Professional Documents
Culture Documents
PMTCT
PMTCT
PENDAHULUAN
kematian perempuan usia reproduksi. Infeksi HIV pada ibu hamil dapat
mengancam kehidupan ibu serta ibu dapat menularkan virus kepada bayinya.
Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan
dari ibu ke anak atau Mother-To Child HIV Transmission (MTCT). Virus HIV
dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan,
saat persalinan dan saat menyusui. Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga
pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum
Sampai dengan tahun 2013, kasus HIV dan AIDS di Indonesia telah tersebar
di 368 dari 497 kabupaten/kota (72%) di seluruh propinsi. Jumlah kasus HIV baru
setiap tahunnya mencapai sekitar 20.000 kasus. Pada tahun 2013 tercatat 29.037
kasus baru, dengan 26.527 (90,9%) berada pada usia reproduksi (15-49 tahun) dan
12.279 orang di antaranya adalah perempuan. Kasus AIDS baru pada kelompok
ibu rumah tangga sebesar 429 (15%), yang bila hamil berpotensi menularkan
Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) telah terbukti
sebagai intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke
1
anak. Di negara maju risiko anak tertular HIV dari ibu dapat ditekan hingga
Indonesia sejak tahun 2004, khususnya di daerah dengan tingkat epidemi HIV
tinggi. Namun, hingga akhir tahun 2011 baru terdapat 94 layanan PPIA (Kemkes,
2011), yang baru menjangkau sekitar 7% dari perkiraan jumlah ibu yang
memerlukan layanan PPIA. Program PPIA juga telah dilaksanakan oleh beberapa
bagi masyarakat. Agar penularan HIV dari ibu ke anak dapat dikendalikan,
ke dalam kegiatan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), keluarga berencana
(KB), serta kesehatan remaja (PKPR) di setiap jenjang fasilitas layanan kesehatan
dasar dan rujukan. Layanan PPIA terintegrasi merupakan juga bagian dari
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HIV/AIDS (ODHA) tetap asimtomatik (tanpa tanda dan gejala dari suatu
penyakit) untuk jangka waktu lama. Meski demikian, sebetulnya mereka telah
“Acquired” artinya tidak diturunkan, tetapi didapat; “Immune” adalah sistem daya
tangkal atau kekebalan tubuh terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup
atau kurang; dan “Syndrome” adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit. AIDS
adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV, yang merupakan kumpulan gejala
serangan infeksi jamur, bakteri atau virus. Kebanyakan orang dengan HIV akan
meninggal dalam beberapa tahun setelah tanda pertama AIDS muncul bila tidak
Sejak pertama kali ditemukan kasus HIV di Indonesia pada tahun 1987 di Bali
sampai dengan Juni 2014, kasus HIV/AIDS telah tersebar di 381 (76%) dari 498
3
nasional diperkirakan mencapai 0.41% (2013) dan variasi antar-propinsi berkisar
antara 0.1%-3%. Propinsi Papua dan Papua Barat mempunyai situasi khusus,
karena epidemi HIV sudah menyebar di populasi umum sejak tahun 2006 dan
pada tahun 2013mencapai prevalensi 2.3%. Dengan demikian Tanah Papua telah
berada dalam tingkat epidemi HIV meluas, sedangkan sejumlah propinsi lainnya
Dalam 10 tahun terakhir, penularan HIV telah bergeser dari penularan melalui
penggunaan alat suntik tidak steril di kalangan pengguna napza suntik (penasun)
9 juta penduduk yang berisiko tinggi tertular atau menularkan HIV. Dari jumlah
tersebut, terdapat kurang lebih 75.000 penasun, 250.000 wanita pekerja seks
langsung dan tidak langsung (WPSL dan WPSTL), 1,15 juta laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) dan waria; serta 7 juta laki-laki pembeli
seks (laki-laki berisiko tinggi/LBT). Selain itu terdapat sekitar 5 juta pasangan
risiko tinggi, termasuk ibu rumah tangga yang sangat rentan tertular HIV.
Pada tahun 2007, 2009, 2011 dan 2013, Kementerian Kesehatan melakukan
Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP). Lokasi STBP 2007 sama dengan
STBP 2011 sedangkan STBP 2009 sama dengan STBP 2013, yang dijadikan
bahwa prevalensi HIV menurun atau stabil pada penasun dan WPS namun
4
Dengan adanya peningkatan prevalensi HIV pada kelompok populasi kunci
akan terjadi peningkatan infeksi baru HIV pada perempuan risiko rendah dan
Sejak beberapa tahun terakhir, penularan HIV pada pasangan pelanggan WPS
meningkat. Ini terlihat pada jumlah ibu rumah tangga yang dilaporkan tertular
AIDS, menempati posisi pertama. Dari tahun 1987 sampai bulan Juni 2014,
secara kumulatif, jumlah ibu rumah tangga yang menderita AIDS sebanyak 6.516
orang. Persentase penderita AIDS yang dilaporkan pada kurun waktu tersebut
5
menurut faktor risiko terbanyak ditemukan pada kalangan heteroseksual (61,5%),
Data Kementerian Kesehatan (2011) menunjukkan dari 21.103 ibu hamil yang
menjalani tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya positif terinfeksi HIV. Hasil
menunjukkan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun dan prevalensi HIV
pada ibu hamil di Indonesia diperkirakan akan meningkat. Jumlah kasus HIV-
AIDS diperkirakan akan meningkat dari 591.823 (2012) menjadi 785.821 (2016),
dengan jumlah infeksi baru HIV yang meningkat dari 71.879 (2012) menjadi
90.915 (2016). Sementara itu, jumlah kematian terkait AIDS pada populasi 15-49
Jumlah ibu hamil yang terinfeksi HIV juga mengalami peningkatan. Pada
tahun 2011, jumlah ibu hamil dengan HIV sebanyak 534 orang yang kemudian
meningkat menjadi 1.182 orang pada bulan Januari-Juni 2014. Sementara itu
jumlah bayi dengan HIV juga meningkat, yaitu sebanyak 71 bayi pada tahun 2011
Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan
virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel limfosit T CD4
dan makrofag). Virus HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan
adalah selama 2-12 minggu dan disebut masa jendela (window period). Selama
6
masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain,
mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius ini, di mana gejala dan tanda
yang biasanya timbul adalah: demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik)
untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Namun
orang tersebut dapat menularkan infeksinya kepada orang lain. Kita hanya dapat
antibodi HIV serum. Sesudah jangka waktu tertentu, yang bervariasi dari orang ke
orang, virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan sel
limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya
daya tahan tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung pada beberapa faktor
seperti: usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor
genetik.
Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu yang terinfeksi
HIV. Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh pada orang
yang terinfeksi HIV, misalnya infeksi tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV),
oral hairy cell leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC), papular pruritic
7
Gambar. Perjalanan Alamiah Infeksi HIV dan Penyakit yang
ditimbulkan
cara, yaitu melalui (1) hubungan seksual, (2) penggunaan jarum yang tidak steril
atau terkontaminasi HIV, dan (3) penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke
janin dalam kandungannya, yang dikenal sebagai Penularan HIV dari Ibu ke Anak
(PPIA).
1. Hubungan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara dua
individu. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung
dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual oral langsung (mulut ke penis
atau mulut ke vagina) termasuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV.
8
Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan masuk ke dalam
tubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi, dan
2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang
terinfeksi
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring)
untuk pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau
penggunaan alat medik lainnya yang dapat menembus kulit. Kejadian di atas
dapat terjadi pada semua pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik,
suntik (penasun). Pajanan HIV pada organ dapat juga terjadi pada proses
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat
ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil, saat
persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari
anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.
2.5 Faktor yang Berperan Dalam Penularan HIV dari Ibu ke Anak
9
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak,
1. Faktor Ibu
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan
jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat
mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi
sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan
luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.
10
2. Faktor Bayi
Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan
tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin
besar.
Bayi dengn luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan
ASI.
3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak
• Jenis persalinan
• Lama persalinan
ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi
11
• Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan
risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang
dari 4 jam.
bayi.
Tabel. Faktor yang berperan dalam Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh
beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi
HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta,
maka HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke
anak.
Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan
dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan
penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko penularan 15-
30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi
HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui (lihat Tabel 2).
12
Tabel. Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30%
dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian ARV
jangka pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25%
dan risiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan
HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui
secara eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya
dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan PPIA yang
baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%.
Gambar. Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak saat Hamil, Bersalin
dan Menyusui.
13
2.7 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
positif
Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV
pada anak adalah dengan mencegah penularan HIV pada perempuan usia
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara dini, yaitu baik sebelum
terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila terjadi perilaku seksual
berisiko maka penularan masih bisa dicegah, termasuk mencegah ibu dan ibu
penjelasan yang benar terkait penyakit HIV-AIDS, dan penyakit IMS dan didalam
memperhatikan usia, norma, dan adat istiadat setempat, sehingga proses edukasi
14
termasuk peningkatan pengetahuan komprehensif terkait HIV-AIDS dikalangan
B (Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks
kelompok, untuk:
ODHA perempuan
15
Sebaiknya, pesan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak juga
terinfeksi HIV.
2. Mobilisasi masyarakat
layanan kesehatan
Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP) dan Konseling dan Tes
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Cara untuk mengetahui status
HIV seseorang adalah melalui tes darah. Prosedur pelaksanaan tes darah
16
Jika status HIV ibu sudah diketahui,
HIV negatif
a. Konseling dan tes HIV dapat ditawarkan kepada semua ibu hamil
dan Tes HIV; petugas wajib menawarkan tes HIV dan melakukan
pemeriksaan IMS, termasuk tes sifilis, kepada semua ibu hamil mulai
ANC terpadu).
17
e. Tes HIV ditawarkan juga bagi pasangan laki-laki perempuan dan ibu
difokuskan pada informasi dan bimbingan agar klien tetap HIV negatif
h. Konseling penyampaian hasil tes bagi perempuan atau ibu hamil yang
ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV harus
terjamin;
berencana;
18
a. Ibu hamil yang hasil tesnya HIV negatif perlu didukung agar status
ke layanan KIA;
dapat berakibat pada kematian calon bayi, istri dan dirinya sendiri;
HIV.
yang aman dan efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan.
Konseling yang berkualitas, penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif
19
serta penggunaan kondom secara konsisten akan membantu perempuan dengan
HIV agar melakukan hubungan seksual yang aman, serta menghindari terjadinya
kehamilan yang tidak direncanakan. Perlu diingat bahwa infeksi HIV bukan
menggunakan kondom.
terjadinya penularan, peluang anak untuk tidak terinfeksi HIV. Dalam konseling
perlu juga disampaikan bahwa perempuan dengan HIV yang belum terindikasi
untuk terapi ARV bila memutuskan untuk hamil akan menerima ARV seumur
hidupnya. Jika ibu sudah mendapatkan terapi ARV, jumlah virus HIV di
penularan HIV dari ibu ke anak menjadi kecil, Artinya, ia mempunyai peluang
besar untuk memiliki anak HIV negatif. Ibu dengan HIV berhak menentukan
20
ARV demikian penggunaan kondom harus tetap dilakukan setiap hubungan
Prong 3: Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi
yang dikandungnya
Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV ini
merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak.
sebagai berikut:
2. Diagnosis HIV
21
6. Menunda dan mengatur kehamilan;
Semua jenis kegiatan di atas akan mencapai hasil yang efektif jika
HIV serta mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada periode
dan pascapersalinan, serta layanan kesehatan anak. Pelayanan KIA bisa menjadi
pintu masuk upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak bagi seorang ibu
hamil. Pemberian informasi pada ibu hamil dan suaminya ketika datang ke klinik
lanjutan berupa penularan HIV dari ibu ke anak. Tes HIV atas inisiatif petugas
serta skrining IMS harus ditawarkan kepada semua ibu hamil sesuai kebijakan
pendekatan Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP), yang
merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anak. Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk membuat keputusan klinis
22
ARV.Apabila seseorang yang datang ke layanan kesehatan dan menunjukan
adanya gejala yang mengarah ke HIV, tanggung jawab dasar dari petugas
kesehatan adalah menawarkan tes dan konseling HIV kepada pasien tersebut
meningkatkan status kesehatan semua ibu hamil, termasuk ibu hamil dengan HIV.
Hendaknya klinik KIA juga menjangkau dan melayani suami atau pasangannya,
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Upaya pencegahan IMS, termasuk
Pelayanan tes HIV merupakan upaya membuka akses bagi ibu hamil untuk
2. Diagnosis HIV
(mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis (mendeteksi antibodi HIV)
Test HIV) atau ELISA. Pemeriksaan diagnostik tersebut dilakukan secara serial
23
dengan menggunakan tiga reagen HIV yang berbeda dalam hal preparasi antigen,
prinsip tes, dan jenis antigen, yang memenuhi kriteria sensitivitas dan spesifitas.
Hasil pemeriksaan dinyatakan reaktif jika hasil tes dengan reagen 1 (A1), reagen 2
(A2), dan reagen 3 (A3) ketiganya positif (Strategi 3). Pemilihan jenis reagen
Untuk ibu hamil dengan faktor risiko yang hasil tesnya indeterminate, tes
diagnostik HIV dapat diulang dengan bahan baru yang diambil minimal 14 hari
setelah yang pertama dan setidaknya tes ulang menjelang persalinan (32-36
minggu).
24
Gambar. Alur Diagnosis HIV (strategi III)
dengan HIV,
25
Pemberian terapi antiretroviral (ART) untuk ibu hamil dengan HIV
memulai terapi obat antiretroviral (ARV) pada ODHA dewasa didasarkan pada
kondisi klinis pasien (stadium klinis WHO) atau hasil pemeriksaan CD4. Namun
pada ibu hamil, pasien TB dan penderita Hepatitis B kronik aktif yang terinfeksi
HIV, pengobatan ARV dapat dimulai pada stadium klinis apapun atau tanpa
pemantauan pengobatan.
Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV adalah
Tabel. Saat yang Tepat untuk memulai Pengobatan ARV pada Ibu
Hamil
selama hamil dan dilanjutkan selama menyusui adalah intervensi PPIA yang
26
paling efektif untuk kesehatan ibu dan juga mampu mengurangi risiko penularan
Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui pada umur kehamilan ≥
klinisnya. Regimen ART yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu.
27
Tabel. Rekomendasi ART pada Ibu Hamil dengan HIV dan ARV
28
Gambar. Alur Pemberian Terapi Antiretroviral Pada Ibu Hamil
stadium klinis. Penilaian stadium ditetapkan menurut kondisi klinis paling berat
29
Tabel. Tabel Imunodefisiensi
Keterangan:
penggantian obat.
• Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4. Untuk anak < 5 tahun
digunakan.
• Ambang batas kadar CD4 untuk imunodefisiensi berat pada anak > 1
tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan (5%). Pada anak <
1 tahun atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4 tidak dapat memprediksi
mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada nilai CD4
yang tinggi.
30
3) Indikasi Terapi ARV menggunakan kombinasi kriteria Klinis dan
Imunologis
Anak berumur < 5 tahun bila terdiagnosis infeksi HIV maka terindikasi
Catatan:
• Risiko kematian tertinggi terjadi pada anak dengan stadium klinis 3 atau 4,
• Anak usia < 12 bulan dan terutama < 6 bulan memiliki risiko paling tinggi untuk
• Nilai CD4 dapat berfluktuasi menurut individu dan penyakit yang dideritanya.
Bila mungkin harus ada 2 nilai CD4 di bawah ambang batas sebelum ARV
dimulai.
31
• Bila belum ada indikasi untuk ARV lakukan evaluasi klinis dan nilai CD4 setiap
3-6 bulan sekali, atau lebih sering pada anak dan bayi yang lebih muda.
4) Pemberian ARV pada bayi dan anak < 18 bulan dengan diagnosis
presumtif
Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara
sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang); maka
dilakukan penilaian ulang apakah pasien PASTI terdiagnosis HIV atau tidak. Bila
5) Rekomendasi ARV
32
Langkah 1: Gunakan 3TC sebagai NRTI pertama
catatan efikasi, keamanan dan tolerabilitas yang baik. Namun mudah timbul
lini 1.
c. Dengan adanya risiko efek simpang pada penggunaan d4T jangka panjang,
33
d. Tenofovir saat ini belum digunakan sebagai lini pertama karena
diperbolehkan menggunakan obat ini adalah 2 tahun dan anak yang lebih
badannya.
34
a. Anak yang terpajan oleh Nevirapin (NVP) dosis tunggal sewaktu dalam
sebagai lini satu. Akan tetapi bila tidak tersedia, paduan kombinasi 2 NRTI +
tanpa melihat serostatus HIV. Remaja putri dalam masa reproduktif yang
Rifampisin
a. Pada anak tidak ada informasi mengenai dosis yang tepat untuk NVP dan
EFV bila digunakan bersamaan dengan rifampisin. Dosis NVP adalah 200
Catatan:
35
• Terapi TB harus dimulai lebih dahulu dan ARV mulai diberikan mulai
NRTI + EFV. ABC lebih mahal dan tidak ada bentuk generik.
Jika akan memulai terapi TB pada anak yang sudah mendapat ARV:
Catatan:
• Rifampisin menurunkan kadar NVP sebesar 20-58% dan kadar EFV sebesar 25%.
• Pada pengobatan TB, rifampisin adalah bakterisidal terbaik dan harus digunakan
36
• Efek hepatotoksisitas obat anti TB dan NNRTI dapat tumpang tindih, karena itu
Parameter yang lebih dahulu muncul adalah kegagalan virologis (bila VL kembali
mencapai 5000 copieRNA/ml, diperiksa dalam 2 kali pemeriksaan pada saat yang
berbeda), diikuti dengan kegagalan imunologis (bila nilai CD4 turun pada 2 kali
kegagalan klinis berupa munculnya penyakit baru yang tergolong pada stadium 3
atau 4.
Pada anak yang patuh minum obat, kriteria gagal imunologis adalah:
Pada anak > 2 tahun- < 5 tahun, nilai CD4 <200 sel/mm3 atau CD4 <10%
obat ARV yang sekarang tetap memberi efek terapi meskipun tidak sebaik
yang diinginkan.
37
• Obat ARV lini dua biasanya terdiri atas obat yang berukuran dan
ketidakpatuhan berobat.
menimbulkan resistensi yang lebih banyak pada obat ARV bahkan lini dua
Pada kondisi muncul baru atau rekurensi penyakit yang tergolong stadium
mengambil keputusan.
38
c. Mengubah ke paduan Lini Kedua
Catatan:
• Resistensi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang
terjadi karena HIV terus berproliferasi meskipun dalam pengobatan ART. Jika
kegagalan terapi terjadi dengan pemakaian NNRTI atau 3TC, hampir pasti
NNRTI pada kondisi ini tidak ada gunanya, tetapi meneruskan pemberian 3TC
• AZT dan d4T hampir selalu bereaksi silang dan mempunyai pola resistensi yang
o Bila kelas yang sama akan dipilih, pilih obat yang sama sekali belum dipilih
sebelumnya.
39
• Tujuan pemberian paduan lini kedua adalah untuk mencapai respons klinis dan
imunologis (CD4), tetapi responsnya tidak sebaik pada paduan lini pertama
dinilai.
• Anak yang dengan paduan lini kedua pun gagal, terapi penyelamatan yang
kolesterol, jika mungkin LDL dan HDL) dilakukan setiap 6-12 bulan.
4. Persalinan aman
sebagai cara terbaik mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Dengan terapi
ARV yang sekurangnya dimulai pada minggu ke-14 kehamilan, persalinan per
viral load, dengan viral load < 1.000 kopi/μL, persalinan per vaginam aman untuk
dilakukan.
Persalinan bedah sesar hanya boleh didasarkan atas indikasi obstetrik atau
jika pemberian ARV baru dimulai pada saat usia kehamilan 36 minggu atau lebih,
40
Tabel. Pilihan Persalinan
mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi hingga sebesar 2%– 4%,
infeksi luka dan infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada ODHA
41
Ibu hamil harus mendapatkan konseling sehubungan dengan
medis.
Proses persalinan aman selain untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke
persalinan (bidan dan dokter). Risiko penularan HIV akibat tertusuk jarum suntik
sangat kecil (<0,3%). Petugas yang mengalami pajanan HIV di tempat kerja dapat
menerima terapi antiretroviral (ARV) untuk Pencegahan Pasca Pajanan (PPP atau
ARV tidak diberikan untuk tujuan PPP jika tes HIV menunjukkan
42
sebelum kejadian); pada kasus ini, pemberian ARV mengikuti
diminum.
pemberian PPP.
penularan HIV melalui ASI. Konseling diberikan sejak perawatan antenatal atau
informasi secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil oleh ibu harus didukung.
Ibu dengan HIV yang sudah dalam terapi ARV memiliki kadar HIV sangat
rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya. Dalam Pedoman HIV dan Infant
pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan untuk bayi lahir dari ibu yang HIV dan
sudah dalam terapi ARV untuk kelangsungan hidup anak (HIV-free and child
survival). Eksklusif artinya hanya diberikan ASI saja, tidak boleh dicampur
dengan susu lain (mixed feeding). Setelah bayi berusia 6 bulan pemberian ASI
makanan padat.
43
Bila ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif, maka ASI harus
dihentikan dan digantikan dengan susu formula untuk menghindari mixed feeding
(Tabel 7).
minimal untuk penularan HIV dari ibu ke bayi, sehingga susu formula diyakini
sebagai cara pemberian makanan yang paling aman. Namun, penyediaan dan
pemberian susu formula memerlukan akses ketersediaan air bersih dan botol susu
yang bersih, yang di banyak negara berkembang dan beberapa daerah di Indonesia
di Indonesia untuk membeli susu formula dan adanya norma sosial tertentu di
diberikan ASI dan PASI bergantian). Pemberian susu formula yang bagi dinding
usus bayi merupakan benda asing dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding
peredaran darah.
Ibu hamil dengan HIV perlu mendapatkan informasi dan edukasi untuk
atau susu formula kepada bayinya. Mereka butuh bantuan untuk menilai dan
44
menimbang risiko penularan HIV ke bayinya. Mereka butuh dukungan agar
makanan ke bayinya seaman mungkin. Agar mampu melakukan hal itu, tenaga
kesehatan perlu dibekali pelatihan tentang informasi dasar HIV dan pemberian
pemberian makanan bayi dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
anaknya. Bayi yang diberi ASI dari ibu yang sudah dalam terapi ARV
dan minum obatnya secara teratur, memiliki risiko sangat kecil untuk
45
c. Petugas harus dapat mendemonstrasikan bagaimana praktek pemberian
makanan pada bayi yang dipilih dan memberikan brosur atau materi
dipilih oleh ibu dengan HIV harus selalu disertai penggunaan kondom untuk
46
Ibu yang memutuskan tidak punya anak lagi, dapat memilih kontrasepsi
mantap.
minggu. Obat ARV yang diberikan adalah zidovudine (AZT atau ZDV) 4
minggu dengan dosis 4-6 mg/kgbb, satu kali sehari, setiap hari sampai usia 1
Bagan. Pemberian Kotrimoksazol pada Bayi yang Lahir dari Ibu HIV
Positif
47
Pasien dan keluarga harus diedukasi bahwa kotrimoksazol tidak
terjadi pada bayi yang terpajan HIV dan anak imunokompromais, dengan tingkat
1. Untuk bayi dan anak yang terpajan HIV saja dan tidak terinfeksi (dibuktikan
dengan pemeriksaan laboratorium, baik PCR 2 kali atau antibodi pada usia
48
2. Untuk anak yang terinfeksi HIV:
a. Umur < 1 tahun profilaksis diberikan hingga umur 5 tahun atau diteruskan
c. Umur > 5 tahun bila dimulai pada stadium berapa saja dan CD4< 350 sel,
maka dapat diteruskan seumur hidup atau dihentikan bila CD4>350 sel/ml
setelah minurm ARV 6 bulan. Bila dimulai pada stadium 3 dan 4 maka
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada bayi yang lahir dari ibu dengan
HIV
Penularan HIV pada anak dapat terjadi selama masa kehamilan, saat
persalinan, dan menyusui. Antibodi HIV dari ibu dapat berpindah ke bayi melalui
plasenta selama kehamilan berada pada darah bayi/anak hingga usia 18 bulan.
Mulai kehamilan trimester ketiga, antibodi maternal ditransfer secara pasif kepada
janin, termasuk antibodi terhadap HIV, yang dapat terdeteksi sampai umur anak
18 bulan. Oleh karena itu pada anak berumur < 18 bulan yang dilakukan uji
antibodi HIV dan menunjukkan hasil reaktif, tidak serta merta berarti anak
Penentuan status HIV pada bayi/anak (usia <18 bulan) dari ibu HIV tidak
dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan diagnosis HIV (tes antibodi) biasa.
dilakukan setelah usia 18 bulan atau dapat dilakukan lebih awal pada usia 9-12
49
bulan, dengan catatan bila hasilnya positif, maka harus diulang setelah usia 18
bulan.
Untuk memastikan diagnosis HIV pada anak dengan usia < 18 bulan,
dibutuhkan uji virologi HIV yang dapat memeriksa virus atau komponennya.
Anak dengan hasil uji virologi HIV positif pada usia berapapun, artinya terkena
infeksi HIV.
Pemeriksaan virologis, seperti HIV DNA (PCR), saat ini sudah ada di
Indonesia dan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV pada anak usia
dapat dimulai ketika bayi berusia 4-6 minggu dan perlu diulang 4 minggu
menemukan virus atau partikel virus dalam tubuh bayi dan saat ini sedang
dikembangkan di Indonesia untuk diagnosis dini HIV pada bayi (early infant
diagnosis, EID).
ASI dapat mengandung virus HIV bebas atau sel yang terinfeksi HIV.
Konsekuensi dari mendapat ASI adalah adanya risiko terpajan HIV, sehingga
a. Uji Virologis
50
minimal 98% dan spesifisitas 98% dengan cara yang sama seperti uji
serologis.
< 18 bulan.
darah plasma EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bila tidak tersedia
HIV DNA dapat digunakan HIV RNA kuantitatif (viral load, VL)
positif maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama
virologis kedua.
b. Uji Serologis
51
Umur <18 bulan – digunakan sebagai uji untuk menentukan ada
2. Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum
umur 9 bulan. Bila hasil uji tersebut positif harus segera diikuti
Jika uji serologis positif dan uji virologis belum tersedia, perlu
dilakukan pemantauan klinis ketat dan uji serologis ulang pada usia 18
bulan.
3. Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan
oleh infeksi HIV harus menjalani uji serologis dan jika positif diikuti
4. Pada anak umur< 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh
5. Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur
52
Tabel. Skenario Pemeriksaan HIV
53
Bagan. Alur Diagnosis HIV pada Bayi dan Anak umur < 18 bulan
54
2) Diagnosis presumtif HIV pada anak< 18 bulan
Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi
PRESUMTIF.
Catatan:
a. Oral thrush adalah lapisan putih kekuningan di atas mukosa yang normal
mulut atau tepi mulut, disertai rasa nyeri. Tidak bereaksi dengan pengobatan
antifungal topikal.
b. Pneumonia adalah batuk atau sesak napas pada anak dengan gambaran chest
kesadaran, tidak dapat minum atau menyusu, muntah, dan adanya kejang
55
c. Sepsis adalah demam atau hipotermia pada bayi muda dengan tanda yang
letargi, gerakan berkurang, tidak mau minum atau menyusu, kejang, dan lain-
lain.
2. Pemeriksaan uji HIV cepat (rapid test) dengan hasil reaktif harus dilanjutkan
3. Bila hasil pemeriksaan tes serologi lanjutan tetap reaktif, pasien harus segera
Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama dengan uji HIV
pada orang dewasa. Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat ASI pada
saat tes dilakukan, uji HIV baru dapat diinterpretasi dengan baik bila ASI sudah
dihentikan selama > 6 minggu. Pada umur > 18 bulan ASI bukan lagi sumber
nutrisi utama. Oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta untuk menghentikan
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti setelah
dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Hal ini terutama
56
terhadap ODHA. Faktor kerahasiaan status HIV ibu sangat penting dijaga.
Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan oleh ibu dengan HIV antara lain:
dan bayinya.
dan pencegahannya
dengan HIV
Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap
57
bijak dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, serta
berperilaku sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.
perlu diketahui oleh masyarakat luas, termasuk para perempuan usia reproduktif.
Diharapkan informasi ini bisa meningkatkan minat mereka yang merasa berisiko
tertular HIV untuk mengikuti konseling dan tes HIV agar mengetahui status HIV
mereka.
58