You are on page 1of 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kontrasepsi Hormonal

Kontrasepsi merupakan upaya untuk mencegah konsepsi atau kehamilan

(Dorland, 2011).Kontrasepsi hormonal adalah alat atau obat kontrasepsi yang

bertujuan untuk mencegah terjadinya kehamilan dimana bahan bakunya mengandung

preparat estrogen dan progesteron (BKKBN, 2011). Saat ini tersedia dalam bentuk

oral, injeksi, transdermal-patch, dan cincin transvaginal (Cunningham, 2012). Di

bawah pengaruh hipotalamus, hipofisis mengeluarkan hormon gonadotropin Follicle

Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing Hormone (LH). Hormon-hormon ini dapat

merangsang ovarium untuk membuat estrogen dan progesteron. Dua hormon yang

terakhir ini menumbuhkan endometrium pada waktu daur haid, dalam keseimbangan

yang tertentu menyebabkan ovulasi, dan penurunan kadarnya mengakibatkan

desintegrasi endometrium dan haid. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa

baik estrogen maupun progesteron dapat mencegah ovulasi. Pengetahuan ini menjadi

dasar untuk menggunakan kombinasi estrogen dan progesteron sebagai cara

kontrasepsi dengan jalan mencegah terjadinya ovulasi. Pincus dan Rock melakukan

percobaan lapangan di Puerto Rico dengan menggunakan pil terdiri atas estrogen dan

progesteron (Enavid), dan ternyata bahwa pil tersebut mempunyai daya yang sangat

tinggi untuk mencegah kehamilan (Prawirohardjo, 2011).

6
7

2.1.1 Kontrasepsi Oral

Kontrasepsi oral adalah senyawa hormonal yang digunakan secara oral

untuk menghambat ovulasi dan mencegah terjadinya kehamilan (Dorland,

2011).Pil kontrasepsi oral merupakan kombinasi estrogen dan progestin “pil”

atau hanya progestin.Bentuk lainnya hanya mengandung progestin atau

kombinasi estrogen dan progestin (Cunningham, 2012).Berikut ini merupakan

jenis-jenis dari kontrasepsi oral :

1. Pil Kontrasepsi Kombinasi

Pil kombinasi terdiri atas kombinasi antara etinil estradiol atau

mestranol (estrogen) dengan salah satu jenis progestagen (progesteron

sintetik).Pil kontrasepsi kombinasi yang sekarang digunakan tidak berisi

estrogen dan progesteron alamiah, melainkan steroid sintetik. Ada dua

jenis progesteron sintetik yang dipakai, yaitu berasal dari 19 nor-

testoteron, dan yang berasal dari 17 alfa-asetoksi-progesteron, akhir-akhir

ini di Amerika Serikat tidak dipergunakan lagi untuk pil kontrasepsi oleh

karena pada binatang percobaan (anjing) pil yang mengandung zat ini,

bila dipergunakan dalam waktu yang lama, dapat menimbulkan tumor

mamma. Derivat dari 19 nor-testosteron yang sekarang banyak

dipergunakan untuk pil kontrasepsi ialah noretinodrel, norethindron

asetat, etinodiol diasetat, dan norgestrel.Estrogen yang banyak dipakai

untuk pil kontrasepsi ialah etinil estradiol dan mestranol. Masing-masing

dari zat ini mempunyai ethynil group pada atom C 17. Dengan adanya

ethynil group pada atom C 17 ini, khasiatnya meninggi jika dimakan per
8

oral oleh karena zat-zat tersebut tidak mudah atau tidak seberapa cepat

diubah sewaktu melalui sistem portal, berbeda dari steroid alamiah. Jadi,

steroid sintetik mempunyai potensi yang lebih tinggi per unit

dibandingkan dengan steroid alamiah kalo ditelan per oral

(Prawirohardjo, 2011).

Jenis-jenis pil kombinasi adalah sebagai berikut:

a. Pil Monofasik yakni, pil yang tersedia dalam kemasan 21 tablet,

mengandung hormon aktif estrogen/progestin (E/P) dalam dosis yang

sama, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif.

b. Pil Bifasik yakni, pil yang tersedia dalam kemasan 21 tablet,

mengandung hormon aktif estrogen/progestin (E/P) dengan dua dosis

yang berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif.

c. Pil Trifasik, pil yang tersedia dalam kemasan 21 tablet, mengandung

hormon aktif estrogen/progestin (E/P) dengan tiga dosis yang berbeda,

dengan 7 tablet tanpa hormon aktif (Saifuddin, 2010).

2. Mini-pill

Disebut progestin oral, merupakan kontrasepsi yang hanya

mengandung progestin yang dikonsumsi setiap hari. Efektifitasnya lebih

bergantung pada perubahan terhadap mukus serviks dan pengaruh

terhadap endometrium. Karena perubahan mukus tidak bertahan lebih

dari 24 jam, mini-pil harus diminum pada waktu yang sama setiap hari

supaya efektifitasnya maksimal. Kontrasepsi ini tidak cukup populer

karena insiden perdarahan ireguler yang lebih tinggi dan angka


9

kehamilan yang agak sedikit lebih tinggi daripada pil kontrasepsi

kombinasi (Cunningham, 2012).Mekanisme kerjanya dengan cara

menekan sekresi gonadotropin dan sintesis steroid seks di ovarium,

endometrium mengalami transformasi lebih awal sehingga implantasi

lebih sulit, mengentalkan lendir serviks sehingga dapat menghambat

penetrasi sperma, dan mengubah motilitas tuba sehingga transportasi

sperma terganggu (Saifuddin, 2010). Pada tahun 1965 Rudell dan kawan-

kawan menemukan bahwa pemberian progestagen (klormadinon asetat)

dalam dosis kecil (0,5 mg per hari) menyebabkan perempuan tersebut

menjadi infertil.Mini-pill bukan merupakan penghambat ovulasi oleh

karena selama memakan pil mini ini kadang-kadang ovulasi masih dapat

terjadi.Efek utamanya ialah terhadap lendir serviks, dan juga terhadap

endometrium, sehingga nidasi blastokista tidak dapat terjadi

(Prawirohardjo, 2011).

3. Pil Sekuensial

Di Indonesia pil sekuensial tidak diedarkan. Pil sekuensial itu tidak

seefektif pil kombinasi, dan pemakaiannya hanya dianjurkan pada hal-hal

tertentu saja. Pil diminum yang hanya mengandung estrogen saja untuk

14-16 hari, disusul dengan pil yang mengandung estrogen dan

progestagen untuk 5-7 hari (Prawirohardjo, 2011).

4. Postcoital Contraception (Morning After Pill)

Pada tahun 1966 Morris dan Van Wagenen (Amerika Serikat)

menemukan bahwa estrogen dalam dosis tinggi dapat mencegah


10

kehamilan jika diberikan segera setelah koitus yang tidak dilindungi.

Penelitian yang dilakukan pada beberapa perempuan, sebagian dari

perempuan-perempuan tersebut diberikan 50 mg dietilstilbestrol (DES)

dan kepada sebagian lagi diberikan etinil-estradiol (EE) sebanyak 0,5

sampai 2 mg sehari selama 4-5 hari setelah terjadinya koitus. Kegagalan

cara ini dilaporkan dalam 2,4% dari jumlah kasus. Cara ini dapat

menghalangi implantasi blastokista dalam endometrium (Prawirohardjo,

2011).

2.1.2 Kontrasepsi Suntikan (Depo Provera)

1. Suntikan Setiap 3 Bulan (Depo Provera)

Depo Provera ialah 6-alfa-medroksiprogesteron yang digunakan

untuk tujuan kontrasepsi parenteral, mempunyai efek progestagen yang

kuat dan sangat efektif. Obat ini termasuk obat depot.Mekanisme

kerjanya obat ini menghalangi terjadinya ovulasi dengan jalan menekan

pembentukan gonadotropin releasing hormone dari hipotalamus, lendir

serviks bertambah kental sehingga menghambat penetrasi sperma melalui

serviks uteri, implantasi ovum dalam endometrium dihalangi, dan

mempengaruhi transpor ovum di tuba. Keuntungan kontrasepsi suntikan

berupa depo ialah: efektivitas tinggi, pemakaiannya sederhana, cukup

menyenangkan bagi akseptor (injeksi hanya 4x setahun), reversibel, dan

cocok untuk ibu-ibu yang menyusui anak. Kekurangan metode depot


11

ialah sering menimbulkan perdarahan yang tidak teratur (spotting,

breakthrough bleeding), dan lain-lain (Prawirohardjo, 2011).

2. Suntikan Setiap Bulan (Monthly Injectable)

Suntikan setiap bulan mengandung 2 macam hormon progestin dan

estrogen seperti hormon alami pada tubuh perempuan. Juga disebut

sebagai kontrasepsi suntikan kombinasi (combined injectable

contraceptive). Mekanisme kerjanya adalah mencegah keluarnya ovum

dari ovarium (ovulasi). Efektivitasnya tergantung saat kembalinya waktu

untuk mendapatkan suntikan. Bila perempuan mendapatkan suntikan

tepat waktu, angka kehamilannya kurang dari 1 per 100 perempuan yang

menggunakan kontrasepsi bulanan dalam satu tahun pertama

(Prawirohardjo, 2011).

2.1.3 Kontrasepsi Patch

Untuk wanita yang lebih menyukai penggunaan mingguan daripada dosis

harian, patch memberikan alternatif metode kontrasepsi hormonal yang efektif.

Kandidat harus mempunyai berat badan kurang dari 90 kg dan tidak

mempunyai faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskular dan tromboemboli

(Cunningham, 2012). Berikut ini adalah jenis-jenis dari kontrasepsi patch:

1. Penggunaan Transdermal

Ortho Evra Patch (Ortho-McNeil Pharmaceutical, Raritan, NJ)

mempunyai lapisan dalam yang mengandung matriks perekat dan

hormon, serta sebuah lapisan luar yang tahan air. Sehingga, wanita dapat
12

menggunakan patch tersebut ketika berada di bathtub, shower, kolam

renang, sauna, dan whirpool tanpa menurunkan manfaatnya. Patch

tersebut dapat ditempelkan di bokong, lengan atas bagian luar, abdomen

bagian bawah, atau tubuh bagian atas, namun jangan di payudara. Karena

hormon digabung dengan perekat, penempelan pada kulit yang tidak

tepat akan menurunkan absorpsi hormon dan manfaat. Oleh sebab itu,

jika patch tersebut tidak merekat kuat sehingga memerlukan penguatan

dengan plester maka harus diganti. Patch baru ditempelkan tiap minggu

selama 3 minggu, diikuti oleh seminggu bebas patch untuk memunculkan

withdrawal bleeding (Cunningham, 2012).

2. Penggunaan Transvaginal

NuvaRing (Organon USA, Roseland, NJ) merupakan cincin

kontrasepsi hormonal intravaginal yang fleksibel. Terbuat dari ethinyl

vinyl acetate, cincin tersebut berdiameter 54 mm dan mempunyai

ketebalan 4 mm pada penampang lintang. Intinya mengandung ethinyl

estradiol dan progestin, etonogestrel. Masing-masing dikeluarkan

sebanyak 15 g dan 120 g per hari, dan diserap oleh epitel vagina.

Walaupun pengeluaran ini menghasilkan kadar hormon sistemik yang

lebih rendah daripada yang berasal dari formulasi kontrasepsi oral dosis

rendah dan patch, namun ovulasi dapat dihambat dengan sempurna.

Cincin dipasang dalam 5 hari awitan menstruasi dan setelah digunakan

selama 3 minggu, dilepaskan selama 1 minggu untuk memunculkan

withdrawal bleeding (Cunningham, 2012).


13

2.1.4 Kontrasepsi Implan

1. Implan Levonorgestrel

Sistem Norplant (Wyeth-Ayrest) menyediakan levonorgestrel di

dalam 6 batang silastik yang ditanam subdermal. Walaupun efektif,

aman, dan pasien puas dengan kontrasepsi ini, namun penggunaannya

merosot drastis di Amerika Serikat setelah keributan penuntutan secara

hukum. Pabriknya menghentikan distribusi kontrasepsi ini pada bula Juli

2002 (Cunningham, 2012).

2. Implan Etonogestrel

Disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) pada tahun

2006, Implanon (Organon, Roseland NJ) merupakan sebuah implan

subdermal satu batang yang mengandung 68 progestin etonogestrel

(ENG), dan dilapisi kopolimer ethylene vinyl acetate. Implan

ditempatkan di permukaan medial lengan atas 6 sampai 8 cm dari siku

pada lekukan biseps selama 5 hari awitan menstruasi. Sediaan ini dapat

digunakan sebagai kontrasepsi selama 3 tahun dan kemudian diganti pada

lengan yang sama atau lengan yang lain. Progestin dilepaskan secara

terus-menerus untuk menekan ovulasi sebagai aksi kontraseptif primer,

walaupun penebalan mukus serviks dan atrofi endometrium menambah

manfaatnya. Kembalinya ovulasi setelah pengangkatan implant terjadi

dengan cepat. Ini merupakan metode yang sangat efektif. Kenaikan berat

badan bukan merupakan efek samping yang menonjol ataupun alas an

umum penghentian penggunaan implan (Cunningham, 2012).


14

2.2 Lesi Prekanker dan Kanker Serviks

2.2.1 Anatomi Serviks

Serviks adalah ujung bawah uterus yang sempit, di antara isthmus dan

muara uterus pada vagina (Dorland, 2011).

Serviks uteri terdiri atas :

1. Pars vaginalis servisis uteri yang dinamakan porsio.

2. Pars supravaginalis servisis uteri adalah bagian serviks yang berada diatas

vagina.

Saluran yang terdapat pada serviks disebut kanalis servikalis, berbentuk

sebagai saluran lonjong dengan panjang 2,5 cm. Saluran ini dilapisi oleh

kelenjar-kelenjar serviks, berbentuksel-sel torak bersilia dan berfungsi sebagai

reseptakulum seminis. Pintu saluran serviks sebelah dalam disebut ostium uteri

internum, dan pintu di vagina disebut ostium uteri eksternum. Kedua pintu ini

penting dalam klinik, misalnya pada penilaian jalannya persalinan, dan abortus

(Prawirohardjo, 2014).

Gambar 2.1 Anatomi Uterus dan Serviks (Sumber : Sobotta Jilid 2 Edisi 23)
15

2.2.2 Definisi

Lesi merupakan diskontinuitas jaringan patologis atau traumatis atau

hilangnya fungsi suatu jaringan (Dorland, 2011).Istilah lesi prekanker leher

rahim (displasia serviks) telah di kenal luas di seluruh dunia, lesi prekanker

disebut juga lesi intraepitel serviks (cervical intraepithelial neoplasia).Keadaan

ini merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma leher rahim. Diawali

dengan NIS I (CIN I) karsinoma yang secara klasik dinyatakan dapat

berkembang menjadi NIS II, dan kemudian menjadi NIS III dan selanjutnya

berkembang menjadi karsinoma leher rahim. Konsep regresi yang spontan serta

lesi yang persisten menyatakan bahwa tidak semua lesi prekanker akan

berkembang menjadi lesi invasif, sehingga diakui bahwa masih cukup banyak

faktor yang berpengaruh (Andrijono, 2007).

CIN (cervical intraepithelial neoplasia) dimulai sebagai displasia ringan

(CIN I)dan mengalami progresi menjadi displasia sedang (CIN II)dan

kemudian menjadi displasia berat (CIN III)dengan berjalannya

waktu.Walaupun demikian, kekecualian telah dilaporkan, beberapa penderita

telah mengidap CIN III ketika kondisinya pertama kali ditegakkan

diagnosis.Secara umum, makin tinggi derajat CIN, makin tinggi kemungkinan

untuk terjadinya progresi.Pada banyak kasus, bahkan lesi derajat tinggi gagal

untuk mengalami progresi menjadi kanker dan bahkan dapat mengalami

regresi. Karena keputusan untuk managemen pasien merupakan dua cabang

(yaitu, observasi versus terapi bedah), sistem pemberian derajat yang semula

tiga dibuat lebih sederhana menjadi sistem dua derajat, dimana CIN Idiubah
16

menjadi lesi intra-epitel skuamosa derajat rendah/low-grade squamous

intraepithelial lesion (LSIL) dan CIN II dan CIN III digabung menjadi satu

kategori disebut lesi intra-epitel skuamosa derajat tinggi/high-grade squamous

intraepithelial lesion (HSIL). Keputusan untuk mengobati HSIL dan

mengobservasi LSIL berdasarkan pada perbedaan perjalanan penyakit alami

dari kedua kelompok lesi tersebut (Kumar, Abbas & Aster 2015).

Tabel 2.1 Perjalanan Penyakit Alami dari Lesi Intraepitel Skuamosa

Lesi Regresi Menetap Progresi


LSIL (CIN I/displasia ringan) 60% 30% 10% (menjadi HSIL)
HSIL (CIN II/displasia sedang, 30% 60% 10% (menjadi karsinoma)*
CIN III/displasia berat)
*Progresi terjadi dalam 10 tahun
Dikutip dari : Buku Ajar Patologi Robbins, 2015

Pemeriksaan deteksi dini kanker leher rahim dengan IVA adalah

pemeriksaan leher rahim secara visual menggunakan asam cuka berarti melihat

leher rahim dengan mata telanjang untuk mendeteksi abnormalitas setelah

pengolesan asam asetat atau cuka (3-5%). Daerah yang tidak normal akan berubah

warna dengan batas tegas menjadi putih (acetowhite), yang mengindikasikan

bahwa leher rahim mungkin memiliki lesi prekanker (KEMENKES RI, 2015).

Lesi prekanker serviks dikaitkan dengan abnormalitas sediaan hapus sitologik

(sediaan hapus Pap’s) yang dapat dideteksi jauh sebelum suatu abnormalitas dapat

dilihat dengan inspeksi makroskopik (gross). Deteksi dini perubahan diplastik

merupakan dasar pemeriksaan Papanicolaou (Pap’s), yaitu sel diambil dari zona

transformasi dan dilihat di bawah mikroskop. Sampai saat ini, pemeriksaan

sediaan hapus Pap’s tetap merupakan cara penapisan kanker yang paling berhasil

di antara uji yang pernah dikembangkan (Kumar, Abbas & Aster 2015).
17

Insidensi CIN memuncak pada usia sekitar 30 tahun, sedangkan untuk

karsinoma invasif adalah sekitar 45 tahun. Lesi prekanker memerlukan waktu

bertahun-tahun, mungkin berpuluh tahun, untuk berkembang menjadi

karsinoma yang nyata (Kumar, Abbas & Aster 2015).Karsinoma invasif

serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa

(Notodiharjo, 2002).Kanker serviks adalah tumbuhnya sel-sel abnormal pada

serviks.Kanker serviks merupakan karsinoma yang primer berasal dari serviks

(kanalis servikalis dan atau porsio). Serviks adalah bagian ujung depan rahim

yang menjulur ke vagina (Cunningham, 2012).

2.2.3 Etiologi

Sebab langsung dari kanker serviks belum diketahui. Ada bukti kuat

kejadiaannya mempunyai hubungan erat dengan sejumlah faktor ektrinsik,

diantaranya yang penting jarang ditemukan pada perawan (virgo), insidensi

lebih tinggi pada mereka yang menikah daripada yang tidak menikah, terutama

pada gadis yang coitus pertama (coitarche) dialami pada usia amat muda (<16

tahun), insiden meningkat dengan tingginya paritas, apalagi bila jarak

persalinan terlampau dekat, mereka dari golongan sosial ekonomi rendah

(higienis seksual)yang jelek, aktivitas seksual yang sering berganti-ganti

pasangan (promiskuitas), jarang dijumpai pada masyarakat yang suaminya

disunat (sirkumsisi), sering ditemukan pada wanita yang mengalami infeksi

virus Human Papiloma Virus (HPV) tipe 16 atau 18, dan kebiasaan merokok

(Prawirohardjo, 2014).
18

Penyakit ini bermula sebagai proses displasia pada sambungan

squamosa-kolumner. Kemajuan yang berlangsung dari displasia ringan ke

displasia sedang seterusnya ke displasia berat dan karsinoma insitu memakan

waktu bertahun-tahun. Sebagian pasien mengalami transformasi cepat, dan

sebagian pasien displasianya akan menghilang tanpa pengobatan. Waktu rata-

rata yang diperlukan untuk berkembang menjadi kanker invasif sejak awal

mula mengalami displasia adalah 10-20 tahun. Yang dimaksud dengan kanker

invasif adalah sel-sel tumor menembus membrana basalis (basement

membrane) dan menyerang jaringan stroma dibawahnya. Kemudian tumor itu

menyebar setempat melalui invasi. Penyebaran metastasis terjadi melalui aliran

limfe ke kelenjar-kelenjar limfe dalam panggul. Jarang terjadi metastasis

melalui hematogen, kematian biasanya terjadi karena gagal ginjal sebagai

akibat sekunder dari hidronefrosis atau pendarahan dari tempat tumor (Rayburn

& Christopher, 2001).

Infeksi HPV risiko tinggi merupakan faktor etiologi kanker serviks.

Pendapat ini ditunjang oleh berbagai penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh

International Agency for Research on Cancer (IARC) terhadap 1000 sampel

dari22 negara mendapatkan adanya infeksi HPV pada sejumlah 99,7% kanker

serviks. Penelitian meta-analisis yang meliputi 10.000 kasus didapatkan 8 tipe

HPV yang banyak ditemukan, yaitu tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 52, 58.

Penelitian kasuskontrol dengan 2.500 kasus kanker serviks dan 2.500

perempuan yang tidak menderita kanker serviks sebagai kontrol, deteksi infeksi

HPV pada penelitian tersebut dengan pemeriksaan PCR.Total prevalensi


19

infeksi HPV pada penderita kanker serviks jenis karsinoma sel skuamosa

adalah 94,1%. Prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker serviks jenis

adenokarsinoma dan adenoskuamosa adalah 93%. Penelitian pada NIS

(neoplasia intraepitelial serviks) II/III mendapatkan infeksi HPV yang

didominasi oleh tipe 16 dan 18. Progresifitas menjadi NIS II/III setelah

menderita infeksi HPV berkisar 2 tahun. HPV yang merupakan faktor inisiator

dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan sel

serviks.Onkoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab

terjadinya degenerasi keganasan. Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh

merupakan awal dari proses yang mengarah transformasi. Integrasi DNA virus

dimulai pada daerah E1-E2. Integrasi menyebabkan E2 tidak berfungsi, tidak

berfungsinya E2 menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan

menghambat p53 dan pRb. Hambatan kedua TSG menyebabkan siklus sel

tidak terkontrol, perbaikan DNA tidak terjadi, dan apoptosis tidak terjadi.E6

akan mengikat p53 sehingga Tumor suppressor gene (TSG) p53 akan

kehilangan fungsinya, yaitu untuk menghentikan siklus sel pada fase G1.

Sedangkan onkoprotein E7akan mengikat TSG Rb,ikatan ini menyebabkan

terlepasnya E2F, yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel

berjalan tanpa kontrol (Andrijono, 2007).

2.2.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel

serviks. Epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga
20

berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian ini disebut proses

metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang rendah. Akibat proses

metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 SSK, yaitu SSK (Sel

skuamosa karsinoma) asli dan SSK baru yang menjadi tempat pertemuan

antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar (Rahmawan, 2009).

Karsinoma timbul di batas antara epitel yang melapisi ektoserviks

(porsio) dan endoserviks (kanalis servikalis) yang disebut sebagai squamo-

columnar junction (SCJ), histologi antara epitel gepeng berlapis (squamous

complex) dari porsio dengan epitel kolumnar dari endoserviks. Pada wanita

muda, SCJ berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita

berumur lebih dari 35 tahun, SCJ berada di dalam kanalis servikalis. Tumor

dapat tumbuh:

1. Eksofitik mulai dari SCJ ke arah lumen vagina sebagai massa proliferatif

yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis.

2. Endofitik mulai dari SCJ tumbuh ke dalam stroma serviks dan cenderung

untuk mengadakan infiltrasi menjadi ulkus.

3. Ulseratif mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur jaringan serviks

dengan melibatkan awal fornises vagina untuk menjadi ulkus yang luas

(Wiknjosastro, 2008).

Maka untuk melakukan pap’s smear yang efektif, yang dapat mengusap zona

transformasi, harus dikerjakan dengan skraper dari ayre atau cytobrush sikat

khusus. Pada pemeriksaan dengan spekulum, tampak sebagai porsio yang

erosif (metaplasia skuamosa) yang fisiologik atau patologik (Mardjikoen,


21

2009). Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spektrum penyakit yang

dimulai dari displasia ringan (NIS 1), displasia sedang (NIS 2), displasia berat

dan karsinoma insitu (NIS 3) untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma

invasif.Beberapa penelitian menemukan 30-35% NIS mengalami regresi, yang

terbanyakberasal dari NIS 1/NIS 2. Karena tidak dapat ditentukan lesi mana

yang akanberkembang menjadi progresif dan mana yang tidak, maka semua

tingkat NISdianggap potensial menjadi ganas sehingga harus ditatalaksana

sebagaimana mestinya (Rahmawan, 2009).

2.2.5 Gejala Klinis

1. Lesi Prekanker

Lesi prekanker tidak disertai gejala (asimtomatik) dan baru

mendapat perhatian klinis setelah hasil pemeriksaan Pap’s yang

abnormal. Kasus tersebut diikuti dengan pemeriksaan kolposkopi,

disertai penggunaan asam asetat, serta dipulaskan dengan kapas yang

dibasahi asam asetat, pada serviks untuk memperjelas lokasi lesi dan

tempat yang akan dibiopsi. Warna putih cuka (aceto-white) menandakan

kemungkinan pre-kanker (Kumar, Abbas & Aster 2015).

2. Kanker Serviks

Tanda-tanda dini kanker serviks mungkin tidak menimbulkan

gelaja. Tanda-tanda dini yang tidak spesifik seperti sekret vagina yang

agak berlebihan dan kadang-kadang disertai dengan bercak perdarahan.

Gejala umum yang sering terjadi berupa perdarahan pervaginam


22

(pascasanggama, perdarahan di luar haid) dan keputihan. Pada penyakit

lanjut keluhan berupa keluar cairan pervaginam yang berbau busuk, nyeri

panggul, nyeri pinggang dan pinggul, sering berkemih, buang air kecil

atau buang air besar yang sakit. Gejala penyakit yang residif berupa nyeri

pinggang, edema kaki unilateral, dan obstruksi ureter (Prawirohardjo,

2011).

2.2.6 Faktor Risiko

Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker

serviks, antara lain:

1. Umur

Periode laten dan fase preinvasif menjadi invasif memakan waktu

sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita usia <35 tahun menunjukan

kanker yang invasif pada saat didiagnosa, sedangkan 53% dari kanker

serviks terdapat pada wanita diatas usia 35 tahun. Umumnya insiden

kanker serviks sangat rendah dibawah umur 20 tahun dan sesudahnya

menaik dengan cepat dan menetap pada usia 50 tahun. Sedangkan kanker

serviks mulai naik pada umur lebih awal, dan puncaknya pada usia 35-55

tahun dan terus menurun sesudah usia tersebut (Melva, 2008).

Infeksi HPV paling sering adalah pada usia 18-30 tahun (30-50%)

yaitu beberapa tahun setelah melakukan aktivitas seksual, menurun tajam

setelah usia 30 tahun. Infeksi HPV dapat mempengaruhi oleh perilaku

seksual seperti aktivitas seksual usia dini dibawah umur 17 tahun,


23

multipartner seksual, terinfeksi kuman lain, kutil genitalis, riwayat pap’s

smear abnormal, dan kanker penis. Infeksi HPV transien pada usia 13-22

tahun dapat mengalami regresi spontan alamiah yaitu 70% untuk infeksi

HPV risiko tinggi dan 90% untuk infeksi HPV risiko rendah. Hal ini

memberikan pola sitologik sekitar 15% Cervical Intraepitel Neoplasia

(CIN) I berkembang menjadi CIN II. Sekitar 50% CIN II

berkembangmenjadi CIN III dan sekitar 90% CIN III berkembang

menjadi kanker serviks invasif (Ketut, 2006).

2. Faktor Risiko Yang Telah Dibuktikan

a. Hubungan Seksual

Usia yang dianggap paling optimal untuk reproduksi bagi

wanita adalah usia 20-35 tahun (Savitri, 2015). Wanita yang terlalu

dini melakukan hubungan seksual, misalnya usia dibawah 16 tahun

mempunyai risiko yang besar untuk mengalami kanker serviks. Hal

ini dikaitkan dengan pembentukan sel epitel atau lapisan dinding

vagina dan serviks yang belum matang sempurna, disebabkan oleh

ketidakseimbangan hormonal. Usia di bawah 20 tahun juga

dianggap belum matang untuk menjalani pernikahan atau hubungan

seksual. Ukuran kematangan bergantung pada sel-sel mukosa yang

terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umunya sel

mukosa baru matang setelah wanita berusia di atas 20 tahun. Jadi,

hubungan seksual yang dilakukan di bawah usia 20 tahun

memungkinkan terjadinya perlukaan pada serviks. Luka yang


24

ditimbulkan menjadi media yang mudah untuk mengalami infeksi,

termasuk infeksi dari virus HPV yang menyebabkan kanker serviks

(Riksani, 2016).

b. Karakterisitik Partner

Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung

tetapi sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko.

Studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker

serviks lebih sering menjalani seks aktif dengan pasangan yang

melakukan seks berulang kali. Selain itu, pasangan dari pria dengan

kanker penis juga akan meningkatkan risiko kanker serviks

(Rasjidi, 2008).

c. Riwayat Ginekologis

Hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen

persalinan yang tidak tepat dapat pula meningkatkan risiko

(Rasjidi, 2008). Risiko akan lebih tinggi apabila pada usia di bawah

20 tahun, wanita sudah mengalami kehamilan. Risikonya dua kali

lebih besar untuk mendapatkan kanker serviks di kemudian hari

dari pada mereka yang mengandung pada usia 25 tahun atau lebih

(Savitri, 2015).

d. Agen Infeksius

Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan Human

Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab neoplasia servikal. Ada

bukti lain yaitu onkogenitas virus papiloma hewan, hubungan


25

infeksius HPV serviks dengan kondiloma dan atipik koilositotik

yang menunjukkan displasia ringan atau sedang, dan deteksi

antigen HPV dan DNA dengan lesi servikal. HPV tipe 16 dan 11

berhubungan erat dengan displasia ringan yang sering regresi. HPV

tipe 16 dan 18 dihubungkan dengan displasia berat yang jarang

regresi tapi sering progresif menjadi karsinoma insitu (Rasjidi,

2008). Walaupun semua Virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 2

belum didemonstrasikan pada sel tumor, teknik hibridisasi insitu

telah mununjukkan bahwa terdapat HSV RNA spesifik pada

sampel jaringan wanita dengan displasia serviks. Infeksi

Trikomonas, sifilis, dan gonokokkus ditemukan berhubungan

dengan kanker serviks. Namun infeksi ini dipercaya muncul akibat

hubungan seksual dengan banyak pasangan dan tidak

dipertimbangkan sebagai faktor risiko kanker serviks secara

langsung (Rasjidi, 2008).

e. Merokok

Pada sebuah penelitian ditemukan bahwa lendir serviks pada

wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lain yang juga

terkandung dalam rokok. Hal ini membuat serviks kehilangan daya

secara optimal. Tembakau sebagai bahan utama dari rokok

mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai

rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok sendiri menghasilkan

polycyclic aromatic hydrocarbon nitrosamines. Pada wanita


26

perokok, konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi

dibandingkan di dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut

pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat

menjadi kokarsinogen infeksi virus. Para perokok pasif juga

mempunyai risiko yang sama. Para perokok aktif dan pasif dapat

memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar daripada wanita yang

sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan rokok (Savitri, 2015).

Tidak hanya itu, peneliti juga meyakini bahwa rokok merusak

DNA pada sel serviks dan berperan besar dalam proses

perkembangan kanker serviks (Riksani, 2016).

3. Faktor Risiko Yang Diperkirakan

a. Kontrasepsi Hormonal

Risiko relatif displasia serviks dan kanker serviks meningkat

pada pengguna kontrasepsi oral saat ini, namun menurun jika

penggunaan dihentikan. Untuk 10 tahun berikutnya atau lebih,

risiko kembali ke angka bagi yang belum pernah menggunakan.

Lebih jauh lagi, setelah penanganan displasia serviks, angka

rekurensi tidak meningkat dengan penggunaan kontrasepsi oral

(Cunningham, 2012). Hingga kini para ahli belum memiliki

kesepahaman mengenai mekanisme penggunaan kontrasepsi oral

yang bisa meningkatkan risiko terjangkitnya kanker serviks. Guven

et al (2009), menyimpulkan hipotesis bahwa kekentalan lendir pada

serviks akibat penggunaan kontrasepsi oral berperan dalam


27

terjadinya kanker serviks. Hal ini karena kekentalan lendir bisa

memperlama keberadaan agen karsinogenik penyebab kanker

berada di serviks yang terbawa melalui hubungan seksual (Riksani,

2016). Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu yang lama

tepatnya lebih dari 5 tahun, maka akan meningkatkan risiko terkena

kanker serviks sebesar 1,53 kali. Namun, risiko mereka akan

kembali normal setelah 10 tahun berhenti mengkonsumsi

kontrasepsi oral (Savitri, 2015).

b. Diet

Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga

dimasukkan dalam faktor risiko kanker serviks.

c. Etnis dan Faktor Sosial

Wanita di kelas sosioekonomi yang paling rendah memiliki

faktor risiko pada wanita di kelas yang paling tinggi. Hubungan ini

mungkin dikacaukan oleh hubungan seksual dan akses ke sistem

pelayanan kesehatan. Di USA ras negro, hispanik, dan wanita Asia

memiliki insiden kanker serviks yang lebih tinggi daripada wanita

ras kulit putih. Perbedaan ini mencerminkan pengaruh dari

sosioekonomi (Rasjidi, 2008).

d. Paritas

Kanker serviks pada wanita yang sering partus atau

melahirkan merupakan kategori partus sering belum ada

keseragaman akan tetapi menurut beberapa pendapat berkisar


28

antara 3-5 kali melahirkan. Green menemukan penderita kanker

serviks 7,9% adalah multi para dan 51% pada nulli para. Dimana

bila persalinan pervaginam banyak maka kanker serviks cenderung

akan timbul. Kanker serviks banyak ditemukan pada paritas tinggi

tetapi tidak jelas bagaimana hubungan jumlah persalinan dengan

kejadian kanker serviks, karena pada wanita yang tidak melahirkan

juga dapat terjadi kanker serviks (Melva, 2008).

Paritas atau kelahiran yang paling optimal adalah kelahiran

sampai ketiga kali. Semakin banyak proses melahirkan yang

dialami oleh seorang ibu, maka semakin tinggi risikonya untuk

rekena kanker serviks. Ada beberapa pendapat yang

memperlihatkan korelasi antara keduanya. Pertama, saat proses

melahirkan, janin tentu saja akan keluar melalui serviks yang

merupakan leher rahim, jembatan antara rahim dan vagina.

Keluarnya janin akan menimbulkan trauma pada serviks. Jika

serviks mengalami kelahiran terus menerus, maka serviks juga

akan semakin mengalami trauma. Kedua, adanya perubahan

hormonal bagi wanita selama kehamilan ketiga yang membuat

wanita tersebut lebih mudah terkena infeksi HPV dan pertumbuhan

kanker. Ketiga, adalah pendapat bahwa wanita hamil memiliki

imunitas yang lebih rendah sehingga memudahkan masuknya HPV

dalam tubuh yang berujung pada pertumbuhan kanker (Savitri,

2015).
29

2.2.7 StagingFIGO (International Federation of Gynecology and Obstetrics)

Tabel 2.2Staging FIGO2016

Tingkat Kriteria
0 Karsinoma in situ
Kanker tumbuh ke dalam (menyerang) leher rahim, tetapi tidak tumbuh diluar
I rahim, kanker belum menyerang kelenjar getah bening terdekat atau tempat yang
jauh
IA Sejumlah kecil kanker, dan dapat dilihat di bawah mikroskop
IA1 Kanker<3 mm ke arah dalam dan <7 mm ke arah samping
IA2 Kanker antara 3 mm sampai 5 mm ke arah dalam dan <7 mm ke arah samping
Kanker dapat dilihat tanpa mikroskop serta kanker yang hanya dapat dilihat dengan
mikroskop jika kanker telah menyebar >5 mm ke dalam jaringan ikat serviks atau
IB
lebar >7 mm. Kanker belum menyerang kelenjar getah bening terdekat atau tempat
yang jauh
IB1 Kanker dapat dilihat tetapi <4 cm
IB2 Kanker dapat dilihat >4 cm
Karsinoma serviks menyerang di luar rahim dan rahim, tetapi belum menyebar
II ke dinding pelvis atau bagian bawah vagina. Kanker belum menyerang kelenjar
getah bening terdekat atau tempat yang jauh
Kanker belum menyebar ke jaringan parametrium tetapi bisa tumbuh di bagian atas
IIA
vagina
IIA1 Kanker dapat dilihat tetapi <4 cm
IIA2 Kanker dapat dilihat >4 cm
IIB Kanker telah menyebar ke jaringan parametrium
Kanker telah menyebar ke bagian bawah vagina atau dinding panggul dan bisa
III menekan ureter. Kanker belum menyerang kelenjar getah bening terdekat atau
tempat yang jauh
Kanker telah menyebar ke sepertiga bagian bawah vagina tetapi tidak ke dinding
IIIA
panggul
Kanker telah tumbuh ke dinding panggul dan/atau telah menekan satu atau kedua
ureter dan menyebabkan masalah ginjal (hidronefrosis), kanker telah menyebar ke
IIIB kelenjar getah bening di panggul tetapi tidak ke tempat yang jauh. Tumor
didapatkan berbagai ukuran dan mungkin telah menyebar ke bagian bawah vagina
atau dinding panggul
Tahap progresif kanker serviks. Kanker telah menyebar ke organ terdekat atau
IV
bagian lain dari tubuh
Kanker telah menyebar ke kandung kemih atau rektum yang merupakan organ
IVA terdekat dengan serviks, kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening terdekat
atau tempat yang jauh
Kanker telah menyebar ke organ jauh di luar daerah panggul, seperti paru-paru atau
IVB
hati
Dikutip dari: American Cancer Society (https://www.cancer.org), 2016
30

2.3 IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)

2.3.1 Pengertian

IVA adalah pemeriksaan yang pemeriksanya mengamati serviks yang

telah diberi asam asetat atau asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat

dengan mata langsung. Pemberian asam asetat akan mempengaruhi epitel

abnormal, bahkan juga meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan

ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan intraseluler

sehingga membran akan kolaps dan jarak antarsel akan semakin dekat. Sebagai

akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan

diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaaan epitel

abnormal akan berwarna putih, disebut juga epitel putih (acetowhite)

(Saifuddin, 2006).

Deteksi dini kanker leher rahim dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

sudah dilatih dengan pemeriksaan leher rahim secara visual menggunakan

asam asetat yang sudah di encerkan, berarti melihat leher rahim dengan mata

telanjang untuk mendeteksi abnormalitas setelah pengolesan asam asetat 3-5%.

Daerah yang tidak normal akan berubah warna dengan batas yang tegas

menjadi putih (acetowhite), yang mengindikasikan bahwa leher rahim mungkin

memiliki lesi prekanker. Tes IVA dapat dilakukan kapan saja dalam siklus

menstruasi, termasuk saat menstruasi, dan saat asuhan nifas atau paska

keguguran. Pemeriksaan IVA juga dapat dilakukan pada perempuan yang

dicurigai atau diketahui memiliki ISR/IMS atau HIV/AIDS (KEMENKES RI,

2015).
31

2.3.2 Sasaran Pemeriksaan

Sasaran pemeriksaan IVA adalah dianjurkan bagi semua perempuan

berusia antara 30 sampai dengan 50 tahun.Perempuan yang mempunyai faktor

resiko terutama adalah kelompok yang paling penting untuk mendapatkan

pelayanan tes dan pengobatan dengan sarana terbatas. Dengan memfokuskan

pada pelayanan tes dan pengobatan untuk perempuan berusis 30 sampai dengan

50 tahun atau yang memiliki faktor resiko seperti resiko tinggi IMS akan dapat

meningkatkan nilai prediktif positif dari IVA. Karena angka penyakit lebih

tinggi pada kelompok usia tersebut, maka lebih besar kemungkinan untuk

mendeteksi lesi prekanker, sehingga meningkatkan efektifitas biaya dari

program pengujian dan mengurangi kemungkinan pengobatan yang tidak perlu

(DEPKES RI, 2007).

WHO (2006)mengindikasikan skrining deteksi dini kanker leher rahim

dilakukan pada kelompok berikut ini :

a. Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah

menjalani tes sebelumnya, atau pernah menjalani tes 3 tahun sebelumnya

atau lebih.

b. Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes

sebelumnya.

c. Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan

pasca sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda

dan gejala abnormal lainnya.

d. Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya.


32

Menurut Rasjidi (2008), syarat seseorang yang mengikuti tes IVA, antara lain :

a. Sudah pernah melakukan hubungan seksual

b. Tidak sedang datang bulan/haid

c. Tidak sedang hamil

d. 24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual

Kontra indikasi dilakukannya tes IVA adalah pada pada wanita pasca

menopause, karena daerah zona transisional seringkali terletak kanalis

servikalis dan tidak tampak dengan pemeriksaan inspekulo (Rasjidi, 2008).

2.3.3 Tahapan Pemeriksaan

Alat dan Bahan

1. Spekulum.

2. Lampu.

3. Larutan asam asetat 3-5%.

a. Dapat digunakan asam cuka 25% yang dijual di pasaran kemudian

diencerkan menjadi 5% dengan perbandingan 1:4 (1 bagian asam cuka

dicampur dengan 4 bagian air). Contohnya: 10 ml asam cuka 25%

dicampur dengan 40 ml air akan menghasilkan 50 ml asam asetat 5 %.

Atau 20 ml asam cuka 25 % dicampur dengan 80 ml air akan

menghasilkan 100 ml asam asetat 5%.

b. Jika akan menggunakan asam asetat 3%, asam cuka 25 % diencerkan

dengan air dengan perbandingkan 1:7 (1 bagian asam cuka dicampur 7


33

bagian air). Contohnya : 10 ml asam cuka 25% dicampur dengan 70

ml air akan menghasilkan 80 ml asam asetat 3%.

c. Campur asam asetat dengan baik.Buat asam asetat sesuai keperluan

hari itu. Asam asetat jangan disimpan untuk beberapa hari.

3. Kapas lidi.

4. Sarung tangan.

5. Larutan klorin untuk dekontaminasi peralatan (KEMENKES RI, 2015).

Metode Pemeriksaan

1. Memastikan identitas, memeriksa status dan kelengkapan informed

consent klien.

2. Klien diminta untuk menanggalkan pakaiannya dari pinggang hingga lutut

dan menggunakan kain yang sudah disediakan.

3. Klien diposisikan dalam posisi litotomi.

4. Tutup area pinggang hingga lutut klien dengan kain.

5. Gunakan sarung tangan.

6. Bersihkan genitalia eksterna dengan air DTT (desinfeksi tingkat tinggi).

7. Masukkan spekulum dan tampakkan serviks hingga jelas terlihat.

8. Bersihkan serviks dari cairan, darah, dan sekret dengan kapas lidi bersih.

9. Periksa serviks sesuai langkah-langkah berikut :

a. Terdapat kecurigaan kanker atau tidak. Jika ya, klien dirujuk,

pemeriksaan IVA tidak dilanjutkan. Jika pemeriksaan adalah dokter

ahli obstetri dan ginekologi, lakukan biopsi.


34

b. Jika tidak dicurigai kanker, identifikasi Sambungan Skuamosa

Kolumnar (SSK). Jika SSK tidak tampak, maka : dilakukan

pemeriksaan mata telanjang tanpa asam asetat, lalu beri kesimpulan

sementara, misalnya hasil negatif namun SSK tidak tampak. Klien

disarankan untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya lebih cepat atau

pap’s smear maksimal 6 bulan lagi.

c. Jika SSK tampak, lakukan IVA dengan mengoleskan kapas lidi yang

sudah dicelupkan ke dalam asam asetat 3-5% ke seluruh permukaan

serviks.

d. Tunggu hasil IVA selama 1 menit, perhatikan apakah ada bercak putih

(acetowhite epithelium) atau tidak.

e. Jika tidak (IVA negatif), jelaskan kepada klien kapan harus kembali

untuk mengulangi pemeriksan IVA.

f. Jika ada (IVA positif), tentukan metode tata laksana yang akan

dilakukan.

10. Keluarkan spekulum.

11. Buang sarung tangan, kapas, dan bahan sekali pakai lainnya ke dalam

tempat sampah yang tahan bocor, sedangkan untuk alat-alat yang dapat

digunakan kembali, rendam dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit

untuk dekontaminasi.

12. Jelaskan hasil pemeriksaan kepada klien, kapan harus melakukan

pemeriksaan lagi, serta rencana tata laksana jika diperlukan (KEMENKES

RI, 2015).
35

2.3.4 Hasil Pemeriksaan

1. Positif: Bila diketemukan adanya Plak putih yang tebal berbatas tegas atau

epitel acetowhite (bercak putih), terlihat menebal dibanding dengan

sekitarnya, seperti leukoplasia, terdapat pada zona transisional, menjorok

kearah endoserviks dan ektoserviks.Positif 1 (+) : Samar, transparan, tidak

jelas, terdapat lesi bercak putih yang ireguler pada serviks. Lesi bercak putih

yang tegas, membentuk sudut (angular), geographic acetowhite lessions

yang terletak jauh dari sambungan skuamos. Positif 2 (++) : Lesi acetowhite

yang buram, padat dan berbatas jelas sampai ke sambungan

skuamokolumnar. Lesi acetowhite yang luas, circumorificial, berbatas tegas,

tebal dan padat. Pertumbuhan pada leher rahim menjadi acetowhite.

2. Negatif : Permukaan polos dan halus, berwarna merah jambu. Bila area

bercak putih yang berada jauh dari zona transformasi. Area bercak putih

halus atau pucat tanpa batas jelas. Bercak bergaris-garis seperti bercak

putih. Bercak putih berbentuk garis yang terlihat pada batas endoserviks.

Tak ada lesi bercak putih (acetowhite lesion). Bercak putih pada polip

endoservikal atau kista nabothi. Garis putih mirip lesi acetowhite pada

sambungan skuamokolumnar. Normal : Titik-titik berwarna putih pucat di

area endoserviks, merupakan epitel kolumnar yang berbentuk anggur yang

terpulas asam asetat. Licin, merah muda, bentuk porsio normal.

3. Infeksi : Servisitis (inflamsi, hiperemisis), banyak fluor, ektropion, polip.

4. Kanker : Massa mirip kembang kol atau ulkus dan mudah berdarah

(DEPKES RI, 2007 dan Nuranna2008).


36

Serviks Normal Positif Palsu

IVA Positif Kanker

Gambar 2.2 Hasil Tes IVA (Sumber: Galeri IVA, KEMENKES RI)
37

2.3.5 Penatalaksanaan

1. Tatalaksana Lesi Prekanker

Berikut ini merupakan penatalaksanaan lesi prekanker serviks

menurut Komite Penanggulangan Kanker Nasional Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia(2016).

a. Krioterapi

Krioterapi digunakan untuk destruksi lapisan epitel serviks dengan

metodepembekuan atau freezing hingga sekurang-kurangnya -20C

selama 6 menit (teknik Freeze-thaw-freeze) dengan menggunakan gas

N2O atau CO2. Kerusakan bioselular akan terjadi dengan mekanisme:

(1) sel‐sel mengalami dehidrasi dan mengkerut; (2) konsentrasi

elektrolit dalam sel terganggu; (3) syok termal dan denaturasi

kompleks lipid protein; (4) status umum sistem mikrovaskular.

b. Elektrokauter

Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi

dengan melakukan eksisi Loop diathermy terhadap jaringan lesi

prekanker pada zona transformasi. Jaringan spesimen akan dikirimkan

ke laboratorium patologi anatomi untuk konfirmasi diagnostik secara

histopatologik untuk menentukan tindakan cukup atau perlu terapi

lanjutan.

c. Diatermi Elektrokoagulasi

Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan

efektif jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan


38

dengan anestesi umum.Tindakan ini memungkinkan untuk

memusnahkan jaringan serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi

fisiologi serviks dapat dipengaruhi, terutama jika lesi tersebut sangat

luas.

d. Laser

Sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation),

suatu muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi

campuran gas helium, gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan

menimbulkan sinar laser yang mempunyai panjang gelombang 10,6u.

Perubahan patologis yang terdapat pada serviks dapat dibedakan

dalam dua bagian, yaitu penguapan dan nekrosis.Lapisan paling luar

dari mukosa serviks menguap karena cairan intraselular mendidih,

sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak di

bawahnya.Volume jaringan yang menguap atau sebanding dengan

kekuatan dan lama penyinaran.

2. Tatalaksana Kanker Serviks

a. Pembedahan

Tindakan pembedahan dapat dapat dilakukan pada kanker

serviks sampai stadium IIA dan dengan hasil pengobatan seefektif

radiasi, akan tetapi mempunyai keunggulan dapat meninggalkan

ovarium pada pasien usia premenopause. Kanker serviks dengan

diameter lebih dari 4 cm menurut beberapa peneliti lebih baik diobati

dengan kemoradiasi daripada operasi. Histerektomi radikal


39

mempunyai mortalitas kurang dari 1%. Morbiditas termasuk kejadian

fistel (1% sampai 2%), kehilangan darah, atonia kandung kemih yang

membutuhkan kateterisasi intermiten, antikolinergik, atau alfa

antagonis.

1) Stadium I A1 tanpa invasi limfo-vaskuler: Konisasi serviks atau

histerektomia totalis simpel. Risiko metastasis ke kelenjar getah

bening/residif 1%.

2) Stadium 1 A1 dengan invasi limfo-vaskuler, stadium I A2.

Modifikasi histerektomia radikal (tipe II) dan limfadenektomia

pelvik. Stadium I A1 dengan invasi limfo-vaskuler didapati 5%

risiko metastasis kelenjar getah bening.

3) Stadium I A2 berkaitan dengan 4% sampai 10% risiko metastasis

kelenjar getah bening.

4) Stadium I B sampai stadium II A: Histerektomia radikal (tipe III)

dan limfadenoktomia pelvik dan para-aorta.

5) Radiasi ajuvan diberikan pascabedah pada kasus dengan risiko

tinggi (lesi besar, invasi limfo-vaskuler atau invasi stroma yang

dalam). Radiasi pascabedah dapat mengurangi residif sampai 50%

(Prawirohardjo, 2011).

b. Radioterapi

1) Terapi radiasi dapat diberikan pada semua stadium, terutama mulai

stadium II B sampai stadium IV atau bagi pasien pada stadium

yang lebih kecil tetapi tidak merupakan kandidat untuk


40

pembedahan. Penambahan Cisplatin selama radioterapi whole

pelvic dapat memperbaiki kesintasaan hidup sampai 50%.

2) Komplikasi radiasi paling sering adalah komplikasi gastrointestinal

seperti proktitis, kolitis, dan traktus urinarius seperti sistitis dan

stenosis vagina.

3) Teleterapi dengan radioterapi whole pelvic diberikan dengan fraksi

180-200 cGy per hari selama 5 minggu (sesuai dengan dosis total

4500-5000 cGy) sebagai awal pengobatan. Tujuannya memberikan

radiasi seluruh rongga panggul, parametrium, kelenjar getah bening

iliaka dan para-aorta.

4) Teleterapi kemudian dilanjutkan dengan brakiterapi dengan

menginsersi tandem dan ovoid (dengan dosis total ke titik A 8500

cGy dan 6500 cGy ke titik B) melalui aplikasi. Tujuan brakiterapi

untuk memberikan radiasi dosis tinggi ke uterus, serviks, vagina

dan parametrium.

5) Titik A adalah titik 2 cm superior dari ostium uteri eksterna dan 2

cm lateral dari garis tengah uterus. Titik ini berada di parametrium.

6) Titik B adalah titik 2 cm superior dari ostium uteri eksterna dan 5

cm lateral dari garis tengah uterus. Titik ini berada di dinding

pelvis.

7) Radioterapi ajuvan dapat diberikan pada pasien pascabedah dengan

risiko tinggi (Prawirohardjo, 2011).


41

c. Kemoterapi

Kemoterapi terutama diberikan sebagai gabungan radio-

kemoterapi ajuvan atau untuk terapi paliatif pada kasus residif.

Kemoterapi yang paling aktif adalah Cisplatin. Carboplatin juga

mempunyai aktivitas yang sama dengan Cisplatin. Jenis kemoterapi

lainnya yang mempunyai aktivitas yang dimanfaatkan dalam terapi

adalah Ifosfamid dan Paclitaxel (Prawirohardjo, 2011).

2.3.6 Pencegahan

1. Pencegahan Primer

a. Menunda Onset Aktivitas Seksual

Menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun dan

berhubungan secara monogami akan mengurangi risiko kanker

serviks secara signifikan (Rasjidi, 2008).

b. Penggunaan Kontrasepsi Barier

Dokter merekomendasikan kontrasepsi metode barier (kondom,

diafragma,dan spermisida) yang berperan untuk proteksi terhadap

agen virus. Penggunaan lateks lebih dianjurkan daripada kondom

yangdibuat dari kulit kambing (Rasjidi, 2008).

c. Penggunaan Vaksinasi HPV

Vaksin HPV yang saat ini telah dibuat dan dikembangkan

merupakan vaksinkapsid L1 (imunogenik mayor) HPV tipe 16 dan

18. Vaksinasi HPV merupakanupaya pencegahan primer yang


42

diharapkan akan menurunkan terjadinya infeksiHPV risiko tinggi,

menurunkan kejadian karsinogenesis kanker serviks dan

padaakhirnya menurunkan kejadian kanker serviks uteri. Infeksi

HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada 70-80% penderita kanker

serviks. Pemberian vaksin dilaporkan memberi proteksi sebesar

89%, karena vaksin tersebut dilaporkan mempunyai cross

protection dengan tipe lain. Vaksin yang mengandung vaksin HPV

16 dan 18 disebut sebagai vaksin bivalent, sedangkan vaksin HPV

tipe 16, 18, 6 dan 11 disebut sebagai vaksin quadrivalent. HPV tipe

6 dan 11 (HPV risiko rendah) bukan karsinogen sehingga bukan

penyebab kanker serviks. Vaksin HPV risiko tinggi tipe lainnya

belum dikembangkan. Pemberian vaksin pada laki-laki dilaporkan

tidak memberikan hasil yang memuaskan. Vaksin yang saat ini

akan diaplikasikan adalah vaksin profilaksis bukan vaksin

terapeutik. Vaksinasi pada perempuan yang telah terinfeksi HPV

tipe 16 dan 18 kurang bahkan mungkin tidak memberi manfaat

proteksi, tetapi pemberiannya dilaporkan tidak menimbulkan efek

yang merugikan (Andrijono, 2007).

2. Pencegahan Sekunder

Perempuan yang telah terinfeksi HPV sebaiknya dilakukan

penapisan untuk menentukan apakah mereka mengalami lesi prekanker

atau tidak.Penapisan ini bisa dengan secara visual, tes HPV dan

penapisan sitologi otomatis (DEPKES RI, 2009).Agar program penapisan


43

mempunyai dampak terhadap munculnya kanker leher rahim, maka perlu

dilakukan penapisan pada sebanyak mungkin perempuan. Idealnya

program dapat melakukan penapisan 80% dari populasi yang berisiko.

Kemudian mereka yang teridentifikasi memiliki lesi prekanker perlu

diobati sebelum berkembang menjadi kanker.Bila cakupan cukup tinggi,

tidak perlu melakukan penapisan pada perempuan setiap tahun. Sebagai

contoh, jika semua perempuan berusia 35-64 yang mendapat hasil tes

Pap’s negatif dilakukan setiap 5 tahun sekali (dan semua yang

mengalami displasia diobati), timbulnya kanker leher rahim diperkirakan

dapat berkurang sekitar 84%. Bahkan dengan melakukan penapisan pada

kelompok perempuan tersebut setiap 10 tahun sekali dapat menurunkan

angka kasus sampai sekitar 64% (DEPKES RI, 2007).

Tabel 2.3 Penurunan Angka Kumulatif Kasus Kanker Serviks


dengan Frekuensi Penapisan

Frekuensi Penapisan dalam Tahun Angka Penurunan Kumulatif (%)


1 93,5
2 92,5
3 90,8
5 83,6
10 64,1
Dikutip dari: IARC 1986 dalam DEPKES RI 2007

3. Pencegahan Tersier

Kegiatan pencegahan tersier meliputi diagnosis, terapi dan tidak

dapat dipisahkan dari semua terapi paliatif terutama bagi penderita yang

telah masuk pada stadium lanjut. Pencegahan tersier lebih banyak

dilakukan oleh rumah sakit yang mempunyai sumberdaya yang lebih

lengkap seperti RS tipe A dan B (DEPKES RI, 2009).


44

2.4 Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan gambaran dari teori dimana suatu problem riset

berasal atau dikaitkan (Notoatmodjo, 2012).Berdasarkan tinjauan pustaka di atas,

maka dapat dibuat kerangka teori sebagai berikut:

Faktor Risiko
1. Umur
2. Hubungan seksual
3. Riwayat ginekologis
4. Agen infeksius (HPV)
5. Merokok
6. Kontrasepsi hormonal Metaplasia epitel serviks
7. Paritas

IVA Positif

Lesi prekanker serviks

Displasia Ringan/low-
grade squamous
intraephitelial lesion
(Progresi 10% menjadi
displasia sedang dan
berat)

Displasia Sedang dan


Berat/high-grade
squamous intraephitelial
(Progresi 10% menjadi
karsinoma terjadi dalam
10 tahun)

Kanker serviks

Gambar 2.3 Kerangka Teori

Keterangan: Huruf yang di Bold akan di teliti


45

2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau

kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel yang

satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2012).

Variabel Independen (X) Variabel Dependen (Y)

Pemakaian Kontrasepsi Hormonal IVA Positif

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

2.6 Hipotesis

Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian.Biasanya

hipotesis dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua variabel(Notoatmodjo,

2012).Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

Hipotesis yang menyatakan adanya hubungan atau pengaruh antara variabel

bebas dengan variabel terikat (Notoatmodjo, 2012).

Ha: Ada hubungan pemakaian kontrasepsi hormonal dengan kejadian IVA

positif di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung tahun 2016.

2. Hipotesis Nol (Ho)

Hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan atau pengaruh antara

variabel bebas dengan variabel terikat (Notoatmodjo, 2012).

Ho: Tidak ada hubungan pemakaian kontrasepsi hormonal dengan

kejadian IVA positif di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung tahun

2016.

You might also like