You are on page 1of 32

Perang Iran-Irak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perang Iran-Iraq

Prajurit Iran dengan masker gas di medan


pertempuran

Tanggal 22 September 1980–20


Agustus 1988

Lokasi Teluk Persia, Perbatasan Iran-Iraq

Hasil Jalan buntu;


Kegagalan strategis Iraq;
Kegagalan taktis Iran; Gencatan
senjata dengan mandat PBB; status
quo ante bellum; Pengutukan
kepada Iraq oleh PBB; Iran
temporarily holds onto the Shatt al-
Arab waterway

Casus belli Perselisihan jalur air Syath al-Arab;


Perselisihan batas historis dan
teritorial; Ketakutan
rejim Ba'ath Irak terhadap ancaman
Iran; Ketakutan terhadap
kebangkitan Syi'ah di
selatan Irak karena Revolusi Islam
Iran tahun 1979.
Perubahan Kedua pihak kembali ke batas
wilayah sebelum perang

Pihak yang terlibat

Iran Irak
Persatuan Patriot
Mujahidin Rakyat
Kurdistan
Iran

Komandan

Ruhollah Khomeini Saddam Hussein


Hashemi Rafsanjani Ali Hassan al-
Ali Shamkhani Majid
Mustafa Chamran

Kekuatan

305.000 prajurit 190.000 prajurit


500.000 Pasdaran dan 5.000 tank
Milisi Basij 4.000 kendaraan berat
900 tank 7.330 artileri
1.000 kendaraan berat 500+ pesawat,
3.000 artileri 100+ helikopter[2]
470 pesawat
750 helikopter[1]

Korban

Diperkirakan 500,000- Diperkirakan 375,000-


750,000 500,000
prajurit/milisi/sipil prajurit/milisi/sipil
terbunuh atau luka terbunuh atau luka

[tampilkan]

l
b

Perang Iran–Irak

[tampilkan]

Perang mutakhir di Teluk Persia

Perang Iran-Irak juga dikenali sebagai Pertahanan Suci dan Perang Revolusi Iran di Iran, dan Qadisiyyah
ّ ّ
Saddam (‫قادسية‬ ‫صدام‬, Qādisiyyat Saddām) di Irak, adalah perang di antara Irak dan Iran yang bermula
pada bulan September 1980 dan berakhir pada bulan Agustus 1988. Umumnya, perang ini dikenali
sebagai Perang Teluk Persia sehingga Konflik Iraq-Kuwait meletus pada awal 1990-an, dan untuk
beberapa waktu dikenali sebagai Perang Teluk Persia Pertama.

Peperangan ini bermula ketika pasukan Irak menerobos perbatasan Iran pada 22 September 1980 akibat
masalah perbatasan yang berlarut-larut antara kedua negara dan juga kekhawatiran Saddam
Hussein atas perlawanan Syiah yang dibawa oleh Imam Khomeini dalam Revolusi Iran. Walaupun Irak
tidak mengeluarkan pernyataan perang, tentaranya gagal dalam misi mereka di Iran dan akhirnya
serangan mereka dapat dipukul mundur Iran. Walaupun PBB meminta adanya gencatan senjata,
pertempuran tetap berlanjut sampai tanggal 20 Agustus 1988; Pertukaran tawanan terakhir antara
kedua negara ini terjadi pada tahun 2003. Perang ini telah mengubah wilayah dan situasi politik global.

Perang ini juga memiliki kemiripan seperti Perang Dunia I. Taktik yang digunakan seperti pertahanan
parit, pos-pos pertahanan senapan mesin, serangan dengan bayonet, penggunaan kawat berduri,
gelombang serangan manusia serta penggunaan senjata kimia(seperti gas mustard) secara besar-
besaran oleh tentara Irak untuk membunuh pasukan Iran dan juga penduduk sipilnya, seperti yang
dialami juga oleh warga suku Kurdi di utara Irak. Dalam perang ini dipercaya lebih dari satu juta tentara
serta warga sipil Irak dan Iran tewas, dan lebih banyak lagi korban yang terluka dari kedua belah pihak
selama pertempuran berlangsung.

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]

Asal Usul Sejarah[sunting | sunting sumber]

Walaupun perang Iran-Irak yang dimulai dari tahun 1980-1988 merupakan perang yang terjadi di
wilayah Teluk Persia, akar dari masalah ini sebenarnya dimulai lebih dari berabad-abad silam. Berlarut-
larutnya permusuhan yang terjadi antara kerajaan Mesopotamia(terletak di lembah sungai Tigris-Eufrat,
yang kini menjadi sebuah negara Irak modern) dengan kerajaan Persia atau negara Iran modern.

Perang Irak-Iran, Panggung Modern Konflik Arab-Persia

Peta lokasi dari Irak & Iran. (Sumber)

Timur Tengah bisa dibilang sebagai tanah penuh anugerah & bencana. Alasannya jelas, mayoritas
wilayah Timur Tengah memiliki kandungan minyak di dalamnya yang bernilai tinggi & berguna untuk
memenuhi kebutuhan energi masyarakat dunia. Selain itu, secara geografis letak Timur Tengah juga
sangat strategis karena terletak di antara 3 benua utama : Eropa, Asia, & Afrika. Di sisi lain, berkah dari
Timur Tengah juga menyebabkan daerah ini penuh pergolakan karena benturan kepentingan & iming-
iming kekayaan. Salah satu dari sekian banyak konflik di Timur Tengah adalah Perang Irak-Iran.

Perang Irak-Iran (dikenal juga dengan nama Perang Teluk I, untuk membedakannya dengan perang di
Irak & Kuwait pada tahun 1991) adalah perang yang berlangsung pada tahun 1980 - 1988 antara Irak
melawan Iran. Baik Irak maupun Iran sama-sama mengklaim kemenangan dalam perang tersebut di
mana pada awalnya Irak melakukan penyerbuan ke wilayah Iran, namun kemudian Irak berhasil dipukul
mundur & selanjutnya Iran yang berbalik menyerbu wilayah Irak sebelum PBB menyerukan gencatan
senjata. Perang tersebut bisa dibilang merupakan salah satu perang modern paling berdarah di Timur
Tengah di mana jumlah korban tewas mencapai 1 juta jiwa lebih & mayoritasnya merupakan warga Iran.

LATAR BELAKANG

Ada beberapa hal yang disebut-sebut memicu meletusnya perang antara Irak melawan Iran di mana hal-
hal tersebut menyangkut berbagai aspek, utamanya aspek politik & sektarian :

1. Sengketa Atas Shatt al-Arab & Khuzestan

Peta dari Shatt al-Arab. (Sumber)

Shatt al-Arab adalah sungai sepanjang 200 km yang terbentuk dari pertemuan Sungai Efrat & Tigris di
kota Al-Qurnah, Irak selatan, di mana bagian akhir dari sungai yang mengarah ke Teluk Persia tersebut
terletak di perbatasan Irak & Iran. Sungai tersebut utamanya penting bagi Irak karena merupakan jalan
keluar utama negara tersebut ke arah laut.

Karena letaknya yang berada di perbatasan & posisi strategisnya yang mengarah ke Teluk Persia, sungai
tersebut menjadi bahan sengketa Irak & Iran. Sebelum perang antara kedua meletus, sejak tahun 1975
sungai tersebut menjadi milik kedua negara di mana batasnya adalah pada titik terendah sungai
berdasarkan Persetujuan Aljier (Algier Accord).

Wilayah lain yang menjadi sengketa kedua negara adalah provinsi Khuzestan yang kaya minyak. Wilayah
tersebut selama ini menjadi wilayah Iran, namun sejak tahun 1969 Irak mengklaim bahwa Khuzestan
berada di tanah Irak & wilayah tersebut diserahkan ke Iran ketika Irak dijajah oleh Inggris. Lebih lanjut,
stasiun TV milik Irak bahkan memasukkan Khuzestan sebagai wilayah Irak & menyerukan warga Arab di
sana untuk memberontak melawan Iran.

2. Munculnya Revolusi Islam di Iran


Tahun 1979 merupakan tahun terpenting dalam sejarah Iran modern hingga menjadi seperti Iran
sekarang. Di tahun itu, terjadi revolusi pemerintahan di mana rezim kerajaan Pahlevi yang dianggap
sebagai rezim boneka AS tumbang & digantikan oleh sistem republik Islam. Pasca revolusi tersebut,
muncul kekhawatiran di kalangan nasionalis Arab & Muslim Sunni bahwa revolusi tersebut akan
menyebar ke negara-negara Arab di sekitarnya. Kekhawatiran terbesar terutama datang dari Irak yang
wilayahnya memang bersebelahan dengan Iran & memiliki penganut Syiah berjumlah besar di
wilayahnya.

Ayatullah Rohullah Khomeini. (Sumber)

Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Islam di Iran, memang memiliki impian untuk menyebarkan
pengaruh revolusinya ke negara-negara Arab lainnya. Pertengahan tahun 1980, Khomeini menyebut
bahwa pemerintahan sekuler Irak adalah pemerintahan "boneka setan" & masyarakat Muslim di Irak
sebaiknya bersatu untuk mewujudkan revolusi Islam seperti di Iran. Pernyataan Khomeini tersebut
sekaligus sebagai respon dari pernyataan Saddam pasca revolusi Islam Iran yang menyatakan bahwa
bangsa Persia (Iran) tidak akan berhasil membalas dendam kepada bangsa Arab sejak Pertempuran al-
Qadisiyyah, pertempuran pada abad ke-7 yang dimenangkan oleh bangsa Arab sekaligus
menumbangkan Kerajaan Persia kuno.

Irak di bawah kendali Saddam Hussein & Partai Baath memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan dominan
di wilayah Arab di bawah bendera pan-Arabisme sejak meninggalnya Presiden Mesir, Gamal A. Nasser.
Revolusi Islam yang terjadi di Iran tersebut dianggap sebagai penghalang karena bertentangan dengan
prinsip nasionalisme sekuler Arab. Selain untuk mencegah menyebarnya revolusi Islam, Irak juga
berusaha mengambil keuntungan dengan kondisi internal Iran yang tidak stabil pasca revolusi Islam
untuk merebut wilayah-wilayah yang menjadi bahan sengketa dengan Iran & menambah sumber minyak
Irak.

3. Percobaan Pembunuhan Terhadap Pejabat Irak


Pertengahan tahun 1980, terjadi percobaan pembunuhan kepada Deputi Perdana menteri Irak, Tariq
Aziz. Irak kemudian menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat atas percobaan pembunuhan
tersebut & mendeportasi ribuan warga Syiah berdarah Iran keluar dari Irak. Pemimpin Irak, Saddam
Hussein, menyalahkan Iran sambil menyebut ada agen Iran yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Peristiwa itu selanjutnya semakin memanaskan hubungan kedua negara hingga akhirnya pada bulan
September 1980, Irak melancarkan serangannya ke Iran.

TAHUN 1980 - 1982 : PENYERBUAN OLEH IRAK

Iring-iringan tank pasukan Irak saat


menerobos perbatasan Iran. (Sumber)

Ada 2 sasaran Irak dalam serangannya ke Iran : menguasai wilayah-wilayah strategis serta kaya minyak
di Iran & mencegah tersebarnya revolusi Islam ke negara-negara sekitarnya. Dalam serangannya, Irak
menginginkan kemenangan cepat atas Iran dengan memanfaatkan situasi internal Iran yang masih
belum stabil pasca revolusi Islam. Irak juga berharap kalau masyarakat di Iran akan menyalahkan
pemerintahan baru negaranya sehingga sebagian dari mereka - terutama dari golongan Arab Sunni -
kemudian akan membelot kepada Irak.

Tanggal 22 September 1980, jet-jet tempur Irak menyerang 10 pangkalan udara milik Iran dengan tujuan
menghancurkan pesawat tempur Iran di darat, taktik yang dipelajari dari kemenangan Israel atas Arab
dalam Perang 6 Hari. Serangan dari pasukan udara Irak berhasil menghancurkan gudang amunisi & jalur
transportasi darat, namun sebagian besar pesawat Iran tetap utuh karena terlindung dalam hanggar
yang terlindungi secara khusus. Kegagalan Irak menghancurkan pesawat-pesawat tempur Iran dalam
serangan kejutan tersebut memberi peluang bagi Iran untuk melancarkan serangan udara balasan ke
Irak.

Sehari kemudian, Irak melakukan serangan darat ke wilayah Iran dari 3 front sekaligus. Inti dari serangan
tersebut adalah untuk menguasai Khuzestan & Shatt al-Arab di mana 4 dari 6 divisi pasukan Irak dalam
penyerbuan dikirim untuk menguasai kedua wilayah tersebut. Sisanya dipecah jadi 2 untuk menguasai
front utara (Qasr-e Shirin) & front tengah (Mehran) untuk mengantisipasi serangan balik yang mungkin
dilakukan oleh Iran. Hasilnya, usai serangan mendadak itu Irak berhasil menguasai wilayah Iran seluas
1.000 km persegi.
Peta dari Khorramshahr. (Sumber)

Bulan November 1980, pasukan Irak melancarkan serangan ke 2 kota penting yang strategis di Iran
selatan, Shabadan & Khorramshahr. Dalam penyerbuannya itu, pasukan Irak mendapat perlawanan
sengit dari pasukan Pasdaran (Garda Revolusi) Iran. Kedua kota tersebut akhirnya berhasil dikuasai Irak
pada tanggal 10 November 1980. Tercatat belasan ribu pasukan dari kedua kubu terbunuh dalam
pertempuran di kedua kota tersebut. Keberhasilan Irak menguasai kedua kota tersebut sekaligus
menjadi keberhasilan terakhir Irak mencaplok wilayah mayor dari Iran.

Iran yang tertekan sempat berusaha melakukan serangan balasan kepada Irak pada awal tahun 1981,
namun gagal karena presiden Iran, Bani Sadr, nekat memimpin langsung pasukan reguler Iran sekalipun
dia hanya memiliki pengetahuan militer yang minim. Ia mengirimkan 3 resimen pasukan reguler tanpa
didukung oleh Pasdaran & tidak memperhitungkan waktu serangan di saat hujan yang bakal
menyulitkan suplai logistik. Akibatnya, pasukan Iran dikepung pasukan Irak & banyak dari kendaraan
lapis baja Iran yang hancur atau perlu ditinggalkan karena terjebak dalam lumpur.

Serangan balasan Iran yang jauh lebih efektif sebenarnya sudah dilakukan beberapa hari sejak Irak
pertama kali membombardir pangkalan udara milik Iran. Pesawat-pesawat F-4 milik Iran melakukan
serangan ke wilayah Irak & secara efektif berhasil melumpuhkan sejumlah titik penting di sana.
Keberhasilan tersebut membuat pasukan udara Iran terlihat lebih superior dibandingkan pasukan udara
Irak. Namun, kurangnya amunisi & suku cadang yang hanya bisa didapatkan dari AS - negara sekutu Iran
yang berbalik memusuhi Iran pasca revolusi Islam - membuat Iran seiring waktu jadi lebih banyak
memakai helikopter yang dipasangi persenjataan darat sebagai pendukung pasukan dari udara.

TAHUN 1982 : TITIK BALIK & MUNDURNYA IRAK


Pasukan milisi Basij. (Sumber)

Pasukan Irak dalam serangan kilatnya berhasil memanfaatkan momentum lemahnya koordinasi pasukan
Iran & problem alutsista milik Iran sehingga para pengamat yakin bahwa perang akan segera berakhir
dengan kemenangan Irak hanya dalam waktu beberapa minggu. Plus, Irak memang berhasil menguasai
wilayah-wilayah strategis Iran dalam serangannya itu. Namun, Iran enggan menyerah begitu saja &
dalam perkembangannya berhasil memukul balik Irak.

Problem bagi Iran dalam perang adalah dari segi alutsista atau persenjataan, mereka kalah superior
dibanding Irak yang saat itu memang merupakan salah satu negara dengan kekuatan militer terbaik di
Timur Tengah selain Israel. Untuk mengantisipasinya, sejak perang meletus Iran merekrut ratusan ribu
milisi sukarela yang disebut Basij (Tentara Rakyat). Basij tidak memiliki pengalaman militer &
persenjataan yang memadai, namun mereka memiliki keyakinan sangat tinggi akan agamanya & tidak
segan-segan melakukan tindakan berani mati semisal menerobos ladang ranjau atau area yang dihujani
tembakan artileri musuh saat diperintahkan.

Pasukan Irak di wilayah Iran dalam perkembangannya tidak bisa bergerak lebih jauh lagi sejak bulan
Maret 1981 setelah pasukan mereka dikalahkan oleh milisi Basij yang jumlahnya mencapai ribuan di
Sungai Kanun. Sejak itu, Irak lebih banyak melakukan taktik defensif untuk mempertahankan wilayah
taklukan mereka & hanya terjadi sedikit pergeseran di garis depan. Faktor utamanya adalah kesalahan
prediksi di mana Irak memperkirakan warga Arab Sunni di Iran bakal membantu mereka. Namun
faktanya, mereka - bersama rakyat Iran lainnya - justru bersatu & bahu-membahu melawan Irak.
Pasukan Iran saat merayakan kemenangan
mereka di Khorramshahr. (Sumber)

Titik balik bagi Iran terjadi pada bulan Maret 1982 dalam operasi militernya di bawah kode sandi
"Operasi Kemenangan yang Tak Dapat Disangkal" (Operation Undeniable Victory). Dalam operasi militer
tersebut, pasukan gabungan Pasdaran-Basij milik Iran berhasil menembus garis depan pasukan Irak yang
sebelumnya dianggap tidak bisa ditembus & memecah pasukan Irak di utara & selatan Khuzestan
sehingga pasukan Irak terpaksa mundur.

Bulan Mei 1982, Iran berhasil merebut kembali wilayah Khorramshahr. Dalam pertempuran
memperebutkan wilayah tersebut, Irak kehilangan 7.000 tentara, sementara Iran 10.000 sehingga
menjadikan pertempuran itu sebagai salah satu pertempuran paling berdarah dalam inisiatif serangan
balik Iran. Sejak kemenangan tersebut, Iran berganti menjadi pihak yang menekan Irak & pada bulan
Juni berhasil mendapatkan kembali seluruh wilayahnya yang sebelumnya dikuasai oleh Irak.

Saddan Hussein yang melihat bahwa moral pasukannya sudah terlanjur runtuh akibat serangkaian
kekalahan melawan Iran pun menyatakan akan segera menarik seluruh pasukannya dari Iran &
menawarkan gencatan senjata kepada Iran. Tawaran gencatan senjata itu mencakup pembayaran ganti
rugi perang sebesar 70 juta dollar AS oleh negara-negara Arab. Iran menolak tawaran gencatan senjata
tersebut sambil menyatakan bahwa mereka akan menyerbu Irak & tidak akan berhenti sampai rezim
yang berkuasa di Irak digantikan oleh pemerintahan republik Islam.

TAHUN 1982 - 1988 : PENYERBUAN OLEH IRAN


Bulan Juli 1982, Iran melancarkan serangannya ke kota Basra, Irak, di bawah kode sandi "Operasi
Ramadhan". Dalam serangan tersebut, puluhan ribu anggota Basij & Pasdaran mengorbankan diri
mereka dengan berlari melewati ladang ranjau untuk memberi jalan bagi tank-tank di belakangnya di
mana selain menghadapi bahaya ranjau, mereka juga dihujani tembakan artileri pasukan Irak. Irak
berhasil mencegah Iran merengsek lebih jauh berkat ketangguhan persenjataannya di garis pertahanan,
namun Irak juga harus kehilangan sejumlah kecil wilayah karena dikuasai Iran.

Saddam (kanan) saat bertemu perwakilan


AS, Donald Rumsfeld. (Sumber)

Keberhasilan Iran memukul balik Irak & berbalik menjadi negara penyerbu membawa kekhawatiran
tersendiri bagi AS yang kemudian memutuskan untuk membantu Irak sejak tahun 1982. Presiden AS,
Ronald Reagan, menyatakan bahwa negaranya akan berusaha membantu dengan cara apapun untuk
mencegah Irak kalah. Selain dari AS, dukungan untuk Irak juga datang dari Uni Soviet & Liga Arab. Di lain
pihak, Iran sendiri selama perang hanya mendapat dukungan secara terbuka dari Suriah & Libya.

Karena keberpihakan terang-terangan AS ke Irak, maka cukup mengejutkan ketika AS diketahui juga
membantu Iran dengan jalan menjual persenjataan ke Iran secara diam-diam (dikenal sebagai skandal
Iran-Contra). Henry Kissinger - salah satu tokoh penting Gedung Putih - menyatakan bahwa AS merasa
baik Irak & Iran sama-sama tidak boleh kalah untuk mencegah dominasi dari pihak pemenang di
kawasan tersebut. Israel juga dikabarkan menjual persenjataan ke Iran secara diam-diam kendati kedua
negara tidak lagi menjalin hubungan diplomatik pasca Revolusi Islam di Iran, namun Iran sendiri hingga
sekarang selalu membantah kabar tersebut.

Kembali ke medan perang, Iran berpikir bahwa Irak bisa direbut dengan melacarkan serangan besar-
besaran dari berbagai front. Maka pada tahun 1983, Iran melakukan 3 penyerbuan besar yang disusul 2
penyerbuan lainnya dengan mengerahkan ratusan ribu personil tentaranya. Iran sempat berhasil
menembus garis pertahanan Irak, namun Irak berhasil memukul balik Iran dengan melakukan serangan
udara mendadak secara besar-besaran. Hingga akhir tahun 1983, tercatat 120.000 personil Iran &
60.000 personil Irak tewas dalam peperangan.
Pasukan Iran yang sedang berlari
di tengah medan tempur. (Sumber)

Irak berusaha memaksa Iran menghentikan perang & menuju meja perundingan dengan berbagai cara.
Di awal tahun 1984, Irak membeli sejumlah alutsista baru dari Uni Soviet & Prancis. Tak lama kemudian,
Irak melakukan serangan udara ke sejumlah kota dengan persenjataan barunya itu. Irak berharap Iran
merasa tertekan & kemudian menerima tawaran dari Irak untuk berunding di tempat netral, namun
nyatanya Iran tetap menolak tawaran berunding dari Irak.

Iran yang kehilangan begitu banyak personilnya akibat sejumlah penyerbuan yang gagal sebelumnya
belum mengendurkan serangan. Bulan Februari 1984, Iran menggelar "Operasi Fajar" (Operation Dawn)
yang ditargetkan ke kota Kut al-Amara dengan tujuan memotong jalur perairan yang menghubungkan
Baghdad & Basra. Dalam operasi militer itu, Iran mengerahkan 500.000 personil Basij & Pasdaran.

Pertempuran dalam Operasi Fajar sekaligus menjadi seperti head-to-head kekuatan militer yang
dominan di masing-masing negara. Iran unggul jumlah tentara tapi kekurangan alutsista pendukung
macam pasukan udara & artileri sehingga Iran banyak menjalankan taktik mengerubungi pertahanan
musuh dengan tentara (human wave attack), sementara Irak kalah jauh dalam hal jumlah tentara tapi
unggul dalam hal alutsista. Periode antara tanggal 29 Februari hingga 1 Maret merupakan salah satu
episode pertempuran terbesar dalam Perang Irak-Iran di mana dalam pertempuran itu, masing-masing
pihak kehilangan 20.000 tentaranya.

Iran kembali melancarkan agresi militer antara akhir Februari hingga Maret 1984 di bawah kode sandi
"Operasi Khaibar" dengan memakai sejumlah serangan pendobrak ke Kota Basra. Agresi militer tersebut
berujung keberhasilan pasukan Iran merebut Pulau Majnun yang kaya minyak. Irak sempat melancarkan
serangan balik untuk merebut wilayah tersebut, termasuk dengan memakai senjata kimia. Namun
pasukan Iran tetap berhasil mempertahankan pulau tersebut hingga menjelang akhir perang.
Tentara Iran yang memakai topeng gas untuk
menangkal efek senjata kimia Irak. (Sumber)

Walaupun berada pada posisi tertekan, pada tahun 1985 Irak masih sempat melakukan penyerbuan
balik ke Iran dengan menyerang Tehran & kota-kota penting lainnya di Iran usai mendapatkan bantuan
finansial dari negara-negara Arab sekutunya & bantuan alutsista terbaru dari Uni Soviet, Cina, &
Perancis. Serangan Irak tersebut tidak membawa perubahan yang signifikan dalam alur peperangan
karena sekalipun wilayahnya diserang, di tahun yang sama Iran tetap melakukan penyerbuan ke wilayah
Irak di bawah kode sandi "Operasi Badar".

TAHUN 1984 - 1988 : PERANG TANKER

Tahun 1984, Irak yang baru mendapat bantuan pesawat tempur Super Etentard terbaru dari Perancis
melakukan operasi militer di laut mulai dari muara Shatt el-Arab hingga pelabuhan Iran di Bushehr.
Target dari operasi militer tersebut adalah semua kapal yang bukan berbendera Irak di wilayah operasi
militer, baik itu kapal berbendera Iran maupun kapal netral yang dari atau menuju Tehran. Tujuannya
adalah untuk memblokade ekpsor minyak Iran & mempengaruhi ekonominya sehingga Iran mau
berunding dengan Irak. Kebijakan militer Irak tersebut lalu mengawali babak baru dalam perang yang
dikenal sebagai "perang tanker".

Jika ditelusuri, sebenarnya perang tanker sudah dimulai sejak tahun 1981 di mana pasukan laut Irak saat
itu menargetkan titik-titik penting milik Iran di laut seperti pelabuhan & kilang minyak. Dalam operasi
militernya di laut tersebut, Irak lebih banyak memakai angkatan udaranya untuk melakukan serangan.
"Perang tanker fase I" tersebut berlangsung selama 2 tahun setelah baik Irak maupun Iran kekurangan
armada kapal untuk meneruskan operasi militernya. Baru pada tahun 1984, Irak memutuskan untuk
kembali melakukan operasi militer di laut sekaligus mengawali babak baru "perang tanker fase II".

PERANG ANTARA IRAK DAN IRAN TAHUN 1980-1988 (PERANG TELUK I)

BAB I

PENDAHULUAN
Konflik sering kali muncul di negara-negara kawasan Timur Tengah, diawali sejak masa suku-suku yang
mendominasi dan menjadi actor dalam berkonflik ataupun berperang, sampai saat inipun perang
dikawasan Timur Tengah belum berhenti. Sehingga wilayah penyuplai minyak terbesar didunia ini
disebut kawasan yang panas akan konflik. Berbagai macam konflik ataupun perang muncul diwilayah ini,
namun dalam tulisan ini saya akan menjelaskan seluk beluk perang yang terjadi antara Irak dan Iran yang
terjadi pada tahun 1980 sampai tahun 1988 yang sering disebut dengan Perang Teluk I.

Pecahnya perang antara Irak dan Iran ini pada 22 September 1980 . perang ini terjadi karena dari kedua
belah pihak saling memperebutkan haknya atas apa yang sudah diklaim oleh masing-masing negara.
Selain itu perbedaan ideologi antar kedua belah pihak juga sangat berpengaruh. Perang ini tidak hanya
dua negara (Irak dan Iran) yang terlibat melainkan negara-negara dikawasan Timur Tengah juga terlibat.
Keterlibatan negara-negara di Timur Tengah dalam perang ini menyebabkan produksi minyak menurun.
Dan dengan menurunnya produksi minyak di kawasan ini ikut menyeret keterlibatan dua kekuatan super
power yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet dengan segala akibatnya. Kawasan Teluk Persi menjadi pusat
perimbangan kekuatan global karena terjadinya perang itu. Karena hal-hal tersebut diatas dalam tulisan
ini saya akan menjelaskan penyebab ataupun latar belakang terjadinya Perang Teluk I, penyebab perang
teluk I berjalan selama 8 tahun, dan yang terakhir adalah intervensi asing pada Perang Teluk I.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang atau Penyebab Terjadinya Perang Teluk I

Adapun berbagai penyebab terjadinya perang antara Irak dan Iran antara lain, adalah:

Sengketa antara Irak dan Iran sebenarnya masih terkait dengan sejarah kedua belah negara yang tak
pernah akur.

Berlarut-larutnya permusuhan yang terjadi antara kerajaan Mesopotamia (terletak di lembah sungai
Tigris-Eufrat, yang kini menjadi sebuah negara Irak modern) dengan kerajaan Persia atau negara Iran
modern. Yang pertama ialah persaingan dsn ketegangan Bangsa Arab dan Bangsa Parsi, yang satu tidak
dapat menerima keunggulan atau dominasi yang lain. yang kedua ialah masalah minoritas etnis. Pada
zaman shah Iran mendukung perjuangan otonomi suku Kurdi di Irak, sedangkan Irak mendukung
minoritas etnis Arab di Iran yang memperjuangkan kebebasan yang lebih besar atau pemisah, dan yang
ketiga ialah perbedaan orientasi politik luar negeri. Sampai beberapa waktu yang lalu Irak adalah Pro Uni
Soviet, dan Iran adalah Pro Barat.

Persengketaan wilayah yang dianggap penting oleh Irak dan Iran

Pertama, persengketaan Sungai Shatt Al Arab[1], sungai tersebut berperan penting bagi Irak karena
merupakan satu-satunya jalan keluar negara tersebut ke laut. Karena letaknya yang berada di
perbatasan dan posisi strategisnya yang mengarah ke Teluk Persia, sungai tersebut menjadi bahan
sengketa Irak dan Iran. Sebelum perang antara kedua negara meletus, pada tahun 1975 sempat
meredakan ketegangan antara kedua belah pihak karena berkat perjanjian Algiers[2].

Kedua adalah Provinsi Khuzestan yang kaya minyak. Wilayah tersebut selama ini menjadi wilayah Iran,
namun sejak tahun 1969 Irak mengklaim bahwa Khuzestan berada di tanah Irak dan wilayah tersebut
diserahkan ke Iran ketika Irak dijajah oleh Inggris. Dengan begitu maka mereka saling meng-klaim
sebagai wilayah mereka masing-masing.[3]

Munculnya Revolusi Islam oleh Iran

Pada masa pemerintahan Khomeini yang berambisi dan juga berusaha mengekspor revolusi islamnya
kenegara-negara lain dan Irak menjadi sasaran yang pertama karena di Irak minorotas Sunni menguasai
dan menindas mayoritas Syiah dan minoritas Kurdi yang secara etnik linguistic dekat dengan bangsa
Persi. Selain itu Khoeini menaruh dendam terhadap rezim di Bagdad yang pada tahun 1978 mengusirnya
dari Irak karena dia berkampanye melawan pemerintah Shah. Sehubungan dengan itu pemerintah Iran
menghasut umat Syiah dan Suku Kurdi di Irak untuk memberontak dan merebut kekuasaan serta
membentuk suatu republic Islam menurut pola Republik Islam Iran. Dilain pihak Bagdad menghasut
minoritas Kurdi di Irak untuk mendukung minoritas Arab dalam memperjuangkan otonominya, dan
membantu sejumlah jendral Iran dan pengikut-pengikutnya Bakhtiar di pengasingan untuk menyusun
kekuatan guna menumbangkan kekuasaan Khomeini.[4]

Irak di bawah kendali Saddam Hussein dan Partai Baath memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan
dominan di wilayah Arab di bawah bendera pan-Arabisme sejak meninggalnya Presiden Mesir, Gamal A.
Nasser. Revolusi Islam yang terjadi di Iran tersebut dianggap sebagai penghalang karena bertentangan
dengan prinsip nasionalisme sekuler Arab. Selain untuk mencegah menyebarnya revolusi Islam, Irak juga
berusaha mengambil keuntungan dengan kondisi internal Iran yang tidak stabil pasca revolusi Islam
untuk merebut wilayah-wilayah yang menjadi bahan sengketa dengan Iran dan menambah sumber
minyak Irak.

Dengan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut maka tak heran jika muncul tindakan-tindakan yang
membawa ketegangan dan menimbulkan peperangan pada puncaknya.

Percobaan pembunuhan terhadap pejabat Irak

Pertengahan tahun 1980, terjadi percobaan pembunuhan kepada Deputi Perdana menteri Irak, Tariq
Aziz. Irak segera bertindak dengan menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat atas percobaan
pembunuhan tersebut dan mendeportasi ribuan warga Syiah berdarah Iran keluar dari Irak. Pemimpin
Irak, Saddam Hussein, menyalahkan Iran sambil menyebut ada agen Iran yang terlibat dalam peristiwa
tersebut. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong meletusnya perang Irak-Iran.[5]

Penyebab khusus terjadinya Perang Teluk I antara lain:

a. Adanya serangan granat pada tanggal 1 April 1980 terhadap wakil Perdana Menteri Irak Tariq Aziz
yang diduga bertanggung jawab atas aksi-aksi survesi terhadap Iran.

b. Adanya pengusiran ribuan keturunan Iran oleh Saddam, serta melancarkan serangan yang sengit
terhadap pribadi Khomeini dan membatalkan perjanjian Algiers. Sedangkan Menlu Iran Shodeh
Godzadeh berjanji untuk menumbangkan rezim Baath yang berkuasa di Irak serta memutuskan
hubungan diplomatic.

c. Kedua negara saling menempatkan pasukan masing – masing di daerah perbatasan dalam jumlah
yang cukup besar.[6]

d. Terjadinya perang pers dan media masa antar kedua belah negara.

e. Pada 17 September 1980, presiden Saddam Hussein secara sepihak membatalkan Perjanjian
Algiers tahun 1975 karena pada waktu itu Saddam Hussein merasa bahwa Perjanjian Algiers tidak adil
untuk Irak, pada saat pembuatan perjanjian itu kedua belah negara tidak dalam posisi yang seimbang
dimana Irak pada waktu itu sebagai negara yang kalah dengan Iran. kemudian Iran melihatnya sebagai
pernyataan perang pada 20 September 1980.

Menurut para pengamat ada dua faktor yang menyebabkan invansi yang dilakukan Saddam ke Iran,
pertama, adanya kekhawatiran dikalangan penguasa negara Arab terhadap kemungkinan menularnya
revolusi Khoehenni kenegara-negara Arab. Dan yang kedua, ambisi Saddam Hussein untuk bisa tampil
sebagai pemimpin Arab.[7] ,

B. Penyebab Terjadinya Perang Teluk Selama 8 Tahun

Pada awal penyerangan yang dilakukan oleh Irak ke Iran yang disebabkan oleh beberapa penyebab
seperti yang dituliskan diatas. Pada awal penyerangan Irak, Irak memperhitungkan bahwa Irak akan
mudah mematahkan perlawan Iran dan dengan cepat mencapai sasaran ofensifnya. Karena Iran setelah
revolusi pimpinan Ayatullah Khoemeini menyebabkan, kemampuan mililier Iran turun dratis, angakatan
bersenjata dibenci dan dicemooh oleh rakyat sebagai alat yang digunakan Shah Reza untuk menindas
rakyat. Akibatnya adalah sekitar 60% anggotanya melakukan desersi, sedangkan banyak perwira senior
dihukum mati, dipenjara atau dipensiunkan. Moral pasukan-pasukan Iran sangat merosot. Selain itu
sebagai akibat pecahnya krisis dengan Amerika Serikat, angkatan bersenjata Iran mengalami banyak
kesulitan dalam hal latihan, perawatan perlengkapan militer, suplai suku cadang serta amunisi.
Dalam hal ini Saddam Hussein (Irak) hanya bermaksud untuk menguasai beberapa kota penting untuk
memperkuat kedudukannya di meja perundingan. Dan memberi peluang kepada oposisi dalam negeri
untuk memberontak dan menumbangkan rezim Khomeini serta membentuk suatu pemerintahan yang
bersahabat. Apabila strateginya tersebut berhasil presiden Saddam Hussein akan muncul sebagai
pemimpin dunia Arab dan Irak menjadi kekuatan dominasi di kawasan Teluk. Sebagian besar negara
Arab tidak senang dengan rezim Khomeini karena berusaha mengekspor revolusi Islam Iran kenegara-
negara lainsehingga mengganggu kestabilan dan keamanan mereka. Kedudukan dominan dikawasan
Teluk dan kepemimpinan di Dunia Arab tersebut rupanya juga ikut mendorong Irak untuk menyerbu
Iran. Dengan demikian maka perang Irak dan Iran juga untuk perebutan kekuasaan regional.[8]

Perhitungan Irak ternyata salah, dengan memandang remeh Iran dengan keadaan negara tersebut yang
masih sangat kacau ternyata Iran memberikan perlawanan gigih dan melancarkan serangan-serangan
udara dan laut sebagai pembalasan. Namun Irak berhasil merebut daerah-daerah minyak Iran yang vital
biarpun lamban. Karena yakin akan dapat mengusir pasukan-pasukan Irak, Iran sejauh ini menolak
tawaran Irak untuk mengakhiri peprangan dan menyelesaikan sengketa mereka secara damai maupun
usaha-usaha penengahan. Sehingga perang yang awalnya diprediksikan Irak akan mampu memenangkan
perang dengan waktu singkan tetapi malah yang terjadi peperangan itu berjalan selama 8 tahun.

Jadi penyebab perang Irak Iran itu terjadi selama 8 tahun adalah, pertama, dugaan Irak salah yang
menganggap perang akan berakhir cepat dan meremehkan kekuatan Iran yang sedang kacau, kedua,
Irak berhasil merebut daerah-daerah minyak di Iran walaupun lamban tetapi Irak masih optimis untuk
tujuannya menguasai sebagian wilayah islam dan mendominasi kekuatan bangsa Arab, yang ketiga
adalah Iran menolak tawaran Irak untuk mengakhiri konflik dan menyelesaikan sengketa secara damai
maupun usaha penengahan karena Iran tetap optimis akan memenangkan perang tersebut. Dari
keegoisan kedua belah pihak inilah yang membuat Perang Teluk I terjadi hingga waktu yang cukup lama
yaitu 8 tahun.

C. Intervensi Asing dalam Perang Teluk I

Jika ditanya adakah ada intervensi[9] asing pada Perang Teluk I, dari pengertian intervensi sendiri yang
saya tangkap bahwa jika dilihat dalam keadaan yang terjadi pada Perang Teluk I ini maka campur tangan
negara asing yang terjadi ini belum dikatakan sebagai intervensi karena banyak campur tangan yang
dilakukan oleh negara lain bahkan dari bangsa Arab sendiri yang bertujuan untuk memperjuangkan
nasib bangsa Arab (dengan cara membela Irak) bukan intervensi asing karena masalah ini juga menjadi
masalah-masalah bangsa Arab karena mereka berada dalam satu lingkup bangsa Arab dan bangsa-
bangsa pengimpor minyak dari kawasan ini atau negara super power untuk meredakan konflik yang ada
disana. Dan dari banyak sumber yang mengatakan bahwa intervensi itu hamper muncul dari Uni Soviet
tetapi dapat dicegah oleh pasukan Amerika Serikat. Berikut penjelasan yang lebih lengkap.

Pertama, dukungan yang dilakukan bangsa Arab untuk Irak banyak terjadi karena bangsa Arab
menginginkan jatuhnya rezim Khomeini dan munculnya suatu pemerintahan baru yang bersedia
menghormati asas-asas bertetangga. Raja Hussein dari Yordania adalah yang paling tegas mendukung
Irak dan menjajikan bantuan kepadanya. Hal ini dapat dimengerti karena sejak beberapa waktu antara
kedua negara ini terjalin hubungan baik. Akan tetapi juga Raja Khaled dari Arab Saudi menyatakan
dukungannya bagi Irak dalam “pertempuran Pan-Arabnya dan dalam konfliknya dengan Parsi, musuh
bangsa Arab”. Demikianpun Kwait, Bahrain dan Uni Emirat Arab menaruh simpati atas perjuangan Irak.
Dukungan untuk Irak itu dikukuhkan pada pertempuran puncak Arab di Amman.

Akan tetapi peprangan itu juga menimbulkan kekhawatiran dikalangan bangsa Arab, karena bisa
melibatkan mereka dan menimbulkan banyak krugian bagi mereka. Pada 29 September PM Ali Rajai
mengancam akan mengambil tindakan-tindakan terhadap negara-negara yang membantu Irak. Namun
Yordania tetap pada pendiriannya dan meneruskan persiapan-persiapannya untuk membantu Irak.
Pelabuhannya di Aqaba tetap tersedia bagi keperluan Irak dan wilayahnya digunakan untuk mengangkut
suplai bagi Irak yang dibongkar di pelabuhan itu. Selain itu 40.000 pasukannya telah dipersiapkan untuk
membantu Irak. Berkat sikap Yordania itu, Irak dapat mengerahkan lebih banyak pasukan dan
persenjataan ke wilayah Iran.[10]

Dalam hal tersebut diatas belum ditermasuk intervensi asing karena bangsa-bangsa Arab ikut campur
dalam peperangan untuk menumpas Revolusi Islam yang dilakukan oleh Iran dan kebaikan demi
kedaiman di seluruh wilayah Bangsa Arab. Dan tujuan bangsa Arab itu masih ada urusannya dengan
kesua belah pihak.

Kedua, Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak hanya mengikuti jalannya peperangan dengan seksama
tetapi juga mengambil langkah-langkah untuk mengamankan kepentingan-kepentingan mereka dan
mungkin juga memperbaiki kedudukan masing-masing. Bagi Washington, Krisis Teluk I juga merupakan
suatu peluang memulihkan kedudukannya dikawasan. Demikian juga bagi saingannya Uni Soviet bisa
terbuka kesempatan untuk membantu unsur-unsur kiri di Irak maupun di Iran apabila terjadi perebutan
kekuasaan akibat kekalahan dalam peperangan tersebut. Keberhasilan golongan kiri untuk merebut
kekuasaan disalah satu negara akan memperbaiki kedudukan Uni Soviet di kawasan, terutama jika Uni
Soviet berhasil menempatkan orang-orangnya pada puncak kekuasaan seperti terjadi di Afganistan.

Amerika Serikat dan Uni Soviet telah sepakat untuk tidak campur tangan dalam peperangan ini.
Pertama, karena menyadari bahwa intervensi yang satu akan memancing intervensi antar mereka.
Kedua, keterlibatan Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam perang ini hanya akan mempersulit
penyelesaian sengketa Irak dan Iran. Ketiga, jika Amerikia Serikat dan Uni Soviet melakukan intervensi
dalam Perang Teluk I, maka akan dikutuk oleh negara-negara lain yang berusaha membetasi konflik
tersebut dan menyelesaikannya secara damai. Selanjutnya kedua superpower berkepentingan bahwa
peperangan tetap terbatas pada kedua negara dan tidak ada pihak yang keluar sebagai pemenang.[11]

Pada saat terjadinya Perang Teluk I ini Uni Soviet sempat terhasut untuk melakukan invasi ke dalam
perang namun hal tersebut dapat diatasi oleh Whasington dan Amerika Serikat. Setelah terjadinya hal
tersebut Amerika Serikat melakukan pengawasan intensif pada perang tersebut agar tidak ada
intervensi asing yang masuk dan membuat perang semakin parah. Jadi di sini jelas sekali bahwa negara-
negara asing ataupun negara super power tidak menginginkan perang yang berkepanjangan dan
berusaha menyetabilkan keadaan disana serta mencehan semua intervensi asing masuk didalamnya
karena mereka menjaga kepentingannya disana yaitu minyak.

BAB III

KESIMPULAN

Latar belakang terjadinya Perang Teluk I antara lain sengketa antara Irak dan Iran sebenarnya masih
terkait dengan sejarah kedua belah negara yang tak pernah akur, persengketaan wilayah yang dianggap
penting oleh Irak dan Iran, munculnya Revolusi Islam oleh Iran, percobaan pembunuhan terhadap
pejabat Irak, dan penyebab-penyebab khususn lainnya yang mendorong terjadi Perang Teluk I (serangan
granat pada tanggal 1 April 1980, pengusiran ribuan keturunan Iran oleh Saddam, kedua negara saling
menempatkan pasukan masing – masing di daerah perbatasan dalam jumlah yang cukup besar, perang
pers dan media masa antar kedua belah negara, presiden Saddam Hussein secara sepihak membatalkan
Perjanjian Algiers tahun 1975). Menurut para pengamat ada dua faktor yang menyebabkan invansi yang
dilakukan Saddam ke Iran, pertama, adanya kekhawatiran dikalangan penguasa negara Arab terhadap
kemungkinan menularnya revolusi Khoehenni kenegara-negara Arab. Dan yang kedua, ambisi Saddam
Hussein untuk bisa tampil sebagai pemimpin Arab.

Penyebab perang Irak dan Iran itu terjadi selama 8 tahun adalah, pertama, dugaan Irak salah yang
menganggap perang akan berakhir cepat dan meremehkan kekuatan Iran yang sedang kacau, kedua,
Irak berhasil merebut daerah-daerah minyak di Iran walaupun lamban tetapi Irak masih optimis untuk
tujuannya menguasai sebagian wilayah islam dan mendominasi kekuatan bangsa Arab, yang ketiga
adalah Iran menolak tawaran Irak untuk mengakhiri konflik dan menyelesaikan sengketa secara damai
maupun usaha penengahan karena Iran tetap optimis akan memenangkan perang tersebut. Dari
keegoisan kedua belah pihak inilah yang membuat Perang Teluk I terjadi hingga waktu yang cukup lama
yaitu 8 tahun.

Pada Perang Teluk I ini maka campur tangan negara asing yang terjadi ini belum dikatakan sebagai
intervensi karena banyak campur tangan yang dilakukan oleh negara lain bahkan dari bangsa Arab
sendiri yang bertujuan untuk memperjuangkan nasib bangsa Arab (dengan cara membela Irak) bukan
intervensi asing karena masalah ini juga menjadi masalah-masalah bangsa Arab karena mereka berada
dalam satu lingkup bangsa Arab dan bangsa-bangsa pengimpor minyak dari kawasan ini atau negara
super power untuk meredakan konflik yang ada disana. Dan dari banyak sumber yang mengatakan
bahwa intervensi itu hamper muncul dari Uni Soviet tetapi dapat dicegah oleh pasukan Amerika Serikat.
Kapal tanker Arab Saudi yang terbakar
dalam "perang tanker". (Sumber)

Perang tanker fase II dimulai ketika Irak menyerang kapal berbendera Yunani di sebelah selatan
Kepulauan Khark pada bulan Maret 1984. Iran lantas membalasnya dengan menyerang kapal-kapal
berbendera Kuwait di dekat Bahrain & Arab Saudi di perairan Arab Saudi sendiri. Serangan tersebut
sekaligus menjadi peringatan dari Iran bahwa jika Irak tetap nekat melanjutkan perang tanker, tak akan
ada kapal milik negara Teluk yang bakal selamat. Suatu ancaman yang dampaknya tidak ringan karena
berpotensi melumpuhkan aktivitas pengangkutan minyak mentah di kawasan tersebut.

Upaya Irak untuk memblokade jalur transportasi minyak Iran gagal melumpuhkan ekonomi Iran karena
ketika Irak memblokade kawasan teluk, Iran hanya memindahkan pelabuhannya ke Kepulauan Larak di
dekat Selat Hormuz sehingga aktivitas ekspor minyaknya relatif tidak terganggu. Di lain pihak, justru Irak
yang perekonomiannya terancam setelah Suriah - sekutu Iran saat itu - memblokade pipa minyak Irak ke
Mediterania sejak tahun 1982. Sebagai antisipasinya, Irak pun mengalihkan aktivitas ekspor minyaknya
lewat Kuwait & jalur pipa minyak baru dibangun melewati Laut Merah serta Turki.

TAHUN 1987 - 1988 : IKUT CAMPURNYA AMERIKA SERIKAT (AS)

Situasi perang tanker yang semakin membabi buta karena ikut menargetkan kapal-kapal tanker dari
negara-negara yang netral membuat Kuwait meminta bantuan pihak internasional pada tahun 1986. Uni
Soviet adalah negara pertama yang merespon dengan mengirimkan kapal-kapal perangnya untuk
mengawal kapal tanker Kuwait. Kebijakan Uni Soviet lalu diikuti oleh AS pada tahun 1987 yang
sebenarnya sudah didekati Kuwait lebih dulu.
Kilang minyak Iran yang terbakar
akibat serangan AS. (Sumber)

Ikut campurnya AS dalam Perang Irak-Iran sebenarnya disebabkan karena kapal perangnya, USS Stark,
tertembak oleh pesawat tempur Irak sehingga 13 awak kapalnya meninggal. Irak meminta maaf kepada
AS sambil mengatakan bahwa itu adalah kecelakaan. Ironisnya, AS justru malah menyalahkan Iran
dengan alasan Iranlah yang menyebabkan peperangan semakin berkobar & kemudian diikuti dengan
tindakan AS untuk mengirim armada lautnya untuk mengawal kapal-kapal tanker milik Kuwait yang
mengibarkan bendera AS.

Tujuan utama AS dalam penerjunan armada lautnya di sekitar Teluk adalah untuk mengisolasi Iran &
menjaga agar kapal-kapal bebas berlayar di sana. AS baru melancarkan serangan langsung ke Iran
dengan menghancurkan kilang minyak Iran di ladang minyak Rostam setelah pasukan Iran
menenggelamkan kapal tanker Kuwait berbendera AS, Sea Isle City. Setahun kemudian, tepatnya bulan
April 1988, AS kembali menyerang kilang minyak & kapal-kapal perang Iran setelah kapal perangnya, USS
Samuel B. Roberts, tenggelam akibat ranjau laut Iran.

Tanggal 3 Juli 1988, kapal perang AS, USS Vincennes, menembak jatuh pesawat sipil Iran sehingga
seluruh penumpang & awak pesawatnya tewas. AS berdalih kalau pasukannya salah mengira bahwa
pesawat sipil tersebut adalah pesawat tempur Iran karena tidak mengidentifikasikan dirinya ke kapal
perang sebagai pesawat sipil. Namun, klaim AS tersebut dibantah oleh Iran & sumber independen
lainnya seperti bandara Dubai yang menyatakan kalau pesawat tersebut sudah mengidentifikasikan
dirinya ke kapal AS sebagai pesawat sipil melalui radio.

TAHUN 1988 : GENCATAN SENJATA & PASCA PERANG

Antara bulan April hingga bulan Agustus 1988, arah pertempuran mulai kembali menguntungkan Irak
setelah Irak berhasil meraih beberapa kemenangan penting atas Iran. Dalam pertempuran pada kurun
waktu tersebut, Irak juga berhasil merebut sejumlah besar alutsista milik Iran & menguasai kembali
Semenanjung Al-Faw serta Kepulauan Majnun yang kaya minyak. Iran yang mulai terdesak akhirnya mau
menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 598 sehingga Perang Irak-Iran yang sudah berlangsung
selama 8 tahun pun berakhir pada tanggal 20 Agustus 1988.
Monumen Perang Irak-Iran
di Baghdad, Irak. (Sumber)

Perang Iran-Irak membawa kerugian besar bagi kedua belah pihak, baik dari segi material & korban jiwa.
Jumlah kerugian material bagi masing-masing negara diperkirakan mencapai 500 juta dollar AS. Sebagai
akibatnya, pembangunan ekonomi menjadi terhambat & ekspor minyak kedua negara terganggu.
Jumlah kerugian lebih besar harus ditanggung Irak yang selama perang memang aktif mencari pinjaman
uang untuk menambah alutsista.

Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah korban tewas dalam Perang Irak-Iran. Beberapa sumber
memperkirakan bahwa jumlah korban tewas Irak mungkin mencapai 200.000 jiwa lebih, sementara Iran
mencapai 1 juta jiwa sebagai akibat dari taktik militer Iran yang banyak mengorbankan tentaranya untuk
berhadap-hadapan langsung dengan moncong senjata musuh. Jumlah tersebut belum termasuk mereka
yang meninggal kemudian akibat luka parah & penyakit, termasuk akibat penggunaan senjata kimia Irak
yang berdampak jangka panjang.

Selain kerugian material & korban jiwa, tidak ada perubahan berarti pasca perang. Wilayah-wilayah yang
menjadi bahan sengketa statusnya kembali seperti sebelum perang & batas antara kedua negara juga
tidak banyak berubah. Wilayah perairan Shatt al-Arab contohnya, tetap dibagi menjadi milik kedua
negara dengan batasnya adalah titik terdalam pada perairan. Pasca perang, kedua negara juga
melakukan perbaikan hubungan bilateral. - © Rep. Eusosialis Tawon

RINGKASAN PERANG

1. Waktu & Lokasi Pertempuran


- Waktu : 1980 - 1988
- Lokasi : Irak, Iran, Teluk Persia

2. Pihak yang Bertempur


(Negara) - Irak
melawan
(Negara) - Iran

3. Hasil Akhir
- Perang berakhir tanpa pemenang
- Status wilayah sengketa tidak berubah

4. Korban Jiwa
- Irak : sekitar 200.000
- Iran : sekitar 1.000.000

Makalah Perang Teluk I dan II

9:40 AM – by Prime News 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Keputusan Presiden Irak yakni Saddam Husein untuk menginvasi Kuwait pada 2 Agustus 1990
merupakan awal kehancuran negara Irak. Amerika Serikat di bawah kepemimpinan George H. W. Bush
berusaha memukul mundur kekuatan Irak dan menghimpun koalisinya di atas tanah Kuwait dalam
rangka menyelamatkan sektor ekonomi Amerika Serikat yang telah terbentuk di tanah Kuwait.

Invasi Irak ke Kuwait menjadi pukulan keras bagi Amerika Serikat yang merupakan ancaman
serius bagi kepentingannya di Teluk Persia guna menjamin terus mengalirnya minyak dunia dan
mencegah hegemoni musuh di region Teluk Persia. Amerika Serikat memprediksikan jika Irak berhasil
menguasai Kuwait maka 9% minyak dunia di kuasai Irak dengan saingannya Arab Saudi yang berhasil
menguasai 11% produksi minyak global.

Tepat Tiga hari pasca serangan Irak ke Kuwait, Presiden George H. W. Bush mengumumkan pada
dunia bahwa invasi Irak ke Kuwait tidak akan berlangsung lama. Tanggal tanggal 17 Januari 1991
Amerika Serikat berhasil memukul mundur Irak dari Kuwait dengan bantuan lebih dari 20 negara dikenal
dengan istilah Operation Desert Shield (Operasi Badai Gurun). Tahun 2003 Presiden Amerika Serikat
George W. Bush anak dari George H. W. Bush melayangkan tuduhan bahwa Irak memiliki senjata
pemusnah massal yang mampu mengguncang kestabilan dunia meskipun sampai saat ini tuduhan
tersebut belum bisa terbukti. Amerika Serikat pun mulai melakukan invasinya kembali ke Irak dikenal
dengan sebutan “Operasi Pembebasan Irak” yang menyebabkan Presiden Irak Saddam Husein
tertangkap tepat di tahun 2006 dan meruntuhkan pemerintahannya. Itulah sekilas dari gambaran latar
belakang masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini yang membuat timbulnya pertanyaan dalam
pikiran kita mengapa Amerika Serikat bersikukuh mempertahankan fokus geostrateginya di kawasan
Timur Tengah, apa saja yang menjadi dalil atas keberanian Presiden Saddam Husein berani menginvasi
Kuwait, apa saja yang menjadi penyulut Perang teluk Persia I dan II dan masih banyak lagi polemik-
polemik yang bermunculan ketika kita membahas mengenai peperangan yang terjadi antara Amerika
Serikat sebagai negara adikuasa dengan Irak sehingga menimbulkan banyak tanda tanya, akan kita bahas
pada bab-bab selanjutnya yang kiranya menjadi wawasan tambahan bagi para pembaca serta penulis
khususnya.

1.2 Rumusan Masalah

Mengapa Amerika Serikat bersikukuh mempertahankan geostrategi nya di Timur Tengah.

Apa yang menjadi dalil keberanian dan kepentingan Presiden Saddam Husein melakukan invasinya ke
Kuwait.

Apa-apa saja yang menjadi penyebab terjadinya Perang Teluk Persia I dan Perang Teluk Persia II.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini guna menambah wawasan bagi kita semua para pembaca maupun penulis sendiri
dalam mengulas balik sejarah khususnya terjadinya invasi Irak ke Kuwait maupun invasi Amerika Serikat
ke Irak dalam rangka mempertahankan aset-aset kepentingan negaranya di Timur Tengah. Selain itu
penulisan makalah ini dalam rangka penyelesaian tugas di Ujian Tengah Semester dan pemenuhan mata
kuliah Diplomasi Amerika Serikat.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Nilai Penting Teluk Persia bagi Amerika

Berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1914 membawa dunia pada permintaan pasokan minyak
yang cukup tinggi terutama disebabkan pada tiap-tiap negara yang berperang merubah kapal-kapal
mereka dari penggunaan batu bara beralih pada penggunaan minyak. Setiap negara-negara yang
berperang pada saat itu terus meningkatkan angkatan bersenjata mereka dengan menambah truk, tank,
serta pesawat. Hal ini menjadi pemicu semakin meningkatnya permintaan minyak dunia sehingga bisa
dikatakan minyak merupakan harta karun yang diperebutkan dan diperdagangkan oleh setiap negara
hingga saat ini. Layaknya Teluk Persia di asumsikan sebagai ladang minyak baru bagi dunia yang telah
memberikan suplai netral bagi pemenuhan pasokan minyak dunia. Di tahun 1909 perusahaan Anglo-
Persia (APOC) mulai membangun pipa untuk mentransportasikan minyak dari sumbernya ke pelabuhan
terdekat di Teluk Persia.

Hingga pada Perang Dunia II permintaan minyak semakin menunjukan peningkatannya mencapai
900% dibandingkan 21 tahun yang lalu (Yergin, 1991; Palmer, 1993). Mengetahui hal tersebut Amerika
menetapkan Teluk Persia sebagai geostrategic pertamanya menjadi wilayah pensuplai minyak yang
potensial. Bahkan di tahun 1944 tercatat dalam laporan teknikal pemerintahan Amerika teluk Persia
dilabeli sebagai “Pusat Gravitasi” bagi perkembangan minyak (Yergin, 1991) .

2.2 Kondisi Internal Irak pasca Perang Delapan Tahun Dengan Iran

Pasca terlepas dari dominasi pemerintahan Inggris, negara Irak terlibat perang dengan negara
tetangganya yaitu Iran di tahun 1980-1988 berkaitan dengan konflik perbatasan wilayah bekas
peninggalan Inggris. Di tahun 1990 Irak mengalami inflasi sebesar 40%, impor penduduk meninkat 12
juta triliun, impor militer lima triliun dollar, hutang dengan negara-negara non arab sebesar 6-7 juta
dollar pertahun (Polack, 2002) . Sementara pendapatan dalam negeri Irak terbesar berasal bergantung
dari minyak mentahnya yang kendati terus mengalami kemerosotan harga setelah ditemukan sumber
minyak baru di Alaska, Laut Utara, dan negara bekas Uni Soviet¹. Menyebabkan persaingan harga yang
begitu ketat antara sumber minyak terbaru tersebut dengan harga yang telah ditetapkan Irak akibatnya
Irak harus menurunkan harga minyaknya jauh di bawah harga yang ditetapkan sebelumnya.

Kondisi internal di negara Irak semakin terpuruk ketika para anggota OPEC seperti Kuwait dan United
Arab Emirates (UAE) memproduksi minyak dengan kuantitas yang berlebihan dan harga yang relatif
rendah dengan tujuan mencapai kebijakan jangka panjang. Hal tersebut mengakibatkan ketergantungan
dunia terhadap minyak mereka seperti halnya Kuwait yang terus maningkatkan produksi minyak mereka
sehingga harga minyak dunia pun jatuh dari 22 dollar menjadi 16 dollar perbarel.

Kondisi ini menjadi tekanan bagi negara Irak dimana negara yang penghasilan utamanya 90% berasal
dari penjualan minyak tersebut terus menurunkan harga dalam menyeimbangkan harga pasaran minyak
dunia dan selain itu Irak juga harus menutupi hutang-hutang pasca peperangannya dengan Iran.
¹ Ladang minyak Irak telah lama di temukan oleh Inggris Raya di tahun 1927.

Presiden Saddam Husein memprediksikan bahwa jatuhnya satu dollar harga minyak dunia akan
menyebabkan kerugian sebesar satu dollar bagi pendapatan Irak dan hal tersebut benar-benar terbukti
hingga tahun 1990 Baghdad mengalami permasalahan finansial yang teramat parah (Polack, 2002).

Kemerosotan ekonomi yang dialami Irak menyebabkan Presiden Saddam Husein kehabisan cara
untuk menyelamatkan negaranya. Hingga ahirnya Irak berani untuk memutuskan perluasan area
penambangan minyaknya sampai ke Kuwait.

Keberanian Presiden Saddam Husein dalam invasinya ke Kuwait didasarkan atas beberapa asumsi
yang masih berkaitan dengan Amerika Serikat yaitu :

► Pertama, Irak percaya bahwa koalisi multinasional Amerika Serikat kesemuanya secara politik rentan
dan akan kolaps jika tekanan terjadi pada hubungan mereka terutama koalisi anggota negara Arab.
Presiden Saddam Husein dan para penasehatnya percaya bahwa banyak negara Arab yang bivalent
(mendua) atas nasib Kuwait, tidak menyukai dukungan Amerika Serikat atas Israel serta sensitif atas
paksaan ”imperialis” di Timur Tengah (al-Radi, 1998).

► Kedua, Presiden Saddam Husein yakin bahwa Amerika Serikat tidak akan mentoleransi harga minyak
Kuwait yang sewaktu-waktu meningkat dan kemudian Amerika Serikat akan meliberalisasi Kuwait. Ia
percaya Kuwait tidak begitu penting bagi Barat dan hanya memfokuskan aliran minyak yang terus
berjalan serta percaya bahwa pelajaran yang dialami Amerika Serikat di Vietnam dan Lebanon di mana
Amerika akan angkat tangan jika unit Amerika mengalami korban yang sangat banyak (al-Radi, 1998).

► Ketiga, Presiden Saddam Husein percaya diri dalam perang Irak ke Kuwait, Amerika Serikat akan
mengalami kekalahan yang serius sehingga mampu memaksa mereka ke meja bargaining. Sayangnya ia
gagal memperhitungkan besarnya “jurang” perbedaan kualitas perlengkapan, taktik dan personel antara
militer Irak dan Amerika Serikat (al-Radi, 1998).

► Keempat, Presiden Saddam Husein percaya bahwa kekuatan udara akan berperan sedikit dalam
perang dengan koalisi. Dalam sebuah siaran radio Presiden Saddam Husein meyakinkan rakyatnya
bahwa Amerika Serikat bergantung pada pasukan udara. Dalam sejarah peperangan, pasukan udara
tidak pernah menentukan perang. Mereka punya setidaknya 600 pasukan udara, semuanya buatan
Amerika Serikat dan pilotnya mendapatkan pelatihan di Amerika Serikat. Mereka terbang ke Baghdad
seperti awan hitam, tapi tetap tidak menentukan hasil akhir perang. Amerika Serikat bisa saja
menghancurkan kota, pabrik, dan membunuh, namun tidak menentukan hasil akhir peperangan dengan
angkatan udara.” (al-Radi, 1998).

► Terakhir, pernyataan diplomat Amerika Serikat April Glaspie dalam lawatannya ke Irak yang
mengatakan bahwa “kita tidak ingin berkomentar terkait konflik negara-negara Arab sebagaimana
masalah perbatasan Anda dengan Kuwait” (Woodward, 212).

Semakin menguatkan asumsi Irak bahwa Amerika Serikat tidak akan mengambil tindakan jika militer Irak
menyerang Kuwait. Presiden Saddam Husein begitu percaya diri dengan asumsi-asumsinya untuk
menjalankan invasi ke Irak. Usaha Organisasi internasional telah diajukan pada Irak. Tercatat pada
musim gugur tahun 1990, Amerika Serikat, Liga Arab, Perancis, dan Rusia tiba di Baghdad mencoba
melakukan penyelesaian masalah invasi Irak ke Kuwait namun tepat sebulan sebelum Operation Desert
Shield (Operasi Badai Gurun) Amerika Serikat ternyata Baghdad segera menolak resolusi yang
dilayangkan pihak PBB.

2.3 Perang Teluk I

Kedekatan Irak dan Amerika Serikat sebenarnya tidak sebegitu intens. Pada masa kerajaan Persia
di Irak pun belum terjalin bilateral di kedua negara tersebut, hingga pada masa pemerintahan Turki
Ottoman baru lah tercipta jalinan bilateral di kedua negara tersebut. Jatuhnya kepemimpinan Turki
Ottoman pasca Perang Dunia I, menjadikan Irak sebagai negara Irak yang modern dan didominasi oleh
negara Inggris bukannya Amerika. Pasca Perang Dunia II, Amerika hanya menaruh minatnya kepada
Arab Saudi dan Iran mengingat kedua negara tersebut merupakan negara yang kaya akan potensi
minyak. Irak sendiri dipandang Amerika sebagai negara radikal lemah dan memiliki kedekatan dengan
Rusia namun tidak begitu mengancam. Barulah di tahun 1980 bilateral antara Irak dan Amerika Serikat
mulai terjalin begitu erat. Akibat kemerosotan ekonomi yang dialami negaranya, Irak berencana untuk
menginvasi Kuwait. Mengetahui rencana Irak untuk menginvasi wilayah Kuwait, hal tersebut menjadi
pukulan keras bagi Presiden Amerika Serikat yaitu Geroge H. W. Bush di mana tindakan Irak menjadi
ancaman bagi negara Adikuasa tersebut dalam meletakan kepentingannya di Teluk Persia dan menjamin
agar minyak terus mengalir serta mencegah munculnya hegemoni musuh di region Teluk. Sebab apabila
Kuwait berhasil di kuasai Irak maka negara Bulan Sabit tersebut akan menguasai 9% dari produksi
minyak global yang mampu disaingkan dengan Arab Saudi dengan penguasaan minyak dunia mencapai
hampir 11%. Dan apabila kekuatan militer Irak berhasil ditempatkan di Kuwait maka akan mengancam
kestabilan Arab Saudi sehingga mengalami “Finlandized” berupa paksaan untuk mengikuti kebijakan
harga minyak luar negeri yang didiktatori Baghdad. Dengan kata lain Irak memiliki kapabilitas untuk
megatur harga minyak global.

Pada pada 2 Agustus 1990 Irak melancarkan invasinya ke Kuwait yang dikenal dengan sebutan
Perang Teluk Persia I atau Gulf War. Invasi Irak ini dibuka dengan penyerangan oleh dua brigade Pasukan
Khusus Republik Irak yang bergerak cepat untuk menguasai istana Amir dan Bank Sentral Kuwait yang ia
percaya akan menemukan tumpukan emas di sana yang sayangnya kebanyakan dari warga Kuwait lebih
banyak menginvestasikan uang mereka ke luar negeri dibanding melakukan investasi pada Bank Sentral
Kuwait oleh karena itu Saddam hanya mendapatkan 2 trilliun dolar billion emas Kuwait (Cigar, 1992 dan
Friedman, 1991). Pada hari yang sama Irak membombardir ibukota Kuwait City dari udara. Meskipun
Angkatan Bersenjata Kuwait, baik kekuatan darat maupun udara berusaha mempertahankan negara,
namun mereka dengan cepat kewalahan. Selanjutnya Kuwait berhasil memperlambat gerak Irak dan
segera menyelamatkan keluarga kerajaan untuk meloloskan diri ke Arab Saudi beserta sebagian besar
tentara yang masih tersisa. Invasi membabibuta yang dilakukan Irak membuat Kuwait meminta bantuan
kepada Amerika Serikat tepat tanggal 7 Agustus 1990.
Presiden Saddam Husein begitu percaya diri dengan invasi yang dilakukannya di atas tanah
Kuwait hingga pada musim gugur tanggal 6 Agustus 1990 Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo
ekonomi Pada Irak Dan dilanjutkan dengan misi diplomatik antara James Addison Baker III diplomat
Amerika Serikat dengan menteri luar negeri Irak Tareq Aziz tanggal 9 Januari 1991 namun tidak
membuahkan hasil, Irak menolak permintaan PBB agar menarik pasukannya dari Kuwait 15 Januari
1991.

Diunduh : http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Teluk_I Pada : 30 November 2011 pukul : 19.45 dengan


sedikit perubahan.

Dengan segera Presiden Amerika Serikat George H. W. Bush mengambil tindakan tegas terhadap
Irak setelah memperoleh izin untuk menyatakan perang oleh Kongres Amerika Serikat tanggal 12 Januari
1991. Amerika Serikat mengirimkan bantuan pasukannya ke Arab Saudi yang disusul negara-negara lain
baik negara-negara Arab dan AfrikaUtara kecuali Syria, Libya, Yordania dan Palestina. Kemudian datang
pula bantuan militer Eropa khususnya Eropa Barat (Inggris, Perancis dan Jerman Barat ditambah negara-
negara Eropa Utara dan Eropa Timur), serta 2 negara Asia yaitu Bangladesh dan Korea Selatan.
Sementara dari Afrika, Niger turut bergabung dalam koalisi. Pasukan Amerika Serikat dan Eropa di
bawah komando gabungan yang dipimpin Jenderal Norman Schwarzkopf serta Jenderal Collin Powell.
Pasukan negara-negara Arab dipimpin oleh Letjen Khalid bin Sultan. Operation Desert Shield (Operasi
Badai Gurun) dimulai tanggal 17 Januari 1991 pukul 03:00 waktu Baghdad yang diawali serangan
serangan udara masif atas Baghdad dan beberapa wilayah Irak lainnya.

Target utama koalisi adalah untuk menghancurkan kekuatan Angkatan Udara Irak dan pertahanan
udara yang diluncurkan dari Arab Saudi dan kekuatan kapal induk koalisi di Laut Merah dan Teluk Persia.
Target berikutnya adalah pusat komando dan komunikasi. Presiden Saddam Hussein yang merupakan
titik sentral komando Irak dan inisiatif di level bawah tidak diperbolehkan. Koalisi berharap jika pusat
komando rusak maka semangat dan koordinasi tempur Irak akan langsung kacau dan lenyap. Target
ketiga dan yang paling utama adalah instalasi rudal jelajah terutama rudal Scud. Operasi pencarian rudal
ini juga didukung oleh pasukan komando Amerika dan Inggris yang mengadakan operasi rahasia di
daratan untuk mencari dan bila perlu menghancurkan instalasi rudal tersebut serta operasi di daratan
yang mengakibatkan perang darat yang dimulai tanggal 30 Januari 1991.

Irak melakukan serangan balasan dengan memprovokasi Israel dengan menghujani Israel terutama Tel
Aviv, Haifa, dan Arab Saudi di Dhahran dengan serangan rudal Scud B buatan Uni Soviet rakitan Irak yang
bernama Al Hussein. Untuk menangkal ancaman Scud, koalisi memasang rudal penangkis, Patriot serta
memaksimalkan sortir udara untuk memburu rudal-rudal tersebut sebelum diluncurkan. Irak juga
melakukan perang lingkungan dengan membakar sumur sumur minyak di Kuwait dan menumpahkan
minyak ke Teluk Persia. Sempat terjadi tawar-menawar perdamaian antara Uni Soviet dengan Irak yang
dilakukan atas diplomasi Yevgeny Primakov dan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev namun ditolak
oleh Presiden Amerika Serikat George H. W. Bush pada tanggal 19 Februari 1991. Sementara Uni Soviet
akhirnya tidak melakukan tindakan apa pun di Dewan Keamanan PBB, meskipun Uni Sovyet pada saat
itu dikenal sebagai sekutu Irak terutama dalam hal suplai persenjataan. Selanjutnya Israel diminta
Amerika Serikat untuk tidak mengambil serangan balasan atas Irak untuk menghindari berbaliknya
kekuatan militer Negara Negara Arab yang dikhawatirkan akan mengubah jalannya peperangan. Pada
tanggal 27 Februari 1991 pasukan Koalisi berhasil membebaskan Kuwait dari ivasi Irak dan Presiden
Amerika Serikat George H. W. Bush menyatakan perang telah usai.

2.4 Perang Teluk II (Perang Irak)

Genderang perang bertalu-talu semakin seru pasca melancarkan aksi Perang Teluk Persia I,
selanjutnya di bawah kepemimpinan presiden Amerika Serikat George W. Bush anak dari George H. W.
Bush menyiapkan perang di Teluk untuk kembali menyerang Irak.

Diunduh : http://harsono.com/articles/perangteluk.html Pada: 30 November 2011 pukul : 20.14 dengan


sedikit perubahan.

Dengan dalil bahwa Irak adalah negara paling berbahaya dengan 5 gelar yaitu negara diktator, negara
teroris, kepemilikan senjata nuklir, kimia dan senjata kuman.

Alasan tersebut dijadikan Amerika Serikat dan Inggris untuk menggulingkan tampuk
kepemimpinan Presiden Irak yakni Saddam Husein. Januari 2003 sebenarnya para pemimpin Arab telah
mendesak Saddam Husein untuk segera meninggalkan negerinya demi keselamatan Irak namun usulan
tersebut tidak digubris oleh pemimpin Irak tersebut dan tetap bersikukuh untuk tinggal di tanah
kepemimpinanya tersebut.

Apabila kita tinjau dari kacamata perpolitikan adapun tujuan terselubung niat Amerika Serikat
melakukan rencana serangan Teluk Persia II yakni apabila Amerika Serikat berhasil menaklukan Irak
maka akan ada kemudahan negara adikuasa tersebut dalam meletakan kepentingannya di Timur Tengah
yakni khususnya memberi pengaruhnya kepada Iran dengan demikian setidaknya negara adikuasa
tersebut sudah mampu melenyapkan dua negara poros setan yang terdiri dari empat negara yang
dituduhkan George W. Bush yaitu Irak, Iran, Libya dan Korea Utara. Amerika juga akan mampu memberi
tekanan militer terhadap negara-negara Teluk dengan memaksa pemerintah negara-negara Teluk
membasmi kelompok ekstrim yang antiAmerika. Selanjutnya negara adikuasa tersebut dapat
melaksanakan strategis pengendalian harga minyak mentah dunia serta memantapkan posisi Amerika
sebagai Penguasa Dunia .

Posisi Irak sangat lemah karena sudah terisolasi lebih dari 10 tahun pasca Perang Teluk Persia I.
Maka tanpa bantuan dari sekutupun, Amerika mampu menaklukkan Irak dengan kekuatan militer
sendiri. Amerika telah memperhitungkan bahwa dalam aksi perang kali ini tidak ada negara yang berani
membantu Irak.
Astrid (2011) . Sejarah Perang-Perang Besar Di Dunia. Yogyakarta : Familia Pustaka Keluarga.

Selanjutnya tim ekspedisi PBB tidak mampu menemukan senjata pemusnah massal yang diungkapkan
Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Sedangkan negara Rusia, China dan Perancis mendesak agar
tim ekspedisi dari PBB memberikan waktu untuk membuktikan tuduhan kepemilikan senjata pemusnah
massal Irak.

Bahkan negara Jerman turut angkat bicara bahwa serangan militer terhadap Irak yang
memang telah lemah karena embargo PBB bukanlah hal yang bijaksana. Meskipun demikian pihak
Amerika tidak menggubris peringatan dari berbagai negara terbukti pada Maret 2003 Amerika
mengirimkan sekitar 250.000 tentara ke wilayah Teluk dibantu kerajaan Inggris yang mengirimkan
45.000 tentara ke Irak.

Presiden negara Irak Saddam Husein memperoleh dukungan dari berbagai kalangan
internasional yang memandang bahwa Irak menjadi korban rezim penguasa global yang kejam. 15
Februari 2003 terjadi demonstrasi di seluruh penjuru dunia menentang tindakan Amerika Serikat yang
akan melakukan penyerangan ke Irak, para demonstran berasumsi bahwa Amerika Serikat merupakan
negara penegak nilai-nilai demokrasi namun pada kenyataan Amerika Serikat bersikap kejam dan tidak
berprikemanusiaan.

Tanggal 22 Februari 2003 Hans Blix selaku kepala inspeksi senjata PBB memerintahkan Irak
untuk menghancurkan rudal Al-Samoud 2 karena dianggap telah melebihi jarak tembak yang hanya
boleh mencapai 300 km. Menanggapi perintah inspeksi senjata PBB Irak segera melakukan perintah
sesuai yang diamanatkan tanpa melakukan perlawanan. Tanggal 24 Februari 2003 Amerika bersikukuh
mengajukan draft resolusi kepada PBB untuk mengultimatum negara Irak. Di luar restu PBB, Amerika
dan inggris melancarkan kampanye untuk menggulingkan kepemimpinan Presiden Saddam Husein dari
kancah pemerintahannya di Irak. Hingga pada tanggal 17 Maret 2003 Presiden Amerika Serikat George
W. Bush memberi ultimatum kepada Presiden Saddam Husein untuk segera meninggalkan negeri yang
dipimpinya dalam tempo 48 jam. Peringatan tersebut tidak diindahkan oleh Presiden Irak tersebut
sampai 19 Maret 2003, Amerika Serikat beserta koalisinya melakukan invasinya ke Irak (dikenal dengan
istilah “Operasi Pembebasan Irak” ) .

Tujuan utama pelaksanaan Operasi Pembebasan Irak oleh Amerika yaitu melucuti senjata
pemusnah massal Irak, mengakhiri dukungan Presiden Saddam Hussein terhadap aksi terorisme, serta
memerdekakan rakyat Irak. Tanggal 18 Februari 2003 Amerika kembali mengirimkan 100.000 tentaranya
kali ini ke Kuwait serta memaksimalkan dukungan lebih dari 20 negara dan bantuan suku Kurdi di utara
Irak untuk memperkuat pertahanan. Kepemimpinan Presiden Saddam Husein berakhir pada tanggal 9
April 2003 ditandai dengan robohnya patung Saddam Husein berada tepat di lapangan Firdaus yang
dihancurkan oleh tank Amerika.

Setelah berhasil menguasai istana kepresidenan dan sebagian pangkalan militer Irak maka
dengan segera tentara Amerika berhasil menguasai Irak secara keseluruhan. Sementara pasukan Irak
yang tergabung dalam Garda Revolusi yang dipimpin oleh anak-anak dari Saddam Husein tidak mampu
membendung kekuatan gabungan militer Amerika. Terkepungnya wilayah Rafhafah dan Azhamiyah
menjadi tempat terakhir bagi kekuatan militer Irak.

Perang Irak menimbulkan kekacauan dan penjarahan besar-besaran di Baghdad. Setelah berhasil
menjatuhkan Baghdad, misi Amerika selanjutnya ialah menangkap Saddam Husein beserta pejabat-
pejabat negara Irak yang melakukan perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat. Tanggal 13 Januari
Desember 2003, Saddam Husein berhasil ditangkap di sebuah bunker kota Tikrit atas informasi
gerilyawan Kurdi.

Tertangkapnya Saddam Husein memberikan kebanggaan tersendiri bagi pihak Amrika Serikat
yang merasa telah mampu menumbangkan kepemimpinan yang diktator. Tanggal 1 Maret 2003 perang
Teluk Persia II/ Perang Irak dinyatakan telah resmi berakhir dan di atas geladak kapal induk USS,
Abraham Lincoln membentangkan spantuk raksasa yang bertuliskan “Mision Accomlished (Misi Selesai)
“. Meski perang telah usai keadaan Irak tidak sepenuhnya damai , 30 September 2006 Saddam Husein
dihukum gantung dan dinyatakan bersalah atas kejahatannya terhadap kemanusiaan oleh pengadilan
Irak. Tanggal 31 Agustus 2010 Presiden Amerika Serikat pengganti George W. Bush pasca usai masa
jabatan yaitu Presiden Barack Hussein Obama menyatakan bahwa perang telah berakhir serta
memerintahkan penarikan pasukan Amerika dari irak² .

² Perang Teluk Persia II/ Perang Irak telah menewaskan 2.923 jiwa tentara Amerika dan 150.000 jiwa
pihak Irak.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Breuning (2007) menyatakan bahwa kebijakan luar negeri pada dasarnya bersifat memiliki tujuan
atau tindakan yang didasari oleh tujuan-tujuan tertentu. Itu artinya, seburuk apapun outcome yang
dihasilkan oleh sebuah kebijakan sudah dipastikan memiliki alasan-alasan di balik proses pembuatan
keputusan. Dalam kasus kebijakan luar negeri yang diputuskan Presiden Irak yanki Saddam Husein
dalam menginvasi Irak terdapat beberapa alasan di balik itu semua kendati dalam proses mencapai
tujuannya justru memberikan outcome yang sangat buruk bagi kestabilan negara Irak.

Begitu pula kebijakan luar negeri yang dihasilkan Presiden George H. W. Bush dan anaknya
Presiden George W. Bush untuk melakukan invasi sebanyak dua kali di tanah Irak tentu saja memiliki
tujuan-tujuan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negaranya, meskipun secara umum
dipaparkan bahwa dalam Perang Teluk Persia I invasi menggunakan alasan atas tindakan invasi Irak atas
Kuwait dan dalam Perang Teluk Persia II beralasan 5 tuduhan yang dilayangkan kepada negara Irak
yakni dikatator, pendukung terorisme, kepemilikan senjata nuklir, kimia dan kuman. Yang artiannya
tujuan invasi Amerika Serikat secara umum digambarkan demi menjaga kestabilan dunia.

Tetapi kita tidak mengetahui gambaran tersirat bahwa di balik kebijakan luar negeri terkait dua invasi
tersebut memiliki kepentingan tersendiri bagi Amerika Serikat. Seperti yang telah dipaparkan dalam
uraian Perang Teluk Persia II akan memberikan keuntungan tersendiri bagi Amerika Serikat apabila ia
berhasil menaklukan Irak yaitu kemudahan negara adikuasa tersebut dalam meletakan kepentingannya
di Timur Tengah yakni khususnya memberikan pengaruhnya di Iran dengan demikian setidaknya negara
adikuasa tersebut sudah mampu melenyapkan dua negara poros setan yang terdiri dari empat negara
yang dituduhkan George W. Bush yaitu Irak, Iran, Libya dan Korea Utara. Amerika juga akan mampu
memberi tekanan militer terhadap negara-negara Teluk dengan memaksa pemerintah negara-negara
Teluk membasmi kelompok ekstrim yang antiAmerika. Selanjutnya negara adikuasa tersebut dapat
melaksanakan strategis pengendalian harga minyak mentah dunia serta memantapkan posisi Amerika
sebagai Penguasa Dunia .

Secara tidak langsung kita tidak mampu menerjemahkan maksud dari kebijakan luar negeri
Amerika serikat namun apabila kita tinjau dari kacamata perpolitikan maka kita akan menyadari bahwa
permainan politik dan kepentingan nasional berperan di dalamnya. Oleh sebab itu pentinglah bagi kita
untuk mengenal apa itu politik dan bagaimana maksud dan tujuan tersurat maupun tersirat sehingga
mampu mempertahankan eksistensi negara kita di kancah percaturan internasional.

You might also like