Professional Documents
Culture Documents
Ulkus Traumatikus
Ulkus Traumatikus
Adalah lesi jaringan lunak ulut yang paling umum, biasanya di sebabkan oleh trauma mekanis. Dapat
terjadi pada daerah yang rentan terhadap trauma accidental contoh: lower lip, tongue, mucosa buccal.
Etiologi bias terjadi self-induced karena kebiasaan abnormal dan mungkin ada kelainan psikologis. Selain
itu juga bias berupa iatrogenic. Chemical juga dapat menjadi penyebab ulser, karena keasaman, atau
alkalin yang dapat berupa iritan atau kkontak alegen. Seperti contoh adalah aspirin burn.
Gambaran klinis: ulkus karena trauma dapat menghasilkan sedikit atau tidak sama sekali rasa sakit akan
terlihat di tutupi oleh membrane kuning dan dikelilingi oleh margin
Penyembuhan:
2.1.Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)/ Reccurent Aphtous Stomatitis (RAS)
SAR adalah gangguan yang umum ditemukan, dikarakterisasikan oleh adanya ulser berulang
terbatas pada mukosa oral pada pasien tanpa ada tanda penyakit sistemik. SAR diklasifikasikan
berdasarkan karakteristik klinis: ulser minor, ulser mayor (Sutton disease, periadenitis mucosa
necrotica recurrens), dan ulser herpetiform. Terdapat beberapa kasus dimana susah membedakan
antara ulser mayor dan minor, terutama pada pasien yang memiliki ketidaknyamanan parah dari
episode - episode ulser berlanjut. Lesi ini disebut sebagai “severe” minor ulcers.
Faktor-faktor besar SAR adalah faktor genetik, abnormalitas hematologik dan imunologik,
faktor lokal seperti trauma dan merokok. Faktor yang paling baik didokumentasikan adalah faktor
herediter. Sebuah studi yang dilakukan oleh Ship menunjukkan bahwa pasien dengan orangtua
yang memiliki SAR memiliki 90% kemungkinan untuk mengalami SAR, dimana pasien dengan
orangtua yang tidak memiliki SAR memiliki 20% kemungkinan untuk mengalami lesi tersebut.
Pada awalnya dilaporkan pada tahun 1960 bahwa terdapat korelasi negatif antara SAR dan
riwayat merokok, namun banyak klinisi yang melaporkan bahwa SAR eksaserbasi ketika pasien
berhenti merokok. Sebuah studi mengukur metabolit nikotin pada darah perokok mengonfirmasi
insidensi SAR pada perokok lebih rendah. Metabolit nikotin menurunkan tingkat proinflammatory
cytokines dan meningkatkan anti-inflammatory cytokines.
Faktor-faktor lain yang dilaporkan berhubungan dengan SAR adalah ansietas, stress
fisiologis berkepanjangan, trauma lokal pada mukosa, menstruasi, infeksi saluran pernafasan atas,
dan alergi makanan.
2.3.Klasifikasi
SAR diklasifikasikan berdasarkan ciri klinisnya yaitu ulser minor, mayor, dan herpetiformis.
Ketiga tipe SAR ini terlihat sebagai ulserasi rekuren yang terasa sakit. Lesi terbatas pada mukosa
oral dan kadang dimulai dengan gejala prodromal tingling atau burning sensation 2-48 jam
sebelum ulser muncul. Selama periode inisial ini, area eritema lokal berkembang. Dalam beberapa
jam, terbentuk papula putih kecil, lalu ulserasi, dan semakin membesar dalam 48-72 jam. Lesi
berbentuk bulat/oval, berbatas jelas, simetris, dangkal, dan tidak diawali dengan vesikel. Mukosa
bukal dan labial adalah yang paling sering terlibat. Lesi jarang muncul pada mukosa berkeratin
seperti palatum durum dan gingiva. Namun, pasien HIV/AIDS dapat mengalami aphtous-like ulcer
padaarea mukosa manapun.
Pada kasus yang sangat parah, sebagian besar mukosa oral bisa tertutupdengan ulser
yang besar, dalam, dan bisa menyatu sehingga sangat nyeri,mengganggu bicara dan makan,
dan pasien ini mungkin membutuhkan
hospitalisasi untuk asupan makanan intravena dan perawatan kortikosteroid
dosis tinggi. Lesi dapat bertahan selama 6 minggu kemudian sembuh dan
meninggalkan bekas yang dapat menyebabkan penurunan mobilitas uvula dan
lidah. Setelah satu ulser sembuh/hilang, lesi lain muncul.
2.3.3.SAR Herpetiform
Gambaran klinis SAR herpetiform adalah kumpulan ulser-ulser kecil yang rekuren.
Mukosa bergerak lebih dominan terlibat namun mukosa palatal dan gingival juga mungkin
terlibat. Ulser dapat terasa sakit dan proses healing umumnya dalam 1 hingga 2 minggu.
Tidak seperti infeksi herpes, SAR herpetiform tidak didahului oleh vesikel dan tidak ada
sel – sel yang terinfeksi virus. Selain gambaran klinis dari kumpulan ulser pada rongga
mulut, tidak ditemukan adanya hubungan antara SAR herpetiform dengan infeksi virus.
2.4.Temuan Oral
Episode pertama SAR paling sering dimulai saat dekade kedua dalam hidup. Lesi terbatas
pada mukosa oral dan dimulai dengan gejala prodromal berupa sensasi terbakar atau adanya
tonjolan kecil pada mukosa dari 2 hingga 48 jam sebelum ulser muncul. Saat periode inisial ini,
terjadi perkembangan area eritema terlokalisasi. Dalam hitungan jam, terbentuk papula putih kecil,
ulserasi, dan sedikit demi sedikit membesar selama 48 – 72 jam berikutnya. Lesi berbentuk bulat,
simetris, dan dangkal (mirip seperti ulser virus), namun tidak ada tissue tags dari vesikel yang
rupture, yang membantu membedakan SAR dari penyakit yang dimulai dari vesikel seperti
pemphigus dan pemfigoid. Lesi multipel seringkali muncul, namun jumlah, ukuran, dan frekuensi
bervariasi. Mukosa bukal dan labial adalah mukosa yang paling sering terlibat. Lesi jarang muncul
pada mukosa yang berkeratin seperrti mukosa palatal atau gingiva. Pada SAR mild, lesi berukuran
0,3 – 1 cm dan mulai healing dalam waktu beberapa hari. Healing tanpa adanya scar umumnya
selesai dalam waktu 10 – 14 hari.
Kebanyakan pasien dengan SAR memiliki satu hingga enam lesi pada setiap episode dan
mengalami beberapa episode dalam setahun. Penyakit ini mengganggu untuk sebagian besar
pasien dengan SAR mild namun dapat terasa sangat sakit pada pasien dengan SAR severe dan
SAR mayor. Pasien dengan ulser mayor memiliki lesi yang berukuran lebih besar dari 1 cm dalam
diameter dan bertahan selama beberapa minggu hingga bulan. Pada kasus yang sangat parah,
sebagian besar mukosa oral dapat ditutupi oleh ulser dalam dan besar yang menjadi bergabung,
sangat sakit, mengganggu fungsi berbicara dan makan. Pasien ini membutuhkan perawatan inap
untuk intravenous feeding dan perawatan dengan kortikosteroid sistemik. Lesi ini dapat bertahan
selama beberapa bulan dan terkadang dapat salah diagnosis sebagai squamous cell carcinoma,
granulomatous disease, atau blistering disease. Lesi sembuh perlahan dan meninggalkan scars
yang dapat mengakibatkan penurunan mobilitas uvula dan lidah.
Lesi yang paling tidak umum ditemukan adalah SAR herpetiform, yang cenderung muncul
pada orang dewasa. Pasien memiliki ulser kecil lebih dari 10, berukuran kurang dari 5 mm, dan
menyebar pada sebagian besar mukosa oral.
2.5.Diagnosis Differensial
Pemeriksaan subyektif dan obyektif dari klinisi seharusnya dapat membedakan SAR dari lesi
primer akut seperti viral stomatitis atau erythema EM, dari lesi multipel kronis seperti pemphigus
atau pemfigoid, begitu juga kondisi – kondisi lainnya yang berhubungan dengan ulser yang
berulang seperti RIH, connective tissue disease, reaksi obat, dan gangguan dermatologic lainnya.
Pada kasus mild dengan 2-3 lesi kecil, hanya perlu diberikan anestesi topikal berupa:
protective emollient seperti Orabase atau Zilactin; atau NSAID seperti topical diclofenac
untuk meredakan nyeri dan memfasilitasi proses healing.
Pada kasus yang lebih parah, pemberian high potency topical steroid seperti fluocinonide,
betamethasone, atau clobetasol mempersingkat waktu penyembuhan dan mengurangi
ukuran ulser. Efektivitas topical steroid sebagian bergantung pada instruksi tepat kepada
pasien dan kepatuhan pasien untuk menggunakannya dengan tepat. Steroid gel
diaplikasikan langsung ke lesi setelah makan dan saat sebelum tidur 2-3 kali sehari atau
dikombinasikan dengan bahan adhesif seperti Orabase sebelum aplikasi.
Lesi yang lebih besar dapat ditangani dengan menempatkan gauze sponge mengandung
topical steroid pada ulser dan dibiarkan di tempat selama 15-30 menit agar lesi berkontak
lebih lama dengan medikasi.
Bahan topikal lainnya yang dapat mempersingkat waktu penyembuhan lesi SAR termasuk
pasta amlexanox dan tetrasiklin atau doxycycline topikal, yang dapat digunakaan sebagai
obat kumur atau diaplikasikan pada gauze sponge. Steroid intralesional dapat digunakan
untuk mengobati lesi SAR mayor tidak terasa sakit atau terasa sedikit sakit..
Perlu diingat bahwa tidak terdapat terapi topikal untuk mengurangi frekuensi munculnya
lesi baru.
Jika keadaan tidak membaik pada pasien dengan lesi mayor atau kasus severe multipel
minor yang diberikan terapi topikal, terapi sistemik perlu dipertimbangkan. Obat-obatan
yang dilaporkan dapat mengurangi jumlah ulser pada beberapa kasus major aphtae
termasuk colchicine, pentoxifylline, dapsone, steroid sistemik, dan thalidomide. Masing –
masing obat ini memiliki potensi efek samping, dan klinisi harus menimbang potensi
keuntungan dibandingkan dengan resikonya.
Pada sekitar tahun 1960 thalidomide ditarik dari peredaran karena diasosiasikan dengan
terjadinya defek kelahiran berupa deformitas hingga yang mengancam nyawa. Namun, investigasi
lebih lanjut mendemonstrasikan bahwa thalidomide memiliki kemampuan antiinflamatori dan
immunomodulatory yang signifikan dan berguna untuk mengobati beberapa penyakit seperti
eritema nodosum leprosum, discoid lupus erythematosus, graft-versus-host disease, multiple
myeloma, dan Behcet syndome. Obat tersebut juga dapat mengurangi insidens dan keparahan SAR
mayor pada pasien HIV positif maupun negatif. Penggunaan thalidomide hanya dilakukan pada
SAR mayor yang parah ketika terapi lainnya yang kurang toksik seperti hsteroid topical high-
potent, colchicine, dan pentoxifylline gagal untuk mengontrol SAR. Thalidomide harus digunakan
dengan sangat hati-hati pada wanita hamil karena dapat menyebbakan defek kelahiran tersebut.
Efek samping lainnya dari thalidomide termasuk peripheral neuropathy, keluhan gastrointestinal,
dan mengantuk (drowsiness). Direkomendasikan untuk memonitor perkembangan subclinical
peripheral neuropathy pada pasien yang menggunakan thalidomide dalam jangka panjang.
Exfoliative cheilitis bisa juga merupakan sebuah manifestasi oral penyakit sistemik seperti
defisiensi vitamin B6 atau efek samping dari kemoterapi. Tampilan klinis dapat bervariasi pada setiap
pasien. Pasien dapat merasakan perih, gatal, kering, terdapat bagian yang terkelupas atau bengkak pada
bibir.
Manajemen pasien dengan exfoliative cheilitis menggunakan berbagai jenis terapi topical seperti
kortikosteroid, salep antibakteri, tabir surya, petroleum jelly dan lain-lain. Penggunaan terapi berbentuk
topical diharap dapat menjaga bibir agar tetap lembab, menjaga area bibir dari iritasi dan meningkatkan
kesadaran pasien tentang kebiasaan buruknya dan menurunkan trauma di daerah bibir.