Tidau adalah kidung yang meratapi kematian seseorang.
Oleh sebab itu, tidau atau menidau tidak
pernah didahului oleh kata kentau maupun dayung, misalnya dayung menidau. Menidau ini biasanya dilakukan oleh kerabat terdekat almarhum. Akan tetapi, kini tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menidau sehingga sekarang menidau tidak selalu dilakukan oleh kerabat terdekat almarhum, melainkan oleh seseorang yang memiliki ke mampuan menidau. Amai Petangkit adalah orang yang memiliki keahlian menidau ini. Isi mipet dalam tidau adalah mengenang kembali amal dan ibadah yang telah dilakukan almarhum selama hidupnya. Selain itu, tidau berisi pula tuntutan bagi roh almarhum agar tidak tersesat di alam baka dalam perjalanannya menuju Alau Malau atau uraq arau surga. Sekali lagi terlihat, keunikan kidung suku bangsa Kenyah ini, mipet bergantung pada amal ibadah yang dilakukan almarhum semasa hidupnya. Dengan sendirinya, tidak ada mipet yang sama bagi menidau ini. Tidau penuh dengan ungkapan dan kiasan yang menggam barkan persepsi suku bangsa Kenyah terhadap alam gaib. Sayangnya, kegiatan ini terhapus dengan masuknya agama Kristen dalam system kepercayaan mereka. Tidau tidak memiliki subklasifikasi lebih lanjut. Menidau dapat dilakukan oleh pria maupun wanita. Tidau juga dilakukan oleh seorang julong dan dapat diikuti oleh koor, meskipun hal ini jarang dilakukan. Biasanya, orang akan menangis atau meratap di belakang orang yang sedang menidau. Hal yang menarik dalam penelitian ini adalah ditemukannya pengungkapan makna metaforis yang berbeda dari makna harafiah dalam mipet sebuah kentau atau tidau. Untuk dapat menangkap makna metaforsis sebuah kentau dan tidau dibutuhkan keahlian yang lebih dari pada sekedar mahir berbahasa Kenyah. Baik kentau maupun tidau pada dasarnya merupakan sarana untuk menyampaikan nasihat dan ajaran mengenai nilai budaya serta juga sarana untuk menurunkan keahlian tertentu, seperti mengambil madu, membuka ladang, dan sebagainya. Hal- hal tersebut di enkode-kan ke dalam ungkapan-ungkapan yang merujuk pada lingkungan di sekitar mereka. Ungkapan tersebut selain meng-kode kan nilai budaya mereka juga menggambarkan persepsi mereka terhadap lingkungan dan tataruang.
Sumber: Konsep Tata Ruang Suku Bangsa Dayak Kenyah di Kalimantan Timur – Edi Sedyawati, EKM. Masinambow, Gunawan Tjahyono