You are on page 1of 82

OBAT PELUMPUH OTOT

Francois Donati
FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI RESPON YANG BERUBAH TERHADAP OBAT PELUMPUH OTOT

Struktur Unit Perawatan Intensif


Stimulasi Saraf Myasthenia Gravis
Pelepasan Asetilkolin Myotonia
Postsynaptic Event Muscular Dystrophy
Presynaptic Event Lesi Upper Motor Neuron
OBAT PELUMPUH OTOT Luka Bakar
Ciri-Ciri Farmakologis dari Obat Pelumpuh Otot Lain-lain
OBAT DEPOLARISASI: SUKSINILKOLIN MENGAWASI BLOKADE NEUROMUSKULAR
Efek Neuromuskular Mengapa harus diawasi?
Ciri-ciri Blokade Depolarisasi Ciri-ciri stimulator
Farmakologi Suksinilkolin Modalitas monitoring
Efek Samping Mencatat Respon
Penggunaan Klinis Pilihan Otot
OBAT NON-DEPOLARISASI Penerapan klinis
Ciri-ciri Blokade Non-depolarisasi Faktor-faktor yang mempengaruhi blockade nuromuskular
Farmakokinetik PEMULIHAN BLOK NEUROMUSKULAR
Permulaan dan Durasi Tindakan Penilaian blokade neuromuskular
Obat Non-depolarisasi Individu Paralisis Residual
INTERAKSI OBAT Obat kolinesterasi
Obat Bius Faktor yang mempengaruhi pemulihan neostigmin
Efek lain neostigmin
Penggunaan klinis
KESIMPULAN

INTI
1. Obat pelumpuh otot digunakan untuk meningkatkan kondisi 6. Memudar dalam menanggapi stimulasi frekuensi tinggi
bagi intubasi trakea, untuk memberikan imobilitas selama (contohnya TOF, 2 Hz selama 2 detik) merupakan ciri-ciri
operasi, dan untuk menyaranai ventilasi mekanis. blokade non-depolarisasi. Melunturnya TOF sulit dievaluasi
2. Antikolinesterase menghambat kerusakan asetilkolin dan secara manual atau secara visual selama pemulihan saat rasio
membantu memulihkan fungsi neuromuscular setelah TOF >0.4.
mengonsumsi obat pelumpuh non-depolarisasi, tetapi efeknya 7. Saat menggunakan mivakurium, pembalikan dengan
terbatas sehingga penggunaannya tidak mengesampingkan antikolinesterase hanya dicoba saat keempat gangguan
paralisis residual, disebut sebagai rasio train-of-four (TOF) <0.9. dikarenakan stimulasi TOF terlihat di adduktor polisis.
3. Situs utama tindakan obat pelumpuh otot adalah di nicotinic 8. Saluran napas atas utamanya sensitif terhadap efek blokade non-
chlolinergic receptor di endplate otot. Itu juga memiliki dampak depolarisasi. Paralisis residual dianggap ada jika rasio TOF pada
pada presynaptic receptor yang terletak di terminal saraf. adduktor polisis <0.9.
4. Satu-satunya obat depolarisasi yang masih digunakan adalah 9. Transmisi neuromuscular dapat dipulihkan dengan injeksi
suksinilkolin. Obat-obat lainnya yang ada semuanya non- sugammadex, sebuat obat yang mengikat secara khusus dalam
depolarisasi. Semuanya bersaing dengan asetilkolin untuk rasio molar 1:1 rocuronium dan vecuronium.
tempat-tempat sama yang saling berkaitan. 10. Sugammadex, jika diberi dosis yang tepat, efektif untuk blokade
5. Suksinilkolin merupakan obat pelumpuh yang memproduksi dengan berbagai kedalaman.
depolarisasi di endplate dan mengikat extrajunctional receptor.
Meskipun terdapat banyak efek samping, seperti hiperkalemia,
offset yang cepat membuatnya menjadi obat pilihan untuk rapid
sequence induction.
Tampaknya berlawanan bahwa obat-obatan yang memiliki efek perifer pada
transmisi neuromuscular mungkin berperan dalam anestesi. Jika pasien dibius, mengapa
harus menyediakan obat untuk mencegah pergerakan? Akan tetapi, obat pelumpuh, tepatnya
disebut obat pelumpuh otot, diperkenalkan ke dalam praktik klinis pada tahun 1942
merupakan peristiwa yang penting dalam sejarah anestesi. Sementara kegunaan obat baru
menjadi jelas, keamanan pasien tidak diragukan lagi. Pada tahun 1954, Beecher dan Todd
menyatakan bahwa kematian anestesi meningkat enam kali lipat saat obat pelumpuh
digunakan. Situasi ini mungkin dikarenakan penggunaan ventilasi mekanis dan obat-obatan
pemulih yang suboptimal, tetapi kontroversi lain muncul dalam beberapa tahun terakhir untuk
berbagai alasan. Obat pelumpuh otot digunakan untuk meningkatkan kondisi bagi intubasi
trakea, untuk menghentikan gerakan selama operasi, dan untuk menyaranai ventilasi mekanis.
Contohnya, kesadaran tampak lebih besar saat obat pelumpuh otot digunakan, dan
beberapa penulis menganjurkan untuk membatasi penggunaan obat-obatan jika
memungkinkan, karena pergerakan pasien dapat menjadi indikator kesadaran. Akan tetapi,
obat bius bertindak di saraf tulang belakang untuk memproduksi imobilitas; dengan
demikian, pergerakan karena stimulus yang berbahaya menunjukkan obat bius yang tidak
cukup dan tidak berarti bahwa pasien sadar. Oleh karena itu, kesadaran tidak terjadi karena
terlalu banyak obat pelumpuh otot yang diberikan, tetapi karena terlalu sedikit obat bius yang
diberikan. Kontroversi mengenai obat pelumpuh otot dan kesadaran rumit karena kenyataan
bahwa blokade neuromuskular sepertinya mempengaruhi bispectral index (BIS), yang
merupakan alat ukur ketidaksadaran yang paling banyak digunakan. Pengurangan dalam BIS
dilaporkan pada pasien sadar yang menerima suksinilkolin dan pasien yang dibius ringan dan
diberi mivacurium.

Gambar 1-1 Assesment Dokter Bedah dari penggunaan pelumpuh otot selama operasi perut
bagian bawah. Penilaian didapatkan dari 1 (sangat baik) sama 4 (buruk). Insidens dari
penilaian buruk lebih besar pada pasien yang tidak diberikan vecuronium (29%) di
kombinasikan dengan mereka yang menerima obat (2%).
Paralisis yang lengkap tidak dibutuhkan selama prosedur bedah. Namun, obat
pelumpuh otot didapati berbeda dalam bedah perut bawah, dimana kondisi bedah lebih baik
pada pasien yang menerima vecuronium (Bagan 1-1). Selain memberikan imobilitas dan
kondisi bedah yang lebih baik, obat pelumpuh otot meningkatkan kondisi intubasi. Dosis
opioid yang dibutuhkan untuk kondisi intubasi yang baik tanpa paralisis otot menghasilkan
hipotensi yang signifikan (Bagan 1-2). Menyediakan kondisi intubasi yang optimal bukanlah
tujuan yang sepele. Kondisi intubasi yang buruk dapat meningkatkan kerusakan laring,
sebagaimana ditunjukkan dengan suara serak dan kerusakan pita suara (Bagan 1-3), dan cara
terbaik untuk meningkatkan kondisi intubasi adalah memberikan obat pelumpuh otot.

Gambar 1-2. Obat Pelumpuh Otot memberikan kondisi intubasi yang lebih baik
dibandingkan dengan opioid dosis tinggi, tanpa hipotensi. Obat sedasi adalah propofol atau
thiopental. Kondisi intubasi diplot berdasarkan dosis dari remifentanil (dalam microgram per
kilogram). Hasil untuk succinylcholine (Sux), 1 mg/kg (dengan opioid dosis kecil) diberikan
sebagai pembanding. Hipotensi didapatkan dengan remifentanil dosis 4mcg/kg.
Gambar 1-3 Obat Pelumpuh otot meningkatkan kondisi kondisi intubasi dan menurunkan
sekuele pada pitasuara. Grafik menunjukkan yang sangat baik dan dapat diterima kondisi
intubasi setelah diberikn atracurium atau saline. Persentase dari pasien yang melaporkan
mendapatkan suara serak dan mereka yang mendapatkan lesi pada pita suara.
Efek obat pelumpuh otot harus dikurangi atau dibalikkan sebelum pasien sadar.
Bahkan dengan perkenalan obat pelumpuh otot yang memiliki efek lebih singkat,
pembalikkan blokade dibutuhkan dalam kebanyakan kasus. Akan tetapi, paralisis residual
masih menjadi masalah, lebih dari 30 tahun setelah masalah tersebut diketahui pertama kali
(Tabel 1-1), dan meskipun terdapat obat pelumpuh otot yang bekerja lebih singkat dan
penggunaan pengawasan neuromuskular yang tersebar luas. Sebagian dari ini mungkin
terhubung dengan pengakuan bahwa ambang batas untuk pemulihan neuromuskular adalah
rasio train-of-four (TOF) sebesar 0.9, bukannya 0.7 (Bagan 1-4).

FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI

STRUKTUR

Sugammadex, obat pengikat yang selektif untuk endplate otot. Mereka juga memiliki
efek pada presynaptic receptor yang terletak di terminal saraf. Endplate merupakan porsi
khusus dari membran serat otot dimana nicotinic acetylcholine receptor pekat. Selama
perkembangan, banyak sambungan dibuat antara terminal saraf dan serat otot. Akan tetapi,
saat maturasi berlanjut, kebanyakan sambungan ini mengalami atropia dan hilang, biasanya
meninggalkan satu sambungan saja per serat otot. Endplate ini terus berbeda dari serat otot
lainnya. Terminal saraf melebar, dan lipatan muncul. Acetylcholine receptor berkumpul di
endplate, terutama pada puncak lipatan, dan kepadatannya menurun hingga hampir mencapai
nol di area extrajunctional. Pada awalnya, kepadatan receptor adalah 1,000/m2 dari
permukaan membran. Setelah maturasi endplate, kepadatan junctional receptor meningkat
hingga 10,000/m2 atau lebih. Endplate pada mamalia biasanya memiliki bentuk oval dengan
poros pendek tegak lurus dengan serat; area permukaannya kurang lebih 1,000 m2. Lebar
endplate terkadang sebesar diameter serat, tetapi biasanya lebih kecil. Akan tetapi,
panjangnya hanya pecahan kecil dari panjang serat.

STIMULASI SARAF

Saat kondisi istirahat, potensi elektrik di dalam sel saraf negatif berkenaan dengan
bagian luar (utamanya – 90 mV). Jika potensi ini dibuat kurang negatif (depolarisasi), saluran
sodium terbuka dan memungkinkan ion sodium untuk memasuki sel. Gelombang ion positif
membuat potensi di dalam membran positif berkenaan dengan bagian luar. Potensi ini
berubah, sebaliknya, menyebabkan depolarisasi dari segmen membran berikutnya,
menyebabkan lebih banyak saluran sodium untuk terbuka, dan impuls listrik atau potensi
tindakan untuk menyebar. Durasi potensi tindakan singkat (<1ms) dikarenakan saluran
sodium yang tidak aktif dan saluran kalium aktif dengan cepat. Potensi tindakan juga
mendorong terbukanya saluran kalsium, memungkinkan ion kalsium untuk memasuki sel.
Masuknya kalsium ini menyaranai pelepasan neurotransmitter di terminal saraf.
Saluran sodium di akson dapat diaktifkan karena depolarisasi yang diberikan oleh
stimulator saraf. Saraf perifer terdiri dari sejumlah besar akson, masing-masing merespon
pada semua atau tidak satupun gaya terhadap stimulus yang diterapkan. Oleh karena itu,
dalam tidak adanya obat pelumpuh otot, hubungan antara luas kontraksi otot dan arus yang
diterapkan saat ini adalah sigmoid. Pada arus yang rendah, depolarisasi tidak cukup dalam
semnua akson. Saat arus meningkat, lebih banyak akson lagi yang mengalami depolarisasi
hingga kekuatan kontraksi otot meningkat. Saat arus yang merangsang mencapai tingkat
tertentu, semua akson didepolarisasi ke ambang batas dan mengembangkan potensi tindakan.
Meningkatkan arus di luar titik ini tidak meningkatkan besarnya kontraksi otot. Stimulasi
tersebut super maksimal (Bagan 1-6). Stimulator yang tersedia secara komersial mengirimkan
impuls yang berlangsung 0.1 hingga 0.2 ms.
PELEPASAN ASETILKOLIN

Asetilkolin disatukan dari kolin dan asetat dan dikemas dalam vesikel 45 nm. Setiap
vesikel mengandung 5,000 sampai dengan 10,000 molekul asetilkolin. Beberapa vesikel ini
berkumpul dekat membran sel di depan puncak lipatan junctional endplate, di area yang
disebut zona aktif (Gambar 1-5).

Gambar 1-5. Gambaran


skematik dari celah
neuromuscular

Sekarang sudah disetujui bahwa asetilkolin dilepaskan dalam paket, atau kuantum,
dan bahwa satu kuantum mencerminkan isi satu vesikel. Dalam ketiadaan stimulasi saraf,
kuanta dilepaskan secara spontan, secara acak, dan ini dilihat sebagai depolarisasi kecil
endplate (potensi miniatur endplate). Saat potensi tindakan menyerbu terminal saraf, kurang
lebih 10 hingga 400 kuantum dilepaskan secara bersamaan, membongkar kurang lebih 1
hingga 4 juta molekul asetilkolin ke dalam celah sinaptik. Kalsium, yang memasuki terminal
saraf melalui saluran yang terbuka dikarenakan depolarisasi, dibutuhkan untuk peleburan dan
pelepasan vesikel. Saluran kalsium terletak dekat protein docking, dan susunan geometris
khusus memberikan konsentrasi intraseluler yang tinggi dari kalsium untuk memungkinkan
protein khusus agar mengikat pada membran vesikel dengan protein docking. Ikatan
menghasilkan pembauran membran dan pelepasan asetilkolin terjadi. Saat konsentrasi
kalsium menurun, atau jika tindakan kalsium dihalangi oleh magnesium, proses pelepasan
dihambat dan kegagalan transmisi dapat terjadi. Protein lain mengatur penyimpanan dan
mobilisasi vesikel asetilkolin. Tampaknya bahwa jumlah kecil dari vesikel dapat dilepaskan
dengan cepat, sementara reserve pool yang lebih besar dapat digerakkan dengan lebih pelan.
Setiap impuls melepaskan 0.2% hingga 0.5% dari 75.000 hingga 100.000 vesikel dalam
terminal saraf. Dengan stimulasi berulang-ulang, jumlah asetilkolin yang dilepaskan menurun
dengan cepatkarena hanya bagian kecil vesikel dalam posisi untuk dilepaskan dengan cepat.
Untuk terus melepaskan selama stimulasi berfrekuensi tinggi, vesikel harus digerakkan dari
reserve pool.

Gambar 1-6. Contoh dari peningkatan stimulasi pada satu pasien. Nadi terkini dengan
durasi 0,2 ms, dihantarkan ke nervus ulnaris di pergelangan tangan tiap 10 detik. Kontraksi
yang dipaksakan dari muskulus adductor policis diukur dan terlihat sebagai spike. Tidak ada
kedutan yang terlihat jika <28mA. Pada kekuatan >40mA, nadi menjadi supramaksimal;
meningkatkan produksi agar terjadi perubahan.

Postsynaptic Event

Receptor di endplate berjenis nicotinic cholinergic. Mereka adalah anggota kelas


saluran ion Cys-loop ligand-gated, yang mana receptor glycine, 5-HT3, dan GABA termasuk
di dalamnya. Receptor ini terdiri dari subunit glikoprotein yang disusun dalam bentuk bunga
mawar dan terletak di seluruh membran sel (Bagan 1-7). Sampai saat ini, 17 subtipe nicotinic
receptor telah diketahui, dan mereka dibedakan berdasarkan jenis dan susunan subunit.
Subtipe nicotinic yang terdapat pada neuromuscular junction terdiri dari dua subunit yang
sama, ditentukan sebagai , dan tiga lainnya, disebut , , dan . Terdapat dua situs yang
mengikat asetilkolin, masing-masing terletak di luar bagian subunit . Saat dua molekul
asetilkolin mengikat secara bersamaan ke tiap tempat pengikat, pembuka dibentuk di pusat
bunga mawar, memungkinkan ion sodium untuk memasuki sel dan ion kalium keluar.
Pergerakan ke dalam dari sodium dominan karena ditarik oleh tegangan negatif dari dalam
sel. Pergerakan sodium ini menurunkan polarisasi endplate; yaitu, bagian dalamnya menjadi
tidak begitu negatif. Terdapat kepadatan saluran sodium yang tinggi di lipatan celah sinaptik
dan di area perijunctional. Saluran ini terbuka saat membran diturunkan polarisasinya di luar
titik kritis, memungkinkan lebih banyak sodium untuk memasuki sel dan memproduksi
seluruh panjang serat otot. Potensi tindakan otot memiliki durasi 5 sampai dengan 15 ms dan
dapat dicatat sebagai electromyogram (EMG). Itu mendahului permulaan kontraksi, atau
kejang, yang berlangsung 100 sampai dengan 10 ms. Dengan stimulasi frekuensi tinggi (>10
Hz), serat otot tidak memiliki waktu untuk santai sebelum impuls berikutnya, sehingga
melebur dan bertambah, dan tetanus diperoleh.

Gambar 1-7. Empat tipe dari nikotinikik


reseptor yang terlibat dalam transmisi
neuromuscular. Semuanya memiliki lima
subunit. Reseptor postsynaps pada orang
dewasa di endplate ada dua yaitu
α1 dan β1, satu ω dan satu € subunit.
Reseptor extrajunctional yang immature
memiliki struktur yang sama, kecuali
untuk penggantian dari satu ω dan satu
€ subunit.. Itu didistribusikan melalui
membrane dari otot. Resptor dibuat hanya
untuk α2 subunit juga ditemukan diotot.
Reseptor Presinps, ditemukan dalam
nervus terminalis dan menjadi tipe α3β2.
Pengikatan asetilkolin ditunjukkan pada
area yang berbentuk oval.

Pada awal perkembangan, receptor sedikit berbeda dari mereka yang ditemukan di
endplate orang dewasa: Mereka memiliki subunit  daripada subunit  (Bagan 1-7), dan
mereka cenderung menyalurkan ke seluruh serat otot. Receptor dengan subunit  disebut fetal
receptor. Saat endplate berkembang, receptor cenderung berkumpul di neuromuscular
junction dan kepadatannya rendah (10/m2) di area extrajunctional. Saat maturasi berlanjut,
subunit  diganti dengan subunit , yang merupakan ciri-ciri dewasa, junctional receptor.
Pada manusia, pergantian terjadi dalam trimester ketiga kehamilan. Selama perkembangan,
neuronal 7 receptor juga ditemukan dalam membran otot. Mereka disebut neuronal karena
mereka juga ditemukan di sistem saraf pusat, dan mereka terdiri dari lima subunit  yang
sama, yang sedikit berbeda dari subunit  receptor pada neuromuscular junction, yang
disebut 1. Pemeliharaan receptor orang dewasa di endplate tergantung pada keutuhan
persediaan saraf. Beberapa extrajunctional receptor tipe  dan 7 masih tetap ada pada orang
dewasa dan dapat menyebar dalam kasus denervasi.
Tindakan utama untuk obat-obatan pelumpuh otot depolarisasi adalah untuk mengikat
sekurangnya satu dari dua subunit  postsynaptic receptor. Hal ini mencegah akses ke
receptor oleh acetylcholine dan tidak menghasilkan pembukaan receptor. Di bawah situasi
normal, hanya jumlah kecil dari receptor yang ada harus mengikat asetilkolin untuk
memproduksi depolarisasi yang cukup untuk mendorong kontraksi otot. Dengan kata lain,
terdapat “margin keamanan”. Kelebihan berarti bahwa obat pelumpuh otot harus terikat ke
sejumlah besar receptor sebelum blokade apapun diketahui. Penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa 75% receptor harus digunakan sebelum tingginya kejang menurun
dengan adanya d-tubocurarine, dan blokade selesai saat 92% receptor digunakan. Jumlah
sebenarnya tergantung pada spesies dan jenis otot, hak manusia mungkin mengurangi margin
keamanan dibandingkan dengan spesies lain. Sehingga sia-sia untuk mengkorelasikan data
kepemilikan receptor yang diperoleh dalam cats degan uji klinis tertentu pada manusia,
seperti handgrip dan head lift, yang melibatkan berbagai kelompok otot. Akan tetapi, konsep
umum bahwa jumlah receptor yang besar harus ditepati sebelum blokade diketahui, dan
bahwa blokade terukur terjadi jumlah kecil kepemilikan receptor, tetaplah berlaku untuk
praktik klinis. Karena itu harus mengatasi margin keamanan, dosis awal dari obat pelumpuh
otot lebih besar dari dosis pemeliharaan.
Asetilkolin dihidrolisis dengan cepat oleh enzim asetil kolinesterase, yang ada di
lipatan endplate. Itu juga menempel ke tangkai yang menempel di membran dasar di celah
sinaptik. Adanya enzim di celah sinaptik menunjukkan bahwa tidak semua asetilkolin yang
dilepaskan mencapai endplate; beberapa dihidrolisis dalam perjalanan.

Gambar 1-8. Karakteristik dari


nondepolar blockade. Respon Train-of-
four (TOF) adalah sama sebelum
diberikan vecuronium.
Presynaptic Event

Pelepasan asetilkolin biasanya menurun selama stimulasi frekuensi tinggi karena pool
asetilkolin yang siap dilepaskan menjadi kosong lebih cepat dari saat mengisinya. Di bawah
situasi normal, jumlah kecil yang dilepaskan sudah baik dari apa yang dibutuhkan untuk
menghasilkan kontraksi otot dikarenakan margin keamanan yang tinggi di neuromuscular
junction. Selain itu, sistem umpan balik yang positif yang melibatkan aktivasi presynaptic
receptor membantu dalam mobilisasi vesikel asetilkolin. Terdapat beberapa bukti bahwa
presynaptic dan postsynaptic receptor berasal dari subtipe yang berbeda, dan bahwa
presynaptic receptor lebih mungkin berasal dari subtipe 32, yaitu, mereka terdiri dari
subunit  dan  . Receptor ini mengandung subunit  yang sedikit berbeda dari yang
ditemukan dalam postsynaptic receptor, dengan demikian penetapan sebagai subunit 3,
bukannya 1, dan  (2) juga sedikit berbeda dari subunit 1 yang ditemukan di postsynaptic
receptor.
Peran presynaptic receptor adalah untuk mempertahankan jumlah vesikel yang siap
dilepaskan. Obat pelumpuh otot non-depolarisasi menghasilkan TOF yang khas dan dan
melunturnya tetanus, mungkin dengan menghambar presynaptic nicotinic receptor, dengan
demikian mencegah mobilisasi vesikel asetilkolin dan membawa pada pelepasan asetilkolin
yang kecil selama stimulasi frekuensi tinggi. Suksinilkolin tidak memiliki efek pada
presynaptic receptor ini, yang akan menjelaskan kurangnya pelunturan yang diamati dengan
obat ini. presynaptic receptor mungkin bukan satu-satunya elemen yang berkontribusi untuk
fenomena luntur: Mereka tidak menjelaskan mengapa luntur lebih menonjol selama serangan
daripada selama pemulihan (Bagan 1-8), dan mengapa setelah sugammadex, rasio TOF
dikembalikan lebih cepat daripada kejang pertama. Luntur merupakan properti kunci dari
obat pelumpuh otot non-depolarisasi dan berguna untuk mengawasi tujuan.
OBAT PELUMPUH OTOT

Obat pelumpuh otot berinteraksi dengan receptor asetilkoliin dengan menurunkan


polarisasi endplate (obat depolarisasi) atau dengan bersaing dengan asetilkolin untuk tempat
pengikat (obat non-depolarisasi). Satu-satunya obat depolarisasi yang masih digunakan
adalah suksinilkolin. Yang lainnya berasal dari tipe non-depolarisasi.

Ciri-ciri Farmakologis dari


Obat Pelumpuh Otot

Efek obat pelumpuh otot diukur sebagai depresi kontraksi otot adduktor (kejang) yang
menyusul stimulasi listrik dari saraf ulnaris. Nilainya dibandingkan dengan nilai kontrol,
yang didapat sebelum injeksi obat. Masing-masing obat memiliki serangan, potensi, durasi
tindakan, dan indeks pemulihan yang khas.
Potensi dari obat ditentukan dengan membentuk kurva dosis-respon, yang
menjelaskan hubungan antara depresi kejang dan dosis (Bagan 1-9). Kemudian, dosis yang
efektif 50, atau ED50, yang merupakan dosis rata-rata yang sesuai dengan 50% depresi kejang
diperoleh. Karena relaksasi yang berguna secara klinis diperoleh saat kejang dihilangkan
hampir seluruhnya, ED95, sesuai dengan blok 95%, lebih banyak digunakan. Contohnya, ED95
untuk vecuronium adalah 0.05 mg/kg, yang berarti bahwa setengah dari pasien akan
mencapai sekurangnya 95% blok dari satu sentakan (dibandingkan dengan nilai pra-
vecuronium) dengan dosis itu, setengah dari subjek akan mencapai <95% blok. Rocuronium
memiliki ED95 sebesar 0.3 mg/kg. Oleh karena itu, itu memiliki seperenam potensi
vecuronium. Dengan kata lain, dibandingkan dengan vecuronium, enam kali rocuronium
harus diberikan untuk memproduksi efek yang sama. ED95 dari obat pelumpuh otot bervariasi
(Tabel 1-2).

Gambar 1-9. Contoh dari hubungan antara respon


dan dosis. Angka yang sebenarnya dekat dengan
recoronium. ED50 adalah dosiskoresponden untuk
blockade sebanyak 50% dan ED95 adalah dosis
koresponden untuk 95% blockade.
Waktu serangan, atau waktu sampai blokade maksimum, dapat dipersingkan jika
dosis ditingkatkan. Saat dua atau lebih obat-obatan dibandingkan, akan baik untuk
membandingkan hanya dosis yang besar dan biasanya dosis yang relevan secara klinis (2 x
ED95) dipertimbangkan.
Durasi tindakan adalah waktu dari injeksi obat pelumpuh otot untuk kembali sebesar
25% tinggi sentakan (dibandingkan dengan kontrol). Durasi meningkat dengan dosis,
sehingga biasa untuk membandingkan dosis 2 x ED95, yang merupakan dosis intubasi normal.
Bagan tinggi sentakan 25% dipilih karena pembalikan yang cepat dapat dicapai dengan
normal di level tersebut. Untuk obat non-depolarisasi, sentakan keempat biasanya muncul
kembali saat sentakan pertama mendekati 25%. Kategorinya diusulkan untuk obat pelumpuh
otot menurut durasi tindakannya (Tabel 1-2). Obat dengan durasi yang sama dapat memiliki
permulaan yang berbeda.
Indeks pemulihan merupakan interval waktu antara tinggi sentakan 25% dan 75%.
Hal tersebut memberikan informasi mengenai kecepatan pemuliihan saat kembalinya
sentakan terlihat. Berbeda dengan durasi tindakan, itu tidak bergantung pada dosis yang
diberikan. Nilai untuk ED95, waktu permulaan, durasi tindakan, dan indeks pemulihan
tergantung pada otot mana yang digunakan untuk membuat pengukuran. Untuk konsistensi,
otot polisis adduktor telah dijaga sebagai standar emas, bukan karena signifikansi
fisiologisnya tetapi karena itu yang paling umum diawasi dan data mengenai hal itu sangat
banyak.
Ciri-ciri farmakologis dari obat pelumpuh otot dilengkapi dengan penilaian kondisi
intubasi, yang tidak selalu menjajarkan tinggi sentakan di otot polisis adduktor. Kondisi
intubasi tergantung pada otot yang terletak di pusat, tetapi juga pada jenis dan jumlah obat
opioid dan hipnotik untuk induksi obat bius. Untuk mengurangi perbedaan antar penelitian,
kriteria untuk menilai kondisi intubasi sangat baik, baik, buruk atau mustahil dalam sistem
penilaian diambil oleh sekelompok ahli yang bertemu di Copenhagen pada tahun 1994, dan
revisi standar ini diambil pada pertemuan berikutnya di Stockholm pada tahun 105.
OBAT DEPOLARISASI
SUKSINILKOLIN
Diantara obat yang mendepolarisasi endplate, hanya suksinilkolin yang masih
digunakan secara klinis. Meskipun efek yang tidak diinginkan sangat banyak, suksinilkolin
tetap populer karena merupakan satu-satunya obat pelumpuh otot yang bekerja sangat cepat
dengan durasi sangat singkat yang ada saat ini.

Dampak Neuromuskular

Dampak succinylcholine pada persimpangan neuromuscular masih belum benar-benar


diketahui. Obat memdepolarisasi possinapsis dan reseptor extrajunctional. Akan tetapi,
reseptor bersentuhan dengan agonis apapun, termasuk asetilkolin, selama lebih dari beberapa
milidetik sampai ia merespon agonis. Pada umumnya, proses desensitisasi ini tidak terjadi
dengan aseltikolin karena pemecahannya yang sangat cepat (< 1 milidetik). Akan tetapi,
succinylcholine tetap berada pada pelat ujung dalam waktu yang lebih lama, sehingga
desensitisasi terjadi setelah periode singkat aktivasi. Mekanisme lain yang memungkinkan
adalah inaktivasi saluran sodium pada area junctional dan perijunctional, yang terjadi ketika
membrane tetap mendepolarisasi. Inaktivasi ini mencegah perkembangbiakan potensial aksi.
Proses desensitisasi reseptor dan inaktivasi saluran sodium dapat muncul secara bersamaan.
Dalam waktu satu menit setelah injeksi succinylcholine dan sepeblum paralysis
dilakukan, gerakan yang tidak teratur atau fasikulasi seringkali terlihat. Aktivitas ini mungkin
mencerminkan dampak agonis dari succinylcholine, sebelum desensitilasi terjadi. Dosis kecil
obat non depolarisasi bersifat efektif dalam mengurangi terjadinya fasikulasi.
Succinylcholine juga memiliki dampak neuromuscular lain. Pada beberapa otot,
seperti masseter dan adductor, peningkatan ketegangan yang dapat terjadi selama beberapa
menit dapat dilihat. Mekanisme aksi pada perubahan ketegangan ini bersifat tidak pasti
namun kemungkinan dimediasi oleh reseptor acetylcholine karena ini dihalangi oleh sejumlah
obat non depolarisasi. Peningkatan pada otot masseter, yang kemungkinan selalu ada pada
beberapa tingkat namun lebih besar pada beberapa individu, dapat menyebabkan kondisi
intubasi yang tidak sempurna pada sejumlah kecil pasien. Kejang otot masseter mungkin
merupakan bentuk yang berlebihan pada respon ini.

Karakteristik Blokade Depolarisasi

Setelah injeksi succinylcholine, kedutan tunggal menurun. Akan tetapi, respon


terhadap stimulasi berfrekuensi tinggi masih berlanjut: TOF minimum dan tetanus dapat
terlihat. Blok diantagonisasi oleh agen non depolarisasi sehingga ED menjadi dua kali lipat
jika dosis kecil defasikulasi obat non depolarisasi diberikan sebelum dosis succinylcholine
intubasi, sehingga membutuhkan dosis succinylcholine yang lebih banyak. Blockade
succinylcholine ditingkatkan oleh inhibitor asetil kolinesterase, seperti neostigmine dan
edrofonium. Setelah pemberian 7 sampai 10 mg/kg, atau 30 sampai 60 menit paparan
succinylcholine, TOF dan tetanic fade menjadi jelas. Neostigmine atau edrofonium dapat
mengantagonisasi blok ini, yang diistilahkan dengan nondepolarisasi, dual, atau blok fase II.
Onset blok fase II terjadi dengan tasifilaksis, karena lebih banyak succinylcholine yang
dibutuhkan untuk dampak yang sama.

Gambar 1-10. Durasi dari cara kerja dari


blokade neuromuscular dengan
succinylcholine 1mg/kg (Sux), dan
rocuronium 1.2 mg/kg diikuti 3 menit
setelahnya dengan sugammadex 16mg/kg
(Roc-Sug). T10 dan T90; Durasi 10% dan
90% first twitch recovery. Bars
menunjukkan standar deviasi.
Farmakologi Succinylcholine

Succinylcholine dengan cepat dihidrolisis oleh plasma kolinesterase, dengan eliminasi


waktu paruh selama <1 menit pada pasien. Karena cepatnya succinylcholine menghilang dari
plasma, maka dampak maksimum dapat dicapai dengan cepat. Dosis sub-paralisis (sampai
0.3 – 0.5 mg/kg) mencapai dampak maksimumnya dalam 1.5 sampai 2 menit pada otot
adductor, dan dalam 1 menit pada otot yang lebih sentral, seperti masseter, diafragma, dan
otot laring. Dengan dosis yang lebih banyak (1 sampai 2 mg/kg), abolisi respon kejang dapat
terjadi dengan lebih cepat (<1 menit).
Dosis rata-rata yang memproduksi 95% blokade pada otot aduktor adalah sebanyak
0.30 sampai 0.50 mg/kg. Nilai ini mengganda jika d-tubokurarine 0.05 mg.kg diberikan
sebagai agen defasikulasi. Waktu sampai pemulihan penuh pada otot aduktor adalah
berdasarkan dosis dan mencapai 10 sampai 12 menit setelah dosis 1 mg/kg. diafragma mulai
berkontraksi dan bernafas secara spontan setelah sekitar 5 menit.

Efek Samping

Kardiovaskular
Sinus bradikardia dengan nodal atau ventricular escape beat dapat terjadi, terutama
pada anak-anak, dan asistol telah dijelaskan setelah dosis succinylcholine kedua pada pasien
anak dan dewasa. Dampak ini dapat dikurangi dengan atropine atau glikopirolat. Mekanisme
untuk efek samping kardiovaskular dari succinylcholine tidak diketahui karena
succinylcholine tampak memiliki sedikit efek pada reseptor kolinergis otonomi.
Succinylcholine meningkatkan pengeluaran katekolamin, dan tachycardia seringkali terlihat.

Anafilaksis
Succynilcholine lebih sering dianggap sebagai pemicu reaksi alergi dibandingkan
obat-obatan lain yang digunakan pada anestesi. Studi suksesif yang dilakukan di Perancis
menunjukkan bahwa jumlah kejadian yang dilaporkan semakin menurun, sehubungan dengan
penggantian succinylcholine dengan obat non depolarisasi. Kejadian reaksi anafilaktis pada
succinylcholine susah diprediksi, namun kurang lebih 1:5000 atau 1:10000.
Fasikulasi
Kejadian fasikulasi cukup tinggi (60% sampai 90%) setelah injeksi succinylcholine
cepat, terutama pada otot dewasa. Ini adalah efek samping obat, namun banyak ahli medis
lebih memilih untuk mencegah fasikulasi dengan dosis obat blockade neuromuskular non
depolarisasi yang rendah yang diberikan 3 sampai 5 menit sebelum succinylcholine efektif.
Ketika obat tersedia, d-tubocurarine 0.05 mg/kg, atau 3 mg, digunakan untuk tujuan ini.
Recuronium merupakan sebuah alternatif yang dapat diterima, selama dosis yang tepat
diberikan (0.03 sampai 0.04 mg/kg atau 10% dari ED). Dosis 0.06 mg/kg dapat menyebabkan
terjadinya gejala pelemahan neuromuscular, seperti penglihatan kabur, mata berat, perubahan
suara, kesulitan menelan, atau bahkan dyspnea pada pasien. Sebuah meta analisis
menunjukkan bahwa efek samping ini telah diketahui, namun sebagian besar data datang dari
studi di mana dosis agen bloking neuromuscular defasikulasi melebihi 10% ED diberikan.
Atracurium, 0.02 mg/kg juga efektif. Pancuronium, vecuronium, cisatracurium, dan
mivacurium tidak seefektif defasikulan. Setelah obat-obatan non depolarisasi ini, dosis
succinylcholine harus ditingkatkan dari 1 mg.kg menjadi 1.5 atau 2 mg/kg karena antagonism
antara obat depolarisasi dan non depolarisasi. Obat lain, seperti diazepam, lidocaine, fentanyl,
kalsium, vitamin C, magnesium, dantrolene, atau dosis kecil succinylcholine telah digunakan
untuk mencegah fasikulasi. Hasilnya tidak lebih baik dari obat non depolarisasi dan mereka
memiliki dampak yang tidak disenangi.

Nyeri Otot
Sakit dan nyeri yang digeneralisasi, mirip dengan myalgia yang mengikuti latihan
yang terlalu keras, bersifat umum 24 sampai 48 jam setelah pemberian succinylcholine.
Kejadiannya bervariasi dan lebih umum pada pasien berusia muda. Intensitas nyeri otot tidak
selalu berkorelasi dengan intensitas fasikulasi, namun metode yang telah terbukti efektif
untuk mencegah fasikulasi biasanya mencegah nyeri otot. Misalnya, dosis prekurarisasi agen
blok neuromuscular non depolarisasi bersifat efektif. Lidokain (1 sampai 1.5 mg/kg),
terutama pada conjunction dengan prekurarisasi, telah terbukti bermanfaat. Kalsium, vitamin
C, benzodiazepine, magnesium, dan dantrolen telah dicoba dengan hasil yang belum dapat
disimpulkan.
Tekanan Intragastric
Succinylcholine meningkatkan tekanan intragastris, dan efek ini dihalagi oleh
prekurarisasi. Akan tetapi, succinylcholine menyebabkan peningkatan tekanan pada spingter
esofageal. Oleh karena itu, succinylcholine tidak tanpa meningkatkan resiko aspirasi isi
gastrik kecuali jika spingter esofageal tidak mampu.

Tekanan Intraokular
Tekanan intraocular meningkat sebanyak 5 sampai 15 mmHg setelah injeksi
succinylcholine, dan peningkatan ini masih ada setelah pelepasan otot ekstrakular, yang
memberikan etiologi intraocular. Prekurarisasi dengan sebuah bloker non depolarisasi
memiliki sedikit efek pada peningkatan ini. Informasi ini telah menyebabkan berkembangnya
rekomendasi untuk menghindari succinylcholine pada luka open-eye. Akan tetapi, harus
diketahui bahwa anestesi yang tidak memadai, peningkatan tekanan darah, dan blockade
neuromuscular yang tidak cukup selama laringoskopi dan intubasi trakea dapat meningkatkan
tekanan intraocular lebih dari succinylcholine. Selain itu, terdapat sedikit bukti bahwa
penggunaan succinylcholine dapat menyebabkan kebutaan mata.

Tekanan Intrakranial
Succinylcholine dapat meningkatkan tekanan intracranial dan respon ini mungkin
dapat ditekan dengan prekurarisasi. Lagi-lagi, laringoskopi dan intubasi trachea dengan
anestesi yang tidak memadai atau relaksasi otot mungkin dapat meningkatkan tekanan
intracranial lebih dari succinylcholine.

Hiperkalemia
Serum potassium meningkat sampai 0.5 mEq/L beberapa menit setelah injeksi
succinylcholine. Peningkatan ini tidak dapat dicegah oleh prekurarisasi. Nyatanya, bloker non
depolarisasi dosis tinggi dapat menekan efek ini. Subjek dengan hiperkalemia, seperti pada
pasien gagal ginjal, tidak mengalami peningkatan potassium, namun tingkat absolut dapat
mencapai jangkauan toksik. Succinylcholine aman pada pasien dengan gagal ginjak
normokalemik. Hyperkalemia akut, yang biasanya menyebabkan gagal jantung, diketahui
pada pasien setelah luka denervasi, transeksi tulang belakang, denervasi periferal, stroke,
trauma, luka bakar ekstensif, dan immobilitas berkepanjangan dengan penyakit, dan
berhubungan dengan kehilangan potassium melalui proliferasi reseptor extrajunctional.
Hyperkalemia telah dilaporkan dengan myotonia dan distrofi otot, dan gagal jantung telah
dilaporkan pada anak sebelum diagnosis penyakit dibuat. Hiperkalemia akut setelah
succinylcholine yang menyebabkan gagal jantung juga telah diketahui pada pasien acidotic
hypovolemic.

Plasma Kolinesterase yang Abnormal


Aktivitas plasma kolinesterase dapat dikurangi melalui sejumlah penyebab endogen
dan eksogen, seperti kehamilan, penyakit liver, uremia, malnutrisi, luka bakar, plasmaferesis,
dan kontraseptif oral. Kondisi ini biasanya menyebbakan terjadinya peningkatan durasi
succinylcholine yang kurang signifikan. Aktivitas plasma kolinesterase dikurangi dengan
antikolinesterase neostigmine dan piridostigmin, bukan edrofonium, sehingga durasi
succinylcholine yang diberikan setelah neostigmine atau pyridostigmine meningkat.
Genus kolinesterase berada pada kromosom 3 pada q26, dan sebanyak 1 mutasi pada
area koding genus plasma kolinesterase telah diidentifikasi. Banyak dari mutasi ini sering
muncul, seperti varian K (13%), tetaou tidak menyebabkan peningkatan durasi blockade
setelah succinylcholine, alel lain, seperti varian A, F, atau diam, lebih jarang muncul, dan
dihubungkan dengan perpanjangan blockade succinylcholine hanya jika pasien bersifat
homozigot untuk alel, atau jika alel dihubungkan dengan alel abnormal lain. Hanya sekitar
1:100 individu yang mengalami perpanjangan paralisis (2 sampai 6 jam) setelah diberikan
dosis succinylcholine (1 sampai 1.5 mg/kg). pada pasien heterozigot dengan alel abnormal
yang digabungkan dengan alel umum (1:30 kasus), durasi tindakan hanya sedikit lebih
panjang dibandingkan dengan individu yang normal. Metode tradisional untuk
mengidentifikasi fenotip plasma kolinesterase meliputi pengukuran aktivitas enzim dengan
subtrat dengan dibukain, forida, dan klorida. Pengujian ini hanya mampu mengidentifikasi
beberapa varian enzim. Urutan asam amino lengkap dari plasma kolinesterase sekarang telah
ditentukan dengan menggunakan teknik genetik molekular. Keseluruhan darah atau plasma
yang dibekukan dapat mempercepat metabolisme succinylcholine pada pasien dengan
kolinesterase rendah atau tanpa kolinesterase, namun tindakan yang paling baik adalah
mungkin ventilasi mekanik paru-paru dan menyediakan sedasi yang cukup bagi pasien
sampai fungsi neuromuskularnya benar-benar terlihat pulih.

Penggunaan Klinis
Indikasi utama dari succinylcholine adalah untuk membantu intubasi trachea. Pada
orang dewasa, dosis sebesar 1.0 mg/kg memberikan 75% sampai 80% kondisi intubasi yang
sangat bagis dalam 1 sampai 1.5 menit setelah urutan induksi yang meliputi hipnotik
(propofol atau thiopental) dan dosis sedang opioid. Dosis harus ditingkatkan 1.5 sampai 2.o
mg/kg jika dosis prekurarisasi bloker non depolarisasi telah digunakan. Kondisi intbuasi
tanpa prekurarisasi hanya bisa ditingkatkan dengan menambah dosis sampai 2 mg/kg/
Succinylcholine khususnya digunakan untuk mengindikasikan “induksi urutan cepat”,
ketika pasien menunjukkan perut penuh dan kemungkinan aspirasi isi gastris. Dalam situasi
ini, ventilasi paru-paru manual dihindari, jika menungkinkan mengurangi kemungkinan
aspirasi karena tekanan intragastris yang berlebihan yang disebabkan oleh gas yang dipaksa
melalui masker wajah. Sehingga, agen blok neuromuskular yang ideal memiliki onset yang
cepat untuk mengurangi waktu antara induksi dan intubasi saluran pernafasan dan memiliki
pemulihan yang cepat untuk memudahkan pernafasan normal sebelum pasien menjadi
hipoksia. Durasi tindakan succinylcholine, pada dosis 1 mg/kg, cukup pendek sehingga
mayoritas pasien preoksigenasi dapat melakukan usaha respiratori (5 sampai 6 menit)
sebelum hipoksia dapat dideteksi. Telah banyak pendapat bahwa ini hanya valid sehubungan
dengan subjek kesehatan dan tidak untuk semua kasus. Sehingga, dosis yang lebih rendah
telah disarankan. Akan tetapi, dosis 0.5 sampai 0.6 mg/kg membuat pasien demam dengan
kondisi intubasi yang sangat baik dan mengurangi durasi dengan cukup baik. Untuk
mempertahankan relaksasi, tingkat infus yang tipikal adalah 50 sampai 100 µkg/menit. Akan
tetapi, ketersediaan obat non depolarisasi yang pendek dan sedang membuat infus
succinylcholine tidak terpakai.
Anak-anak sedikit lebih resisten terhadap succinylcholine dibandingkan dengan orang
dewasa, dan dosis 1 sampai 2 mg/kg dibutuhkan untuk membantu intubasi. Pada bayi, 2
sampai 3 mg/kg mungkin dibutuhkan. Prekurarisasi tidak dibutuhkan pada pasien yang
berusia di bawah 10 tahun karena fasikulasi tidak umum pada kelompok usia ini. Bradikardia
cukup umum pada anak-anak kecuali jika antropin atau glikopirolat diberikan.
Succinylcholine, pada dosis 4 mg/kg, hanya bersifat efektif pada anak-anak dengan akses
intravena yang sulit dan memberikan kondisi intubasi yang lumayan selama 4 menit. Akan
tetapi, rute pemberian tidak seharusnya menjadi metode pilihan.
Pada pasien yang mengalami obesitas, dosis succynilcholine, dalam milligram ker
kilogram dari berat badan sesungguhnya, sama dengan pasien yang bertubuh ramping.
Menghitung dosis per berat badan tubuh ideal per kilogram dapat menyebabkan dosis yang
terlalu rendah dan memberikan kondisi intubasi yang tidak pas. Volum distribusi
succinylcholine , yang ditunjukkan dengan perkilogram berat badan tubuh sebenarnya,
mungkin dikurangi pada individu yang mengalami obesitas, namun ini dikompensasi oleh
peningkatan aktivitas kolinesterase plasma.
Karakteristik Blokade Non Depolarisasi
Muntah yang sehubungan dengan stimulasi berfrekuensi tinggi merupakan
karakteristik dari blockade non depolarisasi. Dengan catatan EMG, muntah meningkat
dengan frekuensi dalam range 0.1 Hz (setiap 10 detik) sampai 2 Hz (setiap 0.5 detik), dan
tetap stabil antara 2 sampai 50 Hz. Pada frekuensi yang lebih dari 10 sampai 1 Hz, respon
kontraktik individu melebur, dan hasilnya disebut sebagau tetanus. Pada 2 Hz, respon
individu dapat dibedakan dengan mudah dan muntah tampak jelas. Inilah mengapa mode
stimulasi TOF dipilih. Muntah mekanis lebih besar dengan 100 Hz dibandingkan dengan 50
Hz. Stimulasi tetanus diikuti dengan fasilitasi pasca tetanus, yang merupakan respon yang
meningkat terhadap stimulasi apapun yang diterapkan setelah tetanus. Intensitas dan durasi
efek ini tergantung pada frekuensi dan durasi stimulasi tetanus. Dengan 50 Hz tetanus dan
durasi 5 detik (250 stimulus), respon kedut diketahui 100% dalam 1 sampai 2 menit.
Terakhir, blockade non depolarisasi dapat diantagonisasi dengan agen
antikolinesterase seperti neostigmine. Ini juga dapat diantagonisasi dengan agen depolarisasi
seperti succinylcholine yang alasan bahwa blockade non depolarisasi bersifat intens dan dosis
succinylcholine terlalu kecil untuk memproduksi bloknya sendiri.

Farmakokinetik
Sama seperti obat-obatan lain yang digunakan di dalam anestesi, eliminasi waktu
paruh agen blok neuromuskular tidak selalu berhubungan dengan durasi tindakan karena
pemutusan tindakan terkadang bergantung pada redistribusi, bukan eliminasi. Akan tetapi,
pengetahuan kinetik obat membantu kita untuk memahami tingkah laku obat dalam kondisi
tertentu (pemberian yang diperpanjang, penyakit organ eliminasi, dan lain-lain).
Beberapa mekanisme dapat menjelaskan berbagai kategori durasi tindakan, seperti
tercantum pada tabel 1-3.
1. Semua obat berdurasi panjang memiliki eliminasi waktu paruh yang panjang pula (1 sampai 2
jam) dan tergantung pada fungsi hati dan ginjal untuk terminasi tindakan. Kembali pada
tinggi kejang terjadi selama fase eliminasi obat.
2. Obat berdurasi sedang memiliki eliminasi waktu paruh yang sedang atau panjang, tergantung
pada redistribusinya, bukan eliminasi untuk terminasi efek. Atrakurium dan kisatrukurium
memiliki eliminasi waktu paruh yang sedang (1 sampai 25 menit) dan memilihkan tinggi
kejang selama fase eliminasi. Vekuronium dan rekuronium memiliki waktu paruh terminal
yang lebih panjang (sekitar 90 menit), namun memiliki tindakan berdurasi singkat karena
redistribusi ekstensif obat, sehingga pemulihan tinggi kejang terjadi selama redistribusi,
bukan fase eliminasi. Oleh karena itu, durasi aksi vekuronium, rokuronium, atrakurium, dan
kisatrakurium sama.
3. Obat berdurasi pendek, memiliki eliminasi waktu paruh yang pendek. Isomer aktif
mivakarium memiliki proses eliminasi setengah hidup dalam beberapa menit saja.
4. Obat berdurasi sangat pendek memiliki eliminasi waktu paruh yang sangat pendek.
Succinylcholine memiliki eliminasi waktu paruh kurang dari 1 menit.
Volume distribusi semua agen tersebut adalah sama dengan cairan ekstraselular (0.2 sampai
0.4 L/kg). pada bayi, di mana volume ECF sebagai proporsi berat badan meningkat, volume
distribusi obat blok neuromuskular parallel dengan volum ECF.

Onset dan Durasi Tindakan


Waktu onset dan durasi tindakan tergantung pada dosis yang diberikan, namun pada
dosis yang ekuipotensial, obat yang berbeda dapat memiliki waktu onser dan durasi yang juga
berbeda karena faktor lain juga berperan.
Waktu onset ditentukan oleh waktu yang dibutuhkan untuk konsentrasi obat pada site
aksi untuk mencapai level kritis, biasanya berhubungan dengan 100% blok. Waktu onset (2
sampai 7 menit) lebih panjang dibandingkan dengan konsentrasi plasma puncak (<1 menit).
Penundaan ini menunjukkan waktu yang dibutuhkan untuk transfer obat antara plasma dan
junction neuromuskular dan diwakili secara kuantitatif oleh konstan rate. Konstan rate ini
berkorespondensi dengan waktu paruh 5 sampai 10 menit untuk obat non depolarisasi dan
ditentukan oleh semua faktor yang mengubah akses obat kedan dari junction neuromuskular.
Ini meliputi hasil kardiak, jarak antara otot ke jantung, dan aliran darah otot. Oleh karena itu,
blockade neuromuskulat biasanya terjadi lebih cepat pada otot yang terletak di sentral
(diafragma atau pita suara) dibandingkan dengan yang berada di periferal (tangan atau kaki).
Selain itu, jika metabolisme atau redistribusi sangat cepat, obat yang ampuh memiliki onset
yang lebih rendah dibandingkan dengan agen yang kurang ampuh. Ini karena proporsi
reseptor yang lebih besar dikuasasi sebelum blockade dapat dilihat (Gambar 1-11). Blockade
reseptor ini akan terjadi lebih cepat, dan onset akan lebih cepat, jika terdapat lebih banyak
molekul obat, yaitu, jika potensi rendah. Tabel 1-2 menunjukkan bahwa onset cenderung
untuk melambat jika obat potensial, yaitu jika ED kecil.

Gambar 1-11. Blok Neuromuskular sebagai fungsi dari waktu untuk keempat obat pelumpuh
otot. Onsetnya lebih cepat untuk succinylcholine yang potensinya rendah dan rocuronium
daripada vecuronium dan cisatracurium yang lebih poten.

Agen Non Depolarisasi Individu


Sejak tahun 1942, hampir 50 agen bloking neuromuskular non depolarisasi telah
diperkenalkan dalam anestesi klinis. bagian ini akan menjelaskan beberapa obat yang saat ini
tersedia di Amerika Utara dan Eropa, serta beberapa hal historical. Agen pertama yang
diinvestigasi klinis adalam intokostrin, atau d-tubokurarin, produk yang dimurnikan dan
terstandarisasi yang berasal dari tanaman Chondodendron tomentosum. D-tubokurarin telah
benar-benar digantikan oleh analog sintetis yang lebih moderen.
d-tubokurarin
Dosis d-tubokurarin yang dibutuhkan untuk menghasilkan 95% blok pada otot
aduktor atau ED adalah 0.5 mg/kg. Pada dosis ini, durasi aksi umumnya agen berdurasi
panjang. Molekul melakukan metabolisme minimum dan diekskresikan di ginjal dan empedu.
Seperti obat bloking neuromuskular lainnya, ini bukan merupakan ikatan protein ekstensif
(30 sampai 50%). Hipotensi biasanya mengikuti pemberian d-tubokurarin, meskipun pada
dosis <ED. Mekanisme yang terlibat pada umumnya adalah pelepasan histamine, dan
flushing kulit biasanya terlihat. Blockade ganglionik otonomi dapat juga berperan kecil.

Farmakokinetik
d-tubokurarin awalnya merupakan agen bloking neuromuskular yang konsentrasinya
dapat diukur dalam plasma, dan studi farmakokinetik yang dilakukan dengan obat ini dapat
menyebabkan perkembangan konsep yang bermanfaat untuk memahami tingkah laku agen
non depolarisasi pada pasien dengan kelompok umum yang berbeda dan dengan penyakit
organ eliminasi. Volume distribusi obat, yang ditunjukkan dalam mg/kg berat badan, tidak
berbeda dengan umur, dari bayi sampai orang tua. Temuan ini menunjukkan bahwa
konsentrasi d-tubokurarin yang dibutuhkan pada bayi lebih sedikit dibandingkan pada orang
dewasa. Fenomena ini juga teramati pada agen blok neuromuskular lainnya. Penurunan
tingkat filtrasi glomerular pada bayo dan orang tua menghasilkan durasi eliminasi waktu
paruh yang meningkat dan durasi tindakan yang diperpanjang. Onset aksi lebih cepat pada
anak-anak sebagai hasil dari waktu sirkulasi yang lebih cepat.
Luka bakar
Pasien dengan luka bakar berat menunjukkan ketahanan terhadap d-tuborkurarin dan
obat non depolarisasi lain yang bergantung pada ukuran luka bakar dan waktu sejak kejadian.
Konsentrasi obat bebas yang lebih tinggi dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat depresi
kejang dibandingkan dengan pasien yang terluka secara non termal. Dibandingkan dengan
subjek yang normal, jumlah reseptor asetilkolin ditingkatkan pada otot yang dekat dekat
lokasi luka bakar, tapi juga, pada otot yang lebih jauh.
Penggunaan Klinis
Durasi yang panjang dan efek kardiovaskular d-tubokurarine memiliki batasan dalam
penggunaannya. Obat berdurasi sedang yang tidak memiliki efek kardiovaskular secara
virtual telah hampir mengeliminasi penggunaan d-tuborkurarin. Jika tersedia, d-tuborkurarin
digunakan sebagai prekurarisasi (3 mg/70 kg) sebelum succinylcholine untuk mengurangi
fasikulasi dan nyeri otot. Rokuronium telah menggantikan d-tubokurarin untuk indikasi ini.

Atrakurium
Atrakurium adalah senyawa bisquarternary ammonium benzylisoquinoline dengan
durasi aksi sedang. Ini didegradasi melalui dua jalan metabolic. Salah satunya adalah reaksi
Hofmaan, sebuah degradasi non enzim dengan dengan tingkat yang meningkat suhu dan/atau
pH nya. Sedangkan jalur yang kedua adalah hidrolisis ester non spesifik. Enzim yang terlibat
di dalam metabolic ini adalah sekelompok jaringan esterase yang berbeda dari plasma atau
asetil kolinesterase. Kelompok enzim yang sama dilibatkan dalam degradasi esmolol dan
remifentanil. Diperkirakan bahwa dua pertiga atrakarium didegradasi oleh hidrolisis ester dan
sepertiga oleh reaksi Hofmann. Subjek dengan plasma kolinesterase yang abnomrla memiliki
respon yang normal terhadap atrakurium.
Hasil akhir dari degradasi atrakarium adalah fragmen laudanosin dan akrilat.
Laudanosin telah dilaporkan menyebabkan kejang pada hewan, namun pada dosis yang
melampaui jangkauan klinis. Tidak ada efek yang merusak dari laudanosin yang ditunjukkan
pada manusia. Laudanosin diekskresikan oleh ginjal. Akrilat terbukti dapat menghambat
proliferasi in vitro pada sel manusia. Akan tetapi, konsentrasi dan waktu paparan yang
dibutuhkan untuk memperoleh efek ini sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang
diperoleh secara normal pada praktik klinis.
Farmakologi
Atrakarium merupakan obat berdurasi sedang dengan terminal waktu paruh selama 1
menit. Terminasi dampak terjadi ketika fase eliminasi obat. Durasi tindakan tidak tergantung
pada usia, fungsi ginjal, atau fungsi hati. ED atrakarium adalah 0.2 sampai 0.5 mg/kg. Onset
aksi adalah 3 sampai 5 menit pada 2 x ED (0.5 mg/kg). Onset atrakarium bisa diperpendek
jika dosisnya ditingkatkan, namun tidak disarankan untuk melebihi dosis 0.5 mg/kg karena
hipotensi dan pelepasan histamine. Durasi tindakan juga tergantung oada dosis. Waktu untuk
25% pemulihan awal setelah 0.5 kg/mg adalah sekitar 30 sampai 40 menit.
Efek Kardiovaskular
Seperti d-tubokurarin, atrakarium melepaskan histamine sesuai dengan dosis. Jika
dosis tinggi (≥0.5 mg/kg) diberikan, maka hipotensi, takikardia, skin flushing, dan mungkin
bronkospasme dapat terjadi. Manifestasi ini, yang diteliti pada tiap subjek yang diberikan
dosis tinggi, tidak boleh dicampuradukkan dengan reaksi anafilaktik, yang sangat jarang
terlihat pada individu, namun bisa dipicu oleh dosis yang rendah. Reaksi anafilaktik terhadap
atrakardium telah dijelaskan, tetapi tidak banyak muncul dibandingkan dengan obat bloking
neuromuskular lainnya.
Situasi Tertentu
Persyaratan dosis adalah sama pada orang tua, dewasa, dan anak-anak, agaknya
mencerminkan independensi organ atrakurium eliminasi. Sama halnya dengan ini, tidak ada
penyesuaian dosis yang dibutuhkan dalam individu dengan gagal ginjal atau hati. Seperti
agen non depolarisasi lainnya, dosis harus ditingkatkan pada pasien dengan luka bakar,
karena peningkatan ikatan protein dank arena regulasi reseptor, yang menyebabkan
ketahanan pada endplate. Pada pasien yang mengalami obesitas, dosis atrakarium, seperti
semua agen bloking neuromuskular, harus dihitung berdasarkan masa tubuh.
Penggunaan Klinis
Atrakarium tidak banyak disenangi jarena efek kardiovaskularnya di Amerika Serikat,
namun masih tetap popular di beberapa bagian Eropa. Dosis intubasi adalah 0.5 mg/kg dan
laringoskopi harus dilakukan hanya setelah 2 sampai 3 menit. Manifestasi kardiovaskular
pelepasan histamine terlihat pada setengah pasien. Untuk intubasi, terdapat kecenderungan
untuk mengganti atrakarium dengan agen lain yang memiliki waktu onset yang lebih singkat
dan stabilitas kardiovaskular yang lebih tinggi, seperti rokuronium. Akan tetapi, atrakarium
bersifat nyaman dan serba guna untuk mempertahankan relaksasi, sebagai infus yang
kontinyu (5 sampai 10 µg/kg/menit) atau sebagai injeksi berselang (0.05 sampai 0.1 mg/kg
tiap 10 sampai 15 menit).
Cisatracurium
Dalam upaya untuk meningkatkan jarak antara dosis blok neuromuskular dan dosis
pelepasan histamine, sebuah isomer ampuh atrakarium, kisakatrium, diidentifikasi. Seperti
atrakurium, efek kardiovaskularnya ampuh pada dosis yang melebihi 0.4 mg/kg, namun ED
nya (0.05 mg/kg) jauh lebih rendah. Sehingga manisfestasi pelepasan histamine tidak terlihat
dalam praktik. Metabolisme kisatrakurium mirip dengan atrakurium, dengan peran hidrolisis
Hofmaan dan ester.
Farmakologi
Karena kisatrakurium adalah obat yang ampuh, waktu onsetnya lebih panjang
dibandingkan dengan atrakarium dan rokuronium. Contohnya, dosis ekuipoten kisatrakurium
(0.046 mg/kg) dan rokuronium (0.31 mg/kg) memiliki waktu onset masing-masing 4.5 menit
dan 1.7 menit. Eliminasi waktu paruh (22 sampai 25 menit) mirip dengan atrakurium,
sehingga durasi tindakan untuk dosis 2 x ED adalah 30 sampai 45 menit. Akan tetapi, dalam
upaya untuk mempercepat onset, dosis intubasi yang disarankan ditingkatkan menjadi 0.15
mg/kg. dosis ini dibawah ambang batas untuk pelepasan histamine, tetapi durasi aksi
ditambah menjadi 45 sampai 60 menit. Karena dosis yang dibutuhkan untuk mencapai
paralisis dianggap lebih pada kisatrakurium dibandingkan atrakurium, sedikit laudanosim dan
akrilat byproduct dihasilkan. Oleh karena itu, perhatian yang ditampilkan oleh efek toksik
metabolit ini dieliminasi secara virtual.
Situasi Tertentu
Seperti atrakurium, tidak ada kebutuhan untuk menyesuaikan dosis untuk orang
dewasa, anak-anak, atau bayi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Pengalaman pada
pasien dengan luka bakar sangat terbatas, tetapi prinsip yang sama yang valid untuk
atrakurium dapat diterapkan. Pada individu yang mengalami obesitas, dosis kisatrakurium
harus dihitung berdasarkan IBW.
Efek samping
Berbeda dengan atrakurium, kisatrakurium bebas dari property pelepasan histamine
meskipun pada dosis yang tinggi (8 x ED). Ini juga bebas dari efek kardiovaskular. Akan
tetapi, reaksi anafilaktik telah dijelaskan.
Penggunaan Klinis
Kisatrakurium dapat digunakan untuk memfasilitasi intubasi trachea pada dosis yang
setara dengan 3 sampai 4 kali ED (0.15 sampai 0.2 mg/kg) ketika ventilasi manual
memungkinkan setelah induksi anestesi dan ketika durasi prosedur diperkirakan melewati 1
jam. Durasi lebih pendek dengan dosis yang lebih rendah, tetapi waktu onset diperpanjang
dan kondisi intubasi menjadi kurang ideal. Blockade neuromuskluar dapat dengan mudah
diperhataknkan pada level yang stabil melalui infus kisatrakurium intravena (1 sampai 2
µg/kg/menit) pada tingkat yang konstan dan tidak berubah, yang menyiratkan kurangnya efek
obat kumulatif dan kurangnya ketergantungan pada mekanisme pembersihan ginjal. Tingkat
pemulihan tidak tergantung pada dosis kisatrakurium dan durasi pemberian.
Karena kisatrakurium tidak bergantung pada fungsi organ untuk eliminasinya, maka
obat ini tampak cocok untuk diberikan di unit perawatan intensif (ICU). Tingkat infus untuk
membuat pasien tetap paralisis adalah lebih besar dibandingkan dengan di ruang operasi
(biasanya 5µg/kg/menit), dengan variablitias yang tinggi antar individu. Tampaknya paparan
reseptor yang diperpanjang pada agen blok neuromuskular menyebabkan beberapa
upregulasi, dengan permintaan dosis yang lebih tinggi. Menariknya, pasien dengan sindrom
respiratori akut yang membutuhkan bantuan respiratori di ICU yang diberikan kisatrakurium
bertahan dengan lebih baik dibandingkan dengan pasien yang menerima placebo.

Doksakurium
Doksakurium adalah senyawa yang ampuh dan benzylisoquinoline yang tidak
didegradasi oleh eliminasi Hofmann atau hidrolisis ester. Eliminasi waktu paruhnya adalah 1
sampai 2 jam, dan tergantung pada ginjal dan hati untuk pengaturannya. Oleh karena itu,
durasi aksi diperpanjang pada orang tua dan pada subjek dengan kelainan fungsi ginjal. ED
untuk doksakurium adalah 25 µg/kg. stabilitas kardiovaskularnya berguna, tetapi memiliki
tempat yang terbatas pada praktik klinis karena onsetnya yang sangat lambat dan durasi
aksinya yang sangat panjang. Ini tidak cocok untuk memfasilitasi intubasi trachea atau
memberikan relaksasi otot rangka selama prosedur pembedahan singkat. Ketika digunakan di
ICU, pemulihan setelah penghentian infus diperpanjang jika dibandingkan dengan
kisatrakurium.

Gantakurium dan Klorofumarat Lain


Gantakurium awalnya merupakan senyawa yang masuk dalam kelas klorofumarat
onium campur asimetris. Ini adalah obat non depolarisasi dan masuk dalam kelas
klorofumarat onium campur asimetris. Degradasi utamanya meliputi kistein pada plasma dan
mandiri dari plasma kolinesterase. ED pada manusia sekitar 0.19 mg/kg. dampak
kardiovaskularnya diketahui pada dosis yang melebihi 3 x ED, dan kemungkinan besar
berhubungan dengan pelepasan histamine. Pada dosis yang dibutuhkan untuk intubasi trachea
(0.4 sampai 0.6 mg/kg), onset pada otot aduktor adalah 1.5 menit dan durasi 25% T adalah 8
sampai 10 menit, dapat dibandingkan dengan succinylcholine.
Senyawa lain di kelas yang sama juga telah disintesis, dengan gagasan untuk
mengembangkan sebuah senyawa dengan stabilitas kardiovaskular yang lebih tinggi, durasi
aksi yang lebih panjang, kemampuan untuk mundu oleh kistein. Komponen yang paling
menjanjikan saat ini adalah CW002, di mana konsepnya telah diujikan pada anjing.

Mivakurium
Mivakurium adalah turunan benzylisoquinolin dengan durasi aksi yang pendek yang
dihidrolisis oleh plasma kolinesterase, seperti succinylcholine. Berbeda dengan
succinylcholine, mivakurium menghasilkan blockade non depolarisasi. Obat ini hadir sebagai
campuran tiga isomer. Dua dari isomer tersebut, cis-trans dan trans-trans, memiliki waktu
paruh yang pendek, sedangkan isomer cis-cis memiliki waktu paruh yang jauh lebih panjang.
Farmakologi mivakurium diatur oleh tingkah laku trans-trans dan cis-trans, karena isomer
cis-cis hanya menguasai 60% campuran dan kurang ampuh jika dibandingkan dengan dua
isomer lainnya. Mivakurium tidak lagi tersedia di Amerika Utara, tetapi digunakan di
beberapa Negara Eropa.
Farmakologi
ED mivakurium telah diperikirakan sebanyak 0.08 sampai 0.15 mg/kg. Pada dosis 0.2
atau 0.25, kondisi intubasi tidak sebaik dengan succinylcholine. Waktu onsetnya secara
mengejutkan cukup panjang untuk sebuah obat yang isomer aktifnya memiliki terminal
waktu paruh <2 menit, dengan menghilangnya kejutan selama 2.5 sampai 4 menit pada 3 x
ED. Waktu onset yang panjang ini kemungkinan merupakan dampak dari potensi
mivakurium yang tinggi. Pemulihan 25% tidak sepenuhnya bergantung pada dosis, dengan
range 15 sampai 25 menit untuk dosis 0.15 sampai 0.25 mg/kg. tingkat infus untuk
mempertahankan blockade konstan tidak berbeda berdasarkan waktu, dan pemulihan lebih
cepat setelah beberapa jam infus dibandingkan setelah dosis bolus.
Efek Samping
Seperti atrakurium, mivakarium melepaskan histamine dalam mode yang berdasarkan
dosis. Hipotensi, takikardia, dan tanda yang berhubungan dengan kulit seperti eritema dan
flushing terlihat lebih sering ketika dosisnya melebihi 0.2 mg/kg.
Populasi Pediatrik
Pada bayi dan anak-anak, ED diperkirakan sama dengan yang terjadi pada orang
dewasa, akan tetapi onset blok dan pemulihannya jauh lebih cepat. Efek kardiovaskular tidak
sepenting pada orang dewasa, sehingga dosis sebanyak 0.3 mg/kg digunakan. Tingkat infus
yang dibutuhkan untuk mempertahankan blockade jauh lebih besar pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa, dan lebih sedikit pada orang tua dibandingkan orang yang lebih
muda.
Luka Bakar
Pada pasien dengan luka bakar, upregulasi reseptor, dan ikatan protein yang
meningkat menyebabkan sifat resisten pada semua agen bloking neuromuskular non
depolarisasi. Akan tetapi, untuk mivakarium, situasinya berbeda karena aktivitas plasma
kolinesterase menurun pada pasien dengan luka bakar. Efeknya adalah efek normal atau
bahkan efek yang meningkat dari dosis biasanya.
Pembalikan
Neostigmine memiliki dua dampak yang berlawanan dengan mivakurium: ini
menghambat plasma kolinesterase, sehingga mengganggu dengan pemecahan mivakurium,
namun juga membalik blockade non deloparisasi. Faktanya, neostigmine telah menunjukkan
pemulihan yang tertunda jika diberikan selama blok neuromuskulat mivakurium, tetapi
mempercepat pemulihan jika setidaknya terdapat dua kejang pada TOF. Edrofonium tidak
mengganggu aktivitas plasma kolinesterase dan diketahui mempercepat pemulihan, bahkan
ketika blockade ditemukan. Pembalikan mivakurium dianggap kurang penting karena
pemulihan spontan yang cepat. Akan tetapi, blok residu mungkin terlihat, khususnya jika
dosis tinggi mivakurium digunakan di akhir anestesi. Berkebalikan dengan antikolinesterase
yang harus digunakan hanya ketika keempat kejutan yang merespon stimulasi TOF hadir
pada otot aduktor.
Plasma Kolinesterase
Mivakurium dimetabolisme oleh plasma kolinesterase secara lebih lambat
dibandingkan dengan succinylcholine. Kondisi yang dihubungan dengan aktivitas plasma
cholinesterase yang menurun diketahui dapat mempengaruhi metabolisme succinylcholine
serta mengubah durasi aksi mivakurium.
Penggunaan Klinis
Mivakurium sangat cocok untuk prosedur operasi yang membutuhkan relaksasi otot
singkat, terutama di mana pemulihan yang cepat dibutuhkan, seperti operasi ambulatory dan
laparoskopis. Akan tetapi, ini tidak disarankan untuk induksi dengan urutan cepat. Efek
kardiovaskular dapat dihindari dengan memberikan obat secara perlahan atau membagi dosis
obat dalam dua injeksi, dengan beda 30 detik. Mempertahankan relaksasi dilakukan dengan
lebih mudah melalui infus konstan (5 sampai 7 µg/kg/menit pada orang dewasa dan orang
tua) dibandingkan dengan injeksi bolus berselang. Tingkat ini ini harus ditingkatkan pada
anak-anak dan dikurangi pada orang tua.

Pankorunium
Pankorunium termasuk dalam senyawa bisquaternary aminosteroid. Ini dimetabolisasi
oleh senyawa 3-OH, yang memiliki setengah aktivitas bloking neuromuskular dari senyawa
orang tua. ED pankuronium adalah 0.07 mg/kg. Durasi aksinya panjang, ayitu 1.5 sampai 2
jam setelah dosis 0.15 mg/kg. Pembersihan dikurangi pada gagal ginjal dan hati yang
menunjukkan bahwa ekskresi tergantung pada dua organ ini. Onset aksi lebih cepat pada bayi
dan anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa, dan pemulihan lebih lambat pada orang
dewasa.
Efek Kardiovaskular
Pankuronium dihubungkan dengan peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan
hasil kardiak, terutama setelah dosis tinggi (2 x ED). Penyebabnya masih belum pasti tetapi
meliputi efek vagolitik pada terminal syaraf postganglionic, sebuah efek simfatomimetik
sebagai hasil dari bloking reseptor muskarinik yang umumnya mengekskresi beberapa
pengereman pada transmisi ganglionic dan meningkatkan pelepasan katekolamin.
Pankuronium tidak melepaskan histamine.
Penggunaan Klinis
Onset aksi pankuronium yang lamban membatasi kegunaannya dalam membantu
intubasi trachea. Pada anestesi kardiak, pankuronium menjadi popular karena ia melawan
dampak bradikardik pada dosis opioid yang tinggi. Penggunaan pankuronium alih-alih
rokuronium dihubungkan dengan tingginya kejadian otot yang melemah setelah operasi
kardiak dan reversal dalam hal ini ahrus dipertimbangkan secara serius. Pada pasien non
kardiak, penggunaannya dihubungkan dengan tingginya blok residu pada unit perawatan
pasca anestesi, bahkan ketika reversal diberikan. Blok neuromuskular pancuronium lebih sulit
untuk dibalikkan dibandingkan dengan blok yang dihasilkan oleh agen berdurasi sedang.

Rapakuronium
Rapakuronium adalah senyawa aminosteroid yang diperkenalkan untuk penggunaan
klinis di tahun 1999 di Amerika Serikat dan ditarik di tahun 101 karena kasus bronkospasm
yang parah dan jarang setelah intubasi. Cerita singkat ini perlu disebutkan karena dua alasan,
pertama, ED rapakuronium (0.75 mg/kg) lebih besar daripada agen bloking neuromuskular
lainnya, akibatnya ini memiliki onset aksi yang lebih cepat. Ini dapat memberikan kondisi
intubasi yang dapat dibandingkan dengan succinylcholine. Kedua, kemungkinan efek
sampingnya lebih tinggi ketika dosis tinggi digunakan. Rapakuronium menghasilkan
tacikardia dan hipotensi, tetapi perhatian sebagian besar diutarakan ketika terdapat
peningkatan pada tekanan saluran udara dan bronkospasm ditemukan pada pasien yang diberi
rapakuronium. Mekanisme untuk efek ini bukan merupakan alergi atau reaksi yang
berhubungan dengan histamine, akan tetapi berhubungan dengan efek rapakuronium pada
reseptor muskarinik M2 dan M3 di paru-paru. Aktivasi reseptor M3 posinapsis oleh
asetilkolin menghasilkan bronkokonstriksi, dan efeknya dimatikan oleh reseptor M2
presinanpsi yang melawan efek ini. Rapakuronium menghalangi reseptor, tetapi memiliki
ketertarikan pada reseptor M2, sehingga konsentrasi klinis menghalangi reseptor M2 secara
selektif. Efek pada individu adalah bahwa bronkokonstriksi oleh aktivasi reseptor M3 tidak
bisa dilawan. Rampak bahwa agen bloking neuromuskular lainnya, seperti mivakurium,
vekuronium, rokuronium, dan cisatrakurium, tidak terkena efek ini, meskipun pada dosis
yang tinggi.

Rokuronium
Rokuronium adalah sebuah senyawa aminosteroid dengan struktur yang mirip dengan
vekuronium dan pankuronium. Durasi aksinya dapat dibandingkan dengan vekuronium,
tetapi onsetnya lebih pendek.
Farmakologi
Konsentrasi plasma rokuronium menurun dengan drastic setelah injeksi bolus karena
uptake hati. Oleh karena itu, durasi aksi obat ini ditentukan oleh redistribusi, bukan eliminasi
waktu paruh (1 sampai 2 jam). Metabolisme untuk 17-deasetilrokuronium merupakan
eliminasi yang sangat kecil. Sebagian besar obat diekskresikan dengan tanpa perubahan pada
urin, empedu, atau feses.
Dengan ED sebanyak 0.3 mg/kg, rokuronium memiliki seperenam potensi
vekuronium, onset yang lebih cepat, tetapi memiliki durasi aksi yang mirip dan tingkah laku
farmakokinetik yang sejenis. Dengan dosis yang ekuipoten, onset rokuronium pada otot
aduktor jauh lebih cepat dibandingkan pada cisatrakurium, atrakurium, dan vekuronium.
Setelah dosis 0.6 mg/kg (2 x ED) blok maksimum terjadi selama 1.5 sampai 2 menit. Pada
sebuah studi multisentral dengan 349 pasien, kondisi intubasi pada 60 detik setelah 0.6 mg/kg
rokuronium adalah baik sampai sangat baik pada 77% kasus. Untuk mendapatkan hasil yang
mirip setelah 1 mg/kg succinylcholine, dosis rokuronium harus ditingkatkan menjadi 1.0
mg/kg, yang memberikan kondisi baik atau sangat baik 92%. Akan tetapi, durasi aksinya
lebih panjang jika dibandingkan dengan succinylcholine, berkisar antara 30 sampai 40 mdnit
untuk dosis 0.6 mg/kg untuk sekitar 60 menit setelah 1 mg/kg pada orang dewasa. Oleh
karena itu, rokuronium merupakan obat dengan durasi sedang.
Sama seperti agen non depolarisasi lain, onset aksi rokuronium lebih cepat pada
diafragma dan otot laring aduktor dibandingkan dengan otot aduktor, kemungkinan
merupakan akibat dari aliran darah yang lebih banyak ke otot yang berada di sentral. Otot
laring aduktor sangat penting pada anestesi karena ini menutup pita suara dan relaksasi yang
tidak memadai mencegah lintasan ke tabung trachea. Otot laring aduktor bersifat resistan
terhadap efek rokuronium, dan konsentrasi plasma dibutuhkan untuk blockade yang lebih
besar pada laring dibandingkan pada otot aduktor. Hal yang sama berlaku pada diafragma,
yang bersifat resistan terhadap efek rokuronium dan agen bloking neuromuskular lain.
Pemulihan lebih cepat pada diafragma dan laring dibandingkan pada otot aduktor.
Efek Kardiovaskular
Tidak ada perubahan hemodinamis (tekanan darah, detak jantung, atau ECG) yang
terlihat pada manusia dan tidak ada peningkatan pada konsentrasi plasma histamine setelah
dosis yang mencapai 4 x ED (1.2 mg/kg). Hanya terdapat sedikit perubahan hemodinamis
yang tampak selama operasi bypass arteri koroner.
Alergi
Lihat juga Bab 12 Fungsi Imun dan Respon Alergi. Reaksi anafilaktik telah
dijelaskan, dan berdasarkan survey yang dilakukan di Perancis, kejadian ini tampak terjadi
lebih sering dengan rokuronium dibandingkan dengan agen bloking neuromuskular lainnya.
Temuan ini dikritik karena hampir 50% populasi umum menunjukkan intradermal yang
positif pada pengujian obat, dan banyak pasien yang diteliti untuk reaksi anafilaktik
mengalami kesalahan pelabelan alergi obat karena tingkat tes false-positif yang tinggi.
Overdiagnosa mungkin meningkatkan jumlah yang dilaporkan di Norwegia (29 kasus dalam
150.000 kejadian, atau 1:5000) atau di Perancis, sedangkan laporan dari Negara Nordik lain
menunjukkan kejadian yang lebih rendah (7 kasus dalam 800000 kejadian, atau <1:100000).
Di Amerika Serikat, indisen reaksi anafilaktik pada rokuronium dan vekuronium adalah
sebesar 1:1000000. Sebuah survey Amerika baru-baru ini di sebuah institusi pendidikan
mengimplikasikan bahwa agen bloking neuromuskular adalah agen kausatif pada reaksi
anafilaktik pada 11% kejadian, di mana mereka dituduh pada 58% kasus di Perancis. Data ini
memeberikan variasi yang berharga bagi insiden geografis reaksi alergi pada agen bloking
neuromuskular.
Faktor yang memungkinkan untuk perbedaan reaksi anafilaktik pada agen bloking
neuromuskular pertama kali diteliti pada sebuah studi perbandingan di Norwegia, di mana
juga kasus anafilaktik yang dilaporkan cukup tinggi, dan di Swedia, kasus tersebut tidak ada.
Diketahui bahwa sebagian besar penduduk Norwegia sentifi terhadap folcodine, dan ini tidak
berlaku di Swedia. Folcodine tersedia sebagai antitusif pada sirup obat batik di beberapa
Negara seperti Norwegia, Perancis, irlandia, Inggris, dan Australia. Ini tidak tersedia di
Swedia, Denmark, Jerman, dan Amerika Serikat, serta Kanada. Diketahui bahwa tingkat
sensitivitas pada folcodine di tiap Negara dipengaruhi oleh konsumsi folcodine nasional.
Hipotesisnya adalah bahwa sensitisasi silang dapat terjadi antara folcodine dan agen bloking
neuromuskular seperti rokuronium dan succinylcholine. Di tahun 107, folcodine ditarik dari
Norwegia, tingkat antibody IgE untuk folcodine dan succinylcholine menurun selama 1
sampai 2 tahun pada pasien yang sensitive, dan kejadian reaksi anafilaktik yang dilaporkan
telah menurun. Akan tetapi, folcodine dalam konteks ini tidak hanya menjadi satu-satunya
faktor yang berperan dalam reaksi alergi. Kejadian reaksi anafilaktik pada rekuronium tetap
rendah, bahkan di Negara di mana folcodine tersedia.
Situasi Tertentu
Potensi rokuronium telah dilaporkan sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pada pria, ED masing-masing sebesar 0.27 dan 0.39 mg/kg, dengan peningkatan durasi pada
wanita. Beberapa kelompok etnis lebih sensitif terhadap obat ini. Orang Cina yang tinggal di
Vancouver diketahui lebih sensitive dibandingkan orang berkulit putih. Sama seperti obat non
depolarisasi lainnya, potensinya bervariasi tergantung distribusi geografis. Sebagian besar
studi melaporka potensi yang tinggi di Amerika Utara dibandingkan dengan Eropa, dengan
satu laporan yang menunjukkan potensi rokuronium di Cina sebagai pertengahan antara
Eropa dan Amerika. Anak-anak (2 sampai 12 tahun) membutuhkan lebih banyak rokuronium
dan durasi aksi yang lebih sedikit. Onset aksi lebih pendek pada anak-anak dibandingkan
pada orang dewasa. Contohnya, dosis 1.2 mg/kg memberikan waktu onset 39 detik
dibandingkan dengan succinylcholine 2 mg/kg, dan rata-rata waktu aksi adalah 41 menit.
Oleh karena itu, dosis yang disarankan adalah 0.9 sampai 1.2 mg/kg pada kelompok usia ini.
Rokuronium lebih ampuh pada bayi dibandingkan pada anak-anak. Dosis 0.6 mg/kg memiliki
durasi yang lebih panjang pada bayi <1 bulan dibandingkan pada yang berusia 5 sampai 12
bulan, sehingga dosis yang dikurangi (0.45 mg/kg) sangat disarankan. Pada pasien yang lebih
tua, ED nya sama dengan yang diberikan pada orang dewasa, tetapi aksinya sedikit
diperpanjang. Rokuronium memiliki terminal waktu paruh yang meningkat pada pasien gagal
ginjal, mungkin karena eliminasi ginjal sebagian, tetapi ini dijelaskan sebagai perpanjangan
blok. Pada penyakit hati, uptake yang lebih lamban dan eliminasi rokuronium oleh liver
cenderung akan memperpanjang durasi aksi obat, tetapi ini dikompensasi dengan volum
distribusi yang lebih besar.
Induksi Urutan Cepat
Rekuronium adalah obat pilihan untuk induksi urutan cepat jika succinylcholine
bersifat kontraindikasi. Kondisi intubasi yang diberikan oleh rokuronium sangat baik pada
sekitar 80% kasus, dan dapat dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh succinylcholine
pada dosis 1.0 mg/kg. dosis 2 x ED atau 0.6 mg/kg memberikan kondisi intubasi yang buruk.
Kelemahan dosisi rokuronium yang tinggi (≥1.0 mg/kg) adalah durasi aksi yang lama, yang
mencapai lebih dari 1 jam. Masalah ini dapat diatasi jika tersedia sugammadex. Pada anak-
anak, succinylcholine relatif bersifat kontraindikasi karena adanya distropi otot yang tidak
terdiagnosa pada pasien anak-anak, terutama pada anak laki-laki dan durasi aksi dosis yang
tinggi lebih pendek pada orang dewasa. Rokuronium diindikasikan khusus untuk kelompok
umur ini.
Penggunaan Klinis
Onset cepat dan durasi aksi sedang membuat agen ini menjadi pengganti
succinylcholine yang potensial pada kondisi di mana intubasi trakhea yang cepat ditunjukkan.
Akan tetapi, dosis tinggi (>1 mg/kg) dibutuhkan dengan kelemahan durasi aksi yang
diperpanjang. Berbeda dengan succinylcholine, opsi untuk menunggu nafas yang spontan
sebelum hipoksia tidak tersedia dengan rokuronium, kecuali jika tersedia sugammadex. Ahli
klinis harus mengingat bahwa jika mereka memutuskan untuk bergantung pada sugammadex
dalam kasus “tidak bisa berintubasi, tidak bisa berventilasi”, dua hal ini harus diperhatikan
(1) hipnotis dan opioid yang diberikan pada saat induksi dapat menyebabkan depresi respirasi
dan menunda pemulihan gerakan pernafasan dan (2) penundaan tampak untuk membuat
keputusan untuk memberikan sugammadex; memberikan dosis yang tepat (16 mg/kg);
menginjeksikan sugammadex, dan menunggu efeknya.
Rokuronium perlahan-lahan menggantikan vekuronium sebagai agen bloking
neuromuskular berdurasi sedang karena onsetnya yang lebih cepat. Dosis awal 0.6 mg/kg
biasanya akan menghasilkan kondisi intubasi yang dapat diterima dalam 90 detik. Durasi aksi
adalah 30 sampai 40 menit. Dosis yang lebih rendah (0.45 mg/kg) memiliki durasi aksi yang
lebih pendek, tetapi waktu intubasinya harus ditingkatkan. Dosis lanjutan 0.1 sampai 0.2
mg/kg akan memberikan relaksasi klinis selama 10 sampai 1 menit. Rekoronium mungkin
diberikan melalui infus yang kontinyu, dititrasi dengan bantuan stimulator syaraf. Tingkat
infus adalah sebanyak 5 sampai 10 µg/kg/menit. Pemulihan setelah infus lebih lambat
dibandingkan setelah dosis bolus.
Untuk mempersingkat waktu onset, “prinsip priming” yang melibatkan pemberian
dosis rendah rokuronium, biasanya 3 menit sebelum induksi, telah dilakukan. Seperti dosis
defasikulasi sebelum succinylcholine, ini tidak disarankan untuk memberikan lebih dari 0.1 x
ED, yang, dalam kasus rokuronium, jumlah 0.03 mg/kg, merupakan dosis yang jauh lebih
kecil dibandingkan dosis intubasi tipikal (0.6 mg/kg), dosis yang rendah tersebut memiliki
efek yang minimal pada waktu onset rokuronium, karena memiliki waktu yang pendek
bahkan tanpa priming, dank arena dosis priming hanya merupakan fraksi kecil dari dosis
total. Oleh karena itu, teknik priming tidak disarankan. “Prinsip Timing” dijelaskan di mana
0.6 mg/kg rokuronium diberikan sebelum agen induksi, yang diberikan pada onset ptosis.
Dengan mempertimbangkan bahwa kehilangan kesadaran tidak terjadi secara langsung
setelah injeksi agen induksi, teknik ini tidak disarankan.
Rokuronium menyebabkan nyeri pada injeksi, seperti propofol. Tidak seperti
propofol, rokuronium biasanya diberikan setelah pasien mendapatkan anestesi. Gerakan
pasien setelah injeksi rokuronium adalah tanda analgesia yang tidak mencukupi. Rokuronium
dan thiopental tidak bercampur. Mereka membentuk presipitasi ketika mereka berada pada
garis intravena yang sama. Jika thiopental digunakan untuk induksi anestesi, garisnya harus
dibersihkan secara hati-hati sebelum rokuronium diberikan. Presipitasi tersebut tidak terjadi
dengan propofol.

Vekuronium
Vekuronium adalah sebuah relaksan neuromuskular aminosteroid berdurasi sedang
tanpa efek kardiovaskular. ED nya sebesar 0.04 sampai 0.05 mg/kg. durasi dan karakteristik
pemulihannya dapat dibandingkan dengan rokuronium. Akan tetapi onset aksinya lebih
lambat.
Farmakologi
Vekuronium adalah sebuah senyawa ammonium monokuaternari yang dihasilkan oleh
demetilasi molekul pankuronium. Vekuronium melakukan deasetilasi spontan untuk
menghasilkan metabolit 3-OH, 17-OH, dan 3, 17-(OH)2. Metabolit yang paling potensial, 3-
OH vekuronium dengan aktivitas vekuronium sebanyak 60%, diekskresikan oleh ginjal dan
bertanggung jawab dalam memperpanjang paralisis pada pasien di ICU. Seperti rokuronium,
vekuronium telah ditemukan kurang ampuh dan durassi aksi pada pria lebih pendek daripada
wanita, mungkin karena volum distribusi pada pria yang lebih besar.
Durasi aksi vekuronium, seperti rokuronium, diatur oleh redistribusi, bukan eliminasi.
Upaya telah dilakukan untuk mempercepat onset aksi dengan menggunakan prinsip priming,
yaitu dengan memberikan dosis kecil, sub paralisis beberapa menit sebelum dosis utama
diberikan. Dengan keberadaan rokuronium, yang memiliki onset aksi yang lebih cepat
dibandingkan vekuronium, “priming” menjadi sebuah aksi yang using.
Efek Kardiovaskular
Vekuronium biasanya tidak menghasilkan efek kardiovaskular dengan dosis klinis. ini
tidak menyebabkan pelepasan histamin. Bradikardia telah diketahui dengan anestesi opioid
dosis tinggi, dan ini mungkin menjadi cerminan efek opioid. Reaksi alergi telah dikethaui,
tetapi tidak lebih sering dibandingkan dengan setelah penggunaan obat bloking
neuromuskular lainnya.
Penggunaan Klinis
Netralitas kardiovaskular dan durasi aksi yang sedang membuat vekuronium menjadi
agen yang cocok untuk digunakan pada pasien dengan penyakit jantung iskemik atau
dibawah pengaruh operasi singkat, dengan rocuronium, kenyamanan pasien didapatkan
ketika pemberian vecuronium yang aturannya diberikan setelah thiopental karena golongan
asam barbiturate ini mungkin bisa membuat obstruksi pada kanula intravena.
Dosis maksimal (0.1 sampai 0.2 mg/kg) dapat digunakan untuk memfasilitasi intubasi
tracheal termasuk succinylcholine.Untuk relaksasi, dosis maintenancenya, vecuronium
mungkin dapat diberikan pada bolus intermitten, 0,01 sampai 0,02 mg/kg secara kontinyu
melalui infus dengan rentan 1-2mcg/kg/min. Bagaimanapun, rentannya terhadap fungsi
neuromuscular lebih rendah jika diberikan secara infus disbanding bolus. Vecuronium lebih
banyak sekarang digunakan dibandingkan dengan rocuronium kerja cepat.

INTERAKSI OBAT
Agen Anestetik

Agen Inhalasi
Uap anestesi memungkinkan blokade neuromuskuler sesuai dengan dosis yang
diberikan. Penelitian yang mencoba untuk mengukur seberapa besar efek ini telah
menunjukkan hasil yang bertentangan karena pengaruh dari faktor waktu yang merupakan
salah satu faktor penting. Agen halogenasi yang sudah lama ada, yakni halotan, enfluran, dan
isoflurane dapat membutuhkan waktu 2 jam atau lebih untuk menyeimbangkan diri dengan
muskulus, sehingga efek potensiasi uap ini mungkin tidak akan tampak dengan segera dalam
prakteknya. Pada konsentrasi alveolar minimum (KAM) yang sama, enfluran tampaknya
memungkinkan blokade nondepolarisasi lebih dari yang dilakukan oleh isoflurane, yang pada
gilirannya memungkinkan blokade ke tingkat yang lebih besar daripada halotan. Agen
anestetik baru, yakni sevoflurane dan desflurane, dapat menyeimbangkan diri lebih cepat
dengan muskulus tapi efeknya mungkin dapat diukur hanya setelah 30 menit atau lebih
setelah pemberian. Misalnya, lama kerja obat dari dosis bolus mivakurium yang diberikan
pada induksi anestesi tidak diubah oleh kehadiran dari sevoflurane (1 KAM). Namun, jika
dipitaingkan dengan tidak adanya perubahan dalam pengaruh anestesi propofol, maka laju
infus yang diperlukan untuk mempertahankan blok mengalami penurunan sebesar 75% dalam
1,5 jam berikutnya.73 Tingkat yang memungkinkan terjadinya blokade ini akan mengalami
kenaikan seiring dengan kenaikan konsentrasi dari sevofluran. Laju pemulihan menjadi lebih
lama pada penggunaan sevofluran, bahkan jika laju infus dari mivakurium adalah kurang.
Ada bukti yang mengatakan bahwa desflurane mungkin memiliki efek potensiasi terhadap
neuromuskular yang lebih besar daripada sevoflurane.102 Nitrit oksida (terinspirasi sebanyak
70%) memiliki efek blokade minimal pada neuromuskular, di mana ia diketahui dapat
mengurangi ED50 dari rocuronium sekitar 1%, 103 tetapi tidak memiliki persyaratan efek infus
untuk mempertahankan blok sebesar 90%.104
Mekanisme kerja dari potensiasi oleh agen terhalogenasi adalah tidak pasti, tapi
tampaknya mereka tetap memberikan efek pada sinaps neuromuskular. Isoflurane dan
sevoflurane menghambat arus melalui reseptor nikotinik pada sinaps neuromuscular dan
penghambatan ini bergantung pada dosis yang diberikan.105

Anestesi Intravena
Meskipun beberapa potensiasi terhadap blokade neuromuskular telah ditunjukkan
dengan pemberian agen induksi dosis tinggi secara intravena pada hewan, akan tetapi dosis
klinis dari obat-obatan seperti midazolam, thiopental, propofol, fentanil, dan ketamin
memiliki sedikit atau bahkan tidak ada efek neuromuskuler pada manusia.

Anestesi Lokal
Lidocaine, prokain, dan agen anestesi lokal lainnya menghasilkan blokade
neuromuskular dengan usaha mereka sendiri, seperti halnya dengan potensiasi efek dari obat-
obatan penghambat neuromuskular, baik depolarisasi maupun nondepolarisasi. Suatu lama
kerja obat yang lebih lama dari vekuronium ditemukan pada pasien dengan kateter epidural
yang sedang berada di bawah pengaruh anestesi umum yang diinjeksi dengan mepivacaine,106
tapi tidak dengan levobupivacaine.107 Mekanisme yang tepat untuk interaksi ini masih belum
pasti dan kemungkinan bahwa efek tersebut tergantung pada dosis dari anestesi lokal.
Interaksi antara Obat-obatan Penghambat Nondepolarisasi
Kombinasi dari dua obat penghambat neuromuskuler nondepolarisasidapat
memberikan efek, entah aditif atau sinergis, tergantung pada dua obat yang terlibat. Adisi
terjadi ketika efek total adalah sama dengan dosis ekuipoten dari masing-masing obat.
Sebagai contoh, atracurium dan cisatracurium memiliki aditif interaksi.108 Sebuah ED95, baik
atracurium (0,2 mg/kg) ataupun cisatracurium (0,05 mg/kg) menghasilkan blokade sebesar
95%. Setengah ED95 dari atracurium (0,1 mg/kg) ditambah setengah ED95 dari cisatracurium
(0,025 mg/kg) juga akan menghasilkan blokade sebesar 95%. Namun, beberapa kombinasi
tersebut bersifat sinergis; yaitu, efek gabungan dari setengah ED95 dari masing-masing obat
yang diberikan bersama-sama akan menghasilkan blokade sebesar > 95%. Sebagai contoh,
ED95 dari cisatracurium dan rocuronium masing-masing adalah 0,05 dan 0,3 mg/kg; jika
setengah ED95 ini diberikan dalam kombinasi (masing-masing 0,025 dan 0,15 mg/kg), maka
efeknya akan menjadi blokade sebesar > 95%. Untuk mendapatkan blokade sebesar 95%,
maka hanya seperempat dari ED95 masing-masing obat yang harus diberikan bersama-sama,
yaitu cisatra- curium sebanyak 0,0125 mg/kg dendangan rocuronium sebanyak 0,075
mg/kg.108 Sinergisme seperti itu pertama kali ditunjukkan pada kombinasi pancuronium-
metocurine, dan campuran ini didukung dengan kurangnya efek kardiovaskular yang
ditimbulkan. Dengan tersedianya berbagai obat tunggal dengan biaya murah tanpa efek
kardiovaskular, maka mulai muncul beberapa indikasi campuran obat yang sinergis.
Interaksi dari sifat yang berbeda terjadi ketika pemberian dari agen nondepolarisasi
diikuti oleh suntikan agen nondepolarisasi lain dengan lama kerja obat yang berbeda.
Biasanya, lama kerja obat dari agen kedua akan mengikuti lama kerja obat dari obat yang
diberikan pertama kali. Misalnya, jika mivakurium yang merupakan agen dengan lama kerja
obat yang singkat diberikan setelah rocuronium yang merupakan agen dengan lama kerja obat
yang panjang, maka mivakurium tersebut akan memiliki lama kerja obat yang lebih lama,
seperti yang dimiliki oleh rocuronium. Sebaliknya, jika mivacurium adalah obat pertama
yang diberikan dan rocuronium diberikan sebagai dosis tambahan maka rocuronium akan
memiliki lama kerja obat yang singkat pula.109 Dengan demikian, peralihan ke agen dengan
durasi yang lebih singkat di akhir kasus tidak akan memberikan paralisis dari durasi yang
lebih panjang. Alasan mengapa karakteristik agen pertama yang diberikan menjadi penentu
adalah karena ukuran dosis awal lebih besar dari ukuran dosis pemeliharaan, sehingga
sebagian besar reseptor masih diduduki oleh obat pertama bahkan ketika dosis kedua
diberikan.
Interaksi Nondepolarisasi-Depolarisasi
Relaksan depolarisasi dan nondepolarisasi memiliki sifat yang saling berlawanan.
Ketika d-tubocurarine atau agen nondepolarisasi lainnya diberikan sebelum suksinilkolin
untuk mencegah fasikulasi dan nyeri muskulus, maka suksinilkolin akan menjadi kurang
poten dan memiliki lama kerja obat yang lebih singkat.36 Respon terhadap dosis kecil dari
suksinilkolin di akhir anestesi yang menggunakan agen nondepolarisasi adalah sulit untuk
diprediksi. Hal ini mungkin dapat berlawanan atau justru memungkikan terjadinya blokade,
tergantung pada tingkat blokade agen nondepolarisasi tersebut. Antagonisme lebih mungkin
terjadi jika blokade bersifat mendalam dan potensiasi lebih mungkin terjadi jika blokade
bersifat dangkal. Jika agen antikolinesterase telah diberikan, maka efek suksinilkolin akan
dipotensiasi karena penghambatan dari kolinesterase plasma.49

Antibiotik
Antibiotik lama seperti neomycin, streptomycin, dan polymyxins telah diketahui
mampu menekan fungsi neuromuskuler, tetapi obat ini tidak lagi sering digunakan.
Aminoglikosida lainnya (misalnya, gentamicin, netilmisin, tobramycin) dan metronidazol
memiliki efek yang sangat sedikit pada blokade neuromuskular nondepolarisasi.110 Antibiotik
golongan lincosamid, klindamisin dan lincomycin memiliki efek presinaptik dan postsinaptik,
tetapi perpanjangan blokade oleh clindamycin tidak mungkin terjadi secara klinis kecuali
menggunakan dosis yang besar. Sedangkan antibiotik golongan penisilin, sefalosporin,
tetrasiklin, dan eritromisin tidak memiliki efek neuromuskuler pada dosis yang relevan secara
klinis.

Anti Konvulsan
Pemberian akut dari fenitoin menghasilkan augmentasi dari blok neuromuskuler,111
tapi durasi blokade dari pancuronium, metocurine, vekuronium, dan rocuronium nyatanya
lebih pendek pada pasien yang menerima terapi antikonvulsan kronis dengan carbamazepine
atau fenytoin.112,113 Sedangkan durasi blokade untuk atracurium, mivakurium, dan
cisatracurium adalah sama atau sedikit lebih meningkat oleh terapi antikonvulsan kronis.114
Perbedaan antara obat benzylisoquinolines dan aminosteroid dalam hal ini mungkin karena
masalah farmakokinetik. Obat antikonvulsan merupakan penginduksi enzim yang kuat, yang
dapat menyebabkan klirens yang lebih cepat terhadap obat aminosteroid. Klirens vekuronium
ditemukan meningkat dan waktu paruh terminalnya ditemukan menurun pada pasien dengan
terapi carbamazepine kronis.112

Obat Kardiovaskular
Obat beta-blocker dan calcium channel antagonists telah diketahui turut memiliki
efek neuromuskuler in vitro, tetapi dalam prakteknya, lama kerja obat agen penghambat
neuromuskular tidak berubah pada pasien yang memakai obat ini secara kronis.113 Pemberian
efedrine pada induksi anestesi telah mampu mempercepat onset aksi rocuronium sementara
esmolol memperpanjang onset kerja obat tersebut.115 Mekanisme mengenai efek ini mungkin
disebabkan karena adanya perubahan pada penghantaran obat ke lokasi aksi oleh perubahan
dari curah jantung. Dengan memberikan efedrin pada fase induksi anestesi, maka
peningkatan kondisi intubasi menjadi hal yang mungkin dilakukan saat menggunakan
rocuronium.

MAGNESIUM
Magnesium digunakan dalam anestesi karena memiliki efek kardiovaskular,
neuroprotektif, dan antinosiseptif.116 Kalsium diperlukan untuk pelepasan asetilkolin,23,24
sementara magnesium bersifat antagonis terhadap efek ini. Magnesium diketahui mampu
mengurangi waktu onset dari rocuronium dan memperpanjang lama kerja dari cisatracurium
dan rocuronium.116 Pemberian magnesium sebelumnya dapat menghapuskan fasikulasi yang
diinduksi oleh suksinilkolin , tetapi tidak memperpanjang durasi blokade neuromuskular.116

LAIN-LAIN
Metoclopramide menghambat kolinesterase plasma dan dengan demikian
memperpanjang onset dari suksinilkolin dan mivakurium. Interaksi yang inkonsisten telah
dijelaskan pada obat diuretik, digoksin, dan kortikosteroid, yang mungkin dikarenakan obat
ini dapat menginduksi perpindahan cairan dan elektrolit secara kronis. Sedangkan besarnya
perpindahan cairan dan elektrolit tersebut tergantung pada kondisi yang mendasari.
Perubahan Respon Terhadap Agen Penghambat
Neuromuskular

Unit Perawatan Intensif

Agen penghambat neuromuskuler berguna di ICU untuk memfasilitasi ventilasi


mekanik dan mereka sering digunakan pada pasien yang memerlukan ventilasi dalam posisi
tengkurap, hiperkapnia permisif, tekanan ekspirasi positif akhir (PEEP) yang tinggi, dan
peningkatan tekanan pada saluran udara.117 Adalah hal yang penting untuk memberikan obat
penenang untuk pasien yang menerima agen pelumpuh dengan tujuan untuk mencegah
ketidaknyamanan yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk bergerak. Ada
antusiasme yang cukup besar terhadap penggunaan liberal dari agen penghambat
neuromuskuler di ICU beberapa dekade lalu, namun hal itu berubah setelah beberapa laporan
mengenai pasien sakit kritis yang menunjukkan kelemahan residual untuk periode yang
cukup lama setelah penghentian agen penghambat neuromuskular tersebut. Pada beberapa
pasien, pemulihan terjadi dalam beberapa bulan.118 Pancuronium dan vecuronium lebih sering
digunakan dalam penelitian sebelumnya, dan aminosteroids diduga lebih sering menyebabkan
miopati daripada benzylisoquinolines. Namun, sindrom serupa telah dijelaskan pada
penggunaan dari atracurium dan cisatracurium, dan masih belum jelas apakah frekuensi
pelaporan akan kelemahan ini mencerminkan penggunaan yang relatif dari obat daripada
asosiasi tertentu dengan senyawa berbasis steroid. Penelitian elektromyografik telah
menunjukkan lesi yang bervariasi dari degenerasi miopati hingga aksonal pada serat motorik
dan sensorik. Keadaan ini dipersulit oleh sindrom "neuropati penyakit kritis", yang terjadi
pada pasien dengan sepsis dan kegagalan multiorgan, bahkan pada individu yang tidak
diberikan agen penghambat neuromuskuler. Pemberian kortikosteroid juga dianggap sebagai
faktor risiko.117 Gejala yang terjadi dapat berupa kegagalan untuk menyapih dari ventilasi
mekanik, kelemahan ekstremitas, dan gangguan refleks tendon profunda, tetapi fungsi
sensorik biasanya tidak terpengaruhi. Tidak ada penelitian klinis terkontrol yang
memungkinkan identifikasi dan pencocokan dari beberapa faktor inisiasi dengan sindrom
tertentu.
Dalam beberapa tahun terakhir, indikasi penggunaan agen penghambat neuromuskular
di ICU telah menyempit. Dalam penelitian terbaru, penderita dewasa dengan sindrom gagal
nafas akut yang parah secara acak diberikan cisatracurium selama 48 jam, sedangkan
kelompok lainnya tidak diberikan agen penghambat neuromuskuler. Kematian di 28 hari dan
hari bebas ventilator berkurang pada kelompok cisatracurium.68 Mekanisme mengenai efek
yang menguntungkan dari blokade neuromuskular ini masih belum pasti. Dengan absennya
penelitian yang lebih definitif, maka dianjurkan untuk: memberikan agen penghambat
neuromuskular hanya untuk kasus pasien yang tidak dapat ditangani, membatasi durasi
pemberian menjadi beberapa hari saja atau bahkan lebih sedikit, menggunakan dosis yang
diperlukan saja, dan menginterupsi pemberian harian dari agen penghambat neuromuskuler
secara sementara.117
Penelitian pada pasien ICU yang menerima agen penghambat neuromuskular yang
telah disesuaikan dengan kriteria pemantauan neuromuskular yang ketat, telah menunjukkan
variasi dalam persyaratan untuk penggunaan agen penghambat neuromuskular dalam
mempertahankan efek yang sama antara pasien dan variabilitas farmakokinetik yang luas di
antara pasien.67 Vecuronium dan rocuronium telah dikaitkan dengan waktu pemulihan yang
hanya berlangsung selama beberapa jam. Dengan penggunaan cisatracurium, maka interval
ini menjadi lebih pendek (sekitar 1 jam).67 Persyaratan obat adalah variabel dari pasien
kepada pasien, yang biasanya lebih besar daripada persyaratan yang ada di ruang operasi dan
cenderung meningkat seiring waktu. Hal ini mungkin dikarenakan peningkatan regulasi dari
reseptor.59 Variabilitas respon di antara pasien di ICU menunjukkan perlunya pemantauan
individual secara teliti akan penggunaan dari penghambat neuromuskuler, meskipun metode
optimal dan tingkat blokade yang akan dicapai masih belum pasti. Oleh karena itu, titrasi dari
agen penghambat neuromuskular untuk laju infus minimum mungkin merupakan jalan yang
terbaik.

Miasthenia Gravis

Myasthenia gravis merupakan penyakit autoimun di mana antibodi yang bersirkulasi


menghasilkan reduksi jumlah reseptor asetilkolin postsinaptik secara fungsional.119
Diagnosis dan Tatalaksana
Ciri khas dari myasthenia gravis adalah kelelahan. Presentasi gejala sangat bervariasi
tetapi biasanya gejala okular, seperti diplopia dan ptosis, yang terjadi pertama kali.
Keterlibatan bulbar biasanya terlihat pada fase berikutnya. Pasien selanjutnya dapat
mengalami kelemahan ekstremitas dan kesulitan untuk bernafas.119 Temuan karakteristik
EMG pada myasthenia gra- vis adalah penurunan tegangan terhadap stimulasi berulang pada
frekuensi 2 sampai 5 Hz. Temuan ini juga merupakan karakteristik dari blokade
nondepolarisasi pada individu non-myasthenic. Edrofonium sebanyak 2 sampai 8 mg dapat
menghasilkan pemulihan singkat dari myasthenia gravis dan dapat digunakan sebagai tes
diagnostik. Akhirnya, hingga 80% dari pasien mengalami peningkatan titer antibodi reseptor
asetilkolin.
Pengobatan sebagian besar bersifat asimptomatik. Agen antikolinesterase seperti
pyridostigmine digunakan untuk meningkatkan neurotransmisi pada sinaps neuromuskular.
Kortikosteroid dan imunoterapi dengan azathioprine mungkin menghasilkan perbaikan
jangka panjang. Plasmaferesis yang bekerja dengan cara menghilangkan antibodi beredar
mungkin efektif. Akhirnya, banyak pasien miastenia memiliki thymoma terkait, dan operasi
penggaya timus mungkin menjadi indikasi.119

Respon terhadap Agen Penghambat Neuromuskular


Pasien dengan myasthenia gravis biasanya resisten terhadap suksinilkolin, di mana
dibutuhkan dosis yang lebih besar dari biasanya untuk menghasilkan blokade yang lengkap.
Efek ini mungkin diimbangi dengan penghambatan aktivitas cholinesterase plasma yang
disebabkan oleh pyridostigmine. Sensitivitas terhadap obat penghambat neuromuskular
nondepolarisasi meningkat dalam hal batas variabel, tergantung pada beratnya penyakit. ED95
dari vekuronium ditemukan berkurang sebanyak lebih dari setengah pada pasien miastenia,
dan respon dari muskulus orbicularis oculi tertekan bahkan lebih dari itu pada muskulus
adductor polisis, yang mencerminkan beberapa derajat keterlibatan okular.11

Tatalaksana Anestesi
Secara tradisional, obat penghambat neuromuskuler telah dihindari penggunaannya
pada pasien dengan myasthenia gravis, baik dengan menggunakan inhalasi uap dengan atau
tanpa anestesi lokal. Baru-baru ini, ada beberapa laporan mengenai keberhasilan dari
penggunaan dosis titrasi yang kecil dari atracurium, mivakurium, vekuronium, atau
rocuronium, yang diberikan di bawah pemantauan neuromuskuler secara teliti.119 Efek dari
reaksi reversal obat mungkin kurang dari yang diharapkan karena pasien myasthenic sudah
menerima obat yang menghasilkan inhibisi dari cholinesterase. Jadi, adalah lebih baik untuk
melanjutkan ventilasi mekanis sampai pemulihan spontan terwujud. Setelah thymektomi,
kebutuhan akan ventilasi mekanik biasanya dapat diprediksi dari tes fungsi paru praoperatif.

Myotonia

Myotonia adalah kelompok penyakit yang ditandai oleh keterlambatan abnormal pada
relaksasi muskulus setelah kontraksi. Mereka diklasifikasikan ke dalam: myotonia distrofikk
dan myotonia nondistrofikk. Sejauh ini dua bentuk umum dari myotonia distrofikk (MD),
atau myotonik distrofikk, yakni penyakit Steinert (MD1) dan myotonik distrofik proksimal
(MD2). Kedua kondisi ini merupakan dominan autosomal, dan ditandai dengan defek pada
replikasi dan penyambungan gen.121 Onset penyakit Steinert ini (MD1) bervariasi tetapi
umumnya terjadi pada masa remaja atau awal masa dewasa. Ketidakmampuan untuk
merelaksasikan tangan setelah jabat tangan adalah hal yang umum terjadi. Fitur umum dari
penyakit ini yakni kebotakan, katarak, defek konduksi kardiak, sleep apnea, dan
keterbelakangan mental. Sedangkan myotonik distrofik proksimal (MD2) kurang umum
terjadi. Myotonia nondistrofik mencakup sekelompok penyakit langka karena kelainan pada
saluran ion, seperti myotonia kongenital (penyakit Thomsen dan Becker, yang terjadi karena
cacat pada saluran klorida), paralisis periodik hiperkalemik, dan paramyotonia kongenital.121

Respon terhadap Agen Penghambat Neuromuskular


Karakteristik respon terhadap suksinilkolin pada pasien dengan myotonia adalah
kontraktur berkelanjutan yang berhubungan dengan dosis yang dapat membuat ventilasi sulit
terjadi dalam beberapa menit.121 Kelemahan membran muskulus mungkin bertanggung jawab
untuk hiperkalemia berlebihan yang diproduksi akibat pemberian suksinilkolin.47
Kebanyakan laporan kasus menunjukkan bahwa respon terhadap obat nondepolarisasi adalah
normal.121 Namun, respon myotonik telah diamati pada reaksi reversal dari neostigmin.

Anestesi
Suksinilkolin sebaiknya dihindari. Agen nondepolarisasi dengan durasi pendek atau
menengah dapat digunakan dalam dosis biasa dengan pemantauan neuromuscular secara hati-
hati. Antikolinesterase sebaiknya dihindari, dan ventilasi mekanik harus dipertahankan
sampai efek agen nondepolarisasi telah fade sepenuhnya. Sugammadex telah berhasil
digunakan pada pasien dengan myotonia.

Distrofi Muskular

Distrofi muskulus adalah suatu kumpulan dari banyak penyakit, dengan variabilitas
dalam presentasi dan usia khas pada onset gejala, dengan karakteristik berupa kelemahan
muskulus. Yang paling umum dari penyakit ini adalah distrofik muskulus jenis Duchenne
(DMD), sebuah penyakit herediter yang terkait dengan gen-X yang biasanya tampak jelas di
masa kanak- kanak. Jenis lain dari distrofik muskulus termasuk Becker, Limb-girdle,
fasciohumeral, Emery-Dreifuss, nemalin batang, dan distrofi oculofaringeal.122

Respon terhadap Agen Penghambat Neuromuskular


Ada beberapa laporan mengenai kejadian gagal jantung setelah pemberian
suksinilkolin pada anak dengan distrofik muskulus, yang sering dikaitkan dengan
hiperkalemia dan rhabdomyolysis. Di beberapa contoh kasus didapati bahwa penyakit ini
bersifat laten. Resusitasi tampaknya sulit dilakukan, dan beberapa kasus yang terjadi adalah
fatal.47,122 Penjelasan yang paling mungkin untuk efek samping ini adalah distrofik muskulus
yang laten dan tidak didiagnosis sebelumnya. Dalam kebanyakan laporan kasus, respon
terhadap agen nondepolarisasi, seperti vekuronium, atracurium, dan mivakurium, telah
digambarkan sebagai respon yang normal, meskipun pernah ada contoh sporadis mengenai
peningkatan sensitivitas. Ada sedikit data mengenai respon untuk antikolinesterase. Pasien
dengan DMD mungkin sudah tidak rentan lagi terhadap hipertermia ganas.

Anestesi
Suksinilkolin harus dihindari pada pasien dengan distrofi muskulus, terutama jika
timbulnya gejala terjadi pada masa kanak-kanak atau masa remaja. Kemungkinan laten atau
tidak terdiagnosanya DMD pada laki-laki muda (<10 tahun) menjadi alasan untuk
menghindari suksinilkolin pada populasi pasien ini. Titrasi secara hati-hati pada agen
nondepolarisasi dengan durasi pendek atau intermediate harus dilakukan. Antikolinesterase
tidak tampak sebagai kontraindikasi dan sugammadex tampaknya akan menjadi pilihan yang
baik.
Lesi Pada Upper Motor Neuron

Pasien dengan hemiplegia atau quadriplegia sebagai akibat dari lesi sistem saraf pusat
menunjukkan respon abnormal untuk agen depolarisasi dan agen nondepolarisasi.
Hiperkalemia dan gagal jantung telah dilaporkan pada pemberian suksinilkolin, mungkin
sebagai akibat dari proliferasi reseptor ekstrasinaptik. Hiperkalemia biasanya terlihat jika
obat diberikan dari 1 minggu sampai 6 bulan setelah munculnya lesi, tetapi juga dapat dilihat
sebelum dan sesudah periode tersebut.47 Ada resistensi terhadap obat penghambat
neuromuskular nondepolarisasi di bawah tingkat lesi. Pada pasien hemiplegia, pemantauan
dari sisi yang terkena menunjukkan bahwa blok kurang intens dan pemulihan terjadi lebih
cepat daripada sisi yang tidak terpengaruh. Namun, sisi yang tampaknya normal juga
menunjukkan beberapa resistensi terhadap obat nondepolarisasi. Temuan serupa telah
dilaporkan berupa stroke, dengan resistensi yang lebih besar pada sisi yang terkena.

Luka Bakar

Sebagai hasil dari proliferasi reseptor extrasinaptik, Suksinilkolin menghasilkan


hiperkalemia berat pada pasien dengan luka bakar, dan hal ini dapat menyebabkan serangan
jantung. Besarnya masalah tergantung pada sejauh mana cedera terjadi. Hal ini mungkin
muncul pada fase awal yaitu 24 sampai 48 jam setelah luka bakar dan biasanya berakhir
dengan fase penyembuhan.47 Resistensi terhadap efek dari agen penghambat neuromuskular
nondepolarisasi dapat terwujud, bahkan dalam muskulus yang ternyata tidak terpengaruh oleh
luka bakar.59,60,74

Lain-lain

Muskulus yang didenervasi menunjukkan pelepasan kalium setelah pemberian


suksinilkolin dan menunjukkan resistensi terhadap relaksan nondepolarisasi. Kontraktur
sebagai respon terhadap suksinilkolin juga telah diamati pada sklerosis amyotrofik lateral dan
sklerosis multipel. Ada laporan terisolasi mengenai hiperkalemia setelah pemberian
suksinilkolin dalam beberapa penyakit neurologis, termasuk ataksia Friedrich, polineuritis,
dan penyakit Parkinson.

Pemantauan dari Blokade Neuromuskular

Mengapa Memantau?

Derajat paralisis yang dalam biasanya diinginkan selama anestesi untuk memfasilitasi
intubasi trakea dan untuk mendapatkan bidang operatif yang tidak bergerak. Namun,
pemulihan lengkap dari fungsi pernapasan harus dicapai sebelum trakea diekstubasi.
pemberian obat penghambat neuromuskular harus disesuaikan dengan keadaan individu
karena blokade terjadi selama rentang sempit dari kehidupan reseptor, dan karena ada
variabilitas antarindividu yang cukup besar dalam hal respon. Dengan demikian, penting bagi
dokter untuk menilai efek dari obat penghambat neuromuskular tanpa pengaruh dari perancu
yakni agen yang mudah menguap, anestesi intravena, dan opioid. Tetapi tetap harus diingat
bahwa pemantauan adalah alat, ia tidak menyembuhkan. Agen penghambat neuromuskuler
memiliki efek yang sama, dengan atau tanpa pemantauan. Beberapa penelitian, tetapi tidak
semua, menemukan bahwa pemantauan secara seksama dikaitkan dengan penurunan kejadian
paralisis residual, mungkin karena informasi yang diperoleh diperlakukan secara berbeda
dalam penelitian yang juga berbeda.21 Untuk menguji fungsi dari sinaps neuromuskuler,
maka saraf perifer dirangsang secara elektrik sehingga respon muskulus dapat dinilai.

Karakteristik Stimulator
Respon dari saraf terhadap rangsangan listrik tergantung pada tiga faktor: arus yang
diterapkan, durasi dari arus, dan posisi elektroda. Stimulator harus mampu memberikan arus
maksimum di kisaran 60 sampai 80 mA. Kebanyakan stimulator dirancang untuk
memberikan arus konstan, terlepas dari perubahan impedansi karena pengeringan gel
elektroda, pendinginan, penurunan fungsi kelenjar keringat, dan sebagainya. Namun, ciri arus
yang konstan ini tidak berlaku untuk impedansi tinggi (> 5 kΩ). Dengan demikian, elektroda
harus diterapkan dengan tegas pada kulit. Sebuah tampilan pemantauan pada stimulator
merupakan suatu aset karena pemutusan yang tiba- tiba dapat diidentifikasi dengan mudah
oleh arus yang mendekati 0 mA. Durasi dari pulsasi arus harus cukup panjang untuk semua
akson yang ada di saraf untuk depolarisasi tapi cukup pendek untuk menghindari
kemungkinan kelebihan periode refraktori dari saraf. Dalam prakteknya, durasi pulsasi
sebesar 0,1-0,2 ms masih dapat diterima. Setidaknya satu elektroda harus berada di atas saraf
agar dapat dirangsang. Jika elektroda negatif digunakan untuk tujuan ini, maka ambang batas
untuk stimulasi supramaksimal adalah kurang dari itu untuk elektroda positif. Namun,
perbedaannya tidaklah besar dalam praktek. Posisi elektroda lainnya tidak kritis, tetapi
sebaiknya tidak ditempatkan di sekitar saraf lainnya. Tidak perlu menggunakan elektroda
jarum. Elektroda dengan permukaan perak klorida digunakan untuk memantau
elektrokardiogra yang memadai untuk stimulasi saraf perifer, tanpa risiko perdarahan,
infeksi, dan luka bakar. Dalam prakteknya, penerapan elektroda ini di sepanjang saraf akan
memberikan hasil terbaik (Gambar. 1-12).

Gambar 1-12.
Penempatan elektroda untuk
mendapatkan kontraksi dari
muskulus adduktor pollicis.
Metode tradisional adalah dengan
menerapkan elektroda di
penjalaran dari saraf ulnaris di
pergelangan tangan, dengan
elektroda negatif pada sisi distal
(kanan). Sebuah metode alternatif
adalah dengan memposisikan
elektroda di atas muskulus
adductor polisis (kiri), elektroda
negatif pada sisi telapak,
elektroda positif di lokasi yang
sama, tapi di punggung tangan.
Perangkat yang dipasang pada
jempol adalah akselerometer.
Modalitas Pemantauan

Modalitas stimulasi yang berbeda diperkenalkan ke praktek klinik untuk mengambil


keuntungan dari fitur karakteristik dari blokade neuromuskular nondepolarisasi: fasilitasi
yang fade dan fasilitasi post-tetanik dengan stimulasi frekuensi tinggi. Dengan demikian,
diskusi berikut ini mengacu terutama untuk blok nondepolarisasi.

Kedutan Tunggal
Cara paling mudah untuk merangsang saraf adalah dengan menerapkan stimulus
tunggal, yaitu pada interval l> 10 detik (frekuensi <0,1 Hz). Interval ini diperlukan untuk
memungkinkan sinaps neuromuskuler untuk pulih jika menggunakan agen nondepolarisasi.
Dengan interval yang lebih pendek, mungkin akan tampak kedutan yang fade. Dengan agen
depolarisasi seperti suksinilkolin, fade yang kecil dapat terjadi dan dengan frekuensi yang
lebih tinggi seperti 1 Hz, dapat digunakan tanpa kepedulian terhadap kedutan yang fade.
Amplitudo respon dipitaingkan dengan kontrol, yaitu kedutan tinggi pre-blokade. Modalitas
kedutan tunggal berguna untuk membangun kurva dosis-respons dan untuk mengevaluasi
onset waktu. Namun, karena nilai kontrol diperlukan, maka kegunaan klinis dari mode
stimulasi ini menjadi terbatas.

Tetanus
Ketika rangsangan diterapkan pada frekuensi ≥30 Hz, maka respon mekanikmuskulus
adalah perpaduan dari respon kedutan individu. Dengan tidak adanya obat penghambat
neuromuskular, maka tidak ada fade yang tampak dan respon akan dilanjutkan. Selama
blokade nondepolarisasi, respon mekanik muncul sebagai puncak, diikuti oleh fade (Gbr. 1-
8). Sensitivitas dari stimulasi tetanik dalam deteksi blokade neuromuskular residual lebih
besar dari kedutan tunggal; yaitu, fade tetanik mungkin hadir saat kedutan tinggi merupakan
keadaan yang normal. Kebanyakan stimulator saraf menyediakan train 5 detik pada frekuensi
50 Hz. Frekuensi ini diadopsi karena pada frekuensi yang lebih tinggi, beberapa fade dapat
dilihat bahkan dalam ketiadaan obat penghambat neuromuskular. Namun, lebih banyak fade
terlihat dengan 100 Hz daripada frekuensi 50 Hz, dan pada 100 Hz, train 5 detik yang paling
berguna dalam deteksi blok residual.55,123 Dengan stimulasi tetanik maka tidak dibutuhkan
kontrol tetapi membutuhkan respon preblokade, karena derajat paralisis muskulus dapat
dinilai oleh tingkat fade yang terjadi setelah stimulasi tetanik. Namun, kelemahan utama
mode stimulasi ini adalah fasilitasi posttetanik (Gambar. 1-8), yang merupakan respon
ditingkatkan untuk semua jenis stimulasi untuk waktu singkat setelah tetanus. Besarnya dan
durasi dari fasilitasi ini tergantung pada frekuensi dan durasi stimulasi tetanik. Untuk
penerapan tetanus 50 Hz selama 5 detik, maka durasi interval ini tampaknya sekitar 1 sampai
2 menit.56 Jika stimulasi kedutan tunggal dilakukan selama waktu itu, maka respon akan
membesar secara palsu.

Train-Of-Four
Dengan stimulasi 2 Hz, maka respon mekanik atau listrik menurun sedikit setelah
stimulus keempat, dan derajat fade mirip dengan yang ditemukan pada 50 Hz. Dengan
demikian, dengan menerapkan stimulasi TOF pada 2 Hz akan menyediakan sensitivitas yang
lebih daripada kedutan tunggal dan kira- kira sensitivitas yang sama seperti pada stimulasi
tetanik pada 50 Hz. Selain itu, frekuensi yang relatif rendah ini memungkinkan respon agar
dapat dievaluasi secara manual ataupun visual. Terlebih lagi, kehadiran kecil dari sejumlah
impuls (empat) menghilangkan masalah fasilitasi posttetanik. Stimulasi Train-of-four dapat
diulang setiap 12 hingga 15 detik. Ada hubungan yang cukup erat antara depresi kedutan
tunggal dan respon TOF, dan tidak ada kontrol diperlukan untuk respon TOF. Selama proses
pemulihan, kedutan kedua dapat muncul kembali pada blok 80% hingga 90% dari kedutan
tunggal, yang ketiga pada 70% sampai 80%, dan ketika blokade mencapai 65% sampai 75%,
maka keempat kedutan dapat terlihat.124 Kemudian, rasio TOF berhubungan secara linier
dengan ketinggian kedutan pertama ketika blokade sebesar <70%, di mana rasio TOF ini
didefinisikan sebagai tinggi dari kedutan keempat dipitaingkan dengan kedutan yang
pertama. Ketika ketinggian kedutan tunggal telah pulih 100%, maka rasio TOF adalah sekitar
70%.

Hitungan Post-Tetanik
Selama blokade neuromuskuler yang mendalam, tidak ada respon untuk kedutan
tunggal, tetanus, ataupun stimulasi TOF. Untuk memperkirakan waktu yang diperlukan
sebelum kembalinya respon, maka dapat menggunakan teknik yang tergantung pada prinsip
dari fasilitasi post-tetanik. Tetanus 50 Hz diterapkan selama 5 detik, diikuti dengan jeda
selama 3 detik dan oleh serangkaian rangsangan pada 1 Hz. Fasilitasi menghasilkan jumlah
kedutan post-tetanik tertentu yang dapat terlihat (Gambar. 1-13). Jumlah dari kedutan
berkorelasi terbalik dengan waktu yang dibutuhkan untuk kembalinya kedutan tunggal atau
respon TOF.125 Untuk obat dengan durasi intermediate, maka waktu dari hitungan post-
tetanik (HPT) dari 1 sampai munculnya kembali kedutan adalah 15 sampai 30 menit.

Gambar 1-13. Hitungan post-tetanik (HPT). Selama blokade yang mendalam, tidak ada
respon train-of-four (TOF) atau tetanus yang terlihat. Namun, karena ada fasilitasi post-
tetanik, maka beberapa kedutan dapat dilihat setelah stimulasi tetanik. Dalam contoh ini, HPT
adalah 9.

Stimulasi Ganda Tersebar


Fade dari Train-of-four mungkin sulit untuk dievaluasi secara visual atau taktil
selama pemulihan dari blokade neuromuskular. Berdasarkan pengalaman, sulit bagi ahli
anestesi untuk mendeteksi fade TOF ketika rasio TOF sebenarnya adalah 0,4 atau lebih besar,
yang berarti bahwa paralisis residual tidak dapat terdeteksi.123 Kelemahan ini bisa diatasi
sampai batas tertentu dengan menerapkan dua rangsangan tetanik singkat (tiga impuls pada
50 Hz, dipisahkan oleh 750 ms), dan dengan mengevaluasi rasio kedua respon pertama. Rasio
stimulasi ganda-tersebar itu berkorelasi erat dengan rasio TOF, tapi lebih mudah untuk
dideteksi secara manual.123 Setidaknya 12 sampai 15 detik harus dilalui antara dua
rangsangan ganda-tersebar berturut-turut.

Mencatat Respon

Respon kontraktil dari muskulus yang terjadi setelah stimulasi saraf dapat dinilai, baik
dengan indra sendiri (visual atau taktil), atau dengan instrumen yang mengukur kekuatan,
tegangan listrik, akselerasi, gerakan, atau suara yang dihasilkan oleh aktivitas muskulus.
Penilaian visual dan taktil adalah penilaian kualitatif atau subjektif karena respon dinilai
sebagai ada atau tidak ada, lemah atau kuat; metode lain yang disebut kuantitatif atau
objektif, karena angka adalah terkait dengan setiap respon.126

Evaluasi Taktil dan Visual


Cara yang paling mudah dan paling murah untuk menilai kedalaman paralisis adalah
dengan mengamati atau merasakan kontraksi muskulus setelah dilakukan stimulasi saraf.
Namun, kesalahan serius dalam penilaian dapat terjadi ketika mengevaluasi respon dari
muskulus adductor policis pada stimulasi saraf ulnaris. Hitungan TOF, atau jumlah respon
yang terlihat, dapat dibuat menjadi reliabel selama prosedur bedah,124 tapi fade TOF sulit
dideteksi selama pemulihan. Beberapa penyelidikan menunjukkan bahwa rasio TOF serendah
0,3123 bisa dilihat dan dirasakan sebagai hal yang berkelanjutan. Tingkat deteksi untuk fade
tetanik (50 Hz) tidak lebih baik.123 Dengan stimulasi ganda-tersebar, fade bisa terdeteksi
secara reliabel hingga kisaran TOF rasio 0,6 sampai 0,7.123 Dengan stimulasi tetanik 100 Hz,
fade mungkin terdeteksi pada rasio TOF 0,8 hingga 1,055,123 tetapi dapat dilihat pada individu
yang tidak sedang dalam pengaruh blok neuromuskular.

Pengukuran Gaya
Sebuah transduser gaya dapat mengatasi kekurangan dari indra seseorang. Jika
diterapkan dengan benar, maka pengukuran gaya atau mekanomyografi (MMG) dapat
memberikan respon yang akurat dan terpercaya, ditampilkan baik sebagai tampilan digital
atau sinyal analog di monitor. Pengukur kekuatan dapat diukur setelah kedutan tunggal,
tetanus, TOF, ganda-tersebar, atau rangsangan post-tetanus. Sayangnya, MMG transduser
cukup mahal, berukuran besar, rumit, dan dapat diterapkan hanya pada satu muskulus,
biasanya adduktor pollicis.126

Elektromiografi
Adalah hal yang mungkin untuk mengukur listrik yang bukan merupakan respon
mekanik dari muskulus. Satu elektroda harus diposisikan di atas sinaps neuromuskular, yang
biasanya dekat dengan bagian tengah dari muskulus, dan lainnya di dekat insersi dari
muskulus. Suatu elektroda netral dapat ditempatkan di tempat lain. Secara teoritis, setiap
muskulus superfisial dapat digunakan untuk rekaman EMG. Dalam praktek, rekaman itu
hanya terbatas pada eminensia hipotenar, dorsum interosea pertama, dan muskulus adduktor
pollicis, yang semuanya dipersarafi oleh saraf ulnaris. Kebanyakan perangkat rekaman EMG
menghitung daerah di bawah kurva EMG selama jendela waktu yang khusus setelah stimulus
diterapkan. Biasanya ada korelasi yang baik antara EMG dan gaya dari muskulus polisis
adductor jika sinyal EMG diambil dari eminensia tenar.126

Akselerometri
Menurut hukum Newton, percepatan sepitaing dengan kekuatan jika massa tetap dan tidak
berubah. Perangkat akseleromyografi (AMG) biasanya melekat pada ujung ibu jari (Gambar.
1-12) dan lalu kita bisa memperoleh sebuah pembacaan digital. Bertentangan dengan
pengaturan MMG dan EMG, jusrtu jempol harus bebas bergerak saat dilakukan AMG.
Pengaturan ini sensitif terhadap perpindahan jempol yang disengajai dan sensitif terhadap
tidak adanya obat penghambat neuromuskular, di mana rasio TOF > 100% bisa
didapatkan.123,126 Ada upaya untuk mengurangi variabilitas dan rasio TOF > 100% dengan
penggunaan belat khusus yang lunak atau menahan ibu jari dengan pita pita kecil yang
elastis, dengan hasil yang beragam. Terlepas dari kekurangan ini, pemantauan AMG telah
menjadi semakin populer karena mereka mudah digunakan, praktis, dapat digunakan pada
muskulus selain polisis adduktor, dan relatif murah. Penggunaan akselerometri membantu
dalam diagnosis paralisis residual, dan dalam beberapa kasus mungkin mencegah terjadinya
kondisi tertentu (Tabel 1-1).18,20

Pemindahan
Berbagai instrumen telah diusulkan bahwa dapat member respon gerakan atau
perpindahan, dan dengan demikian mereka disebut sebagai perangkat kinemyografi (KMG)
perangkat. Mereka biasanya terdiri dari sebuah pita fleksibel yang ditempatkan di antara ibu
jari dan jari telunjuk.126 Suatu sensor akan menyediakan arus listrik ketika pita dibengkokkan.
Evaluasi menyeluruh dari perangkat ini belum pernah dilakukan, namun ada beberapa data
yang yang mengindikasikan hal tersebut tetapi perbedaan antara hasil transduser perpindahan
dan mekanomyografi secara klinis tidak signifikan.126 Rasio TOF dari KMG bertentangan
dengan AMG, di mana rasio TOF dari KMG tidak biasanya melebihi 100%.

Fonomyografi
Kontraksi muskulus memancarkan suara berfrekuensi rendah. Respon TOF dan fade
dapat didengar dengan stetoskop yang ditempatkan di atas muskulus adductor pollicis.
Sebuah respon kuantitatif dapat diperoleh dengan mikrofon khusus, dan merupakan dasar
untuk fonomyografi atau PMG.126 Sebuah korelasi yang sangat baik terjadi di antara PMG
dan MMG telah ditemukan pada beberapa muskulus, tetapi tidak ada perangkat komersial
yang menggunakan PMG yang tersedia.

Pemilihan Muskulus

Muskulus tidak merespon secara seragam terhadap obat penghambat neuromuskular.


Setelah pemberian obat penghambat neuromuskular, maka perbedaan terhadap waktu onset,
blokade maksimal, dan durasi tindakan dapat diukur di antara muskulus. Bukan hal yang
praktis untuk memantau muskulus-muskulus karena kepentingan fisiologis, misalnya
muskulus-muskulus perut selama operasi, atau muskulus respirasitorik dan muskulus saluran
napas atas post operasi. Pendekatan yang lebih baik adalah dengan memilih situs pemantauan
yang memiliki respon yang mirip dengan muskulus yang dimaksud. Misalnya, pemantauan
respon dari saraf wajah di sekitar mata merupakan indikator yang baik dari kondisi intubasi,
dan penggunaan muskulus adduktor pollicis selama masa pemulihan mencerminkan fungsi
muskulusdari saluran napas bagian atas. Strategi lain adalah dengan menempelkan muskulus
pada satu situs pemantauan, seperti muskulus polisis adduktor, dan menginterpretasikan
informasi yang diberikan dari pengetahuan tentang respon yang berbeda antara muskulus
(Gambar. 1-14).

Gambar 1-14. Perkiraan waktu dari ketinggian kedutan setelah pemberian rocuronium
sebanyak 0,6 mg/kg pada muskulus yang berbeda. Laring, adductor laringeal (pita suara); CS,
muskulus corrugator supercilii (alis); Abd, muskulus perut; OO, muskulus orbicularis oculi
(kelopak mata); GH, muskulus geniohyoid (saluran napas atas); AP, muskulus adductor
pollicis (ibu jari).
Muskulus Adductor Policis
Muskulus adductor pollicis merupakan muskulus yang dapat diakses pada hampir
seluruh prosedur bedah. Muskulus ini dipersarafi oleh saraf ulnaris, yang terletak superficial
di pergelangan tangan di mana elektroda negatif dapat diposisikan di sana. Elektroda positif
ditempatkan beberapa sentimeter lebih proksimal (Gambar. 1-12). Kekuatan kontraksi dari
muskulus adductor polisis dapat diukur dengan transduser, dan teknik ini telah menjadi
standar dalam penelitian. Setelah suntikan dari suatu dosis yang memproduksi blokade
kurang dari 100%, maka waktu untuk blokade maksimal adalah lebih lama daripada
muskulus yang terletak di pusat.129,130 Muskulus adduktor pollicis relatif sensitif terhadap
obat penghambat neuromuskular nondepolarisasi sehingga pulih lebih lambat dari
diafragma,129 adductors laring,130 dan muskulus perut (Gambar. 1-14).127 Pemulihan
muskulus saluran napas bagian atas seperti geniohyoid dan adduktor polisis terjadi kurang
lebih secara bersamaan (Gambar. 1-14), sehingga blokade residual pada polisis adduktor
menunjukkan kekmungkinan adanya obstruksi saluran napas atas.131
Muskulus adductor pollicis juga dapat dirangsang dengan cara menempatkan
elektroda langsung di atasnya, masing-masing pada ruang yang terletak di antara dasar dari
metakarpal yang pertama dan kedua, pada aspek palmar dan dorsal di tangan (Gambar. 1-12).
Stimulasi seperti itu akan menghindari gerakan pengganggu dari muskulus hipotenar. Cara
yang sering digunakan saat ini untuk mendapatkan stimulasi muskulus secara langsung
dengan posisi elektroda ini jauh lebih tinggi daripada stimulasi saraf. Konfirmasi bahwa
stimulasi muskulus langsung tidak biasanya terjadi bisa diperoleh ketika agen penghambat
neuromuskuler menghilangkan respon secara keseluruhan.128 Kemampuan untuk mendeteksi
fade dengan cara visual atau taktil adalah sama, entah elektroda perangsang dipasangkan
pada pergelangan tangan atau pada tangan.123

Otot Lain Pada Regio Manus


Stimulasi nervus ulnaris juga menyebabkan pergerakan flexi dan abduksi dari jari
kelima, yang biasanya menghilang sebelum m. adductor pollicis, perbedaan pada kedutan
pertama dan rasio TOF . Bergantung pada adanya respon dari jari kelima dapat
memperkirakan pemulihan dari blokade. Abduksi dari jari telunjuk juga dihasilkan dari
stimulasi pada nervus ulnaris karena adanya kontraksi dari otot interosseus dorsalis pertama
yang sensitivitasnya dapat dibandingkan dengan stimulasi terhadap m. adductor pollicis.
Eminentia regio hypothenar (dekat dengan jari kelima) dan m. interosseus dorsalis I sangat
sesuai untuk diuji menggunakan EMG. Stimulasi pada tangan menghilangkan kontraksi otot
hypothenar, tetapi dapat memprovokasi pergerakan dari m. interosseus dorsalis I.

Otot Di Sekitar Mata


Ada dua otot yang paling penting disekitar mata, keduanya mensuplai nervus facialis,
dengan perbedaan besar pada respon dari musculus dan perbedaan ini memiliki pendahuluan
yang sama diliteratur. Musculus Orbicularis Oculi kerjanya untuk melindungi kelopak mata,
dan berespon pada Neuromuscular Blocking Agent yang serupa dengan Musculus Adductor
Pollicis Namun, otot yang menggerakkan alis adalah supercilii corrugator, dan hasil rekaman
di lokasi yang serupa dengan yang ada pada adductors laring (Gambar. 1-14), dengan onset
yang singkat dan pemulihan yang lebih cepat dari pada adductor pollicis. Dengan demikian,
stimulasi saraf wajah dengan pemeriksaan respon alis ini diindikasikan untuk memprediksi
kondisi intubasi dan untuk memantau blockade yang mendalam .Saraf fasialis bisa
dirangsang 2 sampai 3 cm posterior ke perbatasan lateral orbit. Tidak perlu menggunakan
menstimulasi aliran > 20 sampai 30 mA.

Otot Di Kaki
Saraf tibialis posterior dapat dirangsang dibelakang Maleolus internal untuk menghasilkan
fleksi dari jempol kaki dengan kontraksi Musculus flexor hallucis. Respon otot ini sebanding
dengan itu otot adduktor polisis. Stimulasi peroneal saraf eksternal menghasilkan dorsofleksi,
tetapi sensitivitas dari otot-otot yang terlibat belum dihitung.

Aplikasi Klinis
Interpretasi dari hasil pemantauan tergantung pada konteks selama yang neuromuscular
blocking agen atau obat reversal diberikan. Biasanya, orang perlu memonitor untuk
memprediksi kondisi intubasi, memberikan relaksasi selama prosedur pembedahan, dan
untuk menilai kesiapan, dan efektivitas, agen reversal. situasi ini diringkas dalam Tabel 1-4.

Pemantauan Onset
Kualitas kondisi intubasi tergantung khususnya pada keadaan relaksasi dari otot-otot rahang,
faring, laring, dan sistem pernapasan, di mana kelumpuhan akan terjadi lebih cepat karena
aliran darah semakin besar dari dalam otot tangan yang lebih perifer atau kaki. Di antaranya
otot pusat, adductors laring dan diafragma yang paling tahan terhadap nondepolarisasi agen,
sehingga kedua membutuhkan dosis relatif besar akan diblokir sepenuhnya, yang
memungkinkan bagian dipermudah dari tabung trakea melalui pita suara dan tidak adanya
batuk. Sebagai hasil dari kepekaan yang berbeda dan kali onset, blokade di laring dan tangan
otot setelah dosis bolus agen memblokir neuromuskuler mungkin mengikuti.
salah satu dari tiga pola. Pada dosis yang relatif rendah (misalnya, rocuronium, 0,3 mg / kg),
waktu onset lebih lambat di polisis adduktor daripada di otot laring, tetapi blokade tidak
lengkap pada kedua otot. Jika dosis meningkat (misalnya, rocuronium, 0,5 mg / kg), onset
lebih cepat di otot adduktor pollicis karena dosis ini menghasilkan 100% blokade di polisis
adduktor tanpa menghalangi otot laring benar (Gambar. 1-14). 81 kali Onset menurun jauh
dalam otot apapun jika dosis yang diberikan cukup untuk mencapai 100%. Akhirnya, jika
dosisnya cukup besar (misalnya, rocuronium, 1,0 mg / kg) untuk memblokir otot laring benar,
waktu onset lagi menjadi lebih pendek di laring. Hal ini tidak mengherankan bahwa
pemantauan otot adduktor polisis memprediksi intubasi kondisi buruk. stimulasi saraf wajah
dengan pengamatan visual dari respon lebih alis memberikan hasil yang lebih baik karena
respon dari corrugator supercilii dekat dengan yang ada pada pita suara. TOF memudar
membutuhkan waktu lebih lama untuk mengembangkan daripada single-kedutan depresi
(Gambar. 1-8), dan selama awal, stimulasi TOF tidak memiliki keuntungan apapun lebih dari
satu-kedutan stimulasi pada 0,1 Hz.

Pemantauan Relaksasi Bedah


Relaksasi bedah yang memadai biasanya diperoleh bila kurang dari dua atau tiga kedutan
yang terlihat di polisis adductor otot, tetapi tingkat ini mungkin tidak cukup dalam banyak
kasus. gerakan diafragma dan nada perut dapat kembali lebih awal dari respon kedutan di
pollicis adductor. Memberikan agen memblokir lebih neuromuskular untuk memperdalam
blockade akan menghapuskan gerakan-gerakan ini, tapi bukan satu-satunya metode untuk
memecahkan masalah. Administrasi opioid, meningkatkan konsentrasi agen inhalasi, dan /
atau hiperventilasi untuk penurunan CO2 mungkin diindikasikan. Dosis tambahan
neuromuscular memblokir agen, terutama jika diberikan menjelang akhir dari prosedur,
mungkin menunda pemulihan, kecuali sugammadex reversal adalah berencana. Untuk
memantau relaksasi yang mendalam, PTC dapat digunakan di otot adduktor polisis, tersedia
bahwa jenis stimulasi tidak diulang lebih sering daripada setiap 2 sampai 3 menit. Sebuah
cocok alternatif adalah stimulasi saraf wajah dengan observasi dari respon atas alis, yang
pulih pada tingkat yang sama sebagai otot tahan seperti diafragma.
Pemantauan Pemulihan
Kembali ke semula fungsi neuromuskular harus dicapai pada akhir operasi sebelum satu hasil
dengan ekstubasi. Secara tradisional, rasio TOF 0,7 dianggap sebagai ambang batas bawah
kelemahan residual dari otot-otot pernafasan bisa hadir. Ada banyak bukti bahwa signifikan
kelemahan dapat terjadi hingga TOF nilai rasio 0,9, dan bahwa ini adalah karena pulang tidak
lengkap dari saluran napas atas function. R elawan diberikan mivakurium gagal melakukan
tes head-lift ketika rasio TOF di otot adductor pollicis menurun di bawah 0,62, tetapi
diperlukan rasio TOF minimal 0,86 untuk mengadakan lidah depressor antara gigi (Gambar.
1-15) 0,134 Data ini menunjukkan bahwa tes kepala-lift tidak menjamin pemulihan penuh,
dan bahwa otot-otot saluran napas bagian atas yang digunakan untuk mempertahankan lidah
depressor sangat sensitif terhadap efek residual dari blocking neuromuscular narkoba.
Selanjutnya, penurunan menelan dan laring Aspirasi dari cairan faring diamati pada rasio
TOF setinggi 0,9 pada sukarelawan diberikan vekuronium (Gbr. 1-4). Supraglottic daerah
berkurang pada relawan yang menerima infus rocuronium ke TOF dari 0.8. Sedangkan
volume tidal dan CO2 end-tidal yang diawetkan pada pasien terjaga menerima dosis yang
relatif tinggi neuromuscular blocking obat, pemberian dosis kecil dari vekuronium untuk
mempertahankan TOF di <0,9 mengarah ke penurunan berat dari respon ventilasi terhadap
hipoksia (Gambar. 1-16)
Menanggapi hiperkapnia dipertahankan, dan ini menunjukkan bahwa. Menanggapi hipoksia
bukanlah hasil dari kelemahan otot pernapasan. Pada pasien, obstruksi jalan napas,
hipoksemia, dan dyspnea lebih mungkin terjadi ketika rasio TOF adalah <0.9. Secara
bersama-sama, hasil investigasi tersebut menunjukkan bahwa pernapasan yang normal dan
fungsi saluran napas bagian atas tidak kembali normal kecuali Rasio TOF di otot adductor
pollicis 0.9 atau lebih. Pemantauan pada akhir prosedur pembedahan penting untuk
menentukan jenis dan dosis agen reversal diperlukan. Antikolinesterasi agen harus diberikan
hanya ketika empat berkedut adalah terlihat pada otot adductor pollicis, yang sesuai dengan
pemulihan pertama-kedutan> 25%. Sugammadex dapat diberikan di tingkat yang lebih dalam
dari blokade, tetapi dosis tergantung pada intensitas paralysis. Kehadiran pernapasan spontan
tidak tanda recovery neuromuskular yang memadai, karena diafragma pulih lebih awal dari
otot saluran udara bagian atas jauh lebih sensitif, seperti geniohyoid, yang pulih, rata-rata,
pada saat yang sama waktu sebagai adduktor pollicis muscle. Oleh karena itu, otot adductor
polisis harus digunakan untuk memantau pemulihan, bukannya pemantauan kuantitatif tidak
tersedia di mana-mana,
63 sehingga dokter harus menyadari kekurangan dari monitoring kualitatif. Ketika hanya
metode visual dan taktil yang tersedia, itu adalah dianjurkan untuk menunggu sampai
hitungan TOF empat diperoleh sebelum pemberian obat antikolinesterase, dan harus siap
untuk menunggu selama 15 sampai 20 menit untuk respon penuh antikolinesterase yang agen
pada beberapa pasien. Ekstubasi dapat dilakukan sebelum jika pasien tidak berisiko aspirasi
dan jika langkah-langkah yang diambil untuk mempertahankan paten saluran napas bagian
atas, seperti aplikasi rahang dorong, penyisipan sebuah jalan napas oral atau nasal, dan / atau
posisi pasien dalam posisi yang paling nyaman (
lateral atau posisi tegak). Potensi masalah dengan neuromuskuler recovery harus diantisipasi
sejak dini dengan mengidentifikasi pasien beresiko untuk obstruksi jalan napas atas pasca
operasi (operasi leher, sleep apnea, obesitas, penyakit pernapasan, penyakit neuromuskuler),
pemantauan neuromuskuler sering seluruh anestesi untuk mendapatkan rasa bagaimana
masing-masing pasien merespon neuromuskuler memblokir obat, dan dengan menahan diri
untuk mengelola terlalu banyak neuromuscular blocking obat menjelang akhir prosedur.

Faktor yang Mempengaruhi pemantauan blokade neuromuskuler


Banyak obat mengganggu fungsi neuromuskuler dan ini berurusan dengan tempat lain (lihat
"Interaksi Obat"). Namun, tertentu situasi membuat interpretasi data pada neuromuscular
Fungsi sulit. hipotermia Central dapat memperlambat metabolism dari neuromuscular
blocking agen dan memperpanjang blokade di semua otot body. Jika ekstremitas mana
pemantauan dilakukan dingin, tingkat blok akan ditekankan. Demikian, jika hanya sisi
dipantau dingin, tanpa hipotermia pusat, tingkat kelumpuhan akan muncul Resistance deeper.
ke nondepolarisasi neuromuscular blocking obat terjadi dengan saraf kerusakan, termasuk
trauma saraf perifer, kabel transeksi, dan stroke. Dalam hal ini, pemantauan anggota tubuh
yang terlibat akan cenderung meremehkan tingkat kelumpuhan otot. Kedalaman kelumpuhan
juga harus disesuaikan dengan jenis pasien, serta sebagai jenis operasi. Misalnya, tidak perlu
untuk melumpuhkan individu lemah atau pasien pada ekstrem usia untuk sama Sejauh
dewasa berotot muda. Hal yang sama berlaku untuk pasienndengan melemahkan penyakit
otot. Neuromuskular pemantauan dengan sendirinya tidak menjamin memadai relaksasi
selama operasi dan pemulihan lengkap pasca operasi. Bidang bedah mungkin menjadi miskin
meskipun kelumpuhan penuh tangan karena perbedaan respon antara otot. kelumpuhan sisa
mungkin terjadi karena kelebihan neuromuscular memblokir agen diberikan, administrasi
awal reversal, ataunrespon abnormal dari pasien. Pengaruh neuromuskuler yang memblokir
obat adalah sama apakah atau tidak pemantauan digunakan. Neuromuscular pemantauan
dapat membantu dalam diagnosis tidak memadai relaksasi otot skeletal selama operasi atau
pemulihan tidak cukup setelah operasi, tetapi tidak, dalam dirinya sendiri, mengobati kondisi
ini.

PEMULIHAN NEUROMUSKULAR BLOK


Kelumpuhan Sisa
Dalam sebagian besar keadaan, semua upaya harus dilakukan untuk memastikan bahwa
pasien meninggalkan ruang operasi dengan kekuatan otot utuh. Secara khusus, otot saluran
udara pernapasan dan atas harus berfungsi biasanya sehingga pasien dapat bernapas, batuk,
menelan sekresi, dan menjaga atau paten jalan napasnya. Tiga strategi dapat diadopsi untuk
mencapai tujuan ini. Yang pertama adalah untuk titrasi neuromuscular blocking agen hati-hati
sehingga tidak ada efek residu terwujud pada akhir operasi. Yang kedua adalah untuk
mempercepat pemulihan dengan memberikan antikolinesterasi agen. Opsi kedua ini
memberikan kesempatan untuk mempertahankan tingkat yang lebih dalam blokade sampai
akhir operasi. Kemungkinan ketiga adalah selektif mengikat dari agen memblokir
neuromuskuler dengan molekul siklodekstrin khusus untuk mengembalikan fungsi
neuromuskular. Opsi terakhir ini tidak tersedia di Amerika Utara pada saat penulisan. Semua
tiga strategi melibatkan pemantauan hati-hati blokade.

Penilaian Blokade Neuromuskular


Pernapasan spontan dapat melanjutkan bahkan jika derajat relatif dalam kelumpuhan masih
ada karena diaphragmsparing relative Efek dari agen memblokir neuromuskuler. Spontan
ventilasi, cukup untuk mencegah hiperkapnia, dapat dipertahankan meskipun kelemahan otot
yang cukup terukur skeletal jika napas paten dipastikan. Namun, titik terlemah dalam
pernafasan sistem saluran udara bagian atas. Ketika diberi vekuronium, menelan telah rusak
dan aspirasi laring terjadi ketika TOF. Masalah ini sulit untuk mendiagnosa ketika tabung
trakea di tempat. Akibatnya, beberapa indeks tidak langsung, yang lebih mudah untuk
mengukur, telah berkorelasi dengan lebih tes spesifik paru-paru dan fungsi saluran napas
bagian atas.
Evaluasi Klinis
Beberapa tes mentah telah diusulkan, termasuk kepala angkat untuk 5 detik, lidah tonjolan,
pegangan tangan, dan kemampuan untuk mengangkat kaki dari tempat tidur untuk
menentukan pemulihan neuromuscular function. Ada bukti yang baik bahwa kepala angkat
dan angkat kaki untuk 5 detik tes agak kasar pemulihan, karena pasien memiliki kemampuan
untuk melakukan manuver ini ketika rasio TOF adalah serendah 0,6 (Gambar. 1-15), Sebuah
tes yang lebih sensitif adalah kemampuan untuk menahan rahang menutup dan mencegah
penghapusan lidah depressor. Ini Manuver berkorelasi dengan rasio TOF diukur pada
adductor pollicis otot> 0,86, sedangkan kepala angkat dan angkat kaki bias dilakukan pada
tingkat yang lebih intens kelumpuhan (Gambar. 1-15). subyek mengeluhkan gejala visual
sampai rasio TOF adalah> 0,9. pengukuran tekanan di esofagus bagian atas telah terbukti
untuk menurun (Gambar. 1-4) dan aspirasi laring terdeteksi pada Rasio TOF <0.9. Demikian,
tampak bahwa kepala angkat normal atau kaki Lift tidak cukup untuk menjamin fungsi
saluran napas atas normal. Itu kemampuan untuk menahan penghapusan suatu objek (seperti
lidah depressor atau tabung trakea) dari mulut dengan menutup gigi mungkin berkorelasi
lebih baik dengan fungsi saluran napas bagian atas yang memadai.

Membangkitkan Responses Stimulasi Saraf


Uji klinis telah dijelaskan sebelumnya biasanya didapat di pasien pulih dari anestesi. Selain
itu, lebih untuk menilai tingkat pemulihan sebelum munculnya. Membangkitkan tanggapan
terhadap stimulasi saraf kemudian sesuai. Sasaran adalah rasio TOF> 0,9, mengingat fungsi
saluran napas atas tidak tidak sembuh sepenuhnya sampai rasio TOF di polisis adductor otot
setidaknya 0,9. Keputusan untuk menghilangkan pembalikan farmakologi neuromuscular
blokade harus dilakukan dengan hati-hati karena kehadiran residual kelumpuhan mungkin
terlewatkan. Sebuah waktu yang lama sejak dosis terakhir neuromuscular memblokir agen
bukan jaminan bahwa pemulihan selesai. kelumpuhan sisa telah ditemukan selama 4 jam
setelah intubasi dosis dari agent.15 menengah durasi Seperti disebutkan sebelumnya, evaluasi
visual dan taktil blokade neuromuskular oleh TOF atau 50 Hz stimulasi tetanik mungkin
gagal untuk mendeteksi fade.123 Dua Kali stimulasi meledak lebih sensitif, tetapi menjadi
tidak dapat diandalkan di rasio TOF di kisaran 0,6 hingga 0.9.123 Tes yang paling sensitif
adalah kemampuan untuk mempertahankan kontraksi berkelanjutan untuk 100 tetanus Hz
selama 5 detik. Fade dapat dideteksi ketika rasio TOF setinggi 0,8 untuk 0.9.55,123 stimulasi
tetanik pada 100 Hz adalah menyakitkan dan harusbdilakukan hanya pada pasien memadai
dibius. Karena keterbatasan estimasi visual dan taktil respon TOF selama pemulihan,
pengukuran kuantitatif telah advocated.126 Acceleromyographic (AMG) atau
kinemyographic (KMG) metode mungkin yang paling nyaman. Namun, harus dihargai bahwa
rasio TOF diperoleh dengan AMG lebih besar dari yang diukur dengan MMG dan dapat
melebihi 1.0. Rasio TOF accelerographic dari 1,0 telah diusulkan sebagai setara dengan TOF
mechanomyographic dari 0.9.

Kelumpuhan Sisa
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa sisa neuromuscular blokade sering terjadi pada
pasien di ruang pemulihan setelah operasi. Pada tahun 1979, Viby-Mogensen et al.11
ditemukan di 72 pasien dewasa yang diberikan long-acting agen bahwa rasio TOF adalah 0,7
di 30 (42%) pasien, dan bahwa 16 dari 68 pasien (24%) yang terjaga tidak mampu untuk
mempertahankan angkat kepala selama 5 detik. Dalam penelitian tersebut, para pasien
menerima dosis yang tepat neostigmin. Hasil yang sama memiliki telah diperoleh di bagian
lain dunia (Tabel 1-1) . Studi singkat tentang masalah kelumpuhan residual digunakan rasio
TOF 0,7 untuk kelumpuhan sisa, yang merupakan ambang batas yang diterima pada saat itu.
Jika 0,9 kriteria saat ini telah diterapkan dalam studi Viby- Mogensen et al., 11 72% dari
pasien akan telah diklasifikasikan sebagai memiliki sisa blok. kelumpuhan sisa, apakah
didefinisikan sebagai TOF rasio 0,7 atau 0,9, kurang sering terjadi tetapi tidak dihapuskan
jika menengah agen diganti untuk obat long-acting dan jika reversal adalah given.12,16,21
Jika agen menengah durasi digunakan dan neostigmin pembalikan diberikan, rasio TOF
adalah <0,7 pada kurang dari 10% dari pasien. Namun, sebanyak 40% dari pasien mungkin
memiliki TOF a rasio <0,9, yang menunjukkan bahwa sisa kelumpuhan adalah signifikan
Subyek problem.21 muncul dari anestesi dengan rasio TOF <0,9 lebih mungkin untuk
menderita episode desaturasi oksigen, saluran udara obstruksi, 18 dan kelemahan otot, 20 dan
cenderung untuk tinggal lebih lamabdi unit.19 perawatan postanesthesia Peran monitoring
neuromuskuler dalam pencegahan sisa kelumpuhan telah menjadi kontroversi. Naguib et al.
Ulasan banyak penelitian dan menyimpulkan bahwa penggunaan saraf konvensional
stimulator dengan evaluasi kualitatif tidak mengurangi insiden kelumpuhan sisa. Namun,
sejumlah studi adalah kecil, hasilnya sangat bergantung pada desain penelitian, dan
kebanyakan studi dosis total agen memblokir neuromuskuler adalah sama di dipantau dan
kelompok non-dimonitor. Lebih baru-baru ini, penggunaan AMG telah dikaitkan dengan
insiden yang lebih rendah kelumpuhan sisa dari penggunaan pemantauan kualitatif, terlepas
dari dosis yang sama dari agen memblokir neuromuskuler di kedua grup. Namun, alasan yang
paling penting untuk insiden tinggi kelumpuhan sisa tampaknya kelalaian pembalikan agents.
Dalam satu studi, lembaga yang lebih sistematis reversal farmakologis dan monitoring
neuromuskuler dikaitkan dengan penurunan kejadian kelumpuhan sisa (TOF> 0,9) dari 62%
menjadi 3% .

Kepentingan Klinis
Kelumpuhan sisa di ruang pemulihan telah terbukti dikaitkan dengan morbiditas. Pada tahun
1997, Berg et al.14 dipelajari hampir 700 pasien bedah umum yang secara acak menerima
pancuronium, vekuronium, atau atracurium untuk menghasilkan relaksasi bedah. Pada pasien
yang menerima pancuronium, kejadian kelumpuhan parsial pasca operasi, didefinisikan oleh
kemudian diterima kriteria rasio TOF <0,7, lima kali bahwa pada pasien yang menerima
salah satu dari dua obat intermediate-acting (26% vs 5%). Di Selain itu, kejadian atelektasis
menunjukkan pada radiografi dada diambil 2 hari kemudian lebih besar pada pasien yang
menerima pancuronium dan yang tidak mencapai rasio TOF 0,7 (16%) dari pada mereka
yang melebihi batas ini (4,8%). 14 Dalam sebuah penelitian yang melibatkan 246 pasien,
kesiapan untuk debit dari postanesthesia yang unit perawatan ditemukan 224 menit pada
pasien dengan Rasio TOF <0,9, dibandingkan dengan hanya 149 menit bagi mereka yang
tidak kelumpuhan sisa ketika dirawat di unit.19 perawatan postanesthesia Dalam sebuah studi
besar yang melibatkan lebih dari 800.000 pasien, disesuaikan peluang rasio untuk kematian
24 jam adalah 10 kali lebih besar pada pasien yang tidak menerima pembalikan blokade
neuromuskular dibandingkan dengan mereka yang menerima it. Meskipun hubungan sebab
dan akibat tidak dapat dibangun dalam penelitian retrospektif ini, adalah mungkin bahwa
gagal napas tak terduga terlibat dalam cases ini.

Antikolinesterasi Agen
inhibitor acetylcholinesterase, juga disebut antikolinesterase agen, telah banyak digunakan
untuk membalikkan efek neuromuskuler blocking agen. Prinsip farmakologi yang terlibat
adalah penghambatan kerusakan asetilkolin untuk meningkatkan konsentrasi asetilkolin pada
neuromuscular junction, sehingga memiringkan kompetisi untuk reseptor mendukung
neurotransmitter. Itu obat antikolinesterasi tradisional neostigmin, edrophonium, dan
pyridostigmine. Semua tiga obat memiliki durasi yang sama tindakan (1 sampai 2 jam), dan
mereka berbeda dengan onset aksi mereka. aksi puncak edrophonium tercapai dalam waktu 1
sampai 2 menit, tapi obat tampaknya kurang efektif dibandingkan neostigmin ketika
antagonis sedang sampai blokade yang mendalam. Ketersediaan edrophonium adalah
terbatas. Pyridostigmine telah jatuh dari nikmat karena lagi onset kerja dari neostigmin. The
antikolinesterasi paling umum digunakan agen di seluruh dunia adalah neostigmin. Obat lain
seperti Suramin dan 3-4 Aminopyridine tidak efektif, atau lebih beracun, atau keduanya.
Monopoli ditempati oleh neostigmin sekarang ditantang, setidaknya di daerah-daerah tertentu
di dunia, dengan pengenalan dari agen mengikat selektif, sugammadex. Meskipun sebagian
besar berikut berlaku untuk edrophonium dan pyridostigmine, diskusi yang mengikuti akan
fokus pada neostigmin.

Neostigmin: Mekanisme Aksi


Neostigmin adalah inhibitor acetylcholinesterase reversibel, tetapi ini mungkin bukan satu-
satunya mekanisme yang blokade benci. Penghambatan ini hadir di semua sinaps kolinergik
di sistem saraf perifer. Dengan demikian, neostigmin memiliki parasimpatomimetik ampuh
aktivitas, yang dilemahkan atau dihapuskan oleh administrasi agen antimuskarinik, atropin
atau glikopirolat. Neostigmin, edrophonium, dan pyridostigmine yang senyawa surfaktan,
yang tidak menembus penghalang darah-otak dengan baik. Jadi, meskipun agen ini memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi fungsi kolinergik dalam sistem saraf pusat, konsentrasi di
otak biasanya terlalu kecil untuk efek. Physostigmine adalah antikolinesterasi yang dapat
menyeberangi penghalang darah-otak dengan mudah. Untuk alasan ini, tidak digunakan
untuk membalikkan blokade neuromuskular. Donepezil, digunakan dalam pengelolaan
penyakit Alzheimer, juga menghambat acetylcholinesterase dan salib penghalang darah-otak.
Penghambatan hasil acetylcholinesterase dalam peningkatan jumlah asetilkolin mencapai
reseptor dan dalam lagi waktu untuk asetilkolin untuk tetap berada di celah sinaps. Ini
menyebabkan peningkatan ukuran dan durasi potentials. Pelat ujung Ada bukti bahwa
beberapa efek neostigmin tidak hasil cholinesterase inhibition.Antikolinesterase juga
memiliki efek presinaptik. Dengan tidak adanya pemblokiran neuromuscular obat-obatan,
mereka mempotensiasi respon kedutan yang normal dengan cara mirip dengan suksinilkolin,
mungkin sebagai akibat dari generasi potensial aksi yang menyebar antidromically. Sebuah
efek langit-langit, yang adalah, ketidakmampuan untuk dosis besar untuk menghasilkan efek
meningkat, memiliki dibuktikan dalam vitro140 dan dapat diamati di patients.
Neostigmin Blok
dosis besar antikolinesterase, terutama jika diberikan bila neuromuscular blok tidak ada,
dapat menghasilkan bukti neuromuscular penyelewengan fungsi. Misalnya, neostigmin
diberikan ketika neuromuscular Fungsi telah pulih dengan rasio TOF 1,0 dihasilkan
peningkatan collapsibility dari saluran napas bagian atas dan aktivitas berkurang
otot genioglossus pada sukarelawan ketika tekanan negative itu applied. Masalahnya
mungkin kurang ketika beberapa derajat blokade neuromuskular hadir sebelum neostigmin
diberikan. Mekanisme yang terlibat tidak pasti. Tidak ada klinis laporan kelemahan pasca
operasi dikaitkan dengan agen reversal. Namun, tampaknya bijaksana untuk mengurangi
dosis antikolinesterasi agen jika pemulihan dari blok neuromuskular hampir selesai.

Potensi
Ketika mempertimbangkan hubungan antara dosis dan respon untuk agen antikolinesterase,
beberapa faktor perlu diambil dalam rekening. Obat ini biasanya diberikan ketika tingkat
tertentu blokade hadir, dan fungsi neuromuskular sudah pulih pada tingkat tertentu. Untuk
mendapatkan efek antikolinesterase yang agen saja, tingkat blok neuromuskular harus
dipertahankan konstan. blokade neuromuskular konstan ini dapat dicapai in vitro di
hemidiaphragms tikus perfusi dengan konstan konsentrasi agen memblokir neuromuskuler.
Bartkowski et al. menunjukkan dengan konsentrasi konstan pancuronium, yang edrophonium,
neostigmin, dan piridostigmin diproduksi doserelated pembalikan tinggi kedutan, dengan
efek mencapai maksimum ketika dosis tertentu tercapai. Misalnya, ketika

tinggi kedutan awal adalah 0,4 (60% blok), konsentrasi besar neostigmin menghasilkan rasio
TOF 0,95; ketika kedutan awal tingginya 0,05 (95% blok), efek neostigmin maksimum
plateaued pada rasio TOF 0,8. Efek langit-langit ini terlihat untuk semua tiga agen
antikolinesterase. Situasi serupa diciptakan di pasien, ketika dosis besar neostigmin (70 mg /
kg) diberikan selama infus konstan vekuronium disesuaikan untuk menjaga pertama kedutan
blokade pada 95%. efek puncak terlihat di sekitar 5 menit, namun rasio TOF median hanya
0,54, merupakan indikasi bahwa pembalikan blokade yang mendalam dengan neostigmin
adalah incomplete. Dalam prakteknya, bagaimanapun, neostigmin diberikan bila efek
neuromuskuler yang blocking agent adalah mengenakan off. Tidak mengherankan,
pemulihan ditemukan menjadi lebih lengkap (rasio TOF sekitar 0,9 setelah 15 menit) dengan
agen akting menengah dibandingkan dengan lagi bertindak pancuronium (berarti rasio TOF
0,76), Neostigmine dalam hal ini diberikan pada 25% recovery tinggi kedutan. Jika
neostigmin diberikan pada tingkat yang lebih dalam dari blok (10% kedutan tinggi) waktu
untuk menyelesaikan recovery meningkat (Gambar 1-17) . Waktu pemulihan adalah juga
terbukti tergantung pada dosis neostigmin, tetapi maksimum efek terlihat pada dosis tinggi;
waktu pemulihan adalah serupa untuk 0.035 dan 0,05 mg / kg, menunjukkan bahwa efek
langit-langit hadir pada dosis clinically. umum digunakan Secara bersama-sama, data ini
menunjukkan bahwa pemulihan antikolinesterasi-dibantu adalah jumlah dari dua komponen:
(1) pemulihan spontan dari blocking neuromuscular agen itu sendiri, yang merupakan refleksi
dari karakteristik farmakokinetik obat; dan
(2) dibantu pemulihan, yang tergantung pada dosis dan jenis antikolinesterase agent
diberikan.

Farmakokinetik
Berikut bolus injeksi intravena, konsentrasi plasma neostigmin menurun dengan cepat selama
5 sampai 10 menit dan kemudian lebih lambat. volume distribusi adalah di kisaran 0,7-1,4 L /
kg dan paruh eliminasi adalah 60 sampai 120 menit. Neostigmin adalah watersoluble sebuah,
senyawa terionisasi dan utamanya rute ekskresi adalah ginjal. Clearance di kisaran 8 16 mL /
kg / menit, jauh lebih besar dari laju filtrasi glomerulus karena mereka secara aktif disekresi
ke dalam lumen tubular. Izinberkurang nyata pada pasien gagal ginjal. Farmakodinamik
Waktu untuk bertindak puncak neostigmin adalah sekitar 5 menit. durasi kerjanya (1 sampai
2 jam) mirip dengan eliminasi setengah life. Bahkan ketika digunakan untuk membalikkan
blokade dihasilkan oleh long-acting agen, durasi kerja antikolinesterase agen sebanding
dengan atau paling sering melebihi dari neuromuscular yang memblokir obat.
Terdokumentasi dengan baik recurarization memiliki belum dilaporkan. Dalam prakteknya,
kasus reparalysis jelas di ruang pemulihan adalah pembalikan lengkap yang awalnya
dianggap lengkap. Misalnya, penilaian panduan atau visual yang menggunakan TOF atau
tetanus modus dan / atau pernapasan yang memadai fungsi dengan tabung di tempat tidak
dapat digunakan sebagai bukti untuk pemulihan lengkap awal. Oleh karena itu, tanda-tanda
klinis selanjutnya kelemahan atau obstruksi jalan napas bagian atas setelah ekstubasi adalah
Hasil bertahan pembalikan tidak memadai, tidak reparalysis.

Faktor yang Mempengaruhi Neostigmine Pembalikan


Beberapa faktor memodifikasi laju pemulihan neuromuscular aktivitas setelah pembalikan,
seperti intensitas blok, dosis, dan obat interaksi. karakteristik pasien juga dapat berperan.
Intensitas Blok
Semakin intens blok pada saat pembalikan, semakin lama pemulihan aktivitas neuromuskuler
(Gambar. 1-17) Ketika neostigmin diberikan setelah pemulihan spontan untuk? 25% T1
memiliki terjadi, yang biasanya sesuai dengan munculnya kembali kedutan keempat,
pemulihan yang cepat dan waktu dari pembalikan ke TOF > 0,9 biasanya terjadi dalam waktu
15 menit jika durasi menengah agen telah given.145 Jika neostigmin diberikan ketika kedua
kedutan di TOF muncul kembali, berarti waktu untuk rasio TOF dari 0,9 dapat bervariasi
antara 9 dan 19 menit, dengan antar-lebar variasi (Gambar. 1-18). Jika neostigmin diberikan
pada blokade yang lebih dalam, waktu untuk pemulihan untuk rasio TOF 0,9 mungkin sangat
panjang (Gambar. 1-18). Waktu rata-rata adalah 49 menit ketika neostigmin 50 ug / kg
diberikan pada PTC dari 1-2,148 demikian,
dianjurkan reversal yang seharusnya tidak dilakukan sampai T1 >25% ketika empat berkedut
stimulasi TOF terlihat. Orang mungkin berpendapat pembalikan yang dapat dicoba
sebelumnya, untuk Misalnya ketika hanya ada satu atau tidak ada kedutan terlihat berikut
TOF stimulasi, karena salah satu dinyatakan akan menghabiskan waktu menunggu keempat
berkedut muncul kembali. Beberapa studi berurusan dengan masalah dari total waktu antara
suntikan pemblokiran neuromuskuler agen sampai pemulihan lengkap, dengan agen reversal
diberikan pada yang berbeda tingkat pemulihan spontan. Semua studi ini menunjukkan
bahwa pembalikan awal, yaitu ketika 0-2 berkedut yang hadir, tidak mempersingkat total
waktu dari administrasi blocking neuromuscular agen untuk pemulihan penuh, dibandingkan
dengan pembalikan diberikan ketika 3 untuk 4 berkedut hadir. Misalnya, Bevan et al.
diberikan dosis besar neostigmin (0,07 mg / kg) setelah rocuronium dan vekuronium dan
waktu yang terukur sampai rasio TOF adalah 0,9. Neostigmin selalu menurun waktu untuk
pemulihan, tidak peduli ketika itu diberikan, dibandingkan dengan pemulihan spontan.
Namun, waktu dari injeksi untuk pemulihan penuh lebih lama ketika neostigmin diberikan 5
menit setelah rocuronium (42.1 menit) dari pada 25% recovery (28,2 menit;. Gambar 2.018).
Selain itu, memberikan agen reversal terlalu dini mengarah ke periode "kelumpuhan buta"
karena neostigmineassisted pemulihan ditandai dengan awal, fase yang cepat, diikuti oleh
pemulihan lebih lambat. Akibatnya, interval antara rasio TOF dari 0,4-0,9, yaitu waktu ketika
memudar sulit dideteksi, kemungkinan akan lebih lama dengan administrasi neostigmin awal.
Dengan demikian, ada sedikit keuntungan dalam mencoba reversal awal.

Dosis
Pada rentang dosis tertentu, derajat dan tingkat pembalikan tergantung langsung di dose.
Namun, semua agen antikolinesterase menunjukkan efek langit-langit (Gambar. 1-17).
maksimum yang disarankan dosis neostigmin adalah 0,07 mg / kg, dan ada bukti bahwa dosis
rendah sama efektifnya. Misalnya, waktu untuk menyelesaikan recovery mirip dengan 0,035
dan 0,05 mg / kg, namun keduanya dosis ini lebih efektif daripada 0.020 mg / kg.

Pilihan neuromuskular Agen blokir


Pemulihan aktivitas neuromuskuler setelah pembalikan tergantung pada tingkat pemulihan
spontan serta percepatan diinduksi oleh agen reversal. Akibatnya, pemulihan secara
keseluruhan agen menengah akting (atracurium, vekuronium, rocuronium) mengikuti dosis
yang sama dari antikolinesterase adalah lebih cepat dan lebih lengkap dibandingkan setelah
pancuronium long-acting. Perbedaan ini mungkin mengapa sisa kelumpuhan adalah lebih
sering dengan lagi-bertindak agen neuromuskular blocking. Tidak ada perbedaan besar dalam
tingkat pemulihan antara individu obat menengah durasi (atracurium, vekuronium,
rocuronium, cisatracurium). Setelah infus berkepanjangan, pemulihan lebih lambat dari
setelah pemberian bolus intermiten, mungkin karena perbedaan tingkat recovery.13 spontan

Usia
Pemulihan aktivitas neuromuskuler terjadi lebih cepat dengan dosis yang lebih kecil
antikolinesterase pada bayi dan anak-anak dari di adults. kelemahan Residual di ruang
pemulihan ditemukan kurang sering pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa.
Efektivitas reversal belum dipelajari secara ekstensif pada orang tua. Walaupun penghapusan
neostigmin menurun pada kelompok usia ini, ini pengurangan diimbangi oleh kecenderungan
neuromuscular blokade luntur lebih lambat. Hal ini terutama berlaku dari steroid agen
blocking neuromuskuler, seperti vekuronium dan rocuronium, yang memiliki indeks
pemulihan lebih lambat pada orang tua.

Interaksi obat
Obat-obatan yang mempotensiasi blokade neuromuskuler dapat memperlambat pembalikan
atau menghasilkan recurarization jika diberikan setelah pemberian antikolinesterase. agen
terhalogenasi, ketika dilanjutkan setelah neostigmin administrasi, memperpanjang waktu
untuk pembalikan penuh. Bahkan ketika mereka dihentikan pada saat pemberian obat
antikolinesterase, pembalikan waktu tidak berkurang secara signifikan, mungkin karena
washout dari uap dari jaringan otot membutuhkan waktu. Perawatan harus diambil jika
aminoglikosida antibiotik atau magnesium harus diberikan tak lama setelah agen reversal.
Antikolinesterase: Efek lainnya kardiovaskular agen antikolinesterase memprovokasi
stimulasi vagal yang mendalam. Perjalanan waktu efek vagal sejajar dengan pembalikan
blok, dan bradikardi dan bradiaritmia dapat dicegah dengan agen antikolinergik. Atropin
memiliki onset (1 menit), durasi 30 sampai 60 menit, dan melintasi darah-orang penghalang
otak. Diberikan dalam kombinasi dengan neostigmin, memberikan naik ke takikardia awal,
mencerminkan onset yang cepat tindakan, diikuti oleh penurunan denyut jantung. Dengan
glikopirolat, onset lebih lambat, tapi masih lebih cepat dari neostigmin, sehingga denyut
jantung biasanya meningkatkan pertama, tapi tidak sebanyak dengan atropin, dan kemudian
menurun. Karena glikopirolat tidak menyeberangi darah-otak penghalang, kejadian defisit
memori setelah anestesi kekuatan kurang dari itu setelah atropin. Jika atropin diberikan
dengan neostigmin, dosis adalah sekitar setengah dari neostigmin (atropine 0.020 mg / kg
untuk neostigmin 0.040 mg / kg). seperti kombinasi mengarah ke takikardia awal diikuti oleh
bradikardia sedikit. Dengan glikopirolat, dosisnya adalah satu-keempat untuk seperlima yang
dari neostigmin (0.010 mg / kg untuk neostigmin 0,040-0,050 mg / kg), dan perubahan
denyut jantung kurang cepat dibandingkan dengan atropin.

Efek kolinergik lainnya


Antikolinesterase memproduksi air liur meningkat dan motilitas usus. Meskipun blok atropin
mantan, tampaknya memiliki pengaruh yang kecil pada gerak peristaltik. Beberapa laporan
mengklaim peningkatan usus anastomotic kebocoran setelah pembalikan blokade
neuromuskular. Disitu ada kekhawatiran atas dampak yang mungkin agen antikolinesterase
pada mual dan muntah pasca operasi (PONV). Sebuah meta-analisis, diterbitkan pada tahun
1999, menyimpulkan bahwa neostigmin tidak berpengaruh pada kejadian keseluruhan
PONV, tetapi dosis besar (2,5 mg atau lebih di orang dewasa) dikaitkan dengan insiden yang
lebih tinggi dari PONV daripada tidak ada pembalikan, dosis sementara yang lebih rendah
menyebabkan kurang PONV. A metaanalisis yang lebih baru reanalyzed data dan
dimasukkan studi tambahan. Ini menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pemberian
neostigmin dan PONV. Pada setiap tingkat, mungkin mual dan muntah adalah lebih baik
untuk tanda-tanda dan gejala kelumpuhan pernapasan.

Efek pernapasan
Neostigmin dapat menyebabkan peningkatan resistensi saluran napas, tapi antikolinergik
mengurangi efek ini. Beberapa faktor lain, seperti nyeri, kehadiran tabung endotrakeal, atau
anestesi ringan, mungkin predisposisi bronkokonstriksi pada akhir operasi sehingga sulit
untuk menentukan peran agen reversal.

Penggunaan Klinis
Beberapa strategi telah diusulkan untuk mengembalikan neuromuscular fungsi pada akhir
operasi dan anestesi. Salah satu diantara mereka melibatkan membatasi dosis nondepolarisasi
memblokir agen di induksi anestesi untuk apa yang diperlukan untuk durasi prosedur,
minimal tambahan dosis dan ketergantungan lengkap pemulihan spontan dalam upaya untuk
menghindari reversal dengan antikolinesterase agen. Pendekatan ini bukan tanpa bahaya.
Bahkan dosis yang relatif sederhana (2 × ED95) dari atracurium, vekuronium, atau
rocuronium berhubungan dengan sisa kelumpuhan (rasio TOF <0,9) setelah selama 4 jam
setelah injection. Visual atau taktil pemantauan dengan TOF, tetanus 50 Hz, atau doubleburst
Stimulasi tidak bisa menghilangkan beberapa derajat paralysis. residual Hanya berkelanjutan
menanggapi tetanus 100 Hz dapat mengesampingkan kehadiran residual kelumpuhan oleh
taktil atau visual yang means, Penggunaan Tujuan pemantauan, seperti acceleromyography,
bahkan better. Masih, farmakologi pemulihan dibantu diperlukan dalam kebanyakan kasus,
karena adalah ilusi bertujuan untuk pemulihan lengkap hanya dengan titrasi hati-hati
neuromuscular blocking agen. Dalam anestesi studi meneliti hasil di Belanda, penggunaan
agen reversal ditemukan dikaitkan dengan penurunan sepuluh kali lipat dalam mortality.
Tidak mengherankan, lebih sistematis, penggunaan agen reversal dalam satu institusi
menyebabkan penurunan substansial dalam paralysis. residual Administrasi agen
antikolinesterase akan mempercepat recovery, tidak peduli ketika mereka diberikan dalam
rangka pemulihan (Gambar. 1-18). Namun, ada keuntungan dalam memberikan pembalikan
agen saat pemulihan spontan berjalan dengan baik, sebaiknya ketika empat berkedut hadir
setelah stimulasi TOF. Jika neostigmin diberikan bila blokade yang mendalam hadir (tidak
ada kedutan atau hanya satu kedutan ini; Ara. 1-18), pembalikan membutuhkan waktu lebih
lama daripada jika empat berkedut hadir. Akibatnya, waktu dari injeksi rocuronium sampai
pemulihan penuh (TOF rasio> 0,9) tidak berkurang, dan mungkin sebenarnya ditingkatkan,
jika neostigmin diberikan terlalu dini (Gambar. 1-18).
Selanjutnya, pasien mungkin akan lebih sulit untuk mengelola dengan pembalikan awal:
Durasi kelumpuhan buta (dari rasio TOF 0,4, ketika TOF memudar menjadi tidak terdeteksi,
sampai TOF adalah 0,9) lebih panjang dengan pembalikan awal. Ini berarti bahwa hilang
kelumpuhan residual lebih mungkin dengan pemberian tergesa-gesa agen antikolinesterase.
Oleh karena itu, jika empat berkedut tidak terlihat setelah stimulasi TOF, dianjurkan untuk
menjaga pasien dibius dan mekanis berventilasi sampai empat berkedut muncul kembali dan
kemudian mengelola antikolinesterase. blokade intens tidak diharapkan akan dipulihkan
secara efektif oleh meningkatkan dosis antikolinesterasi (Gambar. 1-17). Secara umum, dosis
neostigmin dari 0,04-0,05 mg / kg harus cukup, dan tidak ada keuntungan dalam melebihi
0,07 mg / kg karena efek langit-langit obat. Edrophonium tidak dianjurkan untuk blok intens.
Pyridostigmine memiliki onset lambat aksi dan tidak muncul untuk mempercepat pembalikan
pendek dan intermediateduration obat untuk sebagian besar. Ketika pemulihan muncul
hampir selesai-yaitu, ketika empat tampaknya berkedut sama terlihat setelah TOF stimulasi-a
mengurangi dosis neostigmin (0,01-0,02 mg / kg) yang memadai. Pada pasien diberikan
neostigmin ketika rasio AMG TOF adalah 0,4, tingkat di mana taktil atau memudar visual
tidak terdeteksi, median waktu untuk rasio TOF 0,9 adalah 6 menit dengan kedua 0.010 dan
0.020 mg / kg, dan 4 menit dengan 0.030 mg / kg, jauh lebih pendek dari dengan plasebo (13
menit)

Sugammadex
Sebuah metode baru membalikkan blokade neuromuskular telah tersedia di banyak negara
sejak 2009, tapi tidak di Amerika Utara. Sugammadex mengarah ke pemulihan fungsi
neuromuskular yang normal tidak dengan mengganggu asetilkolin, reseptor nicotinic atau
acetylcholinesterase, tapi secara selektif mengikat rocuronium, dan pada tingkat lebih rendah
untuk vekuronium dan pancuronium. Senyawa adalah gamma-siklodekstrin, terdiri dari
delapan gula diatur dalam cincin untuk membuat pusat untuk mengakomodasi molekul
rocuronium. Setelah terikat, rocuronium diadakan di tempat oleh rantai samping polar
melekat cincin. Karena sugammadex tidak mengikat untuk setiap dikenal reseptor, itu adalah
tanpa kardiovaskular besar atau sisi lain effects. Ini tidak mengikat neuromuscular blocking
obat yang dilakukan tidak memiliki inti steroid. Blok yang dihasilkan oleh suksinilkolin atau
oleh salah satu benzylisoquinolines, seperti atracurium, cisatracurium dan mivakurium, tidak
terpengaruh oleh sugammadex. mekanisme aksi transmisi neuromuskuler dapat dikembalikan
dengan injeksi suggamadex, agen yang mengikat secara khusus dalam rasio 1: 1 molar ke
rocuronium dan vecuronium. Sugammadex memiliki berat molekul dari 2.178 daltons153 dan
mengikat dengan rocuronium atau vekuronium di rasio 1: molar 1. Molekul rocuronium
kurang besar (610 dalton), jadi 3,6 mg (atau mg / kg) dari sugammadex diperlukan untuk
mengikat 1.0 mg (atau mg / kg) dari rocuronium. Mengikat ketat, tetapi tidak ireversibel. Ini
berarti bahwa kompleks rocuronium-sugammadex membentuk sementara beberapa orang lain
memecah menjadi dua konstituen mereka. Disosiasi konstan telah diperkirakan 0,045-0,1
umol / L dengan paling Perkiraan terbaru di 0.055 umol / L, 154 dan tidak diketahui apakah
itu dipengaruhi oleh pH, suhu, jenis cairan atau jaringan, atau lainnya faktor. Disosiasi
konstan untuk vekuronium lebih tinggi, 0,17 umol / L, 154 menyiratkan bahwa mengikat
sepertiga sebagai ketat. Pengikatan ratusan obat, termasuk kortikosteroid, dengan
sugammadex telah diukur. Hanya estrogen modulator toremifene, dan antibiotik
flukloksasilin dan asam fusidic telah ditemukan memiliki potensi interaksi dengan
sugammadex pada konsentrasi klinis. Sugammadex juga mengikat pancuronium, tetapi
mengikat tidak seketat dengan rocuronium dan vecuronium. Setelah injeksi sugammadex,
bukti menunjukkan bahwa pengikatan rocuronium dalam plasma menyebabkan penurunan
tajam dalam gratis (Terikat) konsentrasi rocuronium, yang mengarah ke konsentrasi besar
gradien rocuronium bebas antara neuromuscular yang persimpangan dan plasma. Ini nikmat
pergerakan rocuronium dari neuromuscular junction ke plasma, turun gradien konsentrasinya,
sehingga menghasilkan blok kurang neuromuskular.

Farmakologi
Pada pasien yang menerima rocuronium, kembalinya rasio TOF menjadi 0,9 dipercepat oleh
sugammadex secara dosis-tergantung. Jika sugammadex diberikan pada pengembalian
kedutan kedua di TOF, dosis 2 mg / kg hasil dalam pengembalian kereta-dari-empat rasio 0,9
dalam waktu kurang lebih 2 sampai 4 minutes. Interval ini lebih pendek dari setelah baik
reversal neostigmin, bila diberikan pada sekitar tingkat yang sama pemulihan (Gambar. 1-19)
Dengan dosis yang lebih rendah (0,5 sampai 1 mg / kg) waktu pemulihan adalah longer156
dan reparalysis mungkin observed. Dibandingkan dengan rocuronium, vekuronium memiliki
kurang afinitas untuk sugammadex, tetapi ada sedikit molekul vekuronium beredar. Sebagai
hasil dari kedua efek berlawanan, dosis sugammadex diperlukan untuk restorasi fungsi
neuromuskular kurang lebih sama untuk vekuronium dan rocuronium (Gambar. 20-19) 0,156
Sugammadex juga efektif bila blokade dalam, tapi dosis yang lebih besar diperlukan. Ketika
PTC dari 2 hadir, yang untuk rocuronium terjadi 15 sampai 20 menit sebelum kembalinya
berkedut, dosis yang dibutuhkan adalah 4 mg / kg (Gambar. 20-19) 0,148 Sugammadex juga
bisa digunakan dalam kasus intubasi gagal. Jika rocuronium 0,6 mg / kg diberikan,
sugammadex 8 mg / kg mungkin efektif sedini 3 menit setelah injeksi rocuronium, dan jika
dosis rocuronium adalah dua kali lipat menjadi 1,2 mg / kg, yang mungkin perlu 16 mg / kg
sugammadex (Gambar. 1-10)
ketersediaan sugammadex mungkin membuat suksinilkolin agak usang untuk intubasi.

Farmakokinetik
Pada orang dewasa, sugammadex memiliki volume distribusi yang mirip ke ECF (20 L).
waktu paruh terminal adalah sekitar 2 hours. Kedua sugammadex dan kompleks
sugammadex-rocuronium diekskresikan tidak berubah melalui ginjal. Pada pasien yang
menerima rocuronium, injeksi sugammadex meningkatkan total (gratis plus terikat)
konsentrasi plasma dari rocuronium, yang menunjukkan bahwa menyebabkan penyerapan
rocuronium dalam plasma dengan menggambar dari jaringan perifer. Pada pasien dengan
gagal ginjal, clearance dari sugammadex menurun tajam dan halflives eliminasi hari telah
measured. kompleks rocuronium-sugammadex tetap dalam tubuh untuk hari.

Populasi khusus
Pada bayi dan anak-anak, dosis sugammadex tampaknya mirip dengan yang
direkomendasikan untuk orang dewasa terhadap rocuronium Jarak blockade. menurun dan
waktu paruh terminal meningkat dengan usia lanjut. Pada pasien dengan usia> 75 tahun,
clearance ditemukan dikurangi setengahnya dan waktu paruh terminal4,6 jam, dibandingkan
dengan 2,4 jam di middleaged adults.Waktu untuk pemulihan untuk rasio TOF 0,9 meningkat
dengan usia, dengan mean kali menjadi 2,6 menit pada orang dewasa berusia 18 sampai 64
tahun dan 3,8 pada usia lanjut pasien berusia> 75 tahun (Gambar. 1-20). dikurangi izin ini
terkait dengan penurunan fungsi ginjal pada orang tua, dan pasien tanpa fungsi ginjal
memiliki halflives penghapusan sangat panjang. Pada individu gemuk tdk sehat, sugammadex
menghasilkan pemulihan lebih lambat jika dosis berdasarkan IBW daripada tubuh total Berat
(TBW). Namun, menghitung dosis dengan menambahkan 40% untuk IBW memberikan
sebagai cepat pemulihan seperti untuk TBW dosis

Penggunaan Klinis
Tersedianya Sebuah aplikasi telah disampaikan kepada Food and Drug Administration (FDA)
pada tahun 2008 untuk memperkenalkan sugammadex ke klinik praktek. Sebuah aplikasi
serupa diajukan dengan Uni Eropa berwenang pada saat yang sama, berdasarkan praklinis
yang sama dan Data klinis. Obat ini disetujui di Eropa, tapi tidak dalam Amerika Serikat.
FDA membenarkan keputusannya dengan terjadinya reaksi hipersensitivitas pada relawan
menerima dosis tinggi dan meminta lebih studies.70,161 kejadian ini tidak dianggap reaksi
alergi, namun laporan kasus sugammadex alergi Reaksi telah diterbitkan. Keprihatinan lain
telah transien efek pada hemostasis berikut injeksi sugammadex, dengan peningkatan waktu
protrombin (PT), yang disebutkan alam monografi produk di banyak negara. Mengingat
superioritas ditandai sugammadex lebih neostigmin pada kemampuannya untuk memulihkan
blokade neuromuskular, diharapkan bahwa kekhawatiran diangkat oleh FDA akan dibahas
segera dan bahwa obat akan segera tersedia di pasar Amerika Utara.berapa banyak
kelumpuhan? Secara teoritis, sugammadex bias membuat manajemen relaksasi otot cukup
sederhana: A besar dosis rocuronium atau vekuronium bisa disuntikkan pada induksi
anestesi, diikuti dengan dosis sesuai besar sugammadex pada akhir kasus ini, dengan tidak
perlu untuk pemantauan atau perhatian untuk kelumpuhan sisa. evolusi dalam praktek ini bisa
menjadi dianggap sebagai menghasilkan beberapa manfaat: relaksasi lebih mendalam
memberikan kondisi yang lebih baik dan lebih cepat intubasi, baik bedah kondisi, dan kurang
kerusakan pada struktur laring; lebih cepat dan pemulihan lebih mudah diprediksi bisa
mengurangi kejadian residual kelumpuhan dan mengurangi waktu penyelesaian. Tapi
manfaat ini akan datang pada biaya. Pertama, sugammadex mahal. Dosis standar 200 mg
(sedikit lebih dari 2 mg / kg pada kebanyakan pasien dewasa) biaya sekitar 100 $, dan
memberikan kembali diandalkan neuromuscular fungsi yang disediakan bahwa dua berkedut
telah kembali. Untuk blok yang lebih dalam, dosis setinggi 16 mg / kg mungkin diperlukan,
dengan peningkatan yang sesuai dalam harga. The sembarangan penggunaan besar dosis
rocuronium atau vekuronium akan mandat sistematis suntikan dosis besar sugammadex
(minimal 4 mg / kg dan mungkin lebih tinggi), dan ini akan berdampak negatif pada biaya
dari obat bius. Alasan kedua mengapa tidak untuk mengadopsi praktek ini adalah untuk
meminimalkan masalah jika reparalysis diperlukan, misalnya jika operasi kedua ditunjukkan
dalam beberapa menit atau jam memberikan sugammadex. Masalahnya telah ditangani oleh
Cammu et al., yang menemukan bahwa rocuronium 1,2 mg / kg setelah sugammadex 4 mg /
kg menghasilkan penghapusan lengkap kedutan response.Namun, onset biasanya lebih
panjang dan durasi yang lebih singkat bahkan dibandingkan dengan rocuronium 0,6 mg / kg
diberikan tanpa sugammadex sebelumnya. Perpanjangan waktu onset dan pemendekan durasi
lebih jelas jika interval antara sugammadex dan rocuronium singkat. Misalnya, dalam
penelitian Cammu et al., Berarti waktu onset untuk rocuronium 0,6 mg / kg adalah 1,25
minutes. Sugammadex itu diberikan pada PTC dari 1 sampai 2, diikuti, setelah interval waktu
tertentu, oleh rocuronium, 1,2 mg / kg. Jika interval ini adalah 5 menit, berarti Waktu onset
rocuronium adalah 3,06 menit; untuk sugammadex-
interval rocuronium> 25 menit, waktu onset adalah 1,73 menit, tapi masih lebih lama
dibandingkan dosis rocuronium awal yang lebih kecil. Klinis durasi kerja berkisar dari 17,7
menit untuk 5 menit interval 46 menit untuk interval 45 menit. Alasan ketiga untuk
menghindari dosis tinggi sugammadex jika mungkin adalah menghindari efek samping.
Meskipun sugammadex telah dikaitkan dengan sangat Beberapa efek samping, masalah
hipersensitivitas dan kekurangan hemostasis tampak dosis-related. Akhirnya, mungkin ada
kelemahan yang terkait dengan praktek menghapuskan semua Gerakan selama operasi:
Sebuah tanda penting dari analgesia memadai dan anestesi hilang. Hal ini juga tidak jelas
apakah kesadaran dapat benar-benar dihindari dengan penggunaan pemantauan BIS, seperti
dosis besar dari neuromuscular blocking agen dapat menekan BIS dalam keadaan tertentu. 5
Oleh karena itu, tampaknya ada alasan yang sah untuk menghindari penggunaan sistematis
dosis besar.

Reparalysis
Menggunakan kurang dari dosis yang cukup sugammadex dapat menyebabkan Manifestasi
tertunda blokade residual. Jika dosis sugammadex terlalu kecil untuk mengikat sebagian
besar molekul rocuronium dalam tubuh, mungkin cukup untuk mengembalikan fungsi
neuromuscular karena pada awalnya, mungkin cukup untuk mengikat sebagian besar beredar
rocuronium. Namun, seperti rocuronium diambil dari kompartemen yang lebih dalam
(rocuronium didistribusikan secara luas), reparalysis dapat terjadi jika kuantitas sugammadex
tidak cukup. Kasus reparalysis telah didokumentasikan, terutama dengan dosis tidak memadai
(0,5-1,0 mg / kg) kasus ini menanggapi suatu dosis tambahan sugammadex. Sedang untuk
Blokade Mendalam Sugammadex sangat berguna ketika blokade di akhir Prosedur bedah
adalah moderat untuk yang mendalam, yang didefinisikan sebagai kurang dari dua berkedut
diamati dalam menanggapi rangsangan TOF di adductor polisis, ketika neuromuscular yang
memblokir agen adalah rocuronium atau vekuronium. Ketika dua berkedut hadir,
sugammadex 2 mg / kg mengembalikan transmisi neuromuskuler dengan rasio TOF dari 0,9
dalam waktu 2 sampai 4 menit, jauh lebih cepat dari neostigmin (10 sampai 20 menit). Untuk
blokade yang lebih dalam, sesuai dengan PTC dari 1to 2, 4 mg / kg yang diperlukan untuk
cepat (2-4 menit) kembalinya neuromuscular function.Penggunaan neostigmin di level seperti
blokade tidak dianjurkan, karena reversal yang efektif tidak mungkin diperoleh selama 1
sampai 2 jam (Gambar. 1-19). Oleh karena itu, sugammadex adalah sangat berguna ketika
relaksasi yang mendalam diperlukan sampai akhir prosedur bedah. Contoh dari situasi
tersebut termasuk prosedur laparoskopi tertentu, operasi perut besar, dan prosedur yang lebih
pendek daripada yang diantisipasi. kategori tertentu dari pasien mungkin juga memerlukan
relaksasi otot lebih, seperti penderita obesitas dan patients.160 otot Dangkal to Moderate
Blockade Bila lebih dari dua berkedut yang terlihat setelah stimulasi TOF, 2 mg / kg dosis
dari sugammadex pasti akan bekerja, tetapi tidak jelas seberapa efektif dosis yang lebih kecil
mungkin. Jika empat sama berkedut terdeteksi dengan cara visual atau sentuhan, yaitu jika
diukur Rasio TOF adalah> 0,9, satu studi menunjukkan bahwa sesedikit 0,22 mg / kg efektif,
tetapi tidak ada data yang tersedia untuk lebih umum Situasi saat TOF yang tampak
memudar.

Rapid Sequence Induction


Dengan kemungkinan menggunakan sugammadex setiap kedalaman blokade, termasuk lama
setelah rocuronium telah diberikan, rocuronium mungkin menggantikan suksinilkolin untuk
induksi urutan cepat, dengan sugammadex sebagai cadangan. Suksinilkolin 1 mg / kg
dibandingkan dengan rocuronium 1,2 mg / kg diikuti 3 menit kemudian oleh sugammadex 16
mg / kg di lebih dari 100 pasien. Total durasi blokade dari injeksi agen memblokir
neuromuskuler sebenarnya lebih pendek dan lebih dapat diprediksi dengan rocuronium-
Kombinasi sugammadex (Gambar. 1-10). 38 durasi Berarti 10% T1, yang biasanya sesuai
dengan kembali gerakan pernapasan, lebih pendek dengan rocuronium-sugammadex (4,4
menit) daripada dengan suksinilkolin (7,1 menit), dengan kurang interpatient variabilitas.
Data ini tidak harus, bagaimanapun, mendorong ahli anestesi untuk mengadopsi pendekatan
ceroboh untuk manajemen jalan napas. Pertama, beberapa pasien desaturate dalam 4.4minute
a selang. Kedua, meskipun diafragma mungkin telah pulih sampai batas tertentu, pernafasan
mungkin dihambat oleh agen hipnotis dan opioid diberikan pada induksi, dan mungkin ada
pemulihan lengkap otot utama, seperti yang dari saluran napas bagian atas. Akhirnya,
kehidupan nyata situasi tidak suka wellrehearsed protokol penelitian. Menggambarkan ini,
skenario intubasi gagal disimulasikan oleh Bisschops et al., 101 yang menunjukkan bahwa
ketika rocuronium diberikan dan kesulitan intubasi tak terduga yang dihadapi, keputusan
telah dilakukan untuk mengelola sugammadex, dosis yang benar memiliki yang akan
diperoleh, dibuat, dan disuntik, dan waktu yang diperlukan untuk mengamati efek penuh,
semua ini sebelum pasien menjadi hipoksia. Pada saat penulisan (akhir 2011), rocuronium
telah diberikan untuk induksi urutan cepat dengan sugammadex pada akhir kasus, misalnya,
untuk sesar, 164 tapi tidak ada laporan rescue sugammadex injeksi telah diterbitkan.

KESIMPULAN
agen memblokir neuromuskuler yang berguna dalam anestesi, tetapi karena mereka tidak
memberikan pingsan atau analgesia, dan karena mereka dapat merusak fungsi pernafasan,
mereka harus digunakan hati-hati. Pemantauan harus digunakan setiap kali neuromuskuler
agen memblokir diberikan, untuk mendapatkan kondisi intubasi optimal, relaksasi yang
cukup selama operasi, dan pemulihan lengkap sebelum ekstubasi. Dalam beberapa tahun
terakhir, pengembangan obat baru telah bergeser dari menemukan senyawa dengan onset
cepat, durasi pendek, dan nondepolarisasi properti untuk merancang obat yang mempercepat
pemulihan.

You might also like