Professional Documents
Culture Documents
Wa0002
Wa0002
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam penanggulan korban bencana sendiri merupakan proses yang harus segera
dilakukan agar korban dapat ditolong secepat mungkin. Kemampuan pengambilan
keputusan yang tepat dan akurat sangat diperlukan bagi tenaga paramedis untuk
dapat menyelamatkan pasien yang dihadapi. Pola- pola perilaku pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh tenaga paramedis ini melibatkan aspek-aspek fisik
maupun psikis yang sangat besar, mengandung resiko yang cukup tinggi antara
keselamatan dan kematian dari pasien yang sedang dihadapi.
BAB II
KONSEP TEORI
Perawat dianggap bertanggung jawab terhadap perilaku etik mereka. Sehingga perawat
perlu memahami nilai mereka sendiri berkaitan dengan tanggung jawab dan tanggung
gugat dalam suatu keputusan etik yang diambil. Praktik keperawatan diatur oleh kode etik
keperawatan yang merupakan standart atau prinsip etik yang mencerminkan penilaian
moral terhadap tindakan keperawatan yang dilakukan. Kode etik di tujukan untuk
menginformasikan kepada masyarakat mengenai standart profesi dan membatu
masyarakatmemahami perilaku profesional, memberi komitmen, memberi garis besar perti
mbangan etik, memberi pedoman perilaku profesional, dan sebagai panduan profesi dalam
pengaturan diri. Dengan demikian perawat di harapkan terhindar dari masalah etik yang
sering terjadi dalam pelaksanaan praktik keperawatan. (Blais, 2007; Masruroh, 2014).
2.1.1 Bioetik
Bioetik merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang kontroversi dalam etik,
menyangkut masalah biologi dan pengobatan. Lebih lanjut, bioetik difokuskan pada
pertanyaan etik yang muncul tentang hubungan antara ilmu kehidupan, bioteknologi,
pengobatan, politik, hukum, dan theology.
Pada lingkup yang lebih sempit, bioetik merupakan evaluasi etik pada moralitas
treatment atau inovasi teknologi, dan waktu pelaksanaan pengobatan pada manusia.
Pada lingkup yang lebih luas, bioetik mengevaluasi pada semua tindakan moral yang
mungkin membantu atau bahkan membahayakan kemampuan organisme terhadap
perasaan takut dan nyeri, yang meliputi semua tindakan yang berhubungan dengan
pengobatan dan biologi. Isu dalam bioetik antara lain : peningkatan mutu genetik,
etika lingkungan, pemberian pelayanan kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa bioetik
lebih berfokus pada dilema yang menyangkut perawatan kesehatan modern, aplikasi
teori etik dan prinsip etik terhadap masalah-masalah pelayanan kesehatan.
2.2.1 Clinical ethics/Etik klinik
Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada masalah
etik selama pemberian pelayanan pada klien. Contoh clinical ethics : adanya
persetujuan atau penolakan, dan bagaimana seseorang sebaiknya merespon
permintaan medis yang kurang bermanfaat (sia-sia).
2.2.2 Nursing ethics/Etik Perawatan
Bagian dari bioetik, yang merupakan studi formal tentang isu etik dan
dikembangkan dalam tindakan keperawatan serta dianalisis untuk mendapatkan
keputusan etik.
2.4 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Dalam Pengambilan Keputusan Etis (Amelia, 2013):
2.4.1 Tingkat Pendidikan
8
Agama serta latar belakang adat istiadat merupakan faktor utama dalam membuat
keputusan etis. Setiap perawat disarankan memahami nilai yang diyakini maupun
kaidah agama yang dianutnya. Untuk memahami ini dibutuhkan proses. Semakin
tua seseorang akan semakin banyak pengalaman dan belajar, mereka akan lebih
mengennal siapa dirinya dan nilai yang dimilikinya.
Selain faktor agama, faktor adat istiadat juga berpengaruh pada seseorang dalam
pembuatan keputusan etik. Kaitan adat istiadat dan implikasi dalam keperawatan
sampai saat ini belum tergali jelas di Indonesia.Faktor adat istiadat yang dimiliki
perawat atau pasien sangat berpengaruh terhadap pembuatan keputusan etik.
9
Pada abad ke-20 ini, manusia telah berhasil mencapai tingkatan pengetahuan dan
teknologi yang meliputi berbagai bidang. Manusia telah menjelajahi ruang
angkasa dan mendarat di beberapa planet selain bumi. Sistem komunikasi anatara
negara dapat dilaksanakan secara langsung dan tempat yang jaraknya ribuan
kilometer.
Saat ini, aspek legislasi dan bentuk keputusan yuridis tentang masalah etik
kesehatan sedang menjadi topik yang banyak dibicarakan. Hukum kesehatan telah
menjadi suatu bidang ilmu dan perundang-undangan baru yang banyak disusun
untuk menyempurnakan perundang-undangan lama atau untuk mengantisipasi
perkembangan masalah hukum kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan undang-
undang praktik keperawatan dan keputusan menteri kesehatan yang mengatur
registrasi dan praktik perawat.
Perubahan sosial dan legislasi secara konstan saling berkaitan. Setiap perubahan
sosial atau legislasi menyebabkan timbulnya suatu tindakan yang merupakan reaksi
perubahan tersebut. Legislasi merupakan jaminan tindakan menuntut hukum
sehingga orang yang bertindak tidak sesuai hukum dapat menimbulkan suatu
konflik.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasal 23
(1) Penentuan status keadaan darurat bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
huruf b dilaksanakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
tingkatan bencana.
(2) Penentuan status keadaan darurat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
tingkat nasional ditetapkan oleh Presiden, tingkat provinsi oleh gubernur, dan tingkat
kabupaten/kota oleh bupati/walikota.
Pasal 24
Pada saat status keadaan darurat bencana ditetapkan, BNPB dan BPBD mempunyai
kemudahan akses di bidang:
a. pengerahan sumber daya manusia;
12
b. pengerahan peralatan;
c. pengerahan logistik;
d. imigrasi, cukai, dan karantina;
e. perizinan;
f. pengadaan barang/jasa;
g. pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang;
h. penyelamatan; dan
i. komando untuk memerintahkan instansi/lembaga.
Pasal 25
(1) Pada saat keadaan darurat bencana, Kepala BNPB dan kepala BPBD berwenang
mengerahkan sumber daya manusia, peralatan, dan logistik dari instansi/lembaga dan
masyarakat untuk melakukan tanggap darurat.
Pasal 46
(2) Untuk memudahkan penyelamatan korban bencana dan harta benda, Kepala BNPB
dan/atau kepala BPBD mempunyai kewenangan:
a. menyingkirkan dan/atau memusnahkan barang atau benda di lokasi bencana yang
b. dapat membahayakan jiwa;
c. menyingkirkan dan/atau memusnahkan barang atau benda yang dapat
d. mengganggu proses penyelamatan;
e. memerintahkan orang untuk keluar dari suatu lokasi atau melarang orang untuk
f. memasuki suatu
g. lokasi;
h. mengisolasi atau menutup suatu lokasi baik milik publik maupun pribadi; dan
i. memerintahkan kepada pimpinan instansi/lembaga terkait untuk mematikan aliran
j. listrik, gas, atau menutup/membuka pintu air.
(3) Pencarian dan pertolongan terhadap korban bencana dihentikan jika:
a. seluruh korban telah ditemukan, ditolong, dan dievakuasi; atau
b. setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak dimulainya operasi pencarian, tidak ada
tandatanda korban akan ditemukan.
(4) Penghentian pencarian dan pertolongan terhadap korban bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat dibuka kembali dengan pertimbangan adanya
informasi baru mengenai indikasi keberadaan korban bencana.
Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakekat suatu
masalah dengan pengumpulan fakta-fakta dan data, menentukan alternatif yang matang
untuk mengambil suatu tindakan yang tepat.
Ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan (Kusnadi, 2004):
3.2.1 Dalam proses pengambilan keputusan tidak terjadi secara kebetulan.
3.2.2 Pengambilan keputusan tidak dilakukan secara sembrono tapi harus berdasarkan
pada sistematika tertentu :
Tersedianya sumber-sumber untuk melaksanakan keputusan yang akan
diambil.
Kualifikasi tenaga kerja yang tersedia
Falsafah yang dianut organisasi.
Situasi lingkungan internal dan eksternal yang akan mempengaruhi
administrasi dan manajemen di dalam organisasi.
3.2.3 Masalah harus diketahui dengan jelas.
3.2.4 Pemecahan masalah harus didasarkan pada fakta-fakta yang terkumpul dengan
sistematis.
3.2.5 Keputusan yang baik adalah keputusan yang telah dipilih dari berbagai alternatif
yang telah dianalisa secara matang.
Apabila pengambilan keputusan tidak didasarkan pada kelima hal diatas, akan
menimbulkan berbagai masalah :
Tidak tepatnya keputusan.
Tidak terlaksananya keputusan karena tidak sesuai dengan kemampuan organisasi baik
dari segi manusia, uang maupun material.
Ketidakmampuan pelaksana untuk bekerja karena tidak ada sinkronisasi antara
kepentingan organisasi dengan orang-orang di dalam organisasi tersebut.
Timbulnya penolakan terhadap keputusan.
Sikap atau watak berfikir kritis dalam mengambil keputusan dapat ditingkatkan dengan
memantapkan secara positif dan memotivasi lingkungan kerja khususnya bidang
keperawatan. Kreativitas penting untuk membangkitkan motivasi secara individu ataupun
sehingga mampu memberikan konsep baru dengan pendekatan inovatif dalam
memecahkan masalah atau isu secara fleksibel. Keterbukaan menerima kritik akan
14
and observation.”
Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi pasien
diselenggarakanlah triage.Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal adalah
dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat dikerjakan oleh perawat melalui
standing order yang disusun rumah sakit.
Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah
sakit dengan fase di rumah sakit. Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat
berbeda, di mana pada fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula
orang awam, sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga
kesehatan, khususnya tenaga medis dan perawat. Kewenangan dan tanggungjawab
tenaga kesehatan dan orang awam tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan dan
ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit sangat menentukan survivabilitas pasien.
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-
undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan
dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik
menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien
dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang
dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah:
1. Kesukarelaan pihak penolong.
Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong
untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik
biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku.
2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang
dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan
trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong.
Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan
karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi
maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi
penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut
dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan
situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan
perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi
dan kondisi yang sama pula. Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari
pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992
16
Pasal 30
17
(1) Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya
kesehatan perorangan, Perawat berwenang:
a. melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik;
b. menetapkan diagnosis Keperawatan;
c. merencanakan tindakan Keperawatan;
d. melaksanakan tindakan Keperawatan;
e. mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan;
f. melakukan rujukan;
g. memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan
kompetensi;
h. memberikan konsultasi Keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter;
i. melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling; dan
j. melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep
tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas.
Pasal 35
(1) Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, Perawat
dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai dengan
kompetensinya.
(2) Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa klien dan mencegah kecacatan lebih lanjut.
(3) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan
yang mengancam nyawa atau kecacatan Klien.
(4) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Perawat sesuai
dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Dari uraian undang-undang diatas maka dapat disimpulkan bahwa perawat mempunyai
tanggung jawab untuk mengambil keputusan dalam keadaan gawat darurat termasuk
dalam hal ini dalam kondisi bencana dalam lingkut keperawatan secara mandiri dengan
etika yang berlaku yaitu melaksanakan tugas praktik keperawatan sesuai dengan standar
profesi sesuai dengan hak dan wewenang dan menjunjung hak-hak pasien.
18
Pengambilan keputusan yang bersinggungan dengan etika pada saat bencana biasanya
erat kaitannya ketika melakukan skrening korban dengan menggunakan sistem triage di
lapangan, karena tidak dapat mendahulukan korban dengan keadaan yang lebih parah
namun hal ini sesuai dengan Pedoman Penanggulan Masalah Kesehatan Akibat
Kedaruratan Kompleks oleh DepKes RI Tahun 2001 menjelaskan bahwa dalam
manajemen penanggulangan korban masal :
Pada tahap pencarian dan penyelamatan korban dilakukan triase dan pemetaan. Triase
bertujuan untuk melakukan seleksi korban berdasarkan tingkat kegawat daruratan untuk
memberikan prioritas pertolongan. Upaya yang dilakukan dalam penanganan korban
adalah untuk menyelamatkan korban sebanyak-banyaknya sehingga diharapkan angka
morbiditas dan mortalitas rendah.
yang utama untuk mengerti tentang kontek dari manajemen emergensi itu sendiri.
Hal ini dikarenakan faktanya dalam manajemen emergensi mempunyai
karakteristik yang kompleks, bersifat darurat dan tidak menentu. Pemahaman ini
sangat penting untuk organisasi yang perpartisipasi dalam penanganan yang
bersifat emergenci walaupun perannya kecil dalam mengambil keputusan.
Pengambilan keputusan yang efektif terbukti ketika peserta EMAC dalam hal ini
negara yang mengalami bencana yang relevan menerima informasi tepat waktu dan
akurat untuk dianalisis dan disaring sebagai bahan dasar mengambil keputusan
utama.
3.5.2 C Ozge Karadag and A Kerim Hakan, 2012. Etichal Dilemmas In Disaster
Medicine. Iranian Red Crescent Medical Journal
20
Jurnal ini meninjau kembali beberapa dilema etika yang timbul pada kondisi
bencana alam dan terutama berfokus pada pelayanan kesehatan.
Bencana alam sangat bervariasi sesuai waktu dan tempat, leh karena itu,
pertanyaan etis mungkin tidak selalu memiliki jawaban yang sesuai dengan
kondisi bencana. Di sisi lain, menanamkan nilai etika dan prinsip-prinsip dalam
semua aspek perawatan bencana merupaka hal yang sangat penting. Dalam hal
ini perlu adanya kegiatan meninjau ulang peraturan hukum dan organisasi,
mengembangkan pedoman perawatan kesehatan terkait, rencana pemulihan
bencana, serta mendirikan komite etika yang memadai dalam pelatihan pelayanan
petugas kesehatan dengan kompetensi beretika menjadi salah satu dari tahap yang
paling penting ketika fase pra bencana sehingga tantangan yang menyangkut etika
dalam penanganan bencana dapat diminimalkan.
Beberapa dilema etis yang sering terjadi dalam penanganan bencana antara lain
sebagai berikut:
3.5.2.1 Triage, sebagai langkah yang paling penting, Menurut WMA tentang
Etika Medis di Kegiatan Bencana (1994); "Dalam memilih penderita
yang bisa diselamatkan, tenaga medis harus mempertimbangkan hanya
keadaan medis mereka, dan harus mengecualikan setiap pertimbangan
lain yang berdasarkan kriteria bukan medis.
3.5.2.2 Informed consent, yang sering digunakan dari praktek medis sehari-hari,
adalah etik terpenting dalam bencana alam. WMA dalam Deklarasi
Lisbon Hak Pasien (1981) menyatakan bahwa "Jika pasien tidak sadar
atau tidak mampu untuk mengekspresikan / nya kemauannya, informed
consent harus diperoleh jika bilamana memungkinkan, dari seorang
wakil secara hukum yang mempunyai hak.
3.5.2.3 Media memainkan peran terpenting dalam penyebaran informasi bagi
masyarakat umum dan korban bencana. Selain itu,media menerima lebih
banyak perhatian; Namun, media berita dapat mengganggu kehidupan
pribadi korban. Dalam Kode Etik Palang Merah Internasional dan
Gerakan Bulan Sabit Merah dan LSM dalam Penanggulangan Bencana.
keringanan (1995); dinyatakan bahwa dalam kegiatan informasi,
publikasi dan kampanye, para korban bencana harus diakui sebagai
manusia yang bermartabat, tapi bukan sebagai objek.
21
3.5.3 Spits dkk, Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2009. Sistem
Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi akan
Gempa Bumi Di Indonesia
Dalam pembahasaan dalam karya ilmiah membahas tentang skenario sistem
pengambilan keputusan untuk penanggulangan keputusan untuk penanggulan
bencana alam gempa bumi
SOS
Pertama
Data History
Sistem
Gempa
Pengambilan Tingkat dan Status
Internasional Warg
keputusan Bencana
a
Penanggulangan
Data History Bencana alam
Gempa Nasional Gempa Bumi
Sistem
Peringatan
BMG Prediksi
Dini
Gempa
Dunia
Internasional
terorganisasi maka akan membantu pemerintah untuk dapat cepat dan cakap
dalam membuat keputusan penanggulangan bencana alam gempa bumi
didukung oleh informasi dan data yang akurat dan dapat dipercaya. Semakin
lengkap data-data yang disediakan maka keakuratan informasi sebagai masukan
untuk membuat keputusan akan lebih terjamin.
Tulisan ini merupakan sebagian dari apa yang diamanatkan oleh undang-undang
dan peraturan pemerintah bahwa pada waktu tidak ada bencana maka riset dan
penelitian yang berhubungan dengan manajemen bencana dapat dilakukan untuk
mendukung manajemen bencana [Presiden 2008b]. Sulit dilakukan implementasi
jika tidak adanya dukungan dan keinginan pemerintah untuk melaksanakannya dan
pemerintah yang bersih, transparansi dan bertanggung jawab akan sangat besar
pengaruhnya.
Penelitian untuk bencana-bencana lainnya akan sangat dibutuhkan sebagai bagian
dari keseluruhan sistem manajemen bencana nasional. Simulasi dengan pendekatan
komputer game akan lebih meningkatkan minat dan nilai tambah untuk Sistem
Pengambilan Keputusan untuk penanggulangan bencana alam Gempa Bumi
didalam mendidik pembuat keputusan, para peneliti dan warganya.
26
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pengambilan keputusan (desicion making) adalah melakukan penilaian dan menjatuhkan
pilihan. Keputusan ini diambil setelah melalui beberapa perhitungan dan pertimbangan
alternatif. Sebelum pilihan dijatuhkan, ada beberapa tahap yang mungkin akan dilalui
oleh pembuat keputusan. Tahapan tersebut bisa saja meliputi identifikasi masalah utama,
menyusun alternatif yang akan dipilih dan sampai pada pengambilan keputusan yang
terbaik.
Pengambilan keputusan dengan legal etik adalah cara mengambil keputusan dari suatu
permasalahan yang disesuaikan dengan keabsahan suatu tata cara pengambilan
keputusan baik secara umum ataupun secara khusus tanpa merugikan orang lin dan
menjunjung martabat orang lain.
Dalam keadaan emergensi khususnya bencana kadang sering tejadi dilema etik dalam
pengambilan keputusan penanganan bencana seperti contohnya mengenai triage dan
inform consent. Untuk mencegah dan mengatasi konflik biasanya digunakan etika dan
norma hukum yang mempunyai tolok ukur masing-masing. Oleh karena itu dalam
praktik harus diterapkan dalam dimensi yang sesuai dengan kondisi pada sat bencana.
27
Dalam hal ini juga perlu adanya dukungan dari pemerintah ataupun lembaga profesi
terkait dalam bentuk peraturan dengan aspek legal yang melandasi etika pengambilan
keputusan penanganan bencana sehingga menjadi acuan manajemen penangan bencana.
Peran perawat walaupun tidak secara langsung mengambil bagian besar dalam
pengambilan keputusan penanganan bencana akan tetapi memiliki tanggung jawab moral
terhadap keputusan pemberian asuhan keperawatan secara mandiri kepada pasien, oleh
itu seorang perawat harus mampu berperan sebagai leader dan mengambil keputusan
yang tepat sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
4.2 Saran
Sebagai perawat yang terjun kelapangan dengan kondisi emergensi ataupun bencana
diharapkan mampu berpikir kritis dalam menganalisis permasalahan, menerapkan asuhan
keperawatann yang cepat, tepat dan akurat. Oleh karena itu perawatan harus dibekali
dengan pengetahuan yang tidak hanya bersifat keperawatan tetapi juga berwawasan
global, humanistik, beretika serta skills yang mumpuni guna sebagai bekal pengambilan
keputusan yang tepat sesuai dengan kondisi yang dihadapi.