You are on page 1of 27

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET, 2018


UNIVERSITAS TADULAKO

Stenosis Pilorus Hipertrofi Kongenital

Disusun Oleh :
Yulita Sari Purba
N 111 16 041

PEMBIMBING KLINIK
dr. Arief Husein , Sp. B.

DIBUAT DALAM RANGKA MENYELESAIKAN TUGAS PADA


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO

0
BAB I

PENDAHULUAN

Stenosis Pilorus Hipertrofi Kongenital (SPHK) adalah suatu kelainan

bedah anak yang menyebabkan muntah pada neonatus dan merupakan kondisi

bedah yang cukup banyak ditemui pada masa bayi awal yang terjadi pada sekitar

2-3 per 1000 kelahiran hidup. Kelainan ini banyak diwariskan dari orang tua. Ibu

yang menderita hipertrofi pilorus cenderung melahirkan anak yang

kemungkinan menderita hipertrofi pilorus empat kali lebih tinggi. Anak laki-laki
(1,2,3,4)
lebih banyak terkena daripada anak perempuan dengan rasio 4 : 1.

Kelainan yang terjadi yaitu adanya hipertrofi otot polos pilorus pada

lapisan sirkulernya, terbatas pada lingkaran pilorus dan jarang berlanjut ke otot

gaster. Hal ini menyebabkan penyempitan kanal pilorus oleh kompresi lipatan-

lipatan longitudinal dari mukosa dan pemanjangan pylorus. Menurut teori,

stenosis pilorik hipertrofik disebabkan oleh kegagalan perkembangan atau proses

degenerasi ganglion dan serabut saraf. (1,3,4,5)

Pilorus Hipertrofi Stenosis Kongenital untuk pertama kalinya

diperkenalkan oleh Hildanus pada tahun 1646, namun deskripsi klinis yang lebih

jelas mengenai keadaan ini diungkapkan oleh Hirschsprung di tahun 1888. Sejak

saat itu berbagai upaya pemahaman akan diagnosis dan penanganan mulai

berkembang dan mengalami kemajuan yang cukup pesat, terutama dalam bidang

kedokteran bedah, walaupun penyebab dan mekanisme patofisiologi keadaan ini

secara pasti masih belum dapat diketahui hingga saat ini. (2,4)

1
Stenosis pilorus hipertrofi menunjukan contoh dramatik dari masalah

serius dalam bayi muda,yang dapat secara cepat dan aman dikoreksi dengan

intervensi bedah. (6)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Pilorus adalah penghubung antara gaster dan duodenum,yang


mempunyai otot cincin (sphincter) yang mengatur bolus maakana yang
masuk dari gaster ke duodenum.(7)

Stenosis Pilorus Hipertrofi Kongenital (SPHK) adalah kondisi

bedah yang cukup banyak ditemui pada masa bayi awal dengan adanya

hipertrofi otot polos pilorus pada lapisan sirkulernya, terbatas pada

lingkaran pilorus dan jarang berlanjut ke otot gaster. Hal ini

menyebabkan penyempitan kanal pilorus ( 1,5)

Gambar 1: Anatomi gaster normal dan pyloric stenosis

3
Gambar 2: Stenosis Pylorus Hipertrofi.

2. Epidemiologi
Penderita laki-laki lebih banyak ditemukan daripada perempuan

dengan perbandingan sekitar 4 : 1, dimana anak laki-laki pertama memiliki

resiko yang lebih tinggi untuk mengalami keadaan ini. Riwayat keturunan

dalam keluarga dianggap berkaitan dimana didapatkan orang tua (ibu atau

ayah) yang pernah mengalami suatu Stenosis Pilorus Hipertrofi (SPH)

dengan insiden 1: 200 kelahiran hidup dalam ras Kaukasus dan 1 : 2000

kelahiran hidup dalam kulit hitam.. Ada riwayat keluarga positif bagi

stenosis pilorus dalam 6,9 persen dan ibu yang terkena, mempunyal

kesempatan empat kali lebih besar untuk menurunkan stenosis pilorus

hipertrofi kongenital pada keturunanya dibandingkan bila yang terkena

ayah. (5,6)

4
3. Embriologi

Permulaan suatu saluran cerna terbentuk dari lipatan embrio ke

arah lateral dan cranio-caudal selama masa kehamilan pada minggu ketiga

dan empat. Selama proses ini, permulaan lapisan endodermal membentuk

saluran bagian inferior yang dikelilingi oleh splanchnicus mesodermal.

Kemudian differensiasi endodermal ke bagian permukaan, epitel grandular

sel, differensiasi mesodermal ke dalam otot polos, dan perlekatan dengan

peritoneal akan muncul pada minggu enam atau delapan masa kehamilan

disertai pertumbuhan dari sel-sel neuroendokrin lambung. (4,5,8)

Secara nyata, lambung dimulai sebagai dilatasi dari usus bagian

depan, yang muncul pada sekitar minggu 4 masa gestasi. Lambung dan

dudodenum menggantung diantara bagian posterior dan anterior dinding

perut oleh mesenterium bagian dorsal dan ventral. Selama minggu 6-10

masa gestasi lambung berotasi menjadi dua bagian. Rotasi 90 derajat

muncul disekitar axis longitudinal yang searah jarum jam. Proses ini

kemudian membentuk lengkungan dari lambung ke arah inferior dan

sebelah kiri midline. Hubungan antara esofagus dan lambung

(Gastroesophageal Junction) terletak di bagian superior ke arah kiri,

pilorus berpindah letak secara inferior ke kanan midline, kemudian

mesogastrium dorsal menjadi ligamentum gastroplenikum, omentum, dan

akhirnya membentuk ligamentum gastrohepatikum. Rotasi yang kedua

adalah ke arah vagal trunk menghasilkan vagus kiri menginervasi dinding

5
lambung anterior dan hepar, sedangkan vagus kanan menginervasi dinding

lambung posterior, usus halus, dan retroperitoneum. (4,5,8)

Gambar 3. A, B, dan C, Rotasi lambung muncul disekitar axis


longitudinal searah jarum jam. D dan E. Rotasi lambung disekitar
axis anteroposterior

4. ANATOMI

Lambung ( Gaster,ventrikulus,stomach) berada di kiri atas rongga

perut ( kavitas abdominis ) di sebelah bawah diafragma yang berbentuk

kantong dengan dua permukaan,yaitu fasies anterior dan fasies posterior

gaster. Sisi atas gaster disebelah medial kardia berbentuk lengkuk yang

konkaf,dinamakan kuevutura minor, Sisi atas gaster dilateral kardia

6
dinamakan fundus gaster. Fundus berlanjut kearah bawah menjadi

menjadi sisi bawah gaster yang berbentuk lengkuk yang

konveks,dinamakan kuevutura major gaster. Terdapat pilorus yang

merupakan daerah sfingter yang menebal disebelah distal untuk

membentuk musculus sphincter pilori guna mengatur pengosongan isi

pengosongan isi gaster melalui ostium pyloricum ke dalam duodenum.( 7,9)

Lambung terdiri dari beberapa bagian, yaitu : cardia yang

mengelilingi gastroesophageal junction, tiga perempat bagian

proksimalnya terdiri atas fundus yang membangun chephalad dari

gastroesophageal junction , corpus yang merupakan bagian terbesar dari

lambung, yang berfungsi sebagai penampung makanan serta tempat

produksi asam lambunng dan pepsin serta antrum.yang bekerja

mencampur maakanan dan mendorongnya ke deudonum serta

memproduksi gastrin.(4,5)

Gambar 4. Anatomi Lambung

7
Lambung tersusun atas lapisan serosa, lapisan otot longitudinal,

lapisan otot sirkular, lapisan submukosa, dan lapisan mukosa. Selain itu

terdapat berkas tipis serabut-serabut otot polos yaitu otot mukosa, yang

terletak di lapisan paling dalam dari mukosa.. Dinding lambung neonatus

sangat tipis pada permulaannya, namun akan tumbuh dan berkembang

dengan cepat pada periode postnatal sebagai respon terhadap aktivitas

pergerakan lambung berhubungan dengan pemberian makanan melalui

mulut. (4,5,10)

Gambar 5: Potongan melintang dari dinding usus (10)

Ciri yang cukup menonjol pada anatomi lambung adalah peredaran

darahnya yang sangat kaya yang berasal dari tempat jurusan berupa

asteri besar yang berada di karvatura mayor dan minor serta didalam

dinding lambung. Di belakang dan tepi medial duodenum juga terdapat

arteri besar yakni arteri gastroduodenalis.(4,5)

8
Vena lambunng bermuara ke vena porta. Peredaran vena ini kaya

sekali dengan hubunngan kolateral ke organ yang memiliki hubungan

embrional dengan lambung dan duodenum. Persarafan simpatis lambung

dibawa oleh serabut saraf yang menyertai arteri. Impuls nyeri dihantarkan

melalui serabut aferen saraf simpatis. Serabut saraf parasimpatis berasal

dari N.Vagus dan mempersarafi sel parietal di fundus dan korpus lambung.

Sel ini menghasilkan asam lambung. N. vagus anterior (sinistra)

memberikan cabang ke kandung empedu, hati, antrum sedangkan n.vagus

posterior (dextra) memberikan cabang ke ganglion seliakus untuk visera

lain diperut dan ke antrum. (4,5)

5. ETIOLOGI

Penyebab pasti dari SPHK belum dapat diketahui secara pasti

hingga saat ini. Berdasarkan beberapa penelitian yang mendapatkan

meningkatnya angka resiko SPHK berkaitan dengan hubungan keluarga

yang diduga secara kuat bahwa faktor genetik berperan dalam kejadian

SPHK. Selain itu, SPHK dilaporkan pula berkaitan dengan pola makan,

stress maternal dimana terjadi kecemasan berlebihan pada ibu hamil yang

akan melahirkan bayi pertamanya dapat meningkatkan aktivitas nervus

vagus untuk menghasilkan hormon gastrin diduga mencetuskan terjadinya

SPHK pada bayi yang akan dilahirkannya, (1,3,5)

Terdapat bukti bahwa adanya predisposisi genetik untuk

perkembangan kondisi ini. Saudara kandung dari pasien dengan SPHK 15

kali lebih mungkin untuk terkena kondisi ini daripada anak tanpa riwayat

9
keluarga SPHK. Penyebab dari hipertrofi otot sirkuler pada pilorus masih

belum jelas. Asal mulanya neurogenic didukung adanya temuan reduksi

saraf non adrenergic,non kolinergik inhibitorik, terutama yang

mengandung nitric oxide synthase dan beberapa neuropeptide seperti

substansi P dan vasoactive intestinal peptide. Sel – sel pendukung saraf,

sel-sel interstisial Cajal ( sel-sel pacemaker ) dan faktor pertumbuhan

saraf semuanya defisien pada stenosis pilorikum (1)

6. PATOLOGI

Kelainan yang mendasari terjadinya suatu SPHK masih belum

dapat dijelaskan secara pasti hingga saat ini. Dari penelitian prospektif

membuktikan didapatkan adanya hipertrofi pada otot pilorus dimana hal

ini mengakibatkan terbentuknya suatu massa fusiform ataupun bulbous..

Pemberian infus gastrin pascanatal menimbulkan lesi serupa pada bayi

kucing ,yang mengisyaratkan bahwa gastrenemia mungkin memiliki

peran etiologic yang penting Kadar gastrin meningkat pada pada

neonates. Selain itu infus prostaglandin E2 yang digunakan untuk

mempertahankan kepatenan duktus arteriosus pada anomali jantung

tertentu ,dikatakan berkaitan dengan peningkatan insidensi stenosis pilorus

hipertrofi infantilis. Penelitian terakhir juga memperlihatkan kekurangan

relative nitrat oksida ( suatu pelemas otot polos ) sintase diotot yang

mengalami hipertrofi. serta iritasi mekanik juga dapat mengakibatkan

penebalan mukosa sehingga terjadi pengurangan ukuran pembukaan

pilorus. Menurut teori stenosis pilorik hipertrofik disebabkan oleh

10
kegagalan perkembangan dan degenerasi ganglion dan serabut saraf

Kemungkinan besar, hal inilah yang menyebabkan gejala-gejala obstruksi

tidak tampak sampai pasien berusia sekitar dua atau tiga minggu postnatal

walaupun dianggap bahwa pembesaran otot pilorus telah ada sejak lahir.
(2,3.11.12)

(Kepustakaan 4)

Gambar 6. Antrum pilorum pada CHPS. Tampak


penebalan otot pada lumen pilorus (tanda panah)

11
(kepustakaan 2)
Gambar 7. Spesimen Histopatologi pasien dengan SPHK (H and
E x 25) Tampak adanya hyptrofi mukosa yang ditandai dengan adaya
elongasi dan percabangan (panah hitam), serta tampak terjadinya
edema pada lamina propia
(panah putih)

(Kepustakaan 2)

Gambar 8. Spesimen Histopatologi pasien dengan SPHK (H and E


x 6,25) Tampak mukosa yang hiperplastik dengan pinggiran kripte dan
pembesaran sel epitel dengan sitoplasma supranuclear (panah).

12
7. DIAGNOSIS

A. Anamnesa

Onset manifestasi klinis dari SPHK sangat jarang muncul segera

setelah kelahiran (awal kelahiran) biasanya gejala akan tampak paling

cepat pada hari ke empat atau ke lima postnatal dan paling lama dalam

jangka waktu 5 bulan postnatal. Dari beberapa penelitian didapatkan hanya

sekitar 4 % kasus SPHK dengan onset manifestasi klinis pada usia

dibawah 3 bulan. Muntah merupakan gejala klinis yang khas terjadi pada

SPHK Pada permulaan timbulnya muntah sedikit lebih sering daripada

regurgitasi setelah makan dan bersifat tidak menyemprot (proyektil),

kemudian dalam waktu yang cukup singkat frekuensi muntah yang

awalnya tidak terlalu sering akan timbul hampir setiap saat setelah bayi

diberi makan dimana muntahnya bersifat menyemprot (proyektil) mulai

umur 2-3 minggu, muntah tidak pernah berwarna hijau (nonbilious

vomiting ). Bayi senantiasa menangis sesudah muntah dan akan muntah

kembali setelah makan. Cairan muntah jarang disertai darah, namun hal ini

dapat ditemukan jika terjadi rupturnya pembuluh kapiler kecil pada

mukosa lambung akibat muntah yang berulang. Bayi biasanya tampak

sangat kelaparan karena setiap makanan yang masuk akan selalu

dimuntahkan kembali. Dengan demikian akan terjadi penurunan dalam

kualitas pemberian intake oral yang mengakibatkan bayi mengalami

dehidrasi ringan sampai berat sehingga terjadi penurunan berat badan yang

cepat, susah buang air besar (konstipasi) dan kurangnya produksi kencing.

13
Kebanyakan bayi dengan SPHK dibawa ke rumah sakit sudah dalam

keadaan dehidrasi yang cukup berat sehingga membutuhkan penanganan

segera resusitasi cairan yang adekuat. (1,3,4,5,6,12,13)

B. Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis inspeksi abdomen diamati adanya gerakan

peristaltik lambung terlihat di perut bagian atas dan teraba “tumor” di

daerah epigastrium atau hipokondrium kanan, biasanya selama dan setelah

pemberian intake oral. Gerakan peristaltik lambung akan terlihat berjalan

dari perut bagian kuadran atas sebelah kiri ke kanan. Selain itu perut bayi

sering tampak distended terutama setelah pemberian makan. Pada

pemeriksaan palpasi abdomen di kuadran atas sebelah kanan dengan

menggunakan satu jari dapat dirasakan adanya pembesaran pada pilorus

yang teraba seperti "Olive" (bentuk buah zaitun) yang khas ditemukan

pada kasus SPHK. (1,3,4,5,6,12,13)

Gambar 8. Sesuai gambaran hypertrofi pilori stenosis

14
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis SPHK ditegakkan berdasarkan anamnesa yang jelas dan

lengkap. Anamnesa dapat dilakukan secara allo-anamnesa melalui orang

tua/keluarga pasien yang mengetahui persis tentang keadaan pasien yang

sebenarnya. Kemudian dilanjut dengan ditemukannya tanda-tanda khas

pada pemeriksaan fisis yang sesuai dengan gambaran suatu CHPS seperti

yang telah dijelaskan diatas. Setelah anamnesa dan pemeriksaan fisis,

beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan. Pemeriksaan radiologi

merupakan pemeriksaan penunjang pilihan guna menentukan diagnosis

suatu SPHK. Terdapat berbagai macam jenis pemeriksaan radiologi yang

dapat digunakan saat ini, namun yang menjadi pemeriksaan pilihan untuk

kasus SPHK diantaranya adalah sebagai berikut: (1,2,3,4,5,6,13)

1. Foto Abdomen

Foto abdomen merupakan jenis pemeriksaan radiologi yang paling

sederhana untuk membantu diagnosis suatu SPHK dan telah digunakan

sejak lama sebelum ditemukannya metode sonografi hingga saat ini. Pada

pemeriksaan foto abdomen tanpa kontras akan tampak lambung yang

besar, dilatasi dan berisi gas disertai gas yang relatif sedikit pada

intestinum dibawah pilorus. Jika keadaan lambung sulit dinilai dengan foto

polos maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan foto abdomen dengan

menggunakan kontras GI barium yang ditambahkan pada makanan

formula yang merupakan diagnosis paling definitif. Dengan adanya

kontras dapat terlihat lambung yang jelas membesar dengan ujung yang

15
agak membulat karena antrum yang menggembung dan membengkok.

Yang sering terjadi pada banyak kasus adalah material kontras tampak

berjalan melalui lebih dari satu mukosa pembungkus sehingga tampak

tanda “double track” yang dianggap sebagai suatu pylorospasme yang

merupakan salah satu diagnosis banding SPHK.(1,12)

(Kepustakaan 2)

Gambar 9. Hipertrofi Pilori Stenosis, foto abdomen dengan


kontras, tampak double track sign (panah hitam), A = Antrum

2. Ultrasonography (USG)

USG merupakan pemeriksaan radiologi pilihan dalam

mengevaluasi suatu SPHK. Pilorus diamati secara longitudinal dan

transversal. Tanda untuk SPHK pada pemeriksaan USG dapat diamati

melalui panjang pilorus,diameter pilorus, dan penebalan otot pilorus.

Kriteria diagnosis SPHK adalah jika diameter pilorus lebih dari 14 mm

penebalan ototnya lebih dari 4 mm, sedangkan panjang pilorus 16 mm.

16
Dengan pemeriksaan USG juga dapat di observasi aktivitas peristaltik

yang membedakan antara SPHK yang sebenarnya dengan suatu

pylorospasme. (1,2,12,13)

Gambar 10. Longitudinal


Sonogram, bayi laki-laki
dengan SPHK. Tampak dua
lapisan, yaitu mukosa yang
menebal (panah putih) yang
dikelilingi komponen otot (panah
hitam putih). Mukosa tampak
masuk ke dalam dan dibentuk
batasnya oleh cairan pada
antrum.
(Kepustakaan 2)

Gambar 11. Transversal


Sonogram, bayi laki-laki
dengan SPHK. Tampak mukosa
pembungkus pilorus yang
berlebihan (panah putih) diantara
komponen otot pilorus (panah
hitam putih)

(Kepustakaan 2)

3. Endoskopi Saluran Cema Atas

Berdasarkan beberapa penelitian terbaru dikatakan bahwa

endoskopi dapat digunakan untuk evaluasi lebih jauh keadaan lumen

17
pilorus pada SPHK, Kriteria diagnosa SPHK pada endoskopi adalah

berupa penyempitan (cauliflower like) pada jalan masuk didaerah pilorus.

Endoskopi merupakan pemeriksaan tambahan yang dapat digunakan

dalam suatu keadaan dimana pemeriksaan radiologi yang sebelumnya

tidak dapat dipastikan dan bayi datang dengan manifestasi klinis yang

atipikal untuk suatu SPHK. (2,4)

(Kepustakaan

(a) (b)

Gambar 11 (a). Gambaran Gambar 11 (b). Endoskopi


endoskopi pilorus yang pasien dengan SPHK tampak
membuka secara normal mukosa pilorus (M) masuk ke
dalam antrum pilorus (A)

18
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Dalam keadaan dimana pemeriksaan sonography sulit dinilai

akibat berbagai macam hal, seperti penumpukan gas yang berlebihan

dilambung, maka pemeriksaan MRI dapat dilakukan guna membantu

menunjang diagnosis, walaupun hingga saat ini MRI masih sangat jarang

digunakan untuk mendiagnosis SPHK mengingat biaya pemeriksaan yang

relatif mahal dan pemeriksaan gastrointestinal pada bayi dapat dibilang

cukup susah dilakukan dengan MRI. (11,12)

(Kepustakaan 12)

(a) (b) (c)

Gambar 12. Hasil MRI pada pasien dengan SPHK.


Tampak dilatasi dari lambung dan hipertrofi pilorus
(a). Potongan Axial, HASTE (HALF-fourier single shot Turbo spin Echo)
(b). Potongan sagital
(c). Potongan Coronal, TSE

19
8. PENATALAKSANAAN

Bayi dengan diagnosis SPHK biasanya datang ke rumah sakit

dalam keadaan dehidrasi sedang-berat akibat muntah hebat yang berulang

dan terus-menerus. Bayi dengan ketidakseimbangan elektrolit ataupun

dehidrasi yang berat membutuhkan penanganan berupa koreksi elektrolit

dan cairan secepatnya. Koreksi alkemia dan hipokalemia merupakan hal

penting sebelum pembedahan, yang bersifat bukan darurat dan dilakukan

hanya setelah pasien stabil. Berdasarkan beratnya dehidrasi, bayi biasanya

diresusitasi dengan solusi normal saline hampir dua kali lipat dari volume

maintenance sampai bayi buang air. Kemudian ditambahkan potassium ke

cairan intravenous yang telah diubah menjadi setengah volume normal

saline pada 1,5 kali maintenance. Tindakan resusitasi cairan dan elektrolit

kemungkinan besar membutuhkan waktu hingga 48 jam atau lebih.

Pemasangan NGT juga dihindari karena dapat mengakibatkan kehilangan

elektrolit yang lebih banyak lagi. Ketika dehidrasi dan ketidakseimbangan

elektrolit telah teratasi dengan-baik oleh tindakan resusitasi yang adekuat,

maka pasien siap untuk menjalani terapi pembedahan. Sedangkan bayi

dengan dehidrasi yang kurang dari 5% dan tidak mengalami gangguan

elektrolit merupakan kandidat untuk menjalankan terapi bedah tanpa

penundaaan.(1,12)

Sampai saat ini penatalaksanaan bedah berupa pyloromyotomi

merupakan terapi standar dalam menangani keadaan SPHK karena

bersifat kuratif dan memiliki angka mortalitas 0,0 -0,5 % dan insendensi

20
1 %. dan diawali dengan tindakan resusitasi cairan yang adekuat.

Pyloromyotomi diperkenalkan oleh Fredet Ramstedt (1912) . Teknik

Ramstedt dimulai dengan insisi transversal kuadran kanan atas sekitar 2,5

cm sampai 3 cm dibuat pada atau di lateral dari musculus rectus

abdominis dan tepat di atas tepi hepar. Lapisan fascia dipisahkan secara

transversal ,dan bisa diretraksi ke lateral atau di pisah secara lonngitudial

di tengah. Alternatif dari pendekatan ini adalah insisi kulit supraumbilikal

melengkung diikuti dengan pemirahan fascia line mediana ke superior 1-

2 cm Tepi hepar di retraksi ke superior untuk memaparkan kurvutura

mayor gaster (dekat dengan pilorus), yang diraih dengan klaim

noncrushing dan dibawa keluar melalui insisi. Kassa dipergunakan untuk

meraih gaster, dan dengan traksi ke arah inferior dan lateral, pilorus bisa

dikeluarkan melalui insisi. Peralihan duodenum atau pilorus secara

langsung dengan forceps dapat menyebabkan cidera atatu perforasi

struktur- struktur ini dan oleh karena itu harus dihindari . Serosa pada

dinding anterior dari pilorus yang hipertrofi di insisi dengan scalpel dari

area otot hipertrofi distal dari juctio antral- pilorus proksimal dari vena

pilorus . Bagian belakang dari gagang scalpel dipergunakan untuk

menyelesaikan miotomi dengan pemisahan otot hipertrofi ke submukosa

secara tumpul. Pengecekan kebocoran dengan hati- hati harus dilakukan

dari gaster dan duodenum sebelum mengembalikan pilorus ke ruang

peritoneal. Pendarahan dari tepi otot pilorus atau permukaaan

21
submukosa biasanya berasal dari vena dan hamper selalu akan berhenti

setelah mengembalikan gaster dan piilorus ke ruang peritoneal (1, 12

Jika terjadi penembusan ke lumen selama piloromiotomi,

submukosa harus didekatkan dengan jahitan absorbable halus satu- satu

dan sebagian dari omentum ditempatkan di lokassi ini. Alternatif yang

lebih jarang diperlukan adalah pendekatan kembali lokasi miotomi pada

dinding posterior pilorus. Lapisan – lapisan fascia dari dinding abdomen

ditutup dengan jahitan absorbable menyambung. Kulit ditutup dengan

jahitan subkutiler dan Steri- Strips dan ditutup dengan dressing Op-Site (1)

(kepustakaan 1)
Gambar 13. Teknik Ramstedt, Pyloromyotomi. Insisi diatas
Serosa pilorus yang hipertrofi dan seluruh otot yang hipertrofi
dipisahkan

Seiring dengan kemajuan dalam dunia kedokteran terutama dalam

ilmu bedah, maka teknik operasi yang lebih cepat dan sederhana semakin

dikembangkan diantaranya adalah teknik pyloromyotomi dengan

22
laparoskopi. Untuk teknik pilorotomi laparoskopik, sebuah kanula 3-5

mm dimasukan melalui umbilicus dan insuflasi pada tekanan 10 mmhg.

Melalui insisi tusuk di kuadran kanan atas, grasper usus atraumatik

dimasukkan untuk memegang dan menstabilisasi duodenum. Pisau

arthrotomy dan spreader pilorus dimasukan melalui insisi tususk pada

kuadran kiri atas. Dengan laparoskopi tindakan operasi menjadi lebih

mudah, praktis, sederhana, cepat, dengan biaya yang terjangkau. (1)

surgical

(kepustakaan 15)

Gambar 14. Laparoskopi Pyloromyotomi

9. PROGNOSIS

Dengan penanganan yang tepat maka SPHK dapat diatasi dengan

baik. Secara keseluruhan angka kematian hanya sekitar 0,3%. Komplikasi

yang sering terjadi adalah pasca tindakan operasi, seperti perforasi

23
lambung/duodenum ataupun pemisahan serat otot yang tidak bagus.

Namun dengan diagnosis awal dan manajemen penatalaksanaan yang tepat

didukung penanganan pre-operatif dan post-operatif yang adekuat maka

komplikasi ke keadaan yang lebih buruk dapat dihindari. Setelah

pembedahan bayi masih sekali-sekali muntah, sembuh sempurna setelah 2-

3 hari pasca bedah.SPHK merupakan prognosis baik untuk jangka

panjangnya (2,3,12)

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Gaol,Leecarlo M.. Lumban. Ilmu Bedah Anak Kasus Harian UGD,

Bangsal & Kamar Operasi. EGC: Jakarta. 2016

2. Schulman HM, Lowe HL, et al. In Vivo Visualization of Pyloric Mucosal

Hypertrophy in Infants with Hypertrophic Pyloric Stenosis. AJR 2001;

177:843-848. [Online]. 2001 April 19. [Cited 2018 Februari]. Available

from: http://www.ajronline.org .

3. Staf pengajar FKUI. Stenosis Pilorik Hipertrofi. Dalam: Kumpulan

Kuliah Ilmu Bedah. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:

Jakarta.2008.

4. Sjamsuhidajat, R. Buku Ajar Bedah Sistem Organ dan Tindakan

Bedahnya. EGC : Jakarta. 2017.

5. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.2004.

6. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah Bagian 2. EGC : Jakarta. 1994.

7. Setia Budi Zain, M. Anatomi Sistem Regional & Perkembangan. EGC :

Jakarta. 2012.

8. Sobota. Atlas Anatomi Manusia Organ- Organ Dalam. EGC : Jakarta.

2012.

9. Moore,Keith L. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates : Jakarta. 2002

10. Guyton, Arthur.Prinsip- prinsip Umum Fungsi Gastrointestinal- Motilasi,


Pengaturan Saraf, dan Sirkulasi Darah. Dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran 11 th Edition. EGC: Jakarta. 2007

25
11. Persson S, Ekbom A, Granath F, Nordenskjold A. Parallel Incidences of

Sudden Infant Death Syndrome and Infantile Hypertrophic Pyloric

Stenosis: A Common Cause?. Pediatrics 2001;108;e70. [On Line] 2008.

12. Alpers, Ann. Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 2. EGC : Jakarta.

2006.

13. Bernstein Daniel. Ilmu Kesehatan Anak. EGC : Jakarta. 2016

14. Arslan H, Bay A, et al. Hypertropic Pyloric Stenosis MR Findings. Eur J

Gen Med 2006; 3(4): 186-189. [On Line] 2006. [2018 Februari].

Available from : http://pediatrics.aappublications.org

15. Kaneshiro Neil K. Pyloric stenosis, Congenital hypertrophic pyloric


stenosis; Hypertrophic pyloric stenosis; Gastric outlet obstruction. [Cited
On Januari 2013]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/

26

You might also like