Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah penyakit langka namun serius karena adanya
reaksi hipersensitivitas yang diperantarai kompleks imun, biasanya melibatkan kulit dan
membran mukosa. Pada perjalanan penyakit biasanya mengenai mulai dari mulut, hidung,
mata, vagina, uretra, pencernaan, dan mukosa pernapasan bawah. Sindrom Stevens-Johnson
merupakan gangguan sistemik serius dengan potensi morbiditas parah dan bahkan kematian.
Seringkali, Sindrom Stevens-Johnson hanya muncul dengan gejala seperti flu, diikuti dengan
ruam merah atau keunguan yang menyebar dan lecet, akhirnya menyebabkan lapisan atas
kulit mati dan mengelupas.
SSJ merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel,
bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir serta
mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan
beberapa hal yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme
terjadinya sindroma pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang Steven Johnson
Sindrom, mengetahui apa definisi dari Steven Johnson Sindrom, apa saja klasifikasi pada
Steven Johnson Sindrom, bagaimana anatomi fisiologi kulit, apa etiologi Steven Johnson
Sindrom, bagaimana manifestasi klinis pada orang yang menderita Steven Johnson Sindrom,
bagaimana patofisiologi Steven Johnson Sindrom, apa saja komplikasi dari Steven Johnson
Sindrom, apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada Steven Johnson
Sindrom, bagaimana penatalaksanaan pada Steven Johnson Sindrom, apa saja masalah yang
lazim muncul pada pasien penderita Steven Johnson Sindrom, apa discharge planning pada
penderita Steven Johnson Sindrom dan bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien
penderita Steven Johnson Sindrom.
BAB II
PEMBAHASAN
Sindrom Steven Jhonson atau dalam bahasa inggris Stevens-Johnson sindrom (SJS)
adalah suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan
pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.
Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform
mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Selain nama sindrom Steven Johnson, ada TEN (Toksic Epidermal Necrolisys) dimana ketika
lesi kulit kurang dari 10% total dari tubuh disebut Sindrom Stevens Johnsons, 10-30%
kerusakan kulit disebut transisi, sementara jika lebih dari 30% disebut TEN
Stevens Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang mempengaruhi
kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis. Sindrom ini
diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane
mukosa. Walaupun pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang
diketahui adalah dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan. (Amin Huda Nurarif
2015).
Sindrom Stevens- Johnsons merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir
diorifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan
pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. (Arif Muttaqin, 2012).
Sindrom Steven Johnson Adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium
dan mata dengan keadaan umum berfariasi dari ringan sampai berat kelainan pada kulit
berupa eritema vesikel / bula, dapat disertai purpura. ( Djuanda, 2000).
2. Klasifikasi
1) Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%.
2) Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%.
3) Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
Kulit mempunyai susunan serabut saraf yang teranyam sangat halus, berfungsi merasakan
sentuhan atau sebagai alat peraba. Kulit merupakan organ yang sangat luas sebagai pelindung
tubuh terhadap bahaya bahan kimia, cahaya matahari, mikroorganisme dan menjaga
keseimbangan tubuh dengan lingkungan. Kulit merupakan indikator untuk memperoleh
kesan umum, dengan melihat perubahan yang terjadi pada kulit misalnya pucat, kekuning-
kuningan, kemerah-merahan.
Kulit merupakan organ hidup yang mempunyai ketebalan yang sangat bervariasi. Bagian
yang sangat tipis terdapat di sekitar mata dan yang paling tebal pada telapak kaki dan telapak
tangan yang mempunyai ciri khas (dermatoglipic pattern) yang berbeda pada setiap orang
yaitu berupa garis lengkung dan berbelok-belok, hal ini berguna untuk mengidentifikasi
seseorang.
1) Sel utama (terang), merupakan sel serosa yang menempati bagian tengah sel.
Sitoplasmanya mengandung bintik lemak dan granula pigmen. Sel ini mengeluarkan
getah encer mengandung bahan pelarut.
2) Sel-sel musigen (gelap), bertebaran di antara sel-sel serosa yang mempunyai retikulum
endoplasma granular dan granula sekretori basofil, manghasilkan glikoprotein mukoid.
Kontraksi sel ini membantu pengosongan getah kelenjar dan berfungsi sebagai bangun
penyangga menahan perubahan tekanan osmotik yang memungkinkan bahaya pada
keutuhan susunan kanalikuli intersel.
Lapisan kulit
Kulit dapat dibedakan menjadi dua lapisan utama yaitu kulit ari (epidermis) dan kulit
jangat (dermis/kutis). Kedua lapisan ini berhubungan dengan lapisan yang ada di bawahnya
dengan perantaraan jaringan ikat bawah kulit (hipodrmis/subkutis). Dermis atau kulit
mempunyai alat tambahan atau pelengkap kulit yang terdiri dari rambut dan kuku.
a. Edpidermis
Kulit ari atau epidermis adalah lapisan paling luar yang terdiri dari lapisan epitel gepeng
unsur utamanya adalah sel-sel tanduk (keratinosit) dan sel melanosit. Lapisan epidermis
tumbuh terus karena lapisan sel induk yang berada di lapisan bawah bermitosis terus,
lapisan paling luar epidermis akan terkelupas atau gugur. Epidermis tersusun oleh sel-sel
epidermis terutama serat-serat kolagen dan sedikit serat elastis. Kulit ari (epidermis)
terdiri dari beberapa lapis sel. Sel-sel ini berbeda dalam beberapa tingkat pembelahan sel
secara mitosis. Lapisan permukaan dianggap sebagai akhir keaktifan sel lapisan tersebut,
terdiri dari lima lapis yaitu :
1) Stratum korneum : terdiri dari banyak lapisan sel tanduk (keritinasi), gepeng, kering,
dan tidak berinti. Sitoplasma diisi dengan serat keratin, makin keluar letak sel makin
gepeng seperti sisik lalu terkelupas dari tubuh, yang terkelupas digantikan oleh sel
yang lain. Zat tanduk merupakan keratin lunak yang susunan kimianya berada dalam
sel-sel keratin keras. Lapisan tanduk hampir tidak mengandung air karena adanya
penguapan air, elastisnya kecil dan sangat efektif untuk pencegahan penguapan air
dari lapisan yang lebih dalam.
2) Stratum lusidum : terdiri dari beberapa lapis sel yang sangat gepeng dan bening. Sulit
melihat membran yang membatasi sel-sel itu sehingga lapisannya secara keseluruhan
tampak seperti kesatuan yan bening. Lapisan ini ditemukan pada daerah tubuh yang
berkulit tebal.
3) Stratum granulosum : terdiri dari 2-3 lapis sel poligonal yang agak gepeng, inti di
tengah, dan sitoplasma berisi butiran granula keratohialin atau gabungan keratin
dengan hialin. Lapisan ini menghalangi masuknya benda asing, kuman, dan bahan
kimia ke dalam tubuh.
4) Stratum spinosum : terdiri dari banyak lapisan sel berbentuk kubus dan poligonal, inti
terdapat di tengah dan sitoplasmanya berisi berkas-berkas serat yang terpaut pada
desmosom (jembatan sel) seluruh sel terikat rapat lewat serat-serat itu sehingga secara
keseluruhan lapisan sel-selnya berduri. Lapisan ini untuk menahan gesekan dan
tekanan dari luar, sehingga harus tebal dan terdapat di daerah tubuh yang banyak
bersentuhan atau menahan beban dan tekanan seperti tumit dan pangkal telapak kaki.
5) Stratum malfighi : unsur-unsur lapis taju yang mempunyai susunan kimia yang khas,
inti bagian basal lapis taju mengandung kolesterol dan asam-asam amino. Stratum
malfighi lapisan terdalam dari epidermis berbatasan dengan dermis di bawah, terdiri
dari selapis sel berbentuk kubus (batang).
b. Dermis
Batas dermis (kulit jangat) yang pasti sukar ditentukan karena menyatu dengan lapisan
subkutis (hipodermis). Ketebalannya antara 0,5 – 3 mm. Beberapa kali lebih tebal dari
epidermis dibentuk dari komponen jaringan pengikat. Derivat (turunan) dermis terdiri
dari bulu, kelenjar minyak, kelenjar lendir, dan kelenjar keringat yang membenam jauh
ke dalam dermis.
Lapisan dermis terdiri dari :
1) Lapisan papila, mengandung lekuk-lekuk papila sehingga stratum malfighi juga ikut
berlekuk. Lapisan ini mengandung lapisan pengikat pengikat longgar membentuk
lapisan bunga karang disebut lapisan stratum spongeosum. Lapisan papila terdiri dari
serat kolagen halus, alastin, dan retikulin yang tersusun membentuk jaring halus
terdapat di bawah epidermis. Lapisan ini memegang peranan penting dalam
peremajaan dan penggandaan unsur-unsur kulit.
2) Lapisan retikulosa, mengandung jaringan pengikat rapat dan serat kolagen. Sebagian
besar lapisan ini tersusun bergelombang, sedikit serat retikulin, dan banyak serat
elastin. Sesuai dengan arah jalan serat-serat tersebut terbentuk garis ketegangan kulit.
Bahan dasar dermis merupakan bahan matrik amorf yang membenam pada serat
kolagen, elastin, dan turunan kulit.
Unsur utama sel dermis adalah fibroblas dan makrofag, juga terdapat sel lemak yang
berkelompok. Di samping itu juga sel jaringan ikat bercabang, berpigmen pada
lingkungan epidermis yang banyak mengandung pigmen (mis. Areola mamae dan sekitar
anus).
c. Hipodermis
Lapisan bawah kulit (fasia superfisialis) terdiri dari jaringan pengikat longgar.
Komponennya serat longgar, elastis, dan sel lemak. Pada lapisan adiposa terdapat
susunan lapisan subkutan yang menentukan mobilitas kulit di atasnya. Bila terdapat
lobulus lemak yang merata di hipodermis membentuk bantalan lemak yang disebut
panikulus adiposus. Pada daerah perut, lapisan ini dapat mencapai ketebalan 3 cm. Pada
kelopak mata, penis, dan skrotum lapisan subkutan tidak mengandun lemak. Bagian
superfisial hipodermis mengandung kelenjar keringat dan folikel rambut.
Dalam lapisan hipodermis terdapat anyaman pembuluh arteri, pembuluh vena, anyaman
saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit di bawah dermis. Lapisan ini
mempunyai ketebalan bervariasi dan mengikat kulit secara longgar terhadap jaringan di
bawahnya.
4. Etiologi
Hampir semua kasus SJS disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik
(mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat antinyeri, termasuk yang
dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, penyebab SJS yang paling umum adalah
nevirapine (hingga 1,5% penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera
setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu. Walaupun abacavir dapat menyebabkan
reaksi gawat pada kulit, reaksi ini tidak terkait dengan SJS. Eritema multiforme dapat
disebabkan oleh herpes simpleks (Lembaran Informasi (LI) 519), tetapi penyakit ini jarang
menjadi gawat.
1) Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks,
influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-Barr, atau sejenisnya).
2) Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib,
sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin, azitromisin, modafinil,
lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin).
3) Keganasan (karsinoma dan limfoma).
4) Faktor idiopatik (hingga 50%).
5) Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping
yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom Steven
Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
6) Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi berat
terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotic dan
sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan
SJS, eritem multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya
sulfanomide (antibiotik), penisilin (antibiotic), berbiturate (sedative), lamotrigin
(antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan
asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SJS.
5. Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat disertai gejala prodormal berupa
demam tinggi (30ºC - 40ºC), mulai nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan yang
dapat berlangsung 2 minggu. Gejala-gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang
ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan
yang hebat serta menurunnya kesadaran, soporous sampai koma.
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, koriza, sakit
menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat
berat dan kombinasi gejala tersebut. Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara
simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi,
perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala
prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah
vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan
gambaran utama.
1) Kelainan kulit
Kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema berbentuk
cincin (pinggir eritema tengahnya relatif hiperpigmentasi) yang berkembang menjadi
urtikari atau lesipapuler berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan
vesikel kecil. Vesikel kecil dan bulla kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang
luas. Disamping itu dapat juga terjadi erupsi hemorrhagis berupa ptechiae atau
purpura. Bila disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada keadaan yang
berat kelainannya menjadi Generalisata.
2) Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa mulut/bibir
(100%), kemudian disusul dengan kelainan di lubang alat genetalia (50%), sedangkan
dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% - 4%). Kelainan yang terjadi
berupa stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian buccal
stomatitis merupakan gejala yang dini dan menyolok. Stomatitis ini kemudian
menjadi lebih berat dengan pecahnya vesikel dan bulla sehingga terjadi erosi,
excoriasi, pendarahan, ulcerasi dan berbentuk krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk
pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam
yang tebal. Adanya stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar menelan.
Kelainan di mukosa dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Terbentuknya pseudomembran di faring dapat memberikan keluhan sukar
bernafas dan penderita tidak dapat makan dan minum.
3) Kelainan mata
Kelainan pada mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang sering terjadi ialah
conjunctivitis kataralis. Selain itu dapat terjadi conjunctivities purulen, pendarahan,
simblefaron, ulcus kornea, iritis/iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi
kebutaan sehingga dikenal trias yaitu stomatitis, conjunctivities, balantis uretritis.
6. Patofisilogi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe
III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen antibodi yang membentuk mikropresitipasi
sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran.
Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen
yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3,
dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa hapten
akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga
terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab
(misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas
faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat
infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di
daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen
dan reaksi inflamasi yang terjadi.
Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan
mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi
lainnya.
Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya
menyebabkan kerusakan epidermis.
Pathway
Aktivasi S. komplemen
Melepaskan limfokin/
sitotoksik
Degranulasi sel mast
Penghancuran sel-sel
Akumulasi netrofil
memfagositosis sel rusak
Reaksi peradangan
Kerusakan jaringan
Kerusakan integritas
jaringan
Gangguan gastrointestinal
Resiko infeksi demam, malaise Ansietas
- Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
- Deficit perawatan diri
7. Komplikasi Steven Johnson Sindrom
8. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium : biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka
penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2) Histopatologi : kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel
darah merah, degenarasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan
edema intrasel di epidermis.
3) Imunologi : dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta
terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
9. Penatalaksanaan
1) Kortikosteroid
Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada sindrom
stevens johnson yang ringan cukup diobati dengan prednison dengan dosis 30 - 40
mg/hari. Pada bentuk yang berat, ditandai dengan kesadaran yang menurun dan
kelainan yang menyeluruh, digunakan dexametason intravena dengan dosis awal 4 –
6 x 5mg/hari. Setelah beberapa hari (2-3 hari) biasanya mulai tampak perbaikan
(masa kritis telah teratasi), ditandai dengan keadaan umum yang membaik, lesi kulit
yang baru tidak timbul sedangkan lesi yang lama mengalami involusi. Pada saat ini
dosis dexametason diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan sebanyak 5mg.
Setelah dosis mencapai 5mg sehari lalu diganti dengan tablet prednison yang
diberikan pada keesokan harinya dengan dosis 20mg sehari. Pada hari berikutnya
dosis diturunkan menjadi 10mg, kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama
pengobtan kira-kira 10 hari.
2) Antibiotika
Penggunaan antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi akibat efek
imunosupresif kortikosteroid yang dipakai pada dosis tinnggi. Antibiotika yang
dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat
bakterisidal. Dahulu biasa digunakan gentamisin dengan dosis 2 x 60-80 mg/hari.
Sekarang dipakai netilmisin sulfat dengan dosis 6 mg/kg BB/hari, dosis dibagi dua.
Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa kasus mulai resisten terhadap
gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil dibandingkan gentamisin.
3) Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi
Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran atau bahkan tidak
dapat menelan akibat lesi di mulut dan ditenggorokan serta kesadaran yang menurun.
Untuk ini dapat diberikan infus yang berupa glukosa 5% atau larutan darrow. Pada
pemberian kortikosteroid terjadi retensi natrium , kehilangan kalium dan efek
katabolik. Untuk mengurangi efek samping ini perlu diberikan diet tinggi protein dan
rendah garam, KCl 3x500mg/hari dan obat-obat anabolik. Untuk mencegah
penekanan korteks kelenjar adrenal diberikan ACTH (Synacthen depot) dengan dosis
1mg/hari setiap minggu dimulai setelah pemberian kortikosteroid.
4) Transfusi Darah
Bila dengan terapi di atas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3 hari, maka
dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300-500 cc setiap hari selama 2 hari
berturut-turut. Tujuan pemberian darah ini untuk memperbaiki keadaan umum dan
menggantikan kehilangan darah pada kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus
purpura yang luas dapat ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari
intravena dan obat-obat hemostatik.
5) Perawatan Topikal
Untuk lesi kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle yang bersifat sebagai protektif
dan antiseptic atau krem sulfadiazin perak. Sedangkan untuk lesi dimulut/bibir dapat
diolesi dengan kenalog in obrase. Selain pengobatan diatas, perlu dilakukan
konsultasi pada beberapa bagian yaitu ke bagian THT untuk mengetahui apakah ada
kelainan difaring, karena kadang-kadang terbentuk pseudomembran yang dapat
menyulitkan penderita bernafas.
2. Diagnosis Keperawatan
1) Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi lokal.
2) Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan b.d intake tidak adekuat respons
sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
3) Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak.
3. Intervensi Keperawatan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake tidak adekuat efek
sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
Tujuan : Dalam waktu 5 x 24 jam setelah diberikan asupan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria evaluasi :
Pasien dapat mempertahankan status asupan nutrisi yang adekuat.
Pernyataan motivasi kuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
Penurunan berat badan selama 5 x 24 jam tidak melebihi dari 0,5 kg.
Intervensi Rasional
Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, berat Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah
badan dan derajat penurunan berat badan, untuk menetapkan pilihan intervensi yang
integritas mukosa oral, kemampuan menelan, tepat.
serta riwayat mual/muntah. Berat badan pasien ditimbang setiap hari (jika
perlu gunakan timbangan tempat tidur).
Lesi oral dapat mengakibatkan disfagia
sehingga memerlukan pemberian makanan
melalui sonde atau terapi nutrisi parenteral
total.
Formula enteral atau suplemen enteral yang di
programkan diberikan melalui sonde sampai
pemberian peroral dapat ditoleransi.
Penghitungan jumlah kalori per hari dan
pencatatan semua intake, serta output yang
akurat sangat penting.
Evaluasi adanya alergi makanan dan Beberapa pasien mungkin mengalami alergi
kontraindikasi makanan. terhadap beberapa komponen makanan tertentu
dan beberapa penyakit lain, seperti diabetes
mellitus, hipertensi, gout, dan lainnya yang
memberikan manifestasi terhadap persiapan
komposisi makanan yang akan diberikan.
Fasilitasi pasien memperoleh diet biasa yang Memperhitungkan keinginan individu dapat
disukai pasien (sesuai indikasi). memperbaiki asupan nutrisi.
Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum Menurunkan rasa tak enak karena sisa
dan sesudah makan, serta sebelum dan sesudah makanan atau bau obat yang dapat merangsang
intervensi/ pemeriksaan peroral. pusat muntah.
Fasilitasi pasien memperoleh diet sesuai Asupan minuman mengandung kafein
indikasi dan anjurkan menghindari asupan dari dihindari karena kafein adalah stimulan sistem
agen iritan. saraf pusat yang meningkatkan aktivitas
lambung dan sekresi pepsin.
Berikan makan dengan perlahan pada Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme
lingkungan yang tenang. makan tanpa adanya distraksi/ gangguan dari
luar.
Anjurkan pasien dan keluarga untuk Meningkatkan kemandirian dalam pemenuhan
berpartisipasi dalam pemenuhan nutrisi. asupan nutrisi sesuai dengan tingkat toleransi
individu.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan Merencanakan diet dengan kandungan nutrisi
komposisi dan jenis diet yang tepat. yang adekuat untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan energi dan kalori sehubungan
dengan status hipermetabolik pasien.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syndrome Steven Johnson atau biasa disingkat SSJ yaitu syndrom kelainan pada kulit,
selaput lendir orifisium dan mata atau dengan kata lain, reaksi yang melibatkan kulit &
mukosa (selaput lendir) yang berat & mengancam jiwa ditandai dengan pelepasan epidermis,
bintil berisi air & erosi/pengelupasan dari selaput lendir.
Penyakit ini menyerang selaput lendir, meliputi selaput bening mata, bibir bidang dalam
& rongga mulut, genital & anus. Gejala awalnya berupa demam, kesukaran diwaktu menelan,
pegal-pegal atau nyeri di tubuh, sakit kepala, & sesak napas, dan ada tanda kemerahan atau
ruam merah kepada kulit, munculnya bintil berisi air (seperti cacar) yang terasa sakit bahkan
sampai menyebabkan kulit mengelupas & melepuh. Penyebabnya yaitu dikarenakan infeksi
virus, bakteri dan jamur, atau alergi obat-obat tertentu, umumnya yakni pemakaian obat
antibiotik.
B. Saran
Sindrom Stevens Johnson bisa menyerang semua usia, namun lebih sering terjadi pada
usia dewasa. Begitu pula dengan gender, laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama
untuk terkena SSJ. Pencegahan yang terbaik adalah tidak mengonsumsi obat sembarangan.
Ada baiknya pasien memberitahukan kepada dokter jika memiliki alergi terhadap suatu obat-
obatan, makanan atau bahan-bahan kimia tertentu dan penyakit yang pernah klien derita.
Karena hal ini sangat penting bagi dokter agar bisa menentukan dengan tepat jenis obat apa
yang aman bagi pasien.
Demikian makalah yang telah penulis buat. Penulis sadar akan banyaknya kesalahan dan
kekurangan sehingga makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mangharapkan
kritik dan saran agar bisa menjadikan motivasi agar penulisan makalah kedepan bisa menjadi
lebih baik. Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Nurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda (North American Nursing Diagnosis Association) Nic-Noc, Panduan Penyusunan
Asuhan Keperawatan Profesional Jilid 3. Yogyakarta : MediaAction
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen.
Jakarta : Salemba Medika