You are on page 1of 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Merawat kulit bayi dan anak usia kurang dari 5 tahun merupakan salah satu
hal yang tidak boleh dilupakan oleh para orang tua. Hal ini disebabkan, kulit bayi
dan anak kecil yang sangat muda dan sensitif yang rentan akan berbagai unsur
penyakit dan berbagai-bagai macam gangguan lainnya. Kadang-kadang para ibu
melupakan mengenai perawatan bayi dan anak kecil ini, karena melihat bahwa
kulit bayi dan anak kecil yang begitu halus, lembut dan kelihatan segar, sehingga
merasa perawatan kulit bayi dan anak kecil tidak diperlukan lagi. Selain itu,
penyakit kulit kronis pada bayi dan anak kecil yang bersifat patologis disebabkan
lingkungan yang tidak sehat dan perawatan yang kurang terhadap kulit bayi dan
anak kecil.

Masalah gangguan integritas kulit yang sering terjadi pada anak yaitu luka
bakar. Luka bakar adalah cedera terhadap jaringan yang disebabkan oleh kontak
terhadap panas kering (api), panas lembab (uap atau cairan panas), kimiawi
(seperti bahan-bahan korosif), bahan-bahan elektrik (arus listrik atau lampu),
friksi, atau energi elektromagnetik dan radian. Luka bakar merupakan satu jenis
trauma yang memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi sehingga memerlukan
perawatan yang khusus mulai fase awal hingga fase lanjut (Hatta, 2015).

Setiap tahun di Indonesia hampir 1 juta anak meninggal karena kecelakaan.


Kecelakaan yang biasa terjadi adalah jatuh, terbakar dan tenggelam. Hampir
semuanya dapat dicegah dan dapat diatasi jika orang tua tahu apa yang harus
mereka lakukan untuk mencegah kecelakaan dan jika terjadi kecelakaan (Depkes
RI, 2010). Luka bakar karena kebakaran merupakan satu dari banyak tipe luka
bakar yang paling fatal dan sering terjadi ketika anak bermain dengankorek api
dan secara tidak sengaja membuat diri (dan rumah) anak terbakar. Anak berisiko
tinggi mengalami luka bakar, sebagian luka bakar terjadi dirumah misalnya pada
waktu memasak, memanaskan air atau menggunakan alat listrik yang paling sering
menyebabkan kejadian ini. Kecelakaan industri juga dapat menyebabkan luka
bakar (Wong, 2008)

1
Kulit bayi dan anak-anak kecil perlu mendapat perawatan khusus
disebabkan kulit bayi dan anak-anak kecil lebih tipis dibandingkan anak-anak
besar dan sel-sel pada semua stratum lebih rapat. Kulit mereka jauh lebih rentan
terkena infeksi bakteri superficial dan eritema toksik. Mereka lebih cenderung
mengalami gejala sistemik akibat beberapa infeksi dan lebih cepat bereaksi
terhadap iritan primer dibandingkan alergen pembuat sensitive.Ketua PPP
Persatuan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) dr Titi
Lestari Sugito SpKK mengatakan bahwa kulit bayi atau anak relatif rentan
terhadap berbagai kelainan kulit dibandingkan dewasa. “Di Indonesia, hampir 90
persen bayi pernah alami masalah kulit,”Malah bayi dan anak kecil sering
terserang dermatitis atopic kronis (eksim). Berdasarkan pengumpulan data
Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) tahun2001, dari 9 rumah
sakit di 7 kota besar di Indonesia, jumlah penderita dermatitis atopik terbanyak
dijumpai di Jakarta yaitu 335 kasus di 3 rumah sakit. Di berbagai belahan dunia,
laporan kasus dermatitis atopic masih sering ditemukan pada keadaan lingkungan
yang padat penduduk, status ekonomi rendah, tingkat pendidikan yang rendah dan
kualitas higienis pribadi yang kurang baik atau cenderung jelek.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum

Untuk Mengidentifikasi dan menganalisis perawatan terkini manajemen


integritas kulit yang diaplikasikan di tatanan pelayanan kritis berdasarkan
evidence based practice.

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Untuk mengetahui anatomi fisiologi Kulit
b. Untuk mengetahui trend dan isu perawatan luka

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 MANAGING SKIN INTEGRITY

2.1.1 ANATOMI SKIN/KULIT

a. Definisi Kulit
Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh bagian
tubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya. Luas kulit
pada manusia rata-rata + 2 meter persegi dengan berat 10 kg jika ditimbang dengan
lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak atau beratnya sekitar 16 % dari berat badan
seseorang.

Kulit memiliki fungsi melindungi bagian tubuh dari berbagai macam


gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah
mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus menerus
(keratinisasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah mati), respirasi dan
pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat serta pembentukan pigmen
melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultra violet matahari.

Kulit merupakan suatu kelenjar holokrin yang cukup besar dan seperti
jaringan tubuh lainnya, kulit juga bernafas (respirasi), menyerap oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida. Kulit menyerap oksigen yang diambil lebih banyak
dari aliran darah, begitu pula dalam pengeluaran karbondioksida yang lebih
banyak dikeluarkan melalui aliran darah. Kecepatan penyerapan oksigen ke dalam
kulit dan pengeluaran karbondioksida dari kulit tergantung pada banyak faktor di
dalam maupun di luar kulit, seperti temperatur udara atau suhu, komposisi gas di
sekitar kulit, kelembaban udara, kecepatan aliran darah ke kulit, tekanan gas di
dalam darah kulit, penyakit-penyakit kulit, usia, keadaan vitamin dan hormon di
kulit, perubahan dalam metabolisme sel kulit dan pemakaian bahan kimia pada
kulit.

3
Sifat-sifat anatomis dan fisiologis kulit di berbagai daerah tubuh sangat
berbeda. Sifat-sifat anatomis yang khas, berhubungan erat dengan tuntutan-
tuntutan faali yang berbeda di masing-masing daerah tubuh, seperti halnya kulit di
telapak tangan, telapak kaki, kelopak mata, ketiak dan bagian lainnya merupakan
pencerminan penyesuaiannya kepada fungsinya masing - masing. Kulit di daerah
– daerah tersebut berbeda ketebalannya, keeratan hubungannya dengan lapisan
bagian dalam, dan berbeda pula dalam jenis serta banyaknya andeksa yang ada di
dalam lapisan kulitnya.

Pada permukaan kulit terlihat adanya alur-alur atau garis-garis halus yang
membentuk pola yang berbeda di berbagai daerah tubuh serta bersifat khas bagi
setiap orang, seperti yang ada pada jari-jari tangan, telapak tangan dan telapak kaki
atau dikenal dengan pola sidik jari (dermatoglifi).

b. Struktur Kulit
Struktur kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu : kulit ari (epidermis),sebagai lapisan yang
paling luar, kulit jangat (dermis, korium atau kutis) dan jaringan penyambung di bawah
kulit (tela subkutanea,hipodermis atau subkutis)

1. Epidermis
Epidermis sering kita sebut sebagai kuit luar. Epidermis merupakan
lapisan teratas pada kulit manusia dan memiliki tebal yang berbeda-beda : 400-
600 μm untuk kulit tebal (kulit pada telapak tangan dan kaki) dan 75-150 μm
untuk kulit tipis (kulit selain telapak tangan dan kaki, memiliki rambut). Selain
sel-sel epitel, epidermis juga tersusun atas lapisan:

4
a. Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin melalui proses
melanogenesis.
Melanosit (sel pigmen) terdapat di bagian dasar epidermis. Melanosit
menyintesis dan mengeluarkan melanin sebagai respons terhadap rangsangan
hormon hipofisis anterior, hormon perangsang melanosit (melanocyte
stimulating hormone, MSH). Melanosit merupakan sel-sel khusus epidermis
yang terutama terlibat dalam produksi pigmen melanin yang mewarnai kulit
dan rambut. Semakin banyak melanin, semakin gelap warnanya.. Melanin
diyakini dapat menyerap cahaya ultraviolet dengan demikian akan melindungi
seseorang terhadap efek pancaran cahaya ultraviolet dalam sinar matahari
yang berbahaya.

b. Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan sumsum tulang,
yang merangsang sel Limfosit T, mengikat, mengolah, dan merepresentasikan
antigen kepada sel Limfosit T. Dengan demikian, sel Langerhans berperan
penting dalam imunologi kulit.Sel-sel imun yang disebut sel Langerhans
terdapat di seluruh epidermis. Sel Langerhans mengenali partikel asing atau
mikroorganisme yang masuk ke kulit dan membangkitkan suatu serangan
imun. Sel Langerhans mungkin bertanggungjawab mengenal dan
menyingkirkan sel-sel kulit displastik dan neoplastik. Sel Langerhans secara
fisik berhubungan dengan saraf-sarah simpatis , yang mengisyaratkan adanya
hubungan antara sistem saraf dan kemampuan kulit melawan infeksi atau
mencegah kanker kulit. Stres dapat memengaruhi fungsi sel Langerhans
dengan meningkatkan rangsang simpatis. Radiasi ultraviolet dapat merusak
sel Langerhans, mengurangi kemampuannya mencegah kanker.
c. Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris dan
berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus.
d. Keratinosit, yang secara bersusun dari lapisan paling luar hingga paling dalam
sebagai berikut:
1. Stratum Korneum /lapisan tanduk, terdiri atas 15-20 lapis sel gepeng, tanpa
inti dengan sitoplasma yang dipenuhi keratin. Lapisan ini merupakan
lapisan terluar dimana eleidin berubah menjadi keratin yang tersusun tidak

5
teratur sedangkan serabut elastis dan retikulernya lebih sedikit sel-sel
saling melekat erat.

2. Stratum Lucidum tidak jelas terlihat dan bila terlihat berupa lapisan tipis
yang homogen, terang jernih, inti dan batas sel tak terlihat. Stratum
lucidum terdiri dari protein eleidin. Selnya pipih, bedanya dengan stratum
granulosum adalah sel-sel sudah banyak yang kehilangan inti dan butir-
butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus sinar. Lapisan ini hanya
terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki

3. Stratum Granulosum/ lapisan keratohialin, terdiri atas 2-4 lapis sel


poligonal gepeng yang sitoplasmanya berisikan granul keratohialin. Pada
membran sel terdapat granula lamela yang mengeluarkan materi perekat
antar sel, yang bekerja sebagai penyaring selektif terhadap masuknya
materi asing, serta menyediakan efek pelindung pada kulit.

4. Stratum Spinosum/ stratum malphigi / pickle cell layer, tersusun dari


beberapa lapis sel di atas stratum basale. Sel pada lapisan ini berbentuk
polihedris dengan inti bulat/lonjong. Pada sajian mikroskop tampak
mempunyai tonjolan sehingga tampak seperti duri yang disebut spina dan
terlihat saling berhubungan dan di dalamnya terdapat fibril sebagai
intercellular bridge.Sel-sel spinosum saling terikat dengan filamen;
filamen ini memiliki fungsi untuk mempertahankan kohesivitas
(kerekatan) antar sel dan melawan efek abrasi. Dengan demikian, sel-sel
spinosum ini banyak terdapat di daerah yang berpotensi mengalami
gesekan seperti telapak kaki.

5. Stratum Basal/Germinativum, merupakan lapisan paling bawah pada


epidermis (berbatasan dengan dermis), tersusun dari selapis sel-sel pigmen
basal , berbentuk silindris dan dalam sitoplasmanya terdapat melanin. Pada
lapisan basal ini terdapat sel-sel mitosis.

6
Ket :
A: Melanosit
B: Sel Langerhans
C: Sel Merkel
D:Nervanda
1. Stratum Korneum
2. Stratum Lucidum
3. Stratum Granulosum
4. Stratum Spinosum
5. Basal membran

Gambar : struktur epidermis

2. Dermis
Lapisan yang mempunyai ketebalan 4kali lipat dari lapisan epidermis
(kira-kira 0.25-2.55mm ketebalannya) tersusun dari jaringan penghubung dan
penyokong lapisan epidermis dan mengikatkannya pada lapisan dalam
hipodermis. Lapisan ini terbagi atas :

a. Lapisan papilari,
Merupakan lapisan tipis dan terdiri dari jaringan penghubung yang longgar
menghubungkan lapisan epidermis kelapisan subcutis, banyak terdapat sel
mast dan sel makrofag yang diperlukan untuk menghancurkan
mikroorganisme yang menembus lapisan dermis. Di lapisan ini juga
terdapat sejumlah kecil elastin dan kolagen. Lapisan ini berbentuk
gelombang yang terjulur kelapisan epidermis untuk memudahkan kiriman
nutrisi kelapisan epidermis yang tidak mempunyai pembuluh darah.

b. Lapisan Retikular,
Merupakan lapisan tebal dan terdiri dari jaringan penghubung padat
dengan susunan yang tidak merata, disebut lapisan retikular karena banyak
terdapat serat elastin dan kolagen yang sangat tebal dan saling berangkai
satu sama lain menyerupai jaring-jaring. Dengan adanya serat elastin dan
kolagen akan membuat kulit menjadi kuat, utuh kenyal dan meregang
dengan baik. Komponen dari lapisan ini berisi banyak struktur khusus yang
melaksanakan fungsi kulit. Terdiri dari :

7
1) Kelenjar sebaceous/sebasea (kelenjar lemak)
Menghasilkan sebum, zat semacam lilin, asam lemak atau trigliserida
bertujuan untuk melumasi permukaan kulit dikeluarkan melalui folikel
rambut yang mengandung banyak lipid. pada orang yang jenis kulit
berminyak maka sel kelenjar sebaseanya lebih aktif memproduksi
minyak, dan bila lapisan kulitnya tertutup oleh kotoran,debu atau
kosmetik menyebabkan sumbatan kelenjar sehingga terjadi
pembengkakan. pada gambar dibawah terlihat kelenjar sebasea yang
berwarna kuning dan disebelah kanannya terdapat kelenjar keringat)

Gambar :kelenjar sebasea

2) Eccrine sweat glands atau kelenjar keringat


Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL air
dapat keluar dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap hari.
Seorang yang bekerja dalam ruangan mengekskresikan 200 mL
keringat tambahan, dan bagi orang yang aktif jumlahnya lebih banyak
lagi. Selain mengeluarkan air dan panas, keringat juga merupakan
sarana untuk mengekskresikan garam, karbondioksida, dan dua
molekul organik hasil pemecahan protein yaitu amoniak dan urea.
Terdapat dua jenis kelenjar keringat, yaitu kelenjar keringat apokrin
dan kelenjar keringat merokrin.

a) Kelenjar keringat apokrin terdapat di daerah aksila, payudara dan


pubis, serta aktif pada usia pubertas dan menghasilkan sekret yang
kental dan bau yang khas. Kelenjar keringat apokrin bekerja ketika
ada sinyal dari sistem saraf dan hormon sehingga sel-sel mioepitel

8
yang ada di sekeliling kelenjar berkontraksi dan menekan kelenjar
keringat apokrin. Akibatnya kelenjar keringat apokrin melepaskan
sekretnya ke folikel rambut lalu ke permukaan luar.
b) Kelenjar keringat merokrin (ekrin) terdapat di daerah telapak
tangan dan kaki. Sekretnya mengandung air, elektrolit, nutrien
organik, dan sampah metabolisme. Kadar pH-nya berkisar 4.0 – 6.8.
Fungsi dari kelenjar keringat merokrin adalah mengatur temperatur
permukaan, mengekskresikan air dan elektrolit serta melindungi
dari agen asing dengan cara mempersulit perlekatan agen asing dan
menghasilkan dermicidin, sebuah peptida kecil dengan sifat
antibiotik.

gambar: kelenjar keringat

3) Pembuluh darah
Dilapisan dermis sangat kaya dengan pembuluh darah yang
memberi nutrisi penting untuk kulit, baik vitamin, oksigen maupun
zat-zat penting lainnya untuk metabolisme sel kulit, selain itu
pembuluh darah juga bertugas mengatur suhu tubuh melalui
mekanisme proses pelebaran atau dilatasi pembuluh darah.

Aliran darah untuk kulit berasal dari subkutan tepat di bawah


dermis. Arteri membentuk anyaman yang disebut retecutaneum yaitu
anyaman pembuluh darah di jaringan subkutan, tepat di bawah dermis.
Cabang-cabang berjalan ke superficial dan ke dalam. Fungsi
vaskularisasi yang ke dalam ini adalah untuk memelihara jaringan

9
lemak dan folikel rambut.Cabang yang menembus stratum reticulare,
memberi cabang ke folikel rambut, kelenjar keringat dan kelenjar
sebasea.

Pada perbatasan Str. Reticullare Str. Papilare membentuk


anyaman ke 2 yang disebut Rete Sub Papillare berupa pembuluh darah
yang lebih kecil. Arteriole-arteriole dari rete sub papillare berjalan ke
arah epidermis dan berubah menjadi anyaman kapiler (capilary beds).
Pembuluh kapiler ini terdapat pada tepat di bawah epidermis, sekitar
matrik folikel rambut, papila folikel rambut, sekitar kelenjar keringat
dan sebasea. Selain itu di bagian superfisial di stratum retikulare
terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus papilaris.
Pada keadaan temperatur udara lebih rendah dari tubuh maka kapiler
venulae di stratum papilare dan subpapilare menyempit sehingga
temperatur tubuh tidak banyak yang hilang. Bila udara panas kelenjar
keringat aktif memproduksi keringat kapiler dan venulae dilatasi
penguapan keringat.

4) Serat elastin dan kolagen


Semua bagian pada kulit harus diikat menjadi satu, dan pekerjaan
ini dilakukan oleh sejenis protein yang ulet yang dinamakan kolagen.
Kolagen merupakan komponen jaringan ikat yang utama dan dapat
ditemukan pada berbagai jenis jaringan serta bagian tubuh yang harus
diikat menjadi satu. Protein ini dihasilkan oleh sel-sel dalam jaringan
ikat yang dinamakan fibroblast. Kolagen diproduksi dalam bentuk
serabut yang menyusun dirinya dengan berbagai cara untuk memenuhi
berbagai fungsi yang spesifik. Pada kulit serabut kolagen tersusun
dengan pola rata yang saling menyilang.

Kolagen bekerja bersama serabut protein lainnya yang dinamakan


elastin yang memberikan elastisitas pada kulit. Kedua tipe serabut ini
secara bersama-sama menentukan derajat kelenturan dan tonus pada
kulit. Perbedaan serat Elastin dan kolagen, adalah serat elastin yang
membuat kulit menjadi elastin dan lentur sementara kolagen yang

10
memperkuat jaring-jaring serat tersebut. Serat elastin dan kolagen itu
sendiri akan berkurang produksinya karena penuaan sehingga kulit
mengalami kehilangan kekencangan dan elastisitas kulit.

5) Syaraf nyeri dan reseptor sentuh


Kulit juga seperti organ lain terdapat cabang-cabang saraf spinal
dan permukaan yang terdiri dari saraf-saraf motorik dan saraf sensorik.
Ujung saraf motorik berguna untuk menggerakkan sel-sel otot yang
terdapat pada kulit, sedangkan saraf sensorik berguna untuk menerima
rangsangan yang terdapat dari luar atau kulit. Pada kulit ujung-ujung,
saraf sensorik ini membentuk bermacam-macam kegiatan untuk
menerima rangsangan.

3. Subkutan
Jaringan Subkutan atau hipodermis merupakan lapisan kulit yang
paling dalam. Lapisan ini terutama berupa jaringan adiposa yang
memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot
dan tulang. Banyak mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan
syaraf juga terdapat gulungan kelenjar keringat dan dasar dari folikel
rambut. Jaringan ini memungkinkan mobilitas kulit, perubahan kontur
tubuh dan penyekatan panas tubuh. Lemak atau gajih akan bertumpuk dan
tersebar menurut jenis kelamin seseorang, dan secara parsial menyebabkan
perbedaan bentuk tubuh laki-laki dengan perempuan. Makan yang
berlebihan akan meningkatkan penimbunan lemak di bawah kulit. Jaringan
subkutan dan jumlah lemak yang tertimbun merupakan faktor penting
dalam pengaturan suhu tubuh. Tidak seperti epidermis dan dermis, batas
dermis dengan lapisan ini tidak jelas.

Pada bagian yang banyak bergerak jaringan hipodermis kurang,


pada bagian yan melapisi otot atau tulang mengandung anyaman serabut
yang kuat. Pada area tertentu yng berfungsi sebagai bantalan (payudara dan
tumit) terdapat lapisan sel-sel lemak yang tipis. Distribusi lemak pada
lapisan ini banyak berperan dalam pembentukan bentuk tubuh terutama
pada wanita.

11
gambar : struktur kulit

2.1.2 FISIOLOGI SKIN/KULIT


Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga homeostasis
tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi proteksi, absorpsi,
ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), dan pembentukan
vitamin D.

1. Fungsi proteksi
Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai cara sebagai
yaitu berikut:

a. Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas, dan zat kimia.
Keratin merupakan struktur yang keras, kaku, dan tersusun rapi dan erat seperti
batu bata di permukaan kulit.
b. Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan kulit dan
dehidrasi; selain itu juga mencegah masuknya air dari lingkungan luar tubuh
melalui kulit.

12
c. Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan rambut dari
kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang berfungsi membunuh bakteri
di permukaan kulit. Adanya sebum ini, bersamaan dengan ekskresi keringat,
akan menghasilkan mantel asam dengan kadar pH 5-6.5 yang mampu
menghambat pertumbuhan mikroba.
d. Pigmen melanin melindungi dari efek dari sinar UV yang berbahaya. Pada
stratum basal, sel-sel melanosit melepaskan pigmen melanin ke sel-sel di
sekitarnya. Pigmen ini bertugas melindungi materi genetik dari sinar matahari,
sehingga materi genetik dapat tersimpan dengan baik. Apabila terjadi
gangguan pada proteksi oleh melanin, maka dapat timbul keganasan.
e. Selain itu ada sel-sel yang berperan sebagai sel imun yang protektif. Yang
pertama adalah sel Langerhans, yang merepresentasikan antigen terhadap
mikroba. Kemudian ada sel fagosit yang bertugas memfagositosis mikroba
yang masuk melewati keratin dan sel Langerhans.
2. Fungsi absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larut-lipid
seperti vitamin A, D, E, dan K, obat-obatan tertentu, oksigen dan karbon
dioksida. Permeabilitas kulit terhadap oksigen, karbondioksida dan uap air
memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Selain itu
beberapa material toksik dapat diserap seperti aseton, CCl4, dan merkuri.
Beberapa obat juga dirancang untuk larut lemak, seperti kortison, sehingga
mampu berpenetrasi ke kulit dan melepaskan antihistamin di tempat
peradangan. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit,
hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat
berlangsung melalui celah antarsel atau melalui muara saluran kelenjar; tetapi
lebih banyak yang melalui sel-sel epidermis daripada yang melalui muara
kelenjar.

3. Fungsi ekskresi
Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua kelenjar
eksokrinnya, yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat

13
4. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.
Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan Ruffini di dermis
dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan Krause yang
terletak di dermis, badan taktil Meissner terletak di papila dermis berperan
terhadap rabaan, demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di
epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di
epidermis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di daerah
yang erotik.

5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)


Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
melalui dua cara: pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran darah di
pembuluh kapiler. Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat
dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi)
sehingga panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu
rendah, tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit
pembuluh darah (vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas
oleh tubuh.

6. Fungsi pembentukan vitamin D


Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengaktivasi prekursor 7
dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar ultraviolet. Enzim di hati dan ginjal
lalu memodifikasi prekursor dan menghasilkan calcitriol, bentuk vitamin D
yang aktif. Calcitriol adalah hormon yang berperan dalam mengabsorpsi
kalsium makanan dari traktus gastrointestinal ke dalam pembuluh darah.
Walaupun tubuh mampu memproduksi vitamin D sendiri, namun belum
memenuhi kebutuhan tubuh secara keseluruhan sehingga pemberian vitamin
D sistemik masih tetap diperlukan. Pada manusia kulit dapat pula
mengekspresikan emosi karena adanya pembuluh darah, kelenjar keringat,
dan otot-otot di bawah kulit.

14
2.1.3 JENIS-JENIS LUKA
a. Berdasarkan Kategori
1) Luka Accidental
Adalah cedera yang tidak disengaja, seperti kena pisau, luka tembak,
luka bakar; tepi luka bergerigi; berdarah; tidak steril

Gambar 1. Luka bakar

2) Luka Bedah
Merupakan terapi yang direncanakan, seperti insisi bedah, needle
introduction; tepi luka bersih; perdarahan terkontrol; dikendalikan dengan
asepsis bedah

Gambar 2. Luka post op skin graft

b. Berdasarkan integritas kulit


1) Luka terbuka
Kerusakan melibatkan kulit atau membran mukosa; kemungkinan
perdarahan disertai kerusakan jaringan; risiko infeksi

2) Luka tertutup
Tidak terjadi kerusakan pada integritas kulit, tetapi terdapat kerusakan
jaringan lunak; mungkin cedera internal dan perdarahan

15
c. Berdasarkan Descriptors
1) Aberasi
Luka akibat gesekan kulit; superficial; terjadi akibat prosedur dermatologik
untuk pengangkatan jaringan skar

2) Puncture
Trauma penetrasi yang terjadi secara disengaja atau tidak disengaja oleh
akibat alat-alat yang tajam yang menusuk kulit dan jaringan di bawah kulit

3) Laserasi
Tepi luka kasar disertai sobekan jaringan, objek mungkin terkontaminasi;
risiko infeksi

4) Kontusio
Luka tertutup; perdarahan di bawah jaringan akibat pukulan tumpul; memar

d. Klasifikasi Luka Bedah


1) Luka bersih
Luka bedah tertutup yang tidak mengenai system gastrointestinal, ,
pernafasan atau system genitourinary, risiko infeksi rendah

2) Bersih terkontaminasi
Luka melibatkan system gastrointestinal, pernafasan atau system
genitourinary, risiko infeksi

3) Kontaminasi
Luka terbuka, luka traumatic, luka bedah dengan asepsis yang buruk; risiko
tinggi infeksi

4) Infeksi
Area luka terdapat patogen; disertai tanda-tanda infeksi

Klasifikasi luka

a. Berdasarkan penyebab

1) Luka pembedahan atau bukan pembedahan


2) Akut atau kronik

16
Gambar 3. Luka Kronik
b. Kedalaman jaringan yang terlibat
1) Superficial
Hanya jaringan epidermis
2) Partial thickness
Luka yang meluas sampai ke dalam dermis
3) Full thickness
Lapisan yang paling dalam dari jaringan yang destruksi. Melibatkan jaringan
subkutan dan kadang-kadang meluas sampai ke fascia dan struktur yang
dibawahnya seperti otot, tendon atau tulang

2.2 WOUND HEALING

2.2.1 Definisi

Wound healing/penyembuhan luka adalah respon tubuh terhadap berbagai


cedera dengan proses pemulihan yang kompleks dan dinamis yang menghasilkan
pemulihan anatomi dan fungsi secara terus menerus.(Joyce M. Black, 2001).

Penyembuhan luka terkait dengan regenerasi sel sampai fungsi organ tubuh
kembali pulih, ditunjukkan dengan tanda-tanda dan respon yang berurutan dimana
sel secara bersama-sama berinteraksi, melakukan tugas dan berfungsi secara
normal. Idealnya luka yang sembuh kembali normal secara struktur anatomi,
fungsi dan penampilan.

2.2.2 Etiologi / Penyebab Luka

Secara alamiah penyebab kerusakan harus diidentifikasi dan dihentikan


sebelum memulai perawatan luka, serta mengidentifikasi, mengontrol penyebab
dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan sebelum mulai proses

17
penyembuhan. Berikut ini akan dijelaskan penyebab dan faktor-faktor yang
mempengaruhi penyembuhan luka :

 Trauma
 Panas dan terbakar baik fisik maupun kimia
 Gigitan binatang atau serangga
 Tekanan
 Gangguan vaskular, arterial, vena atau gabungan arterial dan vena
 Immunodefisiensi
 Malignansi
 Kerusakan jaringan ikat
 Penyakit metabolik, seperti diabetes
 Defisiensi nutrisi
 Kerusakan psikososial
 Efek obat-obatan
Pada banyak kasus ditemukan penyebab dan faktor yang mempengaruhi
penyembuhan luka dengan multifaktor.

2.2.3 Prinsip Dasar Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah proses yang komplek dan dinamis dengan


perubahan lingkungan luka dan status kesehatan individu. Fisiologi dari
penyembuhan luka yang normal adalah melalui fase hemostasis, inflamasi,
granulasi dan maturasi yang merupakan suatu kerangka untuk memahami prinsip
dasar perawatan luka. Melalui pemahaman ini profesional keperawatan dapat
mengembangkan ketrampilan yang dibutuhkan untuk merawat luka dan dapat
membantu perbaikan jaringan. Luka kronik mendorong para profesional
keperawatan untuk mencari cara mengatasi masalah ini. Penyembuhan luka kronik
membutuhkan perawatan yang berpusat pada pasien ”patient centered”, holistik,
interdisiplin, cost efektif dan eviden based yang kuat.

Penelitian pada luka akut dengan model binatang menunjukkan ada empat
fase penyembuhan luka. Sehingga diyakini bahwa luka kronik harus juga melalui
fase yang sama. Fase tersebut adalah sebagai berikut:

18
 Hemostasis
 Inflamasi
 Proliferasi atau granulasi
 Remodeling atau maturasi
Hemostasis

Pada penyembuhan luka kerusakan pembuluh darah harus ditutup. Pada


proses penyembuhan luka platelet akan bekerja untuk menutup kerusakan
pembuluh darah tersebut. Pembuluh darah sendiri akan konstriksi dalam berespon
terhadap injuri tetapi spasme ini biasanya rilek. Platelet mensekresi substansi
vasokonstriktif untuk membantu proses tersebut.

Dibawah pengaruh adenosin diphosphat (ADP) kebocoran dari kerusakan


jaringan akan menimbulkan agregasi platelet untuk merekatkan kolagen. ADP
juga mensekresi faktor yang berinteraksi dengan dan merangsang pembekuan
intrinsik melalui produksi trombin, yang akan membentuk fibrin dari fibrinogen.
Hubungan fibrin diperkuat oleh agregasi platelet menjadi hemostatik yang stabil.
Akhirnya platelet juga mensekresi sitokin seperti ”platelet-derived growth factor”.
Hemostatis terjadi dalam waktu beberapa menit setelah injuri kecuali ada
gangguan faktor pembekuan.

Inflamasi

Secara klinik, inflamasi adalah fase ke dua dari proses penyembuhan yang
menampilkan eritema, pembengkakan dan peningkatan suhu/hangat yang sering
dihubungkan dengan nyeri, secara klasik ”rubor et tumor cum calore et dolore”.
Tahap ini biasanya berlangsung hingga 4 hari sesudah injuri. Pada proses
penyembuhan ini biasanya terjadi proses pembersihan debris/sisa-sisa. Ini adalah
pekerjaan dari PMN’s (polymorphonucleocytes). Respon inflamasi menyebabkan
pembuluh darah menjadi bocor mengeluarkan plasma dan PMN’s ke sekitar
jaringan. Neutropil memfagositosis sisa-sisa dan mikroorganisme dan merupakan
pertahanan awal terhadap infeksi. Mereka dibantu sel-sel mast lokal. Fibrin
kemudian pecah sebagai bagian dari pembersihan ini.

19
Tugas selanjutnya membangun kembali kompleksitas yang membutuhkan
kontraktor. Sel yang berperan sebagai kontraktor pada penyembuhan luka ini
adalah makrofag. Makrofag mampu memfagosit bakteri dan merupakan garis
pertahan kedua. Makrofag juga mensekresi komotaktik yang bervariasi dan faktor
pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan fibrobalas (FGF), faktor pertumbuhan
epidermal (EGF), faktor pertumbuhan beta trasformasi (tgf) dan interleukin-1 (IL-
1)

Proliferasi (proliferasi, granulasi dan kontraksi)

Fase granulasi berawal dari hari ke empat sesudah perlukaan dan biasanya
berlangsung hingga hari ke 21 pada luka akut tergangung pada ukuran luka.
Secara klinis ditandai oleh adanya jaringan yang berwarna merah pada dasar luka
dan mengganti jaringan dermal dan kadang-kadang subdermal pada luka yang
lebih dalam yang baik untuk kontraksi luka. Pada penyembuhan luka secara
analoginya satu kali pembersihan debris, dibawah kontraktur langsung terbentuk
jaringan baru.

Kerangka dipenuhi oleh fibroblas yang mensekresi kolagen pada dermal


yang kemudian akan terjadi regenerasi. Peran fibroblas disini adalah untuk
kontraksi. Serat-serat halus merupakan sel-sel perisit yang beregenerasi ke lapisan
luar dari kapiler dan sel endotelial yang akan membentuk garis. Proses ini disebut
angiogenesis. Sel-sel ”roofer” dan ”sider” adalah keratinosit yang
bertanggungjawab untuk epitelisasi. Pada tahap akhir epitelisasi, terjadi kontraktur
dimana keratinosit berdifrensiasi untuk membentuk lapisan protektif luar atau
stratum korneum.

Remodeling atau maturasi

Setelah struktur dasar komplit mulailah finishing interior. Pada proses


penyembuhan luka jaringan dermal mengalami peningkatan tension/kekuatan,
peran ini dilakukan oleh fibroblast. Remodeling dapat membutuhkan waktu 2
tahun sesudah perlukaan.

20
Tabel 1. Fase penyembuhan luka

Analogi
Fase Sel-sel yang
Waktu membangun
penyembuhan berperan
rumah

Hemostasis Segera Platelets Capping off


conduits
Inflamation Hari 1-4 Neutrophils
Unskilled laborers
to clean uap the site

Supervisor Cell
Proliferation Hari 4 – 21 Macrophages
Specific laborers at
Granulation Lymphocytes the site:

Angiocytes Plumber

Neurocytes Electrician

Framers

Contracture Fibroblasts Roofers and Siders

Keratinocytes

Remodelers

Remodeling Hari 21 – 2 Fibrocytes


tahun

Pada beberapa literatur dijelaskan juga bahwa proses penyembuhan luka


meliputi dua komponen utama yaitu regenerasi dan perbaikan (repair). Regenerasi
adalah pergantian sel-sel yang hilang dan jaringan dengan sel-sel yang bertipe
sama, sedangkan repair adalah tipe penyembuhan yang biasanya menghasilkan
terbentuknya scar. Repair merupakan proses yang lebih kompleks daripada
regenerasi. Penyembuhan repair terjadi oleh intention primer, sekunder dan tersier.

21
Intension primer
Fase-fase dalam penyembuhan Intension primer :

1. Fase Inisial (3-5 hari)


2. Sudut insisi merapat, migrasi sel-sel epitel, mulai pertumbuhan sel
3. Fase granulasi (5 hari – 4 minggu)
Fibroblas bermigrasi ke dalam bagian luka dan mensekresi kolagen.
Selama fase granulasi luka berwarna merah muda dan mengandung pembuluh
darah. Tampak granula-granula merah. Luka berisiko dehiscence dan resisten
terhadap infeksi.

Epitelium permukaan pada tepi luka mulai terlihat. Dalam beberapa


hari lapisan epitelium yang tipis bermigrasi menyebrangi permukaan luka.
Epitel menebal dan mulai matur dan luka merapat. Pada luka superficial,
reepitelisasi terjadi selama 3 – 5 hari.

4. Fase kontraktur scar ( 7 hari – beberapa bulan )


Serabut-serabut kolagen terbentuk dan terjadi proses remodeling.
Pergerakan miofibroblast yang aktif menyebabkan kontraksi area
penyembuhan, membentu menutup defek dan membawa ujung kulit tertutup
bersama-sama. Skar yang matur selanjutnya terbentuk. Skar yang matur tidak
mengandung pembuluh darah dan pucat dan lebih terasa nyeri daripada fase
granulasi

Intension sekunder

Adalah luka yang terjadi dari trauma, elserasi dan infeksi dan memiliki
sejumlah besar eksudat dan luas, batas luka ireguler dengan kehilangan jaringan
yang cukup luas menyebabkan tepi luka tidak merapat. Reaksi inflamasi dapat
lebih besar daripada penyembuhan primer.

Intension Tersier

Adalah intension primer yang tertunda. Terjadi karena dua lapisan jaringa
granulasi dijahit bersama-sama. Ini terjadi ketika luka yang terkontaminasi terbuka
dan dijahit rapat setelah infeksi dikendalikan. Ini juga dapat terjadi ketika luka
primer mengalami infeksi, terbuka dan dibiarkan tumbuh jaringan granulasi dan

22
kemudian dijahit. Intension tersier biasanya mengakibatkan skar yang lebih luas
dan lebih dalam daripada intension primer atau sekunder

2.2.4 Gangguan Proses Penyembuhan Luka

Proses fisiologis yang kompleks dari penyembuhan luka dapat dipengaruhi


oleh beberapa faktor. Salah satu fase yang berkepanjangan dapat mempengaruhi
hasil dari penyembuhan luka yaitu jaringan parut yang terbentuk. Penyembuhan
luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam tubuh (endogen) atau dari luar
tubuh (eksogen), penyebab tersebut antara lain kontaminasi bakteri atau benda
asing, kekebalan tubuh yang lemah, ganguan koagulasi, obat-obatan penekan
sistem imun, paparan radiasi, dan beberapa faktor lain. Suplai darah juga
mempengaruhi proses penyembuhan, dimana suplai darah pada ekstremitas bawah
adalah yang paling sedikit pada tubuh dan suplai darah pada wajah serta tangan
cukup tinggi. Usia pasien yang tua juga memperpanjang proses penyembuhan.

Jaringan Parut Hipertrofik dan Keloid

Jaringan parut yang terbentuk sebagai hasil akhir proses penyembuhan


bergantung pada jumlah kolagen yang terbentuk. Normalnya pada fase
remodelling akan terjadi keseimbangan antara pembentukan kolagen dan
pemecahannya oleh enzim. Apabila kolagen yang terbentuk melebihi
degradasinya akan terjadi jaringan parut hipertrofik atau keloid, sedangkan apabila
pemecahan lebih tinggi dari pembentukan akan terjadi jaringan parut hipotrofik.

Jaringan parut dengan proliferasi kolagen yang berlebihan adalah jaringan


parut hipertrofik dan keloid. Keloid adalah jaringan parut yang tumbuh melebihi
batas awal luka, biasanya tidak mengalami regresi. Keloid ini lebih sering terjadi
pada pasien dengan kulit gelap dan juga ada predisposisi genetik.

Jaringan parut hipertrofik adalah jaringan parut yang tumbuh tapi masih
dalam batas luka awal dan biasanya sembuh secara spontan. Jaringan parut
hipertrofik ini biasanya dapat dicegah, contohnya pada kasus luka bakar. Pada luka
bakar, akan terjadi perpanjangan fase inflamasi yang menyebabkan terjadinya
proliferasi berlebih akibat aktivasi fibroblast yang tinggi. Sehingga usaha utama
untuk melakukan pencegahan adalah dengan membantu fase inflamasi agar

23
berlangsung lebih singkat. Pembentukan luka yang perpendikular juga akan
tampak rata, sempit dengan pembentukan kolagen yang lebih sedikit dibandingkan
luka yang paralel dengan serat otot.

Luka Kronis

Abnormalitas dari fase – fase pada proses penyembuhan dapat


mempengaruhi masa penyembuhan luka. Luka kronis didefinisikan sebagai luka
akut yang disertai gangguan proses penyembuhan. Pada penelitian tentang luka
kronis didapatkan bahwa aktivitas TNF-α dan IL-1 mengalami peningkatan. Pada
penyembuhan luka diperlukan adanya keseimbangan degradasi proteolitik dari
ECM dan restrukturisasi ECM untuk mengijinkan perlekatan sel dan pembentukan
membran basal. Apabila proses ini terganggu, ECM akan mengalami kerusakan
kemudian mencegah migrasi dan perlekatan keratinosit, dan merusak jaringan
yang terbentuk.

Salah satu contoh dari luka kronis adalah pressure ulcers menunjukkan
peningkatan MMP, terutama MMP-1, -2, -8 dan -9, dan penurunan kadar tissue
inhibitors of mettaloproteinase (TIMP). Hal ini membuktikan bahwa pada luka
kronis terjadi ketidakseimbangan antara degradasi dan restrukturisasi ECM.
Proteolisis yang berlebihan juga menyebabkan pemecahan jaringan ikat dan
mengeluarkan produk yang merangsang sel inflamasi kembali aktif. Inflamasi
yang berkepanjangan juga menambah kecenderungan penyembuhan luka
menjadi lama.

2.2 WOUND CARE


Penanganan luka terdiri dari beberapa cara sesuai dengan keperluan luka.
Seiring berkembangnya ilmu tentang luka, ditemukan pula modalitas pengobatan
terbaru seperti growth factor eksogen atau negative pressure wound therapy
(NPWT). Langkah awal dari penanganan luka adalah anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Pastikan juga tidak ada bahaya lain yang lebih mengancam nyawa pasien.
Dalam anamnesis, dicari informasi penyebab luka, kapan terjadinya luka, apa saja
yang dilakukan untuk mengurangi luka. Perlu juga ditanya tentang kebiasaan
merokok atau pemakaian obat karena dapat mempengaruhi proses penyembuhan.

24
Apabila ada masalah atau penyakit tertentu yang dapat mengganggu penyembuhan
lainnya juga perlu untuk diketahui.

Untuk pemeriksaan fisik, nilai status gizi, status jantung dan sirkulasi pasien.
Lokasi luka diamati dengan baik melihat apakah luka termasuk luka bersih atau luka
kotor yang terkontaminasi benda asing dan bakteri. Lihat warna kulit sekitar, apabila
pucat menunjukkan sirkulasi yang buruk. Pastikan juga kerusakan menembus saraf,
otot ataupun tulang. Status tetanus pasien harus dipertimbangkan. Apabila luka
karena gigitan hewan, perlu diberikan antirabies.

Setelah evaluasi selesai dilaksanakan, langkah selanjutnya adalah penutupan


luka. Dalam melakukan penutupan luka, ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan. Apabila luka bersih dari benda asing, tidak terdapat kontaminasi
bakteri dan pendarahan sudah berhenti dapat dilakukan penutupan luka primer.
Penutupan luka primer tidak dilaksanakan apabila ada hal – hal di atas karena dapat
terjadi hematoma atau pendarahan di bawah kulit serta terjadinya infeksi di dalam
kulit yang sudah ditutup.

Pada kondisi dimana luka terkontaminasi berat ataupun pada luka – luka
kecil, luka dibiarkan untuk sembuh sendiri secara sekunder. Pada penutupan secara
sekunder ini, fase penyembuhan akan dibiarkan secara alamiah. Hasil akhirnya
adalah jaringan granulasi akan menutup luka menjadi jaringan parut. Penutupan
secara sekunder ini akan menghasilkan jaringan parut yang tampak jelas pada kulit.

Pada beberapa kasus luka, dilakukan manajemen luka awal yaitu


pembersihan luka dari benda asing dan bakteri serta debridement selama beberapa
hari. Kemudian setelah luka dipastikan sudah bersih, baru dilakukan penutupan luka
baik menggunakan jahitan atau sarana lainnya. Proses ini disebut penutupan primer
tertunda. Apabila setelah dilakukan manajemen luka awal dan luka dipastikan bersih
dalam beberapa hari, kemudian dilakukan penutupan menggunakan skin graft atau
skin flap dinamakan penutupan tersier. Dilakukan irigasi dan debridement luka
selama beberapa hari karena luka belum bisa dipastikan benar – benar bersih dari
benda asing dan bakteri.

25
A. Prosedur Penanganan Luka

Dalam penanganan luka, tujuan dari tenaga kesehatan adalah membantu


proses penyembuhan normal agar berjalan efektif dengan waktu masing – masing
fase seminimal mungkin. Prosedur penanganan luka berbeda-beda tergantung jenis
luka namun secara garis besar terdiri dari pembersihan luka baik dengan irigasi
maupun debridement dan penutupan luka. Prosedur penanganan luka terbuka terdiri
dari lima langkah yaitu: anestesi, irigasi, persiapan kulit sekitar, debridement serta
penutupan luka. Anestesi lokal yang biasa digunakan adalah lidokain 0.5% / 1.0%.
Keuntungan dari lidocaine adalah onsetnya cepat serta sedikit yang mengalami
alergi. Epinefrin bisa ditambahkan untuk membantu hemostasis dan
memperpanjang kerja obat anestesi. Lidokain akan terasa sakit saat disuntikkan,
sehingga injeksi harus dilakukan perlahan – lahan pada tepi luka secara subkutan.

Luka perlu dilakukan irigasi untuk menurunkan jumlah bakteri dan


menghilangkan benda asing. Cairan yang biasa digunakan adalah 0.9% saline, dan
cairan yang mengandung surfaktan. Alkohol tidak diberikan pada luka karena
bersifat toksik. Kulit sekitar luka juga perlu dipersiapkan dengan larutan antibakteri
seperti povidone – iodine.

Langkah terakhir dari penanganan luka adalah penutupan luka. Tujuan dari
penutupan luka ini adalah membantu luka yang cukup lebar yang sulit untuk
menutup sendiri dengan proses normal. Metode yang tersedia untuk menutup luka
adalah dengan jahitan, staples, tape, perekat jaringan, dan skin graft / skin flap.
Penutupan dengan jahitan paling sering digunakan, jahitan digunakan dengan
benang sekecil mungkin tapi bisa menahan luka dengan baik. Tujuannya adalah
untuk meminimalkan benda asing pada tubuh dan mencegah reaksi radang. Benang
yang digunakan adalah benang yang tidak bisa diserap sehingga perlu untuk dilepas
setelah 7 – 10 hari. Lokasi penjahitan juga mempengaruhi waktu pelepasan benang.
Pada daerah dengan vaskularisasi yang baik seperti wajah, benang dilepas setelah 5
– 7 hari. Benang yang dapat diserap digunakan pada daerah dermis atau daerah yang
sulit untuk dilakukan pelepasan.

26
Metode lainnya adalah menggunakan staples bedah. Metode ini lebih cepat
daripada dengan jahitan tetapi presisinya lebih rendah. Tape dan perekat jaringan
digunakan pada luka superficial yang hanya memerlukan perlekatan di daerah luar
saja. Sedangkan skin graft / skin flap digunakan untuk luka besar yang apabila
ditutup dengan metode biasa akan menyebabkan struktur normal kulit terganggu.

B. Dressing Luka

Dressing adalah bahan yang digunakan secara topikal pada luka untuk
melindungi luka, dan membantu penyembuhan luka. Dressing akan mengalami
kontak langsung terhadap luka dan dibedakan dengan plester sebagai penahan
dressing. Ada beberapa tipe dressing yaitu: film, komposit, hidrogel, hidrokoloid,
alginate, foam, dan absorptive dressing lain seperti NPWT.

Tujuan utama pada luka bersih yang akan ditutup atau dibiarkan bergranulasi
adalah menyediakan lingkungan penyembuhan yang lembap untuk memfasilitasi
migrasi sel serta mencegah luka mengering. Pemilihan dressing tergantung dari
jumlah dan tipe eksudat yang terdapat pada luka. Dressing hidrogel, film, komposit
baik digunakan untuk luka dengan jumlah eksudat sedikit. Untuk luka dengan
jumlah eksudat sedang digunakan hidrokoloid dan untuk luka dengan jumlah
eksudat banyak digunakan alginate, foam dan NPWT. Luka dengan jaringan
nekrosis yang besar harus dilakukan debridement terlebih dahulu sebelum
memasang dressing.

NPWT atau penutupan luka dengan vakum menggunakan spons pada luka,
ditutup dengan dressing ketat kedap udara, dimana kemudian vakum dipasang.
NPWT bisa digunakan untuk luka dengan kebocoran limfa yang besar dan fistula.
Mekanisme utama NPWT adalah untuk menghilangkan edema, NPWT
menghilangkan cairan darah atau limfa yang berada ada interstitial, sehingga
meningkatkan difusi interstitial oksigen ke dalam sel. NPWT juga menghilangkan
enzim – enzim kolagenase dan MMP yang kadarnya meningkat pada luka kronis.

27
C. Growth Factor Eksogen

Pemahaman tentang fase – fase penyembuhan menunjukkan peranan dari


berbagai growth factor dalam membantu fase penyembuhan yang berbeda – beda.
Pada luka kronis, ditemukan kadar growth factor yang menurun. Melihat peranan
dari substansi tersebut, sudah banyak dilakukan penelitian tentang growth factor
sintesis yang diberikan pada luka untuk melihat masa pemulihannya. Penelitian
tersebut sudah menunjukkan hasil yang signifikan dimana growth factor eksogen
dapat membantu pemulihan luka pada fase tertentu.

PDGF sebagai salah satu growth factor eksogen awal yang diberikan secara
topikal, menunjukkan adanya peningkatan migrasi netrofil, monosit, dan fibroblast
ke dalam luka. PDGF juga meningkatkan kecepatan proliferasi sel, bahkan bisa
menyebabkan hypertrophic scar. Sebagai hasil respon inflamasi yang meningkat
serta proliferasi yang tinggi, PDGF menghambat proses epitelialisasi. Hal ini
menyebabkan jaringan granulasi yang matang tidak diimbangi dengan pembentukan
epidermis. Pada fase inflamasi awal, PDGF memiliki efek positif tapi tidak pada
fase inflamasi akhir

Growth factor lain seperti TGF-β dan keratinocyte growth factor (KGF)
membantu pembentukan matriks dan deposisi serat kolagen pada fase awal
penyembuhan. Meskipun demikian, pada fase lanjut tidak terjadi deposisi kolagen
dan pembentukan matriks. Penggunaan TGF-β dan KGF juga menunjukkan
perpanjangan fase inflamasi yang mengganggu proses penyembuhan. Sebaliknya,
insulin menunjukkan efek yang positif pada fase lanjut penyembuhan. Insulin dapat
mempercepat terjadinya epitelialisasi tapi tidak dapat membantu fase awal
penyembuhan seperti pembentukan jaringan granulasi dan deposisi matriks. Growth
factor menunjukkan efek yang cukup baik pada fase tertentu dari proses
penyembuhan tetapi tidak bisa membantu seluruh fase proses penyembuhan.

Penggunaan autologous platelet gel (APG) pada luka juga menunjukkan


efek pada kadar growth factor. APG sudah banyak diterapkan dalam beberapa
bidang ilmu bedah dalam mempercepat penyembuhan. Penggunaan APG
meningkatkan PDGF dan TGF-β dan membantu kontraksi luka melalui aktivasi

28
myofibroblast. Penggunaan gel ini juga membantu proses pembentukan jaringan
granulasi dan epitelialisasi.

TREND DAN ISU PERAWATAN LUKA/WOUND CARE

a) Kecendrungan Perawatan Luka Saat ini


Pada tatanan pelayanan keperawatan, khususnya dalam perawatan luka,
banyak diteliti metode – metode penyembuhan luka, baik penyembuhan secara
medis, maupun secara komplementer dengan menggunakan media yang ada di
alam untuk mempercepat penyembuhan luka. Semua hasil penelitian memiliki
evidence based yang cukup kuat dan bisa dibuktikan. Namun pada prinsipnya,
secara keilmuan seorang perawat professional harus mengetahui bagaimana proses
penyembuhan luka secara alami, kenapa terjadi luka, proses apa yang terjadi pada
luka, berapa lama luka akan sembuh dan kenapa luka tersebut bisa sembuh dengan
meninggalkan jaringan parut atau bahkan sembuh tanpa meninggalkan jaringan
parut. Hal ini akan mempengaruhi persepsi dan kemampuan perawat dalam
melaksanakan perawatan luka, semakin mengerti proses yang terjadi pada luka,
kualitas seorang perawat akan semakin baik dalam melakukan perawatan luka dan
outcomenya juga akan baik, kepuasan pasien meningkat.

Perawatan luka dewasa ini, cenderung menggunakan metode balutan kasa


”wet-to-dry”, digunakan khusus untuk debridemen pada dasar luka, normal salin
digunakan untuk melembabkan kasa, kemudian dibalut dengan kasa kering. Ketika
kasa lembab menjadi kering, akan menekan permukaan jaringan, yang berarti
segera harus diganti dengan balutan kering berikutnya. Hal ini mengakibatkan
tidak hanya pertumbuhan jaringan sehat yang terganggu, tetapi juga menimbulkan
rasa nyeri yang berlebihan, metode wet to dry dianggap sebagai metode
debridemen mekanik dan diindikasikan bila ada sejumlah jaringan nekrotik pada
luka.

Dari metode perawatan luka saat ini, banyak prinsip-prinsip yang


terlupakan atau tidak menjadi pertimbangan bagi perawat dalam merawat luka,
seperti proses fisiologis pertumbuhan jaringan luka, bagaimana mengoptimalkan
perbaikan jaringan, meningkatkan aliran darah ke permukaan luka, bagaimana
cara balutan ideal, jenis balutan yang dipakai tanpa merusak jaringan yang sehat,

29
tidak menimbulkan nyeri/trauma baru serta bagaimana agar dapat mempercepat
proses penyembuhan luka hingga dapat menekan biaya perawatan. Karena itulah
perlu dilakukan metode perawatan luka yang telah mempertimbangkan berbagai
aspek tersebut demi mencapai perawatan luka yang efektif, proses penyembuhan
yang cepat, outcome yang berkualitas dan biaya yang lebih murah.

b) “Moist Wound Healing”


1. Definisi

Moist Wound Healing adalah mempertahankan isolasi lingkungan luka


yang tetap lembab dengan menggunakan balutan penahan-kelembaban,
oklusive dan semi oklusive. Penanganan luka ini saat ini digemari terutama
untuk luka kronik, seperti ”venous leg ulcers, pressure ulcers, dan diabetic foot
ulcers”.

Dan metode moist wound healing adalah metode untuk


mempertahankan kelembaban luka dengan menggunakan balutan penahan
kelembaban, sehingga penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan dapat
terjadi secara alami.

Substansi biokimia pada cairan luka kronik berbeda dengan luka akut.
Produksi cairan kopious pada luka kronik menekan penyembuhan luka dan
dapat menyebabkan maserasi pada pinggir luka. Cairan pada luka kronik ini
juga menghancurkan matrik protein ekstraselular dan faktor-faktor
pertumbuhan, menimbulkan inflamasi yang lama, menekan proliferasi sel, dan
membunuh matrik jaringan. Dengan demikian, untuk mengefektifkan
perawatan pada dasar luka, harus mengutamakan penanganan cairan yang
keluar dari permukaan luka untuk mencegah aktifitas dari biokimiawi yang
bersifat negatif/merugikan.

2. Tujuan Moist Wound Healing

Sesuai dengan pengertiannya, Moist Wound Healing bertujuan untuk


mempertahankan isolasi lingkungan luka yang tetap lembab dengan menggunakan
balutan penahan-kelembaban, oklusive dan semi oklusive, dengan
mempertahankan luka tetap lembab dan dilindungi selama proses penyembuhan

30
dapat mempercepat penyembuhan 45 % dan mengurangi komplikasi infeksi dan
pertumbuhan jaringan parut residual.

3. Mempertahankan kelembaban luka dan balutan yang baik

Bertambahnya produksi eksudat adalah bagian dari fase inflamasi yang


normal pada proses penyembuhan luka. Peningkatan permeabilitas kapiler
pembuluh darah, menyebabkan cairan yang kaya akan protein masuk ke
rongga interstitial. Hal ini meningkatkan produksi dari cairan yang
memfasilitasi pembersihan luka dari permukaan luka dan mempertahankan
kelembaban lingkungan lokal yang maksimal untuk memaksimalkan
penyembuhan. Keseimbangan kelembaban pada permukaan balutan luka
adalah faktor kunci dalam mengoptimalkan perbaikan jaringan; mengeliminasi
eksudat dari luka yang berlebihan pada luka kronik yang merupakan bagian
penting untuk permukaan luka.

4. Keuntungan dari permukaan luka yang lembab

 Mengurangi pembentukan jaringan parut


 Meningkatkan produksi faktor pertumbuhan
 Mengaktivasi protease permukaan luka untuk mengangkat jaringan
devitalisasi/yang mati
 Menambah pertahanan immun permukaan luka
 Meningkatkan kecepatan angiogenesis dan proliferasi fibroblast
 Meningkatkan proliferasi dan migrasi dari sel-sel epitel disekitar lapisan
air yang tipis
 Mengurangi biaya. Biaya pembelian balutan oklusif lebih mahal dari
balutan kasa konvensional, tetapi dengan mengurangi frekuensi
penggantian balutan dan meningkatkan kecepatan penyembuhan dapat
menghemat biaya yang dibutuhkan.

31
Gambar 4. Perbandingan permukaan luka yang lembab dan luka terbuka

Perbandingan permukaan luka yang lembab dengan luka yang terbuka

 Kelembaban meningkatkan epitelisasi 30-50%


 Kelembaban meningkatkan sintesa kolagen sebanyak 50 %
 Rata-rata re-epitelisasi dengan kelembaban 2-5 kali lebih cepat
 Mengurangi kehilangan cairan dari atas permukaan luka
Karakteristik penyembuhan luka dengan prinsip moist:

 Memfasilitasi pertumbuhan sel-sel epitel pada permukaan luka


 Mengurangi pada inflamasi permukaan luka
Tanpa lapisan yang lembab/kering:

 Pergerakan pertumbuhan epitelial sebagai debridement enzym membentuk


eskar/parut
 Menambah inflamasi pada luka (eksudat)
Nyeri

Nyeri adalah komplikasi dari perawatan luka. Mengganti balutan yang kering pada
luka menyebabkan rasa nyeri yang lebih hebat/berat dari pada dengan balutan yang
lembab.

Hipergranulasi

Beberapa penelitian kini menemukan indikasi berkurangnya inflamasi dan jaringan


granulasi pada luka akut dengan menggunakan prinsip moist.

32
5. Teknik Mempertahankan Kelembaban Luka

Prinsip Dasar Perawatan Luka

Ada tiga prinsip dasar penyembuhan luka.

1. Identifikasi dan kontrol penyebab sebaik mungkin


2. Konsen dengan dukungan ”patient centered”
3. Optimalisasi perawatan pada luka
6. Optimalisasi perawatan pada luka

Mengurangi dehidrasi dan kematian sel. Seperti telah dijelaskan pada fase penyembuhan
luka bahwa sel-sel seperti neutropil dan magrofag membentuk fibroblast dan perisit. Dan
sel-sel ini tidak dapat berfungsi pada lingkungan yang kering.

Meningkatkan angiogenesis. Tidak hanya sel-sel yang dibutuhkan untuk angiogenesis


juga dibutuhkan lingkungan yang lembab tetapi juga angiogenesis terjadi pada tekanan
oksigen rendah, balutan ”occlusive” dapat merangsang proses angiogenesis ini.

Meningkatkan debridement autolisis. Dengan mempertahankan lingkungan lembab sel


neutropil dapat hidup dan enzim proteolitik dibawa ke dasar luka yang memungkinkan
mengurangi/menghilangkan rasa nyeri saat debridemen. Proses ini dilanjutkan dengan
degradasi fibrin yang memproduksi faktor yang merangsang makrofag untuk
mengeluarkan faktor pertumbuhan ke dasar luka.

Meningkatkan re-epitelisasi. Pada luka yang lebih besar, lebih dalam sel epidermal harus
menyebar diatas permukaan luka dari pinggir luka serta harus mendapatkan suplai darah
dan nutrisi. Krusta yang kering pada luka menekan/menghalangi suplai tersebut dan
memberikan barier untuk migrasi dengan epitelisasi yang lambat.

Barier bakteri dan mengurangi kejadian infeksi. Balutan oklusif membalut dengan baik
dapat memberikan barier terhadap migrasi mikroorganisme ke dalam luka. Bakteri dapat
menembus kasa setebal 64 lapisan pada penggunaan kasa lembab. Luka yang dibalut
dengan pembalut oklusif menunjukkan kejadian infeksi lebih jarang daripada kasa
pembalut konvensional tersebut.

Mengurangi nyeri. Diyakini luka yang lembab melindungi ujung saraf sehingga
mengurangi nyeri.

33
7. Memilih Balutan yang ideal

Pada tahun 1979 Tumer menggambarkan balutan yang ideal dengan karakteristik sebagai
berikut:

 Dapat mengangkat eksudat yang berlebihan dan toksin


 Kelembaban tinggi pada permukaan luka
 Memungkinkan pertukaran gas
 Memberikan insulasi termal
 Melindungi terhadap infeksi sekunder
 Bebas dari partikel-partikel dan komponen toksik
 Tidak menimbulkan trauma saat mengangkat/mengganti balutan
Walau bagaimanapun tidak ada suatu balutan yang dapat berfungsi magis ”one-size-fits-
all”. Sebagai praktisi klinis sangat penting untuk memahami karakteristik dari perbedaan
balutan dan penggunaannya sesuai dengan perkembangan fase penyembuhan luka,
karakteristik luka, dan faktor risiko dari pasien yang mempengaruhi penyembuhan dan
ketrampilan dari perawat itu sendiri.

8. Balutan Luka

Balutan luka yang moist seperti ”foam/busa, alginate, hydrocolloid, hydrogel, dan film
transparant.” hydrocolloid merupakan balutan yang tahan terhadap air yang membantu
pencegah kontaminasi bakteri. Hydroclloid menyerap eksudat dan melindungi lingkungan
dasar luka secara alami.

Hydrogel merupakan gel hydropilik yang meningkatkan kelembaban pada area luka.
Hydrogel rehidrasi dasar luka dan melunakkan jaringan nekrotik.

Film transparan merupakan balutan yang tahan terhadap air yang semi oklusive, berarti
air dan gas dapat melalui permukaan balutan film transparan ini dan termasuk juga dapat
mempertahankan lingkungan luka yang tetap lembab.

Pada luka tekan balutan luka sangat berperan penting dengan fungsi sebagai berikut:

 Membantu melindungi luka dari injuri yang berulang


 Membantu melindungi luka dari kuman penyakit dan mencegah luka terinfeksi
 Membantu menciptakan kondisi lingkungan yang mendukung penyembuhan luka

34
 Menambal bagian luka terutama bagian yang mati
Balutan luka yang tersedia sangat bervariasi. Tidak seperti balutan atau pembalut kasa
yang biasa, balutan luka khusus karena mereka membantu menciptakan tingkat
kelembaban pada luka. Pada masa kini hasil-hasil dari penelitian menyatakan bahwa
tingkat kelembaban mendukung kesehatan kulit, kelembaban memberi kesempatan yang
lebih baik untuk proses penyembuhan. Konsep inilah yang disebut dengan ”moist wound
healing.”

9. Perlindungan untuk Luka

Meskipun kita berfikir sebaliknya, membiarkan balutan tidak dibuka/diganti


dalam beberapa hari sangat membantu dalam proses penyembuhan awal karena luka tidak
terganggu. Hal ini sangat penting karena situasi kelembaban lingkungan luka dapat
dipertahankan dengan baik sesuai dengan suhu tubuh, kondisi ini akan mendukung
penyembuhan luka. Untuk penjelasan lebih lanjut, penggantian balutan yang lebih sering
mengakibatkan suhu luka menurun/dingin akibat terpapar dengan udara. Hal ini akan
mengakibatkan perlambatan proses penyembuhan hingga suhu luka menjadi hangat
kembali. Jadi, penggantian balutan duka yang tidak terlalu sering sudah sangat jelas dapat
membantu proses penyembuhan.

Sebagai ilustrasi untuk menunjukkan bagaimana kelembaban dapat


menyembuhkan lebih ceat adalah dengan melidungi/membalut luka akan tercipta
lingkungan yang lembab yang diikuti oleh pergerakan sel-sel epidermal dengan mudah
menyebrangi permukaan luka, untuk menyembuhkan luka. Pada lingkungan luka yang
kering, sel-sel epidermal harus menyusup melalui terowongan yang lembab dan
mensekresi enzym untuk kemudian mengangkat keropeng dari permukaan luka sebelum
sel-sel bermigrasi dan selanjutnya baru memulai proses penyembuhan.

10. Berbagai tipe ”moist wound dressing” (balutan luka yang mampu
mempertahankan kelembaban)

Penelitian yang dilakukan oleh Young Mee Choi (2018) yang berjudul A Soft
Casting Technique for Managing Pediatric Hand and Foot Burns bahwa luka bakar pada
anak di area tangan dan kaki sering terjadi pada anak. Kebanyakan cedera ini adalah
ketebalan parsial dan paling spontan untuk sembuh. Untuk mencapai hasil yang optimal,
jenis luka bakar ini membutuhkan pelindung untuk merawat ekstremitas yang cedera,

35
mempercepat penyembuhan dan mencegah efek samping karena perawatan luka yang
dilakukan dua kali sehari dapat mempengaruhi psikologi anak, biaya perawatan lebih
mahal serta kadang harus berulang kali ke rumah sakit karena nyeri dan perubahan
struktur kulit.
Semua pasien yang datang ke pusat luka bakar menjalani penilaian dan perawatan
awal yang sama termasuk pemeriksaan menyeluruh, pembersihan, dan debridemen kulit
melepuh oleh tim luka bakar. Perawatan luka dan posisi ekstremitas yang terkena adalah
dikelola dengan menggunakan teknik pengecoran lembut , yang telah digunakan di pusat
luka bakar kami sejak tahun 2001. Teknik ini melibatkan penempatan luka yang optimal,
penempatan balutan Adaptic® nonadherent (Medline®, Northfield, IL) yang diresapi
dengan salep antibiotik tiga (neomisin) , 3,5 mg / g; seng bacitracin, 400 unit / g; dan
polymyxin B sulfate, 5000 unit / g) ke luka (gambar 1).

Gambar 1 : Penempatan Adaptic yang diresapi antibiotik pada luka bakar bersih dan diikuti oleh
gulungan kasa melingkar, kemudian plester dan bahan pengecoran lembut

36
Tangan atau kaki yang terkena kemudian secara melingkar dibungkus dengan
digulung kasa. Cast padding digunakan untuk melindungi tonjolan tulang dan ditempatkan
di atas bungkus kasa kering. Plaster digunakan untuk membentuk pemosisian spesifik dan
membantu penguatan di bawah gips lunak lalu dibungkus dengan Coban wrap (gambar
2). Setiap pasien diganti setiap minggu sampai luka bakar sembuh. Setelah 7-10 hari, salep
antibiotik tiga kali dialihkan ke salep Nystatin untuk profilaksis infeksi jamur.

Gambar 2 : Balutan Coban

Gambar 3 : Anak (6 tahun) yang menderita luka bakar minyak ke tangan kirinya menjalani perawatan teknik
pengecoran lembut. (1) menunjukkan luka bakar awal pada saat kunjungan klinik luka bakar awal (postburn hari ke
dua). (2) diperoleh pada hari postburn tujuh. (3) menunjukkan luka re-epitelisasi pada hari postburn 11.

37
Ada beberapa tipe balutan luka dan lebih dari satu dapat direkomendasikan untuk dipakai
merawat luka hingga sembuh. Untuk hal ini, kita perlu memahami tentang tipe balutan
luka yang dapat kita pilih dan gunakan, yang akan dijelaskan berikut ini.

Foam/Busa

Balutan foam/busa dapat menyerap banyak cairan, sehingga digunakan pada tahap awal
masa pertumbuhan luka, bila luka tersebut banyak mengeluarkan drainase. Balutan busa
nyaman dan lembut bagi kulit dan dapat digunakan untuk pemakaian beberapa hari.
Bentuk, ukuran, dan ketebalan dari busa tersebut sangat bervariassi, dengan atau tanpa
perekat pada permukaannya.

Contoh :

Foam silikon lunak/balutan yang menyerap

Balutan jenis ini menggunakan bahan silikon yang direkatkan, pada permukaan yang
kontak dengan luka. Silikon membantu mencegah balutan foam melekap pada permukaan
luka atau sekitar kulit pada pinggir luka. Hasilnya menghindarkan luka dari trauma akibat
balutan saat mengganti balutan, dan membantu proses penyembuhan. Balutan luka silikon
lunak ini dirancang untuk luka dengan drainase dan luas.

Contoh :

38
Balutan wafer berperekat/ balutan hydrocolloid

Balutan hidrokoloid ”water-loving” dirancanga elastis, merekat, dan dari agen-agen gell
(seperti pectin atau gelatin) dan bahan-bahan absorben/penyerap lainnya. Bila dikenakan
pada luka, drainase dari luka berinteraksi dengan komponen-komponen dari balutan untuk
membentuk seperti gel yang menciptakan lingkungan yang lembab untuk penyembuhan
luka. Balutan hidrokoloid ada dalam bermacam bentuk, ukuran, dan ketebalan, dan
digunakan pada luka dengan jumlah drainase sedikit atau sedang. Balutan jenis ini
biasanya diganti satu kali selama 5-7 hari, tergantung pada metode aplikasinya, lokasi
luka, derajad paparan kerutan-kerutan dan potongan-potongan, dan inkontinensia. Balutan
hidrokoloid tidak biasa digunakan pada luka yang terinfeksi.

Contoh :

Hydrogels

Hidrogel tersedia dalam bentuk lembaran, seperti serat kasa, atau gel. Gel akan memberi
rasa sejuk dan dingin pada luka, yang akan meningkatkan rasa nyaman pasien. Gel sangat
baik menciptakan dan mempertahankan lingkungan penyembuhan luka yang
moist/lembab dan digunakan pada jenis luka dengan drainase yang sedikit. Gel diletakkan
langsung diatas permukaan luka, dan biasanya dibalut dengan balutan sekunder (foam atau
kasa) untuk mempertahankan kelembaban sesuai level yang dibutuhkan untuk mendukung
penyembuhan luka.

Contoh :

Hydrofibers

Hidrofiber merupakan balutan yang sangat lunak dan bukan tenunan atau balutan pita
yang terbuat dari serat sodium carboxymethylcellusole, beberapa bahan penyerap sama
dengan yang digunakan pada balutan hidrokoloid. Komponen-komponen balutan akan

39
berinteraksi dengan drainase dari luka untuk membentuk gel yang lunak yang sangat
mudah dieliminir dari permukaan luka. Hidrofiber digunakan pada luka dengan drainase
yang sedang atau banyak, dan luka yang dalam dan membutuhkan balutan sekunder.
Hidrofiber dapat juga digunakan pada luka yang kering sepanjang kelembaban balutan
tetap dipertahankan (dengan menambahkan larutan normal salin). Balutan hidrofiber
dapat dipakai selama 7 hari, tergantung pada jumlah drainase pada luka.

Contoh :

Alginates

Alginat lunak dan bukan tenunan yang dibentuk dari bahan dasar ganggang laut. Alginate
tersedai dalam bentuk ”pad” atau sumbu. Alginate dan hidrofiber merupakan tipe produk
yang sama. Paa kasus ini, alginate akan menjadi lunak, tidak lengket dengan luka.
Alginate juga digunakan pada luka dengan drainase sedang hingga berat dan tidak dapat
digunakan pada luka yang kering. Balutan dapat dipotong sesuai kebutuhan, bentuk luka
yang akan dibalut, atau dapat dilapisi untuk menambah penyerapan.

Contoh :

Gauze

Balutan kasa terbuat dari tenunan dan serat non tenunan, rayon, poliester, atau kombinasi
dari serat lainnya. Berbagai produk tenunan ada yang kasar dan berlubang, tergantung

40
pada benangnya. Kasa berlubang yang baik sering digunakan untuk membungkus, seperti
balutan basah lembab normal saline. Kasa katun kasar, seperti balutan basah lembab
normal saline, digunakan untuk debridement non selektif (mengangkat debris dan atau
jaringan yang mati). Banyak kasa yang bukan tenunan dibuat dari poliester, rayon, atau
campuran bermacam serat yang ditenun seperti kasa katun tetapi lebih kuat, besar, lunak,
dan lebih menyerap. Beberapa balutan, seperti kasa saline hipertonik kering digunakan
untuk debridemen, berisi bahan-bahan yang mendukung penyembuhan. Produk lainnya
berisi petrolatum atau elemen penyembuh luka lainnya dengan indikasi yang sesuai
dengan tipe lukanya.

Dengan memahami hal tersebut diatas maka perawat dapat memilih balutan yang tepat
untuk digunakan saat merawat luka.

Transparan Film

Contoh:

Pembersih Luka

Membersihkan permukaan luka dengan mengangkat bakteri dan drainase. Produk yang
digunakan dapat mengandung deterjen. Dapat juga digunakan normal saline untuk
membersihkan luka tanpa membahayakan jaringan yang baru tumbuh.

Contoh :

41
Penyembuhan luka membutuhkan pendekatan :

1. Patient centered: ingat selalu bahwa apa yang menyebabkan sesorang menderita
luka dan atau luka kronik. Kita dapat mengembangkan rencana penanganan yang
baik tetapi bila pasien tidak melibatkan pasien akan berhasil.
2. Holistic: praktek yang baik membutuhkan pengkajian pasien ”whole”/secara
menyeluruh, bukan ”lubang pada pasien”/”hole in the patient”. Semua
kemungkinan faktor-faktor yang berkontribusi harus dieksplorasi.
3. Interdisciplinary: perawatan luka adalah bisnis yang komplek membutuhkan
ketrampilan dari berbagai disiplin, ketrampilan perawatan, fisioterapis, terapi
okupasi, dietisian, dan dokter umum dan spesialis (dermatologis, bedah plastik,
dan bedah vaskular sesuai dengan yang dibutuhkan). Kadang-kadang
memerlukan/melibatkan pekerja sosial.
4. Evidence based: pada saat ini lingkungan penanganan harus berdasarkan pada
kebaikan dan ”cost efekctive”.

2.4 Managing Skin Integrity, Wound Healing and Care dalam Keperawatan
kritis

Pasien yang mengalami penurunan keadaran dan imobilisasi akan meningkatkan


resiko terjadinya dekubitus. Sebuah studi observasional prospektif tentang pergantian
posisi dan mobilisasi pada 50 ICU di Inggris dinyatakan bahwa 4.88 jam merupakan
waktu yang tepat untuk merubah posisi pasien. Di ICU Arab menemukan waktu yang
tepat adalah 2 jam untuk merubah posisi pasien.Di Irlandia perubahan posisi dilakukan
setiap 3 jam selama 12 jam selama 3 hari, karena rata- pasien yang menggunakan
ventilator selama 2-3 hari. Sesuai panduan nasional di Amerika National Pressure Ulcer
Advisory Panel (NPUAP) menyatakan bahwa standar perawatan bagi pasien imobilisasi
sekarang ini yaitu perubahan posisi pasien dilakukan tiap 2 jam.

Pasien yang dirawat di ruang ICU dengan gangguan status mental misalnya oleh
karena stroke, injuri kepala atau penurunan kesadaran tidak mampu untuk merasakan atau
mengkomunikasikan nyeri yang dirasakan atau pasien merasakan adanya tekanan namun
mereka tidak bisa mengatakan kepada orang lain untuk membantu mereka mengubah
posisi. Bahkan ada yang tidak mampu merasakan adanya nyeri atau tekanan akibat

42
menurunnya persepsi sensori. Pasien yang dirawat di ruang ICU mengalami kelembaban
kulit yang berasal dari drainase luka, keringat, kondensasi dari sistem yang mengalirkan
oksigen yang dilembabkan, muntah, dan inkontensia, menyebabkan perlunakan pada kulit
(maserasi), sehingga lebih rentan terhadap kerusakan akibat tekanan dan mengalami
dekubitus. Lingkungan yang lembab meningkatkan risiko dekubitus lima kali lipat. Pasien
dengan trauma besar, luka bakar , dan sepsis dan yang telah menjalani operasi besar yang
dirawat di ruang ICU terjadi perubahan metabolisme sehingga berada dalam keadaan gizi
buruk. Status nutrisi merupakan faktor risiko kritis terhadap berkembangnya dekubitus.
Keutuhan kulit dan penyembuhan luka akan lebih baik jika pasien berada pada kondisi
keseimbangan nitrogen yang positif dan kadar serum protein yang adekuat. Metabolisme
yang diubah mengarah ke dalam keseimbangan nitrogen negatif akan berisiko tinggi
mengalami kerusakan jaringan dan penyembuhan luka yang sulit. Kerusakan jaringan
pada kondisi nitrogen yang negatif dipicu oleh adanya proses katabolisme dimana hati
akan mengubah protein dalam tubuh menjadi energy. Protein ini diambil dari masa otot.
Hal ini menyebabkan terjadinya pengecilan masa otot dan terhambatnya pembentukan
jaringan baru. Rendahnya albumin serum dapat menyebabkan edem interstisial yang
berdampak menurunnya status nutrisi ke jaringan. Pasien dengan albumin serum < 35
gram / liter sebesar 75 % mengalami dekubitus, dibandingkan pasien dengan albumin
serum > 35 gram / liter hanya 16 % mengalami dekubitus.

Beberapa pasien penyakit kronik seperti diabetes atau penyakit vaskular perifer
lainnya yang mengancam kehidupan dirawat di ICU untuk dapat dievaluasi status
kesehatannya. Penyakit pembuluh darah ini akan menghalangi aliran darah yang
dibutuhkan oleh bagian tubuh tersebut sehingga menimbulkan kerusakan jaringan.
Gangguan sirkulasi dan ventilasi akan mengurangi oksigenasi jaringan lebih lanjut akan
memperburuk penggunaan obat – obatan. Beberapa peneliti telah melakukan survei obat
ICU dengan efek samping yang potensial mempengaruhi pemeliharaan integritas kulit.
Obat vasoaktiv seperti norepinefrin menyebabkan vasokonstriksi dan mengurangi perfusi
jaringan perifer dan kapiler aliran darah yang pada akhirnya dapat terjadi edema
interstitial.

Pemberian posisi lebih dari 30 derajat pada pasien akan terjadi penekanan pada
area sacrococcygeal . Pada keadaan ini pasien bisa merosot kebawah sehingga
mengakibatkan tulangnya bergerak ke bawah namun kulitnya masih tertinggal. Ini dapat

43
mengakibatkan oklusi dari pembuluh darah serta kerusakan pada jaringan bagian dalam
seperti otot namun hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan kulit. Kondisi
otot yang spastik dan paralitik meningkatkan kerentanan terjadinya dekubitus yang
berhubungan dengan gesekan dan robekan.

Waktu Terjadinya Dekubitus

Terjadinya dekubitus secara langsung berhubungan dengan lamanya immobilitas.


Jika penekanan berlanjut lama, akan terjadi thrombosis pembuluh darah kecil dan nekrosis
jaringan. Tekanan eksternal secara konstan selama 2 jam atau lebih akan menghasilkan
perubahan yang ireversibel dalam jaringan.61 Hal itu didukung oleh Ignatavicius dan
Workman yang mengatakan bahwa dekubitus sering ditemukan pada orang dengan
pergerakan yang terbatas karena tidak mampu mengubah posisi untuk menghilangkan
tekanan.10 Penelitian yang dilakukan Suriadi di ruangan ICU di salah satu rumah sakit di
Pontianak menunjukan bahwa imobilitas merupakan faktor yang signifikan untuk
perkembangan luka tekan dengan hasil menunjukan dalam waktu 24–72 jam luka tekan
sudah dapat terjadi. Tingkat ketergantungan mobilitas pasien merupakan faktor yang
langsung mempengaruhi risiko terjadinya luka tekan. Theaker dan rekan menunjukan
bahwa pasien yang dirawat di ICU selama 3 hari atau lebih secara signifikan terjadi
dekubitus.

Tanda – tanda luka dekubitus terjadi akibat posisi pasien yang tidak berubah/
imobilisasi dalam jangka waktu lebih dari 6 jam. Dekubitus terjadi mulai pada lapisan
kulit paling atas atau epidermis jika aliran darah, nutrisi dan oksigen terhambat lebih dari
2-3 jam. Iskemik primer terjadi pada otot dan kerusakan jaringan kulit sesuai dengan
kenaikan besar dan lamanya tekanan. Tekanan daerah kapiler berkisar antara 16 mmHg –
33 mmHg. Bila tekanan masih berkisar pada batas – batas tersebut sirkulasi darah terjaga
dan kulit akan tetap utuh. Pasien yang tidak mampu melakukan mobilisasi maka tekanan
daerah sakrum akan mencapai 60 – 70 mmHg dan di daerah tumit mencapai 30 –
45mmHg. Keadaan ini akan menimbulkan perubahan degeneratif secara mikrosopik pada
semua lapisan jaringan mulai dari kulit sampai tulang. Mula – mula kulit tampak
kemerahan yang tidak hilang setelah tekanan dihilangkan. Pada tahap dini ini, nekrosis
sudah terjadi hanya batas kulit pada waktu itu belum jelas. Baru setelah beberapa hari
terlihat kulit kemerahan dan mengelupas sedikit, kemudian terlihat suatu defek kulit.

44
Setelah 1 minggu atau 10 hari terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan
mengakibatkan nekrosis yang mencapai tulang atau fasia di dasarnya.

Pencegahan Dekubitus

Pencegahan dari dekubitus adalah prioritas utama dalam merawat pasien dan tidak
terbatas pada pasien yang mengalami pembatasan mobilitas. Survei yang dilakukan pada
tahun 1996 terhadap 3 (tiga) rumah sakit pendidikan di Australia bagian barat: Royal Perth
Hospital, Fremantle Hospital dan Sir Charles Gairdner, ditemukan prevalensi dekubitus
rata-rata sebanyak 13.4%. Ditelusuri dari angka tersebut sebanyak 9.2% merupakan
kejadian dekubitus yang didapat dari rumah sakit.

Pencegahan dekubitus berdasarkan Nursing Intervention Classification (NIC) yang ditulis


oleh Dochterman & Bulecheck:

a. Gunakan alat pengkajian resiko dekubitus yang telah ditetapkan guna


memonitor faktor resiko secara individual seperti: skala Braden
b. Manfaatkan metode dalam pengukuran suhu kulit untuk menentukan resiko
dekubitus sesuai protokol institusi masing-masing.
c. Dorong individu untuk tidak merokok dan konsumsi alkohol.
d. Dokumentasikan setiap kejadian dekubitus yang pernah dialami pasien
e. Dokumentasikan berat badan dan perubahan berat badan.
f. Dokumentasikan kondisi kulit pasien pada saat masuk dan setiap hari
g. Monitor kondisi kemerahan pada kulit secara cermat.
h. Hilangkan kelembaban yang berlebihan pada kulit yang disebabkan oleh
keringat, drainase luka dan inkontinensia urin atau fekal.
i. Gunakan pelindung seperti krim atau bantalan yang dapat menyerap
kelembaban untuk menghilangkan kelembaban yang berlebihan sesuai dengan
kebutuhan.
j. Ubah posisi setiap 1 atau 2 jam sesuai kebutuhan.
k. Ubah posisi hati-hati untuk mencegah robekan pada kulit yang rapuh.
l. Tempelkan jadwal perubahan posisi pasien disamping tempat tidur pasien,
jika memungkinkan.
m. Inspeksi daerah kulit yang berada pada daerah tonjolan tulang atau daerah
yang tertekan pada saat reposisi, paling tidak satu kali sehari.

45
n. Hindari melakukan pemijatan pada daerah diatas permukaan tonjolan tulang.
o. Gunakan bantal untuk menaikkan area –area yang tertekan.
p. Pertahankan linen dalam keadaan bersih, kering dan bebas dari kerutan.
q. Siapkan tempat tidur dengan menggunakan bantalan kaki.
r. Gunakan tempat tidur dan kasur khusus, jika tersedia.
s. Hindari penggunaan bantalan donat pada daerah sakral.
t. Hindari penggunaan air panas, gunakan sabun yang lembut saat mandi.
u. Monitor sumber tekanan dan gesekan
v. Gunakan pelindung bahu dan tumit, sesuai kebutuhan
w. Berikan trapeze untuk membantu pasien dalam mengangkat badan
x. Berikan asupan nutrisi yang adekuat, terutama protein, vitamin B dan C, zat
besi dan kalori, suplemen, sesuai kebutuhan.
y. Bantu pasien memperthankan berat badan yang sehat.
z. Ajarkan anggota keluarga dan pemberi perawatan lain tentang tanda-tanda
kerusakan kulit, sesuai kebutuhan.

46
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karena adanya
cedera atau pembedahan. Luka ini bisa diklasifikasikan berdasarkan struktur
anatomis, sifat, proses penyembuhan dan lama penyembuhan. Penggunaan ilmu
dan teknologi serta inovasi produk perawatan luka dapat memberikan nilai optimal
jika digunakan secara tepat.
Semua tujuan manajemen luka adalah untuk membuat luka stabil dengan
perkembangan granulasi jaringan yang baik dan suplai darah yang adekuat, hanya
cara tersebut yang membuat penyembuhan luka bisa sempurna. Untuk memulai
perawatan luka, pengkajian awal yang harus dijawab adalah, apakah luka tersebut
bersih, atau ada jaringan nekrotik yang harus dibuang, apakah ada tanda klinik
yang memperlihatkan masalah infeksi, apakah kondisi luka kelihatan kering dan
terdapat resiko kekeringan pada sel, apakah absorpsi atau drainage objektif
terhadap obat topical dan lain-lain.
3.2 Saran
Sebaiknya dalam perawatan luka dilakukan dengan cara yang benar sesuai
dengan prosedur, peralatan yang steril dan kemampuan yang bisa
dipertanggungjawabkan. Agar luka tidak bertambah parah dan cepat
disembuhkan. Setiap perawat harus mengetahui teknik perawatan luka pada anak
agar bukan luka saja yang terlihat baik, tetapi juga psikologis anak selama
menjalani perawatan.

47
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Alih bahasa Agung
waluyo. Editor Smeltzer Suzanne C. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda jual. 2000. Buku Diagnosa Keperawatan, Aplikasi Pada Praktek
Klinis.Alih bahasa Tim Program Studi Ilmu keperawatan UNPAD. Edisi 6.
Jakarta EGC.
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.Edisi 3.Jakarta : EGC.
Hidayat,A.Azis. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika
Suriadi dan Rita.2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak.Jakarta : Penebar Swadaya.

Tamsuri, A. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Alih bahasa Monica


Ester.Editor Sari Kurnianingsih.Edisi 4. Jakarta: EGC

Young Mee Choi dkk. (2018) yang berjudul A Soft Casting Technique for Managing
Pediatric Hand and Foot Burns.

48
49
50
51
52
53
54
55
56
57

You might also like