You are on page 1of 30

REFERAT

SYNDROM SYOK DENGUE

Pembimbing :
dr. Afifah Is, Sp. PD

Disusun oleh :
Enel Rizka Aulia - 030.13.068

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD BUDHI ASIH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 24 JULI – 30 SEPTEMBER 2017

i
REFERAT

Judul:
SYNDROM SYOK DENGUE

Penyusun:
ENEL RIZKA AULIA – 030.13.068

Telah disetujui oleh


Pembimbing

(dr. Afifah Is, Sp. PD)

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya saya
dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian
Penyakit Dalam Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum
Daerah Budhi Asih.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian makalah ini, terutama :
1. dr. Afifah Is, Sp.PD selaku pembimbing dalam penyusunan makalah.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian makalah ini.
3. Serta pihak-pihak lain yang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu
saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Saya
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dan bertujuan untuk ikut
memperbaiki makalah ini agar dapat bermanfaat untuk pembaca dan masyarakat luas.

Jakarta, September 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................i


KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1


BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................2
2.1 Definisi ............................................................................................................2
2.2 Epidemiologi ...................................................................................................2
2.3 Etiologi ............................................................................................................3
2.4 Transmisi .........................................................................................................4
2.5 Patogenesis dan Patofisiologi ..........................................................................5
2.6 Fase-fase pada Demam Berdarah Dengue .......................................................9
2.7 Faktor risiko ...................................................................................................12
2.8 Manifiestasi klinis .........................................................................................12
2.9 Manajemen pada DBD ..................................................................................14
2.10 Tatalaksana berdasar pengelompokan pasien ..............................................15
2.11 Tatalaksana bila terjadi syok .......................................................................18
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................23

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Daerah risiko transmisi Dengue........................................................................3


Gambar 2 Transmisi virus Dengue ....................................................................................5
Gambar 3 Immunopatogenesis DBD .................................................................................6
Gambar 4 Teori infeksi sekunder dan immune enhancement ............................................7
Gambar 5 Patogenesis syok pada DBD .............................................................................8
Gambar 6 Fase-fase pada DBD .......................................................................................11
Gambar 7 Kriteria diagnosis DBD ..................................................................................14
Gambar 8 Tatalaksana syok terkompensasi ....................................................................19
Gambar 9 Tatalaksana syok hipotensi .............................................................................21

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit demam berdarah dengur (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus genus Flavivirus family Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotype yaitu den-1,
den-2, den-3, dan den-4 melalui perantara gigitan nyamuk Aedes aegypti. Keempat
serotype dengue terdapat di Indonesia, dengan den-3 sebagai serotype dominan dan
banyak berhubungan dengan kasus berat. Manifestasi klinis yang timbul ialah demam,
nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia, dan diathesis hemoragik. Penyakit ini dapat mengenai semua individu
dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak-anak.(1)
Sampai sekarang penyakit DBD ini masih menimbulkan masalah kesehatan di
Indonesia, karena jumlah penderitanya yang semakin meningkat dan wilayah yang
terjangkit semakin luas. Jumlah kasus biasanya meningkat bersamaan dengan
peningkatan curah hujan oleh karena itu puncak jumlah kasus berbeda di tiap daerah.
Pada umumnya Indonesia meningkat pada musim hujan sejak bulan Desember sampai
dengan April-Mei tiap tahun.(2)
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematocrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. DBD dapat
berkembang menjadi demam berdarah dengue yang disertai syok, atau biasa disebut
dengue shock syndrome (DSS). DSS adalah demam berdarah dengue yang ditandai
oleh tanda renjatan atau syok yang dapat berakibat fatal dan merupakan kedaruratan
medik, dengan angka kematian yang cukup tinggi.(3)
Timbulnya DBD/DSS harus dikenal dengan cepat dengan melakukan
pemeriksaan hematocrit dan trombosit apabila sudah dicurigai tanda-tanda gejala dari
DBD. Apabila benar terjadi DBD/DSS, penatalaksanaan yang diutamakan adalah
untuk menggantikan kehilangan cairan dan elektrolit karena terjadinya leakage plasma.
Penatalaksanaan terbaik adalah dengan memberikan terapi simptomatis dan suportif,
dan memonitor dengan ketat terhadap timbulnya DSS.(4)

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
a. Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
virus Dengue tipe 1, Dengue tipe 2, Dengue tipe 3 atau Dengue tipe 4 yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus yang sebelumnya telah
terinfeksi oleh virus Dengue dari penderita DBD lainnya.(5) Penyakit ini ditandai
dengan demam mendadak 2 – 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu,
gelisah, nyeri ulu hati, disertai dengan tanda-tanda perdarahan di kulit berupa bintik
perdarahan (petechia), ruam (purpura) kadang-kadang mimisan, buang air besar
berdarah, muntah darah, kesadaran menurun. Hal yang dianggap serius pada demam
berdarah Dengue adalah jika muncul perdarahandan tanda-tanda syok/ renjatan.(5)
b. Sindrom Syok Dengue
Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal.(5)

2.2 Epidemiologi
Demam berdarah adalah penyakit virus nyamuk yang paling cepat menyebar di
dunia. Dalam 50 tahun terakhir, kejadian meningkat 30 kali lipat seiring dengan
meningkatnya ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dasawarsa ini, dari
daerah perkotaan hingga pedesaan. Diperkirakan 50 juta infeksi dengue terjadi setiap
tahun dan kira-kira 2,5 miliar orang tinggal di negara-negara endemik dengue.(6)

2
Gambar 1. Daerah risiko transmisi Dengue(7)

Epidemik demam berdarah merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di


Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan Timor-Leste yang berada di zona tropis
dan ekuatorial di mana Aedes aegypti tersebar luas di daerah perkotaan dan pedesaan,
beberapa virus serotipe beredar, dan demam berdarah sebagai penyebab utama rawat
inap dan kematian pada anak-anak. Angka fatalitas kasus yang dilaporkan untuk
wilayah ini sekitar 1%, namun di India, Indonesia dan Myanmar, wabah fokal jauh dari
daerah perkotaan telah melaporkan tingkat kematian kasus sebesar 3 - 5%.(8)
Di Indonesia, di mana lebih dari 35% penduduk negara tinggal di
daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan terjadi pada tahun 2007 (catatan
tertinggi) dengan lebih dari 25.000 kasus yang dilaporkan dari Jakarta dan Jawa
Barat angka kematian kasus adalah sekitar 1 %.(8)

2.3 Etiologi
Virus Dengue termasuk dalam kelompok B arthropode-borne virus (arbovirus)
dan sekarang dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae. Di Indonesia
sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe yang berbeda namun memiliki hubungan

3
genetik satu dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Ternyata
DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak sebagai penyebab. Di
Indonesia sendiri paling banyak adalah DEN-3, walaupun akhir-akhir ini ada
kecenderungan didominasi oleh virus DEN-2.(9)
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe
yang lain. Disamping itu urutan infeksi serotipe merupakan suatu faktor risiko karena
lebih dari 20% urutan infeksi virus DEN-1 yang disusul DEN-2 mengakibatkan
renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk urutan virus DEN-3 yang
diikuti oleh DEN-2 adalah 2%.(9)
Di dalam tubuh manusia, virus bekembangbiak dalam sistem
retikuloendothelial dengan target utama adalah APC (Antigen Presenting Cells)
dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupfer di
sinusoid hepar. (9)

2.4 Transmisi
Dengue ditularkan antara manusia oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus, yang ditemukan di seluruh dunia. Serangga yang menularkan penyakit
adalah vektor. Gejala infeksi biasanya dimulai 4 - 7 hari setelah gigitan nyamuk dan
biasanya berlangsung selama 3 - 10 hari.(10)

Agar penularan dapat terjadi, nyamuk harus menggigit seseorang selama


periode ketika sejumlah besar virus berada dalam darah manusia (5 hari pertama);
periode ini biasanya dimulai sesaat sebelum orang tersebut menjadi simtomatik.
Beberapa orang tidak pernah memiliki gejala yang signifikan namun masih bisa
menginfeksi nyamuk. Setelah memasuki tubuh nyamuk, virus akan memerlukan
tambahan 8-12 hari inkubasi sebelum kemudian bisa ditularkan ke manusia lain.
Nyamuk tetap terinfeksi selama sisa hidupnya, yang mungkin berhari-hari atau
beberapa minggu.(10)

4
Gambar 2. Transmisi virus dengue

Di banyak daerah tropis dan subtropis, demam berdarah adalah suatu kejadian
endemik, terjadi setiap tahun, biasanya pada musim ketika populasi nyamuk Aedes
tinggi, seringkali saat curah hujan optimal untuk berkembang biak. Epidemi demam
berdarah membutuhkan kebetulan sejumlah besar nyamuk vektor, orang yang tidak
memiliki kekebalan terhadap salah satu dari empat tipe virus (DENV 1, DENV 2,
DENV 3, DENV 4), dan kesempatan untuk kontak di antara keduanya.(10)

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi Syok Sindrom Dengue

Demam Dengue (DD) dan DBD disebabkan oleh virus yang sama namun
memiliki mekanisme patofisiologi yang berbeda. Pada DBD didapatkan kebocoran
plasma (plasma leakage) ke ruang ekstravaskuler yang ditandai adanya
hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah yang diduga terjadi karena proses
imunologi.(11)
Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang organ reticulo
endothelial system (RES) seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh darah,
nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru. Manifestasi klinis DD timbul akibat
reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang berkembang di dalam peredaran darah dan
ditangkap oleh makrofag. Selama 2 hari akan terjadi viremia (sebelum timbul gejala)
dan berakhir setelah 5 hari timbul gejala panas. Makrofag akan menjadi antigen
presenting cell (APC) dan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk

5
memfagosit lebih banyakvirus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan
melisis makrofag yang sudah memfagosit virus, juga mengaktifkan sel B yang akan
melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi,
antibodi hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. Proses tersebut akan
menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala
sistemik, seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi
manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan
trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.(12)

Gambar 3. Immunopatogenesis DBD

Mekanisme terjadinya perdarahan pada DBD terjadi saat setelah terbentuknya


komplek antigen antibodi yang mengaktivasi sistem komplemen, menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan endotel
pembuluh darah. Perlekatan kompleks antigen antibodi akan mengaktifkan sistem
koagulasi yang dimulai dari aktifasi faktor Haegman (faktor XII) menjadi bentuk aktif
(faktor XIIa). Kemudian faktor ini akan mengaktifkan sistem kinin yang dapat
menyebabkan permeabilitas meningkat dan mempercepat terjadinya syok. Agregasi
trombosit dan aktivasi koagulasi akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
yang dapat mencetuskan terjadinya koagulasi diseminata (KID) sehingga terjadi

6
peningkatan fibrinogen degradation products (FDP) yang menyebabkan faktor
pembekuan menurun sehingga perdarahan makin parah. Pada DBD juga terjadi
gangguan fungsi trombosit dan agregasi trombosit yang terjadi karena perlekatan
antigen antibodi pada membran trombosit merangsang pengeluaran adenosin
diphosphat (ADP) sehingga sel - sel trombosit saling melekat yang kemudian akan
dihancurkan oleh sistem retikuloendotelial khususnya limpa dan hati. Semua keadaan
ini bisa menyebabkan syok.(13)

Gambar 4. Teori infeksi sekunder dan Immune enhancement.(14)

Teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement.
Hipotesis ini menyatakan bahwa pasien yang mengalami infeksi kedua kalinya dengan
serotipe virus Dengue berbeda dengan yang menginfeksi sebelumnya mempunyai
risiko yang lebih besar untuk menderita DBD atau terjadi manifestasi lebih berat.
Antibodi dari serotipe berbeda yang telah ada sebelumnya akan mengenai serotipe
virus lain yang sedang menginfeksi saat itu dan membentuk kompleks antigen antibodi
yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi tersebut sebenarnya antibodi untuk melawan antigen
dari serotipe yang sebelumnya, maka virus dengan serotipe berbeda yang menginfeksi
saat ini tidak dinetralisasi oleh tubuh dan akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag sehingga terjadi peningkatan infeksi virus Dengue. Sebagai akibat infeksi

7
sekunder oleh tipe virus Dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan
terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit menghasilkan titer tinggi
IgG anti Dengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan
tingginya angka replikasi virus Dengue. Ikatan virus Dengue dengan antibodi heterolog
akan mengaktifasi komplemen jalur klasik yang berakhir dengan dilepaskannya faktor
C3a, C4a dan C5a yang disebut anafilatoksin. Anafilatoksin akan melepaskan
histamin, serotonin dan platelet activating factor (PAF). Histamin, serotonin dan PAF
merangsang peningkatan permebilitas pembuluh darah yang menyebabkan perembesan
plasma ke ruang ekstravaskular. Hal ini ditandai dengan hematokrit meningkat,
hiponatremia, dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa. Pada perembesan plasma
mengakibatkan volume intravaskuler menurun sehingga terjadi pengurangan venous
return, yang menyebabkan penurunan stroke volume, penurunan cardiac output dan
juga MAP. Akibat banyaknya kehilangan volume intravaskular ini dapat menyebabkan
syok yang bisa berakhir dengan kematian.(13)

Gambar 5. Patogenesis syok pada DBD

8
2.6 Fase-fase pada Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah terbagi menjadi tiga fase:
1. Fase Febril
Pada fase ini, pasien mengalami demam tinggi secara tiba-tiba selama 2 – 7 hari,
muka merah (facial flushing), nyeri/linu (generalized body ache ), nyeri otot (myalgia),
nyeri sendi (athralgia), sakit kepala, eritema pada kulit. Pada beberapa kasus
ditemukan nyeri tenggorokan, injeksi faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan
muntah. Hal ini menyebabkan sulit membedakan DBD dengan penyakit non-Dengue.
Tes positif torniket dalam fase ini dapat meningkatkan probabilitas Dengue. Pada fase
ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie dan perdarahan
mukosa.Walaupun jarang, dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan
gastrointestinal.(7)
2. Fase Kritis
Fase ini ditandai dengan penurunan suhu menjadi 37,5 – 38oC atau kurang, terjadi
pada hari ke 3 – 7 sakit dan disertai kenaikan permeabilitas kapiler yang ditandai
dengan peningkatan hematokrit dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya
berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh leukopeni
progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada pasien yang tanpa peningkatan
permeabilitas kapiler kondisinya akan membaik, sementara mereka yang mengalami
peningkatan permeabilitas kapiler dapat menjadi lebih buruk sebagai akibat volume
plasma yang hilang. Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura dan asites
dapat terdeteksi secara klinis tergantung pada derajat kebocoran plasma dan volume
terapi cairan. Oleh karena itu, x-ray dan USG abdomen dapat berguna untuk diagnosis.
Derajat dari peningkatan nilai hematokrit pada fase ini biasanya memperlihatkan
keparahan dari adanya kebocoran. Syok terjadi karena kebocoran plasma yang
menyebabkan perfusi ke jaringan berkurang. Suhu tubuh mungkin subnormal pada saat
syok. Dengan syok berkepanjangan, terjadi hipoperfusi organ yang progresif dan
asidosis metabolik.. Hal ini akan menyebabkan perdarahan parah sehingga hematokrit
menurun saat terjadi syok berat. Fase ini juga terjadi leukopenia tetapi leukosit akan
meningkat apabila terjadi perdarahan hebat. Pasien-pasien yang mengalami perbaikan
setelah fase ini dikelompokkan kedalam infeksi Dengue ringan. Beberapa pasien dapat

9
berkembang menjadi lebih berat dengan adanya kebocoran plasma, sehingga
diperlukan pemeriksaan darah untuk menentukan onset dari fase kritis dan adanya
kebocoran plasma. Pasien yang memburuk akan memperlihatkan tanda-tanda bahaya,
disebut Dengue dengan tanda-tanda bahaya. (7)
Dengue berat didefinisikan oleh satu atau lebih dari hal berikut: (i) kebocoran
plasma yang dapat menyebabkan syok (demam berdarah) dan / atau akumulasi cairan,
dengan atau tanpa gangguan pernapasan, (ii) pendarahan hebat, (iii) gangguan organ
berat. Seiring meningkatnya permeabilitas pembuluh darah, hipovolemia, dan berakhir
pada syok. Biasanya terjadi di sekitar hari ke 4 atau 5 (rentang hari 3-7) penyakit,
didahului dengan tanda peringatan.(7)
Selama tahap awal syok, mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan
darah sistolik normal juga mengakibatkan takikardia dan vasokonstriksi perifer dengan
perfusi kulit berkurang, mengakibatkan ekstremitas dingin dan waktu pengisian kapiler
yang tertunda. Penderita syok sering tetap sadar sehinnga dapat menimbulkan
kesalahan penilaian keadaan kritis pasien.(7)
Pasien dianggap shock jika tekanan nadi (perbedaan antara tekanan sistolik dan
diastolik) adalah ≤ 20 mmHg atau adanya tanda perfusi kapiler yang buruk
(ekstremitas dingin, pengisian kapiler yang tertunda, atau denyut nadi cepat menilai).
Hipotensi biasanya terkait dengan syok yang berkepanjangan yang seringkali dipersulit
oleh perdarahan hebat.(7)
Demam berat harus dipertimbangkan jika pasien berasal dari area risiko demam
berdarah dengan demam 2-7 hari ditambah beberapa hal berikut:

 Tanda kebocoran plasma, seperti:


o Hematokrit tinggi atau semakin meningkat
o Efusi pleura atau asites
o Kompromi atau syok peredaran darah (takikardia, ekstremitas dingin,
waktu pengisian kapiler lebih besar dari tiga detik, denyut nadi lemah
atau tidak terdeteksi, tekanan darah yang tidak dapat diukur).
 Perdarahan yang signifikan.
 Tingkat kesadaran yang berubah (kelesuan atau kegelisahan, koma, kejang).
 Keterlibatan gastrointestinal yang parah (muntah terus-menerus, sakit perut
meningkat atau intens, sakit kuning).

10
 Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati atau
ensefalitis, atau manifestasi tidak biasa lainnya, kardiomiopati) atau manifestasi
tidak biasa lainnya.(7)
Namun, kebanyakan kematian akibat demam berdarah terjadi pada pasien dengan
syok yang mendalam, terutama jika situasinya diperumit oleh kelebihan cairan.(7)

3. Fase Perbaikan
Jika pasien selamat pada 24 – 48 jam fase kritisnya, maka selanjutnya reabsorpsi
cairan kompartemen ekstravaskular berlangsung di 48 – 72 jam berikutnya. Keadaan
umum membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal mereda, status
hemodinamik stabil dan diuresis terjadi kemudian. Beberapa pasien mungkin
mengalami pruritus, bradikardia dan perubahan elektrokardiografi yang umum selama
tahap ini. Hematokrit akan stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi dari
proses penyerapan cairan. Jumlah sel darah putih dan trombosit biasanya mulai naik
setelah penurunan suhu badan hingga normal. Selama kritis dan/atau fase pemulihan,
terapi cairan berlebihan berhubungan dengan edema paru atau kongestif gagal
jantung.(7)

Gambar 6. Fase-fase DBD.(7)

11
2.7 Faktor risiko
Faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi terkena syok dengue tidak
diketahui secara jelas. DBD / DSS lebih mungkin terjadi pada bayi dan orang tua.
Infeksi dengue juga tampak lebih parah pada wanita. Demam tinggi lebih mungkin
terjadi pada pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes melitus atau asma.
Meskipun malnutrisi merupakan predisposisi terhadap banyak penyakit menular, hal
itu tampaknya tidak meningkatkan kemungkinan demam berdarah parah. Serotipe
virus yang menginfeksi dapat mempengaruhi tingkat keparahan demam berdarah;
Infeksi DEN-1, diikuti oleh infeksi DEN-2, telah dilaporkan terkait dengan hasil yang
lebih buruk. Ada beberapa bukti bahwa kerentanan genetik (variasi etnis, pengetikan
HLA, , dll.) Dapat berperan dalam pengembangan syok dengue, namun hal ini belum
dipelajari secara menyeluruh.(13)

2.8 Manifestasi Klinis Demam Berdarah Dengue dan DSS


Demam berdarah memiliki spektrum presentasi klinis yang luas, seringkali
dengan evolusi dan hasil klinis yang tidak dapat diprediksi. Sementara sebagian besar
pasien sembuh mengikuti kursus klinis non-akut yang membatasi diri sendiri, sebagian
kecil kemajuan pada penyakit berat, sebagian besar ditandai dengan kebocoran plasma
dengan atau tanpa perdarahan.(15)
Gejala DBD ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan, dan sering
disertai hepatomegali dan gagal sirkulasi. Fase awal DBD, umumnya sama dengan
penyakit virus penyebab panas lainnya. Gejala yang timbul yaitu demam tinggi
mendadak berlangsung 2 – 7 hari, muka merah, muntah, sakit kepala, nyeri otot dan
tulang serta nyeri sendi. Bersama dengan terjadinya demam bifasik, penderita DBD
mengalami trombositopenia progresif, hematokrit meningkat yang memicu terjadinya
hemokonsentrasi, dan manifestasi perdarahan menjadi nyata. Selain itu, bentuk
perdarahan yang sering terjadi adalah perdarahan di bawah kulit dan terjadi perdarahan
pada bekas suntikan. Segera setelah terjadi demam, tanda-tanda terjadinya plasma
leakage mulai terjadi, bersamaan dengan timbulnya gejala perdarahan, misalnya
perdarahan gastrointestinal, hematuria, dan perdarahan jika trauma.(15)

12
Tahapan kritis penyakit terjadi pada akhir fase demam, 2 – 7 hari dari fase
demam, suhu badan akan menurun cepat akibat terjadinya gangguan sirkulasi. Plasma
leakage merupakan gambaran kritis dari DBD yang ditandai dengan hemokonsentrasi,
seperti efusi plura, asites, peningkatan hematokrrit dan hipoproteinemia.Pada beberapa
studi ditemukan bahwa diabetes mellitus (DM), hipertensi, stroke, dan alergi dapat
meningkatkan resiko DBD dan pada pasien DBD dengan gagal ginjal kronis memiliki
resiko yang besar untuk menjadi syok dan juga kematian.(15)
Pada penderita yang sakit berat, akibat banyaknya plasma yang hilang, syok
akan terjadi dan memberat, sehingga penderita dapat meninggal dunia. Awal mula
terjadinya syok dapat ditandai dengan nyeri perut, muntah dan gelisah. Kemudian
penderita mengalami efusi pleural yang progresif, hepatomegali dan munculnya tanda-
tanda kegagalan sirkulasi, seperti kulit menjadi dingin, berbintik-bintik, terjadi
pembengkakan (kongesti), sianosis disekeliling mulut, denyut nadi cepat dan tekanan
darah kurang dari 20 mmHg. Keadaan ini biasanya terjadi pada waktu atau segera
sesudah suhu badan penderita menurun yang terjadi antara hari ke 3 – 7 dari penyakit
dan dapat menjadi kematian apabila dalam waktu 8 – 24 jam setelah timbulnya tanda-
tanda kegagalan sirkulasi tidak mendapat penanganan yang tepat.(15)
Perubahan epidemiologi demam berdarah menyebabkan masalah dengan
penggunaan klasifikasi WHO yang ada. Infeksi virus dengue simtomatik
dikelompokkan menjadi tiga kategori: demam berdiferensiasi, demam berdarah (DF)
dan demam berdarah dengue (DBD). DHF dikelompokkan menjadi empat tingkat
keparahan, dengan grade III dan IV didefinisikan sebagai Dengue Syndrome (DSS). (7)
Kriteria diagnosis DBD mulai diperkenalkan pada tahun 19864 dan selanjutnya
direvisi pada tahun 19975 berdasarkan gejala klinis dan laboratorium. Berdasarkan
kriteria ini, manifestasi klinis infeksi dibagi menjadi, yaitu DD dan DBD. Derajat DBD
dibagi menjadi empat bagian,. DBD derajat III dan IV dimasukkan kedalam kategori
DSS.4 Perbedaan antara DD dan DBD adalahnya adanya kebocoran plasma (plasma
leakage), yang mulai terlihat pada hari sakit ke-3 dan puncaknya terjadi umumnya
pada hari sakit ke-5. Kelengahan dalam memantau ketat pasien pada masa kebocoran
ini serta keterangan oratua dapat mempengaruhi prognosis pasien.(16)

13
Saat ini pengklasifikasian ke DF / DHF / DSS terus banyak digunakan. Temuan
penelitian mengkonfirmasikan bahwa, dengan menggunakan seperangkat parameter
klinis dan/atau laboratorium, seseorang melihat perbedaan yang jelas antara pasien
dengan demam berdarah berat dan mereka dengan demam berdarah tidak berat.
Namun, untuk alasan praktis, sangat disarankan untuk membagi kelompok besar pasien
dengan demam berdarah tidak berat menjadi dua subkelompok - pasien dengan tanda
peringatan dan pasien tanpa tanda peringatan.(7)

Gambar 7. Kriteria diagnosis DBD(7)

WHO membuat proposal baru untuk menyempurnakan definisi kasus serta


klasifikasi dengue dengan membaginya atas Nnon severe Dengue without warning
signs atau dengue with (mild) warning signs, dengue with warning signs, dan severe
dengue. Hal ini disebabkan oleh karena beberapa publikasi menyampaikan kesulitan
untuk mendiagnosis DBD dengan menggunakan kriteria yang lama. Namun dalam
buku petunjuk WHO terakhir, kebijakan pedoman tata laksana dengue diserahkan
kepada negara masing masing sesuai dengan kebijakan kementerian kesehatan
setempat. Untuk itu, Indonesia masih mengacu kepada pedoman WHO tahun 1997.(16)

14
2.9 Derajat Penyakit Demam Berdarah Dengue
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat IV Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
teratur.(17)
2.9 Manajemen Demam Berdarah Dengue(7)

1. Langkah I: melakukan penilaian keseluruhan yang mencakup:


Anamnesis: tanggal timbulnya demam/sakit, jumlah asupan oral, penilaian tanda
peringatan, diare, perubahan keadaan mental / kejang / pusing, keluaran urin
(frekuensi, volume dan waktu kekosongan terakhir), riwayat penting lainnya seperti
dengue keluarga atau lingkungan, melakukan perjalanan ke daerah endemik dengue,
trekking hutan dan berenang di air terjun (pertimbangkan leptospirosis, tifus, malaria),
seks tanpa kondom atau penyalahgunaan obat terlarang (pertimbangkan penyakit
serokonversi HIV akut).
Pemeriksaan fisik harus mencakup penilaian keadaan mental, penilaian status
hidrasi, penilaian status hemodinamik, memeriksa pernapasan tak terduga / asidosis /
efusi pleura, memeriksa nyeri tekan abdomen / hepatomegali / asites, pemeriksaan
ruam dan manifestasi perdarahan, uji tourniquet (ulangi jika sebelumnya negatif atau
jika tidak ada manifestasi perdarahan).
Penyelidikan; penghitungan darah lengkap harus dilakukan pada kunjungan
pertama. Tes hematokrit pada fase demam awal menetapkan hematokrit dasar pasien
sendiri. Penurunan jumlah sel darah putih membuat demam berdarah sangat mungkin
terjadi. Penurunan jumlah trombosit yang cepat bersamaan dengan peningkatan
hematokrit dibandingkan dengan baseline adalah sugestif kemajuan pada fase klinis /
fase kritis penyakit ini. Dengan tidak adanya garis dasar pasien, tingkat hematokrit
populasi spesifik usia dapat digunakan sebagai pengganti selama fase kritis.

15
Tes laboratorium harus dilakukan untuk memastikan diagnosis. Namun, tidak
diperlukan penanganan akut pasien, kecuali pada kasus dengan manifestasi yang tidak
biasa. Tes tambahan harus dipertimbangkan seperti tes fungsi hati, glukosa, elektrolit
serum, urea dan kreatinin, bikarbonat atau laktat, enzim jantung, dan EKG.
2. Langkah II: Diagnosis, penilaian fase penyakit dan tingkat keparahan
Berdasarkan evaluasi anamnesis, pemeriksaan fisik dan/atau hitung darah lengkap
dan hematokrit, dokter harus dapat mengetahui apakah penyakitnya adalah demam
berdarah, fase mana itu (demam, kritis atau sembuh), apakah ada tanda peringatan,
status hidrasi dan hemodinamik pasien, dan apakah pasien memerlukan perawatan di
rumah sakit.
3. Langkah III: Manajemen
Di negara-negara yang menderita demam berdarah, kasus dugaan demam
berdarah, kemungkinan dan pasti harus diberitahukan sesegera mungkin sehingga
tindakan kesehatan masyarakat yang tepat dapat dimulai. Kriteria yang disarankan
untuk pemberitahuan dini kasus yang dicurigai adalah bahwa pasien tinggal atau
pernah bepergian ke daerah endemik dengue, demam selama tiga hari atau lebih,
memiliki jumlah sel darah putih yang rendah atau menurun, dan / atau memiliki tes
tourniquet trombositopenia + positif.
Keputusan manajemen akan bergantung pada manifestasi klinis dan keadaan
lainnya, pasien dapat dikirim pulang (Grup A), dirujuk untuk manajemen di rumah
sakit (Grup B), atau memerlukan perawatan darurat dan rujukan mendesak (Grup C).(7)

2.10 Tatalaksana berdasar pengelompokkan pasien(7)


1. Kelompok A - pasien yang mungkin dikirim pulang. Ini adalah pasien yang
mampu mentoleransi intake volume cairan via oral dan buang air kecil
setidaknya sekali dalam enam jam, dan tidak memiliki tanda peringatan,
terutama saat demam mereda.
a. Dorong asupan oral larutan rehidrasi oral, jus buah dan cairan lainnya
yang mengandung elektrolit dan gula untuk menggantikan kerugian
akibat demam dan muntah. Asupan cairan oral yang memadai mungkin
bisa mengurangi jumlah rawat inap

16
b. Beri parasetamol untuk demam tinggi jika pasien tidak nyaman. Interval
dosis parasetamol tidak boleh kurang dari enam jam.
c. Anjurkan kepada pemberi perawatan bahwa pasien harus dibawa ke
rumah sakit segera jika terjadi hal berikut: tidak ada perbaikan klinis,
kemunduran sekitar waktu defensif, nyeri perut yang parah, muntah
terus-menerus, ekstremitas dingin dan berkabut, kelesuan atau mudah
tersinggung / gelisah , perdarahan (misalnya tinja hitam atau muntahan
kopi), tidak buang air kecil lebih dari 4-6 jam.
2. Kelompok B - pasien yang harus dirujuk untuk manajemen di rumah sakit
Pasien mungkin perlu dirawat di pusat perawatan kesehatan sekunder untuk
pengamatan ketat, terutama saat mereka mendekati fase kritis. Hal ini dilterapkan
termasuk pasien dengan tanda peringatan, mereka dengan kondisi yang dapat
membuat demam berdarah atau manajemennya lebih rumit (seperti kehamilan,
bayi, usia lanjut, obesitas, diabetes melitus, gagal ginjal, penyakit hemolitik
kronis), dan orang-orang dengan penyakit sosial tertentu, seperti tinggal sendiri,
atau tinggal jauh dari fasilitas kesehatan tanpa sarana transportasi yang andal.
Jika pasien mengalami demam berdarah dengan tanda peringatan, rencana
tindakannya adalah sebagai berikut:
 Ketahui hematokrit sebelum terapi cairan. Berikan hanya larutan
isotonik seperti 0,9% garam, laktat Ringer, atau larutan Hartmann.
Mulailah dengan 5-7 ml / kg / jam selama 1-2 jam, kemudian kurangi 3-
5 ml / kg / jam selama 2-4 jam, kemudian kurangi 2-3 ml / kg / jam atau
kurang sesuai dengan respon klinis (kotak teks H, J dan K).
 Menilai kembali status klinis dan mengulangi hematokrit. Jika
hematokrit tetap sama atau naik hanya minimal, lanjutkan dengan
tingkat yang sama (2-3 ml / kg / jam) selama 2-4 jam lagi. Jika tanda
vital memburuk dan hematokrit meningkat dengan cepat, tingkatkan 5-
10 ml / kg / jam selama 1-2 jam. Menilai kembali status klinis, ulangi
hematokrit dan tinjau kembali tingkat infus cairan yang sesuai.
 Berikan volume cairan intravena minimum yang dibutuhkan untuk
mempertahankan perfusi dan keluaran urin yang baik sekitar 0,5 ml / kg

17
/ jam. Cairan intravena biasanya dibutuhkan hanya 24-48 jam. Kurangi
cairan intravena secara bertahap ketika tingkat kebocoran plasma
menurun menjelang akhir fase kritis. Hal ini ditunjukkan dengan
keluaran urin dan / atau asupan cairan oral yang cukup, atau penurunan
hematokrit di bawah nilai awal pada pasien yang stabil.
 Pasien dengan tanda peringatan harus dipantau oleh petugas kesehatan
sampai masa kritisnya berakhir. Keseimbangan cairan rinci harus
dijaga. Parameter yang harus dipantau meliputi tanda vital dan perfusi
perifer (1-4 jam sampai pasien berada di luar fase kritis), output urin (4-
6 jam), hematokrit (sebelum dan sesudah penggantian cairan, kemudian
6-12 jam) , glukosa darah, dan fungsi organ lainnya (seperti profil
ginjal, profil hati, profil koagulasi, seperti yang ditunjukkan).

3. Kelompok C - pasien yang memerlukan perawatan darurat dan rujukan


mendesak saat mereka menderita demam berdarah parah.
Pasien memerlukan perawatan darurat dan rujukan mendesak saat berada dalam
fase kritis penyakit, yaitu ketika mereka memiliki:
 Kebocoran plasma berat yang menyebabkan syok dengue dan / atau
akumulasi cairan dengan gangguan pernafasan;
 Perdarahan hebat;
 Kerusakan organ berat (kerusakan hati, kerusakan ginjal, kardiomiopati,
ensefalopati atau ensefalitis).
Semua pasien dengan demam berdarah parah harus dirawat di rumah sakit
dengan akses ke fasilitas perawatan intensif dan transfusi darah. Resusitasi cairan
intravena adalah intervensi penting dan biasanya satu-satunya yang diperlukan.
Solusi kristaloid harus isotonik dan volumenya hanya cukup untuk
mempertahankan sirkulasi efektif selama periode kebocoran plasma. Kerugian
plasma harus segera diganti dan cepat dengan larutan kristaloid isotonik atau,
dalam kasus syok hipotensi, larutan koloid. Jika memungkinkan, dapatkan kadar
hematokrit sebelum dan sesudah resusitasi cairan. Transfusi darah harus diberikan
hanya pada kasus dengan dugaan / perdarahan hebat.

18
Tujuan resusitasi cairan meliputi perbaikan sirkulasi sentral dan perifer
(penurunan takikardia, peningkatan tekanan darah, volume denyut nadi,
ekstremitas hangat dan pink, dan waktu pengisian kapiler.(7)

2.11 Tatalaksana bila terjadi syok(7)


Rencana tindakan untuk merawat pasien dengan syok terkompensasi adalah sebagai
berikut:
 Lakukan resusitasi cairan intravena dengan larutan kristaloid isotonik pada 5-
10 ml / kg / jam lebih dari satu jam. Kemudian reassess kondisi pasien (tanda
vital, waktu pengisian kapiler, hematokrit, output urin). Langkah selanjutnya
tergantung situasi.
 Jika kondisi pasien membaik, cairan intravena harus diturunkan secara bertahap
menjadi 5-7 ml / kg / jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml / kg / jam selama
2-4 jam, kemudian 2-3 ml. / kg / jam, dan selanjutnya tergantung pada status
hemodinamik, yang dapat dipertahankan hingga 24-48 jam. (Lihat kotak teks H
dan J untuk perkiraan kebutuhan perawatan normal yang lebih tepat
berdasarkan berat badan ideal). •
 Jika tanda vital masih tidak stabil (yaitu shock terus berlanjut), periksa
hematokrit setelah bolus pertama. Jika hematokrit meningkat atau masih tinggi
(> 50%), ulangi bolus kedua larutan kristaloid pada 10-20 ml / kg / jam selama
satu jam. Setelah bolus kedua ini, jika terjadi perbaikan, kurangi laju 7-10 ml /
kg / jam selama 1-2 jam, kemudian lanjutkan untuk mengurangi seperti di atas.
Jika hematokrit menurun dibandingkan dengan hematokrit referensi awal (40%
pada anak-anak dan perempuan dewasa, <45% pada pria dewasa), ini
mengindikasikan pendarahan dan kebutuhan untuk mencocokkan dan transfusi
darah sesegera mungkin (lihat pengobatan untuk komplikasi perdarahan)
 Larutan kristaloid atau koloid lebih lanjut mungkin perlu diberikan selama 24-
48 jam berikutnya.

19
Gambar 8. Tatalaksana syok terkompensasi(7)

Pasien dengan syok hipotensi harus ditangani dengan lebih intensif. Rencana tindakan
untuk merawat pasien dengan syok hipotensi adalah sebagai berikut:
 Lakukan resusitasi cairan intravena dengan larutan kristaloid atau koloid (jika
ada) pada 20 ml / kg sebagai bolus yang diberikan selama 15 menit agar pasien
terhindar dari syok secepat mungkin.
 Jika kondisi pasien membaik, berikan infus kristaloid / koloid 10 ml / kg / jam
selama satu jam. Kemudian dilanjutkan dengan infus kristaloid dan turunkan
secara bertahap menjadi 5-7 ml / kg / jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml /
kg / jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml / kg / jam. atau kurang, yang dapat
dipertahankan hingga 24-48 jam (textbox H).

20
 Jika tanda vital masih tidak stabil (yaitu shock terus berlanjut), tinjau
hematokrit yang didapat sebelum bolus pertama. Jika hematokrit rendah (50%),
lanjutkan larutan koloid pada 10-20 ml / kg sebagai bolus ketiga lebih dari satu
jam. Setelah dosis ini, kurangi 7-10 ml / kg / jam selama 1-2 jam, kemudian
ganti kembali ke larutan kristaloid dan kurangi laju infus seperti yang
disebutkan di atas saat kondisi pasien membaik.
 Cairan cairan lebih lanjut mungkin perlu diberikan selama 24 jam berikutnya.
Tingkat dan volume setiap bolus infus harus dititrasi dengan respon klinis.
Pasien dengan demam berdarah parah harus dirawat di daerah ketergantungan
tinggi atau perawatan intensif.
Pasien harus sering dipantau sampai masa bahaya berakhir. Keseimbangan cairan
rinci dari semua input dan output harus dijaga. Parameter yang harus dipantau meliputi
tanda vital dan perfusi perifer (setiap 15-30 menit sampai pasien tidak syok, lalu 1-2
jam). Secara umum, semakin tinggi tingkat infus cairan, semakin sering pasien harus
dipantau dan ditinjau untuk menghindari kelebihan cairan sambil memastikan
penggantian volume yang memadai.
Keluaran urin harus diperiksa secara teratur (setiap jam sampai pasien tidak
guncang, lalu 1-2 jam). Kateter kandung kemih terus-menerus memungkinkan
pemantauan jarak dekat keluaran urin. Keluaran urin yang bisa diterima sekitar 0,5 ml /
kg / jam. Hematokrit harus dipantau (sebelum dan sesudah cairan bolus sampai stabil,
lalu 4-6 jam). Selain itu, harus ada pemantauan gas darah arterial atau vena, laktat,
total karbon dioksida / bikarbonat (setiap 30 menit sampai satu jam sampai stabil,
kemudian seperti yang ditunjukkan), glukosa darah (sebelum resusitasi cairan dan
ulangan seperti yang ditunjukkan), dan lainnya. fungsi organ (seperti profil ginjal,
profil hati, profil koagulasi, sebelum resusitasi dan seperti yang ditunjukkan).

21
Gambar 9. Tatalaksana syok hipotensi(7)

22
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal.
Teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan bahwa pasien yang mengalami infeksi
kedua kalinya dengan serotipe virus Dengue berbeda dengan yang menginfeksi
sebelumnya mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita DBD atau terjadi
manifestasi lebih berat. Antibodi dari serotipe berbeda yang telah ada sebelumnya akan
mengenai serotipe virus lain yang sedang menginfeksi saat itu dan membentuk
kompleks antigen antibodi untuk melawan antigen dari serotipe yang sebelumnya,
maka virus dengan serotipe berbeda yang menginfeksi saat ini tidak dinetralisasi oleh
tubuh dan akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag sehingga terjadi
peningkatan infeksi virus Dengue dan menyebabkan perembesan plasma ke ruang
ekstravaskular. Akibat banyaknya kehilangan volume intravaskular ini dapat
menyebabkan syok yang bisa berakhir dengan kematian.
Timbulnya DBD/DSS harus dikenal dengan cepat dengan melakukan
pemeriksaan hematocrit dan trombosit apabila sudah dicurigai tanda-tanda gejala dari
DBD. Apabila benar terjadi DBD/DSS, penatalaksanaan yang diutamakan adalah
untuk menggantikan kehilangan cairan dan elektrolit karena terjadinya leakage plasma.
Penatalaksanaan terbaik adalah dengan memberikan terapi simptomatis dan suportif,
dan memonitor dengan ketat terhadap timbulnya DSS.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarto. 2011.Buku ajar Parasitologi kedokteran. Jakarta: Sagung Seto.


2. Wowor R. Pengaruh kesehatan lingkunagn terhadap perubahan epidemiologi
demam berdarah di Indonesia. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 5, Nomor 2, Juli-
Desember 2017.
3. Suhendro,Nainggolan L. Demam Berdarah Dengue. In: Buku Ajar Ilmu
PenyakitDalam jilid III. Edisi ketiga. Jakarta;Balai Penerbit
FKUI;1996.p.1709-1721
4. Hadinegoro, Sri Rejeki. Soegijanto, Soegeng. Tata Laksana Demam
BerdarahDengue Di Indonesia. Jakarta ; Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan SosialRepublik Indonesia ; 2001
5. Sudjana P. Buletin Jendela Epidemiologi. Demam berdarah dengue. Pusat data
dan surveilans epidemiologi Kemenkes RI. Volume 2, Agustus 2010.
6. WHO. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Factsheet No 117, revised May
2008. Geneva, World Health Organization, 2008
(http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs117/en/).
7. WHO. Guideline for diagnosis, treatment, prevention, and control. New edition
2009. ISBN 978 92 4 154787 1. World Health Organization, 2009.
8. WHO/SEARO. Concrete measure key in controlling dengue in South East
Asia. Press Release SEA/PR/1479. New Delhi, World Health Organization
Regional Office for South-East Asia, 2008.
(http:/www.searo.who.int/EN/Section316/Section503/Section2463_14619.htm)
9. Frans EH. Patogenesis Infeksi Virus Dengue. Lecturer of Faculty of Medicine,
Univeristy of Wijaya Kusuma Surabaya.
10. Epidemiology Dengue. CDC. Cdc.gov. 2017 (cited 28 August 2017). Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3097561/
11. Soegijanto, Soegeng. Patogenesa Infeksi Virus Dengue Recent Update. Applied
Management of Dengue Viral Infection in Children. 2010

24
12. Kurane I. Dengue hemorrhagic fever with special emphasis on
immunopathogenesis. Comp Immunol Microbiol Infect Dis. 2007 Sep; 30(5-
6):329-40.
13. Rajapakse S. Dengue shock. Journal of Emergencies, Trauma and Shock.
2011;4(1):120-127. doi:10.4103/0974-2700.76835.
14. Avirutnan P, Malasit P, Seliger B, Bhakdi S, Husmann M. Dengue virus
infection of human endothelial cells leads to chemokine production,
complement activation, and apoptosis. J Immunol. 1998;161:6338–46.
15. Guidelines for Clinical Management of Dengue Fever Dengue Haemorrhagic
Fever and Dengue Shock Syndrome. Directorate of National Borne Disease
Control Programme of India. 2008.
16. Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG. Update
Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. FKUI
Departemen Ilmu Kesehatan Anak. 2012. ISBN 978-979-8271-41-0.
17. WHO. Dengue haemorrhagic fever; diagnosis, treatment, prevention, and
control. Second edition. World Health Organization, 1997.

25

You might also like