You are on page 1of 2

Darurat Infrastruktur Jalan

Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*
Seiring datangnya musim penghujan, para pengguna kendaraan pribadi khususnya roda dua
diwajibkan untuk lebih berhati-hati mengingat jalanan ibu kota banyak yang rusak dan nyaris
hancur. Tak terhitung sudah berapa banyak jatuh korban akibat kondisi tersebut. Keterbatasan
dana APBD kemudian ditengarai menjadi penyebab rendahnya alokasi perawatan dan perbaikan
jalan, meskipun beberapa pihak justru menganggap permasalahan mendasarnya tidak terkait
anggaran semata. Molornya proses tender, ketidakseriusan Pemda serta aroma korupsi kemudian
menyeruak menjadi hal yang patut dicermati. Namun demikian, apapun penyebabnya masyarakat
akan tetap menjadi pihak yang paling dirugikan.

Demi mencegah dampak yang semakin meluas, pemerintahan kemudian terpaksa harus turun
tangan dengan fenomena tersebut. Rencananya, di tahun 2015 ini pemerintah akan
menganggarkan sekitar Rp5 triliun melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(Kemen PUPR) dalam skema Dana Alokasi Khusus (DAK) Perbaikan Jalan. Dengan membaiknya
kualitas jalan ini, ke depannya transaksi perdagangan ekonomi antar daerah diharapkan makin
sempurna, demi tercapainya tujuan kesejahteraan masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat
daerah yang meningkat, pada gilirannya akan membawa dampak positif terhadap pembangunan
ekonomi nasional.

Meski mendapat banyak dukungan, rencana tersebut juga menuai banyak kritikan, mengingat pola
belanja APBD selama ini. Sudah menjadi rahasia umum jika hampir di seluruh daerah di
Indonesia, selama kurun waktu 15 tahun terakhir, 50% belanja APBD nya dihabiskan untuk
kegiatan yang bersifat rutin administrasi semata seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja
rapat dan perjalanan dinas. Alokasi belanja modal sebagai proxy utama belanja investasi hanya
berkisar di level 15%. Itupun tak seluruhnya berupa pembangunan investasi baru karena porsi
belanja pemeliharaan juga masih cukup dominan.

Kualitas Belanja
Tak salah jika stigma rendahnya kemampuan APBD untuk perbaikan jalan banyak diperdebatkan,
karena sesuai regulasi provinsi memiliki kewenangan untuk memungut pajak-pajak sektor
transportasi, baik Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBN-KB) serta Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) yang nominalnya relatif besar.
Tahun 2013 saja, berdasarkan data Pemda DKI Jakarta, potensi penerimaan PKB mencapai
Rp4,4 triliun, BBN-KB Rp5,2 triliun sementara PBB-KB sebesar Rp1,1 triliun. Jika seluruhnya
dijumlahkan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari penerimaan pajak sektor
transportasi tersebut mencapai Rp10,7 triliun, suatu angka yang sangat fantastis.

Sayangnya, ketiadaan mekanisme ear marking (penerimaan perpajakan dikembalikan kepada


sektor yang berkontribusi) menyebabkan tidak adanya kewajiban bagi Pemda untuk
mengembalikan penerimaan pajak ke sektor transportasi dan perbaikan jalan. Padahal jika
diwajibkan ear marking 10% saja, maka Pemda DKI Jakarta akan memiliki sumber dana minimal
Rp1,7 triliun, yang dapat digunakan untuk perawatan serta perbaikan jalan. Masih menurut data
pemerintah, total alokasi APBD seluruh daerah berdasarkan fungsi pelayanan umum juga terus
meningkat secara signifikan. Jika di tahun 2008, alokasinya sekitar Rp138,8 triliun, meningkat
menjadi Rp204,9 triliun di tahun 2012 serta Rp233,6 triliun di tahun 2014. Sementara alokasi
APBD untuk fungsi ekonomi juga meningkat dari Rp36,7 triliun di tahun 2008 menjadi Rp58,9
triliun di tahun 2012 serta Rp66,6 triliun di tahun 2014. Coba bandingkan alokasi fungsi pariwisata
dan budaya misalnya yang alokasinya tidak pernah lebih dari Rp5 triliun setiap tahunnya atau juga
alokasi fungsi perlindungan sosial dan lingkungan hidup.

Masalah peningkatan kualitas belanja APBD terbukti menjadi isu utama, terlebih wacana
pembangunan desa dan daerah telah dinyatakan menjadi prioritas di era pemerintahan baru. Kue
pembangunan yang awalnya hanya berkutat di ibu kota, akan dicoba untuk lebih diratakan ke
seluruh Indonesia. Mulai tahun 2014 kemarin, pemerintah membuktikan keseriusan tersebut
dengan mulai dialokasikannya anggaran Dana Desa untuk tahun 2015. Pengalokasian Dana Desa
tersebut merupakan amanat Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari
APBN. Saat ini pemerintah juga telah menyiapkan mekanisme pengalokasian dana tersebut ke
provinsi, kabupaten dan kota.

Berdasarkan hasil perhitungan pemerintah, Pulau Jawa dan Sumatera memperoleh alokasi
terbesar Rp3,6 triliun dan Rp1,86 triliun. Menyusul kemudian Provinsi Papua Rp1,37 triliun,
Sulawesi Rp878,6 miliar, Kalimantan Rp852,7 miliar, kemudian Bali, NTT, NTB sebesar Rp500,3
miliar. Di Pulau Jawa sendiri, Provinsi Jawa Timur mendapatkan alokasi terbesar Rp1,16 triliun
dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak 30. Dengan mempertimbangkan jumlah daerah, maka
Provinsi Papua memperoleh alokasi terbesar Rp1,17 triliun untuk 29 kabupaten/kota.

Jika nantinya seluruh dana yang dialokasikan untuk mempercepat pembangunan di berbegai
daerah dapat digunakan setepat-tepatnya, maka penulis yakin visi Indonesia Maju 2030 akan
tercapai dengan mudah. Untuk memastikan penggunaan dana setepat-tepatnya, seluruh elemen
bangsa tentu harus bersatu padu dan memilki pemahaman yang selaras. Jangan sampai pelajaran
proses otonomi daerah yang sudah berjalan 15 tahun di level kabupaten/kota kembali terulang.
Harapannya, dengan anggaran yang meningkat maka desa dan daerah dapat mengembangkan
kualitas dan kesejahteraan masyarakatnya. Desa dan daerah yang maju ditunjang oleh
perkembangan daerah yang bijak, akan membawa Indonesia ke arah masa depan yang lebih
gemilang. Untuk itu mari kita wujudkan seluruh mimpi-mimpi tersebut, mumpung belum terlambat.

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis
bekerja

You might also like