You are on page 1of 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

SKIZOFRENIA
A. Definisi
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan
psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan
perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock,dkk.,
2003).
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu gejala positif
dan gejala negatif. Gejala positif berupa isi pikiran tidak wajar (waham), gangguan asosiasi
pikiran (inkoherensi), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan, perilaku aneh atau
tak terkendali (disorganized). Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau
mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam,
sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan
dorongan kehendak atau inisiatif (Maharatih, 2010).
B. Fase atau Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu. Perjalanan klinis
skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari
prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock, 2003; Buchanan, 2005).
Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah), merasa
diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan
bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung
dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan Perkembangan gejala prodromal yang
berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan (Sadock,dkk., 2003).
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis, yaitu
adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien skizofrenia
terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai tidak ada (Buchanan,
2005).
Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia. Yang
tinggal hanya satu atau dua gejala sisa atau gejala negatif yang tidak terlalu nyata secara
klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh (Buchanan, 2005).
C. Etiologi
Sampai saat ini penyebab dari gangguan skizofrenia masih belum diketahui secara pasti.
Namun, terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain :
1. Faktor Genetik
Menurut Maramis (2006) faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal
ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia
terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%;
bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita
skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar
dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative
trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen
yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga
mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang
mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami
skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang
memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).
2. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut
neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi
satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau
dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat
bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan
peranan (Durand & Barlow, 2007).
3. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin
kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak yang
patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja & Sutardjo,
2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother
kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin,
dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-
anaknya. Keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam
pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan
tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak
terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran
yang dibutuhkannya (Durand & Barlow, 2007).
D. Patogenesis
1. Skizofrenia dan Dopamin
Semua jenis obat antipsikotik yang tersedia dapat mengurangi gejala skizofrenia
dengan menurunkan neurotransmiter dopaminergik. Turunnya neurotransmiter
dopaminergic mengurangi gejala dari pasien dengan skizofrenia dan meningkatkan
kemampuan persepsi mereka. Pasien yang diterapi dengan obat-obat tersebut secara terus
menerus menunjukkan penurunan munculnya halusinasi dan waham, pasien juga lebih
baik dalam mengatur kebiasaannya.
Teori dopamin pada skizofrenia masih mempunyai beberapa kekurangan. Pertama
Blokade pada neurotransmitter dopaminergik tidak sepenuhnya mengurangi gejala
skizofrenia. Kedua, meskipun gejala positif skizofrenia berkurang ketika neurotransmitter
dopaminergic diturunkan dengan obat antipsikotik, level metabolit dopamin dan receptor
dopamin ketika diukur sebelum dan setelah pengobatan masih dalam batas harga normal.
Ketiga, peranan dopamin bagi otak lebih komplek daripada pergantian secara sederhana
dari gejala psikotik. Selama periode psikotik akut, banyak orang yang menderita
skizofrenia nampak menunjukkan perangsangan reseptor dopamin yang berlebihan di
ganglia basalis, yang diukur dengan penggunaan ligan radioaktif dari single-photon-
emission yang tertomografi. Bagaimanapun juga, penurunan aktivitas dopaminergik pada
korteks serebral pada lobus frontal dapat menjadi satu faktor konstribusi dalam
penanganan gangguan kognitif yang sering ditemukan pada pasien yang menderita
skizofrenia. Oleh karena itu, investigasi pada patofisiologi skizofrenia mengembangkan
lebih jauh lagi mengenai dopamin, para peniliti menggali lebih dalam mengenai
pengobatan farmakologi dari skizofrenia, yang tidak mengabaikan dopamin sebagai target,
telah memperluas bidang penyelidikan mereka termasuk neurotransmiter yang lain.
Tidak ada lesi tunggal yang menyebabkan skizofrenia. Tapi, adanya peran faktor
genetik dan lingkungan yang mempengaruhi fungsi dan perkembangan otak hal tersebut
juga yang dapat menyebabkan skizofrenia. Penghambatan interneuron biasanya terjadi, hal
ini dapat ditunjukan dengan adanya penurunan jumlah dari mereka, pengeluaran enzim
yang mensintesis penghambat neurotransmitter γ-asam aminobutrat yang menurun,
penurunan pengeluaran dari neuropeptide seperti kolesistokinin dan somatostatin yang
dilepaskan selama neurotransmisi, dan pengurangan migrasi neuron ke korteks dari lapisan
putih otak. Sebagai tambahan pada perubahan spesifik pada interneuron, terdapat
pengurangan secara umum dari neuropil kortikal, seperti dendrit dan akson yang
mengubungkan neuron, menggambarkan proses kerusakan pada pyramidal maupun
penghambat neuron menjadi bentuk penghubung sinapsis. Pada beberapa area dalam otak,
terjadi berkurangnya jumlah total neuron secara nyata.

2. Penemuan Neuropatologi
Pada penemuan secara neuropatologi, Magnetic Resonance Imaging (MRI)
menunjukan adanya pembesaran ventrikel dan penurunan volume dari beberapa bagian
otak, termasuk didalamnya hipokampus dan korteks temporosuperior. Dengan
menganalisis hasil dari MRI dapat dikatakan bahwa terjadi penurunan bagian neuronal
baik pada hipokampus maupun pada korteks prefrontal, yang diindikasikan dengan level
dari neuronal asam amino N-asetilaspartat. Meskipun terjadi penurunan dari jaringan otak,
pencitraan otak secara fungsional dengan tomografi emisi-positron dan MRI fungsional
menunjukan adanya hiperaktivitas pada hipokampus dan korteks prefrontal lateral dorsal,
mungkin terus menerus dikuti dengan kehilangan penghambat fungsi neuron.
3. Temuan genetika pada skizofrenia
Perbedaan temuan neurobiologi pada skizofrenia terbayang dengan adanya
keberagaman dari temuan genetik. Temuan genetik secara epidemiologi, seperti adanya
indeks besar yang berkaitan dengan skizofrenia antara kembar monozigot dan kembar
dizigot dan insidensi tinggi dari penyakit pada anak yang diadopsi yang mana ibu
biologisnya mengidap skizofrenia, terdapat resiko sebesar 70%. Walaupun demikian,
skizofrenia tidak terlihat sebagai monogen, dan terdapat sejumlah kromosom locus yang
nantinya akan bekaitan terhadap penyakit yang telah bereplikasi. Polimorfim nukleotid
tunggal berhubungan dengan skizofrenia, yang beberapa telah menunjukan adanya
penurunan fungsi neural, telah ditemukan dalam gen dengan locus ini, termasuk regulator
Protein G pada kromosom 1, protein pada kromosom 6 yang berhubungan dengan struktur
sinaps, faktor pertumbuhan pada kromosom 8 yang berhubungan dengan pertumbungan
sinapsis, respon modulator pada kromosom 13 yang mempengaruhi N-metil D-aspartat
glutamate, sebuah reseptor pada kromosom 15 untuk asetilkolin dan enzim pada
kromosom 22 yang mempengaruhi metabolisme dopamin. Mekanisme neuronal
glutamatergik, kolinergik, dan dopaminergic dipengaruhi oleh faktor genetik ini dan
dikaitkan dengan berbagai macam aspek pada disfungsi kognitif termasuk
ketidakmampuan dalam perasaan dan pengingat.
Sebagai tambahan untuk faktor genetik, komponen lingkungan dari patogenesis pada
skizofrenia, mempunyai resiko sebanyak 30%, termasuk kerusakan otak ketika perinatal
dan masa anak-anak dan stres psikososial selama masa kehidupan seperti terpisah dari
keluarga (Freedman, 2003).
E. Pedoman Diagnostik
Menurut PPDGJ-III
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas atau kurang tajam) :
a. Isi Pikiran
1) ”thought eco” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda.
2) ”thought insertion or withdrawl” = isi pikiran yang asing dari luar masukke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawl)
3) ”thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya.
b. Waham
1) ”delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar
2) ”delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar
3) ”delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar
4) “delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c. halusinasi auditorik
1) Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien
2) Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara)
3) Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, mislanya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain)
2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengembang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan yang menetap atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus
menerus.
b. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah, posisi tubuh tertentu (posturing),
atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor
c. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
d. Gejala gejala ”negatif” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan response
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
3. Adanya gejala gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, sikap larut dalam diri sendiri, tidak berbuat
sesuatu, dan penarikan diri secara sosial. (Maslim, 2002)

F. Klasifikasi
1. Skizofrenia Paranoid (F 20.0)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Sebagai tambahan:
1) Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing)
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain
perasaan tubuh. Halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion
of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau passivity (delussion of
passivity), dan keyakinan dikejar-kejar beraneka ragam, adalah yang paling
khas
2) Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik
secara relatif nyata/ tidak menonjol.
2. Skizofrenia Hebefrenik (F 20.1)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
c. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang menyendiri
(solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
d. Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan :
1) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku
menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan
2) Afek pasien dangkal dan tidak wajar, sering disertai oleh cekikikan atau perasaan
puas diri, senyum sendiri, atau oleh sikap, tinggi hati, tertawa menyeringai,
mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan hipokondrial, dan
ungkapan kata yang diulang-ulang
3) Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta
inkoheren.
e. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol.
Dorongan kehendak dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran
ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku
tanpa tujuan dan tanpa maksud. Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat
dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar
orang memahami jalan pikiran pasien.
3. Skizofrenia Katatonik (F 20.2)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendomaninasi gambaran klinisnya:
1) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)
2) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
3) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)
4) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan ke arah berlawanan)
5) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan diri)
6) Flexibilitas cerea (mempertahankan anggora gerak dan tubuh dalam posisi yang
dapat dibentuk dari luar)
7) Gejala-gejala lain seperti “komen, automatism” (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat
c. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang
memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting untuk diperhatikan bahwa
gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala
katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan
obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif
4. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F 20.3)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik
c. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia
5. Depresi Pasca-skizofrenia (F 20.4)
Pedoman Diagnostik
a. Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:
1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum skizofrenia)
selama 12 bulan terakhir ini
2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya), dan
3) Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2
minggu
b. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi
Episode Depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus
tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F 20.0 – F 20.3)
6. Skizofrenia Residual ( F 20.5)
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua:
a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan psikomotorik,
aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif,
kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi nonverbal yang buruk
seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh,
perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimana masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnostik skizofrenia
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi
gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal)
dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia
d. Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi kronis
atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.
7. Skizofrenia Simpleks (F. 20.6)
a. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung
pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari:
1. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.
2. Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna bermanifestasi
sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan
hidup, dan penarikan diri secara sosial
b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia
lainnya
8. Skizofrenia lainnya (F20.8) dan Skizofrenia YTT (F20.9) (Maslim, 2002)

You might also like