Professional Documents
Culture Documents
Anestesi LAPSUSrev
Anestesi LAPSUSrev
Disusun :
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemberian Cairan
- Pre operatif
2cc/kgBB/jam lama puasa → 2cc x 50 kg x 6 jam = 600 cc
- Peri Operatif
Maintenance = Jenis operasi x kgBB x lama operasi
8 (Berat) x 50 kg x 3 jam = 1200 cc
Perdarahan = Suchtion + Kassa (kecil dan besar) + ceceran
500 cc + [(7x10) + (3x100)] + 5 = 875 cc
EBV = BB x EBV Laki-laki Dewasa
50 x 75 = 3750 cc
Perdarahan 10 % = 375 cc
20 % = 750 cc
30 % = 1125 cc
40 % = 1500 cc
→ Perdarahan 875 cc (30 % EBV)
Jadi pergantian cairan = 1125 cc
12.35 145 97 83
12.50 105 68 72
13.05 119 75 62
13.20 117 73 68
13.35 109 82 63
13.50 150 90 79
14.05 135 79 75
14.35 112 78 72
14.50 126 80 67
15.00 134 84 71
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre
terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya
kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan di
gunakan, melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan
pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat
salah operasi. Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan
tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent.
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan dan
obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan dengan
juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya
potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya
bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga
penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa.
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik
dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history taking, sedangkan
history taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus
diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik
setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan
buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah
akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek
harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan.
Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah yang besar,
makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae
servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi
trakeal.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien yang sehat dan
asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal mendeteksi adanya abnormalitas.
Namun, karena legitimasi hukum banyak dokter yang tetap memeriksa kadar hematokrit atau
hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos
anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA
terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan
tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi
aktivitas sehari-hari.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan memerlukan
Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan atau tanpa
pembedahan.
Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah inform consent. Inform
consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada
tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang
penting dan inform consent, tetapi juga membantu membentuk hubungan dokter-pasien.
Bahkan pada interview yang dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan penting
serta membiarkan pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal tersebut setidaknya
dapat membantu mengurangi kecemasan yang efektivitasnya sama dengan regimen obat
premedikasi.
Manajemen Pre-Operatif
Sebelum tindakan Craniotomy, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk
mencegah efek-efek insuflasi CO2 yang tidak diinginkan ke organ-organ sekitarnya, seperti
penekanan ke gas ke arah cephalad menekan diafragma, ke kaudal menekan vesika urinaria,
ke anterior menekan peritoneum, dan ke posterior menekan vena cava inferior dan aorta
abdominalis. Efek penekanan yang dapat dicegah adalah kolaps vena cava inferior yang dapat
menyebabkan penurunan venous return dan curah jantung. Untuk mencegahnya, maka
pembuluh-pembuluh darah tersebut harus diisi terlebih dahulu dengan infus cairan sehingga
pembuluh darah memiliki tahanan (tidak obstruksi karena penekanan). Pada pasien ini
Manajemen Intra-Operatif
ini memerlukan insuflasi CO2 dan relaksasi otot yang tidak memungkinkan pasien untuk
bernapas spontan. Oleh karena itu, untuk menjamin adekuatnya difusi CO 2 ke luar tubuh,
respiratory rate harus diatur menggunakan mechanical ventilator dengan RR yang cepat
Pemberian obat-obat untuk pasien ini selama operasi adalah sebagai berikut :
bronkodilatasi.
- Fentanyl (2-10 mcg/kg: 100 mcg) bekerja pada reseptor (paling efektif
maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit
cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru.
10 kg pertama 4 mL/kg/jam
10 kg berikutnya + 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20 kg + 1 mL/kg/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan
karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
sebelum operasi. Berat badan pasien adalah 50kg dimana kebutuhan cairan maintenance
adalah 90cc/jam dan pasien ini telah puasa selama 6 jam sebelum operasi. Jadi defisit cairan
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi
keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan
atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight
seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid
plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk
kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut
cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian
replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan
Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter
dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya
memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan menjadi
cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante
operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan estimated blood
volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi hanya apabila
kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu yang tepat untuk transfusi ditentukan
oleh kondisi pasien dan prosedur operasi yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang
Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70 cc/kgBB. Tetapi ada sumber yang
menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgBB dan wanita 65 cc/kgBB.
2. Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi
3. Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume darah normal
telah dicapai.
4. Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit ≤ 30% dengan cara RBCVlost =
RBCVpreop – RBCV30%.
5. Kehilangan darah yang terjadi = RBCVlost x 3.
Kehilangan cairan tambahan diperhitungkan sesuai dengan jenis operasi apakah ringan,
Pada pasien ini, estimated blood volume (EBV) adalah sebanyak 3750 mL (50kg x 75
mL/kg). Allowable blood loss diperkirakan sebanyak 750 mL (20% dari EBV pasien). Selain
itu, pasien ini membutuhkan cairan maintenance sebanyak 90cc/jam. Selama peri operasi,
Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi selama
operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam mempertahankan kondisi pasien,
oleh karena itu perlu standard monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi emergensi,
appropriate life support harus diutamakan. Standar ini ditujukan hanya tentang monitoring
anestesi dasar, yang merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa
kasus yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis
secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk
Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general anestesi,
Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan temperature pasien harus
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:
Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
Heart rate, nadi, dan kualitasnya
Warna membran mukosa, dan capillary refill time
Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi anstesi dapat dilakukan dengan
intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal. Setelah induksi anestesi maka dilanjutkan
Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol. Mekanisme induksi general
anestesi dengan propofol melibatkan fasilitasi dari inhibisi neurotransmitter yang dimediasi
(NMBA) yang juga digunakan pada kasus ini (atracurium). Penggunaan propofol bersamaan
dengan fentanyl dapat meningkatkan konsentrasi fentanyl. Pada kasus ini analgetik yang
digunakan adalah fentanyl. Beberapa klinisi memberikan midazolam (pada kasus ini
diberikan untuk premedikasi) dengan jumlah kecil (misal 30µg/kg) sebelum induksi dengan
propofol, karena mereka percaya bahwa kombinasi tersebut mempunyai efek sinergis (onset
Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat yang bisa dicapai
dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu yang dibutuhkan untuk
operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada anestesi yang dicapai dengan
Pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat anestesi
inhalasi yang dipakai adalah isoflurane. Isoflurane tidak memiliki kontraindikasi khusus.
Isofluran juga dapat mempotensiasi NMBA (pada pasien ini dipakai atracurium).
Pada kasus ini jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi dengan intubasi.
Sebelum dilakukan intubasi diperlukan muscle relaxant sehingga proses intubasi lebih mudah
dilakukan.
Tidak ada nondepolarizing muscle relaxants yang sekarang tersedia menyamai onset
yang cepat dan durasi pendek dari succinylcholine; tetapi meskipun begitu onset dari
nondepolarizing relaxants bisa dipercepat dengan menggunakan baik dosis yang lebih besar
atau dengan priming dosis. ED95 adalah dosis efektif obat pada 95% individu. Satu kali datau
dua kali lipat ED95 biasanya digunakan untuk intubasi. Meskipun dosis untuk intubasi yang
lebih besar dapat mempercepat onset, dosis ini dapat mengeksaserbasi efek samping dan
memperlama durasi. Prinsip umumnya adalah semakin besar potensi nondepolarizing muscle
priming dosis yang lebih besar. Secara teoritis, pemberian 10–15% dosis intubasi 5 menit
sebelum induksi akan menempati cukup reseptor sehingga paralisis akan cepat mengikuti
ketika keseimbangan relaxant sudah diberikan. Penggunaan priming dosis bisa menghasilkan
kondisi yang sesuai untuk intubasi segera setelah 60 detik bila mneggunakan rocuronium dan
Setelah intubasi, paraslisis otot mungkin perlu diteruskan untuk memfasilitasi operasi misal
operasi abdominal atau untuk manajemen anestesi atau untuk kebutuhan mengontrol ventilasi.
Dosis maintenance bisa dicapai dengan intermittent bolus atau continuous infusion, diberikan
dengan monitor menggunakn nerve stimulator atau tanda klinis (usaha atau gerakan nafas spontan).
Pada kasus ini atracurium diulang setelah ± 45 menit pemberian atracurium yang pertama karena
operasi masih dalam proses, sehigga intubasi masih tetap dipertahankan (supaya ventilasi
terkontrol).
Anesthesia ing )
(mg/kg) Dose
(min)
ium – 45
3.0
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, frekuensi nafas, patensi jalan nafas, dan oksigenasi
harus diperiksa tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse oximetry harus
dimonitor terus menrus pada pasien yang masih berada dalam proses recovery dari general
anestesi, paling tidak sampai pasien mulai sadar. Fungsi neuromuskuler juga harus dinilai
misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif
atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi
Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus mendapatkan oksigen
30-40% karena bisa terjadi transient hypovemia pada pasien yang sehat sekalipun. Resiko
abdomninal adau toraks, sehingga harus terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan mungkin
memerlukan oksigenasi dalam waktu yang lebih lama. Keputusan rasional untuk meneruskan
suplementasi oksigen ketika mengeluarkan pasien dari Post Anesthesia Care Unit (PACU)
bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria
discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan
menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan
biasa.
Value
Color Oxygenation
Respiration
Can breathe deeply and Breathes deeply and 2
Circulation
of normal Hg of normal
Consciousness
back to sleep
Activity
No movement Same 0
1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth
1995;7:89.
sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem scoring untuk discharge digunakan
secara luas. Kebanyakan criteria yang dinilai adalah SpO2 (atau warna kulit), kesadaran,
sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik. Kebanykan pasien memenuhi criteria discharge
dalam waktu ± 60 menit di PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan
regional anestesi seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan
motoris.