Professional Documents
Culture Documents
Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka
TINJAUAN PUSTAKA
1
atau lima tonjolan. Gigi molar di rahang atas mempunyai tiga akar dan gigi
molar di rahang bawah mempunyai dua akar.
d. Pulpa
Pulpa terdapat dalam gigi dan terbentuk dari jaringan ikat yang berisikan
serabut saraf dan pembuluh-pembuluh darah yang mensuplai dentin.
2.2 Kalkulus
Plak bakterial dan kalkulus dipertimbangkan sebagai agen etiologi utama
dalam inisiasi dan progress penyakit periodontal. Kalkulus didefinisikan sebagai
deposit padat yang terbentuk dari mineralisasi plak dental pada permukaan natural
2
gigi dan protesa gigi, umumnya ditutupi oleh selapis plak demineralisasi.
Berdasarkan lokasinya, kalkulus dapat dibagi menjadi dua, yaitu kalkulus
supragingiva dan subgingiva. Perbedaan kedua bentuk kalkulus ini dapat dilihat
pada tabel berikut:5
2.3 Periodontitis
2.3.1 Definisi
Periodontitis didefinisikan sebagai penyakit inflamasi dari jaringan
pendukung gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme tertentu atau kelompok
mikroorganisme spesifik, mengakibatkan kerusakan progresif dari ligamentum
periodontal dan tulang alveolar dengan pembentukan saku gingiva, resesi, atau
keduanya.6
3
Gambar 2.3. Periodontitis7
2.3.2 Etiologi
4
enzim hialuronidase, lipase, kolagenase, betaglukoranidase, kondrolitin sulfatase,
dekarboksilase, peroksidase dan katalase.7,8
Mikroorganisme non bakteri yang dijumpai didalam plak diantaranya
spesies Mycoplasma, ragi, protozoa, dan virus. Mikroorganisme ini terdapat
diantara matriks interseluler. Pada plak terdapat pula sel-sel epitel lepas, lekosit
dan partikel-partikel sisa makanan, garam-garam anorganik terutama kalsium,
fosfat dan fluor. Susunan komponen bakteri dan biokimia plak bervariasi dan
tergantung pada konsentrasi bakteri dalam saliva, oksigen komposisi makanan
serta adanya penyakit periodontal.6,7,9
Sedangkan faktor sistemik yang dapat berpengaruh meliputi demam yang
tinggi, defisiensi vitamin, pemakaian obat – obatan hormonal, dan penyakit
seperti diabetes melitus. Gangguan sistemik dapat mengganggu proses
penyembuhan saat terjadi iritasi lokal, yang seharusnya dapat ditahan atau hanya
menyebabkan inflamasi ringan saja, dengan adanya gangguan keseimbangan
tersebut maka dapat memperberat atau menyebabkan kerusakan jaringan
periodontal.
2.3.3 Patofisiologi
Periodontitis merupakan respon inflamasi kronis terhadap bakteri
subgingiva yang mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal irreversible
sehingga dapat berakibat kehilangan gigi.
Pada tahap perkembangan awal, keadaan periodontitis sering
menunjukkan gejala yang tidak dirasakan oleh pasien. Periodontitis didiagnosis
karena adanya kehilangan perlekatan antara gigi dan jaringan pendukung
(kehilangan perlekatan klinis) ditunjukkan dengan adanya poket dan pada
pemeriksaan radiografis terdapat penurunan tulang alveolar.
Penyebab periodontitis adalah multifaktor, karena adanya bakteri patogen
yang berperan saja tidak cukup menyebabkan terjadi kelainan. Respon imun dan
inflamasi pejamu terhadap mikroba merupakan hal yang juga penting dalam
perkembangan penyakit periodontal yang destruktif dan juga dipengaruhi oleh
pola hidup, lingkungan dan faktor genetik dari penderita.10
5
Pada periodontitis, terdapat plak mikroba negative gram yang
berkolonisasi dalam sulkus gingiva (plak subgingiva) dan memicu respon
inflamasi kronis. Sejalan dengan bertambah matangnya plak, plak menjadi lebih
patogen dan respon inflamasi pejamu berubah dari keadaan akut menjadi keadaan
kronik. Apabila kerusakan jaringan periodontal, akan ditandai dengan terdapatnya
poket. Semakin dalamnya poket, semakin banyak terdapatnya bakteri subgingiva
yang matang. Hal ini dikarenakan poket yang dalam terlindungi dari pembersih
mekanik (penyikatan gigi) juga terdapat aliran cairan sulkus gingiva yang lebih
konstan pada poket yang dalam dari pada poket yang diangkat.10
Karakteristik periodontitis berupa pembentukan poket dan kerusakan
tulang alveolar. Dari gambaran radiografi dapat dibandingkan ketinggian tulang
alveolar terhadap cemento enamel junction (CEJ). Ketinggian tulang alveolar
terhadap CEJ sebanyak 2-3 mm belum menunjukan kehilangan tulang yang nyata.
Sedangkan ketinggian tulang alveolar terhadap CEJ lebih dari 3 mm biasanya
menunjukan kehilangan tulang yang nyata. Kerusakan tulang dalam penyakit
periodontal terutama disebabkan oleh faktor lokal yaitu inflamasi gingiva dan
trauma dari oklusi atau gabungan keduanya. Kerusakan yang disebabkan oleh
inflamasi gingiva mengakibatkan pengurangan ketinggian tulang alveolar,
sedangkan trauma dari oklusi menyebabkan hilangnya tulang alveolar pada sisi
permukaan akar.
6
1. Periodontitis kronis
(a) Periodontitis lokalisata
(b) Periodontitis generalisata
2. Periodontitis Agresif
(a) Periodontitis lokalisata
(b) Periodontitis generalisata 11
Periodontitis sebagai manifestasi klinis penyakit sistemik dapat
diklasifikasikan berdasarkan kondisi klinis, radiografis, riwayat penyakit, dan
karakteristik pemeriksaan laboratorium. Karakteristik berikut merupakan
karakteristik umum untuk pasien dengan periodontitis kronis:
Lazim pada orang dewasa tetapi dapat terjadi pada anak-anak.
Jumlah kerusakan konsisten dengan faktor lokal.
Terkait dengan pola mikroba variabel.
Sering ditemukankalkulus subgingival.
Laju perkembangan lambat sampai sedang dengan periode perkembangan
yang cepat.
Dapat atau berhubungan dengan: Penyakit sistemik seperti diabetes
mellitus dan HIV.
Periodontitis kronis selanjutnya dapat dikelompokkan menjadi bentuk
lokal dan generalisata, kemudian ditandai sebagai ringan, sedang, atau berat
berdasarkan hal-hal berikut:
• Localized : <30% dari situs yang terlibat.
• Generalized :> 30% dari situs yang terlibat.
• Sedikit : 1 sampai 2 mm Clinical Attachement Loss (CAL).
• Sedang : 3 sampai 4 mm CAL.
• Berat : ≥5 mm CAL.
Sedangkan pada periodontitis agresif, karakteristik umum adalah sebagai
berikut:
1. Pasien secara klinis sehat.
2. Attachment loss dan kerusakan tulang berlangsung cepat.
3. Jumlah deposit mikroba tidak konsisten dengan tingkat keparahan penyakit.
4. Riwayat familial individu penderita.
Karakteristik berikut umum tapi tidak universal:
1. Terinfeksi Actinobacillus actinomycetemcomitans.
2. Kelainan pada fungsi fagosit.
7
3. Hiper responsif makrofag, peningkatan produksi prostaglandinE2 (PGE2) dan
interleukin-1β (IL-1β).
Dalam beberapa kasus, perkembangan penyakit periodontitis agresif
selanjutnya dapat diklasifikasikan ke dalam lokal dan generalisata berdasarkan
hal-hal berikut:
Lokalisata:
Timbul karena onset circumpubertal.
Lokal pada molar pertama atau gigi seri dengan resorbsi area
proksimal,atau setidaknya pada dua gigi permanen, salah satunya adalah
molar pertama.
Generalisata:
Biasanya mempengaruhi orang di bawah usia 30 tahun (namun,
mungkinlebih tua).
Kehilangan perlekatan proksimal yang mempengaruhi setidaknya tiga gigi
selain geraham pertama dan gigi seri.
8
Gambar 2.4. Probe UNC (kiri) mmiliki tanda pada 1-15 mm, probe PCP 12
(tengah) memiliki pita warna penanda pada 3-6 mm dan 9-12 mm, probe William
(kanan) memiliki penanda pada 1,2,3,4,5,7,8,9,10 mm13
9
Gambar 2.6. Penanda pada probe PCP 12 menunjukkan
ukuran resessi sebesar 2,5 mm.13
b. Kedalaman probing
Kedalaman probing adalah jarak dari tepi gingiva kedasar poket. Posisi
tepi gingiva dapat berubah karena pembengkakan atau resessi. Probe harus
dimasukkan pararel terhadap permukaan akar dan berjalan disekeliling tepi
gingiva. Kedalaman probe harus diukur pada enam tempat pada masing-masing
gigi.13
Gambar 2.7. Probe PCP 12 yang dijalankan disekeliling tepi gingiva dari gigi.13
10
Perdarahan gingiva pada tepi gingiva mengindikasikan adanya gingivitis.
Perdarahan pada dasar poket menunjukkan penyakit aktif.13
Gambar 2.8. Mobilitas gigi horizontal dapat diperiksa dengan menggunakan dua
pegangan instrument yang rigid (A), atau dengan jari indeks dan sebuah pegangan
instrument.13
11
mengganggu fungsi gigi.
Gambar 2.9. Probe furcation Nabers yang memiliki warna penanda pada 3-6 mm
dan 9-12 mm.13
f. Radiografi
Radiografi merupakan alat diagnostik sekunder untuk menunjukkan
kehilangan tulang marginal yang mengkonfirmasi hilangnya perlengketan. Pada
radiografi dapat dinilai level tulang alveolar, untuk melihat ruang ligamen
periodontal dan regio periapikal dan untuk mengidentifikasi kalkulus subgingiva
dan restorasi defek. Radiografi juga berguna untuk menilai panjang akar dan
12
morfologinya dengan dukungan tulang yang tersisa dari periodontal gigi yang
terlibat, termasuk menilai keterlibatan furcation gigi molar.11
Tabel 2.4 Kriteria klinis pada kasus periodontal14
13
*penyakit terlokalisasi didefinisikan sebagai <30% tempat yang terlibat, sedangkan general jika
>30%
#
merujuk ke spesialis dipertimbangkan untuk penatalaksanaan diluar terapi inisial
₸
sangat disarankan untuk merujuk ke spesialis
2.3.7 Penatalaksanaan
1. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan untuk melakukan tindakan
skeling dan penghalusan akar
2. Pengaturan posisi kerja
3. Aplikasi antiseptik pada area kerja dengan menggunakan cotton pellet dan
pinset
4. Lakukan eksplorasi dengan menggunakan sonde half moon untuk
mengetahui letak perbatasan kalkulus
5. Gunakan sickle scalers untuk melakukan pembersihan kalkulus
supragingiva
14
6. Gunakan kuret gracey untuk pembersihan kalkulus subgingiva dan
penghalusan akar:
i. Gracey no. 1-4 gigi anterior
ii. Gracey no. 5-6 gigi premolar
iii. Gracey no. 7-10 gigi posterior
iv. Gracey no. 11-12 gigi posterior bagian mesial
v. Gracey no. 13-14 gigi posterior bagian distal
7. Lakukan eksplorasi menggunakan sonde half moon untuk mengetahui jika
ada kalkulus tersisa
8. Lakukan polishing pada gigi geligi yang telah diskeling dengan
menggunakan rubber bur atau brush
9. Irigasi dengan menggunakan larutan antiseptik pada seluruh area yang
telah diskeling
b. Kuretase
Kuretase berarti mengerok dinding dalam gingiva dari poket (baik poket
gingiva maupun poket periodontal) untuk menghilangkan penyakit pada jaringan
lunak. Pada kedalaman saku gusi >3 mm - <6 mm dengan kondisi oedem
dilakukan kuretase. Kuretase harus dilakukan dibawah anastesi lokal yang
adekuat.Tahapan kerja kuretase:15
1. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan untuk melakukan tindakan
kuretase
6. Lakukan scaling dan root planing pada elemen gigi di daerah operasi,
dengan sisi tajam kuret gracey menghadap ke gigi. Kuret gracey yang
dipakai sesuaikan dengan elemen gigi yang dikerjakan
15
7. Menggunakan kuret gracey, buang jaringan nekrotik pada jaringan lunak.
Sisi tajam kuret gracey menghadap jaringan lunak. Kuret gracey yang
dipakai sesuaikan dengan elemen gigi yang dikerjakan
8. Pada perlakuan diatas jari, tangan kiri digunakan untuk menahan bagian
luar pada jaringan lunak yang sedang dikerjakan
c. Farmakologi
Pemberian topikal antimikroba sering lebih efektif diberikan sebagai
tambahan setelah tindakan scaling dan rootplaning untuk perawatan penyakit
periodental. Antimikroba yang sering dipakai adalah tetrasiklin, minosiklin,
doksisiklin, chlorheksidin dan metronidazol.
Hasil penelitian Ainamo pada tahun 2002 membuktikan keefektifan
pemberian metronidazol gel 25% sebagai terapi tambahan dan dapat membrikan
hasil yang baik setara dengan pembersihan secara mekanis. Pemberian
metronidazol dilakukan selama 7 hari.
16
metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi
insulin).18
2.4.2 Prevalensi
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita
lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar
pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai
57%, pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus didunia adalah sebanyak
371 juta jiwa, dimana proporsi kejadiandiabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari
populasi dunia yang menderita diabetesmellitus dan hanya 5% dari jumlah
tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1. 16,19
2.4.3 Patogenesis
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat terjadi
melalui 3 jalan, yaitu:2
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar(virus,zat kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer
2.4.4 Patofisiologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”.1,8 Resistensi
insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta
penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa
hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans
17
secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada
penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.19,20
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan
sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan
defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
18
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah,
pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan
kadar glukosa darah menjadi 200mg%. 16,17
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak
tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam
tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
c. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen diabetes.
Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang
bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes
Mellitus.
d. Dislipidemi
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma
insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien
diabetes.
e. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi >
4000gram
f. Faktor Genetik
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental Penyakit
ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Risiko
emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua sampai enam
kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami penyakitini.
g. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan
frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini dihubungkan
dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak aktifan fisik, faktor-
faktor lain yang berhubungan dengan perubahan dari lingkungan tradisional
kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi perubahan-perubahan dalam
konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe 2.
19
Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita
DM, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan
tekanan darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila
mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan 100 ml
proof wiski, 240 ml ml wine atau 720 ml.
2.4.7 Diagnosis26
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glucometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
20
Kriteria diagnosis DM :
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 216 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2-jam setelah test Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik
4. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP)
21
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
1. Kelompok dengan berat badan lebih (IMT ≥ 23 kg/m 2)yang disertai dengan
satu atau lebih faktor resiko sebagai berikut :
a. Aktivitas fisik yang kurang
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga)
c. Kelompok ras/etnis tertentu
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4
kg atau mempunyai riwayat diabetes mellitus gestasional
e. Hipertensi ≥140/90 mmHG atau sedang mendapat terapi hipertensi
f. HDL < 35 mg/dl atau trigliserida >250 mg/dl
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
h. Riwayat prediabetes
i. Obesitas berat
j. Riwayat penyakit kardiovaskuler
2. Usia >45 tahun tanpa faktor resiko diatas
2.4.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima sesuai
dengan Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien DM.
Tujuan Penatalaksanaan DM adalah :17
Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman
dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan dan profil lipid,melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
1. Diet
22
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% danprotein 10-15%. Untuk menentukan
status gizi, dihitung dengan BMI (Body Mass Indeks). Indeks Massa Tubuh
(IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupupakan alat atau cara yang
sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Untuk mengetahui
nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut:
23
5. Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi tidak
berhasil mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian
obat hipoglikemik
2.4.10 Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi
akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu :20,26
1. Komplikasi akut
a. Hipoglikemia, Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah seseorang
di bawahnilai normal (< 70 mg/dl). Hipoglikemia adalah penurunan
konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem
otonom, seperti adanya whipple’s triad:Terdapat gejala-gejala
hipoglikemiayaitu : Kadar glukosa darah yang rendah, gejala berkurang
dengan pengobatan.Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita
DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula
24
darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak
mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat
mengalami kerusakan.
b. Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah
meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan
metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik,
Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
2. Komplikasi Kronis
a. Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yangumum
berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan
darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner
(PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.
b. Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi
pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati
(kebutaan), neuropati, dan amputasi
25
hipoglikemia.
4. Hipoglikemia relatif apabila GDS > 70mg/dL dengan gejala hipoglikemia.
5. Probable hipoglikemia apabila gejala hipogllikemia tanpa pemeriksaan
GDS.
Rekomendasi pengobatan hipoglikemia:
Hipoglikemia Ringan:
1. Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana)
2. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain
yang berisi glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah.
3. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikkan
glukosa darah.
4. Glukosa 15–20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah
terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar
5. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15
menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15
menit setelah pengobatan hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat
diulang kembali.
6. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal,
pasien diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk mencegah
berulangnya hipoglikemia.
26
Follow up
1. Periksa kadar gula darah lagi, 30 menit sesudah injeksi IV
2. Sesudah bolus 3 atau 2 atau 1 flakon setelah 30 menit dapat diberikan 1
flakon lagi sampai 2-3 kali untuk mencapai kadar ≥ 120 mg/dl
Sedangkan pada hiperglikemi, penatalaksaan diberikan berdasarkan kadar
gula darah sebelum diberikan terapi insulin injeksi subkutan. Tatalaksana
hiperglikemi :
Kadar gula darah Regulasi cepat intra Regulasi cepat subkutan
(sebelum RC) vena (rumus minus satu) (maintenance) (rumus kali2)
27
dan fungsi ginjal. Penatalaksanaan pasien DM perioperative tergantung dari berat
ringannya tindakan pembedahan.31
Penatalaksanaan pasca tindakan operasi pada operasi besar, infus dekstrosa
dan insulin harus diteruskan sampaipasien bisa makan, kemudian dimulai dengan
pemberian insulin subkutansesuai kebutuhan. Bagi pasien yang memerlukan
nutrisi enteral tetapdianjurkan pemberian insulin kerja singkat setiap enam jam
dan perlupengawasan untuk menghindari terjadinya hipoglikemia. Pasien yang
tidakbisa makan dan harus mendapat nutrisi parenteral dapat mengalami gangguan
metabolik yang berat. Kadar glukosadarah dipertahankan pada kisaran 80 – 110
mg/dL untuk pasien kritis dankisaran 90 – 140 mg/dL untuk pasien operasi
lainnya.31
28
32,34,
diabetes atau pasien dengan diabetes terkontrol. Terdapat pula asosiasi erat
antara diabetes dengan periodontitis. Sebuah penelitian longitudinal menunjukkan
bahwa pasien DM tipe 2 dewasa mempunyai risiko kehilangan tulang alveolar
progresif empat kali lipat lebih besar dibandingkan orang dewasa tanpa diabetes.
Seperti gingivitis, pasien diabetes dengan kontrol glikemik buruk juga mempunyai
risiko perkembangan periodontitis dan risiko kehilangan perlekatan lebih besar
dibandingkan pasien diabetes yang kontrol glikemiknya baik.32,34, 38
Pada pasien diabetes, fibroblas yang merupakan sel reparatif primer pada
jaringan periodonsium tidak dapat berfungsi dengan baik. Selain sintesis kolagen
yang berkurang, kolagen yang diproduksi fibroblas rentan terdegradasi oleh enzim
matriks metalloproteinase yang jumlah produksinya meningkat pada pasien
diabetes. Selain itu, pada kondisi hiperglikemik, terjadi pula inhibisi proliferasi
osteoblas yang menurunkan pembentukan tulang serta properti mekanik dari
tulang yang baru terdeposisi.32,39
29
Pembentukan Advanced Glycation End Products (AGEs) Salah satu
komplikasi mayor diabetes adalah perubahan integritas mikrovaskular, yang
sering menyebabkan kerusakan organ seperti retinopati dan nefropati. Pada
kondisi hiperglikemik, protein serta molekul matriks mengalami non-enzymatic
glycosylation yang menghasilkan advanced glycation end products (AGEs) pada
jaringan, termasuk jaringan periodonsium. AGEs merupakan rantai utama yang
menghubungkan banyak komplikasi diabetes karena AGEs menyebabkan
abnormalitas fungsi sel endotel serta perubahan pertumbuhan dan proliferasi
pembuluh darah kapiler.32,34,39 Akumulasi AGEs pada pasien diabetes
meningkatkan intensitas respons inflamasi monosit dan makrofag, yang
ditunjukkan dengan meningkatnya produksi proinfl ammatory cytokine seperti IL-
1α dan TNF-α. Selain itu, AGEs juga berinteraksi dengan kolagen dan membuat
kolagen lebih sulit diperbaiki bila mengalami kerusakan. Akibatnya, kolagen
pasien diabetes lebih mudah terdegradasi. 32,39
30
2.4.13 Halitosis pada pasien diabetes mellitus
Halitosis didefinisikan sebagai bau tidak enak yang keluar dari rongga
mulut, tanpa melihat sumber bahan odorus dalam nafas baik dari oral maupun
non-oral.40 Berdasarkan penyebabnya, halitosis dapat dikelompokkan menjadi
intraoral atau faktor lokal dan ekstraoral atau faktor sistemik. Dalam rongga
mulut, bau mulut biasanya disebabkan karena kebersihan mulut yang buruk,
gingivitis, periodontitis, soket gigi yang terinfeksi, sisa darah post bedah, debri
yang melekat pada bahan alat gigi, ulser mulut, serostomia dan tongue coating.
Penyebab ekstraoral dari halitosis antara lain sinusitis kronik, faringitis, laringitis,
tonsilitis dan tonsiloliths. Selain itu, penggunaan obat-obatan seperti kloral hidrat,
isorbid dinitrat, dimetil sulfoksida, dilsulfiram, bahan sitotoksik, paraldehid, dan
triamteren serta penyakit sistemik seperti diabetes melitus, penyakit pada sistem
respiratorius atau gastrointestinal, gagal organ hepar atau renal, dan gangguan
metabolik trimetilamin juga berperan dalam timbulnya halitosis.40,41
Pada halitosis ekstraoral, 90% substansi penyebab dalam saluran
gastrointestinal adalah asam lemak (asam asetat, asam propionik dan asam
butirat), 6,5% amoniak dan sisanya adalah komponen sulfur (hidrogen sulfida,
dan metil merkaptan) dan komponen nitrogen (indol, skatol, piridin, pirol,
amonia, trimetilamin).40.41
Penyakit diabetes melitus adalah suatu kondisi medis yang menyebabkan
tubuh memiliki gula darah tinggi yang disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh
untuk menghasilkan jumlah cukup insulin atau ketidakmampuannya untuk
merespon insulin. Kadar gula darah yang tidak terkontrol dan berfluktuasi ini
membuat orang dengan kondisi diabetes lebih rentan terhadap penyakit gusi atau
mulut yang menyebabkan bau mulut. Bau mulut yang disebabkan terjadinya
peningkatan kadar keton dalam aliran darah. Tingginya tingkat keton akan
meningkatkan pH darah. Dalam upaya untuk membawa pH turun kembali, tubuh
berusaha menyingkirkan keton melalui paru-paru dan urine sehingga
menyebabkan bau mulut.
31