You are on page 1of 16

Referat

TRAUMA KIMIA MATA

Oleh:

Andriyani, S.Ked
Elsa Puspita, S.Ked
Gustien Enderina, S.Ked
Nurul Ayu Pratiwi, S.Ked
Rifqi Rahmadhan, S.Ked

Pembimbing:

dr. Amiruddin, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN ACHMAD
PROVINSI RIAU
2018
DAFTAR ISI

1
BAB I

PENDAHULUAN

Mata merupakan organ yang keberadaannya berhubungan langsung dengan


lingkungan luar sehingga sering terpapar dengan keadaan lingkungan sekitar seperti
udara, debu, benda asing dan trauma yang dapat langsung mengenai mata. Trauma
pada mata meliputi trauma tumpul, trauma tajam, trauma kimia dan trauma radiasi.
Trauma kimia mata merupakan trauma yang mengenai bola mata akibat
terpaparnya bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak
struktur bola mata. Hal ini merupakan salah satu kedaruratan oftalmologi karena
dapat menyebabkan cedera pada mata bahkan sampai kehilangan penglihatan.1,2
Trauma kimia sering terjadi di industri lingkungan kerja, meskipun terdapat
sejumlah kasus yang terjadi di rumah. Dilaporkan sebanyak 63% trauma kimia mata
terjadi di lingkungan kerja. Laki-laki memiliki rasio terkena trauma kimia mata 4
kali lebih besar dibandingkan perempuan.3 Sebanyak 20% trauma kimia mata
menyebabkan komplikasi seperti penurunan visus dan glaukoma sekunder.2
Terdapat perbedaan mekanisme cedera antara trauma kimia asam dan basa
pada mata. Trauma kimia basa lebih cepat merusak dan menembus kornea
dibandingkan bahan asam. Dampak yang ditimbulkan dari trauma kimia mata
bergantung pada kadar pH, kecepatan dan jumlah bahan kimia yang mengenai mata.
Oleh karena itu, trauma kimia mata memerlukan penanganan yang tepat untuk
mencegah terjadinya komplikasi.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Trauma kimia mata merupakan trauma pada mata yang disebabkan substansi
dengan pH yang tinggi (basa) atau yang rendah (asam). Trauma kimia biasanya
disebabkan oleh bahan-bahan yang tersemprot atau terpercik pada wajah. Trauma
kimia asam merupakan trauma kimia yang disebabkan oleh bahan yang mempunyai pH
< 4 dan dikatakan bersifat basa bila mempunyai pH > 10.1

2.2 Epidemiologi
Trauma mata merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang
oftalmologi. Trauma kimia mata sering terjadi di antara kelompok usia 20 hingga
40 tahun, dimana laki-laki memiliki angka kejadian terbanyak yaitu 56,6%. Angka
kejadian trauma kimia mata di industri lingkungan kerja sebanyak 61% sementara
39% terjadi di rumah tangga. Trauma kimia basa lebih banyak terjadi (53,6%)
dibandingkan trauma kimia asam (46,4%).3

2.3 Etiologi
Trauma kimia mata disebabkan oleh bahan asam dan basa. Penyebab umum
trauma asam dan trauma basa adalah sebagai berikut.4
Tabel 2.1 Bahan asam.4
Asam
Substansi Komposisi Kimia Ditemukan pada
Asam sulfat H2SO4 Aki mobil
Asam sulfit H2SO3 Pemutih dan pendingin
Asam fluorida HF Polishing kaca dan pemurni mineral
Asam asetat CH3COOH Cuka dan asam asetat glasial
Asam klorida HCL Kolam renang
Asam nitrat HNO3 Pupuk
Asam benzoat C6H5COOH Bahan pengawet makanan

3
Tabel 2.2 Bahan basa.4
Basa
Substansi Komposisi Kimia Ditemukan pada
Amonia NH3 Agen pembersih, pupuk,
dan pendingin
Surfactant anionik Detergen
Kalium hidroksida KOH Caustic potash
Natrium hidroksida NaOH Sabun mandi, pembersih
lantai, airbags, parfum
Magnesium hidroksida Mg(OH)2 Kembang api
Kalsium hidroksida Ca(OH)2 Semen dan pemutih cucian
Alumunium hidroksida Al(OH)3 Deodoran

2.4 Klasifikasi
Trauma kimia mata dapat diklasifikasikan sesuai dengan derajat keparahan
yang ditimbulkan akibat bahan kimia penyebab trauma. Klasifikasi trauma kimia
mata salah satunya adalah klasifikasi Roper-Hall. Penilaian klasifikasi Roper-Hall
berdasarkan tingkat keterlibatan kornea dan iskemia perilimbal.4
Tabel 2.3 Klasifikasi Roper-Hall.4
Grade Prognosis Kornea Limbus/Konjungtiva

I Baik Kerusakan epitel Tidak ada iskemia


limbus
II Baik Kekeruhan ringan kornea, <1/3 iskemia limbus
iris terlihat jelas
III Dubia/ Epitel rusak total, 1/3 – 1/2 iskemia
Guarded kekeruhan stroma, iris limbus
kabur
IV Buruk Kekeruhan berat kornea, >1/2 iskemia limbus
iris dan pupil kabur

4
A B

C D
Gambar 2.1 Derajat keparahan trauma kimia berdasarkan Roper-Hall.
(A) Grade I; (B) Grade II; (C) Grade III; (D) Grade IV
(American Academy of Opthalmology. Chemical (alkali and acid) injury
of the conjunctiva and cornea).4

2.5 Patofisiologi
Bahan asam dan basa menyebabkan trauma dengan mekanisme yang
berbeda. Kerusakan jaringan akibat trauma kimia ini secara primer akibat proses
denaturasi dan koagulasi protein selular dan secara sekunder melalui kerusakan
iskemia vaskular. Sel-sel inflamasi menghasilkan berbagai enzim seperti matriks
metalloproteinase (kolagenase dan gelatinase) dan mediator inflamasi seperti
prostaglandin dan leukotrien yang dapat merusak struktur okuler.5

2.5.1 Patofisiologi trauma kimia asam


Bahan asam menyebabkan terjadinya nekrosis koagulasi melalui denaturasi
protein pada jaringan yang terkena. Hal ini disebabkan karena bahan asam
cenderung berikatan dengan protein jaringan dan menyebabkan koagulasi pada
epitel permukaaan. Timbulnya lapisan koagulasi ini merupakan barier terjadinya
penetrasi lebih dalam dari bahan asam sehingga membatasi kerusakan lebih lanjut.

5
Oleh karena itu trauma asam sering terbatas pada jaringan superfisial. Namun
terdapat perbedaan mekanisme pada asam fluorida yang dapat menyebabkan
nekrosis likuifaksi seperti pada trauma kimia alkali. Bahan asam fluorida ini dapat
dengan cepat menembus kulit sampai ke pembuluh darah dan menyebabkan
hipokalsemi yang dapat mengancam jiwa.5

2.5.2 Patofisiologi trauma kimia basa


Bahan alkali dapat menyebabkan nekrosis likuifaksi yang lebih berbahaya
dibandingkan bahan asam. Larutan alkali menyebabkan terjadinya denaturasi
protein dan saponifikasi jaringan lemak yang jika berlanjut akan terjadi penetrasi
lapisan kornea. Kerusakan jangka panjang pada konjungtiva dan kornea meliputi
defek pada epitel kornea, simblefaron serta pembentukan jaringan sikatriks.
Penetrasi yang dalam dapat menyebabkan presipitasi glikosaminoglikan dan
kekeruhan lapisan stroma kornea.5,6
Jika terjadi penetrasi pada bilik mata depan dapat menimbulkan kerusakan
iris dan lensa. Kerusakan epitel silier dapat menggangu sekresi asam askorbat yang
diperlukan untuk produksi kolagen dan repair kornea. Selain itu dapat terjadi
hipotoni dan ptisis bulbi. Proses penyembuhan dapat terjadi pada epitel kornea dan
stroma melalui proses migrasi sel epitel dari sel stem pada daerah limbus. Kolagen
stroma yang rusak akan difagositosis dan terjadi regenerasi.6

2.6 Diagnosis

Diagnosis pada trauma kimia mata dapat ditegakkan melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik dan penunjang. Namun hal ini tidaklah mutlak dilakukan
dikarenakan trauma kimia pada mata merupakan kasus gawat darurat sehingga
membutuhkan tatalaksana secepatnya.7

2.6.1 Anamnesis
Diagnosis trauma kimia mata dapat ditegakkan dengan menggali riwayat
trauma pada anamnesis. Tingkat keparahan tergantung pada empat faktor yaitu
toksisitas bahan kimia, berapa lama bahan kimia tersebut kontak dengan mata,
kedalaman penetrasi dan area yang terlibat. Oleh karena itu penting untuk
mengetahui riwayat trauma untuk mengetahui keempat faktor di atas. Perlu

6
ditanyakan juga pada pasien waktu dan durasi pajanan, gejala yang timbul segera
setelah pajanan serta penatalaksanaan yang telah diberikan di tempat kejadian. Jenis
bahan sebaiknya digali, misalnya dengan menunjukkan botol bahan kimia. Hal ini
dapat membantu menentukan jenis bahan kimia yang mengenai mata. Umumnya
pasien datang dengan keluhan adanya riwayat terpajan cairan atau gas kimia pada
mata. Pasien biasanya mengeluhkan nyeri hebat setelah terpajan, epifora,
blefarospasme dan penurunan tajam penglihatan.4

2.6.2 Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan fisik mata yang menyeluruh perlu ditunda sampai mata yang
terkena zat kimia sudah diirigasi dan pH permukaan okular telah netral. Lakukan
pemeriksaan pH permukaan mata dengan meletakkan seberkas kertas indikator di
forniks. Setelah dilakukan irigasi, pemeriksaan menyeluruh perlu dilakukan
dengan perhatian khusus terhadap kejernihan dan integritas kornea, derajat iskemia
limbus dan tekanan intra okular. Pemeriksaan fisik dapat difasilitasi dengan anestesi
lokal agar pasien lebih nyaman dan kooperatif. Beberapa hal yang dapat dijumpai
pada pemeriksaan oftalmologi adalah sebagai berikut.7

1. Penurunan tajam penglihatan


Hal ini dapat terjadi karena defek epitel dan kekeruhan kornea. Pada trauma
kimia sedang sampai berat, awalnya terjadi kekeruhan kornea yang minimal
dan penglihatan masih baik. Namun kekeruhan dapat meningkat secara
signifikan dan menurunkan tajam penglihatan.
2. Kerusakan adneksa pada kelopak mata yang menyebabkan mata tidak bisa
ditutup sehingga terjadi iritasi.
3. Inflamasi konjungtiva
Berbagai derajat hiperemia dan kemosis konjungtiva mungkin dapat terjadi.
Sedikit saja trauma kimia yang terjadi dapat menyebabkan respon inflamasi
pada konjungtiva.
4. Iskemia perilimbus
Derajat iskemia perilimbus adalah indikator prognosis paling signifikan
untuk kesembuhan kornea, karena sel stem limbus berperan dalam
regenerasi epitel kornea.

7
5. Defek epitel kornea
Kerusakan epitel kornea dapat bervariasi mulai dari keratitis epitel punktata
yang ringan sampai defek kornea yang menyeluruh. Apabila dicurigai ada
defek epitel namun tidak ditemukan pada pemeriksaan awal, mata tersebut
harus diperiksa ulang setelah beberapa menit kemudian.
6. Stromal haze
Kekeruhan dapat bervariasi mulai dari kornea yang jernih sampai kekeruhan
berat tanpa terlihatnya segmen anterior.
7. Perforasi kornea
Sangat jarang terjadi, biasanya pada trauma berat yang penyembuhannya
tidak baik.
8. Inflamasi pada bilik mata depan
Kondisi ini dapat muncul dalam berbagai derajat inflamasi (flare dan cell)
pada bilik mata depan. Hal ini lebih sering terjadi pada trauma alkali dan
berhubungan dengan penetrasi yang lebih dalam.
9. Peningkatan tekanan intraokular (TIO)
Dipengaruhi oleh tingkat inflamasi pada segmen anterior dan deformitas
jaringan kolagen kornea.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang dalam kasus trauma kimia mata adalah
pemeriksaan pH permukaan okular secara berkala dengan kertas lakmus. Irigasi
pada mata harus terus dilakukan sampai tercapai pH normal. Pemeriksaan bagian
anterior mata dengan lup atau slit lamp bertujuan untuk mengetahui lokasi luka.
Pemeriksaan slit lamp dengan pewarnaan fluoresein untuk menentukan luasnya
abrasi epitel kornea. Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan tonometri untuk
mengetahui TIO.7,8

8
2.7 Tatalaksana

Langkah-langkah penatalaksanaan pada trauma kimia mata meliputi :

1. Irigasi

Irigasi sangat penting dalam mengurangi paparan kimia dan mengembalikan


pH fisiologis mata. Untuk kenyamanan pasien dan memastikan pemberian irigasi
efektif, umumnya diberikan anestesi topikal. Cairan irigasi yang diperlukan
maksimal sebanyak 20 liter melalui selang intravena.4 Spekulum kelopak mata
dapat digunakan untuk menjaga mata tetap terbuka. Beberapa cairan irigasi yang
dapat diberikan seperti Normal Saline dan Ringer Laktat. Jika air bersih tersedia di
tempat terjadinya cedera dan tidak terdapat cairan irigasi standar, maka mata harus
segera dicuci dengan air bersih.1

2. Medikamentosa

Pasien trauma kimia mata grade I dan II memiliki prognosis yang baik dan
biasanya efektif dengan pemberian medikamentosa. Tujuan dari pemberian
medikamentosa adalah untuk meningkatkan pemulihan epitel kornea,
meningkatkan sintesis kolagen, mengurangi kerusakan kolagen dan inflamasi.4

a. Terapi standar

i. Antibiotik topikal seperti eritromisin salep empat kali sehari selama


satu minggu dapat digunakan sebagai lubrikasi okular dan mencegah
infeksi bakteri.1,6 Antibiotik golongan fluoroquinolone topikal
digunakan untuk trauma kimia yang lebih berat (grade II-IV).4
ii. Sikloplegik seperti atropin atau siklopentolate tetes mata dapat
mengurangi rasa nyeri sehingga memberikan kenyamanan bagi
pasien. Jika perlu dapat diberikan artificial tear.4
iii. Steroid topikal seperti prednisolone tetes mata yang diberikan pada
minggu pertama setelah trauma dapat mengurangi inflamasi dan
mencegah kerusakan kornea lebih lanjut.4,6 Pada trauma kimia grade
I-II steroid topikal dapat digunakan empat kali sehari. Pada trauma
kimia grade III-IV steroid topikal dapat digunakan setiap jam.4

9
Setelah 2 minggu, pemakaian steroid harus berhati-hati karena dapat
menghambat reepitelisasi, terjadi perlunakan kornea dan
kemungkinan perforasi akibat berlanjutnya aktivitas kolagenase.1
b. Terapi tambahan

i. Asam askorbat merupakan kofaktor dalam sintesis kolagen. Asam


askorbat dapat diberikan secara topikal (tetes mata 10% setiap jam) atau
secara oral (2 gram, empat kali sehari pada orang dewasa).6 Pemberian
asam askorbat secara sistemik juga berperan dalam mencegah ulserasi.
Hati-hati pemberian asam askorbat dosis tinggi secara sistemik pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal.4
ii. Doksisiklin sebagai antibiotik sistemik untuk menghambat MMP yang
dapat merusak kolagen tipe I.4 Doksisiklin diberikan dengan dosis 100
mg, 2 kali sehari.6
iii. Kolagenase inhibitor bekerja dengan menghambat polimorfonuklear
(PMN) sehingga menurunkan aktivitas enzim proteolitik. Beberapa
kolagenase inhibitor topikal seperti sitrat, etilen diamin tetra asam
asetat (EDTA) dan asetil sistein.6 Pemberian EDTA tetes mata setelah
1 minggu terjadinya trauma alkali berguna untuk menetralisir
kolagenase yang terbentuk pada hari ketujuh setelah trauma.4
iv. lensa kontak bandage dapat digunakan untuk melindungi terpajannya
kornea dan adanya defek epitel yang menetap.1,4

3. Operasi
a. Debridemen jaringan nekrotik harus dilakukan sesegera mungkin karena
jaringan nekrotik merupakan sumber inflamasi dan dapat menghambat
epitelisasi kornea.1,4
b. Transposisi konjungtiva (tenonplasti) dilakukan pada trauma kimia grade
IV yang berperan dalam revaskularisasi limbus dan reepitelisasi kornea.4
c. Amniotic membrane transplantation (AMT) untuk memicu epitelisasi,
mengurangi inflamasi limbus dan stroma, mencegah simblefaron dan
neovaskularisasi.4,9

10
d. Transplantasi sel stem limbus untuk reepitelisasi kornea dan menghambat
pertumbuhan konjungtiva di atas kornea. Autograft limbus dapat
digunakan dari mata kontralateral yang sehat.4
e. Keratoplasti dilakukan pada perforasi kornea untuk memicu
revaskularisasi limbus.6,9

Walaupun terdapat berbagai macam tatalaksana trauma kimia mata,


sebagian besar peneliti merekomendasikan pendekatan terapi berdasarkan
klasifikasi trauma kimia Roper-Hall. Berikut ini rekomendasi tatalaksana trauma
kimia berdasarkan klasifikasi Roper-Hall.4

1. Grade I
a. Antibiotik topikal (eritromisin salep) empat kali sehari.
b. Prednisolone asetat 1% tetes mata empat kali sehari.
c. Artificial tears jika dibutuhkan.
d. Jika terdapat nyeri, perlu diberikan sikloplegik kerja cepat (siklopentolate
tetes mata) tiga kali sehari.4

2. Grade II
a. Antibiotik topikal seperti florokuinolon tetes mata empat kali sehari.
b. Prednisolone asetat 1% tetes mata setiap jam pada 7-10 hari pertama.
c. Sikloplegik kerja lama seperti atropin 1% tetes mata.
d. Sodium askorbat 10% tetes mata setiap jam saat beraktivitas.
e. Artificial tears jika diperlukan.
f. Vitamin C peroral, 2 gram empat kali sehari.
g. Doksisiklin peroral, 100 mg dua kali sehari.
h. Debridemen epitel nekrotik.
i. Autolog serum tear yang memicu epitelisasi. 4,10

3. Grade III
Dapat dilakukan AMT terutama pada minggu pertama setelah trauma.4

4. Grade IV
Pembedahan biasanya diperlukan seperti AMT dan tenonplasti.4

11
Dalam penatalaksanaan trauma kimia mata, perlu diperhatikan tingkat
penyembuhan yang terjadi berdasarkan periode setelah terjadinya trauma. Berikut
ini tabel yang menunjukkan tingkat penyembuhan pada trauma kimia mata.4

Tabel 2.4 Tingkat penyembuhan pada trauma kimia4

Tahap Hari Penyembuhan


Inisial 0 Temuan klinis bergantung pada derajat trauma dan
diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan limbus,
kornea dan konjungtiva.
Akut 0-7 Pertumbuhan epitel terjadi jika terdapat sel stem
limbus yang utuh. Tatalaksana diberikan untuk
membantu pertumbuhan epitel.
Perbaikan 7-21 Epitel kornea/konjungtiva dan keratosit berproliferasi
jangka pendek pada tahap ini. Trauma grade I-II menunjukkan re-
epitelisasi dibandingkan trauma grade III-IV
(terdapat defek epitel persisten). Aktivitas puncak
kolagenase terjadi pada hari ke 14-21. Terapi
dilakukan untuk memicu sintesis kolagen dan
menghambat kolagenase.
Perbaikan >21 Pada trauma grade I dimana sel stem limbus masih
jangka panjang utuh, proses penyembuhan telah selesai. Pada trauma
grade II telah terjadi kerusakan sel stem limbus. Pada
grade III-IV, terjadi perlambatan reepitalisasi kornea
yang menyebabkan ulserasi stroma dan sikatrik.
Walaupun dengan pengobatan yang optimal, pada
kasus ini memiliki prognosis yang buruk.

2.8 Komplikasi

Komplikasi dari trauma kimia mata tergantung pada derajat trauma dan jenis
trauma yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada trauma kimia mata adalah
sebagai berikut.1
1. Sindroma mata kering (dry eye)
Trauma kimia dapat merusak sel-sel goblet konjungtiva, sehingga
menyebabkan penurunan atau bahkan tidak adanya produksi mukus pada
film air mata. Kekurangan mukus ini menyebabkan terjadinya dry eye. Dry
eye kronik dapat menyebabkan ketidaknyamanan, gangguan visual dan
berpotensi terjadinya kerusakan pada okular.4

12
2.
3. Katarak traumatik
Trauma kimia basa sering menyebabkan katarak traumatik karena terjadi
peningkatan pH aqueous humor yang mempengaruhi kekeruhan lensa.
Trauma kimia asam sukar masuk ke bagian dalam mata sehingga jarang
terjadi katarak traumatik.4
4. Glaukoma
Glaukoma sekunder biasanya terjadi pada trauma kimia grade III dan IV
akibat inflamasi pada trabekular meshwork.4 Pada trauma kimia basa dapat
menyebabkan peningkatan TIO karena adanya kontraksi sklera, kerusakan
anyaman trabekular dan pelepasan prostaglandin yang memicu terjadinya
uveitis berat.1
5. Trauma kimia yang mengenai konjungtiva dapat menyebabkan terjadinya
jaringan parut, simblefaron, entropion dan ektropion.4 Selain itu juga dapat
terjadi perforasi kornea, sikatrik kornea dan neovaskularisasi.6

Gambar 2.2 Simblefaron

Dikutip dari: Kanski Jack J.6

13
Gambar 2.3 Entropion
Dikutip dari : Kanski Jack J.6

Gambar 2.4 Neovaskularisasi kornea


Dikutip dari : Solano JJ.11

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Augsburger J, Asbury T. Trauma mata dan orbita. Dalam: Eva PR, Whitcher
JP. Vaughan & Asbury oftalmologi umum. Edisi 17. Jakarta: EGC; 2009. h.
372-81.
2. Haring RS, Sheffield ID, Channa R. Epidemiologic trend of chemical ocular
burns in the united states. United States: JAMA ophthalmol; 2016. p. 1119.
3. Alan HH. Epidemiology of ocular chemical burn injuries. In: Chemical ocular
burns. N Schrage. Springer: Berlin Heidelberg; 2011. p. 9.
4. American Academy of Opthalmology. Chemical (alkali and acid) injury of the
conjunctiva and cornea. 2017 Feb. Available at: http://eyewiki.aao.org/.
5. Rhee DJ, Pyfer MF, editors. The wills eye manual: office and emergency room
diagnosis and treatment of eye disease. 7th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2017. p. 47-51.
6. Kanski J, Bowling B. Clinical ophthalmology: a systemic approach. 8th edition.
Oxford: Butterworth Heinamann Ltd; 2016. p. 881-85.
7. Venkatesh R, Trivedi HL. Ocular trauma-chemical injuries. Bombay Hospital
Journal. 2009; 51 (2).
8. Kosoko A. Chemical ocular burns: a case review. American Journal of Clinical
Medicine. 2009; 6(3): 41-9.
9. Singh P, Tyagi M, Yogesh K, Gupta KK, Sharma PD. Ocular chemical injuries
and their management. India: Departement of Ophthalmology. 2013; 6 (2): 1-
5.
10. Eslani M, Rafii AB, Movahedan A, Djalilian. The ocular surface chemical
burn. Teheran: Journal of Opthalmology; 2014. p. 1-9.
11. Solano JJ. Ocular burns and chemical injuries. Florida: Atlantic University.
2017. Available at: http://medscape.com.

15

You might also like