You are on page 1of 26

2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Keperawatan adalah profesi yang mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Dalam
arti lain profesi keperawatan bersifat humanistis, dan lebih mendahulukan
kepentingan orang lain dibanding dengan kepentingan pribadi. Perawat
memiliki peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokat bagi pasien, pendidik,
konselor, koordinator, kolabolator, konsultan dan juga peneliti (Masruroh H, 2014).

Seorang perawat profesional adalah seseorang yang memiliki kemampuan intelektual,


teknikal,interpersonal dan memahami etika profesi. Etika profesi digunakan sebagai
acuan dalam melaksanakan praktik keperawatan. Tentang bagaimana suatu hal
dikatakan benar dan dikatakan salah. Perawat sering kali dihadapkan pada suatu
kondisi dilemaetik yang menempatkan perawat untuk berfikir apa yang harus
dilakukan, apa yang seharusnya dilakukan, apakah tindakannya benar atau tidak dan
menuntut perawat untuk mengambil suatu keputusan yang tepat (Dermawan, 2013).

Dalam penanggulan korban bencana sendiri merupakan proses yang harus segera
dilakukan agar korban dapat ditolong secepat mungkin. Kemampuan pengambilan
keputusan yang tepat dan akurat sangat diperlukan bagi tenaga paramedis untuk
dapat menyelamatkan pasien yang dihadapi. Pola- pola perilaku pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh tenaga paramedis ini melibatkan aspek-aspek fisik
maupun psikis yang sangat besar, mengandung resiko yang cukup tinggi antara
keselamatan dan kematian dari pasien yang sedang dihadapi.

Perawat memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk mengambil langkah-


langkah keperawatan yang diperlukan sesuai dengan standar keperawatan. Pelayanan
keperawatan di Indonesia di masa depan diperkirakan juga akan menuju pelayanan
atau asuhan keperawatan profesional yang bersifat holistik dan humanistik,
berlandaskan ilmu dan kiat keperawatan dengan etika keperawatan sebagai tuntunan.
Kemampuan para perawat dan tenaga paramedis dalam kondisi-kondisi kritis
ketika menangani pasien tentu tidak lepas dari latar belakang pendidikan yang
3

pernah ditempuh serta pengalaman yang pernah dijalani. Termasuk di sini


adalah kemampuan perawat dan tenaga paramedis dalam mengambil keputusan saat
gawat darurat.

1.2 Tujuan Penulisan


Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan mahasiswa dan pembaca khususnya
perawat mengetahui pentingnya tugas dan peran perawat dalam pengambilan
keputusan dalam kondisi gawat darurat sesuai dengan etika yang berlaku serta dapat
mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
4

BAB II
KONSEP TEORI

2.1 Konsep Dasar Etika


Etika (Yunani Kuno: “ethikos”, berarti “timbul dari kebiasaan”) adalah cabang utama
filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan
penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik,
buruk, dan tanggung jawab. Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat
dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam
melakukan refleksi Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek
dari etika adalah tingkah laku manusia, akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang
meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya
etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. Prinsip prinsip etika
dapat disimpulkan dalam 3 makna yang terkandung didalamya, yaitu memberikan dasar
untuk kode etik keperawatan yang bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia,
bertanggung jawab dan praktik keperawatan profesional (Amelia, 2013)

Perawat dianggap bertanggung jawab terhadap perilaku etik mereka. Sehingga perawat
perlu memahami nilai mereka sendiri berkaitan dengan tanggung jawab dan tanggung
gugat dalam suatu keputusan etik yang diambil. Praktik keperawatan diatur oleh kode etik
keperawatan yang merupakan standart atau prinsip etik yang mencerminkan penilaian
moral terhadap tindakan keperawatan yang dilakukan. Kode etik di tujukan untuk
menginformasikan kepada masyarakat mengenai standart profesi dan membatu
masyarakatmemahami perilaku profesional, memberi komitmen, memberi garis besar perti
mbangan etik, memberi pedoman perilaku profesional, dan sebagai panduan profesi dalam
pengaturan diri. Dengan demikian perawat di harapkan terhindar dari masalah etik yang
sering terjadi dalam pelaksanaan praktik keperawatan. (Blais, 2007; Masruroh, 2014).

Tipe Tipe Etik dalam Bidang Kesehatan (Yunanto, 2014):


5

2.1.1 Bioetik
Bioetik merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang kontroversi dalam etik,
menyangkut masalah biologi dan pengobatan. Lebih lanjut, bioetik difokuskan pada
pertanyaan etik yang muncul tentang hubungan antara ilmu kehidupan, bioteknologi,
pengobatan, politik, hukum, dan theology.
Pada lingkup yang lebih sempit, bioetik merupakan evaluasi etik pada moralitas
treatment atau inovasi teknologi, dan waktu pelaksanaan pengobatan pada manusia.
Pada lingkup yang lebih luas, bioetik mengevaluasi pada semua tindakan moral yang
mungkin membantu atau bahkan membahayakan kemampuan organisme terhadap
perasaan takut dan nyeri, yang meliputi semua tindakan yang berhubungan dengan
pengobatan dan biologi. Isu dalam bioetik antara lain : peningkatan mutu genetik,
etika lingkungan, pemberian pelayanan kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa bioetik
lebih berfokus pada dilema yang menyangkut perawatan kesehatan modern, aplikasi
teori etik dan prinsip etik terhadap masalah-masalah pelayanan kesehatan.
2.2.1 Clinical ethics/Etik klinik
Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada masalah
etik selama pemberian pelayanan pada klien. Contoh clinical ethics : adanya
persetujuan atau penolakan, dan bagaimana seseorang sebaiknya merespon
permintaan medis yang kurang bermanfaat (sia-sia).
2.2.2 Nursing ethics/Etik Perawatan
Bagian dari bioetik, yang merupakan studi formal tentang isu etik dan
dikembangkan dalam tindakan keperawatan serta dianalisis untuk mendapatkan
keputusan etik.

2.2 Pengambilan Keputusan


Pengambilan keputusan (desicion making) adalah melakukan penilaian dan
menjatuhkan pilihan. Keputusan ini diambil setelah melalui beberapa perhitungan dan
pertimbangan alternatif. Sebelum pilihan dijatuhkan, ada beberapa tahap yang mungkin
akan dilalui oleh pembuat keputusan. Tahapan tersebut bisa saja meliputi identifikasi
masalah utama, menyusn alternatif yang akan dipilih dan sampai pada pengambilan
keputusan yang terbaik.

Pada hakekatnya, pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis


terhadap hakekat suatu masalah yang difokuskan untuk memecahkan masalah
6

secepatnya dimana individu harus memiliki kemampuan berfikir kritis dengan


menggunakan pendidikan dan pengalaman yang berharga yang cukup efektif dalam
pemecahan masalah.

2.3 Proses Pengambilan Keputusan.


2.3.1 Model pengambilan keputusan menurut Herbert A. Simon dalam Darmawan
(2013) sebagai dasar menjelaskan proses pengambilan keputusan terdiri dari tiga
tahap pokok yaitu:
 Penyelidikan (Inteligence). Mempelajari lingkungan untuk menentukan
kondisi keputusan. Data mentah diperoleh, diolah, dan disajikan untuk
dijadikan petunjuk yang dapat mengidentifikasi persoalan.
 Perancangan (Design). Mendaftar, mengembangkan, dan menganalisis arah
tindakan yang mungkin. Hal ini meliputi proses-proses untuk memahami
persoalan, menghasilkan pemecahan, dan menguji kelayakan pemecahan
tersebut.
 Pemilihan (Choice). Memilih arah tindakan tertentu dari semua yang ada.
Pilihan ditentukan dan dilaksanakan.
2.3.2 Model pengambilan keputusan menurut Rubenstein dan Haberstroh dalam
Darmawan (2013), mengemukakan langkah-langkah berikut:
 Pengenalan Masalah atau kebutuhan untuk pengambilan keputusan
 Analisis dan laporan alternatif
 Pemilihan diantara alternatif
 Komunikasi dan pelaksanaan keputusan
 Langkah lanjutan dan umpan balik hasil keputusan.
2.3.3 Ada beberapa cara untuk mengklasifikasikan pengambilan keputusan. Pemahaman
terhadap kerangka kerja dan konsepnya dapat dibahas sebagai berikut:
a. Sistem Keputusan Tertutup. Dalam sistem keputusan tertutup menganggap
bahwa keputusan terpisah dari masukan yang tidak diketahui dari
lingkungan. Sistem pengambilan keputusan tertutup biasanya menggunakan
model kuantitatif. Dalam sistem ini pengambil keputusan dianggap:
 Mengetahui semua perangkat alternatif dan semua akibat atau hasilnya
masing-masing.
7

 Memiliki metode yang memungkinkan dia membuat urutan kepentingan


semua alternatif.
 Memilih alternatif yang memaksimalkan sesuatu, misalnya laba, volume
penjualan, atau kegunaan.
b. Sistem Keputusan terbuka. Memandang keputusan sebagai berada dalam
suatu lingkungan yang rumit dan sebagian tak diketahui. Keputusan
dipengaruhi oleh lingkungan dan pada gilirannya proses keputusan
kemudian mempengaruhi lingkungan. Pengambil keputusan dianggap tidak
harus logis dan sepenuhnya rasional, tetapi lebih banyak memperlihatkan
rasionalitas hanya dalam batas yang dikemukakan oleh latar belakang,
pandangan atas alternatif, kemampuan menangani suatu model keputusan.
Model keputusan terbuka menganggap bahwa pengambil keputusan:
 Tidak mengetahui semua alternatif dan semua hasil
 Melakukan pencarian secara terbatas untuk menemukan beberapa
alternatif yang memuaskan.
 Mengambil suatu keputusan yang memuaskan tingkat aspirasinya.
 Pengetahuan terhadap hasil (Knowledge Of Outcomes).
2.3.4 Dalam pengambilan keputusan ada tiga jenis pengetahuan yang berhubungan
dengan hasil:
 Kepastian (Certainty). Pengetahuan yang lengkap dan akurat mengenai
hasil tiap pilihan. Hanya ada satu hasil untuk setiap pilihan.
 Resiko (Risk). Hasil yang mungkin timbul dapat diidentifikasi dan satu
kemungkinan yang terjadi dapat dihubungkan dengan masing-masing hasil.
 Ketidakpastian (Uncertaninty). Berbagai hasil mungkin terjadi dan dapat
diidentifikasi, tetapi tidak ada pengetahuan dari kemungkinan yang dapat
dihubungkan dengan masing-masing hasilnya

2.4 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Dalam Pengambilan Keputusan Etis (Amelia, 2013):
2.4.1 Tingkat Pendidikan
8

Rhodes (1985) berependapat bahwa semakin tinggi latar belakang pendidikan


perawat akan membantu perawat untuk membuat suatu keputusan etis. Salah satu
tujuan dan program pendidikan tinggi bagi perawat adalah meningkatkan
keahlian kognitif dan kemampuan membuat keputusan. (Pardue,1987).

Penelitian oleh Hoffman, Donoghue dan Duffield (2004) menunjukkan bahwa


taraf pendidikan dan pengalaman tidak terkait secara signifikan dengan
pembuatan keputusan etis dalam keperawatan klinis. Faktor yang bertanggung
jawab terhadap variabilitas yang besar dalam pembuatan keputusan etis dalam
keperawatan klinis adalah nilai peran.
2.4.2 Pengalaman

Pengalaman sering kali disebut sebagai faktor penting yang mempengaruhi


pembuatan keputusan dan hal ini perlu diperhatikan secara lebih jauh. Yung
(1997) mengusulkan pengalaman yang lalu dalam menangani dilema etik
mempengaruhi mahasiswa keperawatan dalam mengembangkan pembuatan
keputusan etis. Hasil temuan dari sebuah penelitian yang yang dilaksanakan
Cassels dan Redman ( 1989) tentang perawat yang sedang menjalani studi tingkat
sarjana menunjukkan bahwa pengalaman yang lalu dalam menangani masalah-
masalah etika atau dilema etik dalam asuhan keperawatan dapat membantu proses
pembuatan keputusan yang beretika. Oleh karena itu, penggalian pengalaman lalu
yang lain dari pengalaman keperawatan secara umum memungkinkan pendekatan
yang lebih relevan.
2.4.3 Faktor Agama Dan Adat Istiadat

Agama serta latar belakang adat istiadat merupakan faktor utama dalam membuat
keputusan etis. Setiap perawat disarankan memahami nilai yang diyakini maupun
kaidah agama yang dianutnya. Untuk memahami ini dibutuhkan proses. Semakin
tua seseorang akan semakin banyak pengalaman dan belajar, mereka akan lebih
mengennal siapa dirinya dan nilai yang dimilikinya.

Selain faktor agama, faktor adat istiadat juga berpengaruh pada seseorang dalam
pembuatan keputusan etik. Kaitan adat istiadat dan implikasi dalam keperawatan
sampai saat ini belum tergali jelas di Indonesia.Faktor adat istiadat yang dimiliki
perawat atau pasien sangat berpengaruh terhadap pembuatan keputusan etik.
9

Misalnya, setiap rumah sakit di mempunyai aturan menunggu dan persyaratan


pasien yang boleh ditunggu, namun hal ini sering tidak dihiraukan oleh keluarga
pasien dengan alasan rumah jauh atau pasien tidak tenang bila tidak ditunggu
keluargannya, dan lain-lain. Ini sering menimbulkan masalah etik bagi perawat
antara membolehkan dan tidak membolehkan keluarga menemani pasien di
Rumah sakit.
2.4.4 Komisi Etik

Komisi etik merupakan suatu faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan


etis yang dibuat oleh perawat dalam praktiknya (Ellis dan Hartley, 2001).
Sedangkan Ramsey (1999) menjelaskan bahwa Komisi Etik Keperawatan
memberi forum bagi perawat untuk berbagi perhatian dan mencari solusi pada
saat mereka mengalami dilema etik yang tidak dijelaskan oleh dewan etik
kelembagaan. Komisi etik tidak hanya memberi pendidikan dan menawarkan
nasehat melainkan pula mendukung rekan-rekan perawat dalam mengatasi dilema
etik yang ditemukkan dalam praktik sehari-hari. Dengan adanya komisi etik,
perawat mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk semakin terlibat secara
formal dalam pengambilan keputusan yang etis dalam organisasi perawat
kesehatan. (Haddad,1998).
2.4.5 Faktor Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi

Pada abad ke-20 ini, manusia telah berhasil mencapai tingkatan pengetahuan dan
teknologi yang meliputi berbagai bidang. Manusia telah menjelajahi ruang
angkasa dan mendarat di beberapa planet selain bumi. Sistem komunikasi anatara
negara dapat dilaksanakan secara langsung dan tempat yang jaraknya ribuan
kilometer.

Kemajuan di bidang kesehatan telah mampu meningkatkan kualitas hidup serta


mampu memperpanjang usia manusia dengan ditemukkannya berbagai mesin
mekanik kesehatan, cara prosedur baru, dan bahan/obat baru. Misalnya klien
dengan gangguan ginjal yang dapat diperpanjang usiannya berkat adanya mesin
hemodialisis. Wanita yang mengalami kesulitan hamil dapat dibantu dengan
inseminasi. Kemajuan ini menimbulkan pertanyaan yang berhubungan dengan
etika.
2.4.6 Faktor Legislasi Dan Keputusan Yuridis
10

Saat ini, aspek legislasi dan bentuk keputusan yuridis tentang masalah etik
kesehatan sedang menjadi topik yang banyak dibicarakan. Hukum kesehatan telah
menjadi suatu bidang ilmu dan perundang-undangan baru yang banyak disusun
untuk menyempurnakan perundang-undangan lama atau untuk mengantisipasi
perkembangan masalah hukum kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan undang-
undang praktik keperawatan dan keputusan menteri kesehatan yang mengatur
registrasi dan praktik perawat.

Perubahan sosial dan legislasi secara konstan saling berkaitan. Setiap perubahan
sosial atau legislasi menyebabkan timbulnya suatu tindakan yang merupakan reaksi
perubahan tersebut. Legislasi merupakan jaminan tindakan menuntut hukum
sehingga orang yang bertindak tidak sesuai hukum dapat menimbulkan suatu
konflik.

2.5 Prinsip Etik sebagai Panduan Pengambilan Keputusan.

Dalam Sumijatun (2009) dikatakan bahwa praktik keperawatan melibatkan interaksi


yang kompleks antara nilai individu, sosial dan politik, serta hubungannya dengan
masyarakat tertentu. Sebagai dampaknya perawat sering mengalami situasi yang
berlawanan dengan hati nuraninya. Meskipun demikian, perawat tetap akan menjaga
kewajibannya sebagai pemberi pelayanan yang lebih bersifat kemanusiaan. Dalam
membuat keputusan, perawat akan berpegang teguh pada pola pikir rasional serta
tanggung jawab moral dengan menetapkan prinsip etik dan hukum yang berlaku.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengambilan Keputusan dalam Situasi Bencana di Indonesia


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.21 tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan bencana menegaskan bahwa yang berwenang dalam
pengambilan keputusan baik itu pra,intra dan pasca bencana adalah pemerintah melalui
Badan Penanggulangan Pusat Bencana (BNPB) seperti halnya yang tercantum dalam hal
berikut :
Pasal 16
11

(1) Pemerintah melaksanakan kesiapsiagaan penanggulangan bencana sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 15 huruf a (kesiapsiagaan) untuk memastikan terlaksananya
tindakan yang cepat dan tepat pada saat terjadi bencana.
Pasal 19
(1) Peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b (peringatan dini)
dilakukan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi
risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat.
(2) Peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. mengamati gejala bencana;
b. menganalisa data hasil pengamatan;
c. mengambil keputusan berdasarkan hasil analisa;
d. menyebarluaskan hasil keputusan; dan
e. mengambil tindakan oleh masyarakat.
(3) ...
(4)....
(5)Dalam hal peringatan dini ditentukan, seketika itu pula keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) disebarluaskan melalui dan wajib dilakukan oleh lembaga
pemerintah, lembaga penyiaran swasta, dan media massa untuk mengerahkan sumber
daya.

Pasal 23
(1) Penentuan status keadaan darurat bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
huruf b dilaksanakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
tingkatan bencana.
(2) Penentuan status keadaan darurat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
tingkat nasional ditetapkan oleh Presiden, tingkat provinsi oleh gubernur, dan tingkat
kabupaten/kota oleh bupati/walikota.
Pasal 24
Pada saat status keadaan darurat bencana ditetapkan, BNPB dan BPBD mempunyai
kemudahan akses di bidang:
a. pengerahan sumber daya manusia;
12

b. pengerahan peralatan;
c. pengerahan logistik;
d. imigrasi, cukai, dan karantina;
e. perizinan;
f. pengadaan barang/jasa;
g. pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang;
h. penyelamatan; dan
i. komando untuk memerintahkan instansi/lembaga.
Pasal 25
(1) Pada saat keadaan darurat bencana, Kepala BNPB dan kepala BPBD berwenang
mengerahkan sumber daya manusia, peralatan, dan logistik dari instansi/lembaga dan
masyarakat untuk melakukan tanggap darurat.
Pasal 46
(2) Untuk memudahkan penyelamatan korban bencana dan harta benda, Kepala BNPB
dan/atau kepala BPBD mempunyai kewenangan:
a. menyingkirkan dan/atau memusnahkan barang atau benda di lokasi bencana yang
b. dapat membahayakan jiwa;
c. menyingkirkan dan/atau memusnahkan barang atau benda yang dapat
d. mengganggu proses penyelamatan;
e. memerintahkan orang untuk keluar dari suatu lokasi atau melarang orang untuk
f. memasuki suatu
g. lokasi;
h. mengisolasi atau menutup suatu lokasi baik milik publik maupun pribadi; dan
i. memerintahkan kepada pimpinan instansi/lembaga terkait untuk mematikan aliran
j. listrik, gas, atau menutup/membuka pintu air.
(3) Pencarian dan pertolongan terhadap korban bencana dihentikan jika:
a. seluruh korban telah ditemukan, ditolong, dan dievakuasi; atau
b. setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak dimulainya operasi pencarian, tidak ada
tandatanda korban akan ditemukan.
(4) Penghentian pencarian dan pertolongan terhadap korban bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat dibuka kembali dengan pertimbangan adanya
informasi baru mengenai indikasi keberadaan korban bencana.

3.2 Keputusan Moral dalam Keperawatan


13

Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakekat suatu
masalah dengan pengumpulan fakta-fakta dan data, menentukan alternatif yang matang
untuk mengambil suatu tindakan yang tepat.
Ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan (Kusnadi, 2004):
3.2.1 Dalam proses pengambilan keputusan tidak terjadi secara kebetulan.
3.2.2 Pengambilan keputusan tidak dilakukan secara sembrono tapi harus berdasarkan
pada sistematika tertentu :
 Tersedianya sumber-sumber untuk melaksanakan keputusan yang akan
diambil.
 Kualifikasi tenaga kerja yang tersedia
 Falsafah yang dianut organisasi.
 Situasi lingkungan internal dan eksternal yang akan mempengaruhi
administrasi dan manajemen di dalam organisasi.
3.2.3 Masalah harus diketahui dengan jelas.
3.2.4 Pemecahan masalah harus didasarkan pada fakta-fakta yang terkumpul dengan
sistematis.
3.2.5 Keputusan yang baik adalah keputusan yang telah dipilih dari berbagai alternatif
yang telah dianalisa secara matang.

Apabila pengambilan keputusan tidak didasarkan pada kelima hal diatas, akan
menimbulkan berbagai masalah :
 Tidak tepatnya keputusan.
 Tidak terlaksananya keputusan karena tidak sesuai dengan kemampuan organisasi baik
dari segi manusia, uang maupun material.
 Ketidakmampuan pelaksana untuk bekerja karena tidak ada sinkronisasi antara
kepentingan organisasi dengan orang-orang di dalam organisasi tersebut.
 Timbulnya penolakan terhadap keputusan.

Sikap atau watak berfikir kritis dalam mengambil keputusan dapat ditingkatkan dengan
memantapkan secara positif dan memotivasi lingkungan kerja khususnya bidang
keperawatan. Kreativitas penting untuk membangkitkan motivasi secara individu ataupun
sehingga mampu memberikan konsep baru dengan pendekatan inovatif dalam
memecahkan masalah atau isu secara fleksibel. Keterbukaan menerima kritik akan
14

mengakibatkan hal positif seperti; semakin terjaminnya kemampuan analisa seseorang


terhadap fakta dan data yang dihadapi dan akan meningkatkan kemampuan untuk
mengatasi kelemahan dalam manajemen keperawatan.

3.3 Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat


Dalam pelayanan gawat darurat sering terjadi konflik terutama dalam mengambil
keputusan. Untuk mencegah dan mengatasi konflik biasanya digunakan etika dan norma
hukum yang mempunyai tolok ukur masing-masing. Oleh karena itu dalam praktik harus
diterapkan dalam dimensi yang berbeda. Artinya pada saat kita berbicara masalah
hukum, tolok ukur norma hukumlah yang diberlakukan. Pada kenyataannya kita sering
terjebak dalam menilai suatu perilaku dengan membaurkan tolok ukur etika dan hukum.
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan
kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum
kesehatan terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa.
Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu:
 Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
 Perubahan klinis yang mendadak
 Mobilitas petugas yang tinggi
Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki risiko
tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian.
Secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi
tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut The
American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah: An emergency
is any condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever assumes the
responsibility of bringing the patient to the hospital-requires immediate medical
attention. This condition continues until a determination has been made by a health care
professional that the patient’s life or well-being is not threatened.
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat walaupun
sebenarnya tidak demikian. Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan antara false
emergency dengan true emergency yang pengertiannya adalah: A true emergency is any
condition clinically determined to require immediate medical care. Such conditions
range from those requiring extensive immediate care and admission to the hospital to
those that are diagnostic problems and may or may not require admission after work-up
15

and observation.”
Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi pasien
diselenggarakanlah triage.Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal adalah
dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat dikerjakan oleh perawat melalui
standing order yang disusun rumah sakit.
Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah
sakit dengan fase di rumah sakit. Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat
berbeda, di mana pada fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula
orang awam, sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga
kesehatan, khususnya tenaga medis dan perawat. Kewenangan dan tanggungjawab
tenaga kesehatan dan orang awam tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan dan
ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit sangat menentukan survivabilitas pasien.
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-
undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan
dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik
menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien
dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang
dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah:
1. Kesukarelaan pihak penolong.
Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong
untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik
biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku.
2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang
dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan
trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong.
Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan
karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi
maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi
penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut
dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan
situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan
perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi
dan kondisi yang sama pula. Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari
pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992
16

tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989


tentang Persetujuan Tindakan Medis Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera
dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien,
tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan
No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis,
maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.
Dalam hal diatas aspek medikolegal pelayanan gawat darurat berlaku juga dan
diterapkan dalam manajemen bencana terutama untuk tenaga medis sebagai landasan
untuk mengambil keputusan pada penanganan korban baik secara etika untuk
memprioritaskan korban menggunanakn triage maupun tanggung jawab selanjutnya
terhadap korban, hal ini juga didukung dengan adanya Undang-Undang No.38 Tahun
2014 Tentang Keperawatan.

3.4 Peran Perawat dalam Pengambilan Keputusan dalam Situasi Bencana


Dalam praktik asuhan ekeprawatan walaupun perawat bertugas sebagai pelaksana namun
pada hakikatnya seorang perawatpun mempunyai tanggung jawab untuk mengambil
keputusan berkaitan dengan asuhan keperawatan yang diberikan seperti halnya dalam
UU Keperawatan No.38 Tahun 2014 sebagai berikut:
Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang
Pasal 29
(1) Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai:
a. pemberi Asuhan Keperawatan;
b. penyuluh dan konselor bagi Klien;
c. pengelola Pelayanan Keperawatan;
d. peneliti Keperawatan;
e. pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau
f. pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.
(2) Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara bersama
ataupun sendiri-sendiri.
(3) Pelaksanaan tugas Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaksanakan secara bertanggung jawab dan akuntabel.

Pasal 30
17

(1) Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya
kesehatan perorangan, Perawat berwenang:
a. melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik;
b. menetapkan diagnosis Keperawatan;
c. merencanakan tindakan Keperawatan;
d. melaksanakan tindakan Keperawatan;
e. mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan;
f. melakukan rujukan;
g. memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan
kompetensi;
h. memberikan konsultasi Keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter;
i. melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling; dan
j. melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep
tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas.

Pasal 35
(1) Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, Perawat
dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai dengan
kompetensinya.
(2) Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa klien dan mencegah kecacatan lebih lanjut.
(3) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan
yang mengancam nyawa atau kecacatan Klien.
(4) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Perawat sesuai
dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Dari uraian undang-undang diatas maka dapat disimpulkan bahwa perawat mempunyai
tanggung jawab untuk mengambil keputusan dalam keadaan gawat darurat termasuk
dalam hal ini dalam kondisi bencana dalam lingkut keperawatan secara mandiri dengan
etika yang berlaku yaitu melaksanakan tugas praktik keperawatan sesuai dengan standar
profesi sesuai dengan hak dan wewenang dan menjunjung hak-hak pasien.
18

Pengambilan keputusan yang bersinggungan dengan etika pada saat bencana biasanya
erat kaitannya ketika melakukan skrening korban dengan menggunakan sistem triage di
lapangan, karena tidak dapat mendahulukan korban dengan keadaan yang lebih parah
namun hal ini sesuai dengan Pedoman Penanggulan Masalah Kesehatan Akibat
Kedaruratan Kompleks oleh DepKes RI Tahun 2001 menjelaskan bahwa dalam
manajemen penanggulangan korban masal :

Penanggulangan korban masal akibat kedaruratan kompleks harus mengutamakan


keselamatan penolongnya baru menyelamatkan korban.

Penanggulangan korban kedaruratan harus dilaksanakan secepat mungkin (dua hari


pertama dan umumnya korban menderita, cedera dan kematian).

Pada tahap pencarian dan penyelamatan korban dilakukan triase dan pemetaan. Triase
bertujuan untuk melakukan seleksi korban berdasarkan tingkat kegawat daruratan untuk
memberikan prioritas pertolongan. Upaya yang dilakukan dalam penanganan korban
adalah untuk menyelamatkan korban sebanyak-banyaknya sehingga diharapkan angka
morbiditas dan mortalitas rendah.

3.5 Review Jurnal Pendukung

3.5.1 Naim Kaapucu and Vener Garayev. 2012. Collaborative Decision-Making in


Emergency and Disaster Management. International Journal of Public
Administration, 34: 366–375

Pengambilan keputusan dalam keadaan darurat membutuhkan pendekatan non-


tradisional seperti teknologi serta formulasi yang bersifat non hirarki dan fleksibel
untuk untuk berinvestasi dan koordinasi antar sektor dan kerjasama antar-lembaga
dan koordinasi melalui pengambilan keputusan dalam Emergency Management
Assisten Compact (EMAC). EMAC sendiri adalah perjanjian saling membantu
antar negara yang memfasilitasi berbagi sumber daya selama dan setelah bencana.
Sementara ini keseluruhan kinerja pengambilan keputusan EMAC dianggap relatif
memuaskan dan sempurna, investasi dalam komunikasi, membangun kepercayaan,
dan pemberantasan nilai antar lembaga yang berbeda.

Untuk cakupan yang diharapkan dari kolaborasi dalam pengambilan keputusan


yang memuaskan dalam kasus-kasus emergensi, sangat penting dan menjadi bagian
19

yang utama untuk mengerti tentang kontek dari manajemen emergensi itu sendiri.
Hal ini dikarenakan faktanya dalam manajemen emergensi mempunyai
karakteristik yang kompleks, bersifat darurat dan tidak menentu. Pemahaman ini
sangat penting untuk organisasi yang perpartisipasi dalam penanganan yang
bersifat emergenci walaupun perannya kecil dalam mengambil keputusan.

Berdasarkan analisis kinerja EMAC, jurnal ini menyatakan bahwa kolaborasi


praktek pengambilan keputusan melaui EMAC ini relatif menguntungkan, terutama
karena adanya hasil yang signifikan dinyatakan dalam laporan dan pengakuan dari
beberapa instansi pemerintah lainnya. Namun demikian, masih ada beberapa
perbaikan yang diperlukan dan diharapkan di beberapa daerah antara lain mengenai
peningkatan alat komunikasi karena pada dasarnya EMAC bergantung pada
teknologi komunikasi yang efektif. Dalam hal ini, Perhatian khusus harus diberikan
untuk sinkronisasi informasi melalui alat dan teknologi.

Pengambilan keputusan yang efektif terbukti ketika peserta EMAC dalam hal ini
negara yang mengalami bencana yang relevan menerima informasi tepat waktu dan
akurat untuk dianalisis dan disaring sebagai bahan dasar mengambil keputusan
utama.

Didistribusikan pengambilan keputusan merupakan faktor kedua yang


mempengaruhi proses pengambilan keputusan, dan bila memungkinkan dilakukan
dialog terbuka. Ketika hal seperti itu tidak memungkinkan, maka
interoperabilitaslah yng menjadi fokus utama.

Diharapkan peran dari EMAC sendiri untuk membangun kepercayaan antar


lembaga atau negara tidak hanya selama dan setelah bencana, tetapi juga di masa
rutin akan menjadi langkah positif terhadap pembentukan mental kerjasama yang
solid dengan nilai-nilai tertentu dan mengatasi perbedaan yang timbul dari
berbagai nilai-nilai dan tujuan organisasi. Dialog yang terbuka dan jujur dalam
pertukaran ide adalah tujuan akhir dari tujuannya yang akan memfasilitasi
koordinasi dan meningkatkan kolaborasi

selama pengambilan keputusan proses tanggap darurat.

3.5.2 C Ozge Karadag and A Kerim Hakan, 2012. Etichal Dilemmas In Disaster
Medicine. Iranian Red Crescent Medical Journal
20

Jurnal ini meninjau kembali beberapa dilema etika yang timbul pada kondisi
bencana alam dan terutama berfokus pada pelayanan kesehatan.
Bencana alam sangat bervariasi sesuai waktu dan tempat, leh karena itu,
pertanyaan etis mungkin tidak selalu memiliki jawaban yang sesuai dengan
kondisi bencana. Di sisi lain, menanamkan nilai etika dan prinsip-prinsip dalam
semua aspek perawatan bencana merupaka hal yang sangat penting. Dalam hal
ini perlu adanya kegiatan meninjau ulang peraturan hukum dan organisasi,
mengembangkan pedoman perawatan kesehatan terkait, rencana pemulihan
bencana, serta mendirikan komite etika yang memadai dalam pelatihan pelayanan
petugas kesehatan dengan kompetensi beretika menjadi salah satu dari tahap yang
paling penting ketika fase pra bencana sehingga tantangan yang menyangkut etika
dalam penanganan bencana dapat diminimalkan.
Beberapa dilema etis yang sering terjadi dalam penanganan bencana antara lain
sebagai berikut:
3.5.2.1 Triage, sebagai langkah yang paling penting, Menurut WMA tentang
Etika Medis di Kegiatan Bencana (1994); "Dalam memilih penderita
yang bisa diselamatkan, tenaga medis harus mempertimbangkan hanya
keadaan medis mereka, dan harus mengecualikan setiap pertimbangan
lain yang berdasarkan kriteria bukan medis.
3.5.2.2 Informed consent, yang sering digunakan dari praktek medis sehari-hari,
adalah etik terpenting dalam bencana alam. WMA dalam Deklarasi
Lisbon Hak Pasien (1981) menyatakan bahwa "Jika pasien tidak sadar
atau tidak mampu untuk mengekspresikan / nya kemauannya, informed
consent harus diperoleh jika bilamana memungkinkan, dari seorang
wakil secara hukum yang mempunyai hak.
3.5.2.3 Media memainkan peran terpenting dalam penyebaran informasi bagi
masyarakat umum dan korban bencana. Selain itu,media menerima lebih
banyak perhatian; Namun, media berita dapat mengganggu kehidupan
pribadi korban. Dalam Kode Etik Palang Merah Internasional dan
Gerakan Bulan Sabit Merah dan LSM dalam Penanggulangan Bencana.
keringanan (1995); dinyatakan bahwa dalam kegiatan informasi,
publikasi dan kampanye, para korban bencana harus diakui sebagai
manusia yang bermartabat, tapi bukan sebagai objek.
21

3.5.2.4 Kerahasiaan, pernyataan WMA tentang Etika Medis di Kegiatan


Bencana (1994) menyatakan bahwa anggota medis memiliki kewajiban
untuk setiap pasien untuk menjamin kerahasiaan ketika berhadapan
dengan pihak ketiga.
3.5.2.5 Kebutuhan korban, WMA tentang Etika Medis di Kegiatan Bencana
(1994) menyatakan bahwa dalam periode pasca bencana, kebutuhan para
korban yang selamat harus diperhatikan. Beberapa mungkin telah
kehilangan anggota keluarga dan mungkin mengalami tekanan
psikologis. Harkat martabat korban yang selamat beserta keluarganya
harus tetap dihormati. Peran Serta masyarakat untuk menanggapi
bencana alam tidak hanya membantu untuk menentukan prioritas
kebutuhan serta intervensi sesuai dengan budaya bagi masyarakat
terkena bencana,tetapi juga membantu agar secara aktif terlibat
masyarakat untuk bekerja untuk melakukan rehabilitasi dan
pemberdayaan masyarakat mereka sendiri.
3.5.2.6 Euthanasia, sama seperti dalam praktek medis sehari-hari, mungkin ada
keadaan bencana yang beberapa pasien terluka parah meminta
euthanasia. Perlu ditekankan bahwa hari ini, eutanasia dilarang dalam
hukum internasional publik serta sebagian kode medis etik di seluruh
dunia. Larangan ini juga telah disajikan kembali oleh WMA dalam
Deklarasi pada Euthanasia (1987), yang menyatakan bahwa perbuatan
itu tidak etis.
22

3.5.3 Spits dkk, Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2009. Sistem
Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan
Gempa Bumi Di Indonesia
Dalam pembahasaan dalam karya ilmiah membahas tentang skenario sistem
pengambilan keputusan untuk penanggulangan keputusan untuk penanggulan
bencana alam gempa bumi

Sistem informasi Sistem informasi Sumber Nasional


Kesehatan Nasional provinsi terdekat
Nasional Demography

SOS
Pertama
Data History
Sistem
Gempa
Pengambilan Tingkat dan Status
Internasional Warg
keputusan Bencana
a
Penanggulangan
Data History Bencana alam
Gempa Nasional Gempa Bumi

Sistem
Peringatan
BMG Prediksi
Dini
Gempa
Dunia
Internasional

Pada Gambar diatas dijelaskan bagaiamana sistem pengambilan keputusan untuk


untuk penanggulangan bencana alam gempa bumi akan dijalankan
a. Sistem Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa
Bumi akan mendapatkan peringatan sesuai dengan keluaran dari sistem
peringatan dini dari BMG prediksi gempa. Peringatan akan diberikan oleh
BMG berdasarkan gempa yang beresiko besar, yang mempunyai skala righter
yang tinggi atau gempa yang akan menghantam lokasi-lokasi strategis dan
berpenduduk banyak.
b. Berdasarkan prediksi gempa BMG, Sistem Pengambilan Keputusan untuk
penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan mendapatkan data-data dari
23

histori gempa bumi di Indonesia dan internasional dan membuat perbandingan.


Berdasarkan informasi tersebut dan perbandingannya maka Sistem
Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi
akan memberikan prediksi status dan tingkatan bencana. Sistem Pengambilan
Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan
memprediksi beberapa hal pertanyaan berikut ini :
 Berapa banyak tenaga kesehatan nasional yang dibutuhkan ?
 Berapa banyak tenaga kesehatan internasional yang dibutuhkan ?
 Berapa banyak kira-kira korban meninggal dunia berdasarkan data-data
lampau ?
 Berapa banyak kira-kira korban luka-luka berdasarkan data-data lampau ?
 Berapa banyak tenaga sukarela nasional yang dibutuhkan ?
 Berapa banyak tenaga sukarela internasional yang dibutuhkan ?
 Berapa tenda-tenda yang dibutuhkan ?
 Berapa banyak lokasi pengungsian yang dibutuhkan untuk menghindarkan
kepadatan pengungsi dalam sebuah lokasi ?
 Lokasi mana yang strategis sebagai tempat pengungsian ?
 Berapa banyak tempat sanitasi yang harus dibangun ?
 Berapa banyak tempat dapur umum yang harus dibangun?
 Berapa banyak kilogram beras yang harus disediakan ?
 Sumber-sumber makanan mana dan yang terdekat yang dapat diakses ?
 Berapa banyak makanan bayi yang harus disediakan ?
 Berapa banyak selimut yang harus disediakan ?
 Berapa total biaya yang dibutuhkan ?
 Perkiraan total kerugian dan kerusakan dalam satuan angka bangunan ?
 Perkiraan total kerugian dan kerusakan dalam satuan mata uang ?
c. Berdasarkan prediksi gempa BMG, Sistem Pengambilan Keputusan untuk
penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan mendapatkan informasi
mengenai prediksi jumlah masyarakat pada area gempa dari sistem informasi
demograpi nasional.
d. Berdasarkan prediksi gempa BMG, Sistem Pengambilan Keputusan untuk
penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan mendapatkan informasi
mengenai prediksi jumlah tenaga kesehatan pada area gempa dari sistem
24

informasi kesehatan nasional. Berdasarkan data standar nasional penanganan


maksimal warga untuk setiap tenaga kesehatan pada waktu bencana yang
dikeluarkan oleh sistem informasi kesehatan nasional. Tenaga kesehatan yang
dibutuhkan akan didapatkan dari jumlah warga pada area gempa (W) dan dibagi
dengan standar nasional maksimal penanganan warga per setiap tenaga
kesehatan pada waktu bencana. Untuk kepentingan rumus maka Sn = standar
nasional maksimal penanganan warga per setiap tenaga kesehatan pada waktu
bencana, Tk= Tenaga kesehatan yang dibutuhkan dan Jtk=Jumlahtenaga
kesehatan pada area gempa. Rumus : Tk = W / Sn (1)
e. Jika tenaga kesehatan yang dibutuhkan (Tk) lebih dari jumlah tenaga kesehatan
pada area gempa (Jtk) maka kekurangan tenaga kesehatan akan didapatkan
dengan mengurangkan tenaga kesehatan yang dibutuhkan(Tk) dengan jumlah
tenaga kesehatan pada area gempa(Jtk). Untuk kepentingan rumus maka
Ktk=Kekurangan tenaga kesehatan. Rumus: if (Tk>Jtk) Ktk = Tk -Jtk (2)
f. Jika Kekurangan tenaga kesehatan (Ktk) lebih dari 0 maka Sistem Pengambilan
Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan menyatakan
SOS pertama sebagai tanda permintaan untuk permintaan bantuan dari sumber
dan cadangan nasional, propinsi atau pemerintahan daerah yang terdekat
[Presiden 2008b] yang dapat membantu menyediakan tenaga kesehatan. Jumlah
tenaga kesehatan yang dapat disediakan pada waktu bencana dari setiap propinsi
dan kabupaten akan distandarisasikan di sistem informasi kesehatan nasional
yang dikelola oleh departemen kesehatan.
g. Setelah mendapatkan jumlah tenaga kesehatan yang dapat membantu dari
sumber dan cadangan nasional seperti propinsi dan pemerintahan daerah yang
terdekat dan jika masih saja minus maka Sistem Pengambilan Keputusan untuk
penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan mengirimkan SOS kedua
sebagai tandapermintaan bantuan kepada dunia internasional Seperti pada
bencana alam gempa bumi yang sudah-sudah, korban bertambah karena
pemerintah telat untuk menyatakan permintaan bantuan kepada dunia
internasional sebagai bentuk gengsi pemerintah untuk menadahkan tangan,
padahal rakyat sangat membutuhkan dan lagipula banyak dunia internasional
sudah terlebih awal menawarkan bantuan terlepas dari kepentingan masing-
masing organisasi internasional tersebut. Dengan membuat Sistem Pengambilan
Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi lebih jelas dan
25

terorganisasi maka akan membantu pemerintah untuk dapat cepat dan cakap
dalam membuat keputusan penanggulangan bencana alam gempa bumi
didukung oleh informasi dan data yang akurat dan dapat dipercaya. Semakin
lengkap data-data yang disediakan maka keakuratan informasi sebagai masukan
untuk membuat keputusan akan lebih terjamin.

Tulisan ini merupakan sebagian dari apa yang diamanatkan oleh undang-undang
dan peraturan pemerintah bahwa pada waktu tidak ada bencana maka riset dan
penelitian yang berhubungan dengan manajemen bencana dapat dilakukan untuk
mendukung manajemen bencana [Presiden 2008b]. Sulit dilakukan implementasi
jika tidak adanya dukungan dan keinginan pemerintah untuk melaksanakannya dan
pemerintah yang bersih, transparansi dan bertanggung jawab akan sangat besar
pengaruhnya.
Penelitian untuk bencana-bencana lainnya akan sangat dibutuhkan sebagai bagian
dari keseluruhan sistem manajemen bencana nasional. Simulasi dengan pendekatan
komputer game akan lebih meningkatkan minat dan nilai tambah untuk Sistem
Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi
didalam mendidik pembuat keputusan, para peneliti dan warganya.
26

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pengambilan keputusan (desicion making) adalah melakukan penilaian dan menjatuhkan
pilihan. Keputusan ini diambil setelah melalui beberapa perhitungan dan pertimbangan
alternatif. Sebelum pilihan dijatuhkan, ada beberapa tahap yang mungkin akan dilalui
oleh pembuat keputusan. Tahapan tersebut bisa saja meliputi identifikasi masalah utama,
menyusun alternatif yang akan dipilih dan sampai pada pengambilan keputusan yang
terbaik.
Pengambilan keputusan dengan legal etik adalah cara mengambil keputusan dari suatu
permasalahan yang disesuaikan dengan keabsahan suatu tata cara pengambilan
keputusan baik secara umum ataupun secara khusus tanpa merugikan orang lin dan
menjunjung martabat orang lain.
Dalam keadaan emergensi khususnya bencana kadang sering tejadi dilema etik dalam
pengambilan keputusan penanganan bencana seperti contohnya mengenai triage dan
inform consent. Untuk mencegah dan mengatasi konflik biasanya digunakan etika dan
norma hukum yang mempunyai tolok ukur masing-masing. Oleh karena itu dalam
praktik harus diterapkan dalam dimensi yang sesuai dengan kondisi pada sat bencana.
27

Dalam hal ini juga perlu adanya dukungan dari pemerintah ataupun lembaga profesi
terkait dalam bentuk peraturan dengan aspek legal yang melandasi etika pengambilan
keputusan penanganan bencana sehingga menjadi acuan manajemen penangan bencana.
Peran perawat walaupun tidak secara langsung mengambil bagian besar dalam
pengambilan keputusan penanganan bencana akan tetapi memiliki tanggung jawab moral
terhadap keputusan pemberian asuhan keperawatan secara mandiri kepada pasien, oleh
itu seorang perawat harus mampu berperan sebagai leader dan mengambil keputusan
yang tepat sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

4.2 Saran
Sebagai perawat yang terjun kelapangan dengan kondisi emergensi ataupun bencana
diharapkan mampu berpikir kritis dalam menganalisis permasalahan, menerapkan asuhan
keperawatann yang cepat, tepat dan akurat. Oleh karena itu perawatan harus dibekali
dengan pengetahuan yang tidak hanya bersifat keperawatan tetapi juga berwawasan
global, humanistik, beretika serta skills yang mumpuni guna sebagai bekal pengambilan
keputusan yang tepat sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

You might also like