You are on page 1of 17

RESUME TEORI AKUNTANSI

Nama : Mohamad Adnan Abdullah (16)


Kelas : 8-2 Akuntansi
Referensi:
- Godfrey et al. 2010. Accounting Theory. 7th Edition.

CHAPTER 4: A CONCEPTUAL FRAMEWORK

PERAN KERANGKA KONSEPTUAL

Kerangka Konseptual Akuntansi bertujuan untuk menyediakan teori akuntansi


yang terstruktur. Pada level teoritis yang tertinggi, kerangka konseptual menyatakan
lingkup dan tujuan dari pelaporan keuangan. Pada level konsep fundamental
berikutnya, kerangka konseptual mengidentifikasi dan mendefinisikan karakteristik
kualitatif dari informasi keuangan dan elemen dasar akuntansi. Pada level operasional,
kerangka konseptual membahas dasar-dasar dan aturan-aturan dari pengakuan dan
pengukuran dari unsur-unsur dasar dan tipe informasi yang disajikan dalam laporan
keuangan.

Definisi Kerangka Konseptual menurut FASB adalah adalah suatu sistem


koheren yang terdiri dari tujuan dan konsep fundamental yang saling berhubungan,
yang menjadi landasan bagi penetapan standar yang konsisten dan penentuan sifat,
fungsi, serta batas-batas dari akuntansi dan laporan keuangan.

Beberapa akuntan mempertanyakan seberapa penting peranan kerangka


konseptual itu sendiri. Mereka berargumen bahwa kerangka konseptual tidak lah
penting. Argumen mereka berdasarkan pemikiran bahwa di masa lalu kerangka
konseptual tidak ada, sehingga di masa sekarang pun keberadaan kerangka konseptual
sebenarnya tidak diperlukan. Walaupun suatu profesi dapat bertahan tanpa adanya
konstruksi teori formal, akan timbul masalah akibat dari tidak adanya teori dasar.
Permasalahan tersebut secara umum diakibatkan oleh inkonsistensi perlakuan
akuntansi atau penerapan metode akuntansi pada keadaan yang sejenis dimana sudah
terdapat acuan yang mendasarinya. Inkonsistensi dalam praktek akuntansi adalah suatu
masalah, akibatnya akan timbul Gresham’s law: praktek buruk mengalahkan praktek
yang benar.

Manfaat Kerangka Konseptual yang disarikan oleh pembuat standar akuntansi


di Australia adalah sebagai berikut:
1. Persyaratan pelaporan akan lebih konsisten dan logis karena dilahirkan dari
serangkaian konsep yang teratur.
2. Penghindaran dari syarat pelaporan akan lebih sulit dilakukan karena adanya provisi
yang mencakup secara keseluruhan.
3. Badan yang membentuk persyaratan akan lebih akuntabel dimana dasar pemikiran
dibalik suatu persyaratan dan pengecualian-pengecualian dari persyaratan akan
lebih jelas.
4. Kebutuhan akan standar akuntansi spesifik akan. Hal ini akan mengurangi risiko
regulasi berlebihan.
5. Pembuat laporan keuangan dan auditor dapat lebih memahami persyaratan
pelaporan keuangan yang mereka hadapi.
6. Proses pembentukan/pengaturan persyaratan akan lebih ekonomis karena isu-isu
tidak lagi perlu didebatkan kembali melalui beberapa sudut pandang yang berbeda.

TUJUAN KERANGKA KONSEPTUAL

Pada tahun 1978, FASB Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC)


No. 1 (paragraf 34) menyatakan bahwa tujuan dari pelaporan keuangan untuk entitas
bisnis adalah menyediakan informasi yang berguna untuk investor, kreditor, dan
pengguna lain dalam menentukan investasi yang rasional, kredit, dan keputusan sejenis.

IASB dan FASB framework menyatakan bahwa tujuan utama pelaporan


keuangan adalah mengkomunikasikan informasi keuangan kepada para pengguna.
Tujuan tersebut dapat dicapai dengan informasi pelaporan yang:
 berguna dalam pembuatan keputusan ekonomik,
 berguna dalam melakukan perhitungan prospek arus kas,
 berisi tentang sumber daya perusahaan, klaim terhadap sumber daya tersebut dan
perubahannya.

Menurut SFAC Nomor 2, understandability merujuk kepada kemampuan


informasi untuk dipahami oleh pengguna. Informasi yang relevan harus tepat waktu
dan harus memiliki nilai prediktif atau nilai umpan balik atau keduanya. Sementara
informasi yang reliabel harus memiliki representational faithfulness dan harus dapat
diverifikasi dan netral. Di sisi lain, statement ini juga memasukkan comparability yang
mencakup consistency sebagai kualitas skunder yang berhubungan dengan relevance
dan reliability untuk mendukung kegunaan informasi. Pada periode 1987-2000, FASB
mengeluarkan tujuh pernyataan konsep yang mencakup topik-topik sebagai berikut:
 Tujuan dari pelaporan keuangan oleh perusahaan komersial dan organisasi non-
profit.
 Karakteristik kualitatif dari informasi akuntansi yang bermanfaat.
 Elemen-elemen dari laporan keuangan.
 Kriteria dalam pengakuan dan pengukuran elemen-elemen laporan keuangan.
 Penggunaan informasi arus kas dan nilai sekarang di dalam pengukuran akuntansi.

IASB melanjutkan pengembangan kerangka konseptual mengikuti FASB.


IASB hanya memiliki satu pernyataan konsep, yaitu the Framework for the Preparation
and Presentation of Financial Statements yang dikeluarkan oleh International
Accounting Standarts Committee (IASC), organisasi sebelum IASB. Kerangka
konseptual ini berperan sebagai pedoman bagi IASB dalam mengembangkan standar
akuntansi dan sebagai pedoman dalam mencari penyelesaian atas permasalahan-
permasalahan akuntansi yang belum dinyatakan dan diatur secara langsung oleh standar
akuntansi atau interpretasinya. IASB menyatakan bahwa kerangka konseptual:
 Mendefinisikan tujuan-tujuan dari laporan keuangan.
 Mengidentifikasi karakteristik kualitatif yang membuat informasi di dalam laporan
keuangan berguna.
 Mendefinisikan elemen-elemen dasar dari laporan keuangan dan konsep-konsep
dalam pengakuan serta pengukuran elemen-elemen tersebut dalam laporan
keuangan.

IAS 8 menyatakan bahwa dalam kondisi tidak terdapat standar akuntansi yang
secara spesifik mengatur transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas, maka manajemen
dari entitas tersebut diberika kewenangan untuk menggunakan judgement-nya sendiri
untuk menentukan kebijakan akuntansi untuk transaksi tersebut. Kebijakan akuntansi
yang dipilih harus menghasilkan informasi yang relevan dan andal. Ketentuan ini
memperjelas arti pentingnya pencapaian tujuan dibuatnya standar akuntansi, yaitu
untuk menghasilkan informasi yang relevan dan andal.

MENGEMBANGKAN KERANGKA KONSEPTUAL

Pengembangan kerangka konseptual dipengaruhi oleh dua hal utama, yaitu:


1. pendekatan standar melalui Principle-Based vs Rule-Based, dan
2. informasi dalam pengambilan keputusan dan pendekatan decision-theory.

Kedua hal tersebut akan dijelaskan secara detail pada pembahasan berikut:

Principles-Based vs Rule-Based Standard Setting


Conceptual framework memiliki peranan penting dalam penyusunan standar
sebagai landasan penyusunan batang tubuh dari standar yang koheren dan didasari oleh
prinsip-prinsip yang konsisten. Terdapat dua pendekatan yang cukup terkenal terkait
hal ini, yaitu Principles-Based dan Rules-Based. FASB disebut-sebut melakukan
pendekatan Rules-Based, IASB disisi lain memilih untuk melakukan pendekatan
Principle-Based.

Namun demikian, Christopher Nobes memandang terdapat inkonsistensi yang


dilakukan oleh IASB dalam penerapannya. IAS 39 dipandang justru bersifat rule-
based. Menurut Nobes, pendekatan secara prinsip (principles) yang baik justu akan
membawa ke komunikasi yang lebih jelas dan lebih akurat tanpa memerlukan aturan-
aturan yang detail seperti yang dimasukkan dalam standar sekarang. Lebih lanjut lagi,
Nobes mengidentifikasi terdapat enam contoh standar IASB yang justru lebih bersifat
rule-based, yaitu akuntansi untuk leasing, manfaat pegawai, aset keuangan, hibah
pemerintah, dan subsidiaries and equity accounting. Nobes berpendapat bahwa
kebutuhan atas pendekatan rule-based disebabkan oleh kurangnya principles atau
digunakannya principles yang kurang tepat. Meskipun demikian, bukan berarti rule-
based tidak memiliki keunggulan tersendiri. Penggunaan rule-based akan
meningkatkan comparibility dan verifiability. Selain itu, peraturan terinci akan
mengurangi kemungkinan adanya earning management. Hanya saja, di sisi lain akan
memberi akses bagi mereka untuk melakukan transaksi terstruktur.

Standar akuntansi di Amerika sering kali disebutkan sebagai standar dengan


pendekatan rule-based karena persyaratan yang perlu dipatuhi terkait dengan standar
dijabarkan secara detail. Namun, Schipper menjelaskan justru pada awalnya standar
Amerika dibentuk dengan dasar principles yang merupakan titik mulai dari pendekatan
rule-based.

Pada tahun 2002, Sarbanes-Oxley Act mensyaratkan pemerintah Amerika


(Security Exchange Commision) untuk melakukan kajian penggunaan principles dalam
proses penyusunan standar. Hasil kajian tadi merekomendasikan bahwa standar
dikembangkan menggunakan pendekatan principles-based dan atas standar tersebut
memiliki karakteristik:
1. berdasarkan atas conceptual framework yang lebih baik dan secara konsisten sudah
diterapkan;
2. secara jelas menyebutkan tujuan dari standar;
3. memberikan detail yang cukup dan struktur yang membuat standar dapat
dioperasikan dan diaplikasikan secara konsisten;
4. meminimalisasi pengecualian dari standar; dan
5. menghindari penggunaan uji persentase yang membuat financial engineer tetap
patuh secara teknis dengan standar sedangkan menghindari maksud dari standar
tersebut.
Salah satu alasan besarnya penggunaan rule-based di Amerika adalah karena
SEC meminta peraturan dari FASB untuk digunakan dalam menginterpretasikan
standar akuntansi. Salah satu peran SEC adalah untuk menentukan apakah perusahaan
dapat mematuhi persayaratan laporan keuangan yang diatur dalam standar akuntansi.
Hanya saja, interpretasi atas standar memerlukan kemampuan dan pertimbangan,
terutama untuk standar yang lebih condong ke principles. Bahkan, pada satu kasus,
dapat terjadi perbedaan dalam interpretasi yang dilakukan oleh dua orang ahli
sekalipun. Oleh karena itu, SEC akan meminta FASB untuk melakukan klarifikasi
dalam penginterpretasian standar. Meskipun FASB dan SEC sepaham dalam
mendukung principle-based, mereka tetap pada lingkungan yang terdapat banyak
peraturan, banyak perusahaan, auditor, dan staff SEC yang sudah biasa mengikuti
peraturan dalam beberapa tahun terakhir. Sehingga, S. A. Zeff melontarkan pertanyaan,
apakah standar Amerika akan tidak sedetail dahulu? Apakah staf SEC akan lebih lunak
terhadap perusahaan terkait kepatuhan atas norma yang spesifik?

Informasi untuk Pengambilan Keputusan dan Pendekatan Decision-Theory


Penggunaan data akuntansi dalam pengambilan keputusan maupun untuk
melakukan suatu evaluasi sudah menjadi hal yang wajar. Penggunaan informasi
akuntansi dalam pengambilan keputusan dimulai dari fungsi stewardship. Sejak 1960,
informasi akuntansi semakin ditekankan pada aspek pengambilan keputusan. Moonitz
pernah menyatakan, “data kuantitatif sangat membantu dalam pengambilan keputusan
ekonomis yang rasional, seperti … dalam memilih dari berbagai alternatif yang ada,
sehingga tindakan akan sesuai dengan konsekuensinya”.

Penekanan tersebut mungkin akibat perkembangan decision-theory. Informasi


terkait pengambilan keputusan tidak menggantikan informasi terkait stewardship atau
akuntabilitas. Informasi untuk pengambilan keputusan memiliki penekanan lebih
daripada stewardship. Mengapa demikian? Pertama, pengguna informasi keuangan
sudah berkembang begitu pesat sehingga di dalamnya termasuk semua penyedia
sumber daya, penerima barang dan/atau jasa, dan pihak-pihak yang melakukan kajian
atau fungsi oversight. Kedua, informasi akuntansi dipandang oleh pengguna sebagai
input untuk prediksi. Sehingga muncul pertanyaan, ‘data apa yang relevan untuk
pengguna dalam melakukan prediksi atas performa dan posisi perusahaan? Ketiga, jika
fungi stewardship melihat apa yang terjadi di masa lalu dan digunakan untuk menilai
apa yang sudah dicapai, prediksi melihat apa yang akan terjadi di masa depan. Informasi
akuntansi untuk pengguna eksternal tentu saja berdasarkan kejadian di masa lalu, tetapi
masa depan tidak dapat diabaikan begitu saja, ketika pembuatan keputusan secara jelas
ditekankan sebagai tujuan dari akuntansi itu sendiri.

Jika memungkinkan tentu pengguna ingin memiliki informasi terkait kejadian


di masa depan yang mempengaruhi perusahaan. Namun, kita hanya bisa melakukan
prediksi akan kejadian di masa depan. Karena belum terjadi, kejadian di masa depan
dan nilainya tidak objektif dan tidak dapat digunakan sebagai basis yang andal dalam
pengambilan keputusan.

Untuk banyak akuntan, nilai sekarang merupakan nilai yang paling relevan
untuk pengambilan keputusan karena nilai sekarang adalah nilai yang paling mendekati
ke masa depan dan masih berdasarkan kenyataan. Hanya saja, pendukung akuntansi
konvensional masih percaya bahwa nilai historis masih relevan dalam pengambilan
keputusan.

Pendekatan decision-theory dalam akuntansi sangat bermanfaat untuk menguji


apakah akuntansi sudah mencapai tujuannya. Jika individual system dapat menyediakan
informasi yang berguna, maka teori yang mendasari sistem tersebut dapat dianggap
efektif atau valid.

The Decision-Theory Process


Gambar di atas memetakan proses yang ditunjukkan dengan output dari sistem
akuntansi yang kemudian akan menjadi input dalam pengambilan keputusan. Informasi
keuangan mungkin memilik pengguna yang luas. Kerangka tersebut lebih lanjut lagi
menyatakan bahwa pengguna memiliki kebutuhan informasi yang berbeda, ada
beberapa yang tidak dapat dipenuhi oleh informasi akuntansi. Oleh karena itu, kita
mengevaluasi output atas informasi akuntansi dan harus mempertimbangkan informasi
mana yang berguna untuk para pengambil keputusan.

Dean dan Clarke menjelaskan berbagai masalah yang relevan untuk memahami
sulitnya membangun kerangka konseptual dengan skala nasional. Godfrey, et al sendiri
berpendapat membangun kerangka konseptual lebih pada pencarian rasionalisasi untuk
penggunaan saat ini daripada penegasan kembali atas kerangka kerja legal, sosial, dan
ekonomis yang akuntansi gunakan di dalamnya. Mereka menyarankan proyek kerangka
konseptual sekarang pada upaya untuk mengembangkan sebuah constitution-based
framework untuk akuntansi, daripada berfokus pada konsep yang menitikberatkan pada
yang biasa, kejadian sehari-hari. Analisis tersebut sangat relevan dalam pembuatan
standar berbasis internasional. Akan sangat sulit untuk mendapatkan dukungan atas
sebuah framework yang diawali dari praktek yang ada, dan sulit untuk menentukan
sebuah framework yang merepresentasikan praktek tersebut, ketika praktek tersebut
berbeda-beda di tiap negara.

Jones dan Wolnizer menyarankan agar conceptual framework harus memiliki


peran penting dalam mengemukakan ruang lingkup yang disepakati, objectives,
qualitative, dan measurement characteristics dari akuntansi yang terpengaruh dengan
standar yang dibentuk. Walau demikian, mereka juga berargumen mengenai
konvergensi dengan IASB framework, bahwa hal ini akan menurukan inisiasi dan
inovasi dalam pengembangan conceptual framework itu sendiri, karena negara tidak
lagi bekerja secara independen dalam membentuk conceptual framework tersebut.
Perkembangan Internasional: Kerangka Konseptual IASB dan FASB
Pada Oktober 2004, FASB dan IASB mengagendakan suatu proyek kerja sama
penyusunan kerangka konseptual umum yang lebih baik. Tujuannya adalah untuk
menyusun standar yang berdasarkan prinsip, konsisten secara internal, dan
terkonvergensi secara internasional. Standar tersebut nantinya diharapkan dapat
mengarahkan pada laporan keuangan yang menyediakan informasi yang dibutuhkan
oleh pemilik modal dalam mengambil keputusan dalam kapasitasnya sebagai pemilik
modal. Proyek tersebut menyatakan akan melakukan tiga hal.
1. Proyek akan berfokus pada perubahan lingkungan sejak framework awal
diterbitkan, termasuk kelalaian dalam framework agar secara efektif dan efisien
meningkatkan, melengkapkan, dan mengkonvergensikan framework yang ada;
2. Proyek akan memberikan prioritas dalam mengalamatkan dan mempertimbangkan
isu-isu dalam tiap fase yang kemungkinan akan memberikan manfaat dalam jangka
pendek;
3. Proyek akan mempertimbangkan konsep yang dapat diaplikasikan pada entitas
bisnis sektor swasta. Selanjutnya, Dewan akan mempertimbangkan penerapannya
dalam organisasi non-profit. Representatif dari sektor publik (pemerintah) akan
mengawasi proyek tersebut dan mempertimbangkan konseksuensi yang mungkin
akan terjadi untuk sektor publik.

Proyek kerja sama tersebut dibagi dalam 8 tahap sebagai berikut:

Tabel IASB/FASB Conceptual Framework Project

Tahapan Tema
A Tujuan dan Karakteristik Kualitatif
B Elemen dan Pengakuan
C Pengukuran
D Entitas Pelaporan
Penyajian dan Pengungkapan, termasuk Keterbatasan Pelaporan Keuangan
E (inactive)
F Maksud Kerangka dan Status dalam Hierarki GAAP (inactive)
G Aplikabilitas pada Sektor Not-for-Profit (inactive)
H Isu-Isu yang Masih Tersisa (inactive)
Pada setiap tahapnya, Dewan berencana menerbitkan dokumen yang meminta
pendapat dari publik atas keputusan tentatif Dewan tersebut. Pada 30 Juni 2009, Dewan
menerbitkan dan mendapat tanggapan atas Exposure Drafts (ED) terkait Tahap A, yaitu
mengenai Karakteristik Kualitatif. Kemudian paper diskusi terkait Tahap D diterbitkan
dan dilaksanakan mengikuti Tahap B dan C.

Keputusan untuk menunda konsiderasi isu-isu sektor not-for-profit masih


menjadi perdebatan. Australia dan Selandia Baru misalnya, yang menganut pendekatan
‘sektor netral’, menerapkan standar yang sama untuk sektor not-for-profit dan swasta.
Kedua negara tersebut (juga Kanada dan Inggris) mengajukan tiga area di mana
pertimbangan Dewan saat ini memunculkan isu-isu dalam sektor not-for-profit, yaitu:
1. tidak cukupnya penekanan atas akuntabilitas dan stewardship;
2. kebutuhan untuk memperluas pengguna yang teridentifikasi dan membentuk
alternatif kelompok pengguna utama;
3. ketidaktepatan fokus arus kas pervasif.

Meskipun demikian, perluasan lingkup proyek kerangka konseptual saat ini


(untuk mencakup sektor not-for-profit) akan menambah beban kerja Dewan,
memaparkan proyek pada risiko penundaan waktu lebih lanjut dan kesulitan lebih berat
dalam pencapaian keputusan. Dewan Standar Akuntansi Sektor Publik IFAC (IPSASB)
telah memulai proyek penyusunan kerangka konseptual untuk entitas sektor publik,
yang dapat diaplikasikan dalam penyiapan dan penyajian laporan keuangan dengan
tujuan umum pada entitas sektor publik. Tanggapan atas ED Tahap A mengidentifikasi
beberapa isu kunci bagi pemangku kepentingan yang memperkaya bahan Kerangka
IASB yang telah ada. Hal-hal tersebut, yaitu:
 Perspektif entitas vs proprietorship, ada yang setuju perspektif entitas yang
diadopsi, ada yang menyatakan hal ini baru pertama kali dimunculkan tanpa ada
informasi yang mendukung,
 Kelompok pengguna utama, dapat membuat terlalu menyederhanakan hubungan
antara entitas dan pengguna individual,
 Decision usefulness and stewardship, tujuan stewardship telah dikesampingkan
 Karakteristik kualitatif. Hampir semua responden setuju relevance sebagai
karakteristik fundamental. Mayoritas setuju berkenaan dengan faithful
representation tetapi Dewan kurang menjelaskan dukungan mengapa
menggantikan reliability. Tidak ada trade off antara relevance dan faithful
representation. Beberapa responden mengusulkan mengangkat understandability
dan verifiability, dan juga prudence, substance over form, true and fair value dan
transparency.

KRITIK PADA KERANGKA KONSEPTUAL

Dopuch dan Sunder berpendapat bahwa conceptual framework yang


dikeluarkan oleh FASB tidak cukup membantu dalam menyelesaikan isu kontemporer
terkait measurement dan disclosure. Menurut mereka, terdapat tiga isu yang masih
ambigu:
1. definisi liabilities masih terlalu umum sehingga sulit untuk menentukan posisi
deferred taxes,
2. conceptual framework mendukung dua prinsip akuntansi yang bertolak belakang,
yaitu: full cost dan successful efforts,
3. tidak menyelesaikan masalah terkait estimasi.

Asumsi Ontologi dan Epistemologi


Fokus dari kritik ini adalah terkait informasi laporan keuangan yang tidak bias
dengan metode objektif. Hal ini disebut juga dengan penyusunan financial mapmaking.
Semakin baik petanya, semakin baik pula dalam menggambarkan fenomena-fenomena
yang kompleks.

Namun, Feyerabend sebagai seorang filsuf ilmu berpendapat bahwa kejujuran


ilmiah tidaklah absolut, kejujuran ilmiah hanya mengarah pada pernyataan tentang
kenyataan yang dibangun, yaitu pernyataan yang diberikan hanya ketika bukti sesuai
dengan penjelasan dan persetujuan mengenai metodologi ilmiah. Hal ini dapat
membuat teori yang menjadi dasar suatu framework dipertanyakan, apakah teori
tersebut netral, independen, dan bebas dari bias. Sehingga, dapat diimplikasikan, jika
realitas tidak ada dalam praktik akuntansi, maka suatu conceptual framework tidak
dapat memberikan objektivitas yang menyeluruh dalam mengukur realitas ekonomi.
Jika dihubungkan dengan conceptual framework yang ada ternyata benar adanya,
bahwa conceptual framework tidak pernah secara resmi diuji kebenarannya
berdasarkan bukti logis dan empiris karena isi dari conceptual framework itu sendiri
merupakan opini dari badan atau individual yang berkuasa. Hal ini mengarahkan projek
conceptual framework pada pendekatan hypothetico-deductive. Pendekatan ini
mempengaruhi asumsi epistemologi dan asumsi metodologi mengenai pengujian
kebenaran serta tindakan yang paling sering dilakukan oleh peneliti akuntansi.

Circularity Of Reasoning
Dalam sudut pandang yang dangkal, conceptual framework mengindikasikan
bahwa paling tidak akuntan mengikuti satu jalur ilmiah, yaitu menarik kesimpulan dari
prinsip dan praktik yang disamaratakan. Namun, banyak pula negara yang conceptual
framework-nya ditandai dengan adanya internal circularity, dimana kualitas suatu
aspek bergantung pada kualitas aspek yang lain. Tidak terdapat arahan yang spesifik
mengenai cara pencapaian kondisi yang seharusnya. Terkadang untuk menggunakan
salah satu prinsip dalam kerangka konseptual haruslah menerapkan prinsip lainnya
terlebih dahulu, padahal tidak didefinisikan dengan baik. Misal, reliabilitas merupakan
prinsip yang bergantung pada representational faithfulness, netralitas, dan dapat
diverifikasi.

Disiplin Non Ilmiah


Stamp meyakini bahwa akuntansi lebih berpihak kepada hukum daripada
physical science karena profesi akuntansi dan hukum berhubungan dengan konflik yang
terjadi diantara kelompok pengguna ilmu tersebut dengan kepentingan dan tujuan yang
bermacam-macam. Menurutnya, hukum merupakan normative discipline yang penuh
dengan konsep nilai sarat, akuntansi berhadapan dengan kondisi pasar tidak sempurna,
dan bersifat subjektif sesuai dengan proses pembuatan keputusan.
Penelitian Positif
Tujuan utama dibuatnya conceptual framework adalah untuk menyediakan
informasi keuangan yang dapat membantu pengguna menentukan keputusan ekonomis.
Namun, sekarang riset pasar meragukan kemampuan data akuntasi yang dipublikasikan
untuk mempengaruhi harga saham. Beberapa teknik akuntansi bahkan digunakan untuk
memanipulasi keadaan pasar.

Kerangka Konseptual sebagai Dokumen Kebijakan


Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melihat conceptual framework
sebagai scientific adalah dengan mempertimbangkannya menjadi sebuah policy model.
Ijiri membedakan normative dan policy model. Normative model dibuat berdasarkan
asumsi pasti mengenai tujuan yang akan dicapai. Meskipun normative model memiliki
implikasi, namun tetap berbeda dengan policy judgement yang melibatkan komitmen
terhadap tujuannya. Ditambahkan pula oleh Ijiri bahwa teori dan kebijakan akuntansi
seringkali dicampur-baurkan, sementara di bidang ilmu lainnya kedua hal tersebut
dibedakan. Seperti kebijakan ekonomi diperlakukan berbeda dengan teori ekonomi,
tetapi di dalam akuntansi, teori selalu dikaitkan dengan kebijakan.

Pembedaan antara teori dan kebijakan merupakan hal yang penting. Kebijakan
umumnya dipengaruhi oleh kepentingan politik. Hal ini berarti bahwa kerangka
konseptual adalah cerminan dari keinginan suatu kelompok yang dominan atau
kerangka konseptual merupakan kesepakatan yang disetujui oleh pengaruh politik yang
berseberangan.

Pendekatan konstitusional juga sejalan dengan asersi yang menyatakan jika


akuntansi berdasarkan pada bukti atau dogma dasar untuk menetapkan kriteria yang
benar. Kebenaran ini adalah ide-ide yang diwujudkan dalam konvensi atau doktrin
akuntansi. Hines percaya bahwa kerangka konseptual FASB dan kerjasama antara
IASB serta FASB akan menemui kegagalan. Disebutkan bahwa tujuannya mencakup
kebenaran dan realisme. Kesuksesan profesi akuntansi dinilai bertentangan dengan
tujuan ini. Jawaban atas kontroversi terkait akuntansi akan selalu ditentukan melalui
interaksi sosial dan berdasarkan situasi yang spesifik.
Nilai Profesional dan Penjagaan Diri
Professional value merupakan tindakan yang berlandaskan idealisme dan lebih
mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, sedangkan self-
reservation adalah kebalikannya. Efek dari adanya professional values adalah
terciptanya nilai sosial yang dapat membuat kelompok professional bertanggung jawab
dan bermanfaat untuk komunitas. Penjelasan dari kerangka konseptual sebagai
penjagaan diri dan nilai profesional pada awalnya akan tampak saling bertentangan.
Penjagaan diri secara tidak langsung berhubungan dengan kepentingan diri sendiri
(self-interest), sementara nilai profesional berhubungan dengan idealisme dan
altruisme.

Gerboth berpendapat bahwa tanggung jawab personal (sebagai bentuk dari


profesionalisme) adalah hal yang membuat keputusan akuntan diambil secara objektif.
Kunci dari objektivitas adalah nilai bagi siapapun yang menjalankan praktik akuntansi.
Akuntansi harus mengarah bukan pada konsep dari struktur yang ideal tetapi dari
perilaku profesional.

Kerangka konseptual tidak berjalan pada kondisi social vacuum. Hal ini
menyebabkan pengambilan keputusan akan menggunakan pertimbangan yang bersifat
subjektif. Pertimbangan ini didasarkan pada nilai profesional yang oleh Greenwood
dideskripsikan sebagai nilai rasionalitas dimana terdapat komitmen untuk bersikap
secara objektif di dalam teori dan teknik. Sebagai akibat dari orientasi ini, tidak ada
teori maupun teknik yang dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan tidak dapat
ditantang karena semuanya memiliki sejarah penerimaan dan penggunaan.

Demski menyebutkan bahwa secara umum tidak ada standar yang mampu untuk
mengidentifikasi alternatif yang paling baik, tanpa disertai dengan keyakinan individu
dan pilihan masing-masing. Jadi, kepercayaan dan pilihan merupakan campuran dari
nilai personal dan nilai profesional. Menurut Bromwich, pendekatan terbaik untuk
pengaturan standar akuntansi adalah dengan menerbitkan standar parsial yang
mempertimbangkan pemisahan permasalahan akuntansi, seperti praktik yang dianut
sebelum adanya kerangka konseptual. Melalui pendekatan ini, konsensus antara
pengguna akuntansi akan lebih mudah dicapai dan keterbatasan sumber daya dapat
ditargetkan dan didesentralisasikan.

Sementara pendapat yang bertentangan dengan pedekatan konstitusional


diungkapkan oleh Buckley. Dia menyatakan bahwa pengaturan standar akuntansi
berhubungan langsung dengan perilaku monopoli yang ditunjukkan oleh profesi.
Hasilnya adalah, publik tidak mengetahui ‘perkakas’ yang ada dari peraturan dan
prinsip akuntansi yang kompleks. Karena hal tersebut, publik kemudian bergantung
kepada akuntan dan auditor untuk menyiapkan dan menafsirkan laporan keuangan.
Fenomena ini dianggap sebagai monopoli dari pengetahuan profesional.

Fakta yang terjadi di lapangan menyatakan bahwa gagasan tentang kerangka


konseptual dapat berujung pada kegagalan menjadi tidak penting. Keberadaan badan
pengatur standar yang berisikan orang-orang ahli di bidang teori dan praktik akuntansi,
bersama dengan kerangka konseptual, memastikan pula keberadaan dasar teoritis yang
berjalan beriringan dengan praktik akuntansi. Ini berarti bahwa profesi akuntan
terjamin dengan adanya legitimasi yang berkelanjutan.

KERANGKA KONSEPTUAL UNTUK STANDAR AUDIT

Teori umum tentang audit yang komprehensif, pertama kali diperkenalkan oleh
Mautz dan Sharaf pada tahun 1961. Mautz dan Sharaf melihat bahwa audit bukan sub-
divisi dari akuntansi, tapi sebagai ilmu yang berdiri sendiri juga sikap logis yang
disiplin. Hal ini mengarahkan mereka pada kesimpulan bahwa auditor tidak secara
natural terbatasi dalam hal memverifikasi atau mengecek informasi akuntansi.

Di awal tahun 1970-an, pemikiran Mautz dan Sharaf dikembangkan lebih jauh
melalui Statement of Basic Auditing Concepts (ASOBAC) yang dikeluarkan oleh
American Accounting Association. ASOBAC fokus pada proses pengumpulan dan
pengujian bukti. Di tahun 1980-an, hal utama yang menjadi perdebatan dalam teori
audit adalah peran dari struktur dan perhitungan dalam proses pengumpulan bukti dan
evaluasi. Masa ini disebut sebagai periode pertumbuhan pesat praktik audit,
peningkatan teknologi, dan kebutuhan untuk mengurangi biaya pada proses audit.
Knechel pada tahun 1990-an menyebutkan bahwa tradisi audit dan usaha
auditor untuk memformalkan proses audit mulai mendapat hambatan dari aspek lain.
Aspek lain ini termasuk tekanan dari klien kepada auditor untuk mengurangi biaya audit
dan menuntut nilai tambah. Hal ini membuat praktik audit menjadi bergantung pada
pemeriksaan sistem pengendalian klien, kemudian mencari dan mengumpulkan bukti
dari laporan keuangan yang dibuat sendiri oleh sistem tersebut, dibandingkan dengan
direct testing pada transaksi dan saldo akun. Sehingga menimbulkan risiko audit yang
tinggi.

Risiko audit mewajibkan auditor untuk mempertimbangkan risiko


ketidaksesuaian opini audit sebagai akibat dari risiko melekat dari kesalahan yang
terjadi, risiko sistem pengendalian klien tidak dapat mencegah atau mendeteksi
kesalahan tersebut, dan risiko auditor tidak dapat mendeteksi kesalahan yang sama.

Knechel menambahkan bahwa persepsi auditor terhadap risiko mulai berubah


sejak diterbitkannya Internal Control – Integrated Framework oleh Committee of
Sponsoring Organization (COSO) di tahun 1992. Auditor menjadi lebih paham
mengenai hubungan antara pengendalian internal dengan kegiatan audit. Klien yang
memiliki pengendalian internal yang efektif memiliki risiko kesalahan dan kecurangan
yang lebih rendah dan hal ini membuka peluang untuk mengurangi sumber daya dan
biaya audit bagi klien tersebut.

Dengan demikian, ketidakseimbangan yang ada pada pengendalian internal


klien memberikan kesempatan untuk menawarkan jasa non audit, misalnya jasa
konsultasi. Perkembangan dari model risiko bisnis kemudian menjadi fokus utama
dalam KAP, seperti diterbitkannya Strategic System Audit. Akan tetapi, meskipun
berbagai pendekatan baru dilakukan untuk menekankan pada perencanaan dan
pemahaman proses bisnis, pada kenyataannya auditor enggan melakukan hal tersebut
dan efisiensi semakin jauh dari kata terwujud. Ada pula pihak yang berpendapat bahwa
risiko bisnis bukan merupakan hal yang baru karena banyak auditor yang telah fokus
ke hal tersebut, sebelum booming di tahun 1990-an.
Salah satu kritik yang muncul dari risiko bisnis ini adalah bahwa ide tersebut
hanya alat untuk menjual jasa konsultasi kepada klien dan dapat menimbulkan
terjadinya skandal akuntansi seperti yang dialami Enron. Metodologi audit risiko bisnis
disalahgunakan oleh auditor untuk kepentingannya sendiri. Melalui Sarbanes-Oxley
Act, kesempatan auditor untuk memberikan jasa konsultasi kepada klien menjadi
sangat dibatasi. Knechel menyarankan bahwa audit risiko bisnis masa mendatang harus
dibatasi, akan tetapi fokus audit pengendalian internal harus tetap dipertahankan oleh
auditor dalam hal untuk mempertimbangkan adanya risiko proses bisnis dan lingkungan
bisnis klien sebagai bagian dari audit laporan keuangan.

*****

You might also like