You are on page 1of 32

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Proses Abstraksi

1. Pengertian proses

Proses didefinisikan oleh Dubinsky & McDonald (2001:3) yakni “when an

action is repeated and the individual reflects upon it, he or she can make an internal

metal contruction called a process which the individual can think of as performing the

same kind of action, but no longer with the need of external stimuli” yang bermakna

bahwa ketika tindakan-tindakan transformasi diulang, maka siswa paham bahwasanya

proses transformasi diulang yang seluruhnya berada dalam pikiran siswa tersebut dapat

dilakukan tanpa membutuhkan rangsangan eksternal.

Proses didefinisikan sebagai struktur kognitif yang melibatkan imajinasi

tentang transformasi mental atau fisik objek, sehingga siswa merasakan transformasi

tersebut.

Dalam penelitian ini seorang siswa dikatakan telah memiliki suatu proses, jika

berpikirnya terbatas pada konsep matematika yang dihadapinya dan ditandai dengan

munculnya kemampuan untuk membahas konsep matematika tersebut.

12
13

2. Pengertian abstraksi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Nurhasanah (2010:14)

“abstraksi” diategorikan sebagai kata benda yang memiliki arti “proses”atau

“perbuatan memisahkan”. Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia (Nurhasanah, 2010:14),

kata ‘abstraksi’ memiliki padanan arti ‘generalisasi’. Dalam KBBI, kata ‘generalisasi’

memiliki arti yang lebih luas daripada sekadar abstraksi, ‘generalisasi’ sebagai kata

benda memiliki arti sebagai berikut: (1) perihal membentuk gagasan atau simpulan

umum dari suatu kejadian; (2) perihal membuat suatu gagasan menjadi lebih sederhana

daripada yang sebenarnya; (3) perihal membentuk gagasan yang lebih kabur; dan (4)

penyamarataan.

Istilah abstraksi menurut Locke (1690) dalam Saglam (2015:1621) telah

menjadi fokus perhatian banyak ilmuwan dan filsuf. Abstraksi awalnya bermula dari

gagasan Aristoteles dan John Locke, abstraksi dipandang sebagai aksi diantaranya

mengamati serangkaian contoh, mengenali sifat secara umum, dan menyatukannya

menjadi satu konsep. Hal ini dilakukan dengan meniadakan sifat yang tidak sama dan

mempertahankan yang hanya relevan.

Pengertian abstraksi menurut Halverscheid (2008), Hoyles (1996) dalam Ergul

(2013:1898) yaitu “Abstraction is, in one sense, the transformation of events or objects

in the external world into mental constructs and related to obtaining new information

from these constructs. In other words, abstraction amounts to the appearance of new

information through arrangement of information vertically (Halverscheid, 2008).


14

Here the arrangement of information vertically means establishing relationships

between concepts. However, Noss and Hoyles (1996) addressed abstraction in the

dimension of students’ relating conceptual information which they have; according to

this, when students perform activities successfully and progress, they learn to combine

previous activites with new ones” dengan kata lain bahwa abstraksi merupakan salah

satu hal dalam transformasi objek di dunia luar menjadi konstruksi mental dan terkait

dengan mendapatkan informasi baru dari konstruksi ini. Dengan kata lain, abstraksi

berarti munculnya informasi baru melalui pengaturan informasi secara vertikal

(Halverscheid, 2008). Disini susunan informasi secara vertikal berarti membangun

hubungan antar konsep. Namun Noss dan Hoyles (1996) membahas abstraksi dalam

dimensi pada hubungan informasi konseptual siswa yang mereka miliki. Menurutnya,

ketika siswa melakukan aktivitas dengan sukses dan berkembang, mereka belajar

menggabungkan aktivitas sebelumnya dengan yang baru.

Menurut Grey & Tall (1994) dalam Wiryanto (2014:571) kata abstraction

mempunyai dua arti, pertama sebagai proses ‘melukiskan’ suatu situasi, dan kedua

merupakan konsep sebagai hasil dari sebuah proses.

Menurut Van Oers & Poland (2007) abstraksi adalah proses konstruksi

hubungan-hubungan antara objek-objek dari sudut pandang tertentu. Selain itu,

abstraksi dapat pula dipandang sebagai sebuah prses dialektik, yaitu proses berpikir

yang teratur , logis, dan teliti antara objek-objek konkret yang diberikan dan

representasi abstraknya dari objek-objek tersebut. Lebih lanjut, Van Oers mengatakan

bahwa abstraksi dapat dimaknai sebagai suatu proses pemusatan perhatian pada
15

hubungan-hubungan antara objek-objek, dan mengabaikan perbedaan kualitas dari

objek-objek tersebut. Proses pemusatan perhatian ini dapat dijelaskan sebagai sebuah

konstruksi dari sebuah objek mental yang dapat dipresentasikan sebagai sebuah model

simbolik yang abstrak.

Pengertian abstraksi menurut Scwarz, Hershkowitz, dan Dreyfus dalam

Mitchelmore & White (2004:334) yaitu “abstraction as an activity of vertically

reorganizing previously constructed mathematics into a new mathematical structure.

New mathematical objects are constructed by the establishment of connections, such

as inventing a mathematical generalization, proof, or a new strategy of solving a

problem” yang memiliki makna bahwa abstraksi merupakan suatu aktivitas

reorganisasi vertikal konsep matematika yang telah dikonstruksi sebelumnya melalui

sebuah struktur matematika baru. Objek-objek matematika baru dikonstruksi melalui

pembentukan hubungan sedemikian hingga menemukan generalisasi, bukti, atau

strategi baru pada pemecahan masalah.

Menurut Soedjadi (2000) abstraksi terjadi bila dari beberapa objek kemudian

di “gugurkan” ciri atau sifat objek itu yang dianggap tidak penting, dan akhirnya hanya

diperhatikan atau diambil sifat penting yang dimiliki bersama. Abstraksi berawal dari

sebuah himpunan objek, selanjutnya dikelompokkan berdasarkan sifat dan hubungan

penting, kemudian digugurkan sifat dan hubungan yang tidak penting. Hasil abstraksi

terdiri atas himpunan semua objek yang mempunyai sifat dan hubungan penting

sehingga abstraksi merupakan sebuah proses dekontekstualisasi (suatu proses yang

membawa pengetahuan keluar dari konteksnya atau memisahkan suatu konsep dengan
16

konteksnya). Proses ini linear, berawal dari objek-obejk menuju pada kelas atau

struktur dan disebut objek pada level yang lebih tinggi.

Menurut Piaget dalam Tall (1990) dalam Wiryanto (2014:571) memberikan

penjelasan tentang abstraksi, yaitu abstraksi terjadi karena ‘aksi mental’ yang

dipengaruhi oleh konsep mental. Konsep mental ini digerakkan oleh operasi mental

dari objek yang ditangkap pikiran, seperti disajikan diagram berikut.

Objek ditangkap pikirian


Operasi mental

Konsep mental

Aksi mental

Abstraksi

Dalam penelitian ini abstraksi yang dimaksud adalah proses pembentukan

konsep berupa objek-objek matematika yang bersifat abstrak melalui serangkaian

aktivitas pengorganisasian ulang pengetahuan-pengetahuan matematis yang sudah

dikonstruksi sebelumnya menjadi suatu struktur yang baru.

Dari proses abstraksi, seseorang akan mampu membentuk sebuah pengertian

atau sebuah konsep baru dari apa yang telah diketahui sebelumnya menjadi sebuah

konsep yang lebih kompleks. Menurut Bruner dalam Tall (1996) dalam Sagala

(2016:51) proses abstraksi seorang siswa melalui tiga tahapan sebagai berikut.
17

1) Enaktif, dalam tahap ini anak-anak dalam belajar menggunakan manipulasi objek

secara langsung.

2) Ikonik, tahap ini menyatakan bahwa kegiatan anak mulai menyangkut mental yang

merupakan gambaran mental.

3) Simbolik, tahap ini adalah tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan

tidak ada kaitannya dengan objek.

Proses abstraksi di atas dapat diperjelas dengan skema sebagai berikut.

Benda konkret Semi konkret Abstrak

a
Benda nyata
yang Pengetahuan
mempunyai tiga tentang sifat /
sisi seperti atap karakteristik
rumah, tanda maupun atribut
lampu lalu lintas dari segitiga
dan lain-lain. b c

3. Teori-teori abstraksi

a. Abstraksi menurut Piaget

Menurut Piaget (1970) dalam Nurhasanah, dkk (2017:56), pengetahuan

seseorang merupakan abstraksi atas suatu objek atau hal. Piaget membedakan menjadi

tiga macam, yaitu:


18

1) Abstraksi empiris (empirical abstraction)

Dalam abstraksi empiris, individu memperoleh pengetahuan dari sifat-sifat

obyek. Hal ini dapat diartikan bahwa pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman-

pengalaman yang muncul. Pengetahuan yang diperoleh pada sifat ini bersifat internal

dan hasil konstruksi dibangun secara internal oleh subyek. Berdasarkan Piaget,

abstraksi jenis ini menghasilkan penurunan sifat-sifat umum suatu objek dan perluasan

suatu generalisasi, berarti objek-objek itu dijelaskan dari hal khusus ke yang umum.

Contoh dari abstraksi empiris yaitu subjek mengamati lima

kumpulan/himpunan benda yang masing-masing berisi dua benda. Benda dalam suatu

kumpulan adalah sama bentuk, besar, dan ciri lainnya tetapi berbeda dengan ciri benda

pada setiap kumpulan yang lain. Setelah mengamati setiap kumpulan benda itu, subjek

menemukan bahwa setiap kumpulan memiliki ciri yang berbeda dengan kumpulan

yang lain kecuali bahwa mereka memiliki satu ciri yang sama yaitu banyak anggota

pada masing-masing kumpulan itu. Ciri yang sama tersebut adalah suatu contoh

abstraksi. Hasil mengabstraksikan atau abstraksi (yaitu memiliki anggota yang sama)

yang diperoleh dari pengalaman mengamati tersebut disebut abstraksi empiris.

2) Abstraksi empiris semu (pseudo-empirical abstraction)

Abstraksi empiris semu merupakan pertengahan antara abstraksi empiris dan

abstraksi reflektif. Proses abstraksi semu terjadi ketika subjek dihadapkan pada suatu

objek kemudian menemukan sifat-sifat objek melalui proses membayangkan suatu


19

tindakan yang dikenakan pada objek tersebut. Subjek berusaha membuat konfigurasi

pada objek dalam ruang serta mencermati hubungna-hubungan yang mungkin terjadi.

Dapat dikatakan bahwa abstraksi empiris semu sebagai upaya melepaskan sifat-sifat

kebendaan (sesuatu yang terlihat berdasar penampakan objek) sebuah ibjek.

Contoh dari abstraksi empiris semu yaitu subjek dihadapkan ke pada dua

kelompok benda (objek) dan ingin mengetahui kelompok mana yang lebih banyak.

Subjek mencacah (melakukan aksi) pada kelompok pertama ternyata ada 5 benda dan

pada kelompok kedua ada 7. Subjek mengumpulkan bahwa kelompok kedua lebih

banyak dari pada kelompok pertama. Pengetahuan yang diperoleh itu selain bersumber

pada objek juga bersumber pada aksi yang dilakukan subjek pada objek tersebut.

Abstraksi yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan itu disebut psido empiris.

Baik mencacah maupun membandingkan itu bersifat internal bagi subjek (konstruksi

internal bukan eksternal).

3) Abstraksi reflektif (reflaction abstraction)

Abstraksi reflektif digambarkan oleh Piaget yang disebut koordinasi umum

(general coordination). Dari aksi demikian, sumbernya adalah subjek yang dilengkapi

dengan sifat internal lengkap. Abstraksi reflektif merupakan suatu konsep yang

dikenalkan oleh Piaget untuk menjelaskan konstruksi struktur logika matematika

seseorang dalam pengembangan kognitif pada saat mempelajari suatu konsep.

Contoh dari abstraksi reflektif yaitu anak-anak yang membentuk aksi-aksi

individual untuk membentuk pasangan dua, tiga, dan seterusnya. Selanjutnya


20

mengkoordinasi aksi untuk membentuk urutan secara total. Abstraksi jenis ini

menghasilkan suatu urutan yang sangat berbeda tentang sesuatu secara umum dimana

hal ini konstruktif dan menghasilkan “suatu sintesis baru ditengah aturan khusus yang

memunculkan arti baru”. Contoh lainnya adalah konsep ring euclids dimana konsep

ini benar-benar abstrak dan sangat umum. Hasil ini dipertimbangkan termasuk

kedalam jenis ini karena menurunkan sifat-sifat bilangan bulat.

Pada dasarnya ketiga bentuk abstraksi tersebut saling berkaitan. Tindakan-

tindakan yang menghantarkan pada abstraksi empiris semu dan abstraksi reflektif

terbentuk melalui proses identifikasi sifat-sifat objek yang terjadi pada saat abstraksi

empiris. Di lain pihak, abstraksi empiris hanya mungkin terjadi melalui proses

asimilasi skema-skema yang dikonstruksi oleh abstraksi reflektif. Hubungan timbal

balik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: abstraksi empiris dan empiris semu

menggambarkan pengetahuan dari objek-objek baik melalui penampakannya saja

ataupun tindakan-tindakan yang diberlakukan pada objek tersebut secara imajinatif.

Abstraksi reflektif menginteriorisasikan dan mengkoordinasikan tindakan-tindakan

tersebut untuk membentuk tindakan baru dan pada akhirnya memperoleh objek baru.

Kemudian abstraksi empiris akan menyarikan data dari objek-objek baru tersebut

melalui tindakan-tindakan mental pada objek tersebut dan seterusnya (Nurhasanah,

2010:21-22).
21

Jika abstraksi dipandang sebagai suatu metode konstruksi dalam matematika,

terdapat empat jenis konstruksi yang penting berkaitan dengan proses berpikir

matematis tingkat lanjut (Nurhasanah, 2010:23-24), yaitu:

1) Kemampuan menggunakan simbol, bahasa, gambar serta gambaran mental, ketika

seorang anak memperlihatkan proses abstraksi reflektif. Kemampuan tersebut

berguna untuk mengkonstruksi proses internal sebagai suatu cara membuat

fenomena yang diterima mempunyai makna. Proses ini disebut oleh Piaget sebagai

interiorization. Contoh dalam belajar geometri, dapat dilihat ketika siswa belajar

tentang sumbu simetri, misalnya pada segitiga samasisi dengan alat peraga berupa

karton yang permukaannya berbentuk segitiga samasisi. Selanjutnya siswa melipat

segitiga tersebut sehingga menjadi dua bangun yang sama bentuk dan ukurannya,

yang dilanjutkan dengan melihat tanda-tanda lipatan kemudian menyimpulkan dan

menggambarkannya di dalam bentuk garis-garis sebagai sumbu-sumbu simetri dari

segitiga samasisi.

2) Kemampuan mengkomposisikan atau mengoordinasikan dua proses atau lebih

untuk membentuk sesuatu yang baru. Contoh dari kemampuan ini dalam belajar

geometri salah satunya dibutuhkan ketika siswa belajar tentang konsep menghitung

luas bangun datar. Siswa harus mengomposisikan proses membuat suatu satuan

pengukuran dan membilang unit yang menutupi seluruh permukaan bangun

tersebut untuk menemukan rumus dari luas bangun datar.

3) Kemampuan mengonversi suatu proses (yang dinamis) menjadi sebuah objek (yang

statis). Proses ini disebut sebagai encapsulation. Contohnya dapat dilihat ketika
22

seorang siswa belajar tentang perkalian. Konsep perkalian pada dasarnya adanya

proses dinamis melakukan duplikasi pada sesuatu, namun konsep akhir yang

diperoleh merupakan hasil perkalian berupa suatu objek yang statis berupa besaran.

4) Kemampuan mengaplikasikan skema yang ada ke dalam fenomena-fenomena yang

lebih luas, skema yang sudah melewati proses ini dikatakan telah digeneralisasi.

Dalam belajar geometri contoh yang sederhana dapat ditemukan, misalnya ketika

siswa belajar tentang konsep jumlah sudut dalam suatu bangun datar. Jika jumlah

besaran ketiga sudut dalam suatu bangun segitiga adalah 180°, bangun segiempat

adalah 360°, dan seterusnya hingga bangun segi-n, siswa dapat menemukan bahwa

jumlah besaran sudut dalam segi-n adalah (𝑛 − 2) × 180°.

b. Abstraksi menurut Mitchelmore & White

Secara garis besar Mitchelmore & White membedakan abstraksi menjadi dua,

yaitu abstraksi empiris dan abstraksi teoritis.

1) Abstraksi empiris

Abstraksi empiris yaitu proses pembentukan pengertian tentang suatu objek

yang abstrak berdasar pada pengalaman empiris. Abstraksi empiris memiliki fokus

terhadap proses identifikasi tampilan-tampilan penting umum, sehingga konsep yang

dihasilkan dari proses abstraksi empiris disebut juga sebagai konsep abstract-general

(Mitchelmore & White, 2007:3).


23

Contoh dari abstraksi empiris yaitu konsep abstraksi yang disampaikan oleh

Skemp, abstraksi terdiri dari proses pengenalan karakteristik yang sama kemudian

diikuti dengan penjelmaan kesamaan menjadi suatu objek mental yang baru. Aktivitas

abstraksi dimulai dengan kepekaan terhadap adanya karakteristik yang sama dari

pengalaman-pengalaman yang dimilikinya, kemudian kesamaan-kesamaan yang

diperolehnya dijadikan sebagai dasar untuk melakukan pengklasifikasian. sehingga

abstraksi merupakan suatu perubahan yang tahan lama, sebagai hasil aktivitas

abstraksi yang memungkinkan kita mengenal pengalaman-pengalaman baru.

2) Abstraksi teoritis

Abstraksi teoritis terdiri dari pembentukan konsep-konsep untuk disesuaikan

dengan beberapa teori. Vygotsky membedakan antara makna konsep dalam konteks

kehidupan sehari-hari dengan makna konsep dalam konteks bidang ilmiah. Menurut

Vygotsky, konsep dalam konteks kehidupan sehari-hari dibentuk melalui proses

abstraksi empiris. Adapun pembentukan konsep-konsep ilmiah terdiri atas tiga aspek,

yaitu (1) penetapan sebuah sistem dari berbagai relasi diantara konsep-konsep, (2)

kesadaran dari aktivitas mental seseorang, dan (3) penetrasi ke dalam suatu esensi dari

objek justru akan memperkaya realitas yang dipresentasikan dalam konsep tersebut,

bukan sebaliknya (Mitchelmore & White, 2007:4).

Contoh tentang perbedaan antara abstraksi empiris dan abstraksi teoritis dalam

proses pembelajaran khususnya geometri yaitu dalam mempelajari tentang konsep

garis, berdasarkan teori abstraksi empiris maka prosesnya adalah anak mengenal
24

berbagai bentuk representasi dari garis terlebih dahulu seperti gambar garis, lintasan

bekas lipatan kertas dan lainnya. Pada proses ini anak mengenali karakteristik yang

sama dari pengalaman-pengalaman dengan dari objek yang nyata. Meskipun

karakteristik yang sama tersebut hanya secara kasar terlihat linear dan dihasilkan dari

berbagai konteks, namun dari sanalah konsep akan dikenal. Sedangkan pada proses

abstraksi teoritis, maka siswa dikenalkan terlebih dahulu tentang konsep titik dan garis

berdasarkan definisi. Hal tersebut dilakukan agar dapat memunculkan proses

generalisasi dari investigasi spasial (contohnya seperti dua garis yang berpotongan

pada satu titik). Lalu dilihat keterkaitan antar kedua konsep tersebut untuk mengenal

konsep tentang garis.

Dari contoh tersebut terlihat jelas perbedaan antara abstraksi empiris dan

abstraksi teoritis. Alur proses abstraksi empiris dan abstraksi teoritis berbeda. Pada

abstraksi empiris, individu membentuk konsep baru berdasar pada pengamatan dan

pengalaman sedangkan pada abstraksi teoritis, konsep baru dibentuk dengan

melakukan pencocokkan konsep, jadi dengan pengalaman-pengalaman yang sudah

terbentuk dan tersimpan lebih dahulu dalam pemikiran individu.

Dalam proses pembelajaran matematika, terdapat tida hal yang terjadi

berkaitan dengan proses abstraksi yang dialami siswa, yaitu: siswa belajar sebuah

konsep empiris, siswa belajar tentang sebuah objek matematis dan siswa belajar

tentang hubungan atara konsep empiris dan objek matematis. Atau sebaliknya, siswa
25

belajar tentang objek matematis, siswa belajar tentang konsep empiris dan siswa

belajar tentang hubungan keduanya (Nurhasanah, 2010:29).

Jika pernyataan tersebut dicermati, maka terlihat bahwa walaupun terdapat

perbedaan konsep antara abstraksi empiris dan abstraksi teoritis, tetapi keduanya

merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dari proses belajar matematika.

Dalam proses belajar matematika kedua proses abstraksi tetap harus terjadi.

Beberapa konsep dalam matematika, memang dapat dengan mudah diajarkan melalui

sebuah proses abstraksi empiris seperti konsep bilangan positif, sudut dan bangun

datar. Namun beberapa konsep dalam matematika seperti bilangan irasional, bilangan

kompleks, atau konsep 𝑥° tidak mudah diajarkan secara empiris.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tentang abstraksi, maka dalam penelitian

ini lebih mengarah pada abstraksi yang dikemukakan oleh Mitchelmore & White

(2007:3) bahwa abstraksi terdiri dari proses pengenalan karakteristik yang sama

kemudian diikuti dengan penjelmaan kesamaan menjadi suatu objek mental yang baru.

Aktivitas abstraksi dimulai dengan kepekaan terhadap adanya karakteristik yang sama

dari pengalaman-pengalaman yang dimilikinya, kemudian kesamaan-kesamaan yang

diperolehnya dijadikan sebagai dasar untuk melakukan pengklasifikasian. sehingga

abstraksi merupakan suatu perubahan yang tahan lama, sebagai hasil aktivitas

abstraksi yang memungkinkan kita mengenal pengalaman-pengalaman baru.


26

4. Model abstraksi RBC

Menurut teori Dreyfus, Hershkowitz dan Schwarz (2001:378) tentang model

teori abstraksi yang dikenal dengan model abstraksi Recognizing, Building-With and

Constructing (RBC). Model ini juga dikenal oleh William (2007) dalam mengkaji

proses abstraksi spontan dalam pembelajaran matematika. Proses abstraksi yang

spontan dijelaskan oleh William sebagai suatu aktivitas keterlibatan siswa dalam

pembentukan konsep yang terjadi secara spontan hingga menarik fokus perhatian

siswa dalam belajar untuk membentuk suatu konsep matematika yang baru. Abstraksi

bukan sebuah tujuan dalam proses pembelajaran matematika, melainkan sebuah

aktivitas yang terdiri atas serangkaian tindakan. Tindakan-tindakan tersebut berkaitan

erat dengan proses pembentukan pengetahuan mateamtis.

Menurut Dreyfus, Hershkowitz dan Schwarz (2001:378) ada tiga tindakan

epistemis yang diidentifikasi terkait pada proses abstraksi yaitu: Pertama, Recognising

atau pengenalan struktur-stuktur matematis yang dikenal, hal ini terjadi ketika seorang

siswa menyadari bahwa struktur itu melekat dalam situasi matematis yang diberikan.

Proses pengenalan melibatkan ketertarikan terhadap hasil dari tindakan-tindakan

sebelumnya dan mengekspresikannya dengan cara yang analog atau dicocokkan.

Kedua, Building-With terdiri atas pengkombinasian artefak-artefak (konsep-konsep

atau struktur-struktur hasil pemikiran sebelumnya) yang ada dalam rangka mencapai

sebuah tujuan seperti menyelesaikan masalah atau menjustifikasi sebuah pernyataan.

Tugas yang sama dapat mengarahkan seorang anak pada fase Building-With tetapi
27

mungkin hal ini tidak berlaku bagi anak yang lain. Hal tersebut bergantung pada

pengalaman yang sudah dimiliki oleh masing-masing anak. Ketiga, Constructing

adalah langkah utama pada abstraksi yang terdiri atas kumpulan pengetahuan artefak

untuk menghasilkan struktur baru yang menjadi ciri khas para anggotanya.

Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa konsep abstraksi yang dipaparkan

oleh Dreyfus dkk (2001) adalah sebuah aktivitas yang merupakan proses mental dalam

membentuk suatu konsep matematika yang melibatkan hubungan-hubungan atar

struktur atau objek-objek matematis.

5. Indikator aktivitas abstraksi

Berdasarkan pengertian abstraksi baik empiris ataupun teoritis, indikasi

terjadinya proses abstraksi dalam belajar dapat dicermati dari beberapa aktivitas

(Nurhasanah, 2010:30) sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi karakteristik objek melalui pengalaman langsung

Aspek mengidentifikasi karakteristik objek melalui pengalaman langsung

merupakan komponen dasar dari proses abstraksi. Semua ahli sepakat dengan hal ini,

sebab proses abstraksi membutuhkan pengalaman siswa terhadap benda atau objek

langsung di dunia nyata yang mewakili objek-objek yang abstrak, pendapat yang

secara jeelas menggambarkan indikator ini adalah pendapat Liebeck (1984), Piaget

yang mengatakan abstraksi membutuhkan pengalaman langsung (Shulhany dkk,

2014).
28

2) Mengidentifikasi karakteristik objek yang dimanipulasikan atau diimajinasikan

Aspek kedua ini sesuai dengan pendapat Gray dan Tall (2002) serta pendapat

Durmus dan Karakirik (2006). Menurut Gray dan Tall, kadangkala proses abstraksi

terjadi pada alam bawah sadar. Sedangkan menurut Durmus dan karakirik,

penyederhanaan permasalahan matematika adalah dengan memasukkan unsur-unsur

yang signifikan dan menghilangkan unsur-unsur yang tidak penting. Kedua pendapat

tersebut merujuk pada aspek mengidentifikasi objek yang dimanipulasikan atau

diimajinasikan (Shulhany dkk, 2014).

3) Membuat generalisasi

Membuat generalisasi telah dikaitkan dengan abstraksi oleh Ferrai (2003) dan

Piaget. Ferrari mengatakan bahwa komponen dasar dari abstraksi adalah generalisasi

yaitu proses merumuskan konsep-konsep abstrak secara umum, dekontekstualisasi

yaitu pemisahan sebuah konsep dari konteks yang semestinya dan reifikasi yatiu

penggunaan ulang suatu konsep. Sedangkan Piaget mengatakan bahwa salah satu

konstruksi pengetahuan adalah generalisasi, merupakan jenis konstruksi dimana siswa

belajar untuk menerapkan skema yang ada untuk digunakan pada fenomena yang lebih

luas (Shulhany dkk, 2014).


29

4) Merepresentasikan gagasan matematika dalam bahasa dan simbol-simbol

matematika

Aspek merepresentasikan gagasan matematika dalam bahasa dan simbol-

simbol matematika sesuai dengan pendapat Van Oers (2007), Ferrari (2003), Barsalou

(2003), Liebeck (1984), Piaget. Menurut Van Oers, abstraksi merupakan konstruksi

objek mental yang dapat disimbolisasi (dapat direpresentasikan). Selain pendapat itu,

Mudzakir menyatakan representasi dalam bentuk visual berupa gambar dapat diamati

melalui aktivitas, yaitu membuat gambar pola-pola geometri, serta membuat gambar

untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesaiannya (Shulhany dkk, 2014).

5) Melepaskan sifat-sifat kebendaan dari sebuah objek atau melakukan idealisasi

Aspek melepaskan sifat-sifat kebendaan dari sebuah objek atau melakukan

idealisasi dimana siswa melepaskan sifat-sifat kebendaan dari sebuah objek atau

melakukan idealisasi. Indikator ini didukung oleh Van Oers (2007), Marsigit (2009),

dan Liebeck (1984). Menurut Marsigit (2009), idealisasi adalah kegiatan menganggap

sempurna sifat-sifat yang ada. Dari model kubus yang terbuat dari kayu jati, maka

dengan abstraksi hanya mempelajari tentang bentuk dan ukuran. Dengan idealisasi

maka dapat diperoleh bahwa ruas-ruas kubus berupa garis lurus. Apabila disimpulan

dari beberapa pendapat di atas, maka didapati bahwa salah satu indikator siswa telah

melakukan idealisasi adalah siswa dapat merepresentasikan objek matematis pada

masalah kontekstual (Shulhany dkk, 2014).


30

6) Membuat hubungan antarproses atau konsep untuk membentuk suatu pengertian

baru

Aspek membuat hubungan antarproses atau konsep untuk membentuk suatu

pengertian baru telah didukung oleh Nurhasanah (2010:144) dimana aktivitas yang

menandakan proses ini berlangsung adalah jika siswa secara spontan saling

menghubungkan konsep-konsep yang telah dimilikinya atau yang baru saja

diperolehnya untuk membentuk suatu struktur kognitif yang baru.

7) Mengaplikasikan konsep pada konteks yang sesuai

Aspek mengaplikasikan konsep pada konteks yang sesuai, indikator ini sesuai

dengan pendapat Van Oers, Skemp, dan Dienes. Menurut Van Oers (Nurhasanah,

2010:16) abstraksi dapat didefinisikan suatu proses pemusatan perhatian yang

mengkonstruksi objek mental yang dapat disimbolisasi pada hubungan-hubungan

antara objek-objek, dan mengabaikan perbedaaan kualitas dari objek-objek tersebut.

Pengertian tersebut mengindikasikan bahwa setelah terjadinya aspek representasi dan

aspek menghubungkan antarproses lalu muncul aspek aplikatif. Hal ini sesuai dengan

pendapat Skemp (Nurhasanah, 2010:15) yang mengatakan bahwa proses abstraksi

adalah suatu aktivitas ketika seseorang menjadi peka terhadap karakteristik yang sama

dalam pengalaman yang diperolehnya, kemudian kesamaan karakteristik tersebut

dijadikan dasar untuk melakukan klasifikasi hingga seseorang dapat mengenali suatu

pengalaman baru dengan cara membandingkannya terhadap kelas yang sudah

terbentuk dalam pikirannya terlebih dahulu.


31

8) Melakukan manipulasi objek matematis yang abstrak.

Aspek melakukan manipulasi objek matematis yang abstrak, indikator ini

sesuai dengan pendapat Nurhasanah. Menurut Nurhasanah (2010:152), aspek ini

merupakan aspek tertinggi, sebab pada indikator ini siswa tidak memerlukan lagi objek

kongkret atau dapat dikatakan siswa sudah lepas dari hal-hal yang kongkret. Aspek ini

menurut Yevdokimov dapat diamati pada aktivitas siswa yang mulai dapat

membedakan antara aksioma, definisi dan teorema dalam geometri, melakukan

pembuktian secara deduktif, dan melakukan generalisasi kreatif dengan menggunakan

analisis.

B. Gaya kognitif

Para Psikolog melihat adanya perbedaan seseorang dalam memproses dan

memanfaatkan lingkungannya yang berpengaruh terhadap hasil belajarnya. Perbedaan

ini sering disebut gaya kognitif. Menurut Rahmatina dkk (2014:64) gaya kognitif

merupakan salah satu ide baru dalam kajian psikologi perkembangan dan pendidikan.

Ide ini berkembang pada penelitian bagaimana individu menerima dan mengorganisasi

informasi dari lingkungan sekitarnya.

Beberapa batasan tentang gaya kognitif (cognitive styles) yang dikemukakan

Witkin dalam Nasution (2003:28) “A cogntive style as characteristic modes of

functioning that we reveal throughout out perceptual and intellectual activities in

highly consistent and pervasive way” berarti gaya kognitif adalah ciri khas dalam
32

melakukan sesuatu yang diungkapkan secara konsisten dan sudah mendarah daging

dalam keseluruhan aktivitas berpikir dan intelektual dengan cara yang konsisten dan

meluas.

Messick et al. dalam Rahman (2003) dalam Muniri (2015:61) memberi batasan

gaya kongitif yakni “Cognitive style are stable attitudes, represent or habitual

strategies determining a person’s typical modes of perceiving, remembering, thinking

and problem solving” berarti gaya kognitif merupakan sikap stabil (relatif tetap), yang

menggambarkan atau kebiasan strategi yang dilakukan seseorang dalam memahami,

mengingat, memikirkan sesuatu dan dalam menyelesaikan masalah. Selanjutnya

Soedjadi (1986) dalam Muniri (2015:62) mengemukakan bahwa:

Cognitive style may be described by the following characteristics: they are


concerned with the forms rather than the content of cognitive activites; they
refer to individual inferences concerning how people perceive, think, solve
problems, learn and relate to others; they are features of personality, the
patterns of collective characters which include behavioral, temperamental,
emotional and mental traits of an individual; they are stable over time; and
they are distinguishable from intelligence and other ability dimensions.

Berdasarkan pendapat di atas, berarti ciri-ciri gaya kognitif dapat dijelaskan

sebagai berikut: gaya kognitif terkait dengan bentuk ketimbang isi dan kandungan

aktivitas kognitif; gaya kognitif mengacu pada inferensi individu tentang bagaimana

seseorang memandang (memahami), memikirkan, memecahkan masalah, belajar dan

berhubunggan dengan orang lain; gaya kognitif adalah ciri kepribadian, pola dan ciri

kolektif yang mencakup ciri perilaku, temperamen, emosi, dan mental seseorang; gaya

kognitif bersifat stabil sepanjang masa; dan gaya kognitif dapat dibedakan dari

kecerdasan dan dimensi kemampuan yang lain.


33

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa gaya kognitif merupakan ciri khas pemfungsian kegiatan

perseptual dan intelektual. Ciri tersebut bersifat konsisten dan dapat “menembus” ke

seluruh tingkah laku baik dalam aspek kognitif maupun dalam aspek afektif. Gaya

kognitif merujuk pada cara orang memperoleh informasi dan menggunakan strategi

untuk merespok suatu tugas.

Beberapa jenis gaya kognitif yang diidentifikasi oleh Siegel & Coop dalam

Thomas (1990) dalam Muniri (2015:64) adalah (a) mengutamakan perhatian global

(keseluruhan) versus perhatian detail (bagian); (b) membedakan suatu stimulus ke

dalam kategori yang lebih besar versus kategori bagian-bagian kecil yang banyak; (c)

kecenderungan mengklasifikasi item berdasarkan karakteristik yang nampak seperti

kesamaan fungsi, waktu, atau ruang versus lambat, tingkah laku pemecahan masalah

yang serius/sungguh-sungguh; (d) intuitif-induktif versus logik-deduktif.

Berdasarkan uraian di atas, setidaknya ada dua gaya kognitif yang secara

khusus penting dalam pendidikan, yaitu (1) gaya kognitif berdasarkan psikologis yakni

gay kognitif field independent versus gaya kognitif field dependent, dan (2) gaya

kognitif berdasarkan konseptual tempo yakni gaya kognitif impulsive versus gaya

kognitif reflexive.

Gaya kognitif yang telah ditemukan para ahli cukup banyak macamnya, pada

penelitian ini memfokuskan pada gaya kognitif impulsif-reflektif yang dikemukakan

oleh Jerome Kagan tahun 1965. Kagan dan Kogan (1970) dalam Warli (2009:568)

mendefinisikan reflektif-impulsif adalah derajat/tingkat subjek dalam


34

menggambarkan ketepatan dugaan penyelesaian masalah yang mengandung

ketidakpastian jawaban.

Mengacu pada definisi impulsif-reflektif tersebut, terdapat dua aspek penting

yang harus diperhatikan dalam mengukur impulsif-reflektif yaitu: aspek pertama,

dalam mengukur impulsif reflektif dilihat dari variabel waktu yang digunakan siswa

dalam menyelesaikan masalah. Aspek kedua, frekuensi siswa dalam memberikan

jawaban sampai mendapatkan jawaban betul. Bila aspek waktu dibedakan menjadi

dua, yaitu cepat dan lambat, kemudian aspek frekuensi menjawab dibedakan menjadi

cermat/akurat (frekuensi menjawab sedikit) dan tidak cermat/tidak akurat (frekuensi

menjawab banyak), maka siswa dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok yakni fast

accurate, reflektif, impulsif, dan slow inaccurate. Nama gaya kongitif ini adalah

reflektif-impulsif karena proporsi anak yang menempati kelompok itu terbesar.

Reuchlin dalam Rozencwajg & Corroyer (2005) dalam Warli (2009:568) menemukan

proporsi anak impulsif-reflektif sebesar 70% demikian juga Rozencwajg & Corroyer

(2005) dalam Warli (2009:568) menemukan proporsi anak impulsif-reflektif sebesar

76,2%.

Karakteristik siswa dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu: fast accurate,

siswa yang mempunyai karakteristik cepat dalam menjawab masalah dan cermat/teliti

sehingga jawaban cenderung benar; reflektif, siswa yang mempunyai karakteristik

lambat dalam menjawab masalah dan cermat/teliti sehingga jawaban cenderung benar;

impulsif, siswa yang mempunyai karakteristik cepat dalam menjawab masalah tetapi

kurang cermat/kurang teliti sehingga jawaban cenderung salah; slow inaccurate, anak
35

yang mempunyai karakteristik lambat dalam menjawab masalah dan kurang

cermat/kurang teliti sehingga jawaban cenderung salah.

f (banyak jawaban salah)

Siswa cepat dan Siswa lambat dan


tidak cermat tidak cermat
(Impulsif) (Slow inaccurate)
1
𝑓
2
Siswa cepat dan Siswa lambat dan
cermat cermat
(Fast accurate) (Reflektif)
t (waktu menjawab)
1
𝑡
2

C. Hubungan abstraksi dengan gaya kognitif

Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah pasti

berbeda tingkatannya. Ada yang cepat, sedang, dan ada pula yang sangat lambat. Oleh

karena itu, mereka seringkali harus menempuh cara yang berbeda untuk bisa

memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama. Hal ini terjadi karena adanya

kebiasaan yang berhubungan dengan lingkungan belajar itulah yang dimaksud dengan

gaya kognitif.

Gaya kognitif adalah cara seseorang dalam memproses, menyimpan, maupun

menggunakan informasi untuk menanggapi suatu tugas atau menanggapi berbagai

jenis situasi lingkungannya. Setiap siswa memiliki gaya kognitif yang berbeda dalam

memproses informasi atau menghadapi suatu tugas dan masalah. Perbedaan ini
36

bukanlah menunjukkan tingkat intelegensi atau kecakapan tertentu, sebab siswa yang

berbeda dengan gaya kognitif yang sama belum tentu tingkat intelegensi atau

kemampuan yang sama. Apalagi dengan gaya kognitif yang berbeda, kecenderungan

perbedaan tingkat intelegensi dan kemampuan yang dimilikinya lebih besar. Didalam

gaya kognitif terdapat suatu cara yang berbeda untuk melihat, mengenal, dan

mengorganisir informasi. Setiap siswa memiliki cara yang lebih disukai dalam

memproses dan mengorganisasi informasi. Kemungkinan ada siswa yang memberikan

respon yang lebih cepat, tetapi ada pula yang lebih lambat.

Kemampuan abstraksi yang dimaksud adalah kegiatan mengorganisasi konsep

matematika yang telah dimiliki sebelumnya menjadi sebuah struktur baru yakni

mengamati serangkaian contoh, mengenali sifat secara umum, dan menyatukannya

menjadi satu konsep. Hal ini dilakukan dengan meniadakan sifat yang tidak sama dan

mempertahankan sifat yang sama.

Pemahaman konsep sangat dibutuhkan oleh siswa guna melakukan proses

abstraksi karena pemahaman konsep merupakan bagian penting dari seorang siswa

dalam mengenali, mengkonstruksi dan mengabstraksi serangkaian contoh dan

menyatukannya menjadi satu konsep dengan mempertahankan sifat yang sama.

Berdasarkan waktu pemahaman konsep atau yang disebut dengan konseptual

tempo yang digunakan untuk merespon suatu stimulus, gaya kognitif dibagi menjadi

dua, yaitu gaya kognitif impulsif dan gaya kognitif reflektif. Kagan et al dalam

Backhaus dan Liff (2007) dalam Sarjana dkk (2016:3) mengemukakan bahwa siswa

yang memiliki gaya kognitif reflektif memiliki karakteristik mempertimbangkan


37

sesuatu hal dengan detail sebelum mengambil keputusan. Sedangkan siswa yang

memiliki gaya kognitif impulsif memiliki karakteristik mencapai keputusan dengan

cepat tanpa memerlukan suatu pertimbangan yang hati-hati.

D. Materi Segitiga

1. Pengertian segitiga

Menurut Suhartono (2006:2) segitiga adalah gabungan tiga ruas garis yang

dibentuk oleh tiga titik yang tidak segaris yang sepasang-sepasang saling

dihubungkan. Segitiga merupakan bentuk dasar bangun-bangun geometri. Jika ketiga

titik tersebut adalah A, B, dan C maka segitiga yang terbentuk disebut segitiga ABC

dan ditulis ∆𝐴𝐵𝐶 dan sisi dihadapan titik sudut diberi nama huruf kecil yang sesuai

dengan nama sudutnya.

A
b

c C

Pada ∆𝐴𝐵𝐶, ̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅, dan 𝐶𝐴


𝐴𝐵 , 𝐵𝐶 ̅̅̅̅̅ disebut sisi-sisi ∆𝐴𝐵𝐶, dan ∠𝐵𝐴𝐶, ∠𝐴𝐵𝐶,

∠𝐴𝐶𝐵 (∠𝐴, ∠𝐵, dan ∠𝐶) disebut sudut-sudut ∆𝐴𝐵𝐶 dengan titik-titik sudutnya adalah

titik A, B, dan C.
38

2. Sifat-sifat segitiga

Sifat 1

Jumlah panjang dua sisi dari suatu segitiga lebih panjang dari sisi yang
lain

Sifat 2

Jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga sama dengan 180°

Sifat 3
Besar sudut luar segitiga sama dengan jumlah dua sudut dalam lainnya

Sifat 4

Dalam suatu segitiga sisi yang terpendek berhadapan dengan sudut yang
lebih kecil

3. Jenis-jenis segitiga

1) Jenis-jenis segitiga berdasarkan jenis sudutnya ada tiga, yaitu:

a) Segitiga lancip (acute triangle) adalah segitiga yang semua sudutnya merupakan

sudut lancip (sudut yang berukuran lebih dari 0° dan kurang dari 90°).

Atributnya adalah ketiga sudutnya lancip.

b) Segitiga tumpul (obtuse triangle) adalah segitiga yang mempunyai sudut tumpul

(sudut yang berukuran lebih dari 90° tetapi kurang dari 180°).

Atributnya adalah salah satu sudutnya tumpul.


39

c) Segitiga siku-siku (right triangle) adalah segitiga yang mempunyai sudut siku-

siku (sudut yang berukuran 90°).

Atributnya adalah salah satu sudutnya siku-siku.

2) Jenis-jenis segitiga berdasarkan panjang sisinya ada tiga, yaitu:

a) Segitiga tidak sama sisi/sebarang (scalene triangle) adalah segitiga yang panjang

ketiga sisinya tidak sama panjang dan ketiga besar sudutnya tidak sama besar.

Atributnya adalah ketiga sisinya tidak kongruen.

b) Segitiga sama kaki (isosceles triangle) adalah segitiga yang panjang kedua sisi

yang berhadapan sama panjang dan sudut-sudut di depannya sama besar.

Atributnya adalah dua sisi yang kongruen.

c) Segitiga sama sisi (equilateral triangle) adalah segitiga yang panjang ketiga

sisinya sama panjang dan besar ketiga sudunya 60°.

Atributnya adalah ketiga sisinya kongruen.

4. Garis tinggi, garis bagi, dan garis berat

1) Garis tinggi

Garis tinggi dalam sebuah segitiga adalah garis lurus yang menghubungkan

satu titik sudut ke sisi dihadapannya secara tegak lurus (membentuk sudut siku-siku).

Perhatikan ∆𝐻𝐼𝐽 pada gambar. Garis HK adalah garis tinggi. Garis HK

menghubungkan titik ∠𝐻 dengan sisi IJ pada titik K sedemikian hingga ∠𝐻𝐾𝐼 dan

∠𝐻𝐾𝐽 tepat 90° (sudut siku-siku).


40

2) Garis bagi

Garis bagi dalam sebuah segitiga adalah garis lurus yang menghubungkan satu

titik sudut segitiga ke sisi dihadapannya dan membagi sudut tersebut menjadi dua sama

besar. Perhatikan ∆𝐴𝐵𝐶 pada gambar. Garis AD adalah garis bagi. Garis AD

menghubungkan titik ∠𝐴 dengan sisi BC pada titik D sedemikian hingga ∠𝐵𝐴𝐷 sama

dengan ∠𝐷𝐴𝐶 yaitu setengah dari ∠𝐵𝐴𝐶.

3) Garis berat

Garis berat dalam sebuah segitiga adalah garis lurus yang menghubungan satu

titik sudut ke sisi dihadapannya dan membagi sisi tersebut menjadi dua bagian sama

panjang. Perhatikan ∆𝑃𝑄𝑅 pada gambar. Garis PS adalah garis berat. Garis PS

menghubungkan titik ∠𝑃 dengan sisi QR pada titik S sedemikian hingga panjang sisi

QS sama dengan panjang sisi SR yaitu setengah dari panjang sisi QR.
41

5. Skema jaringan hubungan antarsegitiga

Segitiga

semua sisinya dua sisinya ketiga sisinya tidak


sama panjang sama panjang sama panjang

segitiga sama segitiga sama segitiga


sisi kaki sebarang

Gambar 2.1 Hubungan Jenis Segitiga Berdasarkan Panjang Sisinya

Segitiga

ketiga sudutnya salah satu salah satu sudutnya


lancip sudutnya 90° tumpul

segitiga siku-
segitiga lancip siku segitiga tumpul

Gambar 2.2 Hubungan Jenis Segitiga Berdasarkan Besar Sudutnya


42

Segitiga

dua sisinya
sama panjang

segitiga sama segitiga sama


kaki sisi

Gambar 2.3 Hubungan Jenis Segitiga Berdasarkan Dua Sisinya yang Sama Panjang

Segitiga

segitiga lancip segitiga siku-siku Segitiga tumpul

ketiga ketiga ketiga


semua kedua kedua kedua
sisinya sisinya sisinya
sisinya sisinya sisinya sisinya
tidak tidak tidak
sama sama sama sama
sama sama sama
panjang panjang panjang panjang
panjang panjang panjang

segitiga
segitiga segitiga segitiga
segitiga siku- segitiga segitiga
lancip lancip tumpul
lancip siku siku-siku tumpul
sama sama sama
sebarang sama sebarang sebarang
sisi kaki kaki
kaki

Gambar 2.4 Hubungan Jenis Segitiga Berdasarkan Besar Sudut dan Panjang Sisinya
43

Segitiga

segitiga sama segitiga sama Segitiga


sisi kaki sebarang

ketiga Satu Satu


ketiga Satu Satu ketiga
sudutnya sudutnya sudutnya
sudutnya sudutnya sudutnya sudutnya
lancip 90° tumpul
lancip 90° tumpul lancip
6.

segitiga
7. segitiga segitiga segitiga
segitiga segitiga segitiga
sama sama sebarang sebarang
sama sisi sama kaki sebarang
kaki kaki siku- tumpul
lancip siku-siku lancip
lancip tumpul siku
8.

Gambar 2.5 Hubungan Jenis Segitiga Berdasarkan Panjang Sisi dan Besar Sudutnya

You might also like