You are on page 1of 23

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS

2.1.1 Definisi HIV/AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus), adalah virus yang menyerang

sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV

tergolong dalam kelompok retrovirus yaitu kelompok virus yang mempunyai

kemampuan untuk “mengkopi-cetak” materi genetik diri di dalam materi genetik

sel-sel yang ditumpanginya. Melalui proses ini HIV dapat mematikan sel-sel T-4

(IDI, 2008).

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan

gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh HIV. Istilah

AIDS meliputi tidak saja adanya manifestasi gejala klinik yang khusus yaitu

sindroma menurunnya sistem kekebalan tubuh, tetapi juga mengenai spectrum

keseluruhan masalah kesehatan yang berhubungan dengan infeksi HIV. AIDS

kurang tepat jika disebut sebagai penyakit sebab penyakit yang menyerang sangat

bervariasi. Defenisi yang benar adalah Syndrom atau kumpulan gejala penyakit

(IDI, 2008).

2.1.2 Patogenesis HIV/AIDS

1. Virus masuk kedalam tubuh penjamu, terutama menginfeksi CD4. CD4

adalah baian dari limfosit yang bertugas melawan kuman, bakteri dan virus.

2. Infeksi: virus menembus sel. Isi sel dikosongkan dalam sel.

4
5

3. Pengikatan dan peleburan: virus mengikat pada reseptor CD4 dan salah satu

koreseptor (CCR5/CXCR4) kemudian virus meleburkan diri ke dalam sel.

4. Reverse transcription: RNA (serat tunggal) virus diubah menjadi DNA (2

serat) oleh enzim reverse transcription.

5. Pemaduan: DNA virus disatukan dengan DNA sel oleh enzim integrase

6. Transcription: waktu sel yang terinfeksi menggandakan diri, DNA virus

“dibaca” dan rantai protein yang panjang dibuat

7. Perakitan: rantai protein virus mengelompok.

8. Tonjolan: jutaan virus yang belum matang mendesakkeluar sel. Enzim

protease mulai mengelola protein dalam virus yang baru terbentuk.

9. Virus yang belum matang melepaskan diri dari sel yang terinfeksi.

10. Menjadi matang: rantai protein pada bibit virus baru dipoton oleh enzim

protease menjadi protein tunggal. Protein ini menggabungkan menjadi virus

yang siap bekerja.

Mekanisme utama infeksi HIV dimulai setelah virus masuk ke dalam

tubuh pejamu. Setelah masuk ke dalam tubuh pejamu, HIV terutama akan

menginfeksi CD4 limfosit, juga menginfeksi makrofag, sel dendritik, serta sel

mikroglia. Selubung protein yaitu gp120 memanfaatkan antigen CD4 sebagai

reseptor untuk perlekatan awal. Kemudian terjadi perubahan bentuk dimana

gp120 membutuhkan koreseptor (biasanya ko-reseptor chemokine CCR5),

sehingga memungkinkan selubung protein kedua yaitu gp41 untuk berinteraksi

dengan membran sel pejamu dan memungkinkan HIV masuk ke dalam sel.
6

RNA dari HIV kemudian akan membentuk DNA serat ganda oleh enzim

reverse transcriptase. Setelah DNA virus yang dibentuk masuk ke dalam inti

selpejamu dan berintegrasi dengan DNA dari sel pejamu akan ikut mengalami

replikasi pada setiap terjadi proliferasi sel. Setiap hasil replikasi DNA ini

selanjutnya akan menghasilkan virus baru. Kemudian virus baru ini akan

berkembang di dalam membran sel. (Sasongko, 1996)

2.1.3 Fase Dan Gejala Klinis HIV/AIDS

1. Fase HIV/AIDS menurut The Center of Disease Control (CDC)

Menurut The Center of Disease Control (CDC), setelah terpapar HIV,

penderita tidak secara langsung menimbulkan gejala klinis AIDS. Ada beberapa

tahapan infeksi HIV sampai timbulnya manifestasi klinis; yaitu tahap infeksi HIV

akut, infeksi HIV asimtomatik (masa laten) yang tidak menimbulkan gejala,

limfadenopati (radang kelenjar getah bening) yang persisten dan menyeluruh,

sampai akhirnya timbul tanda-tanda penyakit yang menakutkan pada pasien, yaitu

tahap AIDS. (Price, 2006)

a. Infeksi HIV akut

Sekitar dua sampai enam minggu setelah terinfeksi (biasanya dua minggu),

akan terjadi sindrom retroviral akut. Lebih dari setengah orang yang terinfeksi

HIV akan menunjukkan gejala infeksi primer yang bervariasi seperti demam,

adenopati, faringitis, kelainan kulit, diare, sakit kepala, mual dan muntah,

hepatosplenomegali, penurunan berat badan, gangguan jamur di rongga mulut,

dan gejala neurologis (nyeri kepala, nyeri belakang kepala, depresi).15-17 Gejala

ini tidak spesifik pada infeksi HIV saja, tetapi juga akan terjadi pada infeksi
7

retrovirus lain. Setelah dua sampai enam minggu gejala dapat menghilang disertai

serokonversi, dengan atau tanpa pengobatan.

Setelah terinfeksi HIV, ada saat dimana pemeriksaan serologi antibodi

HIV terhadap pasien menunjukkan hasil negatif, sementara virus sebenarnya telah

ada dalam tubuh hospes. Fase ini disebut periode jendela (window period), yaitu

penderita sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain walaupun pemeriksaan

antibodinya menunjukkan hasil negatif. Periode ini dapat berlangsung selama tiga

sampai dua belas minggu.

b. Infeksi HIV asimtomatik (masa laten)

Terdapat jeda waktu yang panjang pada pasien, yang mana pasien tidak

mengalami manifestasi fisik dari infeksi, tapi tetap anti-HIV positif. Sebagian

besar pengidap HIV berada pada fase laten ini tidak terlihat gejala pada pasien.

Penderita terlihat sehat, dapat melakukan aktivitas secara normal, namun sudah

dapat menularkan virus kepada orang lain.16,17 Jumlah virus di dalam darah dan

jaringan limfoid pasien berada dalam batas rendah dan jumlah CD4 limfosit masih

berada dalam batas normal. Masa laten klinis ini dapat terjadi selama dua minggu

sampai delapan tahun atau lebih.

c. Limfadenopati persisten yang menyeluruh

Limfadenopati atau pembesaran kelenjar getah bening didefinisikan

dengan adanya nodus limfe yang berdiameter lebih dari satu sentimeter pada dua

atau beberapa daerah ekstra inguinal selama lebih dari tiga bulan, tetapi tidak

terdapat penyakit atau kondisi lain selain infeksi HIV yang menjelaskan alasan

dari keadaan tersebut.


8

d. Infeksi HIV simtomatik (AIDS)

Pada fase ini terjadi perubahan progresif dalam pengaturan kekebalan

tubuh yang disebabkan oleh limfopenia sel-T, dan berkurangnya fungsi T-cell

helper ini yang mengakibatkan AIDS berkembang sepenuhnya. Penyakit ini

ditandai oleh infeksi-infeksi oportunistik dan kerentanan terhadap bentuk–bentuk

kanker tertentu. Jumlah CD4 pasien sudah berada pada taraf kritis, hingga

dibawah 200sel/ul darah.

Beberapa penyakit yang dapat timbul pada pasien seperti di bawah ini :

1. Penyakit Konstitusional

Gejala-gejala seperti demam atau diare yang persisten selama lebih dari

satu bulan atau penurunan berat badan yang lebih dari 10% dari berat ideal pasien

sebelum sakit, yang tidak terdapat infeksi atau penyakit lain yang dapat

menjelaskan alasan keadaan tersebut, selain infeksi HIV/AIDS.

2. Penyakit Neurologi

Banyak pasien yang mengalami simtom neurologi sebelum mengalami

tanda infeksi HIV lainnya. Pada mulanya pasien akan mengalami kehilangan

memori, sulit berkonsentrasi, menarik diri dari pergaulan sosial, dan letargi.

Tanda awal tersebut sering dianggap sebagai suatu depresi dan biasanya

diabaikan, sampai akhirnya berkembang menjadi gangguan yang lebih dramatis

seperti demensia yang hebat dan keterbelakangan psikomotor. Gangguan motoris

pada mulanya terlihat dari hilangnya koordinasi, tremor, langkah yang goyah, dan

bahkan dapat berkembang menjadi ataksia dan paraplegia yang hebat.

3. Penyakit Infeksi Sekunder (Infeksi Oportunistik)


9

Organisme yang relatif nonvirulen dalam tubuh dapat mengakibatkan

infeksi yang hebat dan mengancam jiwa pada pasien yang sistem imunnya sudah

rusak akibat HIV. Infeksi oportunistik yang sering dijumpai antara lain

Pneumonia pneumositis cranii, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus,

tuberkulosis, kandidiasis rongga mulut, dan lain sebagainya.

4. Kanker Sekunder

Diagnosis dari satu atau beberapa kanker yang terbukti mempunyai

hubungan dengan infeksi HIV merupakan indikator dari hilangnya imunitas sel

sebagai mediator. Infeksi kanker sekunder yang sering terjadi adalah Sarkoma

Kaposi, limfoma non-Hodgkin, atau limfoma primer dari otak.

5.Keadaan lain pada Infeksi HIV

Tanda klinis dari penyakit, yang tidak diklasifikasikan seperti di atas,

dapat berperan pada infeksi HIV dan merupakan indikator dari cacat pada

imunitas sel sebagai mediator pasien, simtom yang berhubungan dengan infeksi

HIV termasuk Pneumositis interstisial limfoid kronis dan simtom-simtomnya, dan

penyakit infeksi sekunder dan neoplasma lain yang tidak tercantum di atas.

2. Klasifikasi Stadium Klinis HIV AIDS Menurut WHO

Klasifikasi Stadium klinis WHO

Asimtomatik 1

Ringan 2

Sedang 3

Berat 4

3. Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang Terinfeksi HIV
10

Stadium klinis 1

 Asimtomatik

 Limfadenopati generalisata persisten

Stadium klinis 2

 Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana

 Erupsi pruritik papular

 Infeksi virus wart luas

 Angular cheilitis

 Moluskum kontagiosum luas

 Ulserasi oral berulang

 Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan

 Eritema ginggival lineal

 Herpes zoster

 Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis,

tonsillitis )

 Infeksi kuku oleh fungus

Stadium klinis 3

 Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat

terhadap terapi standara

 Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih ) a

 Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten atau

konstan, > 1 bulan) a

 Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)


11

 Oral hairy leukoplakia

 Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut

 TB kelenjar

 TB Paru

 Pneumonia bakterial yang berat dan berulang

 Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik

 Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis

 Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3) atau

trombositopenia (<50 000/ mm3)

Stadium klinis 4b

 Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak

berespons terhadap terapi standara

 Pneumonia pneumosistis

 Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi

tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)

 Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di

lokasi manapun)

 TB ekstrapulmonar

 Sarkoma Kaposi

 Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)

 Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)

 Ensefalopati HIV

 Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan
12

onset umur > 1bulan

 Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis

 Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)

 Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)

 Isosporiasis kronik

 Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata

 Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik

 Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral

 Progressive multifocal leukoencephalopathy

2.1.4 Penularan HIV/AIDS

Virus HIV terdapat dalam sebagian cairan tubuh, diantaranya: Darah, Air

mani, Cairan vagina, dan Air susu ibu (ASI).Virus HIV biasanya menular melalui:

1. Penularan Secara Seksual.

HIV dapat ditularkan melalui seks penetratif yang tidak terlindungi. Sangat

sulit untuk menentukan kemungkinan terjadinya infeksi melalui hubungan seks,

kendatipun demikian diketahui bahwa risiko infeksi melalui seks vaginal

umumnya tinggi. Penularan melalui seks anal dilaporkan memiliki risiko 10 kali

lebih tinggi dari seks vaginal. Seseorang dengan infeksi menular seksual (IMS)

yang tidak diobati, khususnya yang berkaitan dengan tukak/luka dan duh (cairan

yang keluar dari tubuh) memiliki rata-rata 6-10 kali lebih tinggi kemungkinan

untuk menularkan atau terjangkit HIV selama hubungan seksual. Dalam hal

penularan HIV, seks oral dipandang sebagai kegiatan yang rendah risiko. Risiko
13

dapat meningkat bila terdapat luka atau tukak di sekitar mulut dan jika ejakulasi

terjadi di dalam mulut.

2. Penularan melalui pemakaian

Jarum suntik atau semprit secara bergantian: Menggunakan kembali atau

memakai jarum atau semprit secara bergantian merupakan cara penularan HIV

yang sangat efisien. Risiko penularan dapat diturunkan secara berarti di kalangan

pengguna narkoba suntikan dengan penggunaan jarum dan semprit baru yang

sekali pakai, atau dengan melakukan sterilisasi jarum yang tepat sebelum

digunakan kembali. Penularan dalam lingkup perawatan kesehatan dapat

dikurangi dengan adanya kepatuhan pekerja pelayanan kesehatan terhadap

Kewaspadaan Universal (Universal Precautions).

3. Penularan dari Ibu ke Anak

HIV dapat ditularkan ke anak selama masa kehamilan, pada proses persalinan,

dan saat menyusui. Pada umumnya, terdapat 15-30% risiko penularan dari ibu ke

anak sebelum dan sesudah kelahiran. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi risiko

infeksi, khususnya jumlah virus (viral load) dari ibu pada saat kelahiran (semakin

tinggi jumlah virus, semakin tinggi pula risikonya.). Penularan dari ibu ke anak

setelah kelahiran dapat juga terjadi melalui pemberian air susu ibu.

4. Penularan melalui transfusi darah

Kemungkinan risiko terjangkit HIV melalui transfusi darah dan produk-

produk darah yang terkontaminasi ternyata lebih tinggi (lebih dari 90%).

Kendatipun demikian, penerapan standar keamanan darah menjamin penyediaan

darah dan produk- produk darah yang aman, memadai dan berkualitas baik bagi
14

semua pasien yang memerlukan transfusi. Keamanan darah meliputi skrining atas

semua darah yang didonorkan guna mengecek HIV dan patogen lain yang dibawa

darah, serta pemilihan donor yang cocok.

Biasakan mempunyai sikat gigi dan pisau cukur sendiri, karena selain untuk

kebersihan pribadi, jika terdapat darah akan ada risiko penularan dengan virus lain

yang diangkut aliran darah (seperti hepatitis), bukan hanya HIV. Virus HIV tidak

menular melalui, Bersalaman, berpelukan, Berciuman, Batuk, bersin, Memakai

peralatan rumah tangga seperti alat makan, telepon, kamar mandi, WC, kamar

tidur, Gigitan nyamuk Bekerja, bersekolah, berkendaraan bersama, Memakai

fasilitas umum misalnya kolam renang, WC umum, sauna. HIV tidak dapat

menular melalui udara. Virus ini juga cepat mati jika berada di luar tubuh. Virus

ini dapat dibunuh jika cairan tubuh yang mengandungnya dibersihkan dengan

cairan pemutih (bleach) seperti Bayclin atau Chlorox, atau dengan sabun dan air.

HIV tidak dapat diserap oleh kulit yang tidak luka (Soekidjo, 2003).

2.1.5 Manifestasi Penyakit Pada Rongga Mulut

1. Infeksi Bakteri Oral

a. Gingivitis Ulseratif Akut yang Nekrosis (ANUG)

ANUG adalah umum pada pasien HIV. Ditandai oleh gusi yang mendadak

sakit, merah padam, bengkak, berdarah dan bau mulut. Papila-papila interdental

tampak hilang , berulserasi, tertutup oleh kulit nekrotik keabu-aabuan.

b. Gingivitis HIV
15

Ditandai oleh eritema gusi kronis yang terjadi setara pada maksila dan

mandibula, biarpun tidak ada faktor lokal yang jelas. Pada awalnya timbu;

petechiae multifokal yang kecil, merah,brebentuk titik-titik pada gusi yang cekat.

c. Periodontitis HIV

Adalah proses kerusakan yang snagat cepat, yang mengakibatkan

hilanngya kecekatan periodontal dalam beberapa hari saja. Pada awalnya terjadi

pada periodontal anterior lalu menjalar ke osterior. Infeksi bakteri ini ditandai

oleh sakit dan perdarahan gusi spontan, edema gusi yang berat, resesi gusi yang

cepat, penyembuhan luka terlambat dna penyebaran ke mukosa sekitarnya.

(Puspita, 2012).

2. Infeksi Jamur Oral

a. Kandidiasis eritematosa

Memberikan gambaran lesi kemerahan, pipih,lesi dibagian dorsal lidah

dan atau di daerah palatum durum atau palatum molle. Pasien datang dengan

keluhan rasa terbakar di mulutseperti saat makan makanan yang asin atau

berbumbu

b. Kandidiasis pseudomembranosa

Memberikan gambaran plak lunak berwarna putih pada daerah mukosa

bukal , lidah, dan permukaanmukosa mulut lainnya, dapat diangkat, meninggalkan

dasar kemerahanatau berdarah.

c. Hiperplastik atau kandidiasis kronis

Memberikan gambaran plak putihyang tidak dapat diangkat di seluruh

permukaan mukosa.(Puspita, 2012).


16

3. Infeksi Virus Oral

Virus Herpes (herpes simpleks, varicella zoster, sitomegalovirus dan

eipstein Barr), terdapat dalam jumlah besar di dalam penyakit mulut yang diderita

pasien AIDS.

a. Infeksi HSV

Biasanya terlihat pada bibir sebagai herpes labialis atau dalam mulut pada

epitel berkeratin sebagai herpes intraoral kambuhan. Infeksi kambuhan

membentuk vesikel-vesikel bulat kecil yang timbul dengan cepat, meninggalkan

ulkus kuning dangkal yang dikelilingi oleh lingkaran merah.

b. Kontak denganvirus varicella zoster (VZV)

Dapat menyebabkan varicella (cacar air)sebagai infeksi primer dan herpes

zoster sebagai infeksi yang diaktifkankembali. Dalam infeksi HIV, herpes zoster

sering menunjukkan keterlibatan nervus cranialis dini dan membawa prognosis

yangburuk. Menimbulkan vesikel multipel yang umumnya terletak pada batang

tubuh atau wajah yang biasanya sembuh sendiri dan unilateral.

c. Sitomegalovirus

Mendekati 100% pada pria homoseksual HIV-positif dan mendekati 10%

pada anak-anak dengan AIDS. Virus tersebut memiliki predileksi intuk jaringan

jelenjar saliva dan HIV meliputi pembengkakakn kelenjar parotis unilateral dan

bilateral serta serostomia.

d. Oral Hairy Leukoplakia

Lesinya terlihat pada permukaanlateral lidah, tetapi bisa meluas ke dorsal

dan permukaan ventral. Lesi bisa berbagai ukuran dan bisa terlihat seperti striae
17

putih vertical,berombak-ombak atau seperti plak-plak berbulu kasar dengan

proyeksi rambut terlihat seperti keratin.

e. Timbulnya Kaposi’s Sarkoma

Lesi ini muncul pada mukosa rongga mulut terutama pada mukosa palatal

dan gingival. Dalam infeksi HIV, lesi ini lebih sering ditemukan pada pria.

Sarkoma Kaposi berupa makula berwarna merah-keunguan pada mukosa

mulut, tidak sakit,tidak memucat saat dipalpasi. Lesi ini berkembang menjadi

nodul dan membingungkan antara kelainan pada mulut yang berhubungan dengan

vaskularisasi seperti hemangioma, hematoma, varicosity, dan pyogenic granuloma

(jika terjadi pada gingiva). (Puspita, 2012).

2.1.6 Penatalaksanaan Penderita HIV/AIDS

Pemeriksaan HIV yang pertama adalah pemeriksaan antibody HIV,

bertujuan untuk mendeteksi dan mengukur kadar immunoglobulin ( IgG tipe 1-4,

IgA, IgM, IgD ). Sebagai respon terhadap adanya HIV dapat dilakukan dengan

beberapa cara antara lain :

1. Enzim linked immunosorbent assay ( Elisa ), hasil positif berarti terjadi ikatan

antigen dan antibody HIV pada serum dan berarti anti-HIV positif.

2. Anti HIV immunoblot / wastern blot

3. Merupakan pemeriksaan konfirmatif setelah elisa dinyatakan positif

4. Anti EnV dan anti core setelah elisa

5. Perubahan / reaksi warna dan intensitasnya pada proses pemeriksaan

berkaitan dengan keberadaan anti HIV dalam serum


18

6. Polymerase chain reaction ( PCR ) mendeteksi fragmen DNA dan RNA vital

yang spesifik pada orang yang terinfeksi hiv

7. Rapid antibody test Immunoassays kualitatif yang bertujuan untuk sebagai

titik uji perawatan untuk membantu dalam diagnosis infeksi HIV

8. Ora quick advance rapid HIVe ½ antibody test merupakan immunoassay

sekali pakai untuk mendeteksi anti body HIV virus type 1 dan 2 pada cairan

rongga mulut.

Selain pemeriksaan terdapat juga pengobatan HIV/AIDS yaitu dengan

Terapi Antiretroviral (ARV). Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA

menjadi jauh lebih baik. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti

nucleosidereverse transcriptase inhibitor ,nucleotide reverse transcriptase

inhibitor, nonnucleside reverse transcriptase inhibitor , dan inhibitor protease.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksamakarena obat

ARV akandiberikan dalam jangka panjang. Obat ARVdirekomendasikan pada

semua pasien yang telah menunjukkan gejala yangtermasuk dalam kriteria diagnosis

AIDS, atau menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+.

Obat ini direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari

200sel/mm3. Pasienasimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3 dapat

ditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit

CD4+ lebih dari 350sel/mm3danviral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV

dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada

pasiendengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari
19

100.000kopi/ml. Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO

adalahkombinasi dari 3 obat ARV.

Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yangumumnya digunakan di

Indonesia adalah kombinasi Zidovudin/Lamivudin,dengan Nevirapin. Obat ARV

juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis pada

orang yang terpapar dengan cairan tubuh yangmengandung virus HIV (postex posure

prophilaxys) dan pencegahan penularandari ibu ke bayi. (Sudoyo, 2006).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang Untuk Diagnosa HIV/AIDS

Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV

dibagi dalam dua kelompok yaitu(Mariam,2010), :

1. Uji Imunologi

Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan

digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme –

linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tesserologi cepat (rapid test). Uji

Western blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk

memperkuat hasil reaktif dari test krining.

Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi jumlah

dan persentase CD4+dan CD8+T-limfosit absolute.Uji ini sekarang tidak

digunakan untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.

a. Deteksiantibodi HIV

Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV.

ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang

sama, dan hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect
20

Immunofluorescence Assays). Sedangkan hasil yang negative tidak memerlukan

tes konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela

(window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan ujivirologi pada

tanggal berikutnya.Hasil negative palsu dapat terjadi pada orang-orang yang

terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibody melawan HIV-1 (yaitu,

dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik

dan gejala dari sindrom retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada

individu yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan

transfer maternal imunoglobulin G (IgG) antibody anak baru lahir dari ibu yang

terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia

kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum

anak dianggap mengidap HIV-1.

b. Rapid test

Merupakan tesserologik yang cepat untuk mendeteksi Ig Gantibodi terhadap

HIV-1.Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik),

imuno filtrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk

mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus

dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.

c. Western blot

Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapidtes

sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan

antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (strukturaldanenzimatik). Western

blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA
21

atau rapid tes). Hasilnegative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif

ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasi lpositif palsu dan pasien tidak

mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan keberadaan

antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.

d. Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)

Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan

sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig di label dengan

penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV

jikaberadapadasampel. Jika slide menunjukkan fluoresensitoplasma dianggap

hasil positif (reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.

e. Penurunan sistem imun

Progresiinfeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+T limfosit, sebagian

besarsel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah terbukti dapat

dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun

secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu

kewaktu rata-rata 100 sel/tahun.

2.Uji Virologi

Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes

amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk

menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk

komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24)) (Read,

2007).

a. Kultur HIV
22

HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam

plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan

menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse

transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus (Read, 2007).

b. Uji antigen p24

Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau dalam

keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada

umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA

atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan

peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi

anti-p24 (Read, 2007).

c.Tes Viral Load

Tes viral load adalah tes untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah. Ada

beberapa cara untuk melakukan tes ini (Yayasan Spiritia, 2013):

- Metode PCR (polymerase chain reaction) memakai suatu enzim untuk

menggandakan HIV dalam contoh darah. Kemudian reaksi kimia menandai

virus. Penanda diukur dan dipakai untuk menghitung jumlah virus. Tes jenis

ini dibuat oleh Roche dan Abbott.

- Metode bDNA (branched DNA) menggabungkan bahan yang menimbulkan

cahaya dengan contoh darah. Bahan ini mengikat pada bibit HIV. Jumlah

cahaya diukur dan dijadikan jumlah virus. Tes jenis ini dibuat oleh Bayer.

- Metode NASBA (nucleic acid sequence based amplification) menggandakan

protein virus agar dapat dihitung. Tes jenis ini dibuat oleh bioMerieux.
23

Masing-masing tes menunjukkan hasil yang berbeda untuk contoh yang

sama. Karena hasil tes berbeda, kita sebaiknya tetap memakai jenis tes yang sama

untuk memantau kecenderungan viral load. Catatan: Tampaknya semua tes viral

load di Indonesia memakai metode PCR(Yayasan Spiritia, 2013).

2.1.8 Pencegahan Penularan HIV/AIDS Untuk Dokter Gigi

Membayangkan jadi dokter gigi itu berbahaya,untuk itu kita harus berhati-

hati apalagi dengan AIDS. Setelah gejala klinis dimulut diketahui, maka perlu

diambil upaya pencegahan penyebaran penyakit ini melalui praktek dokter gigi,

sebab ketakutan terkena infeksi AIDS telah melanda kalangan dokter gigi, pasien

maupun perawat gigi. Sampai sekarang upaya pencegahan kontaminasi atau

penularan infeksi HIV pada praktek dokter gigi masih dilakukan seperti upaya

pencegahan infeksi silang lainnya. Pada dasarnya tindakan pencegahan harus

mencakup lima komponen penting yaitu penjaringan pasien, perlindungan diri,

dekontaminasi peralatan, desinfeksi permukaaan lingkaran kerja dan penanganan

limbah kllinik (Trijatmo,1992).

1. Penjaringan Pasien

Dalam hal ini harus disadari bahwa tidak semua pasien dengan penyakit

infeksi dapat terjaring dengan rekam medik sehingga system penjaringan pasien

tidak menjamin sepenuhnya pencegahan penularan penyakit. Konsep Universal

precaution pertama kali dianjurkan oleh Centers For disease Control (CDC) pada

tahun 1987 yaitu mempermalukan semua pasien seolah-olah mereka terinfeksi

HIV.

2. Perlindungan diri
24

Perlindungan diri meliputi cuci tangan, pemakaian sarung tangan, cadar,

kaca mata, dan mantel kerja. Prosedur cuci tangan dilakukan dengan sabun

antiseptik di bawah air mengalir. Persyaratan yang harus dipenuhi sarung tangan

adalah bdasar tidak mengiritasi tangan, tahan bocor, dan memberikan kepekaan

yang tinggi bagi pemakainya. Cadar berfungsi untuk melindungi mukosa hidung

dan kontaminasi percikan saliva dan darah pada mata karena conjunctiva mata

merupakan salah satu port entry sebagian besar infeksi virus. Sedangkan mantel

kerja dianjurkan digunakan sewaktu melayani pasien yang setiap saat terkancing

baik.

3. Dekontaminasi Peralatan

Dekontaminasi adalah suatu istilah umum yang meliputi segala metode

pembersihan, desenfeksi dan sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan

pencemaran mikroorganisme yang melekat pada peralatan medis sedemikian rupa

sehingga tidak berbahaya. Metode dekontaminasi yang utama adalah penguapan

dibawah tekana (autklav), pemanasan kering (oven udara panas), air mendidih dan

desinfektan kimia dengan menggunakan hipoklorit atau glutaraldehid 2%.

4. Desinfeksi permukaan lingkungan kerja

permukaan yang dijamah oleh tangan operator harus disterilkan (misalnya

instrumen) atau desinfeksi (misalnya meja kerja, kaca pengaduk, tombol-tombol

atau pegangan laci dan lampu). Meja kerja, tombol-tombol, selang as[pirator,

tabung, botol material dan pegangan lampu unit harus diulas dengan klorheksidin

0,5% dalam alcohol atau hipoklorit 1000 bagian perjuta (bpj) dari klorida yang

tersedia, dalam setiap sesi atau setiap pergantian pasien. Piston harus dicuci dan
25

debris dari pelastik penyaring dibersihkan setiap selesai satu pasien. Selang

aspirator sebaiknya memakai yang sekali pakai. Bila ada noda darah, cairan tubuh

atau nanah, permukaan harus didesinfeksidengan larutan hipoklorit yang

mengandung 10.000 bjp dari klorida yang tersedia dan kemudian dibersihkan

dengan lap sekali pakai. Larutan harus dibiarkan pada permukaan yang akan

dibersihkan minimal selama tiga menit, kemudian larutan tersebut dilap, serta

permukaan permukaan tersebut dibilas dan dikeringkan. Posisi operator tertentu

didalam melakukan tindakan perawatan gigi, juga mempunyai rwesiko

kontaminasi dari mulut pasien ke operator. Penelitian di Universitas Bologna, Itali

membuktikan bahwa resiko terbesar bagi operator bila ia bekerja pada posisi

kanan penderita diposisi jam 9 (Trijatmo,1992).

5. Penanganan limbah klinik

Yang dimaksud dengan limbah klinik adlah semua bahan yang menular

atau kemungkinan besar menular atau zat-zat yang berbahaya yang berasal dari

lingkungan kedokteran dan kedokteran gigi. Sampah ini dikumpulkan untuk

dibakar, atau ditanam untuk jenis tertentiu. Limbah klinik seperti jarum

dikumpulkan didalam wadah plastik berwarna kuninguntuk dibakar dan jenis

limbah tertentu dikumpulkan untuk ditanam. Sebaiknya jarum suntik disposible

setelah dipakai langsung dibuang dalam wadah tanpa memasang kembali penutup

jarum, hal ini untuk menghindari tertusuknya tangan oleh jarum tersebut. imbah

darah, adalah yang paling potensial mengandung HIV, maka bila ada limbah

darah misalnya kapas dengan darah, ekstraksi jaringan atau gigi jatuh ke lantai

ambillah limbah tersebut dengan mengggunakan sarung tangan, dibersihkan


26

dengan lap atau tissue kertas kemudian lap atau tissuedan daerah tumpahan

dituangkan larutan hipoklorit 10.000 bpj. Setelah 10 menit atau lebih, bilas tempat

tersebut (Trijatmo,1992).

You might also like