You are on page 1of 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi sepsis

Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic

inflammatory response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti

o
atau dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38 C

o
atau <36 C) ; takikardi; asidosis metabolik; biasanya disertai dengan

alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu; dan peningkatan atau

penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan oleh

infeksi virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia

(nama lain untuk blood poisoning) mengacu pada infeksi dari darah,

sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tapi dapat

13,14
mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ.

Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi

organ, hipotensi, atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal,

hipoksemia, dan perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis

dengan tekanan darah arteri <90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan

darah normal pasien tersebut selama sekurang-kurangnya 1 jam meskipun

telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk

mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau

13-15
tekanan arterial rata-rata ≥70 mmHg.

7
8

2.2 Epidemiologi sepsis

Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian

di Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis.

Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika

Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk

untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir

empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240

kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika

13
Serikat.

Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 kematian di Amerika

Serikat. Dari jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan sepsis (6% dari

semua kematian). Sebagian besar kematian terkait sepsis terjadi di rumah

sakit, klinik dan pusat kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini adalah pasien

16
rawat inap tersebut.

2.3 Etiologi sepsis

Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis

dapat disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).

Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa

adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus

pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga

sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang

kompleks antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab


9

infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap


15
infeksi.

Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70%

kasus syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif,

terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram

positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau

mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan

serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik,

tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak

13,14
dapat diakses oleh kultur.

Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah

tuanya populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat

bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di

antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid

atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan

14
ventilasi mekanis.

Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh.

Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru,

saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan

dengan sepsis yaitu:

1) Infeksi paru-paru (pneumonia)

2) Flu (influenza)

3) Appendiksitis
10

4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)

5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus

urinarius)

6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus

atau kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit

7) Infeksi pasca operasi

8) Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.

Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat

17
terdeteksi.

2.4 Patofisiologi sepsis

Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal

bersamaan dari sistem imun dan mekanisme down-regulasi untuk

mengontrol reaksi. Efek yang menakutkan dari sindrom sepsis tampaknya

disebabkan oleh kombinasi dari generalisasi respons imun terhadap tempat

yang berjauhan dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan antara

regulator pro-inflamasi dan anti inflamasi selular, serta penyebarluasan

15
mikroorganisme penyebab infeksi.

2.4.1 Kaskade inflamasi (Inflammatory cascade)

Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan

perkembangan sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen

membran luar organisme gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A,

endotoksin) atau organisme gram positif (misalnya, asam lipoteichoic,

peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen parasit.


11

Sepsis leads to organ failure and death via a cascade of inflammation and coagulation. Activated
protein C (APC) blocks the cascade at several points. A formulation of recombinant human APC has
been approved for treating sepsis. IL-1, interleukin 1; TNF-α, tumor necrosis factor α.

Gambar 1. Gambaran klinis


Dikutip dari kepustakaan 18

Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan

kemampuan sel-sel imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk

meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh

mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal

sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB (NF-kB)

diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi, tumor

necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1

memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin,

leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini

merusak lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran

kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi molekul adhesi pada
12

sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera

endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya,

neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat.

Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami

ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang mengarah

ke syok septik.

Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi

trombosit, dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular.

Peningkatan NO tampaknya memberikan manfaat dalam arti

meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun tentu saja

vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang

membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi

15,18
organ dan kematian.

2.5 Tahapan perkembangan sepsis

Sepsis berkembang dalam tiga tahap:

1) Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau

abses gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak

memerlukan perawatan rumah sakit.

2) Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi

sudah mulai mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti

jantung, ginjal, paru-paru atau hati.

3) Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika

tekanan darah turun ke tingkat yang sangat rendah dan


13

menyebabkan organ vital tidak mendapatkan oksigen yang

cukup.

Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke

syok septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple

1
dan kematian.

2.6 Faktor risiko

2.6.1 Usia

Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih

19
baik dibandingkan usia tua. Orang kulit hitam memiliki kemungkinan

peningkatan kematian terkait sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif

mereka terbesar dalam kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45 sampai

54 tahun. Pola yang sama muncul di antara orang Indian Amerika / Alaska

Pribumi. Sehubungan dengan kulit putih, orang Asia lebih cenderung

mengalami kematian yang berhubungan dengan sepsis di masa kecil dan

remaja, dan kurang mungkin selama masa dewasa dan tua usia. Ras

Hispanik sekitar 20% lebih mungkin dibandingkan kulit putih untuk

meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan sepsis di semua

16
kelompok umur.
14

Age-specific rate-ratios for sepsis-associated death by race/ethnicity


category in the United States, 1999 to 2005. Non-Hispanic whites were
used as the referent group. AI/AN = American Indian/Alaska Native.

Gambar 2. Angka kematian akibat sepsis berdasarkan umur pada ras


tertentu
Dikutip dari kepustakaan 16
2.6.2 Jenis kelamin

Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang

berhubungan dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok

ras / etnis. Laki-laki 27% lebih mungkin untuk mengalami kematian terkait

sepsis. Namun, risiko untuk pria Asia itu dua kali lebih besar, sedangkan

untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska Pribumi kemungkinan mengalami

16
kematian berhubungan dengan sepsis hanya 7%.

2.6.3 Ras

Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit


16
hitam dan terendah di antara orang Asia.
15

2.6.4 Penyakit komorbid

Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan

tubuh (gagal ginjal kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan

alkohol) lebih umum pada pasien sepsis non kulit putih, dan komorbiditas

20
kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ akut yang lebih berat.

A, distribution of chronic comorbid medical conditions in sepsis patients according to


race. B, distribution of chronic comorbid medical conditions in sepsis patients according
to gender. COPD, chronic obstructive pulmonary disease; ESRD, end-stage renal disease;
EtOH, chronic alcohol abuse; HIV, human immunodeficiency virus.

Gambar 3. Distribusi penyakit komorbid berdasarkan ras dan jenis


kelamin
Dikutip dari kepustakaan 20
16

2.6.5 Genetik

Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa

polimorfisme umum dalam gen untuk lipopolysaccharide binding protein

(LBP) dalam kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki berhubungan

dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis dan, lebih jauh

lagi, mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak menguntungkan.

Penelitian ini mendukung peran imunomodulator penting dari LBP di

sepsis Gram-negatif dan menunjukkan bahwa tes genetik dapat membantu

untuk identifikasi pasien dengan respon yang tidak menguntungkan untuk

22
infeksi Gram-negatif.

2.6.6 Terapi kortikosteroid

Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan

kerentanan terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan

dengan dosis steroid dan durasi terapi. Meskipun bakteri piogenik

merupakan patogen yang paling umum, penggunaan steroid kronis

meningkatkan risiko infeksi dengan patogen intraseluler seperti Listeria,

jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis yang dihasilkan dari

23,24
sebuah respon host sistemik terhadap infeksi mengakibatkan sepsis.

2.6.7 Kemoterapi

Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat

membedakan antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat,

seperti sel-sel darah, sel-sel kulit. Orang yang menerima kemoterapi


17

25-27

beresiko untuk terkena infeksi ketika jumlah sel darah putih mereka

rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh terhadap infeksi.

Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah umum setelah menerima

kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap infeksi dapat menjadi

serius dengan cepat. Menurut Penack O, et al., sepsis merupakan penyebab

utama kematian pada pasien kanker neutropenia.

2.6.8 Obesitas

Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas

pada pasien dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell

Griffin, et al. didapatkan hasil bahwa obesitas pada tahap stabil kesehatan

secara independen terkait dengan kejadian sepsis di masa depan. Lingkar

pinggang adalah prediktor risiko sepsis di masa depan yang lebih baik

daripada BMI. Namun pada penelitian Kuperman EF, et al diketahui


bahwa obesitas bersifat protektif pada mortalitas sepsis rawat inap dalam

studi kohort, tapi sifat protektif ini berhubungan dengan adanya

28-29
komorbiditas resistensi insulin dan diabetes.

2.7 Manifestasi klinis

Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang

ditandai dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic

inflammatory response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat,

syok sepsis dan berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome

30
(MODS).
18

Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik

(yaitu demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi

hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik

atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta

peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik

hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih

dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran

pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah

15
ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.

Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah

kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini

mungkin lebih sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia

dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis,

dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti

pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium)

atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan

penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien dengan

usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat

mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurang-

kurangnya pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan

15
urinalisis.

Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin

berlanjut menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama


19

perjalanan tinggal di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya

ditemukan perubahan samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status

mental seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena

perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium,

tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan

kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi.

Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis

yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium

didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan pertimbangan

15
klinis.

2.8 Diagnosis

Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan

konfirmasi mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau

apus gram dari buffy coat serum atau lesi petekia menunjukkan

mikroorganisme. Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal

sebagaimana eksudat lain, abses dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur

dan dilakukan pemeriksaan apus untuk menentukan organisme.

Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan

tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah,

profil ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Anak yang

menderita harus dirawat di ruang rawat intensif yang mampu melakukan

pemantauan secara intensif serta kontinu diukur tekanan vena sentral,

31
tekanan darah, dan cardiac output.
20

Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk

mempertimbangkan sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau

hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipnea yang tidak jelas, tanda-

tanda vasodilatasi perifer, shock dan perubahan status mental yang tidak

dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok

septik, yaitu curah jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik

yang rendah. Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium,

faktor pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan

18
sepsis.

2.9 Laboratorium

Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik,

trombositopenia, pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin

parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin

split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan

morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan

leukosit imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle

cenderung menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda

kurang baik yang menandakan perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan

serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada stadium awal

meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal sebelum

31
terjadi suatu respons inflamasi.
21

Tabel 1. Indikator laboratorium untuk sepsis


Dikutip dari kepustakaan 18

Tes Temuan Keterangan


laboratorium
Hitung sel Leukositosis atau Endotoksemia dapat
darah putih leukopenia menyebabkan early leukopenia
Hitung Trombositosis atau Nilai tinggi awal dapat dilihat
platelet trombositopenia sebagai respon fase akut,
jumlah trombosit yang rendah
terlihat pada DIC
Coagulation Defisiensi Protein C; Kelainan dapat diamati
cascade defisiensi sebelum timbulnya kegagalan
antitrombin; level D- organ dan tanpa perdarahan
dimer meningkat; PT yang jelas.
(Prothrombin Time)
dan PTT (Partial
Thromboplastin Time)
memanjang
Level Meningkat Doubling-menandakan cedera
kreatinin ginjal akut
Level asam Lactic acid > Mengindikasikan hipoksia
laktat 4 mmol/L (36 mg/dL) jaringan
Level enzim Level alkaline Mengindikasikan cedera
hepar phosphatase, AST, hepatoseluler akut yang
ALT, bilirubin disebabkan hipoperfusi
meningkat
Level serum Hipofosfatemia Berkorelasi terbalik dengan
fosfat tingkat sitokin proinflamasi
Level C- Meningkat Respons fase akut
reactive
protein
(CRP)
Level Meningkat Membedakan SIRS yang
prokalsitonin infeksius dari SIRS yang non-
infeksius
22

2.10 Surviving sepsis campaign care bundles

Berikut adalah tata cara pengelolaan pasien secara terstruktur

menurut Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for

Management of Severe Sepsis and Septic Shock 2012 :

Gambar 4. Tata cara pengelolaan pasien


Dikutip dari kepustakaan 3

2.11 Terapi yang diarahkan oleh tujuan secara dini (Early goal directed

therapy)

Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman

oksigen jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar

laktat arteri. Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan kelangsungan

hidup dibandingkan dengan resusitasi cairan dan pemeliharaan tekanan

darah yang standar. Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi

sebagai berikut:
23

1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg

2) Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg

3) Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%

4) Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen

inotropik, dan oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi

13
mekanik).

2.12 Tiga kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis

1) Terapi cairan

Karena syok septik disertai demam, vasodilatasi, dan diffuse

capillary leakage, preload menjadi inadekuat sehingga terapi

cairan merupakn tindakan utama.

2) Terapi vasopressor

Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial

pressure dan organ perfusion adekuat). Vasopressor potensial:

nor epinephrine, dopamine, epinephrine, phenylephrine.

3) Terapi inotropik

Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien syok septik

mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium yang

dinilai dari ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan

pasien mengalami penurunan cardiac output, sehingga

diperlukan inotropic: dobutamine, dopamine, dan

32
epinephrine.
24

2.13 Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari.

Potensi komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:

1) Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan

fungsi respirasi akut (acute respiratory distress syndrome)

Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama

pada paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli

mengganggu pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps

paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan

fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS

timbul pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus

sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto toraks,

dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten dengan

edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya tidak

memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin

memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah

resusitasi cairan.

2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi

diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada

saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak

untuk mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan.

Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem


25

diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang baru

terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan

badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini.

Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi

akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada

sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.

3) Gagal jantung

Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik,

dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah

kerja langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi

arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang

berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS)

atau infark miokardium (MCI), terutama pada pasien usia

lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor (yang

paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna

berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak

dianjurkan.

4) Gangguan fungsi hati

Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus

kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan

alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh

kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak

stabil dalam waktu yang lama.


26

5) Gagal ginjal

Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal

ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia,

dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal berlangsung berat atau

ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi

penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.

6) Sindroma disfungsi multiorgan

Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk

mempertahankan homeostasis.

 Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh

infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi

jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.

 Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons

peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS

15
pada keadaan urosepsis.
https://www.sccm.org/.../Quality-Sepsis-Definitions-SCCM-ESICM-
Joint-Session-Criti...
Singer M, Deutschman CS,. Seymour CW, Shankar-Hari M et al. Third

International Consensus. Definitions for Sepsis and. Septic

Shock (Sepsis-3). JAMA 2016; 315: 801-10

ww.dgiin.de/aktuelles/leitlinien.html?file=files/.../Sepsis2017...
Management Sepsis. Leitlinie 2016. Definition Sepsis. Definition Sepsis

Konsensus Sepsis-3

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

1. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM,


et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock, 2012. Crit Care
Med. 2013 Feb; 41:580–637.

2. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW. The Third International


Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3). The
Jama Net. 2016 Feb 23;315(8):801-810.

3. Guntur A. Sepsis. Dalam: Setiawati S, Alwi I, Sudoyo A, Simadibrata


M, Setiyohadi B, Syam A, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.

4. Martin GS, Mannino DM, Eaton S, Moss M. The Epidemiology of


Sepsis in the United States from 1979 through 2000. NEJM. 2003
April 17; 348:1546-1554.

5. Shiferaw B, Bekele E, Krishan K, Boutin A, Frieri M. Journal of


Infectious Diseases and Epidemiology: The Role of Procalcitonin as
a Biomarker in Sepsis. Clin Med. 2016;Vol 2:2-4.

6. Finfer S, Bellomo R, Lipman J, et al. Adult-population incidence of


severe sepsis in Australian and New Zealand intensive care units.
Intensive Care Med. 2004;30:589-96. 10.1007/s00134-004-2157-0.

7. Martin GS. Sepsis, Severe sepsis and septic Shock: changes in inciden,
pathogens and outcomes. NIH Public Access. 2012 Jun;10(6):701-706.

8. Phua J, Koh YS, Du B, Tang YQ, Divatia JV, Gomersall CD, et al.
Management of severe sepsis in patients admitted to Asian intensive
care units: prospective cohort study. BMJ. 2011 [cited 2013 dec
9];342:d3245. Available from: BMJ.

9. Levy MM, Dellinger RP, Townsend SR, Linde-Zwirble TW, Marshall JC, Bion J,
et al. The Surviving Sepsis Campaign: results of an international guideline-
based performance improvement program targeting severe sepsis. Intensive
Care Med. 2010;36:222-31. 10.1007/s00134-009-1738-3.

10. Hendriyaningtyas, RH Banundari, KS Indranila, Budiwiyono I. Serum


Procalcitonin, CRP and Presepsin in SIRS. IJCPML. 2014
Jul;20(3):183-191.

11. Hidayati, Arifin H, Raveinal. Kajian Penggunaan Antibiotik pada


Pasien Sepsis dengan Gangguan Ginjal. Jurnal Sains Farmasi &
Klinis. 2016 May 1; 2(2):129-137.

12. Sugiman T. Biomarker sepsis. Majalah KedokteranTterapi Intensif.


2013 Jul 3; 3(3):3-20.

13. Angus DC, Poll T. Severe Sepsis and Septic Shock. Critical Care
Medicine. NEJM. 2013;369(9):840-851.

14. Lever A, Mackezie. Sepsis: Definition, Epidemiology and Diagnosis.


BMJ. 2007;335:879-883.

15. Octavia S. Hubungan antara leukosit dan procalcitonin sebagai


biomarker sepsis di rumah sakit umum pusat Haji Adam Malik bulan
Agustus-Oktober 2015 Medan. (karya tulis ilmiah). Sumatera Utara:
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2015.

16. Murzalina C. Procalcitonin pada pasien sepsis yang telah mendapat


perawatan di ruang rawat intensif. (Tesis). Sumatera Utara: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2008.

17. Vincent JL, Moreno R, Takala J, Willats S, De Mendonca A, Bruining H,


et al. The SOFA (Sepsis-related Organ Failure Assessment) score to
describe organ dysfunction/failure. On behalf of the Working Group on
Sepsis-Related Problems of the European Society of Intensive Care
Medicine. Intensive Care Med. 1996;22:707-10.

18. Pangalila FJV, Sugiman T, Editors. Penatalaksanaan sepsis dan


syok septik: Surviving Sepsis Campaign Bundle. Jakarta;2015.

19. Sukrisman L, Tambunan KL, Suhendro, Sukmana N. Diagnosis of


disseminated intravascular coagulation in sepsis scoring system of a
thrombosis-hemostasis center. Acta Med Indones. 2004; 36(1):19-25.

20. Pradipta IS. Evaluation of antibiotic use in sepsis patients at ward of


internal medicine Dr. Sardjito Hospital, Yogyakarta September-
November 2008. M.Sc Thesis, Faculty of Pharmacy, Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. 2009.

21. Tambajong R, Lalenoh DC, Kumaat L. Profil Penderita Sepsis di ICU


RSUP. Prof. Dr. RD. Kandaou Menado periode Desember 2014-
November 2015: Universitas Sam Ratulangi Manado;2015.

22. Angus DC, Poll T. Severe Sepsis and Septic Shock. NEJM. 2013
Agus 29;369:840-851.

23. National Clinical Effectiveness Committee (NCEC). Sepsis


Management National Clinival Guidline No.6, An Roine Slainte
Departement of health, Ireland; 2014 Nov.

24. Russel JA. Management of Sepsis. NEJM. 2006;355:1699-713.

25. Meisnner M, Update on Procalcitonin Measurement. Ann Lab Med.


2014; 34(4):263-27.

26. Muller B, White JC, Nylen ES, Snider RH, Becker KL, Habener JF.
Ubiquitous expression of the calcitonin-i gene in multiple tissues in
response to sepsis. J Clin Endocrinology Metab. 2001 Jan;86(1):396-404.

27. Linscheid P, Seboek D, Nylen ES, Langer I, Schiatter M, Becker KL,


et al. In vitro and in vivo calcitonin I gene expression in parenchymal
cells: a novel product of human adipose tissue. Endrocinology 2003
Des;144(12):5578-5584.

28. PubMed Helth. The U.S. National Library of Medicine (NLM)-The


world'sLargestMedicalLibrary.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealt
h/PMHT0022046/-Diakses Desember 2015.

29. Richert E, Goyette, Nigel S, Wesley EE. Hematologic changes in


Sepsis and Their Therapeutic Implications. Seminar in respiratory
and critical care medicine. 2004:25(6):645-649.

30. Abramson N, Melton B. Leukocytosis: Basics of Clinical Assessment.


Am Fam Physician. 2000 Nov 1;62(9):2053-2060.

31. Inoue S. Leukocytosis. https://emedicine.medscape.com/article/956278-


overview#a5. pdf- updates May 01, 2017.

32. Muller WA. Getting Leukocytes to the Site of Inflammation. NIH


Public Access. Vet Pathol. 2013 January;50(1):7–22.

33. Lee R, Lukens J, Greer J, Rodgers GM, Foerster J, Paraskevas F.


Wintrobe’s Clinical Hematology. In: Skubitz KM, editors. Neutrophilic
th
Leukocytes. 10 ed. USA: Pennsylvania Media; 1999. P. 300-415

34. Castelli G, Pognani C, Meisner M, Stuani A, Bellomi D, Sgarbi L.


Procalcitonin and C-reactive protein during systemic inflammatory
response syndrome, sepsis and organ dysfunction. Crit Care. 2004
Jun 10; 8(4): R234–R242.

35. Zhou J, Qian C, Zhao M, Yu X, Kang Y, Ma X, et al. Epidemiology


and Outcome of Severe Sepsis and Septic Shock in Intensive Care
Units in Mainland China. PLoS One. 2014 Sep 16; 9(9): e107181.
36. Putri Y. Faktor Risiko Sepsis pada Pasien Dewasa di RSUP. DR.
Kariadi. (jurnal media medika muda). Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro; 2014.

37. Angele MK, Pratscke S, Hubbard WJ, Chaudry IH. Gender


differences in sepsis Cardiovascular and immunological aspects.
Virulence. 2014 Jan 1; 5(1): 12–19.

38. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J,


Pinsky MR. Epidemiology of severe sepsis in the United States:
Analysis of incidence, outcome, and associated costs of care. Crit
Care Med. 2001;29(7)

39. Szederjesi J, Almasy E, Lazar A, Hutanu A, Badea I, Georgescu A.


An Evaluation of Serum Procalcitonin and C-Reactive Protein Levels
as Diagnostic and Prognostic Biomarkers of Severe Sepsis. The
Journal of Critical Care Medicine. 2015;1(4):147-153.

40. Nargis W, Ibrahim MD, Ahamed BU. Procalcitonin versus C-reactive


protein: Usefulness as biomarker of sepsis in ICU patient. Int J Crit
Illn Inj Sci. 2014 Jul-Sep; 4(3): 195–199.

41. Rahmawati MA. Angka kejadia pneumonia pada pasien sepsis di ICU
RSUP Dr. Kariadi Semarang. (Karya tulis ilmiah). Jurnal media medika
muda. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2014

42. Zhang H, Wang X, Zhang Q, Xia Y, Liu D. Comparison of procalcitonin and


high-sensitivity C-reactive protein for the diagnosis of sepsis and septic
shock in the oldest old patients. BMC Geriatr. 2017 Aug 1; 17: 173.

43. Engel C, Brunkhorst FM, Bone H-G, Brunkhorst R, Gerlach H, Grond S,


et al. Epidemiology of sepsis in Germany: results from a national
prospective multicenter study. Intensive Care Med. 2007;33:606–18.

44. Tambajong RN, Lalenoh DC, Kumaat L. Profil Penderita Sepsis di


ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Desember 2014
– November 2015. (Skripsi). Manado: Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Manado; 2015

45. Castelli GP, Pognani C, Cita M, Stuani A, Sgarbi L, Paladini R.


Procalcitonin, C-Reactive Protein, White blood Cells, and SOFA
Score In ICU: Diagnosis and Monitoring of Sepsis. Minerva
Anestesiol. 2006;72:69-80

46. Prima A, Saputra WH. Procalcitonin as a biomarker of severity


degree in sepsis due to pneumonia. American Journal of Internal
Medicine. 2016 Oct 28;4(1):19-23

47. Nargis W, Ibrahim MD, Ahamed BU. Procalcitonin versus C-reactive


protein: Usefulness as biomarker of sepsis in ICU patient. nt J Crit
Illn Inj Sci. 2014 Jul-Sep;4(3):195–199.
48. Harbarth S, Holeckova K, Froidevaux C, Pittet D, Ricou B, Grau GE,
et al. Diagnostic Value of Procalcitonin, Interleukin-6, and Interleukin-
8 in Critically Ill Patients Admitted with Suspected Sepsis. Am J
Respir Crit Care Med. 2001 Aug 1;164(3):396-402

49. Buchori, Prihatini. Diagnosis Sepsis Menggunakan Prokalsitonin.


Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 3
Juli 2006;12(3):131-137

50. Balci C, Sungurtekin H, Gurses E, Sungurtekin U, Kaptanoglu B.


Usefulness of procalcitonin for diagnosis of sepsis in the intensive
care unit. Critical Care. 2002 Oct 30;7:85

51. Hatherrill M, Tibby SM, Sykes K, Turner C, Murdoch IA. Diagnostic


marker of infection: Comparison of prokcalcitonin with CRP and
Leucocyte count. Arch Dis Child. 1999 june 23;81:417-421

You might also like