You are on page 1of 31

STATUS ILMU BEDAH

Hari / Tanggal / Presentasi Kasus : Jumat, 18 Mei 2018


SMF ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT: Bhayangkara Denpasar

Nama : dr. Jordy, S.Ked Tanda Tangan

.......................

Dr. Pembimbing : dr. Gede Suwedagatha, Sp.B .......................

IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. PAA Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 19 tahun Suku Bangsa : Bali
Pekerjaan : Mahasiswi Agama : Hindhu
Alamat : Asrama Polda Kreneng Status : Belum menikah

I. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis Tanggal : 5 Maret 2018 Jam : 12.20 WITA
1. Keluhan utama :
Nyeri perut kanan bawah sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit
2. Keluhan tambahan :
Mual, pusing
3. Riwayat Penyakit :
Sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien nyeri perut kanan bawah. Nyeri tidak
ada muncul di tempat lain dan nyeri tidak menjalar. Nyeri timbul secara mendadak. Nyeri seperti
tertusuk-tusuk dan semakin memberat bila pasien berjalan, sehingga menganggu aktivitas pasien.
Pasien ada mual, namun tidak ada muntah. Nafsu makan pasien mengalami penurunan. Ada
pusing pada kepala pasien. Pusing tidak berputar. Pasien tidak ada demam.
Riwayat menstruasi teratur, tidak ada nyeri hebat sewaktu menstruasi, dan tidak ada
pengeluaran darah diluar waktu menstruasi. Lama menstruasi sekitar 4-5 hari, dengan mengganti
pembalut sekitar 3-4 kali per-harinya. Tidak ada keputihan pada pasien. Pasien mengatakan
terakhir kali menstruasi 2 hari yang lalu. Buang air kecil sehari 4-5 kali dengan warna kuning
jernih, tanpa disertai darah dan batu, dan tidak ada nyeri sewaktu ataupun setelah berkemih.
1
Buang air besar biasanya sehari satu kali, konsistensi normal, warna kecoklatan, tanpa darah dan
lendir, tidak ada perubahan pada kebiasaan buang air besar. Pasien tidak memiliki kebiasaan
merokok dan minum-minuman yang beralkohol. Pasien memiliki riwayat alergi obat
amoksisilin dan ibuprofen.

4. Riwayat Penyakit Dahulu :


a. Trauma terdahulu : Tidak ada riwayat trauma sebelumnya pada pasien.
b. Operasi : Tidak ada riwayat operasi sebelumnya pada pasien.
c. Sistem saraf : Tidak ada riwayat.
d. Sistem kardiovaskular : Tidak ada riwayat.
e. Sistem gastrointestinalis : Tidak ada riwayat.
f. Sistem urinarius : Tidak ada riwayat.
g. Sistem genitalis : Tidak ada riwayat.
h. Sistem muskuloskeletal : Tidak ada riwayat.
i. Sistem hematologi : Tidak ada riwayat.

5. Riwayat Keluarga :
Tidak ada di dalam keluarga pasien yang menderita penyakit darah tinggi, kencing manis,
kelainan darah, dan alergi.

II. STATUS PRESENS


1. STATUS UMUM
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 47,00 kg
Tinggi Badan : 161,00 cm
Keadaan gizi : Underweight (IMT: 18,13)
Suhu : 37,60C
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 90 kali/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup
Pernapasan : 18 kali/menit, reguler, abdominotorakal

2
Kulit : Sawo matang, tidak kuning, tidak pucat, dan tidak ada sianosis.
Tidak ada lesi kulit.
Kelenjar Getah Bening
Submandibula : Tidak teraba adanya pembesaran.
Leher : Tidak teraba adanya pembesaran.
Supraklavikula : Tidak teraba adanya pembesaran.
Ketiak : Tidak teraba adanya pembesaran.
Lipat paha : Tidak teraba adanya pembesaran.

Muka dan Kepala


Simetri muka : Simetris
Rambut : Hitam, merata
Pembuluh darah temporal : Pulsasi (+)

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-. Pupil isokor, refleks
cahaya langsung dan tidak langsung +/+.

Telinga : Normotia, tidak ada tanda radang. Tidak ada nyeri tekan pada
telinga. Liang telinga lapang, membran timpani intak, dan refleks
cahaya +/+.

Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada deviasi, tidak ada krepitasi.

Mulut / Gigi : Mukosa bibir dan mulut normal. Lidah tidak tampak kelainan.
Tidak ada caries dentis. T1-T1, tampak tenang. Faring tidak
hiperemis.

Leher
Kelenjar Tiroid : Tidak membesar.
Kelenjar Limfe : Tidak membesar.
Trakea : Tidak ada deviasi.

Dada
Bentuk : Simetris, retraksi sela iga (-), lesi (-), benjolan (-).

3
Pembuluh darah : Spider nevi (-)
Buah dada : Simetris.

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicularis sinistra, kuat angkat,
dengan ukuran 1 cm kali 1 cm.
Perkusi : Batas kanan : ICS IV linea sternalis kanan.
Batas atas : ICS II linea sternalis kiri.
Batas kiri : ICS V 2 cm medial linea axilaris anterior kiri.
Auskultasi :BJ I-II murni reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop.

Paru-paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, tidak ada retraksi sela iga, tidak ada lesi
dan tidak ada benjolan.
Palpasi : Fremitus taktil simetris, tidak ada nyeri tekan.
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru.
Auskultasi : Suara napas vesikular +/+, tidak ada wheezing, tidak ada ronki.

Abdomen
Inspeksi : Simetris, tampak datar, lesi (-), benjolan (-), pembuluh darah (-).
Palpasi :
Dinding perut : Nyeri tekan epigastrium (-), nyeri tekan McBurney (+),
Nyeri Lepas (+), Rovsing Sign (-), Psoas Sign (+), Obturator Sign (+),
defence muscular (-).
Hati : Tidak teraba.
Limpa : Tidak teraba.
Ginjal : Ballotement (-), nyeri ketok CVA -/-.
Perkusi : Nyeri ketuk di RLQ (+), timpani, shifting dullness (-), undulasi (-).
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltik.

Alat Kelamin (atas indikasi) : Tidak ada indikasi.

Colok Dubur : Tidak dilakukan pemeriksaan.

4
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri

Kekuatan: +5 +5 Sensori: + +
+5 +5 + +

Edema: - - Sianosis: - -

- - - -
Tonus : Normotonus
Massa : Normal
Sendi : Tidak ada kelainan

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Kekuatan: +5 +5 Sensori: + +
+5 +5 + +

Edema: - - Sianosis: - -

- - - -
Tonus : Normotonus
Massa : Normal
Sendi : Tidak ada kelainan

Refleks
Kanan Kiri
Refleks Tendon
Bisep + +
Trisep + +
Patela + +
Achiles + +
Refleks Patologis - -

5
II. STATUS LOKALIS
Inspeksi : Simetris, tampak datar, lesi (-), benjolan (-),
gambaran pembuluh darah (-).
Palpasi :
Dinding perut : Nyeri tekan epigastrium (-),
Nyeri tekan McBurney (+), Nyeri Lepas (+), Rovsing’s
Sign (-), Psoas Sign (+), Obturator Sign (+), defence
muscular (-).
Perkusi : Nyeri ketuk di RLQ (+), timpani, shifting
dullness (-), undulasi (-).
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltik.

III. LABORATORIUM
Hematologi. Tanggal 5 Maret 2018, jam 12.40 WITA
Hemoglobin : 13.0 g/dL
Hematokrit : 40.9 %
Leukosit : 24.920/uL
Trombosit : 310.000/uL
Neutrofil : 84.5%
Kimia Urin. Tanggal 5 Maret 2018, jam 12.40 WITA
Warna : Kuning
Kejernihan : Agak Keruh
pH : 5.0
Berat jenis : 1.010
Protein : Negatif
Glukosa : Negatif
Urobilinogen : Negatif
Bilirubin : Negatif
Keton : Negatif
Darah samar : Negatif
Nitrit : Negatif
Eritrosit : 0-1/LPB
Lekosit : 4-6/LPB
Epitel : 6-8/LPK

6
Kristal : Negatif
Silinder : Negatif
Bakteri : Negatif
PP Test : Negatif

IV. RESUME
Perempuan 19 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak satu hari
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri seperti tertusuk-tusuk dan semakin memberat bila pasien
berjalan, sehingga menganggu aktivitas pasien. Pasien ada mual, namun tidak ada muntah. Nafsu
makan pasien mengalami penurunan. Riwayat menstruasi teratur dan tidak ada kelainan. Buang
air besar dan buang air kecil normal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 120/80 mmHg, HR 90 x/menit, FN 18 x/menit,
suhu 37,60C. Pada palpasi abdomen didapatkan nyeri tekan McBurney (+), Rebound Tenderness
(+), Psoas sign (+), dan Obturator sign (+). Pada perkusi didapatkan nyeri ketuk di RLQ.
Pada pemeriksaan hematologi lengkap didapatkan kadar leukosit 24.920/uL dan neutrofil
84.5% .

V. DIAGNOSIS KERJA
1. Apendisitis Akut
Dasar Diagnosis:
Pada anamnesis didapatkan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak satu hari
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri seperti tertusuk-tusuk dan semakin memberat bila
pasien berjalan, sehingga menganggu aktivitas pasien. Pasien ada mual-mual. Nafsu
makan pasien mengalami penurunan. Tidak ada kelainan pada sistem ginekologi,
saluran kemih, dan saluran cerna. Pada palpasi abdomen didapatkan nyeri tekan
McBurney (+), Rebound Tenderness (+), Psoas sign (+), dan Obturator sign (+). Pada
perkusi didapatkan nyeri ketuk di RLQ. Pemeriksaan hematologi lengkap didapatkan
kadar leukosit 24.920/uL dan neutrofil 84.5% . Skor Alvarado pasien adalah 9.

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Pelvic Inflammatory Disease
Bisa memiliki gejala yang mirip, misalnya pada terjadinya salfingitis akut.
Namun biasanya memiliki demam yang lebih tinggi dan nyeri perut bawah lebih

7
difus, biasanya disertai dengan keputihan dan infeksi urin. Pada colok dubur akan
dirasakan nyeri diseluruh permukaan dan perlu pemeriksaan colok vagina.
2. Ruptur Folikel de Graaf
Ovulasi sering mengakibatkan keluarnya darah dan cairan folikuler, serta nyeri
yang ringan pada abdomen bagian bawah. Bila cairan sangat banyak dan berasal dari
ovarium kanan, dapat dikelirukan sebagai apendisitis. Nyeri yang dikeluhkan dan
nyeri tekan umumnya agak difus. Leukositosis dan demam umumnya minimal atau
bahkan tidak ada.
3. Kista Ovarium Terpuntir
Biasanya datang dengan gejala nyeri mendadak yang sangat, serta teraba masa
pada pemeriksaan abdomen, colok dubur maupun colok vagina. Tidak disertai dengan
demam.
4. Kehamilan Ektopik Terganggu
Biasanya disertai riwayat haid terlambat dengan gejala yang tidak menentu. Bila
terjadi ruptur dengan pendarahan, akan timbul nyeri akut yang difus di pelvis dan
sering disertai keadaan syok hipovolemik.

VII. PEMERIKSAAN ANJURAN


USG Abdomen

VIII. Tatalaksana
Pre-operatif :
- Observasi dan tirah baring
- Puasa 8 jam
- Infus RL 2000 cc/24 jam
- Cefotaxime 2 gr iv
Operatif :
- Apendektomi
Post Operatif:
- Puasa 8 jam, diet bubur biasa
- Infus RL 2000 cc/24 jam
- Cefotaxime 3 x 1 gram
- Pethidine 175 mg dalam D5% 500 ml  28 tpm
- Paracetamol 3 x 1 gram

8
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam: Dubia ad bonam
Ad sanationam: Dubia ad bonam

X. FOLLOW UP
6 Maret 2018 S: Nyeri pada luka operasi. A: Post apendektomi P:
08.00 WITA Tidak ada mual dan muntah. apendisitis akut H-1 - IVFD RL 28 TPM
Demam (-). - Cefotaxime 3 x 1 gr
O: - Analgetik sesuai
KU: Baik, Kesadaran: CM anestesi
T: 36,50C, N: 78x/menit, TD: - Diet bubur biasa
110/70 mmHg, RR: 20x/menit
7 Maret 2018 S: Nyeri sudah berkurang. A: Post apendektomi P:
08.00 WITA Tidak ada mual dan muntah. apendisitis akut H-2 - IVFD RL 28 TPM
Demam (-). - Cefotaxime 3 x 1 gr
O: - Analgetik sesuai
KU: Baik, Kesadaran: CM anestesi
T: 36,60C, N: 80x/menit, TD: - Diet bebas
100/70 mmHg, RR: 18x/menit - Rawat luka
- Boleh pulang
- Ciprofloxacin 2 x
500 mg
- Multivitamin 3 x 1

9
TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis. Apendiks
merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar di perut kanan bawah. Organ ini
mensekresikan IgA, namun seringkali menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut
apendiks atau apendisitis akut menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera
dilakukan tindakan bedah. Apendisitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering
ditemukan. Apendisitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun jarang pada anak
sebelum usia sekolah. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal
yang paling penting dalam mendiagnosis apendisitis. Hampir semua kasus apendisitis akut
memerlukan tindakan pengangkatan dari apendiks yang terinflamasi, baik dengan laparotomi
maupun dengan laparoskopi elektif maupun darurat. Apabila tidak dilakukan tindakan segera,
angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan syok.1
Apendisitis akut merupakan kedaruratan bedah paling sering di negara-negara Barat,
jarang terjadi pada usia di bawah 2 tahun, sering terjadi pada usia dekade kedua dan ketiga, tetapi
dapat terjadi pada semua usia. Gambaran klinis yang sering terjadi adalah nyeri abdomen
periumbilikal, mual, muntah, lokalisasi nyeri menuju fosa iliaka kanan, nyeri tekan dan nyeri
lepas di titik McBurney, dapat menyebabkan peritonitis jika apendiks mengalami perforasi, dan
dapat terjadi massa apendiks jika pasien datang terlambat. Pada hasil pemeriksaan penunjang
biasanya didapatkan leukositosis dan pada ultrasonografi untuk massa apendiks.2
Diagnosis apendisitis sedikit menantang. Gejala klinis sering atipikal dan diagnosis
apendisitis cukup sulit karena gejalanya yang tumpang tindih dengan kondisi lain. Keputusan
klinis mendasar dalam mendiagnosis pasien dengan dugaan apendisitis ialah apakah perlu
dilakukannya operasi atau tidak. Evaluasi yang baik dari apendisitis akut dapat mengurangi
intervensi untuk operasi awal, dengan harapan dapat mengurangi risiko operasi yang tidak
diperlukan.3

Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan adalah suatu sistem dalam tubuh manusia yang memegang peranan
menerima makanan dari luar, mencerna, dan menyerap bahan yang dapat diserap, serta
mengeluarkan sisa-sisa pencernaan. Yang diserap adalah bahan yang dapat diserap dan bukan
bahan yang berguna untuk diserap. Sistem ini meliputi alat-alat tubuh mulai dari mulut sampai
lubang dubur atau anus.4
10
Saluran gastrointestinal berawal di rongga mulut, dan berlanjut ke esofagus dan lambung.
Makanan disimpan sementara di lambung sampai disalurkan ke usus halus. Usus halus dibagi
menjadi duodenum, jejunum, dan ileum. Pencernaan dan penyerapan makanan berlangsung
terutama di usus halus. Dari usus halus, makanan kemudian masuk ke usus besar yang terdiri
dari kolon dan rektum. Organ tambahan pada sistem ini adalah hati, pankreas, kandung empedu,
dan apendiks (Gambar 1).5

Gambar 1. Traktus Gastro-Intestinalis secara Umum.5

Seluruh saluran cerna terdiri dari beberapa lapisan jaringan, lapisan mukosa (untuk
fungsi sekresi) yang terletak paling dalam; lapisan jaringan ikat submukosa; lapisan otot polos
sirkular dan longitudinal yang disebut muskularis eksterna; dan membran serosa yang terletak
paling luar yang disebut lapisan peritoneum.5,6 Persarafan pada saluran pencernaan dilakukan
oleh sistem saraf otonom yang mengatur, baik sistem lokal/intrinsik dan eksternal. Sistem saraf
otonom menginervasi keseluruhan saluran pencernaan, kecuali ujung atas dan ujung bawah yang

11
dikendalikan secara volunter. Ada tiga jenis impuls yang dihasilkan persarafan ini, yaitu impuls
parasimpatis yang dihantarkan dalam saraf vagus (N. X), mengeluarkan efek stimulasi konstan
pada tonus otot polos dan bertanggung jawab untuk peningkatan keseluruhan aktivitas. Efek ini
meliputi motilitas dan sekresi cairan pencernaan. Kedua adalah impuls simpatis yang dibawa
medula spinalis dalam saraf splanknik, menghambat kontraksi otot polos saluran, mengurangi
motalitas, dan menghambat sekresi cairan pencernaan. Terakhir adalah pleksus Meissner dan
Auerbach yang merupakan sisi sinaps untuk serabut praganglionik parasimpatis. Pleksus ini juga
berfungsi untuk pengaturan kontraktil lokal dan aktivitas sekretori saluran.6

Embriologi Apendiks
Pada minggu keenam perkembangan embrio manusia, apendiks dan sekum muncul
sebagai kantung yang keluar dari bagian caudal dari midgut. Kantung apendiks ini awalnya
dicatat pada minggu kedelapan, mulai memanjang di sekitar bulan kelima untuk mencapai
bentuk seekor ulat “vermiform”. Apendiks mempertahankan posisinya di ujung sekum selama
seluruh proses perkembangan. Hubungan antara dasar apendiks dengan sekum tetap ada selama
perkembangan postnatal, dimana ujung apendiks dapat ditemukan retrosekal, pelvik, subsekal,
preileal, atau posisi prekolik dekstra. Dasar dari apendiks dapat ditemukan dengan mengikuti
taeniae coli berorientasi longitudinal pada pertemuan apendiks pada sekum.7
Pada pasien dengan malrotasi midgut dan situs inversus, sekum (dan dengan demikian
bersamaan dengan apendiks) tidak akan berada di lokasi yang biasa pada kuadran kanan bawah.
Dengan malrotasi midgut, midgut (usus kecil dan usus besar proksimal) berputar secara tidak
lengkap atau gagal untuk berputar di sekitar sumbu arteri mesenterika superior selama
perkembangan janin. Dalam keadaan ini, apendiks akan tetap di kuadran kiri atas abdomen. Situs
inversus adalah suatu keadaan kelainan autosomal resesif kongenital yang ditandai dengan
transposisi organ abdomen dan/atau organ dada. Pada keadaan ini, apendiks dapat ditemukan di
kuadran kiri bawah abdomen.7

Anatomi Apendiks
Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam
sesungguhnya kurang tepat karena usus buntu yang sebenarnya adalah sekum. Organ yang tidak
diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm),
dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.

12
Namun demikian, pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi penyebab rendahnya insidens apendisitis pada
usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
apendiks bergerak, dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya.8

Gambar 2. Anatomi Apendiks. 1. Cabang a. mesenterika superior. 2. Ileum terminale. 3. a. apendikularis


(retroperitoneal). 4. a. apendikularis (pada mesoapendiks) 5. Ujung apendiks (pelvika). 6. Lokasi apendiks
intraperitoneal. 7. Sekum. 8. Apendiks retrosekal. 9. Pertemuan 3 taenia sebagai pangkal apendiks.8

Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal yaitu di belakang sekum, di


belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan
oleh letak apendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus.
Apendiks mendapat vaskularisasi dari arteri apendikularis, arterei ileokolika, dan arteri
mesenterika superior. Arteri apendikularis merupakan suatu end artery yang tidak memiliki
kolateral, sehingga jika tersumbat dapat menyebabkan gangren.8

Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL per hari. Lendir itu normalnya
dikeluarkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di
muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Jaringan limfoid pertama kali
13
terlihat di submukosa apendiks, sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Jumlah jaringan limfoid ini
meningkat selama pubertas dan menetap dalam waktu 10 tahun berikutnya, kemudian mulai
menurun dengan pertambahan umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid yang
terdapat di submukosa apendiks.8
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin tersebut
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks
tidak memengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna lainnya dan di seluruh tubuh. Selama bertahun-
tahun, apendiks ini secara keliru diyakini sebagai organ rudimenter dengan fungsi yang tidak
diketahui.7

Epidemiologi Apendisitis
Risiko seumur hidup untuk seseorang mendapatkan apendisitis adalah 8,6% untuk laki-
laki dan 6,7% untuk perempuan, dengan insiden tertinggi pada dekade kedua dan ketiga. Tingkat
apendektomi pada apendisitis telah menurun sejak tahun 1950 di sebagian besar negara. Di
Amerika Serikat, mencapai tingkat kejadian terendah dari sekitar 15 per 10.000 penduduk pada
1990-an. Sejak itu, telah terjadi peningkatan angka kejadian apendisitis non-perforata. Alasan
untuk ini tidak jelas, tetapi diperkirakan bahwa peningkatan penggunaan pencitraan diagnostik
telah menyebabkan tingkat deteksi lebih tinggi dari apendisitis ringan yang seharusnya sembuh
dengan sendirinya bila tidak terdeteksi.7,9
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang.
Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini
diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok usia 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens
pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika
insidens pada laki-laki lebih tinggi.8

Etiologi Apendisitis Akut


Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus. Di samping hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askariasis

14
dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis
adalah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti Entamoeba histolytica.8

Tabel 1.Organisme Tersering yang Terdapat pada Pasien dengan Apendisitis Akut7

Flora dari apendiks yang meradang berbeda dari apendiks yang normal. Sekitar 60% hasil
aspirasi dari apendiks yang meradang memberikan kesan bakteri anaerob dibandingkan dengan
25% hasil aspirasi dari apendiks normal. Spesimen jaringan dari dinding apendiks yang
meradang (bukan aspirasi lumen) hampir semua kultur berupa Escherichia coli dan Bacteroides
sp. Fusobacterium nucleatum/necrophorum yang tidak terdapat dalam flora sekum normal telah
diidentifikasi dalam 62% dari apendiks yang meradang. Selain spesies yang biasa dikultur yaitu
Peptostreptococcus, Pseudomonas, Bacteroides splanchnicus, Bacteroidesintermedius,
Lactobacillus, bakteri yang sebelumnya tidak dilaporkan, basil gram negatif anaerob telah
ditemukan. Pasien dengan gangren atau perforasi apendiks tampaknya memiliki invasi jaringan
lainnya oleh Bacteroides sp.7
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis
akut.8

Patofisiologi Apendisitis Akut


Patologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan
dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Upaya pertahanan tubuh berusaha membatasi
proses radang ini dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di
dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika
tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang
dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.8

15
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi membentuk
jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan
keluhan berulang di perut kanan bawah. Suatu saat, organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.8
Etiologi dan patogenesis dari apendisitis tidak sepenuhnya dipahami. Obstruksi lumen
karena fecalith atau hipertrofi jaringan limfoid diusulkan sebagai faktor etiologi utama dalam
apendisitis akut. Frekuensi obstruksi meningkat dengan tingkat keparahan dari proses inflamasi.
Fecalith dan kalkuli ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut sederhana, di 65% kasus
apendisitis gangren tanpa pecah, dan hampir 90% kasus apendisitis gangren dengan pecah.7
Secara tradisional, telah ada kepercayaan bahwa ada urutan peristiwa yang mengarah ke
pecahnya appendiks. Obstruksi proksimal lumen appendiks menghasilkan obstruksi loop
tertutup, dan sekresi normal pada mukosa apendiks yang terus berlangsung secara cepat
menghasilkan distensi. Distensi usus buntu merangsang ujung saraf dari visceral serabut aferen
terjadi peregangan, memproduksi rasa nyeri yang jelas, tumpul dan menyebar di pertengahan
abdomen atau epigastrium. Distensi meningkat dari sekresi mukosa terus menerus dan dari
multiplikasi cepat dari bakteri apendiks. Hal ini menyebabkan refleks mual dan muntah, dan
peningkatan nyeri viseral. Dengan meningkatnya tekanan intra organ, tekanan vena terlampaui.
Kapiler dan venula yang tersumbat tapi inflow arteri terus mengalir, sehingga menyebabkan
pembengkakan dan kongesti vaskular. Proses inflamasi segera melibatkan serosa apendiks dan
pada gilirannya peritoneum parietal. Ini menghasilkan pergeseran karakteristik nyeri ke kuadran
kanan bawah.7
Mukosa apendiks rentan terhadap terjadinya gangguan suplai darah dengan demikian,
integritas terganggu pada awal proses, yang memungkinkan invasi bakteri. Daerah dengan suplai
darah yang paling sedikit yang paling terkena dampak yaitu infark elipsoid berkembang di
perbatasan antimesenterik. Dengan semakin berkembangnya distensi, invasi bakteri, gangguan
dari suplai vaskular, dan progres infark, perforasi terjadi biasanya di perbatasan antimesenterik,
sedikit di luar titik obstruksi. Urutan ini tidak bisa dihindari, namun, beberapa episode
apendisitis akut dapat sembuh secara spontan.7

Manifestasi Klinis Apendisitis Akut


Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh terjadinya
peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda setempat, baik disertai
maupun tidak disertai dengan rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar

16
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya, nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di sini,
nyeri dirasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit
perut bila berjalan atau batuk.8
Bila apendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena apendiks terlindung oleh sekum.
Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi
otot psoas mayor yang menegang dari dorsal. Radang pada apendiks yang terletak di rongga
pelvis dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristalsis
meningkat dan pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta berulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing akibat rangsangan
apendiks terhadap dinding kandung kemih.8
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya, anak sering hanya
menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Beberapa jam kemudian, anak akan muntah sehingga menjadi lemah dan letargik.
Karena gejala yang tidak khas tadi, apendisitis sering baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.8
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada
waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya pada orang berusia lanjut, gejalanya sering samar-
samar saja sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi. Pada
kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Hal ini perlu
dicermati karena pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada
kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih di regio lumbal kanan.8
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5- 38,5°C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1°C.
Pada inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita
dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
periapendikuler.8
Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri
lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut

17
kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah, akan dirasakan
nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau retro-
ileal, diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.8
Peristalsis usus sering normal tetapi juga dapat menghilang akibat adanya ileus paralitik
pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh apendisitis perforata. Pemeriksaan colok
dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada
apendisitis pelvika. Pada apendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan, maka kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji psoas dan uji
obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji
psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau
fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang
menempel di otot psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator
digunakan untuk melihat apabila apendiks yang meradang bersentuhan dengan otot obturator
internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul
pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika.8

Gambar 3. Psoas Sign dan Obturator Sign8

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis apendisitis
akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi
pada perempuan dibandingkan dengan lelaki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan,
18
terutama yang masih muda, sering timbul gangguan yang menyerupai apendisitis akut. Keluhan
itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit
ginekologik lain. Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis akut, bila diagnosis
meragukan, sebaiknya penderita diobservasi di rumah sakit dengan frekuensi setiap 1-2 jam.
Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dapat meningkatkan akurasi diagnosis.
Demikian pula laparoskopi pada kasus yang meragukan. Pemeriksaan jumlah leukosit membantu
menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih
pada kasus dengan komplikasi.8

Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis ringan sering didapati pada pasien apendisitis akut yang tanpa komplikasi
dan biasanya disertai dengan mayoritas sel polimorfonuklear. Tidak umum untuk jumlah sel
darah putih menjadi > 18.000 sel / mm3 di apendisitis ankomplikata. Hitungan di atas tingkat ini
meningkatkan kemungkinan apendiks perforasi dengan atau tanpa abses. Peningkatan protein C-
reaktif (CRP) adalah indikator kuat dari radang apendiks, terutama untuk apendisitis komplikata.
Jumlah sel darah putih dapat menjadi rendah karena limfopenia atau reaksi septik, tapi dalam
situasi ini, proporsi neutrofil biasanya sangat tinggi. Apendisitis sangat tidak mungkin
didiagnosis jika jumlah sel darah putih, proporsi neutrofil, dan CRP semua normal. Respon
inflamasi di apendisitis akut adalah proses dinamis. Awal proses, respon inflamasi dapat lemah.
Elevasi CRP khususnya dapat memiliki hingga penundaan 12 jam. Sebuah respon inflamasi
menurun mungkin menunjukkan resolusi spontan. Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan
saluran kemih sebagai sumber infeksi. Namun, beberapa sel darah putih atau merah bisa hadir
dari iritasi ureter atau kandung kemih. Bakteriuria umumnya tidak terlihat.7
Ultrasonografi (USG) cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Dalam
pemeriksaan USG apendiks diidentifikasi sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang
non-peristaltik yang berasal dari sekum. Dengan penekanan yang maksimal apendiks diukur
dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila (tanpa kompresi) ukuran
anterior-posterior apendiks lebih dari sama dengan 7 mm. Ditemukannya appendicolith akan
mendukung diagnosis. Gambaran USG dari apendiks normal dengan tekanan ringan merupakan
struktur akhiran tubular yang kabur berukuran 5 mm atau kurang. Penilaian dikatakan negatif
bila apendiks tidak terlihat dan tidak tampak adanya cairan atau massa perisekal. Diagnosis
apendisitis akut dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96% dan spesifitasnya
sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil, walaupun
penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut.10

19
USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada pemakai. Penilaian
positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya peri-apendisitis dari peradangan sekitarnya,
dilatasi tuba falopi, dan benda asing (inspissated stool) yang dapat menyerupai appendicolith.
Hasil USG negatif palsu dapat terjadi bila apendisitis terbatas hanya pada ujung apendiks, letak
retrosekal, atau bila apendiks mengalami perforasi oleh karena tekanan.11

Gambar 4. Ultrasonogram Potongan Longitudinal apendisitis11

Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis apendisitis akut, tetapi dapat sangat
bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien apendisitis akut dapat terlihat
gambaran udara abnormal dalam usus, hal ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya
fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto
thorax terkadang disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumonia
lobus kanan bawah.12
Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop leukosit.
Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG, tapi jauh lebih mahal.
Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya abses
apendiks untuk melakukan percutaneous drainage secara tepat.12,13
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan yang tidak
spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada sekum dan apendiks yang kosong, dengan ketepatan
yang berkisar antara 48-50%. Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek apendisitis harus
dipersiapkan untuk pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti,
memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis.13

20
Tabel 2. Perbandingan USG dan CT Scan Appendix pada Apendisitis12
USG CT Scan Appendix

Sensitivitas 85% 90-100%


Spesifitas 92% 95-97%
Keuntungan  Aman  Lebih akurat
 Relatif murah  Lebih baik dalam
 Dapat mengidentifikasi
menyingkirkan apendiks normal,
penyakit pelvis flegmon dan abses
pada wanita
 Lebih baik pada
anak-anak
Kerugian  Tergantung  Mahal
operator  Radiasi ionisasi
 Secara teknik tidak  Kontras
adekuat dalam
menilai gas
 Nyeri

Diagnosis Skoring
The Alvarado skor adalah sistem penilaian yang paling luas digunakan. Hal ini terutama
berguna untuk mengesampingkan apendisitis dan memilih pemeriksaan diagnostik lebih lanjut.
The Appendicitis Inflammatory Response Score menyerupai skor Alvarado tetapi menggunakan
variabel lebih bergradasi dan termasuk CRP. Penelitian telah menunjukkan skor kedua lebih baik
daripada skor Alvarado dalam akurasi memprediksi apendisitis. Namun, sistem penilaian klinis
belum memperoleh penerimaan luas dalam membuat diagnosis apendisitis (Tabel 1).7

Tabel 3. Appendicitis Inflammatory Response Score.7

21
Tabel 4. MANTRELS score14
Characteristic Score
M = Migration of pain to the right lower 1
quadrant
A = Anorexia 1
N = Nausea and vomiting 1
T = Tenderness in right lower quadrant 2
R = Rebound pain 1
E = Elevated temperature 1
L = Leukocytosis 2
S = Shift of white blood cells to the left 1
Total 10

Keterangan: - score 0-3 : unlikely appendicitis (insiden 3,6%)  observasi


- score 4-6 : probable appendicitis (insiden 32%)  pemberian antibiotik dan
evaluasi radiografi
- score 7-10 : highly probable appendicitis (insiden 78%)  pertimbangkan
pembedahan

Diagnosis Differensial Apendisitis Akut


Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding. Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri. Nyeri perut
sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya hiperperistalsis. Demam
dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut. Demam dengue dapat
dimulai dengan nyeri perut mirip peritonitis. Pada penyakit ini, didapatkan hasil tes positif untuk
Rumpel Leede, trombositopenia, dan peningkatan hematokrit. Limfadenitis mesenterika yang
biasa didahului oleh enteritis atau gastroenteritis, ditandai dengan nyeri perut, terutama perut
sebelah kanan, serta perasaan mual dan nyeri tekan perut yang sifatnya samar, terutama perut
sebelah kanan.8
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada perut kanan
bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu.
Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat
mengganggu selama dua hari. Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut.
Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus.
Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina,
akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok
dubur jika perlu untuk diagnosis banding Pelvic Inflammatory Disease (PID). Kehamilan ektopik
hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur
tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak
difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina,
22
didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada kuldosentesis didapatkan darah. Pada
kista ovarium terpuntir timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina, atau colok rektal. Tidak terdapat
demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan diagnosis. Endometrium di luar rahim
akan menimbulkan nyeri di tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di
tempat itu karena tidak ada jalan ke luar.8
Pada urolitiasis terdapat adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke
inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos perut
atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan
demam tinggi, nyeri kostovertebral di sebelah kanan, dan piuria. Penyakit lain yang perlu
dipikirkan adalah peradangan di perut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum
atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi
kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks.8

Tatalaksana Apendisitis
Apendektomi masih menjadi satu-satunya penanganan kuratif dari apendisitis, namun
manajemen pasien dengan massa apendiks umumnya dapat dibagi ke dalam 3 kategori
penanganan:15
 Pasien dengan abses yang masih kecil, setelah diberikan antibiotik intravena (IV),
apendektomi dapat dikerjakan 4-6 minggu kemudian.
 Pasien dengan abses besar yang berbatas tegas, setelah dilakukan drainase perkutaneus
dengan antibiotik IV, pasien dapat dipulangkan dengan terpasang kateter.
Apendektomi dapat dikerjakan setelah fistula tertutup.
 Pasien dengan abses multicomparment, pasien ini memerlukan drainase pembedahan
dini.
Walaupun banyak kontroversi yang muncul pada manajemen apendisitis akut non-operatif,
antibiotik memegang peranan penting dalam penanganan pasien dengan kondisi ini. Antibiotik
yang diberikan pada pasien apendisitis harus dipertimbangkan dapat meliputi baik kuman aerob
maupun anaerob. Lama pemberian antibiotik tersebut berkaitan erat dengan stadium apendisitis
saat diagnosis ditegakkan, dengan mempertimbangkan temuan intra-operatif dan perjalanan post-
operatif. Berdasarkan beberapa studi, antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum apendektomi
dikerjakan. Pemberian antibiotik dapat dihentikan ketika pasien afebris dan nilai WBC normal.15
Terapi cairan kristaloid IV diberikan secara agresif pada pasien dengan tanda klinis
dehidrasi atau septikemia. Pasien dengan dugaan diagnosis apendisitis sebaiknya tidak mendapat
23
apapaun dari mulut (dipuasakan). Pemberian analgesik dan antiemetik parenteral dapat
dipertimbangkan untuk kenyamanan pasien. Pemberian analgesik pada pasien nyeri abdomen
yang tidak spesifik telah menjadi perdebatan karena dapat mengaburkan temuan klinis yang
didapat. Akan tetapi, dalam 8 penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pemberian
analgesik opiod pada pasien anak dan dewasa dengan nyeri abdomen yang tidak spesifik
dinyatakan aman, dan tidak ada yang menyebutkan pemberian analgesik tersebut mempengaruhi
akurasi dari pemeriksaan fisik yang dikerjakan.15
Open apendektomi telah banyak dipilih sebagai pendekatan terapi terhadap apendisitis
karena prosedurnya yang cepat dan biaya yang relatif murah. Mortalitas dan morbiditasnya
sudah mulai berkurang secara bertahap, khususnya dalam beberapa dekade terakhir karena
antibiotik, diagnosis dini, dan peningkatan dari segi teknik anestesi dan teknik pembedahan.16
Apendektomi mutlak dilakukan setelah penegakan diagnosis apendisitis akut. Banyak
ahli bedah melakukan insisi pada Mc Burney (oblique) atau Rocky-Davis (transverse) pada
kuadran kanan bawah. Jika diduga suatu abses, insisi lateral dilakukan untuk drainase
inraperitoneal dan menghindari kontaminasi umum dengan kavum peritoneum. Jika diagnosis
meragukan, insisi garis tengah bawah direkomendasikan untuk memeriksa lebih lanjut kavum
peritoneum. Beberapa teknik dapat digunakan untuk melokalisasi apendiks. Umumnya sekum
langsung terlihat pada insisi, penelusuran taenia akan menunjukkan dasar dari apendiks. Setelah
identifikasi, apendiks dimobilisasi dengan memisahkan mesoapendiks dan meligasi arteri
apendikularis. Appendical stump diligasi dengan ligasi simpel atau dengan ligasi dan inversi oleh
purse-string atau Z stich. Kavum periteoneum di-irigasi dan sayatan kemudian ditutup lapis demi
lapis.7
Apendektomi laparoskopi awalnya dikerjakan pada tahun 1987, sudah dikerjakan pada
ribuan pasien dan dengan tingkat keberhasilan 90-94%. Apendektomi laparoskopi juga
dikabarkan berhasil dikerjakan pada 90% kasus apendisitis perforasi. Akan tetapi, prosedur ini
kontraindikasi pada pasien dengan perlekatan intra-abdomen yang signifikan.17
Berdasarkan guideline Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons
(SAGES) tahun 2010, indikasi dilakukannya apendektomi laparoskopi identik dengan open
apendektomi. Kondisi yang mendukung untuk dilakukannya apendektomi laparoskopi menurut
SAGES guideline adalah:17
 Apendisitis tanpa komplikasi
 Apendisitis pada pasien pediatri
 Kecurigaan apendisitis pada wanita hamil

24
Keuntungan dari apendektomi laparoskopi diantaranya kepuasan dari segi kosmetik dan
penurunan angka infeksi pada luka post-operatif. Beberapa studi juga menjelaskan bahwa
apendektomi laparoskopi mengurangi waktu rawat inap di rumah sakit dan periode konvalesen
dibandingkan dengan open appendectomy. Kerugian dari apendektomi laparoskopi adalah
peningkatan biaya dan waktu operasi yang lebih lama, sekitar 20 menit lebih lama dibandingkan
open appendectomy, akan tetapi waktu pengerjaan dapat lebih singkat seiring dengan
meningkatnya pengalaman operator dengan teknik laparoskopi.17
Observasi tanda vital dilakukan untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok,
hipertermia, atau gangguan pernapasan. Pasien dibaringkan pada posisi fowler dan selama 12
jam dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi dengan perforasi atau peritonitis umum, puasa
dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara bertahap pasien diberi minum, makanan
saring, makanan lunak, dan makanan biasa.16
Antibiotik intravena juga diberikan post-operatif. Lama pemberian antibiotik tergantung
pada temuan intra-operatif dan keadaan pasien post-operatif (recovery pasien). Pada apendisitis
dengan komplikasi, pemberian antibiotik diperlukan untuk beberapa hari atau minggu.
Antiemetik dan analgesik juga diberikan pada pasien yang mengalami mual dan nyeri pada luka
operasi.16

Komplikasi Apendisitis
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendinginan sehingga berupa massa yang
terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.
Massa Periapendikular. Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa
periapendikuler dengan pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran
pus ke seluruh rongga peritoneum, jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata.
Oleh karena itu, massa periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi
untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih mudah. Pada anak, dipersiapkan
operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang terpancang
dengan pendindingan yang sempurna sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik
sambil dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila
sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal, penderita boleh
pulang dan apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses

25
apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan
teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.8
Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di regio
iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abses periapendikuler.
Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari karsinoma sekum, penyakit Crohn, dan amuboma. Perlu
juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan
ginekologik sebelum memastikan diagnosis massa apendiks. Kunci diagnosis biasanya terletak
pada anamnesis yang khas. Apendektomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang
telah ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman
aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.8
Bila sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja, apendektomi dikerjakan setelah 6-8
minggu kemudian. Jika, pada saat dilakukan drainase bedah, apendiks mudah diangkat,
dianjurkan sekaligus dilakukan apendektomi.8
Apendisitis perforata. Adanya fekalith di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil),
dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya perforasi
apendiks. Insidens perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor
yang memengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar,
keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan
arteriosklerosis. Insidens tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis,
anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan
kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum
berkembang.8
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan
demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut menjadi tegang dan
kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan
pungtum maksimum di regio iliaka kanan; peristalsis usus dapat menurun sampai menghilang
akibat adanya ileus paralitik. Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar
terlokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa
intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses. Ultrasonografi dapat
membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan dengan
abses hati, pneumonia basal, atau efusi pleura. Ultrasonografi dan foto Roentgen dada akan
membantu membedakannya. Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk

26
kuman Gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu
dilakukan sebelum pembedahan.8
Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan
pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah
serta pembersihan kantong nanah. Akhir-akhir ini, mulai banyak dilaporkan pengelolaan
apendisitis perforasi secara laparoskopi apendektomi. Pada prosedur ini, rongga abdomen dapat
dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh dibandingkan dengan laparatomi
terbuka, tetapi keuntungannya adalah lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik.
Karena terdapat kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, sebaiknya dilakukan pemasangan
penyalir (drainage) subfasia; kulit dibiarkan terbuka dan nantinya akan dijahit bila sudah
dipastikan tidak ada infeksi. Pemasangan penyalir intraperitoneal tidak perlu dilakukan pada
anak karena justru lebih sering menyebabkan komplikasi infeksi.8

Apendisitis Rekurens
Diagnosis apendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi, dan hasil patologi
menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali
sembuh spontan. Namun, apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis
dan jaringan parut. Risiko terjadinya serangan berulang adalah sekitar 50%. Insidens apendisitis
rekurens adalah 10% dari spesimen apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada
apendisitis rekurens, biasanya dilakukan apendektomi karena penderita sering kali datang dalam
serangan akut.8

Apendisitis Kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika semua syarat berikut terpenuhi:
riwayat nyeri perut kanan bawah yang lebih dari dua minggu, terbukti terjadi radang kronik
apendiks baik secara makroskopik maupun mikroskopik, dan keluhan menghilang pasca
apendektomi.8
Kriteria mikroskopik apendisitis kronik meliputi adanya fibrosis menyeluruh pada
dinding apendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik adalah
sekitar 1-5%.8

27
Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks merupakan dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat
adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril,
musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang, mukokel dapat disebabkan oleh
kistadenoma yang dicurigai dapat berubah menjadi ganas. Penderita sering datang dengan
keluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di
regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis
akut.Pengobatannya adalah apendektomi.8

Prognosis Apendisitis Akut


Apendisitis akut adalah alasan paling umum untuk operasi perut darurat. Apendektomi
memiliki tingkat komplikasi 4-15%, serta biaya yang terkait dan ketidaknyamanan rawat inap
dan operasi. Oleh karena itu, tujuan dari ahli bedah adalah untuk membuat diagnosis yang akurat
sedini mungkin. Diagnosis dan pengobatan yang tertunda berperan besar dalam mortalitas dan
morbiditas terkait dengan apendisitis. Angka kematian keseluruhan 0,2-0,8% disebabkan
komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Tingkat kematian pada anak-anak berkisar antara
0,1% sampai 1%; pada pasien yang lebih tua dari 70 tahun, naik di atas 20%, terutama karena
keterlambatan diagnostik dan terapeutik.18
Perforasi appendiks dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas
dibandingkan dengan apendisitis non perforata. Risiko kematian pada apendisitis akut tetapi
tidak gangren kurang dari 0,1%, namun risiko meningkat menjadi 0,6% pada apendisitis
gangren. Tingkat perforasi bervariasi dari 16% sampai 40%, dengan frekuensi yang lebih tinggi
terjadi pada kelompok usia muda (40-57%) dan pada pasien yang lebih tua dari 50 tahun (55-
70%), yang biasanya merupakan pasien yang misdiagnosis dan diagnosis tertunda. Komplikasi
terjadi pada 1-5% pasien dengan apendisitis, dan infeksi luka pasca operasi terjadi untuk hampir
sepertiga dari morbiditas terkait.18

Pembahasan
Pada kasus, pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri seperti tertusuk-tusuk dan semakin memberat bila pasien berjalan.
Pasien ada mual dan penurunan nafsu makan. Sesuai dengan kepustakaan, gejala apendisitis akut
pada perut kanan bawah berupa nyeri yang lebih tajam dan jelas yang merupakan nyeri somatik
setempat. Pada beberapa kasus apendisitis (18% pasien) tidak dikeluhkan adanya nyeri pada
epigastrium.

28
Diagnosis apendisitis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis, apendisitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada semua
pasien dengan nyeri abdomen akut, yakni mual muntah pada keadaan awal yang diikuti dengan
nyeri kuadran kanan bawah abdomen yang makin progresif. Gejala lain yang dapat terjadi adalah
demam yang tidak terlalu tinggi, dengan temperature antara 37,5-38,5oC. Pada palpasi
didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan dan dapat disertai nyeri lepas (rebound
tenderness). Nyeri tekan yang maksimal umumnya terletak pada/atau didekat titik McBurney
(terjadi pada 96% pasien apendisitis). Pada pasien didapatkan data pemeriksaan fisik yaitu
temprature axila 37.6oC, nyeri tekan pada titik Mc Burney (+), nyeri lepas, Psoas dan Obturator
Sign positif.
Pemeriksaan penunjang berupa darah rutin pada kasus didapatkan hitung leukosit sebesar
24.920/mm2 dengan neutrofil bernilai 84,5%. Pada apendisitis akut tanpa komplikasi umumnya
ditemukan leukositosis yang berkisar antara 10.000-18.000/mm3, dengan predominan
polimorfonuklear sel (neutrophilia ≥ 75%) yang menunjukan adanya shift to the left/pergeseran
ke kiri.
Salah satu sistem diganostic scoring/penilaian diagnostik untuk memprediksi diagnosis
apendisitis akut dengan menggunakan MANTRELS score. Dalam sistem penilaian tersebut,
dijabarkan beberapa variabel klinis yang relevan dari pasien dan diberikan penilaian berupa
angka, kemudian nilai tersebut dijumlahkan yang nantinya akan menuntun ke arah diagnosis.
Pada kasus didapatkan score MANTRELS pada pasien bernilai 9 yang mengarah pada highly
probable appendicitis.
Penatalaksanaan awal pasien di IGD diberikan pemasangan cairan infus kristaloid untuk
rehidrasi. Obat-obatan simptomatik berupa paracetamol 3 x 1gr secara intravena untuk
menghilangkan nyeri dan diberikan antibiotik pre-operatif cefotaxime 2 gr secara intravena
sebagai profilaksis dan pencegahan septikemia. Pasien direncanakan tindakan apendektomi dan
dilakukan konsultasi terkait persetujuan operasi pada spesialis anastesi dan puasa pre-operatif
selama 8 jam.
Setelah operasi, dilakukan pemantauan pasca operasi dengan mencakup penatalaksanaan
simptomatik dan manajemen nyeri. Pada pasien diberikan paracetamol 3 x 1gr iv dan cefotaxime
3 x 1gr iv. Dilakukan juga mobilisasi guna mempercepat pemulihan kondisi pasien. Pasien
dipulangkan pada hari ke-2 pasca operasi dan disarankan kontrol kembali untuk perawatan luka
pasca operasi. Pasien diberikan obat pulang ciprofloxacin 2 x 500 mg PO dan multivitamin 3 x 1
tablet. Secara umum prognosis pasien baik. Secara umum tidak terdapat faktor yang mengancam
nyawa pasien dan diprediksikan tidak ada gangguan fungsi yang terjadi akibat tindakan operasi.

29
Daftar Pustaka

1. Doherty GM, Albanese CT, Anderson JT. Current diagnosis & treatment: surgery. 13th
Edition. Michigan: McGraw-Hill Publishers; 2010.p.668-9.
2. Grace PA, Borley NR. At a glance: ilmu bedah. Edisi Ke-3. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2007.h.106-7.
3. Shogilev D, Duus N, Odom S, Shapiro N. Diagnosing Appendicitis: Evidence-Based
Review of The Diagnostic Approach in 2014. Western Journal of Emergency Medicine.
2014;15: 860.
4. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2009.h.583-90.
5. Watson R. Anatomi dan fisiologi. Edisi ke-10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2002.h.316-9.
6. Gibson J. Fisiologi dan anatomi modern. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2003.h.185-91.
7. Liang MK, Andersson RE, Jaffe BM, Berger DH. The appendix. In: Brunicardi FC,
Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et all. Schwartz’s
principles of surgery. 10th Edition. New York: McGraw-Hill Publishers; 2015.p.1241-6.
8. Riwanto I, Hamami AH, Pieter J, Tjambolang T, Ahmadsyah I. Usus halus, apendiks,
kolon dan anorektum. Dalam: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH,
Rudiman R. Buku ajar ilmu bedah: sjamsuhidajat – de jong. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2012;h.755-62.
9. Ferri FF. Ferri’s clinical advisor. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2013.p.106-7.
10. Fields MJ, Davis J, Alsup C, Bates A, Au A, Adhikari S, et al. Accuracy of Point of Care
Ultrasonography for Diagnosing Acute Appendicitis: A Systematic Review and Meta-
Analysis. Acad Emerg Med. 2017 May 2.
11. Tatli F, Ekici U, Kanlioz M, Gozeneli O, Uzunkoy A, Yucel Y, et al. Ultrasonography in
diagnosis of acute appendicitis. Ann Ital Chir. 2016. 87:152-4.
12. Repplinger MD, Weber AC, Pickhardt PJ, Rajamanickam VP, Svenson JE, Ehlenbach
WJ, et al. Trends in the Use of Medical Imaging to Diagnose Appendicitis at an
Academic Medical Center. J Am Coll Radiol. 2016 Apr 2.
13. Pickhardt PJ, Lawrence EM, Pooler BD, Bruce RJ. Diagnostic performance of
multidetector computed tomography for suspected acute appendicitis. Ann Intern Med.
2011 Jun 21. 154(12):789-95.

30
14. Alvarado A. A Practical score for the early diagnosis of acute appendicitis. Ann Emerg
Med. 1986 May. 15(5):557-64.
15. Singer DD, Thode HC, Singer AJ. Effects of pain severity and CT imaging on analgesia
prescription in acute appendicitis. Am J Emerg Med. 2016 Jan. 34(1):36-9.
16. Seymor I, Schwartz. Appendix in Principles of Surgery 8th ed. Mc Graw Hill inc: USA.
2005.
17. [Guideline] Korndorffer JR, Fellinger E, Reed W. SAGES guidelinefor laparoscopic
appendectomy. Surg Endosc. 2010 Apr. 24(4): 757-61.
18. Abou-Nukta F, Bakhos C, Arroyo K, Koo Y, Martin J, Reinhold R, et al. Effects of
delaying appendectomy for acute appendicitis for 12 to 24 hours. Arch Surg. 2006 May.
141(5):504-6

31

You might also like