You are on page 1of 17

Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacteria. Pada manusia kebanyakan yang menginfeksi adalah Mycobacterium
tuberculosis. Biasanya tuberkulosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang Central
Nervus System, sistem limfatikus, sistem urinaria, sistem pencernaan, tulang, sendi dan
lainnya.

Karena penyakit TB bersifat kronis dan resistensi kuman terhadap obat cukup tinggi,
maka tidak jarang menimbulkan komplikasi. Salah satu komplikasi yang bisa ditimbulkan
adalah pneumotoraks. Di mana pnumotoraks yang terjadi adalah pneumotoraks spontan
sekunder.Seaton dkk. Melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami komplikasi
pneumotoraks sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas paru, komplikasi meningkat lebih dari
90%.

Pada referat kali ini akan dibahas tuberculosis paru dengan pendekatan strategi
DOTS. DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) Merupakan strategi
penanggulangan Tuberkulosis di Rumah Sakit melalui pengobatan jangka pendek dengan
pengawasan langsung. Yang merupakan program dari WHO agar dapat mengurangi hingga
sampai memberantas penyebaran kasus TB paru.

1
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

TUBERKULOSIS PARU
Definisi
Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
dan varian mycobacterium lainnya seperti M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M.
canettii, dan M. microti. Bakteri patogen ini menyerang paru-paru dan organ tubuh lainnya.
Mycobacterium tuberculosis umumnya disebarkan melalui udara dalam bentuk droplet nuklei
yang menimbulkan respon granuloma dan inflamasi jaringan. Tanpa penanganan yang baik,
kasus akan menjadi fatal dalam 5 tahun1
Tuberculosis sebenarnya dapat menyerupai penyakit paru lainnya seperti penumonia,
penyakit paru interstitial bahkan keganasan akan tetapi dengan anamnesis yang baik,
tuberculosis dapat dengan mudah di tegakkan. Pada dasarnya pasien dengan sistem imun
yang baik biasanya terserang tuberculosis hanya pada satu area saja misalnya pada paru atau
salah satu organ ekstra paru sedangkan pada pasien dengan immunokompeten, tuberculosis
dapat terjadi lebih daripada satu organ. Terlepas dari pasien dengan HIV positif, sekitar 80%
pasien dewasa menderita tuberculosis paru, 15% ekstra paru dan 5% menderita tuberculosis
paru dan ekstra paru.Tuberculosis diklasifikasikan sebagai tuberkulosis paru dan ekstra paru
berdasarkan lokasi infeksinya. Pada tuberculosis paru dapat diklasifikasikan sebagai TB paru
primer atau post primer 1,
TB paru primer merupakan TB paru yang muncul segera saat infeksi pertama kali.
Pada daerah dengan tingkat transmisi M. Tuberculosis, jenis penyakit ini lebih sering muncul
pada anak-anak. Daerah yang sering terlibat dalam TB paru primer adalah lobus medial dan
lobus bawah paru. Lesi yang terbentuk biasanya terletak di perifer dan disertai dengan
limfadenopati hilar atau paratracheal yang biasanya sulit dideteksi secara radiologis.
Pembesaran limfonodus dapat menekan bronchus, menimbulkan obstruksi saluran nafas dan
menyebabkan kolaps paru segmental atau bahkan lobar. Pada sebagian besar kasus, lesi
biasanya sembuh sendiri dan bermanifestasi sebagai nodul kalsifikasi (fokus gohn) 1
Tuberculosis Post Primer Biasanya disebut juga sebagai tuberculosis sekunder.
Tuberculosis ini terjadi sebagai proses reaktivasi infeksi laten dan biasanya terjadi pada
segmen atas paru dimana tekanan oxigen lebih tinggi dibandingkan bagian paru lainnya yang
sangat menunjang pertumbuhan bakteri. Pada tahap ini, perkembangan lesi biasanya sangat

2
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

bervariasi mulai dari bercak inflitrat hingga terbentuknya kavitas bahkan diikuti dengan
infeksi sekunder yang menyebabkan pneumonia, selain itu pada tahap ini, pasien sangat
mudah untuk menularkan bakteri ke lingkungannya.1
Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu:
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain –lain.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis pada TB paru.
1. Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang - kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif:
 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :

1. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
2. Kambuh (relaps)

3
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat


pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat
dengan pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan (transfer in)
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di suatu
kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan
tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB. 09).
4. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang sudah berobat
paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali
berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif.
5. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau pada akhir
pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif pada akhir bulan
kedua pengobatan.
6. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.
7. Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan resistensi
terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya (Depkes RI, 2006).

DOTS (Directly Observed Treatment Short-course)


Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah strategi penyembuhan TB
jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS,
maka proses penyembuhan TB dapat berlangsung secara cepat. Directly Observed Treatment
Shortcourse bukanlah obat, hanya merupakan istilah (term), singkatan atau strategi
pengobatan TB. Directly Observed Treatment Shortcourse hanya bisa berjalan dengan efektif
kalau komponennya bisa berjalan dengan baik pula 1.
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun
1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu Isoniazid (H), para-amino
salisilik asid (PAS),Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z).5

4
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Strategi DOTS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1995 di Indonesia dan telah
diimplementasikan secara meluas pada tahun 1997 dalam sistem pelayanan kesehatan
masyarakat 9. Directly Observed Treatment Shortcourse yang didasarkan pada rekomendasi
WHO, memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan obat anti-TB gratis dan pencarian
secara aktif kasus TB dalam strateginya.. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi
penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai
"pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari.
Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan
cepat, karenanya baseline drug susceptibility data ( DST ) akan menjadi alat pemantau dan
indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi
dan pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan
lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka
banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan,
dan mungkin menimbulkan kekebalan obat.5
Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya
implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT
akan menyebarkan infeksi TB dengan kuman yang bersifat Multi-drugs Resistant (MDR).
Untuk kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TB yaitu obat
fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin, levofloxacin ( hanya sangat disayangkan
bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan ).
Peran DOTS
Indonesia adalah negara high burden dan sedang memperluas strategi DOTS dengan
cepat, karenanya baseline drug susceptibility data akan menjadi alat pemantau dan indikator
program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan
pengobatan TB melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif dan lebih
banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka
banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan
dan mungkin menimbulkan kekebalan obat
Directly Observed Treatment Shortcourse menekankan pentingnya pengawasan
terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai
dinyatakan sembuh. Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai
95 %. Startegi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB.5
Selain itu bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang
paling cost effective. Sampai tahun 2000, cakupan dari program DOTS baru mencapai 28%

5
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

dari 206.000 juta penduduk, dengan hasil pengobatan yang masih belum memuaskan. Ada
beberapa daerah yang sukses antara lain: Sulawesi. Faktor-faktor risiko yang sudah diketahui
menyebabkan tingginya prevalensi TB di Indonesia antara lain: kurangnya gizi, kemiskinan
dan sanitasi yang buruk. Pengobatan yang sukses di bawah program DOTS tetap tinggi
walaupun turun dari 91% menjadi 81% diantara tahun 1985-1996 kunci permasalahan dengan
pengobatan sistim DOTS ini adalah rendahnya penemuan kasus-kasus baru 3.
Strategi DOTS
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu :
 Komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh menanggulangi TB &
dukungan dana
 Diagnosis penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis
 Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung
oleh Pengawas Minum Obat (PMO).
 Tersedianya paduan obat anti-TB jangka pendek secara konsisten
 Pencatatan dan pelaporan mengenai penderita TB sesuai standar 3.
Berikut akan dijelaskan satu persatu mengenai komponen-komponen tersebut diatas:
Pertama, komitmen politis dari para pengambil keputusan. Tuberkulosis adalah masalah
global, masalah bangsa sehingga program ini sangat membutuhkan dukungan yang kuat dari
para pimpinan puncak di masing-masing tingkatan pemerintahan.8 Komitmen yang
dimaksudkan di sini bukan komitmen semu, seakan-akan mempunyai komitmen padahal
mereka tidak mempunyai komitmen atau komitmen tersebut hanya teori saja tidak disertai
dengan tindakan nyata 3.
Hal lain misalnya dengan meningkatnya jumlah TB yang secara terus-menerus, para
pengambil kebijakan harus memberikan dana tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
program lain dan seterusnya. Kelemahan sekaligus kesalahan yang terjadi adalah kadang-
kadang yang berkomitmen adalah para pengambil kebijakan tingkat di bawahnya sementara
mereka adalah pelaksana teknis di mana keputusan mereka ditentukan oleh pengambil
kebijakan di atasnya3.
Program ini tidak akan mungkin berjalan maksimal kalau yang mempunyai komitmen
hanya dimiliki oleh orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan seperti dinas kesehatan,
rumah sakit, puskesmas dan pelaksana unit lainnya. Komitmen utama harus berasal dari top
leader. Dukungan dana adalah hal yang sangat krusial dihadapi oleh hampir semua program
dan departemen, bahkan dana dianggap sebagai masalah klasik. Meskipun penanggulangan

6
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

TB saat ini mendapat bantuan dari global fund, namun hanya membiayai program-program
tertentu saja dan akan mempunyai periode waktu tertentu pula. Dengan kondisi ini, maka
sebaiknya pemerintah pusat dan daerah tetap harus mengalokasikan dana yang cukup untuk
penanggulangan program ini 3.
Kedua, diagnosis dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik. Untuk menentukan
seseorang menderita TB atau tidak, pada periode waktu yang lalu cara penentuannya kadang-
kadang berbeda antara satu unit pelaksana dengan unit yang lain. Misalnya di puskesmas
menentukan seseorang TB itu dengan pemeriksaan
dahak dengan istilah pagi-sewaktu-pagi. Sehingga kalau hasil pemeriksaan dahak dinyatakan
positif, maka mereka dianggap menderita TB sementara pada tempat yang lain, menyatakan
tidak cukup dengan pemeriksaan dahak dan harus didukung oleh pemeriksaan rontgen. Hasil
pemeriksaan rontgen yang akan memperkuat apakah seseorang benar-benar menderita TB
atau tidak 3.
Ketiga, pengobatan dengan pengawasan oleh Pengawas Minum Obat (PMO).
Pengawas Minum Obat mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses kesembuhan
penderita. Kita bisa membayangkan bahwa minum obat saja dengan penyakit biasa kadang-
kadang kita lupa minum obat dengan tepat waktu atau lupa sama sekali dan itu pun tidak
mempunyai efek besar kalau berhenti minum obat. Namun, berbeda halnya dengan penderita
TB di mana mereka harus menjalani masa pengobatan sekitar enam bulan. Obat harus
diminum sesuai aturannya, baik jumlahnya, jenisnya maupun waktunya. Dengan
kompleksnya masalah ini sehingga tidak sedikit penderita TB yang drop out, gagal berobat
karena mereka bosan 3.
Pemahaman penderita tentang TB yang kurang di mana penderita setelah minum obat
antibiotik beberapa hari dan batuknya sudah mulai membaik lalu kemudian mengklaim telah
sembuh. Padahal mereka sebetulnya belum sembuh, kuman TB hanya dormant (tidur
sementara) karena ia telah diintervensi dengan kehadiran antibiotik. Dalam hal ini, penderita
tetap butuh minum obat sampai benar-
benar kuman tidak ada lagi 3.
Keempat & kelima yaitu, ketersediaan obat untuk penderita yang disertai
pencatatan/pelaporan baku untuk pemantauan kemajuan pengobatan penderita dan evaluasi
kinerja program. Ketersediaan obat mempunyai peranan besar dalam program ini, baik
terhadap penderita yang sedang berobat atau pun penderita baru. Ketersediaan obat harus
mendapat jaminan dari pemerintah untuk menghindari drop out pada penderita lama maupun
penularan baru terhadap orang lain 3.

7
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Tatalaksana
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun
1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu Isoniazid (H), Para Amino
Salisilik Asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z).
Sejak tahun 1994 program pengobatan TB di Indonesia telah mengacu pada program Directly
observed Treatment Short-course (DOTS) yang didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi
ini memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan OAT gratis dan pencarian secara aktif
kasus TB. Pengobatan ini memiliki 2 prinsip dasar : Pertama, terapi yang berhasil
memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut dan salah satu
daripadanya harus bakterisidik.
Obat anti tuberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah
terjadinya resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R merupakan obat yang paling efektif,
E dan S dengan kemampuan mencegah, sedangkan Z mempunyai efektifitas terkecil. Kedua,
penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala
klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeleminasi basil yang
persisten.
Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 18-24 bulan
untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan metode DOTS pengobatan TB diberikan dalam
bentuk kombinasi dari berbagai jenis OAT, dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat selama
6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh. Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, tahap
intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif penderita mendapat obat baru setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua jenis OAT terutama
Rifampisin.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita
tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan
ketat dalam tahap ini sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Pada tahap
lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu yang lebih
lama. Tahap ini bertujuan untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga dapat
mencegah terjadinya kekambuhan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis pertama
dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian pertumbuhan basil,
pengurangan basil dormant dan pencegahan resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari

8
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua


mencakup Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,
Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones.
Obat lapis kedua ini dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi drug
resistance. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah Isoniazid,
Rifampisin, dan Etambutol.
Jenis OAT Sifat Keterangan
Isoniazid Bakterisid Obat ini sangat efektif terhadap kuman
(H) terkuat dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman
yang sedang berkembang. Mekanisme
kerjanya adalah menghambat cell-wall
biosynthesis pathway
Rifampisin bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-
(R) dormant (persistent) yang tidak dapat
dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme
kerjanya adalah menghambat polimerase
DNA-dependent ribonucleic acid (RNA) M.
Tuberculosis

Pirazinamid bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman yang


(Z) berada dalam sel dengan suasana asam.
Obat ini hanya diberikan dalam 2 bulan
pertama pengobatan.
Streptomisin bakterisid obat ini adalah suatu antibiotik golongan
(S) aminoglikosida dan bekerja mencegah
pertumbuhan organisme ekstraselular.
Etambutol bakteriostatik -
(E)
Tabel 1 Obat Anti Tuberkulosis
Regimen Pengobatan Metode DOTS
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat mencegah
perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah menerapkan strategi DOTS dimana
petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat

9
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

untuk memastikan kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen
pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus
tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini

Kategori Paduan pengobatan TB alternatif


pengobatan Pasien TB Fase awal Fase lanjutan
TB (setiap hari / 3 x
seminggu)
I Kasus baru TB paru 2 EHRZ (SHRZ) 6 HE
dahak positif; kasus baru 2 EHRZ (SHRZ) 4 HR
TB paru dahak negatif 2 EHRZ (SHRZ) 4 H3 R3
dengan kelainan luas di
paru; kasus baru TB
ekstra-pulmonal berat

II Kambuh, dahak positif; 2 SHRZE / 1 5 H3R3E3


pengobatan gagal; HRZE 5 HRE
pengobatan setelah 2 SHRZE / 1
terputus HRZE

III Kasus baru TB paru 2 HRZ atau 6 HE


dahak negatif (selain dari 2H3R3Z3
kategori I); kasus baru TB 2 HRZ atau 2 HR/4H
ekstra-pulmonal yang 2H3R3Z3
tidak berat 2 HRZ atau 2 H3R3/4H
2H3R3Z3
IV Kasus kronis (dahak TIDAK DIPERGUNAKAN
masih positif setelah (merujuk ke penuntun WHO guna
menjalankan pengobatan pemakaian obat lini kedua yang
ulang) diawasi pada pusat-pusat
spesialis)
Tabel 2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan

10
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah
1. Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari selama
2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan
diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4 H3
R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase intensif
diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau
tidak.
2. Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E,
setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila
sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA
masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi.
Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3
hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase
lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.
3. Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang dilanjutkan dengan
fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
4. Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya
harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja sesuai
rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB resistensi ganda (MDR-TB).
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE). Obat sisipan
akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II pada tahap akhir intensif
pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2 minggu), hasil pemeriksaan
dahak/sputum masih BTA positif.
Kombinasi obat
Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat kombinasi
dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk menggantikan paduan
obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk
paket dengan tujuan memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan

11
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

sampai selesai. Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT
kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet.
Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien,
paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan
OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Berat badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3x seminggu
selama 56 hari selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
Tabel 3 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3

Gambar 1 Obat Kombinasi Dosis Tetap Fase Intensif


Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan3x seminggu
badan RHZE (150/75/400/275) RH (150/150) + E (400)
+S
Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
Streptomisin inj Etambutol
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
Streptomisin inj Etambutol
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
Streptomisin inj Etambutol
> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
Streptomisin inj Etambutol
Tabel 4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3

12
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Gambar 2 Obat Kombinasi Dosis Tetap fase Lanjutan

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Tabel 5 Dosis OAT untuk Sisipan

Efek samping pengobatan


Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang mempersulit sasaran
pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin OAT masih dapat diberikan
dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek samping ini sangat mengganggu OAT
yang bersangkutan harus dihentikan dan pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang
lain .
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien, lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Jenis Obat Ringan Berat
Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan Hepatitis, ikhterus
pada syaraf tepi,
kesemutan, nyeri otot dan
gangguan kesadaran.
Kelainan yang lain

13
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

menyerupai defisiensi
piridoksin (pellagra) dan
kelainan kulit yang
bervariasi antara lain
gatal-gatal.

Rifampisin (R) gatal-gatal kemerahan Hepatitis, sindrom


kulit, sindrom flu, sindrom respirasi yang ditandai
perut. dengan sesak nafas,
kadang disertai dengan
kolaps atau renjatan
(syok), purpura, anemia
hemolitik yang akut, gagal
ginjal
Pirazinamid (Z) Reaksi hipersensitifitas : Hepatitis, nyeri sendi,
demam, mual dan serangan arthritis gout
kemerahan

Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas : Kerusakan saraf VIII


demam, sakit kepala, yang berkaitan dengan
muntah dan eritema pada keseimbangan dan
kulit pendengaran
Etambutol (E) Gangguan penglihatan Buta warna untuk warna
berupa berkurangnya merah dan hijau
ketajaman penglihatan
Tabel 2.7 Efek Samping Pengobatan dengan OAT
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan
kontrol, seperti :
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer
dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan Pirazinamid)

14
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

Evaluasi pengobatan
Terdapat beberapa metode yang bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :
a. Klinis
biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2 minggu selama tahap
intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya
terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang,
nafsu makan bertambah, berat badan meningkat dll.
b. Bakteriologis:
biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif.
Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan
kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan
resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif
dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila
sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut.
Bila BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang
sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.
c. Radiologis
bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai
dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien
tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat
dilihat keadaan TB parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena
perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada
dilakukan setiap 3 bulan sekali.

15
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
parenkim paru. Yang disebarkan melalui udara dari droplet penderita tb paru. Gejala dari tb
paru itu sendiri antara lain demam Biasanya terjadi sore hingga malam Batuk kronik lebih
dari 2 minggu hingga sampai batuk berdarah serta dapat bergejala seperti berkeringat malam,
nafsu makan menurun, kehilangan berat badan dan mudah menjadi lelah.

Strategi pemerintah dalam menanggulangi TB paru dengan sisrem DOTS (Directly


Observed Treatment Short-course). Kunci dari keberhasilan program DOTS adalah
Komitmen politis yang baik, Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya,
Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang
tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan., Jaminan ketersediaan OAT yang
bermutu. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

16
Terapi Tuberkulosis Dengan Program Nasional DOTS

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene


Stephen L. Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis in: Harrison
principle of internal medicine 17th edition. USA: Mc Graw Hill. 2008
2. Fitzpatrick, Lisa K. Braden, Christopher. Chapter 294 Tuberculosis in: Humes, David.
Dupont, Herbert L. Kelley textbook of medicine USA: Lippincott Williams & Wilkins
2000.
3. Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi
IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
4. Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-1000.
5. World Health Organization. Treatment of tuberculois, guidelines. Geneva: World Health
Organization. 2011
6. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I ,
Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 998-1005, 1045-9.
7. NN. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 27 Juli 2009. Available from
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf
8. Aditama, T.Y. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi & Masalahnya. Edisi IV. Jakarta : Ikatan
Dokter Indonesia (IDI), 2002.

17

You might also like