You are on page 1of 14

Portofolio Kasus

No. ID dan Nama Peserta : Tjut Farahiya Hadi


No. ID dan Nama Wahana : RSI Hasanah Mojokerto
Topik : Kasus Kegawatan “Wound Dehiscence”
Tanggal (kasus) : 16 Maret 2018
Nama Pasien: Ny.R/ 24 tahun No RM:128xxx
Tanggal Presentasi: Pendamping:
dr.Ika Juni Purwanti
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: P1A0 post sectio caesarea 7 hari SMRS datang dengan keluhan luka operasi terbuka 2
jam SMRS setelah terbatuk.

Tujuan:Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi wound dehiscence


Bahan bahasan Tinjauan Riset Kasus Audit
Pustaka
Cara Diskusi Presentasidan diskusi E-mail Pos
membahas

Data pasien Nama: Ny.R No RM: 128xxx


Nama Klinik:RSI Hasanah Telp: (-) Terdaftar sejak 16 Maret
Mojokerto 2018
Data utama untuk bahan diskusi
Latar belakang
Wound dehiscence sering terjadi setelah pembedahan mayor abdomen menimbulkan tingkat
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Wound dehiscence dapat menimbulkan stres, eviserasi,
reoperasi, gangguan citra tubuh, meningkatnya lama hari rawatan dan biaya rawatan, menurunkan
kualitas hidup pasien serta kematian sehingga perlu diketahui faktor yang memengaruhi kejadian
wound dehiscence.

1
Tinjauan pustaka
Wound Dehiscence

DEFINISI

Dehisensi luka abdomen merupakan keadaan terbukanya sebagian atau seluruh lapisan insisi
abdomen . Kondisi tersebut merupakan salah satu komplikasi dari proses penyembuhan luka yang
didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya kembali sebagian atau seluruhnya luka operasi.
Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses penyembuhan luka operasi.

PROSES PENYEMBUHAN LUKA


Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan
dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda asing dan
perkembangan awal seluler bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara
normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung
proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari kotoran dengan
menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan jaringan.

Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira – kira hari kelima.. pembuluh
darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha
menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan
reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling
melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari
pembuluh darah. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi.
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamine yang meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi
setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi radang
menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa
nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
Aktifitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh
darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik

2
yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul
ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga
fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh
fibrin yang amat lemah.
Fase Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses
proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira – kira akhir
minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan
mukopolisakarida, asama aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang
akan mempertautkan tepi luka.
Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan
tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil
miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka
mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses penyudahan kekuatan serat kolagen
bertambah karena ikatan intramolekul dan antar molekul.
Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen, membentuk
jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut jaringan
granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi
permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis.
Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab epitel tak dapat
bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan
menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan
pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase
penyudahan.
Fase Penyudahan (Remodelling)
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang
berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang
baru terbentuk. Fase ini dapat berlangsung berbulan – bulan dan dinyatakan berkahir kalau semua
tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal
karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru
menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan
regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas serta

3
mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir fase ini,
perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira – kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini
tercapai kira – kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.

KLASIFIKASI

Dehisensi dapat dibagi dalam dehisensi inkomplit atau parsial dan dehisensi komplit.
Dehisensi disebut inkomplit bila hanya meliputi jaringan kulit atau jaringan dibawahnya dan
terkadang mencapai jaringan fascia. Dehisensi dikatakan komplit apabila peritoneum juga ikut
terbuka.
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi dua:
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari pasca operasi yang biasanya
disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari paska
operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan
faktor lainnya.

ETIOLOGI

Luka dehiscence dapat disebabkan oleh teknik bedah yang buruk seperti penjahitan yang
tidak benar, jahitan lebih-diperketat atau jenis yang tidak pantas dari jahitan. Luka dehiscence juga
dapat disebabkan oleh meningkatnya stres ke daerah luka sebagai akibat dari latihan berat, angkat
berat, batuk, tertawa, bersin, muntah atau bantalan turun terlalu keras dengan gerakan usus. Dalam
beberapa kasus, dehiscence luka bisa menjadi sekunder untuk luka infeksi atau penyembuhan yang
buruk seperti yang terlihat pada pasien dengan penyakit kronis, kurang gizi atau sistem kekebalan
tubuh yang lemah. Luka dehiscence sekunder dapat terjadi pada pasien dengan AIDS, penyakit
ginjal, diabetes mellitus dan mereka yang menjalani kemoterapi atau radioterapi.

Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme kerjanya dibedakan atas
tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan semakin meregang
dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor mekanik tersebut antara lain batuk-
batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang.
b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan keseimbangan

4
elektrolit serta defisiensi vitamin dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi: Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi akan
meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis biasanya terjadi pada hari ke
6 - 9 paska operasi dengan gejala suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan
disekitar luka.

Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System, luka operasi dibedakan


menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang
terjadi dini ditandai dengan peningkatan temperatur dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam
setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini
seringkali disebkan oleh streptococcus B haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut seringkali
tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus, dan terutama disebabkan oleh
Staphylococcus aureus..

FAKTOR RISIKO

Dehisensi merupakan kegagalan mekanis pada proses penyembuhan luka. Beberapa kondisi
yang meningkatkan risiko terjadinya dehisensi meliputi anemia, hipoproteinemia, malnutrisi,
obesitas, malignansi, jaundice, penggunaan steroid dan diabetes. Jenis kelamin laki-laki dan
meningkatnya usia juga berhubungan dengan mekanisme fisiologis proses penyembuhan luka.
Laki-laki memiliki risiko dua kali lebih besar mengalami dehisensi luka operasi dibandingkan
wanita.
Selain itu, jenis operasi bedah yang dilakukan memiliki pengaruh tertentu terhadap risiko
terjadinya dehisensi seperti meningkatnya risiko pada operasi kolon, penyakit peptic ulcer maupun
operasi laparotomy emergensi. Obesitas berhubungan dengan meningkatnya risiko infeksi dan
kesulitan teknis dalam penutupan luka insisi. Pemberian steroid dosis sedang dalam jangka waktu
lama menurunkan kemampuan penyembuhan luka. Penderita diabetes memiliki risiko dehisensi
lebih tinggi dibandingkan dengan bukan penderita diabetes dikarenakan akan lebih sedikit
mensintesis kolagen dan terjadinya deposisi, menurunkan kekuatan penyatuan luka dan gangguan
fungsi leukosit maupun insulin.
Pasien dengan jaundice akan mengalami penyembuhan luka lebih lambat dan berisiko
mengalami dehisensi luka operasi berhubungan dengan kondisi pro-inflamatory yang disebabkan
oleh bakteri endotoxemia sistemik. Bakteri ini disebabkan oleh terganggunya fungsi produksi

5
empedu.
Kondisi malnutrisi maupun terapi radiasi berhubungan dengan malignansi meningkatkan risiko
pemisahan 2 tepi luka. Radiasi menurunkan peredaran darah di jaringan sehingga meningkatkan
risiko terkontaminasinya luka atau abses.
Faktor lokal yang juga perlu diperhatikan dalam risiko terjadinya dehisensi luka operasi ialah
gangguan pada fase awal postoperasi. Peningkatan tekanan intraabdominal meningkatkan risiko
pemisahan dua tepi luka, hal tersebut menyebabkan komplikasi gastrointestinal seperti mual,
muntah, ileus atau obstruksi usus.

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi

Terdapat 4 hal faktor yang berperan terhadap terjadinya dehisensi yaitu:


a. Inokulasi bakteri
b. Virulensi bakteri
c. Lingkungan mikro
d. Daya tahan tubuh penderita
Selanjutnya kontaminasi bakteri dapat melalui udara ruang operasi, peralatan operasi dan
operator yang kontak dengan luka. Inokulasi bakteri terbesar dipengaruhi pula oleh letak operasi,
dalam hal ini organ gastrointestinal berisiko tinggi tempat koloni bakteri.
Kemungkinan infeksi juga semakin besar bila virulensi suatu bakteri pencemar semakin
besar. Suatu bakteri yang jarang menginfeksi namun memiliki virulensi yang berat seperti
Clostridium perfringens hanya memerlukan inokulasi bakteri yang sedikit hingga menyebabkan
infeksi pada luka operasi. Bacteroides sp memiliki virulensi yang rendah namun bila tumbuh
bersama bakteri lain yang mengkonsumsi oksigen maka akan menimbulkan sinergi mikroba yang
menyebabkan infeksi yang cukup bermakna.
Lingkungan mikro menjadi faktor yang lebih memudahkan terjadinya infeksi misalnya
keadaan hematom dan adanya jaringan nekrotik. Adanya pemecahan ferrum memacu proliferasi
bakteri dan jaringan nekrotik akan menghalangi proses fagositosis oleh tubuh sel darah putih.
Daya tahan tubuh penderita yang lemah bisa sebagai akibat dari kondisi awal pasien (innate)
atau akibat langsung dari penyakit dan tindakan operasi (acquired) misalnya keadaan syok,

6
hipoksia, hipoalbuminemia, hipotermia dan lain-lain.

Faktor lokal terpenting pada terjadinya dehisensi luka operasi adalah hipoksia. Hipoksia
terjadi akibat sel-sel jaringan kekurangan oksigen. Oksigen yang kurang ini diakibatkan oleh
suplai darah di luka operasi dan sekitarnya yang menurun. Suplai darah yang menurun dapat
disebabkan langsung oleh kehilangan darah yang relative banyak dan operasi yang berlangsung
lama. Pada jaringan yang kurang baik vaskularisasinya akan terbentuk jaringan nekrosis. Jaringan
nekrosis ini merupakan kondisi yang sangat ideal bagi tumbuhnya bakteri sehingga terjadi infeksi.
Hematom yang terbentuk pasca operasi merupakan suatu benda asing yang menjadi kondisi yang
mempermudah proliferasi bakteri dan terjadinya infeksi.
Operasi yang berlangsung lama menyebabkan tingginya rsiko kehilangan darah yang
cukup banyak dan mengakibatkan rendahnya kadar hemoglobin pasca operasi. Operasi yang
dilakukan dengan prosedur gawat darurat juga meningkatkan risiko kehilangan darah. Bila medan
operasi terkontaminasi oleh bakteri maka dapat meyebabkan infeksi.
Fungsi fibroblas menurun bila penderita terganggu metabolism tubuhnya sedang
mengkonsumsi steroid, obesitas dan dalam terapi radiasi dan kemoterapi. Turunnya fungsi
fibroblas, sel endotel dan epitel menyebabkan penurunan pelepasan mediator penyembuhan luka

7
dan proses pembentukan matriks ekstraseluler dan neovaskularisasi serta berakibat terjadinya
dehisensi.

MANIFESTASI KLINIS
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering merasa ada
jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous
berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi
yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan
hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka
operasi.
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi pada hari
keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar
luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi
dan pus.

KOMPLIKASI

Eviserasi dapat menyertai keadaan dehisensi komplit dan merupakan komplikasi post operasi
yang berbahaya dengan angka mortalitas 35%. Dehisensi secara tunggal dapat pula menyebabkan
kematian.

TERAPI

Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi penatalaksanaan non operatif atau


konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas keadaan umum penderita.
1.Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang tidak stabil dan tidak mengalami
eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi
dengan kassa steril atau pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat
dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka. Selain perawatan luka yang
baik, diberikan nutrisi yang adekuat untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi.
Diberikan pula antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka.

8
2.Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita dehisensi. Ada beberapa jenis
operasi yang dilakukan pada dehisensi luka yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan
ulang luka operasi yang terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota bag
repair. Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan hingga saat ini.
Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan keadaan stabil dan penyebab terbukanya luka operasi
murni karena kesalahan teknik penjahitan. Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan
tindakan debridemen terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi. Dalam
perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik seperti laboratorium lengkap
dan foto thoraks. Selain penjahitan ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka.
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi luka jahitan secara hati-hati dan
memperlebar sayatan jahitan lalu mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan
eksplorasi dilakukan dalam 48 ± 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi ditegakkan. Tehnik
yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan lama dan menjahit kembali luka operasi
dengan cara satu lapisan sekaligus.
Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan omentum dan usus di sekitar
luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan
abdomen menjadi satu lapis. Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang
monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik terputus sekurangnya 3 cm
dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit.
Jahitan penguat dengan karet atau tabung plastik lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna
mengurangi erosi pada kulit.
Selain rehecting, banyak teknik yang dilakukan untuk menutupdehisensi luka secara
sementara maupun permanen. Metode yang biasadilakukan antara lain mesh repair, yaitu
penutupan luka dengan bahan sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang
berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifatdiserap oleh tubuh.
Selain itu digunakan pula vacuum pack. Teknik ini menggunakan sponge steril untuk
menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu ditutup dengan vacuum bag dengan
sambungan semacam suction di bagian bawahnya. Tekhnik lain yang digunakan adalah Bogota
bag. Teknik ini dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi. Bogota bag adalah
kantung dengan bahan dasar plastik steril yang merupakan kantong irigasi genitourin dengan daya
tampung 3 liter yang digunakan untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali. Plastik ini

9
dijahit ke kulit atau fascia pada dinding abdomen anterior.

Kasus
Anamnesis
Keluhan Utama
Jahitan operasi terbuka
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien P1A0 post sectio caesarea 7 hari SMRS datang dengan keluhan jahitan
operasi terbuka 4 jam SMRS post terbatuk keras karena tenggorokan yang gatal. Kemudian
jahitan terbuka, keluar jaringan lemak dari perut. Nyeri (+). Demam (-)
Riwayat Penyakit Dahulu
Bronkitis (-)
Riwayat alergi disangkal
Data Obyektif

Status Generalis

Keadaan umum : baik, kooperatif


Kesadaran : composmentis
Tanda Vital : Tek. Darah : 120/90 mmHg
Nadi : 84x/menit, reguler, isi dan kuat angkat
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,5 º C

Kepala : mesosefal
Mata : conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (-/-)
raccon eye (-/-)
Hidung : nafas cuping (-), sekret (-), septum deviasi (-), rhinorrea(-)
Telinga : discharge (-/-), ottorhea(-),
Mulut : bibir sianosis (-), parrese
Tenggorokan : T1-T1, faring hiperemis (-).
Leher : simetris, trakhea ditengah, pembesaran limfonodi (-)

10
Thorax
Pulmo I : simetris statis dan dinamis
Pa : stem fremitus kanan = kiri
Pe : sonor seluruh lapangan paru
Au : Suara dasar vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Cor I : ictus cordis tak tampak
Pa : ictus cordis teraba pada SIC V 2 cm medial Linea Midclavikularis
Sinistra
Pe : konfigurasi jantung dalam batas normal
Au : Suara jantung I-II murni, bising (-), gallop (-).
Abdomen I : tampak luka terbuka 8cm X 5cm jaringan subkutis
Au : bising usus (+) normal
Pe : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Pa : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+), defans muskuler
(-)
Ekstremitas Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Edema -/- -/-
Sensibilitas +/+ +/+
Motorik:
Gerak +/+ +/+
Kekuatan 5/5 5/5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Lab. Darah
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Darah rutin :
Leukosit 9.800 UL 3.500-10.000
Hemoglobin 11,3 g/dl 11-16,5
Hematokrit 35,1 % 35-50
Trombosit 175.000 UL 150.000-390.000
LED 28 mm 0-20

11
BT 3 menit 1-5
CT 10 menit 5-11
Albumin 2,62 g/dl 3,5-5

1. DIAGNOSIS KERJA
Wound dehiscence post sectio caesarea
2. PENATALAKSANAAN
Terapi :
- Terapi cairan: infus RL 20 tpm
- Antibiotik (Injeksi Ceftriaxon 2x1 gr IV)
- Analgetik (Injeksi Ketorolac 2x1 amp IV)
- Konsul ke dokter spesialis obgyn pro repair hecting
Monitoring : Keadaan umum, tanda vital, pola makan, hasil pemeriksaan penunjang,
Edukasi :
Penjelasan mengenai penyakit dan prognosisnya, makanan tinggi protein, dan jangan
melakukan aktivitas berat.
3. PROGNOSIS
Dubia ad bonam

Daftar Pustaka:
Carter RF, Nwomeh B, dan Lanning DA, penyunting. Wound healing. Dalam: Pediatric surgery textbook
forAfrica and developing countries. Spectrum book, Ibadan, Nigeria;2011.

Keswani SG, Crobleholme TM. Wound Healing: celluler and molecular mechanisms. Dalam: Oldham KT,
Colombani PM, Foglia RP, Skinner MA, penyunting. Principles and practice of Pediatric Surgery,
Lippincott Williams and Wilkins; 2005 .h.223-38.
Hasil pembelajaran:
 Definisi dan patofisiologi wound dehiscence
 Diagnosis wound dehiscence
 Tatalaksana wound dehiscence
 Rencana tindak lanjut wound dehiscence

12
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio Kasus
1. Subyektif
Pasien P1A0 post sectio caesarea 7 hari SMRS datang dengan keluhan jahitan operasi
terbuka 4 jam SMRS post terbatuk keras karena tenggorokan yang gatal. Kemudian jahitan
terbuka, keluar jaringan lemak dari perut. Nyeri (+). Demam (-)
2. Obyektif
Pemeriksaan fisik dan laboratorium yang mendukung didapatkan pada pasien ini:
Pemeriksaan fisik :
Ab Adomen I : tampak luka terbuka 8cm X 5cm jaringan subkutis
Au : bising usus (+) normal
Pe : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Pa : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+), defans muskuler (-)
Laboratorium

Albumin : 2,62

3. Assesment
Keluhan luka terbuka yang dirasakan4 jam SMRS post batuk. Pasien post SC 7 hari SMRS
Dari hasil pemeriksaan fisik juga didapatkan tampak luka terbuka 8cm X 5cm dan tampak jaringan
subkutis. Pada keadaan tersebut sesuai dengan protokol yg ada harus dilakukan konsultasi dengan
dokter spesialis obgyn.
4. Plan
Diagnosis: Wound dehiscent post sectio caesarea
Terapi Unit Gawat Darurat
- Terapi cairan: infus RL 20 tpm
- Antibiotik (Injeksi Ceftriaxon 2x1 gr IV)
- Analgetik (Injeksi Ketorolac 2x1 amp IV)
- Konsul ke dokter spesialis obgyn pro repair hecting
Monitoring
Keadaan umum, tanda vital, pola makan,dan hasil pemeriksaan penunjang

13
Edukasi :
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarg pasien mengenai penyakit dan prognosisnya
 Diet tinggi protein.
 Cukup istirahat.

Kesimpulan:
Penyebab wound dehiscent pada pasien ini adalah kondisi hipoalbumin.

14

You might also like