendah, dan suhu tertinggi terjadi pada
pukul 16.00-18.00 .

Tempat Rentang; rerata Demam


Jenis termometer
pengukuran suhu normal (oC) (oC)
Aksila Air raksa, elektronik 34,7 – 37,3; 36,4 37,4
Sublingual Air raksa, elektronik 35,5 – 37,5; 36,6 37,6
Rektal Air raksa, elektronik 36,6 – 37,9; 37 38
Telinga Emisi infra merah 35,7 – 37,5; 36,6 37,6

LI 1.2 Memahami dan menjelaskan Klasifikasi Demam

Beberapa pola demam yang mungkin kita jumpai, antara lain:

a. Demam Septik : Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi
sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Bila demam
yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hetik.

b. Demam Remiten Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak
pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua
derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.

2
c. Demam IntermitenPada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal
selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut
tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.

d. Demam Kontinyu Pada demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari
satu derajat. Pada tingkat demam terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.

e. Demam Siklik Pada demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang
diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu
seperti semula.

Relapsing fever dan demam periodik:

o Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular atau
irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan
suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria (istilah tertiana digunakan bila demam
terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap hari ke-4).

o Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yang disebabkan
oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan ditularkan oleh kutu (louse-borne RF)
atau tick (tick-borne RF).

Gambar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)

Lama demam
Klasifikasi Penyebab tersering
pada umumnya
Demam dengan localizing
Infeksi saluran nafas atas <1 minggu
signs
Demam tanpa localizing Infeksi virus, infeksi saluran
<1minggu
signs kemih
Infeksi, juvenile idiopathic
Fever of unknown origin >1 minggu
arthritis

Demam dengan localizing signs

3
Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik berada pada kategori ini
(Tabel 5.). Demam biasanya berlangsung singkat, baik karena mereda secara spontan atau karena
pengobatan spesifik seperti pemberian antibiotik. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan
fotorontgen dada.1

Tabel 5. Penyebab utama demam karena penyakit localized signs

Kelompok Penyakit
Infeksi saluran nafas ISPA virus, otitis media, tonsillitis, laryngitis, stomatitis
atas herpetika
Pulmonal Bronkiolitis, pneumonia
Gastrointestinal Gastroenteritis, hepatitis, appendisitis
Sistem saraf pusat Meningitis, encephalitis
Eksantem Campak, cacar air
Kolagen Rheumathoid arthritis, penyakit Kawasaki
Neoplasma Leukemia, lymphoma
Tropis Kala azar, cickle cell anemia

Demam tanpa localizing signs

Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak ditemukannya localizing
signs pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah infeksi virus, terutama terjadi selama beberapa
tahun pertama kehidupan. Infeksi seperti ini harus dipikirkan hanya setelah menyingkirkan
infeksi saluran kemih dan bakteremia. Tabel 6. menunjukan penyebab paling sering kelompok
ini.1 Demam tanpa localizing signs umumnya memiliki awitan akut, berlangsung kurang dari 1
minggu, dan merupakan sebuah dilema diagnostik yang sering dihadapi oleh dokter anak dalam
merawat anak berusia kurang dari 36 bulan.

Tabel 6. Penyebab umum demam tanpa localizing signs

Penyebab Contoh Petunjuk diagnosis


Infeksi Bakteremia/sepsis Tampak sakit, CRP tinggi, leukositosis

4
Sebagian besar virus
(HH-6)
Tampak baik, CRP normal, leukosit
Infeksi saluran kemih normal

Malaria Dipstik urine

Di daerah malaria
PUO (persistent Juvenile idiopathic Pre-articular, ruam,
pyrexia of arthritis splenomegali,antinuclear factor tinggi,
unknown origin) CRP tinggi
atau FUO
Pasca vaksinasi Vaksinasi triple, campak Waktu demam terjadi berhubungan
dengan waktu vaksinasi
Drug fever Sebagian besar obat Riwayat minum obat, diagnosis
eksklusi

Persistent Pyrexia of Unknown Origin (PUO)

Istilah ini biasanya digunakan bila demam tanpa localizing signs bertahan selama 1 minggu
dimana dalam kurun waktu tersebut evaluasi di rumah sakit gagal mendeteksi
penyebabnya. Persistent pyrexia of unknown origin, atau lebih dikenal sebagai fever of unknown
origin (FUO) didefinisikan sebagai demam yang berlangsung selama minimal 3 minggu dan
tidak ada kepastian diagnosis setelah investigasi 1 minggu di rumah sakit.1

LI 1.3 Memahami dan menjelaskan Etiologi Demam

Penyebab Contoh Petunjuk diagnosis


Infeksi Bakteremia/sepsis Tampak sakit, CRP tinggi, leukositosis

Sebagian besar virus Tampak baik, CRP normal, leukosit


(HH-6) normal

5
Infeksi saluran kemih Dipstik urine

Malaria Di daerah malaria


PUO (persistent Juvenile idiopathic Pre-articular, ruam,
pyrexia of arthritis splenomegali,antinuclear factor tinggi,
unknown origin) CRP tinggi
atau FUO
Pasca vaksinasi Vaksinasi triple, campak Waktu demam terjadi berhubungan
dengan waktu vaksinasi
Drug fever Sebagian besar obat Riwayat minum obat, diagnosis
eksklusi

Penyebab Umum :

· Infeksi virus dan bakteri;

· Flu dan masuk angina

· Radang tenggorokan;

· Infeksi telinga

· Diare disebabkan bakterial atau diare disebabkan virus.

· Bronkitis akut, Infeksi saluran kencing

· Infeksi saluran pernafasan atas (seperti amandel, radang faring atau radang laring)

· Obat-obatan tertentu

· Kadang-kadang disebabkan oleh masalah-masalah yang lebih serius seperti pneumonia,


radang usus buntu, TBC, dan radang selaput otak.

· Demam dapat terjadi pada bayi yang diberi baju berlebihan pada musim panas atau pada
lingkungan yang panas.

· Penyebab-penyebab lain: penyakit rheumatoid, penyakit otoimun, Juvenile rheumatoid


arthritis, Lupus erythematosus, Periarteritis nodosa, infeksi HIV dan AIDS, Inflammatory bowel

6
disease, Regional enteritis, Ulcerative colitis, Kanker, Leukemia, Neuroblastoma, penyakit
Hodgkin, Non-Hodgkin's lymphoma

Penyebab Khusus

1. Set point hipotalamus meningkat

a. Pirogen endogen

· Infeksi

· Keganasan

· Alergi

· Panas karena steroid

· Penyakit kolagen

b. Penyakit atau zat

· Kerusakan susunan saraf pusat

· Keracunan DDT

· Racun kalajengking

· Penyinaran

· Keracunan epinefrin

2. Set point hipotalamus normal

a. Pembentukan panas melebihi pengeluaran panas

· Hipertermia malignan

· Hipertiroidisme

· Hipernatremia

· Keracunan aspirin

7
b. Lingkungan lebih panas dari pada pengeluaran panas

· Mandi sauna berlebihan

· Panas di pabrik

· Pakaian berlebihan

· Pengeluaran panas tidak baik (rusak)

· Displasia ektoderm

· Kombusio (terbakar)

· Keracunan phenothiazine

· Heat stroke

3. Rusaknya pusat pengatur suhu

a. Penyakit yang langsung menyerang set point hipotalamus:

· Ensefalitis/ meningitis

· Trauma kepala

· Perdarahan di kepala yang hebat

· Penyinaran

LI 1.4 Memahami dan menjelaskan Patofisiologi Demam

Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh akibat dari peradangan atau infeksi.
Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh zat
toksin yang masuk kedalam tubuh.

Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan (inflamasi) di dalam
tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh
terhadap adanya serangan yang mengancam keadaan fisiologis tubuh. Proses peradangan diawali

8
dengan masuknya zat toksin (mikroorganisme) kedalam tubuh kita. Mikroorganisme (MO) yang
masuk kedalam tubuh umumnya memiliki suatu zat toksin tertentu yang dikenal sebagai pirogen
eksogen.

Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya dengan
pertahanan tubuh antara lain berupa leukosit, makrofag, dan limfosit untuk memakannya
(fagositosit). Dengan adanya proses fagositosit ini, tubuh akan mengeluarkan senjata, berupa zat
kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya IL-1) yang berfungsi sebagai anti
infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus
untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat dapat keluar
dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh
hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2).

Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim siklooksigenase (COX). Pengeluaran


prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya,
hipotalamus akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Adanya
peningkatan titik patokan ini dikarenakan termostat tubuh (hipotalamus) merasa bahwa suhu
tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil. Selain itu
vasokontriksi kulit juga berlangsung untuk mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme
tersebut mendorong suhu naik. Adanya proses menggigil ( pergerakan otot rangka) ini ditujukan
untuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak. Dan terjadilah demam.

Menjelaskan manifestasi demam

Tergantung dari apa yang menyebabkan demam, gejala yang sering menyertai demam antara
lain:

1. Berkeringat

2. Menggigil

3. Sakit kepala

4. Nyeri otot

5. Nafsu makan menurun

9
6. Lemas

7. Dehidrasi

Demam yang sangat tinggi, lebih dari 39 derajat celcius, dapat menyebabkan:

1. Halusinasi

2. Kejang

LO 2. Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica

LI 2.1 Memahami dan menjelaskan Mofrologi Salmonella enterica

Berbentuk batang, tidak berspora, bersifat negatif pada pewarnaan Gram.

· Ukuran Salmonella bervariasi 1–3,5 µm x 0,5–0,8 µm.

· Besar koloni rata-rata 2–4 mm.

· optimal 37,5oC) dan pH pertumbuhan 6–8.

· Mudah tumbuh pada medium sederhana, misalnya garam empedu.

· Tidak dapat tumbuh dalam larutan KCN.

· Membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa.

· Menghasikan H2S.

· Antigen O: bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel dan terdiri dari unit
polisakarida yang berulang. Beberapa polisakarida O-spesifik mengandung gula yang unik.
Antigan O resisten terhadap panas dan alkohol dan biasanya terdeteksi oleh aglutinasi bakteri.
Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM.

· Antigen Vi atau K: terletak di luar antigen O, merupakan polisakarida dan yang lainnya
merupakan protein. Antigen K dapat mengganggu aglutinasi dengan antiserum O, dan dapat
berhubungan dengan virulensi. Dapat diidentifikasi dengan uji pembengkakan kapsul dengan
antiserum spesifik.

10
· Antigen H: terdapat di flagel dan didenaturasi atau dirusak oleh panas dan alkohol.
Antigen dipertahankan dengan memberikan formalin pada beberapa bakteri yang motil. Antigen
H beraglutinasi dengan anti-H dan IgG. Penentu dalam antigen H adalah fungsi sekuens asam
amino pada protein flagel (flagelin). Antigen H pada permukaan bakteri dapat mengganggu
aglutinasi dengan antibodi antigen O.

· Organisme dapat kehilangan antigen H dan menjadi tidak motil.

· Kehilangan antigen O dapat menimbulkan perubahan bentuk koloni yang halus menjadi
kasar

· Antigen Vi atau Sebagian besar isolat motil dengan flagel peritrik.

· Tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15–41oC (suhu pertumbuhan

· K dapat hilang sebagian atau seluruhnya dalam proses transduksi

LI 2.2 Memahami dan menjelaskan Sifat dan daur hidup Salmonella enterica

Penyebaran dan Siklus hidup:

• Infeksi terjadi dari memakan makanan yang tercontaminasi dengan feses yang terdapat bakteri Sal.
typhimurium dari organisme pembawa (hosts).

• Setelah masuk dalam saluran pencernaan maka Sal. typhimurium menyerang dinding usus yang
menyebabkan kerusakan dan peradangan.

• Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat menembus dinding usus
tadi ke organ-organ lain seperti hati, paru-paru, limpa, tulang-tulang sendi, plasenta dan dapat
menembusnya sehingga menyerang fetus pada wanita atau hewan betina yang hamil, dan ke membran
yang menyelubungi otak.

• Subtansi racun diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan dan mempengaruhi keseimbangan
tubuh.

• Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Sal. typhimurium, pada fesesnya terdapat kumpulan Sal.
typhimurium yang bisa bertahan sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan.

11
• Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari temperature sehingga dapat bertahan hidup berbulan-
bulan dalam tanah atau air.

Makanan yang mengandung Salmonella belum tentu menyebabkan infeksi Salmonella, tergantung dari
jenis bakteri, jumlah dan tingkat virulensi (sifat racun dari suatu mikroorganisma, dalah hal ini bakteri
Salmonella).

Misalnya saja Salmonella enteriditis baru menyebabkan gejala bila sudah berkembang biak menjadi 100
000. Dalam jumlah ini keracunan yang terjadi bisa saja menyebabkan kematian penderita. Salmonella
typhimurium dengan jumlah 11.000 sudah dapat menimbulkan gejala. Jenis Salmonella lain ada yang
menyebabkan gejala hanya dengan jumlah 100 sampai 1000, bahkan dengan jumlah 50 sudah dapat
menyebabkan gejala. Perkembangan Salmonella pada tubuh manusia dapat dihambat oleh asam
lambung yang ada pada tubuh kita. Disamping itu dapat dihambat pula oleh bakteri lain. Gejala dapat
terjadi dengan cepat pada anak-anak, bagaimanapun pada manusia dewasa gejala datang dengan
perlahan. Pada umumnya gejala tampak setelah 1-3 minggu setelah bakteri ini tertelan. Gejala terinfeksi
diawali dengan sakit perut dan diare yang disertai juga dengan panas badan yang tinggi, perasaan mual,
muntah, pusing-pusing dan dehidrasi. Gejala yang timbul dapat berupa: tidak menunjukkan gejala (long-
term carrier), adanya perlawanan tubuh dan mudah terserang penyakit denga gejala: inkubasi (7-14 hari
setelah tertelan) tidak menunjukkan gejala, lalu terjadi diare.

LI 2.3 Memahami dan menjelaskan Klasifikasi Salmonella enterica

Kingdom : Bakteria

Phylum : Proteobakteria

Classis : Gamma proteobakteria

Ordo : Enterobakteriales

Familia : Enterobakteriakceae

Genus : Salmonella

Species : Salmonella thyposa

12
Klasifikasi salmonella sangat rumit karena organisme tersebut merupakan rangkaian kesatuan
dan bukan tertentu. Anggota genus Salmonella awalnya diklasifikasikan berdasarkan
epidemiologi, jangkauan pejamu, reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H, dan Vi. Terdapat
lebih dari 2500 serotip Salmonella, termasuk lebih dari 1400 dalam kelompok hibridasi DNA
grup I yang dapat menginfeksi manusia. Hampir semua Salmonella yang menyebabkan penyakit
pada manusia dapat diidentifikasikan di laboraturium klinis melalui pemeriksaan biokimia dan
serologik.Serotip tersebut adalah sebagai berikut:

· Salmonella paratyphi A (serogrup A)

· Salmonella paratyphi B (serogrup B)

· Salmonella cholerasuis (serogrup C1)

· Salmonella typhi (serogrup D)

Penentuan serotipe didasarkan atas reaktivitas antigen O dan antigen H bifasik. Berdasarkan
penelitian hibridisasi DNA, klasifikasi taksonomik resmi meliputi genus Salmonella dengan
subspecies dan genus Arizona dengan subspesies.

Contoh rumus antigenik salmonella

Golongan O Seriotip Formula antigenik


D S typhi 9,12 (vi):d:-
A S paratyphi A 1,2,12:a-
C1 S choleraesuis 6,7: c:1,5
B S typhimurium 1,4,5,12:i:1,2
D S enteritidis 1,9,12:g,m:-

LO 3. Memahami dan Menjelaskan Demam Tifoid

13
LI 3.1 Memahami dan menjelaskan Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan
dengan gejala demam. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore
hingga malam hari dan ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa
keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke sel
fagosit manonuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe dan Payer’s patch.( Sumarmo et al , 2010)

Demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia.
Penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah. Di Indonesia, demam tifoid bersifat endemik. Penderita dewasa muda
sering mengalami komplikasi berat berupa perdarahan dan perforasi usus yang tidak jarang
berakhir dengan kematian.

LI 3.2 Memahami dan menjelaskan Etiologi Demam Tifoid

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi yang merupakan basil Gram-negatif,
mempunyai flagel, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakulatif anaerob, Kebanyakkan
strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak
meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme Salmonella typhi tumbuh secara aerob dan mampu
tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat
dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama
15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa
hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering
dan bahan tinja. (Karnasih et al, 1994)

Kuman ini mempunyai 3 macam antigen, yaitu:

1. Antigen O (somatik), terletak pada lapisan luar, yang mempunyai komponen protein,
lipopolisakarida dan lipid. Sering disebut endotoksin.

2. Antigen H (flagela), terdapat pada flagela, fimbriae danpili dari kuman, berstruktur kimia
protein.

14
3. Antigen Vi (antigen permukaan), pada selaput dinding kuman untuk melindungi fagositosis
dan berstruktur kimia protein. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang
berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.

LI 3.3 Memahami dan menjelaskan Epidemiologi Demam Tifoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh serotipe Salmonella Typhi enterica
(S. typhi). Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara
berkembang. Pada tahun 2000, diperkirakan bahwa lebih dari 2.16 juta jiwa di seluruh dunia
terjadi tipus, mengakibatkan 216.000 kematian, dan bahwa lebih dari 90% dari morbiditas dan
kematian ini terjadi di Asia. Walaupun peningkatan kualitas air dan sanitasi merupakan solusi
akhir untuk masalah ini , vaksinasi di daerah berisiko tinggi adalah strategi pengendalian yang
potensial yang direkomendasikan oleh WHO. Faktor distribusi demam tifoid dipengaruhi oleh :

1. Penyebaran Geografis dan Musim

Kasus-kasus demam tifoid terdapat hampir di seluruh bagian dunia. Penyebarannya tidak
bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit itu sering merebak di daerah yang kebersihan
lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.

2. Penyebaran Usia dan Jenis Kelamin

Siapa saja bisa terkena penyakit itu tidak ada perbedaan antara jenis kelamin lelaki atau
perempuan. Umumnya penyakit itu lebih sering diderita anak-anak. Orang dewasa sering
mengalami dengan gejala yang tidak khas, kemudian menghilang atau sembuh sendiri.
Persentase penderita dengan usia di atas 12 tahun seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

Usia %
12- 29 tahun 70-80
30- 39 tahun 10-20
> 40 tahun 5-10

LI 3.4 Memahami dan menjelaskan Manifestasi klinis Demam Tifoid

15
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan tidak memerlukan
perawatan khusus sampai gejala klinis berat dan memerlukan perawatan khusus. Variasi gejala
ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit
dirumahnya. ( Sumarmo et al, 2010

· Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada
awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang
berkepanjangan yaitu setinggi 39º C hingga 40º C, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia,
mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan
semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak,
sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering
terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar
atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan
meradang. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen di
salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian
hilang dengan sempurna. Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam.

· Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam).
Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi
perlambatan relatif nadi penderita.Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan
suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Umumnya terjadi
gangguan pendengaran, lidah tampak kering, nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah
menurun, diare yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut kembung
dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, dan mulai kacau jika
berkomunikasi.

· Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal kembali di akhir
minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik,
gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.
Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinya
tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan

16
inkontinensia urin. Tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita
kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal
maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat
dingin, gelisah, sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran
adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya
kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.

Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat
dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis. Pada mereka yang
mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah,
kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih
ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer
tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps.

LI 3.5 Memahami dan menjelaskan Patofisiologi Demam Tifoid

Makanan dan minuman yang terkontaminasi merupakan mekanisme transmisi Salmonella,


termasuk S. typhi. Khususnya S. typhi,carrier manusia adalah sumber infeksi. S. typhi bisa berada
dalam air, es, debu, sampah kering, yang bila organisme ini masuk ke dalam vehicle yang cocok
(daging, kerang, dan sebagainya) akan berkembang biak mencapai dosis infektif

 Salmonella thypi masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus
dan mencapai jaringan limfoid plak peyeri di ileum terminalis yang hipertropi.

 Bila terjadi komplikasi pendarahan dan perforasi intestinal, kuman menembus lamina
propia. Masuk aliran limfe mencapai kelenjar limfe mesenterial dan masuk ke aliran
darah melalui duktus torasikus. Salmonella thypi lain dapat mencapai hati melalui
sirkulasi portal dari usus. Salmonella thypi bersarang di plak peyeri, limpa, hati dan
bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial.

17
Endotoksin salmonella thypi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan tempay
kumantersebut berkembang biak. Salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan
pelepasan zat pirogen danleukosit pada jaringan yang meradang sehingga terjadi demam.

LI 3.6 Memahami dan menjelaskan Diagnosis Demam Tifoid

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia


klinik,imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk
membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan
prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.

. Hematologi

Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau
perforasi. Pemeriksaan darah dilakukan pada biakan kuman (paling tinggi pada minggu I sakit),
diagnosis pasti Demam Tifoid. (Minggu I : 80-90%, minggu II : 20-25%, minggu III : 10-15%)
Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis
leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED meningkat (Djoko, 2009)

· Urinalis

Tes Diazo Positif : Urine + Reagens Diazo + beberapa tetes ammonia 30% (dalam tabung
reaksi)→dikocok→buih berwarna merah atau merah muda (Djoko, 2009)

Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).Leukosit dan eritrosit normal; bila
meningkat kemungkinan terjadi penyulit. Biakan kuman (paling tinggi pada minggu II/III
diagnosis pasti atau sakit “carrier” ( Sumarmo et al, 2010)

· Tinja (feses)

Ditemukian banyak eritrosit dalam tinja (Pra-Soup Stool), kadang-kadang darah (bloody stool).
Biakan kuman (diagnosis pasti atau carrier posttyphi) pada minggu II atau III sakit. (Sumarmo et
al, 2010)

· Kimia Klinik
18
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai hepatitis
akut.

· Serologi

Pemeriksaan Widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.thypi. Pada uji widal terjadi suatu
reaksi aglutinasi antara kumanS.thypi dengan antibodi yang disebut aglutinin . Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu :

1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2. Aglutinin H (flagela kuman)

3. Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Widal dinyatakan positif bila :

1. Titer O Widal I 1/320 atau

2. Titer O Widal II naik 4 kali lipat atau lebih dibanding titer O Widal I atau Titer O Widal I
(-) tetapi titer O II (+) berapapun angkanya.

Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 , bahkan mungkin sekali
nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia.
Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini
pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif
(positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak
sebelumnya.

Pemeriksaan Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM

19
Merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik
dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid
Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Tifoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/
bila lgM positif menandakan infeksi akut; 2/jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah
terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik. ( John, 2008).

· Mikrobiologi

Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan demam tiroid/paratifoid.
Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk demam tifoid/ paratifoid.
Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid/ paratifoid, karena hasil biakan
negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit
kurang dari 2 mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan
membeku dalam spuitsehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah
masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat
vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu
untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni
ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah,
kemudian untuk stadium lanjut/carrier digunakan urin dan tinja. (Sumarmo et al, 2010)

· Biologi molekular.

PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di
lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diidentifikasi dengan DNA probe yang
spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit
(sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat
berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.

Kriteria diagnosis yang biasa digunakan adalah :

1. Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negative tidak
menyingkirkan demam tifoid.

2. Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis demam tifoid.

20
3. Peningkatan titer uji widal 4 kali lipat selama 2–3 minggu memastikan diagnosis demam
tifoid.

4. Reaksi widal tunggal dengan titer antibodi Antigen O 1: 320 atau titer antigen H 1: 640
menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas .

5. Pada beberapa pasien, uji widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang walaupun biakan
darah positif. (Sumarmo, 2010).

LI 3.7 Memahami dan menjelaskan Penatalaksanaan Demam Tifoid

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu : Istirahat dan
perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif), dan pemberian medikamentosa.
Istirahat yang berupa tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Sedangkan diet dan terapi penunjang merupakan hal yang cukup penting dalam
proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi
lama. Obat antimikroba yang sering diberikan adalah kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol,
dan sefalosporin generasi ketiga.

1. Kloramfenikol

FARMAKODINAMIK

Efek Antimikroba
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Efek toksik
kloramfenikol pada sistem hemopoetik sel mamalia diduga berhubungan dengan mekanisme keja
obat ini.
Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kadang-kadang
bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu.
Spektrum antibakteri kloramfenikol kebanyakan kuman anaerob.

21
• Resistensi
Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil
transferase yang diperantarai oleh faktor-R dan adapula dengan merubah permeabilitas membran
yang mengurangi masuknya obat ke dalam sel bakteri.

FARMAKOKINETIK

• Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam darah
tercapai 2 jam.
• Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin.
• Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan otak,
cairan serebrospinal dan mata.
• Waktu paruh kloramfenikol memanjang pada pasien gangguan faal hati sehingga dosis perlu
dikurangi.

INDIKASI :
Obat ini sebaiknya hanya digunakan untuk mengobati demam tifoid dan meningitis oleh H.
influenzae. Infeksi lain sebaiknya tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada antimikroba
yang lebih aman dan efektif. Kloramfenikol dikontraindikasikan untuk neonatus, pasien dengan
gangguan faal hati dan yang hipersensitif terhadapnya.
Demam tifoid
Kloramfenikol tidak lagi menjadi pilihan utama untuk mengobati penyakit tersebut karena
telah tersedia obat-obat yang lebih aman seperi siprofloksasin dan seftriakson. Walaupun
demikian, pemakaiannya sebagai lini pertama masih dapat dibenarkan bila resistensi belum
merupakan masalah.
Untuk pengobatan demam tifoid dapat pula diberikan tiamfenikol. Suatu uji klinik di
Indonesia menunjukkan bahwa terapi kloramfenikol (4x500 mg/hari) dan siprofloksasin (2x500
mg/hari) peroral untuk demam tifoid selama 7 hari tidak berbeda bermakna dalam hal

22
penyembuhan klinik maupun turunnya demam. Sekalipun demikian siproflokasin lebih efektif
untuk membersihkan sumsum tulang dari Salmonella.
Hingga sekarang belum disepakati obat apa yang paling efektif untuk mengobati status karier
(carrier state) demam tifoid, namun beberapa stidi menunjukkan bahwa norfloksasin dan
spiroploksasin mungkin bermanfaat untuk itu.
Gastroenteritris akibat Salmonella spp (yang bukan S. typhi) tidak perlu diberi antibiotik
karena tidak mempercepat sembuhnya infeksi dan dapat memperpanjang carrier state.

EFEK SAMPING:
• Reaksi hematologic, Terdapat dalam 2 bentuk. Yang pertama ialah reaksi toksik dengan
manifestasi depresi sumsum tulang. Bentuk yang kedua adalah anemia aplastik dengan
pansitopenia yang ireversibel dan memiliki prognosis sangat buruk. Ada pendapat yang
menyatakan bahwa kloramfenikol yang diberikan secara parenteral jarang menimbulkan anemia
aplastik. Pengobatan terlalu lama atau berulang kali perlu dihindarkan. Hitung sel darah secara
periodik, hitung leukosit, dan hitung jenis tiap 2 hari dapat memberi petunjuk untuk mengurangi
dosis atau menghentikan terapi.
• Reaksi saluran cerna, Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare, dan
enterokolitis.
• Sindrom gray. Pada neonatus, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200
mg/kgBB) dapat timbul sindrom Gray.
(Setiabudy, Rianto. 2009)

2. Fluorokuinolon

Daya antibakteri fluirokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kuinolon lama. Selain itu
diserap dengan baik pada pemberian oral, dan beberapa derivatnya parenteral sehingga dapat
digunakan untuk infeksi berat khususnya yang disebabkan oleh kuman gram-negatif. Daya
antibakterinya terhadap kuman gram-positif relatif lemah. Yang termasuk golongan ini ialah

23
siprofloksasin, pefloksasin, ofloksasin, norfloksasin, enoksasin, levofloksasin, fleroksasin, dll.
Terdapat golongan kuinolon baru yaitu moksifloksasin, gatifloksasin, dan gemifloksasin.

MEKANISME KERJA

Fluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama dengan kelompok kuinolon terdahulu.
Fluorokuinolon baru menghambat topoisomerase II (=DNA Girase) dan IV pada kuman.

FARMAKOKINETIK

• Fluorokuinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna.


• Bioavailablitasnya pada pemberian oral sama dengan pemberian
parenteral  Fluorokuinolon hanya sedikit terikat dengan protein.
• Golongan obat ini hanya didistribusi dengan baik pada berbagai organ.
• Golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi dalam jaringan prostat dan masa paruh
eliminasinya panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kali sehari.
• Kebanyakan fluorokuinolon dimetabolisme di hati dan di ekskresikan melalui ginjal.

RESISTENSI
Mekanisme resistensi melalui plasmid tidak dijumpai pada golongan kuinolon, namun resistensi
terhadap kuinolon dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu:
1. Mutasi gen gyr A yang menyebabkan subunit A dari DNA girase kuman berubah sehingga
tidak dapat diduduki molekul obat lagi
2. Perubahan pada permukaan sel kuman yang mempersulit penetrasi obat ke dalam sel 3.
Peningkatan mekanisme pemompaan obat keluar sel (efflux) Indikasi.
Fluorokuinolon digunakan untuk indikasi yang jauh lebih luas antara lain:
• Infeksi saluran kemih (ISK) : Fluorokuinolon efektif untuk ISK dengan atau tanpa penyulit.
Siprofloksasin, norfloksasin, dan ofloksasin dapat mencapai kadar yang cukup tinggi di jaringan
prostat dan dapat digunakan untuk terapi prostatitis bakterial akut maupun kronik.

24
• Infeksi saluran pencernaan : Fluorokuinolon juga efektif untuk diare yang disebabkan
oleh Shigella, Salmonella,E.coli dan Campylobacter. Siprofloksasin dan ofloksasin mempunyai
efektivitas yang baik terhadap demam tifoid.
• Infeksi saluran nafas (ISN) : Secara umum efektivitas flurokuinolon generasi pertama untuk
infeksi bakterial saluran napas bawah adalah cukup baik. Namun perlu diperhatikan bahwa
kuman S.pneumoniae dan S.aureus yang sering menjadi penyebab ISN kurang peka terhadap
golongan obat ini.
• Penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual: Siprofloksasin oral dan levofloksasin
oral merupakan obat pilihan utama disamping seftriakson dan sefiksim untuk pengobatan uretris
dan servitis oleh gonokokus.
• Infeksi tulang dan sendi : Siprofloksasin oral yang diberikan selama 4-6 minggu efektif
untuk mengatasi infeksi pada tulang dan sendi yang disebabkan oleh kuman yang peka.
• Infeksi kulit dan jaringan : Fluorokuinolon oraal mempunyai efektivitas sebanding dengan
sefalosporin parenteral generasi ketiga untuk pengobatan infeksi berat pada kulit atau jaringan
lunak.

EFEK SAMPING
Beberapa efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan obat ini ialah:
• Saluran cerna: Paling sering timbul pada penggunan golongan kuinolon dan bermanifestasi
dalam bentuk mual, muntah, dan rasa tidak enak di perut.
• Susunan saraf pusat : Yang paling sering dijumpai ialah sakit kepala dan pusing.
Bentuk yang jarang timbul ialah halusinasi, kejang dan delirium.
• Hepatotoksisitas: Efek samping ini jarang terjadi.
• Kardiotoksisitas : Beberpa fluorokuinolon antara lain sparfloksasin dan grepafloksasin (kedua
obat ini sekarang tidak dipasarkan lagi) dapat memperpanjang interval QTc (corrected QT
interval).
• Disglikemia : Gatifloksasin dapat menimbulkan hiper-atau hipoglikemia, khususnya pada
pasien berusia lanjut. Obat ini tidak boleh diberikan kepada pasien diabetes melitus.

25
• Fototosisitas : Klinafloksasin (tidak dipasarkan lagi) dan sparfloksasin adalah fluorokuinolon
yang relatif sering menimbulkan fototoksisitas.
• Lain- lain : Golongan kuinolon hingga sekarang tidak diindikasikan untuk anak (sampai 18
tahun) dan wanita hamil karena data dari penelitian hewan menunjukkan bahwa golongan ini
dapat menimbulkan kerusakan sendi.

INTERAKSI OBAT
Golongan kuinolon dan fluorokuinolon berinteraksi dengan beberapa obat, misalnya:  Antasid
dan preparat besi (Fe)
• Teofilin
• Obat-obat yang memperpanjang interval QTc. (Setiabudy, Rianto. 2009)
3. Kotrimoksazol
Trimetoprim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap
berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergi. Kombinasi ini
lebih dikenal dengan nama kotrimoksazol.

FARMAKOKINETIK

Rasio kadar sulfametoksazol & trimetoprim yang ingin dicapai dalam darah ialah sekitar
20:1. Karena sifat nya yang lipofilik, trimetoprim mempunyai volume distribusi yang lebih besar
daripada sulfametoksazol. Dengan memberikan sulfametoksazol 800 mg dan trimetoprim 160
mg per oral (rasio sulfametoksazol : trimetoprim = 5:1) dapat diperoleh rasio kadar kedua obat
tersebut dalam darah kurang lebih 20:1
Trimetoprim cepat distribusi ke dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat pada protein
plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi trimetoprim hampir 9 kali lebih besar
dari pada sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan salivadengan mudah. Masingmasing
kompenen ditemukan dalam kadar tinggi di dalam empedu. Kira-kira 65% sulfametoksazol
terikat pada protein plasma. Sampai 60% trimetoprim dan 25-50% sulfametoksazol di eksresikan

26
melalui urine dalam 24 jam setelah pemberian. Dua-pertiga dari sulfonamid tidak mengalami
konjugasi. Metabolit trimetoprim ditemukan juga diurin,pada pasien uremia, kecepatan eksresi
dan kadar urin kedua obat jenis menurun
Kotrimoksazol tersedia dalam bentuk tablet oral, mengandung 400 mg sulfametoksazol dan
80 mg trimetoprim atau 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim. Untuk anakanak
tersedia juga suspensi oral yang mengandung 200mg sulfametoksazol dan 40 mg trimetoprim/5
mL, serta tablet pediatrik yang mengandung 100 mg sulfametoksazol dan 20 mg
trimetoprim.untuk pemberian IV tersedia sediaan infus yang mengandung 400mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim setiap 12 jam. Pada infeksi yang lebih berat diberikan
dosis yang lebih besar.dengan pasien gagal ginjal diberikan dosis biasa bila klirens kreatinin
lebih dari30 ml/menit: bila klirens kreatinin 15-30 mL/menit, dosis 2 tablet diberikan setiap 24
jam obat ini tidak boleh diberikan.

RESISTENSI:
Frekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimoksazol lebih rendah dari pada masingmasing
obat, karena mikroba yang resistensi terhadap salah satu komponen masih peka terhadap
komponen lain nya. Resistensi mikroba terhadap trimetoprim dapat terjadi karena mutasi.
Resistensi yang terjadi pada bakteri Gram-negatif disebabkan oleh adanya plasmid yang
membawa sifat menghambat kerja obat terhadap enzim dihidrofolat reduktase.

EFEK SAMPING:
• Pada dosis yang dianjurkan tidak terbukti bahwa kotrimoksazol menimbulkan defisiensi
folat pada orang normal, namun batas antara toksisitas untuk bakteri dan manusia relatif sempit
bila sel tubuh mengalami defisiensi folat, dalam keadaan demikian obat ini mungkin
menimbulkan megaloblastosis, leukopenia atau trombositopenia.
• Kira-kira 75% efek samping terjadi pada kulit, berupa reaksi yang khas ditimbulkan oleh
sulfonamid.namun demikian kombinasi sulfametoksazol-trimetoprim dilaporkan dapat
menimbulkan reaksi kulit sampai tiga kali lebih sering dibandingkan sulfametoksazol tunggal
(5,9% vs 1,7%). Dermatitis eksfoliatif, sindrom stevens-johnson dan toxic epidermal necrolysis
jarang terjadi.

27
• Gejala pada saluran pencernaan terutama berupa mual dan muntah, diare jarang terjadi
glositis dan stomatitis relatif sering.
• Ikterus terutama terjadi pada pasien yang sebelumnya telah mengalami hepatitis kolestatik
alergik.
• Reaksi pada susunan saraf pusat berupa sakit kepala, depresi, dan halussinasi, disebabkan
oleh sulfonanid. Reaksi hematologi lainnya ialah berbagai macam anemia (aplastik, hemolitik
dan makrositik) gangguan koagulasi, granulositopenia, agranulositosis, purpura, purpura henoch-
schonlein dan sulfhemoglobinemia.

INDIKASI:
• Infeksi saluran kemih
Sulfonamid masih berguna untuk infeksi ringan pada saluran kemih bagian bawah. Tapi
timbulnya resistensi makin meningkat terutama bakteri Gram-negatif sehingga sulfonamid tidak
dapat digunakn pada pengobatan infeksi yang lebih berat pada saluran kemih tsb,penting untuk
membedakan antara infeksi pada ginjal dan infeksi pada saluran kemih bagian bawah,pada
keadaan pielonefritis akut yang disertai dengan demam hebat dan bila ada kemungkinan
timbulnya bakteremia dan syok, sebaiknya jangan diberikanpengobtan dengan Sulfonamid tetapi
dianjurkan diberikan sesuatu antimikroba yang bakterisid secara parenteral yang dipilih
berdasarkan uji sensitivitasmikroba dari hasil kultur urin, Sulfonamid digunakan untuk
pengobatan sistitis akut maupun kronik,infeksi kronik bagiab kemih bagian atas dan bakteriuria
yang asimtomatik. Sulfonamid efektif untuk sistitis akut penyulit pada wanita,pengobatan
infeksi ringan saluran kemih bagian bawah dengan kotrimoksazol ternyata sangat efektif bahkan
untuk infeksi oleh mikroba yang telah resistensi terhadap Sulfonamid sendiri.

• Infeksi saluran pernafasan


Kotrimoksazol tidak dianjurkan untuk pengobatan faringitis akut oleh S. Pyogenes, karena tidak
dapat membasmi mikroba.preparat kombinasi ini efektif untuk pengobatan bronkitis kronik
dengan eksaserbasi akut.

• Infeksi saluran cerna

28
Sediaan kombinasi ini sangat berguna untuk pengobatan shigellosis karena beberapa strain
mikroba menyebabkan telah resisten terhadap ampisilin, obat ini juga ampuh dan efektif untuk
demam tifoid, karena prevalensi resistensi mikroba menyebabkan terhadap obat ini masih
rendah.

• Infeksi oleh Pneumocytis


Pengobatan dengan dosis tinggi (trimetoprim 20 mg/kgBB perhari dengan sulfametoksazol100
mg/kgBB per hari,dalam 3-4 kali pemberian). Efektif untuk pasien infeksi berat pada pasien
AIDS.

• Infeksi genitalia
Karena resistensis mikroba Kotrimoksazol Tidak dianjurkan lagi untuk pengobatan
gonore.pemberian eritromisin 500mg 4 kali sehari selama 10hari atau 160mg trimetoprim dan
800mg sulfametoksazol peroral dua kali sehari selama 10 hari efektif untuk pengobatan
chancroid.

• Infeksi lainnya
Infeksi oleh jamur nokardia dapat diobati dengan kombinasi ini, sulfametoksazol mungkin
efektif untuk pengobatan bruselosis bahkan bila ada lesi lokal seperti artritis,endokarditis,atau
epididimoorkitis,
(Setiabudy R, Mariana Y. 2009)

4. Sefalosporin Generasi Ketiga


Sefalosporin golongan ketiga umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama
terhadap kokus Gram-positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain
penghasil penisilinase. Seftazidim dan sefoperazon aktif terhadap P. Aeruginosa. (Istiantoro YH
& Gan VHS. 2009). Hingga saat ini sefalosproin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk
demam tifoid adalah seftriakson. (Widodo D. 2009)

FARMAKOKINETIK

29
Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya sefuroksim, seftriakson, sefepim, sefotaksim
dan seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal (CSS), sehingga dapat
bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar
darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada pemberian
sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan mata relatif tinggi, tetapi tidak mencapai
vitreus. Kadar sefalosporin dalam empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon.
Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses sekresi
tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Karena itu dosis
sefalosporin umumnya harus dikurangi pada pasien insufisiensi ginjal. Probenesid mengurangi
ekskresi sefalosporin, kecuali moksalaktam dan beberapa lainnya. Sefalotin, sefapirin dan
sefotaksim mengalami deasetilasi; metabolit yang aktivitas antimikrobanya lebih rendah juga
diekskresi melalui ginjal.

EFEK SAMPING
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip dengan
reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin. Reaksi mendadak yaitu anafilaksis dengan spasme
bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang umumnya terjadi pada pasien dengan alergi
penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin ringan atau sedang kemungkinannya kecil.
Dengan demikian pada pasien dengan alergi penisilin berat, tidak dianjurkan penggunaan
sefalosporin atau kalau sangat diperlukan harus diawasi dengan sungguh-sungguh. Reaksi
Coombs sering timbul pada penggunaan sefalosporin dosis tinggi. Depresi sumsum tulang
terutama granulositopenia dapat timbul meskipun jarang.
Sefalosporin bersifat nefrotoksik, meskipun jauh lebih ringan dibandingkan aminoglikosida
dan polimiksin. Nekrosis ginjal dapat terjadi pada pemberian sefaloridin 4 g/hari (obat ini tidak
beredar di Indonesia). Sefalosporin lain pada dosis terapi jauh kurang toksik dibandingkan
dengan sefaloridin. Kombinasi sefalosporin dengan gentamisin atau tobramisin mempermudah
terjadinya nefrotoksisitas.
Diare dapat timbul terutama pada pemberian sefoperazon, mungkin karena ekskresinya
terutama melalui empedu, sehingga mengganggu flora normal usus. Selain itu dapat terjadi
perdarahan hebat karena hipoprotrombinemia, dan/atau disfungsi trombosit, khususnya pada
pemberian moksalaktam.

30
INDIKASI
Sefalosporin generasi ketiga tunggal atau dalam kombinasi dengan aminoglikosida
merupakan obat pilihan utama untuk infeksi berat oleh Klebsiella, Enterobacter, Proteus,
Provedencia, Serratia dan Haemophillus spesies. Seftriakson dewasa ini merupakan obat pilihan
untuk semua bentuk gonore dan infeksi berat penyakit Lyme.
(Istiantoro YH & Gan VHS. 2009).

31

You might also like