You are on page 1of 28

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

PENGOLAHAN FESES SAPI PERAH DAN JERAMI PADI SECARA


TERPADU MENJADI POC, FEED ADDITIVE, BIOGAS, DAN
VERMICOMPOSTING

Disusun oleh :

Raka Rahmatulloh

200110130415

Kelas H

Kelompok 2

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI DAN PENANGANAN LIMBAH


PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Illahi Rabbi, Allah SWT., karena atas
berkat izin-Nya lah saya dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta Salam
semoga selalu tercurahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW beserta
seluruh keluarga, sahabat, dan ummatnya hingga akhir zaman.

Penulisan laporan akhir mata kuliah Pengelolaan Limbah Peternakan ini


tentunya melibatkan kerjasama dari berbagai pihak, yaitu Lab. Mikrobiologi dan
Penanganan Limbah Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran,
kelompok 2, dan tak lupa ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada dosen
pengampu MK. Pengelolaan Limbah Peternakan ini, yaitu Deden Zamzam
Badruzzaman, S.Pt., M.Si.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan akhir ini masih terdapat
banyak kekurangan baik dalam hal subtansi maupun format penulisan. Oleh
karena itu, saya menerima kritik dan saran untuk memberikan masukan demi
perbaikan laporan praktikum ini kedepannya. Terimakasih bagi para pembaca
yang telah meluangkan waktu untuk membaca laporan praktikum ini.

Sumedang, 26 November 2015

Penyusun
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Limbah merupakan sisa proses produksi atau bahan yang tidak mempunyai
nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembuatan atau
pemakaian. Apabila limbah tidak diolah, maka akan menimbulkan dampak negatif
seperti membahayakan kesehatan manusia, merugikan secara ekonomi,
mengganggu kehidupan aquatik, merusak estetika, bau busuk, dan merusak
pemandangan. Limbah yang sudah diolah dengan baik maka akan menyuburkan
hara tanah dan mikroflora.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka upaya mengatasi limbah ternak yang
selama ini dianggap mengganggu karena menjadi sumber pencemaran lingkungan,
perlu ditangani dengan metode yang tepat. Pengolahan yang dilakukan adalah
pengolahan terpadu, artinya dari satu macam pengolahan dapat dilakukan
pengolahan lain menggunakan substrat atau bahan yang telah terpakai. Manfaat
dari pengolahan limbah secara terpadu ini memberi manfaat berupa keuntungan
ekonomis yang bisa didapatkan lebih dari satu macam pengolahan, selain itu
substrat atau bahan yang biasanya tidak terpakai, dapat digunakan sehingga
meminimalisasi adanya limbah yang terbuang dan membuktikan bahwa usaha
peternakan bisa "zero waste".
Feses merupakan salahsatu limbah ternak yang bisa dimanfaatkan menjadi
produk lain. Feses yang digunakan biasanya feses yang berasal dari sapi perah.
Feses sapi perah segar tidak bisa langsung diaplikasikan ke lahan, sebab N dalam
feses tersebut masih sangat tinggi hingga akan melayukan tanaman, selain itu
feses tersebut dalam proses fermentasinya akan mengeluarkan gas methan dan
ammonia yang bisa meracuni akar tanaman. Panas dari proses proses fermentasi
itu pun juga akan berdampak ke rusaknya perakaran.
Pengolahan secara terpadu ini dapat menghasilkan hasil yang sekaligus
karena substrat atau bahan yang digunakan sama setiap pengolahan. Substrat
tersebut masih memiliki kandungan nutrisi dan zat-zat yang bisa dimanfaatkan
dalam proses pengolahan lainnya.
1.2 Tujuan
Tujuan praktikum adalah untuk mengetahui :
1. Proses pembuatan Pupuk Organik Cair.
2. Proses pembuatan Feed Additive.
3. Proses pembuatan Biogas.
4. Proses pembuatan Vermicompost.
II
KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Pupuk Organik Cair


Pupuk organik merupakan salahsatu bahan yang sangat penting dalam
upaya memperbaiki kesuburan tanah secara aman, dalam arti produk pertanian
yang dihasilkan terbebas dari bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan
manusia sehingga aman untuk dikonsumsi. (Pranata, 2004).
Pupuk organik juga merupakan pupuk dengan bahan dasar yang diambil
dari alam dengan jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung secara alami.
(Pranata, 2004). Pupuk organik cair adalah larutan yang dihasilkan dari
pembusukan bahan organik yang berasal dari sisa tanaman dan feses ternak
kemudian terjadi proses dekomposisi yang hasilnya berbentuk dekomposan. Dari
dekomposan tersebut akan menghasilkan energi atau biomassa dari aktivitas
mikroorganisme, khususnya kapang. Dari biomasa mikroorganisme tersebut yang
kemudian akan dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair.
Pupuk cair merupakan jenis pupuk yang berbentuk cair tidak padat yang
mudah sekali larut pada tanah dan membawa unsur-unsur penting guna kesuburan
tanah, dapat memberikan hara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman pada tanah.
Karena bentuknya yang cair, maka jika terjadi kelebihan kapasitas pupuk pada
tanah, maka dengan sendirinya tanaman akan mudah mengatur penyerapan
kompoisisi pupuk yang dibutuhkan. (Suriadikarta, 2006).
Pupuk organik cair biasanya diaplikasikan melalui daun atau disebut
pupuk cair foliar yang mengandung hara makro dan mikro esensial (N, P, K, S,
Ca, Mg, B, Mo, Cu, Fe, Mn, dan bahan organik). Pupuk organik cair selain dapat
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, juga membantu meningkatkan
produksi tanaman, meningkatkan kualitas produk tanaman, dan mengurangi
penggunaan pupuk anorganik. Adapun beberapa kelebihan dan manfaat pupuk
organik cair, yaitu mendorong dan meningkatkan pembentuka klorofil daun,
meningkatkan vigor tanaman sehingga menjadi lebih kokoh dan kuat,
meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan, dll. (Suriadikarta, 2006).
Suriadikarta (2006) menyatakan bahwa pemberian pupuk organik cair
yang dihasilkan dari sisa tanaman dan feses hewan ternak harus memperhatikan
konsentrasi atau dosis yang diaplikasikan terhadap tanaman. Berdasarkan
beberapa hasil penelitian, menunjukkan bahwa pemberian POC melalui daun
memberikan pertumbuhan yang lebih baik daripada pemberian melalui tanah.
Pemberian POC harus melalui pemilihan dosis yang tepat. Pemilihan dosis ini
dapat diperoleh melalui pengujian-pengujian di lapangan.
2.2 Feed Additive
Feed additive merupakan bahan pakan tambahan yang diberikan kepada
ternak melalui pencampuran pakan ternak. Bahan tersebut merupakan pakan
pelengkap yang bukan zat makanan. Penambahan feed additive dalam pakan
bertujuan untuk mendapatkan pertumbuhan ternak yang optimal. (Wahju, 2004).
Ravindran (2012) menjelaskan bahwa feed additive dapat digolongkan
menjadi dua macam, yaitu nutritive feed additive dan non nutritive feed additive.
Nutritive feed additive ditambahkan ke dalam ransum untuk melengkapi atau
meningkatkan kandungan nutrien ransum. Non nutritive feed additive tidak
mempengaruhi kandungan nutrients ransum, kegunaannya tergantung pada
jenisnya, antara lain untuk meningkatkan palatabilitas (flavoring dan colorant),
pengawet pakan (antioksidan), penghambat mikroorganisme pathogen dan
meningkatkan kecernaan nutrien (antibiotik, probiotik, dan prebiotik), anti jamur,
dll.
Probiotik secara umum didefiniskan sebagai bahan yang mengandung
mikroorganisme yang menguntungkan yang apabila dimasukkan ke dalam sistem
pencernaan makhluk hidup tertentu akan berkembangbiak kemudian
menghasilkan enzim-enzim yang membantu proses pencernaan makhluk hidup
tersebut. Probiotik juga didefinisikan sebagai mikroba hidup yang digunakan
sebagai pakan imbuhan dan dapat menguntungkan inangnya dengan
meningkatkan keseimbangan mikrobial pencernaannya (Fuller, 1992).
Konsep tentang probiotik didasarkan pada terbentuknya kolonisasi
mikroba yang menguntungkan yang masuk ke dalam saluran pencernaan,
mencegah bakteri patogen, netralisasi racun pada saluran pencernaan, mengatur
aktivitas enzim bakteri tertentu, dan menguatkan pengaruh substansi yang
merangsang sintesis antibodi pada sistem kekebalan (Cruywagen et al, 1996).
Beberapa probiotik diketahui dapat menghasilkan enzim pencernaan
seperti amilase, protease, dan lipase yang dapat meningkatkan konsentrasi enzim
pencernaan pada saluran pencernaan inang sehingga dapat meningkatkan
perombakan nutrien.
Berbagai jenis mikroorganisme yang digunakan sebagai probiotik diisolasi
dari isi usus pencernaan, mulut, dan feses hewan ternak. Pada saat ini,
mikroorganisme yang banyak digunakan sebagai probiotik yaitu strain
Lactobacillus, Bifidobacterium, Bacillus, Streptococcus, Saccharomyces
cereviciae, dan yeast. Mikroorganisme tersebut harus nonpatogen, gram positif,
strain yang spesifik, anti E. Coli, tahan terhadap cairan empedu, hidup, melekat
pada mukosa usus, dan minimal mengandung 30×109 cfu/g. (Pal et al, 2006).
2.3 Biogas
Simamora (2006) menyatakan bahwa proses terjadinya biogas adalah
fermentasi anaerob bahan organik yang dilakukan oleh mikroorganisme sehingga
menghasilkan gas yang mudah terbakar (flammable). Secara kimia, reaksi yang
terjadi pada pembuatan biogas cukup panjang dan rumit, meliputi tahap hidrolisis,
tahap pengasaman, dan tahap metanogenik. Secara sederhana, biogas merupakan
gas-gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan organik kompleks
sederhana oleh mikroorganisme khususnya bakteri pada kondisi terkendali.
Setiawan (2008) menyatakan bahwa biogas yang terbentuk dapat dijadikan
bahan bakar karena mengandung gas metan (CH4) dalam persentase yang cukup
tinggi. Komposisi biogas diantaranya CH4 (54-70%), CO2 (27-45%), N2 (0,5-
3%), O2 (0,1%), dan H2S (<0,1%).
Simamora (2006) menjelaskan banyak faktor yang mempengaruhi
keberhasilan produksi biogas. Faktor pendukung untuk mempercepat proses
fermentasi adalah kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan bakteri
perombak. Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap produksi biogas, yaitu
Nisbah C/N (20-30, optimalnya 25), kadar air bahan organik (optimalnya 60-
78%), aktivitas mikroorganisme, pH (6,6-7,6), suhu (optimalnya 30-40%), dan
tidak mengandung bahan beracun.
Proses pembuatan biogas terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis
(hidrolisa substrat utama seperti karbohidrat, lemak, dan protein dalam limbah
ternak menjadi senyawa sederhana seperti asam asetat, alkohol, CO2, dan NH3,
bakteri yang berperan antara lain C. acteinum, B. ruminicola, Bifidobacterium sp,
Escherichia sp, dan Enterobacter sp), tahap acidogenesis-asetogenesis (bakteri
mengoksidasi asam berantai karbon panjang seperti asetat dan alkohol yang
dilakukan oleh Lactobacillus sp dan Streptococcus sp), dan tahap metanogenesis.
2.4 Vermicompost
Proses pengomposan ternyata dapat melibatkan hewan lain (organisme
makro) seperti cacing tanah yang bekerjasama dengan mikroba dalam proses
penguraian. Dalam hal ini, cacing memakan bahan organik yang tidak terurai,
mencampur bahan organik, dan membuat rongga-rongga aerasi. Kehadiran cacing
dapat mempercepat penghancuran bahan organik oleh mikroorganisme.
Penguraian oleh mikroorganisme disebut pengomposan atau composting,
sedangkan keterlibatan cacing (vermes) dalam proses pengomposan disebut
vermicomposting dan hasilnya disebut casting. (Indriani, 2001).
Vermicompost adalah kompos yang diperoleh dari hasil perombakan
bahan-bahan organik yang dilakukan oleh cacing tanah. Vermicompost merupakan
campuran kotoran cacing tanah dengan sisa media atau pakan dalam budidaya
cacing tanah (vermiculture). (Mashur, 2001). Vermicomposting sendiri berarti
proses penguraian bahan organik menjadi unsur hara oleh mikroorganisme
pengurai dan cacing tanah pada kondisi terkendali. Hasil penguraian tersbut
disebut vermicompost.
Keunggulan vermicompost diantaranya adalah mengandung berbagai
unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman seperti N, P, K, Ca, Mg, Fe, S, Mn, Al,
Na, Cu, Zn, Bo, dan Mo tergantung pada bahan yang digunakan, vermicompost
juga berperan memperbaiki kemampuan menahan air karena vermicompost
mempunyai kemampuan menahan air sebesar 40-60%. (Mashur, 2001).
Vermicompost mempunyai struktur remah sehingga dapat
mempertahankan kestabilan dan aerasi tanah. Vermicompost mengandung enzim
amilase, lipase, dan protease, serta selulase yang berfungsi dalam perombakan
bahan organik. Vermicompost juga dapat mencegah kehilangan tanah akibat aliran
permukaan. Persyaratan vermicomposting diantaranya adalah pemilihan jenis
cacing tanah, penyiapan media hidup dan pakan cacing tanah, wadah
vermicomposting, lokasi vermicomposting, dan pengendalian. (Mashur, 2001).
III
ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Pembuatan Dekomposisi Awal Bahan Organik (Dekomposisi Padat)
3.1.1.1 Alat
1. Timbangan
Fungsi : untuk menimbang bahan (feses dan jerami padi).
2. Terpal
Fungsi : sebagai tempat/alas pencampuran bahan.
3. Karung plastik
Fungsi : sebagai tempat penyimpan bahan campuran dalam proses
pembuatan dekomposisi awal bahan organik.
4. Tongkat Bambu
Fungsi : sebagai alat untuk memasukkan oksigen (O2) kedalam bahan
campuran.
5. Termometer
Fungsi : untuk mengukur suhu bahan campuran.
6. Karton
Fungsi : untuk menutupi bahan campuran agar mencegah penguapan
dan menahan panas tidak keluar dari tumpukan bagian atas.
7. Tali rafia
Fungsi : untuk mengikat karung yang telah berisi bahan campuran
(bahan organik kompleks).
3.1.1.2 Bahan
1. Feses Sapi Perah
Fungsi : sebagai bahan dasar dalam pembuatan dekomposisi awal bahan
organik.
2. Jerami Padi
Fungsi : sebagai bahan dasar dalam pembuatan dekomposisi awal bahan
organik.

3.1.2 Pengeringan Dekomposisi Awal Bahan Organik (Dekomposisi Padat)


3.1.2.1 Alat
1. Timbangan
Fungsi : untuk menimbang bahan campuran.
2. Bak kayu besar
Fungsi : sebagai tempat meletakkan bahan campuran yang akan
diproses dalam pembuatan POC.
3.1.2.2 Bahan
1. Bahan campuran (Hasil dekomposisi awal bahan organik)
Fungsi : sebagai bahan untuk pembuatan pupuk organik cair (POC).

3.1.3 Ekstraksi dan Filtrasi Hasil Dekomposisi Kering serta Pembuatan


Feed Additive
3.1.3.1 Alat
1. Garpu atau gacok kecil
Fungsi : untuk menekan bahan campuran dan air panas dalam proses
ekstraksi.
2. Baki
Fungsi : sebagai tempat meletakkan bahan campuran yang akan
diekstraksi.
3. Bak saringan
Fungsi : untuk menyaring bahan campuran+air panas sehingga
didapatkan hasil filtrasi (filtrat).
4. Baki penyimpanan
Fungsi : sebagai tempat penyimpanan filtrat cair yaitu pupuk organik
cair (POC).
5. Timbangan
Fungsi : untuk menimbang bahan.
6. Baskom/ember
Fungsi : sebagai tempat pembuatan feed additive.
7. Pengaduk
Fungsi : untuk mengaduk pupuk organik cair (POC) dan molases
hingga homogen.
8. Plastik penutup
Fungsi : untuk menutup ember (tempat pembuatan feed aditif) agar
terjadi fermentasi secara anaerob.
3.1.3.2 Bahan
1. Bahan campuran yang telah kering
Fungsi : sebagai bahan untuk pembuatan pupuk organik cair (POC) dan
feed additive.
2. Air panas
Fungsi : sebagai bahan pelarut dalam proses ekstraksi pembuatan pupuk
organik cair (POC).
3. Molases
Fungsi : sebagai bahan dalam pembuatan feed additive.

3.1.4 Pembuatan Biogas


3.1.4.1 Alat
1. Baki
Fungsi : sebagai tempat pembuatan campuran filtrat padat dan molases.
2. Digester
Fungsi : sebagai tempat / alat untuk pembuatan biogas.
3. Penampung gas (ban karet)
Fungsi : untuk menampung gas yang dihasilkan oleh digester yang
disalurkan melalui pipa penyalur / selang.
4. Timbangan
Fungsi : untuk menimbang bahan.
3.1.4.2 Bahan
1. Filtrat padat (hasil filtrasi)
Fungsi : sebagai bahan untuk pembuatan biogas.
2. Molases
Fungsi : sebagai bahan untuk pembuatan biogas.
3. Air
Fungsi : sebagai bahan pelarut untuk melarutkan molases.

3.1.5 Pembuatan Vermicomposting


3.1.5.1 Alat
1. Papan kayu ringan yang telah dilubangi
Fungsi : untuk menutupi permukaan baki pada pembuatan
vermicompost.
2. Baki
Fungsi : sebagai tempat/wadah untuk pembuatan vermicomposting.

3.1.5.2 Bahan
1. Cacing tanah yang berada didalam tanah
Fungsi : sebagai makhluk hidup yang menguraikan bahan organik
menjadi unsur hara.
2. Filtrat padat hasil filtrasi POC
Fungsi : sebagai bahan / media sekaligus pakan bagi cacing tanah.

3.1.6 Pengamatan Hasil Vermicomposting


3.1.6.1 Alat
1. Gelas ukur
Fungsi : sebagai wadah untuk meletakkan bahan.
3.1.6.2 Bahan
1. Kascing
Fungsi : sebagai produk dari proses vermicomposting.
2. Air
Fungsi : sebagai bahan pelarut kascing untuk pengujian hasil
vermicomposting yang berhasil.

3.2 Prosedur Kerja


3.2.1 Pembuatan Dekomposisi Awal Bahan Organik (Dekomposisi Padat)
1. Menimbang feses sapi perah sebanyak 14 kg dan jerami padi sebanyak
7 kg.
2. Mencampurkan feses sapi perah dan jerami padi yang telah ditimbang
dan mengaduknya diatas terpal sampai homogen.
3. Menyiapkan karung plastik yangmana pada bagian bawah/dasar karung
plastik tersebut telah diisi dengan potongan jerami padi kering sebanyak
1700 gram.
4. Menyusun bahan campuran yang telah homogen tersebut kedalam
karung plastik secara bertahap dan memastikannya hingga benar-benar
padat.
5. Memasukan oksigen (O2) dengan menggunakan tongkat bambu kedalam
susunan bahan campuran secara selapis demi selapis sampai karung
terisi penuh.
6. Setelah penuh, lapisan atas bahan campuran dilapisi kembali dengan
potongan jerami kering sebanyak 700 gram.
7. Menutup tumpukan bahan dengan kardus/karton tebal selebar diameter
karung.
8. Mengikat karung plastik tersebut dengan tali rafia hingga benar-benar
rapat dan memastikan tidak ada udara yang masuk / pastikan terjadinya
fermentasi anaerob.
9. Memberi identitas pada karung tersebut dengan cara labelisasi
10. Menempatkan karung tersebut di tempat yang terlindungi dari sinar
matahari dan air hujan
11. Mengukur suhu bahan campuran pada bagian atas, bagian tengah dan
bagian bawah dengan cara memasukkan termometer kedalam karung
yang telah dilubangi dengan tongkat tajam (batang penusuk).
12. Mencatat suhu yang telah diukur tadi dan melakukannya kembali setiap
hari selama 1 minggu sebagai pengamatan pengukuran suhu
dekomposisi awal bahan organik.

3.2.2 Pengeringan Dekomposisi Awal Bahan Organik (Dekomposisi Padat)


1. Setelah 1 minggu terjadi proses dekomposisi awal, melakukan
pembongkaran hasil dekomposisi awal dan mengamati kondisi yang
terjadi (tampilan fisik, warna dan bau).
2. Memotong-motong/merecah-recah hasil dekomposisi awal bahan
organik yang menggumpal hingga menjadi potongan/recahan-recahan
kecil yang lebih halus lagi.
3. Mengambil bagian substrat yang terdapat banyak hifa-hifa kapangnya,
kemudian memisahkannya untuk ditimbang
4. Menimbang hasil dekomposisi awal bahan organik (substrat) sebanyak 6
kg untuk dijadikan sebagai substrat pupuk organik cair (POC) dan feed
additive.
5. Memasukkan substrat yang telah ditimbang tadi kedalam peti yang
terbuka dan kemudian mengangin-anginkannya.
6. Selama 1 minggu setiap hari, melakukan hal yang sama pada substrat
yaitu dengan cara diangin-anginkan.

3.2.3 Ekstraksi dan Filtrasi Hasil Dekomposisi Kering serta Pembuatan


Feed Aditif
1. Menimbang substrat yang sudah kering sebanyak 2,5 kg
2. Menyiapkan air panas sebanyak 13 liter
3. Melakukan proses ekstraksi dengan cara merendam substrat tersebut
dengan air panas sambil menekannya dengan gacok kecil sampai semua
substrat benar-benar terendam secara merata.
4. Setelah semua homogen dan merata, mendiamkannya selama ± 1 jam.
5. Setelah ± 1 jam, melakukan proses filtrasi dengan cara menuangkan
hasil ekstraksi kedalam bak saringan dengan menggunakan gacok kecil
secara perlahan-lahan dan bertahap.
6. Memasukkan hasil filtrasi yang kental/hitam pekat (hasil penyaringan
pertama) tersebut kedalam baki dan hasil filtrasi ini merupakan suspensi
pupuk organik cair (POC).
7. Kemudian, menyaring kembali substrat yang masih ada didalam bak
saringan tadi dengan cara menuangkan air dingin sebanyak 10 liter.
8. Memasukkan hasil filtrasi yang encer (hasil penyaringan kedua) tersebut
kedalam ember. Hasil filtrasi ini dipersiapkan sebagai suspensi untuk
pembuatan feed additive.
9. Menimbang molases sebanyak 5% dari berat suspensi encer dan
mencampurkannya.
10.Mengaduk campuran suspensi encer dan molases tadi hingga homogen.
11.Menutup permukaan atas ember dengan plastik penutup dan melakukan
fermentasi anaerob ini selama ± 1 minggu.
12. Mengamati tampilan fisik, warna dan bau.

3.2.4 Pembuatan Biogas


1. Menimbang filtrat padat hasil filtrasi sebanyak 12 kg.
2. Menimbang molases sebanyak 2% dari filtrat padat.
3. Menimbang air sebanyak 0,5 liter
4.Mencampurkan air yang telah ditimbang tadi kedalam molases,
kemudian mengaduknya hingga homogen.
5. Menuangkan hasil campuran air dan molases tadi kedalam baki yng
berisi filtrat padat (hasil filtrasi).
6. Mengaduk hasil campuran dan filtrat padat tersebut hingga homogen
dan merata.
7. Menyiapkan digester yang telah dilengkapi dengan kran gas dibagian
penutupnya.
8. Memasukkan bahan campuran yang telah diaduk tadi kedalam digester
sampai bahan mencapai memenuhi ¾ bagian digester, sambil merecah-
recahnya agar bahan tidak menggumpal dan memastikan tidak
memadatkan bahan saat memasukkannya kedalam digester.
9. Setelah semua bahan selesai dimasukkan, menutup digester dengan
penutupnya hingga rapat (bila perlu sisipkan karet/sealer agar
dipastikan benar-benar rapat).
10.Mengunci tutup digester dengan klem pengunci yang terletak pada
tutup digester tersebut.
11.Menyiapkan penampung gas dan selang untuk menyambungkan kran
dari digester ke lubang angin pada penampung gas (ban karet).
12.Menghubungkan selang yang telah terhubung dengan kran dari digester
tadi ke lubang/pentil yang terdapat pada penampung gas (ban karet).
13. Setelah 1 minggu, biogas dapat digunakan sebagai bahan bakar gas.

3.2.5 Pembuatan Vermicomposting


1. Menyiapkan filtrat padat hasil filtrasi POC selama ± 1 minggu yang
telah diangin-anginkan.
2. Menyiapkan bahan berupa cacing tanah yang berada didalam tanah,
kemudian memisahkan cacing tanah dari dalam tanah tersebut.
3. Menimbang filtrat padat sebanyak 7 kg.
4. Memasukkan filtrat padat yang telah ditimbang tadi kedalam baki.
5. Menimbang cacing tanah yang telah dipisahkan dari media tanah tadi
sebanyak 600 gram.
6.Memasukkan keseluruhan cacing tanah yang telah ditimbang tadi
kedalam baki yang telah berisi filtrat padat.
7. Menutup baki tersebut dengan karton tebal yang telah dilubangi, sampai
menutupi permukaan baki.
8. Menempatkan baki tersebut di tempat yang terlindungi.
IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


4.1.1 Pembuatan POC
Berat feses = 2 kg
Berat jerami padi = 1 kg
Tabel suhu campuran feses dan jerami padi selama 1 minggu
Tanggal Suhu (oC)
a. 70oC
Jumat, 02 Oktober 2015 b. 70oC
c. 68oC
a. 62oC
Sabtu, 03 Oktober 2015 b. 64oC
c. 62oC
a. 58oC
Minggu, 04 Oktober 2015 b. 63oC
c. 59oC
a. 46oC
Senin, 05 oktober 2015 b. 62oC
c. 58oC
a. 43oC
Selasa, 06 Oktober 2015 b. 46oC
c. 46oC
a. 48oC
Rabu, 07 Oktober 2015 b. 52oC
c. 52oC
a. 36oC
Kamis, 08 Oktober 2015 b. 48oC
c. 38oC

Jerami bagian atas = 700 gram atau 0,7 kg


Jerami bagian bawah = 1700 gram atau 1,7 kg
Sampel yang diambil untuk diangin-angin = 6000 gram atau 6 kg
Berat sampel yang ditimbang = 15,15 kg
Berat sampel sebelumnya = 22 kg
Berat susut = 22 kg - 15,15 kg = 6,85 kg (31,14%)
Tahap ekstraksi dan filtrasi
Berat bahan organik atau dekomposan = 2,5 kg
Volume air panas untuk filtrasi = 13 liter
Berat akhir POC = 10 liter
4.1.2 Pembuatan Feed Additive
Larutan POC yang digunakan = 9,5 liter
Molases yang ditambahkan = 5% × 9,5 liter = 0,5 liter
Berat akhir Feed Additive yang disimpan = 10 liter
Setelah disimpan, hasilnya berjamur
4.1.3 Pembuatan Biogas
Bahan organik yang digunakan = 12 kg
Molases yang ditambahkan = 2% × 12 kg = 240 gram
Setelah disimpan, hasilnya gas metan dan gas-gas lain seperti CO2 dan N2
memenuhi ban sehingga bisa digunakan untuk menyalakan kompor selama
beberapa menit saja.
4.1.4 Pembuatan Vermicompost
Bahan organik yang digunakan = 7 kg (dibagi menjadi dua baki sehingga masing-
masing baki 3,5 kg)
Cacing tanah yang digunakan = 600 gram (dibagi menjadi dua baki sehingga
masing-masing baki 300 gram)

4.2 Pembahasan
4.2.1 Pembuatan POC
Sebelum pembuatan pupuk organik cair dan pengolahan limbah lainnya
secara terpadu, terlebih dahulu dilakukan proses dekomposisi. Dekomposisi
merupakan proses penguraian bahan organik menjadi lebih sederhana dengan
bantuan mikroorganisme pada kondisi terkontrol, hasilnya disebut dekomposan.
Proses dekomposisi tidak hanya menjadi bahan yang lebih sederhana tetapi juga
menjadikan sel bagi mikroorganisme baru. Dekomposisi pada prinsipnya adalah
menurunkan karbon dan nitrogen (C/N) ratio dari limbah organik sehingga pupuk
organik dapat segera dimanfaatkan oleh tanaman. Dekomposisi harus memenuhi
persyaratan agar dapat berhasil, diantaranya adalah adanya mikroorganisme,
bahan organik (nisbah C/N 20-40, optimalnya 30), kadar air bahan organik (40-
60%, optimalnya 55%, bila lebih dari batas maksimal maka akan terjadi leaching
atau proses pencucian bahan organik yang hasilnya dinamakan leacheat), proses
dekomposisi awal harus aerob (adanya oksigen), dan exercise atau tatalaksana nya
harus baik dan benar.
Pada dekomposisi limbah terjadi reaksi kimia yang memecah senyawa
menjadi senyawa yang lebih sederhana. Reaksi ini terjadi akibat suatu reaksi
biokimia yang berlangsung dalam metabolisme mikroorganisme. Dalam suasana
aerob, respirasi mikroorganisme akan mereduksi senyawa organik menjadi CO2 +
H2O.
Tahap dekomposisi terbagi menjadi tiga, yaitu : 1)Tahap I terjadi
hilangnya kandungan oksigen. Urea, ammonia, dan hasil dekomposisi lainnya
sebagian teroksidasi; 2)Tahap II terjadi pemecahan protein menjadi urea,
ammonia, merkaptan, H, S, amina, dan amida. Lemak dipecah menjadi asam
lemak, H2O, CO2, dan senyawa lain. Karbohidrat dipecah menjadi alkohol,
aldehid, jenis-jenis asam + CO2, H, dan senyawa lain; 3)Tahap III terjadi
nitrifikasi dari hasil dekomposisi menjadi nitrit dan nitrat, juga terjadi degradasi
asam lemak, asam amino, dan alkohol menghasilkan merkaptan.
Pada perhitungan kebutuhan feses sapi perah dan jerami, didapatkan untuk
mendapatkan nisbah C/N 30, dibutuhkan 1 kg feses sapi perah dan 0,6 kg serbuk
gergaji. Pada tugas kelompok 2 diberikan data feses broiler dengan %C sebesar
25%, %N sebesar 2,5%, kadar air sebesar 25%, dan jerami padi dengan %C
sebesar 34%, %N sebesar 0,8%, kadar air sebesar 20%. Setelah dihitung
menggunakan rumus nisbah C/N didapatkan bila ingin mendapatkan nisbah C/N
sebesar 25 maka dibutuhkan 1 kg feses broiler dan 2,68 kg jerami padi atau 1 kg
jerami padi dan 0,373 kg feses broiler.
Kadar air campuran dari kedua bahan tersebut sebesar 21,36%, jumlah
tersebut belum optimal untuk mendapatkan nisbah C/N 25 atau belum bisa disebut
proses dekomposisi karena kadar air optimum bagi proses dekomposisi agar
berhasil adalah maksimal 60%. Maka dari itu perlu dilakukan penambahan air
agar kadar air optimal. Setelah dilakukan perhitungan, maka air harus ditambah
sebanyak 3,55 kg agar kadar air optimal sebagai persyaratan dekomposisi.
Pada pembuatan POC, jerami dan feses dihomogenkan terlebih dahulu,
setelah dihomogenkan, lalu dimasukkan ke dalam karung yang alasnya dibuat
menjadi datar agar penempatan substrat bisa padat. Perbandingan antara feses dan
jerami padi adalah 2:1. Bagian bawah disimpan jerami dan bagian tengah
campuran feses dan jerami, selagi memasukkan substrat campuran, harus diberi
ruang agar oksigen masuk menggunakan tongkat kayu yang berujung runcing.
Caranya adalah menusukkan tongkat kayu kemudian memutar searah jarum jam
dan cabut kembali agar O2 masuk kemudian tutup lagi menggunakan jempol.
Bagian atas disimpan jerami dan ditutup menggunakan alas karton yang memiliki
diameter sama dengan karung agar substrat terjaga. Fungsi penambahan jerami
adalah sebagai media sekaligus mengurangi kadar air pada feses.
Substrat diperam selama satu minggu dan diamati suhu nya dari tiga titik
(atas, tengah, dan bawah). Pada dua hari pertama, menunjukkan kenaikan suhu
yang signifikan hingga mencapai 70C, artinya pertumbuhan kapang optimal dan
proses fermentasi berjalan dengan baik. Selama tujuh hari diperam, selalu diamati
suhu dan pada hari ketujuh suhu menurun menjadi berkisar antara 36-40C.
Indikator keberhasilannya adalah ketika karung dibuka, pada dekomposan
terdapat jalinan-jalinan seperti kapas berwarna putih yang bernama miselium atau
hifa. Miselium ini merupakan ciri utama dari keberadaan kapang, dimana kapang
ini merupakan organisme yang mirip dengan jamur sehingga memiliki ciri khas
yang hampir sama dengan jamur yaitu adanya miselium atau hifa. Selain itu,
indikator lainnya adalah bau apek dan warna dekomposan seperti awal kembali.
Ada dua tahap penting dalam proses pemanenan POC ini, yaitu tahap
ekstraksi dan tahap filtrasi. Tahap ekstraksi dimulai dengan menimbang
dekomposisi kering sebanyak 2,5 kg dan merendamnya dengan air panas 13 liter
selama 1 jam. Kedua adalah tahap filtrasi dimana 1 kg dekomposisi bisa
menghasilkan POC sebanyak 3 liter. Saat ekstraksi, dianjurkan menggunakan air
panas karena air panas ini dapat mematikan kapang yang masih hidup, apabila
dalam dekomposan masih terdapat kapang hidup, maka belum jadi bahan organik.
Bahan organik harus terurai oleh mikroorganisme main. Air panas juga akan
mempercepat pelarutan dan berfungsi sebagai desinfeksi untuk membebaskan
dekomposisi dari mikroorganisme patogen. Setelah filtrasi selesai dilakukan, bisa
ditambahkan air dingin untuk membersihkan baki filtrasi dari sisa-sisa
dekomposan. Pupuk organik cair hasil filtrasi didapatkan satu ember besar kurang
lebih 10 liter. Pupuk cair tersebut kemudian diangin-anginkan selama kurang lebih
7 hari hingga bisa diberikan pada tanaman.
4.2.2 Pembuatan Feed Additive
Feed additive yang dihasilkan adalah dalam bentuk non nutrient yaitu
probiotik. Dalam pembuatan probiotik, digunakan 9,5 liter pupuk organik yang
ditambahkan 5% molasses atau sebanyak 0,5 liter molasses. Tujuan penambahan
dari molases adalah menambahkan ragi dan mempercepat pertumbuhan ragi untuk
menghasilkan biomassa dari mikroorganisme.
Campuran POC dan molases ditempatkan di ember 10 liter dan ditutup
menggunakan wrap plastic dan didiamkan selama 7 hari. Hasil yang didapatkan
adalah setelah wrap plastic dibuka, tampak gumpalan-gumpalan putih yang tidak
homogen yang menandakan kegagalan dalam pembuatan probiotik. Selain itu,
indikator sederhana nya adalah jika berhasil maka akan hinggap lalat buah, tetapi
pada hasil praktikum, yang hinggap adalah lalat hijau.
4.2.3 Pembuatan Biogas
Pembuatan gasbio atau biogas ini bukan menggunakan biomassa
mikroorganisme seperti POC dan Feed Additive, tetapi memanfaatkan bahan
organik plus. Proses yang terjadi adalah proses dalam suasana anaerob. Keadaan
anaerob ini bisa menurunkan nilai BOD dan COD feses sapi perah. Proses
anaerob merupakan proses penguraian bahan organik kompleks oleh bakteri
asidogenik dan bakteri metanogenik pada kondisi terkendali (anaerob).
Pembentukan biogas melalui tiga tahap, yaitu hidrolisis, asidogenesis, dan
metanogenesis.
Proses pembuatan biogas menggunakan substrat bahan organik sebanyak
12 kg yang dibagi kedalam empat buah baki. Semua baki diberi campuran
molasses sebanyak 240 gram (masing masing baki 60 gram). Proses selanjutnya
adalah menghomogenkan bahan organik dan molasses. Setelah itu dimasukkan ke
dalam tong dan ditutup rapat. Sisi penutup tong dioleskan vaselin agar tutup tong
mudah diputar dan ditutup menggunakan karet agar tidak mudah lepas. Kemudian
tutup tong disambungkan ke ban dalam.
Selama tujuh hari diperam, gas mulai keluar dan memenuhi ban dalam.
Gas yang dihasilkan mengandung komposisi gas metan yang dominan (54-70%),
CO2 (27-45%), N2 (0,5-3%), dan gas-gas lain. Gas metan timbul akibat adanya
proses oksidasi asam berantai karbon panjang oleh bakteri asidogenik dan terjadi
proses pembentukan gas metan oleh bakteri metanogenik. Bakteri pereduksi sulfat
juga ada dalam tahap metanogenesis yaitu untuk mereduksi sulfat dan komponen
sulfur lainnya menjadi hidrogen sulfida.
4.2.4 Pembuatan Vermicompost
Vermicompost dibuat dengan memanfaatkan bahan organik dari hasil
dekomposisi awal. Proses vermicomposting merupakan proses penguraian bahan
organik menjadi unsur hara oleh mikroorganisme khususnya cacing pada kondisi
terkendali.
Cacing yang digunakan dalam vermicomposting merupakan species
Eisenia fetida. Sebenarnya selain E. fetida dapat juga digunakan spesies lain
seperti Lumbricus rubellus, Pheretima asiatica, dan Perionyx excavatus. Jenis
cacing ini digunakan karena memenuhi syarat cacing tanah untuk
vermicomposting, yaitu hidup di atas permukaan tanah dan bahan organik,
adaptable atau bisa dibudidayakan, dan produktif. Selain itu, cacing tanah jenis E.
fetida apabila dijadikan bahan pakan, proteinnya mencapai 55-83%.
Bahan organik hasil dekomposisi cocok digunakan karena sesuai dengan
syarat media cacing tanah, yaitu bahan organik yang sudah terdegrasasi sebagian
(suhu idealnya 18-28C dan masih ada bahan makanan untuk cacing tanah),
higroskopis (kadar air optimal 70%), dan porous (cacing tanah memerlukan
oksigen bebas).
Bahan organik yang digunakan sebanyak 7 kg yang dibagi kedalam dua
baki (masing-masing 3,5 kg) dan cacing tanah yang digunakan sebanyak 600
gram (masing-masing baki 300 gram). Cacing tanah harus disebar ke seluruh
permukaan bahan organik, sebaiknya tidak dibiarkan menumpuk agar bisa
memanfaatkan bahan organik secara optimal.
Setelah didiamkan selama tujuh hari, warna substrat atau bahan organik
menjadi coklat pudar dan teksturnya masih agak kasar dan beberapa bagian halus.

V
SIMPULAN

 Sebelum pembuatan pupuk organik cair dan pengolahan limbah lainnya


secara terpadu, terlebih dahulu dilakukan proses dekomposisi.
Dekomposisi merupakan proses penguraian bahan organik menjadi lebih
sederhana dengan bantuan mikroorganisme pada kondisi terkontrol,
hasilnya disebut dekomposan. Proses dekomposisi tidak hanya menjadi
bahan yang lebih sederhana tetapi juga menjadikan sel bagi
mikroorganisme baru. Ada dua tahap pending dalam proses pemanenan
POC ini, yaitu tahap ekstraksi dan tahap filtrasi. Indikator keberhasilannya
adalah ketika karung dibuka, pada dekomposan terdapat jalinan-jalinan
seperti kapas berwarna putih yang bernama miselium atau hifa.
 Feed additive yang dihasilkan adalah dalam bentuk non nutrient yaitu
probiotik. Dalam pembuatan probiotik, digunakan 9,5 liter pupuk organik
yang ditambahkan 5% molasses atau sebanyak 0,5 liter molasses. Tujuan
penambahan dari molases adalah menambahkan ragi dan mempercepat
pertumbuhan ragi untuk menghasilkan biomassa dari mikroorganisme.
 Proses yang terjadi pada pembuatan biogas adalah suasana anaerob.
Keadaan anaerob ini bisa menurunkan nilai BOD dan COD feses sapi
perah. Proses anaerob merupakan proses penguraian bahan organik
kompleks oleh bakteri asidogenik dan bakteri metanogenik pada kondisi
terkendali (anaerob). Pembentukan biogas melalui tiga tahap, yaitu
hidrolisis, asidogenesis, dan metanogenesis.
 Proses pengomposan ternyata dapat melibatkan hewan lain (organisme
makro) seperti cacing tanah yang bekerjasama dengan mikroba dalam
proses penguraian. Kehadiran cacing dapat mempercepat penghancuran
bahan organik oleh mikroorganisme. Penguraian oleh mikroorganisme
disebut pengomposan atau composting, sedangkan keterlibatan cacing
(vermes) khususnya E. fetida dalam proses pengomposan disebut
vermicomposting dan hasilnya disebut casting.
DAFTAR PUSTAKA

Cruywagen, C.W.I. dkk. 1996. Effect of Lactobacillus acidophillus


Supplementation of Milk Replacer on Preweaning of Calves in Journal of
Dairy Sciene. 79:483-486. (diunggah hari Rabu, 25 November 2015
pukul 18.30 WIB).
Fuller, R. 1992. The Importance of Lactobacillus in Maintaining Normal
Microbial Balance in The Crop in British Poultry Science. 18:85.
(diunggah hari Rabu, 25 November 2015 pukul 19.40 WIB).

Indriani, Y.H. 2001. Membuat Kompos Secara Kilat dikutip dari


http://www.taranet.com. (diunggah hari Rabu, 25 November 2015 pukul
22.30 WIB).

Mashur. 2001. Vermikompos dikutip dari http://www.taranet.com. (diunggah hari


Rabu, 25 November 2015 pukul 22.45 WIB).

Pal, A.L. dkk. 2006. Purification and Immobilization of an Aspergillus terreus


xylanase : Use of Continuous Fluidized Column Reactor in
Ind.J.Biotechnol. 5:163-168. (diunggah hari Rabu, 25 November 2015
pukul 20.55 WIB).

Pranata, Ayub S. 2004. Pupuk Organik Cair dalam digilib.unimed.ac.id 22564-5.


(diunggah hari Rabu, 25 November 2015 pukul 17.05 WIB).

Setiawan, A.I. 2008. Memanfaatkan Kotoran Ternak dalam repository.ipb.ac.id.


(diunggah hari Rabu, 25 November 2015 pukul 20.15 WIB).

Simamora, S. 2006. Membuat Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak dan Gas
dari Kotoran Ternak dalam repository.ipb.ac.id. (diunggah hari Rabu, 25
November 2015 pukul 20.15 WIB).

Suriadikarta, dkk. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. e-Journal BBSDLP.
Bogor. (diunggah hari Rabu, 25 November 2015 pukul 17.40 WIB).

Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

LAMPIRAN

Pembuatan Laporan

You might also like