You are on page 1of 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi gigi dan periodontal


Gigi mempunyai beberapa bagian, yaitu:1
a. Bagian akar gigi, adalah bagian dari gigi yang tertanam di dalam tulang
rahang dikelilingi (dilindungi) oleh jaringan periodontal.
b. Mahkota gigi adalah bagian dari gigi yang dapat dilihat.
c. Cusp adalah tonjolan runcing atau tumpul yang terdapat pada mahkota.

Gambar 2.1 Anatomi Gigi2


Orang dewasa mempunyai 32 gigi permanen, 16 di tiap rahang. Di tiap
rahang terdapat:1
 Empat gigi depan /insisivus
Bentuknya seperti sekop dengan tepi yang lebar untuk menggigit, hanya
mempunyai satu akar. Gigi insisivus atas lebih besar daripada gigi yang
bawah.
 Dua gigi kaninus
Gigi inimerupakan gigi ini kuat dan menonjol di “sudut mulut”,
namunhanya mempunyai satu akar.
 Empat gigi pre-molar/gigi molar kecil
Mahkotanya bulat hampir seperti bentuk kaleng tipis, mempunyai dua
tonjolan, satu di sebelah pipi dan satu di sebelah lidah. Kebanyakan gigi
pre-molar mempunyai satu akar, beberapa mempunyai dua akar.
 Enam gigi molar
Merupakan gigi-gigi besar di sebelah belakang di dalam mulut digunakan
untuk menggiling makanan. Semua gigi molar mempunyai mahkota
persegi, seperti blok-blok bangunan. Ada yang mempunyai tiga, empat,

1
atau lima tonjolan. Gigi molar di rahang atas mempunyai tiga akar dan gigi
molar di rahang bawah mempunyai dua akar.

Gambar 2.2 Bentuk-bentuk gigi3


Gigi terdiri dari beberapa jaringan, yaitu:4
a. Enamel
Enamel gigi merupakan susunan kimia kompleks, sebagian besar terdiri dari
97% mineral (kalsium, fosfat, karbonat, dan fluor), air 1% dan bahan
organik 2%, yang terletak dalam suatu pola kristalin.
b. Dentin
Dentin adalah suatu jaringan vital yang tubulus dentinnya berisi
perpanjangan sitoplasma odontoblas. Sel-sel odontoblas mengelilingi ruang
pulpa dan kelangsungan hidupnya bergantung kepada penyediaan darah dan
drainase limfatik jaringan pulpa. Oleh karena itu dentin peka terhadap
berbagai macam rangsangan, misal: panas dan dingin serta kerusakan fisik
termasuk kerusakan yang disebabkan oleh bor gigi.
c. Sementum
Sementum adalah penutup luar tipis pada akar yang mirip strukturnya
dengan tulang.

d. Pulpa
Pulpa terdapat dalam gigi dan terbentuk dari jaringan ikat yang berisikan
serabut saraf dan pembuluh-pembuluh darah yang mensuplai dentin.

2.2 Kalkulus
Plak bakterial dan kalkulus dipertimbangkan sebagai agen etiologi utama
dalam inisiasi dan progress penyakit periodontal. Kalkulus didefinisikan sebagai
deposit padat yang terbentuk dari mineralisasi plak dental pada permukaan natural

2
gigi dan protesa gigi, umumnya ditutupi oleh selapis plak demineralisasi.
Berdasarkan lokasinya, kalkulus dapat dibagi menjadi dua, yaitu kalkulus
supragingiva dan subgingiva. Perbedaan kedua bentuk kalkulus ini dapat dilihat
pada tabel berikut:5

Tabel 2.1 Perbedaan kalkukus supragingiva dan kalkulus subgingiva


No. Karakteristik Kalkulus supragingiva Kalkulus subgingiva
1. Definisi Timbunan kalkulus yang Timbunan kalsifikasi yang
menempel kuat yang terbentuk pada permukaan
terbentuk pada mahkota gigi di bawah tepi bebas
gigi, pada koronal tepi dari gingiva
gingiva
2. Lokasi Terbentuk dari koronal ke Timbunan terdapat pada
tepi gingiva apikal dari puncak tepi
gingiva
3. Sumber Berasal dari sekresi saliva- Berasal dari eksudat
kalkulus saliva gingiva-kalkulus seruminal
5. Warna Berwarna putih dan kuning Berwarna coklat/hitam
kehijauan
6. Konsistensi Keras dan seperti tanah liat Keras dan padat/seperti
baru atau seperti kaca
7. Komposisi Lebih banyak brushite dan Kurang dalam brushite dan
okta kalsium fosfat, kurang okta kalsium fosfat, lebih
magnesium whitelockite magnesium whitelockite
8. Kandungan lain Kurang dalam kandungan Kandungan natrium
natrium lebih sedikit, meningkat dengan
terdapat kandungan protein kedalaman poket, protein
saliva saliva tidak ada
9. Visibilitas Secara klinis tampak Tidak terlihat pada
pemeriksaan klinis rutin
10. Perlengketan Mudah ditanggalkan dari Menempel kuat pada
gigi permukaan gigi

2.3 Periodontitis
2.3.1 Definisi
Periodontitis didefinisikan sebagai penyakit inflamasi dari jaringan
pendukung gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme tertentu atau kelompok
mikroorganisme spesifik, mengakibatkan kerusakan progresif dari ligamentum
periodontal dan tulang alveolar dengan pembentukan saku gingiva, resesi, atau
keduanya.6

3
Gambar 2.3. Periodontitis7

2.3.2 Etiologi

Penyakit periodontal dapat disebabkan oleh beberapa faktor lokal dan


faktor sistemik. Faktor lokal yang berperan diantaranya plak bakteri, kalkulus,
impaksi makanan, pernafasan mulut, makanan dan trauma dari oklusi. Plak
diperkirakan mengandung 325 spesies bakteri dan dalam 1 gram plak terdapat
2×1011 bakteri.6 Jenis utama bakteri yang mempunyai kemampuan untuk
membentuk polisakarida ekstraseluler adalah beberapa jenis Streptococcus yaitu
Streptococcus mutans, Streptococcusbovis, Streptococcus sanguis dan jenis
Streptococcus lainnya. Bakteri-bakteri ini membentuk polisakarida ekstraseluler
dari karbohidrat. Karbohidrat yang terbesar ditemukan pada plak supragingiva
adalah dextran, levan dan galaktosa, yang diproduksi oleh bakteri polisakarida
kira-kira 9,5% dari total plak. Sukrosa merupakan substrat utama bagi
pembentukan dekstran yang merupakan polimer glukosa dan levan yang
merupakan polimer fruktosa. Pada permukaan gigi yang licin, koloni dilakukan
terutama oleh jenis-jenis bakteri yang mempunyai kemampuan untuk membentuk
dekstran, misalnya Streptococcus mutans. Sedangkan pada permukaan akar yang
lebih terlindung terhadap tekanan-tekanan mekanik, organisme pembentuk levan
seperti Odontomycesviscosus akan berkoloni membentuk plak. 6,7
Terjadinya inflamasi pada gingival oleh bakteri di dalam plak juga
disebabkan karena bakteri tersebut menghasilkan enzim-enzim yang mampu
menghidrolisa komponen interseluler dari epitel gingival dan jaringan ikat di
bawahnya. Enzim-enzim hidrolitik yang berperan pada proses inflamasi ini yaitu

4
enzim hialuronidase, lipase, kolagenase, betaglukoranidase, kondrolitin sulfatase,
dekarboksilase, peroksidase dan katalase.7,8
Mikroorganisme non bakteri yang dijumpai didalam plak diantaranya
spesies Mycoplasma, ragi, protozoa, dan virus. Mikroorganisme ini terdapat
diantara matriks interseluler. Pada plak terdapat pula sel-sel epitel lepas, lekosit
dan partikel-partikel sisa makanan, garam-garam anorganik terutama kalsium,
fosfat dan fluor. Susunan komponen bakteri dan biokimia plak bervariasi dan
tergantung pada konsentrasi bakteri dalam saliva, oksigen komposisi makanan
serta adanya penyakit periodontal.6,7,9
Sedangkan faktor sistemik yang dapat berpengaruh meliputi demam yang
tinggi, defisiensi vitamin, pemakaian obat – obatan hormonal, dan penyakit
seperti diabetes melitus. Gangguan sistemik dapat mengganggu proses
penyembuhan saat terjadi iritasi lokal, yang seharusnya dapat ditahan atau hanya
menyebabkan inflamasi ringan saja, dengan adanya gangguan keseimbangan
tersebut maka dapat memperberat atau menyebabkan kerusakan jaringan
periodontal.

2.3.3 Patofisiologi
Periodontitis merupakan respon inflamasi kronis terhadap bakteri
subgingiva yang mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal irreversible
sehingga dapat berakibat kehilangan gigi.
Pada tahap perkembangan awal, keadaan periodontitis sering
menunjukkan gejala yang tidak dirasakan oleh pasien. Periodontitis didiagnosis
karena adanya kehilangan perlekatan antara gigi dan jaringan pendukung
(kehilangan perlekatan klinis) ditunjukkan dengan adanya poket dan pada
pemeriksaan radiografis terdapat penurunan tulang alveolar.
Penyebab periodontitis adalah multifaktor, karena adanya bakteri patogen
yang berperan saja tidak cukup menyebabkan terjadi kelainan. Respon imun dan
inflamasi pejamu terhadap mikroba merupakan hal yang juga penting dalam
perkembangan penyakit periodontal yang destruktif dan juga dipengaruhi oleh
pola hidup, lingkungan dan faktor genetik dari penderita.10

5
Pada periodontitis, terdapat plak mikroba negative gram yang
berkolonisasi dalam sulkus gingiva (plak subgingiva) dan memicu respon
inflamasi kronis. Sejalan dengan bertambah matangnya plak, plak menjadi lebih
patogen dan respon inflamasi pejamu berubah dari keadaan akut menjadi keadaan
kronik. Apabila kerusakan jaringan periodontal, akan ditandai dengan terdapatnya
poket. Semakin dalamnya poket, semakin banyak terdapatnya bakteri subgingiva
yang matang. Hal ini dikarenakan poket yang dalam terlindungi dari pembersih
mekanik (penyikatan gigi) juga terdapat aliran cairan sulkus gingiva yang lebih
konstan pada poket yang dalam dari pada poket yang diangkat.10
Karakteristik periodontitis berupa pembentukan poket dan kerusakan
tulang alveolar. Dari gambaran radiografi dapat dibandingkan ketinggian tulang
alveolar terhadap cemento enamel junction (CEJ). Ketinggian tulang alveolar
terhadap CEJ sebanyak 2-3 mm belum menunjukan kehilangan tulang yang nyata.
Sedangkan ketinggian tulang alveolar terhadap CEJ lebih dari 3 mm biasanya
menunjukan kehilangan tulang yang nyata. Kerusakan tulang dalam penyakit
periodontal terutama disebabkan oleh faktor lokal yaitu inflamasi gingiva dan
trauma dari oklusi atau gabungan keduanya. Kerusakan yang disebabkan oleh
inflamasi gingiva mengakibatkan pengurangan ketinggian tulang alveolar,
sedangkan trauma dari oklusi menyebabkan hilangnya tulang alveolar pada sisi
permukaan akar.

2.3.4 Gejala Klinis


Pada pemeriksaan klinis terdapat peningkatan kedalaman probing,
perdarahan saat probing (ditempat aktifnya penyakit) yang dilakukan dengan
perlahan dan perubahan kontur fisiologis. Dapat juga ditemukan kemerahan,
pembengkakan gingiva, perdarahan gingiva dan supurasi, kegoyahan gigi dan
terbentuknya celah antar gigi, rasa sakit lokal dan rasa sakit dalam tulang.

2.3.5 Klasifikasi Periodontal


Menurut AAP (American Academy of Periodontology) padaInternational
Workshop for Classification of Periodontal Diseasestahun 1999, Periodontitis
diklasifikasikan menjadi:

6
1. Periodontitis kronis
(a) Periodontitis lokalisata
(b) Periodontitis generalisata
2. Periodontitis Agresif
(a) Periodontitis lokalisata
(b) Periodontitis generalisata 11
Periodontitis sebagai manifestasi klinis penyakit sistemik dapat
diklasifikasikan berdasarkan kondisi klinis, radiografis, riwayat penyakit, dan
karakteristik pemeriksaan laboratorium. Karakteristik berikut merupakan
karakteristik umum untuk pasien dengan periodontitis kronis:
 Lazim pada orang dewasa tetapi dapat terjadi pada anak-anak.
 Jumlah kerusakan konsisten dengan faktor lokal.
 Terkait dengan pola mikroba variabel.
 Sering ditemukankalkulus subgingival.
 Laju perkembangan lambat sampai sedang dengan periode perkembangan
yang cepat.
 Dapat atau berhubungan dengan: Penyakit sistemik seperti diabetes
mellitus dan HIV.
Periodontitis kronis selanjutnya dapat dikelompokkan menjadi bentuk
lokal dan generalisata, kemudian ditandai sebagai ringan, sedang, atau berat
berdasarkan hal-hal berikut:
• Localized : <30% dari situs yang terlibat.
• Generalized :> 30% dari situs yang terlibat.
• Sedikit : 1 sampai 2 mm Clinical Attachement Loss (CAL).
• Sedang : 3 sampai 4 mm CAL.
• Berat : ≥5 mm CAL.
Sedangkan pada periodontitis agresif, karakteristik umum adalah sebagai
berikut:
1. Pasien secara klinis sehat.
2. Attachment loss dan kerusakan tulang berlangsung cepat.
3. Jumlah deposit mikroba tidak konsisten dengan tingkat keparahan penyakit.
4. Riwayat familial individu penderita.
Karakteristik berikut umum tapi tidak universal:
1. Terinfeksi Actinobacillus actinomycetemcomitans.
2. Kelainan pada fungsi fagosit.

7
3. Hiper responsif makrofag, peningkatan produksi prostaglandinE2 (PGE2) dan
interleukin-1β (IL-1β).
Dalam beberapa kasus, perkembangan penyakit periodontitis agresif
selanjutnya dapat diklasifikasikan ke dalam lokal dan generalisata berdasarkan
hal-hal berikut:
Lokalisata:
 Timbul karena onset circumpubertal.
 Lokal pada molar pertama atau gigi seri dengan resorbsi area
proksimal,atau setidaknya pada dua gigi permanen, salah satunya adalah
molar pertama.
Generalisata:
 Biasanya mempengaruhi orang di bawah usia 30 tahun (namun,
mungkinlebih tua).
 Kehilangan perlekatan proksimal yang mempengaruhi setidaknya tiga gigi
selain geraham pertama dan gigi seri.

2.3.6 Pemeriksaan Periodontal


Periodontitis didiagnosis dengan adanya perubahan gingiva yang
merupakan bukti adanya gingivitis ditambah dengan penurunan tahanan jaringan
pada probing di periodontal dengan sulkus gingiva yang lebih dalam atau
“kantong” (pocket) yang menyebabkan hilangnya penempelan pada periodontal.
Perlu diketahui bahwa kantong tersebut memiliki dimensi horizontal dan vertikal,
untuk mengetahui apakah ada keterlibatan furcation.12

Pemeriksaan periodontal diantaranya pemeriksaan resessi, kedalaman


probe, perdarahan pada probing dan mobilitas semua gigi, kemudian di catat
dalam rekam medis pasien. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan probe
periodontal terkalibrasi, contohnya seperti probe 15 mm University of North
Carolina (UNC), PCP 12 mm (atau 15 mm) atau probe William (10 mm).13

8
Gambar 2.4. Probe UNC (kiri) mmiliki tanda pada 1-15 mm, probe PCP 12
(tengah) memiliki pita warna penanda pada 3-6 mm dan 9-12 mm, probe William
(kanan) memiliki penanda pada 1,2,3,4,5,7,8,9,10 mm13

Direkomendasikan minimal satu kali pengukuran dari resessi gingiva


terbesar karena sulitnya pengukuran posisi margin gingiva berhubungan dengan
Cementomamel Junction (CEJ), diukur pada permukaan lingual dan bukal gigi.13

Gambar 2.5. Gambaran sederhana potongan longitudinal kantong periodontal.13


a. Pemeriksaan resessi gingiva
Normalnya terletak pada CEJ, tetapi pada pasien muda atau pada
pembengkakan tepi gingiva, mungkin letaknya berada pada coronal CEJ. Saat
margin gingiva bergeser ke apikal CEJ, maka hal tersebut di deskripsikan sebagai
resessi gingiva. Pasien mengeluhkan implikasi estetika dari gusi mundur dan
sebagai akar yang terekspos mungkin menjadi sensitif.13

9
Gambar 2.6. Penanda pada probe PCP 12 menunjukkan
ukuran resessi sebesar 2,5 mm.13

b. Kedalaman probing
Kedalaman probing adalah jarak dari tepi gingiva kedasar poket. Posisi
tepi gingiva dapat berubah karena pembengkakan atau resessi. Probe harus
dimasukkan pararel terhadap permukaan akar dan berjalan disekeliling tepi
gingiva. Kedalaman probe harus diukur pada enam tempat pada masing-masing
gigi.13

Gambar 2.7. Probe PCP 12 yang dijalankan disekeliling tepi gingiva dari gigi.13

c. Perdarahan pada probing

10
Perdarahan gingiva pada tepi gingiva mengindikasikan adanya gingivitis.
Perdarahan pada dasar poket menunjukkan penyakit aktif.13

d. Mobilitas abnormal gigi


Mobilitas dan migrasi gigi juga harus diperiksa. Walaupun demikian, perlu
diingat bahwa gigi yang goyang bukanlah milik periodontitis semata dan dapat
terjadi pada trauma oklusal. Mobilitas dan migrasi gigi yang berhubungan dengan
periodontitis biasanya merupakan gejala lanjut dari periodontitis. Hilangnya
tulang alveolar dari periodontitis merupakan penyebab utama mobilitas gigi
abnormal. Pasien akan mengeluhkan giginya goyang atau kesulitan mengunyah
makanan tertentu. Pemeriksaan dilakukan horizontal dan vertikal.11,13
Mobilitas horizontal diukur dengan mengaplikasikan tekanan lembut pada
arah bukal-lingual, dengan menggunakan dua pegangan yang rigid, atau jari
sebagai indeks dari instrumen pegangan jika lebih disukai. Mobilisasi vertikal
diukur dengan memberi tekanan lembut pada mahkota gigi dengan instrument
pegangan rigid pada arah vertikal.13

Gambar 2.8. Mobilitas gigi horizontal dapat diperiksa dengan menggunakan dua
pegangan instrument yang rigid (A), atau dengan jari indeks dan sebuah pegangan
instrument.13

Tabel2.2 Grading mobilitas gigi:


13
Grading Deskripsi
0 Mobilitas fisiologis, diukur pada tingkat mahkota gigi bergerak
dalam alveolus. Sebatas 0,1-0,2 mm pada arah horizontal
1 Peningkatan mobilitas mahkota gigi hampir 1 mm pada arah
horizontal
2 Peningkatan mahkota gigi > 1 mm pada arah horizontal
3 Mobilitas berat dari mahkota gigi baik horizontal dan vertikal,

11
mengganggu fungsi gigi.

e. Menilai keterlibatan furcation


Kerusakan oleh penyakit periodontal mengakibatkan keterlibatan furcation
pada gigi dengan multi-akar. Pengukuran dilakukan dengan probe furcation dan
dikelompokkan berdasarkan keparahan dari keterlibatan furcation. Berikut ini
tabel grading keterlibatan furcation:13
Tabel 2.3 Grading keterlibatan furcation
Grading Deskripsi

1 Keterlibatan furcation awal. Pembukaan furcation mungkin


dapat dirasakan padda probing, tetapi keterlibatannya < 1/3
lebar gigi
2 Keterlibatan furcation parsial. Hilangnya dukungan > 1/3 lebar
gigi tetapi tidak lebih dari lebar gigi keseluruhan.
3 Keterlibatan sisi satu ke sisi lain. Probe dapat terlewati seluruh
furcation.

Gambar 2.9. Probe furcation Nabers yang memiliki warna penanda pada 3-6 mm
dan 9-12 mm.13

f. Radiografi
Radiografi merupakan alat diagnostik sekunder untuk menunjukkan
kehilangan tulang marginal yang mengkonfirmasi hilangnya perlengketan. Pada
radiografi dapat dinilai level tulang alveolar, untuk melihat ruang ligamen
periodontal dan regio periapikal dan untuk mengidentifikasi kalkulus subgingiva
dan restorasi defek. Radiografi juga berguna untuk menilai panjang akar dan

12
morfologinya dengan dukungan tulang yang tersisa dari periodontal gigi yang
terlibat, termasuk menilai keterlibatan furcation gigi molar.11
Tabel 2.4 Kriteria klinis pada kasus periodontal14

Kehi- Tingkat Tanda


Kedala- Perdarah Mobili- Furcati
langan perleng inflamasi
Kasus Tipe man -an pada tas -on
tulang -ketan yang
probe probing (grade) (grade)
(%) klinis tampak
Tidak Tidak
O Sehat 0-3 Tidak 0 0 Tidak
ada ada
Ya (local
Tidak Tidak
I Gingivitis 0-4 Ya 0 0 atau
ada ada
general)*
Periodontitis Ya (local
II kronis 4-5 Ya 10 I 1 1-2 atau
ringan# general)*
Periodontitis Ya (local
III kronis 5-6 Ya 33 I dan II 1 dan 2 3-4 atau
sedang# general)*
Ya (local
Periodontitis I, II, 1,2,3
IV ≥6 Ya >33 ≥5 atau
kronis berat# atau III atau 4
general)*
Periodontitis
agresif (usia Ya (local
I, II, 1,2,3
V sebagai ≥6 Ya >33 ≥5 atau
atau III atau 4
faktor yang general)*
signifikan)₸

13
*penyakit terlokalisasi didefinisikan sebagai <30% tempat yang terlibat, sedangkan general jika
>30%
#
merujuk ke spesialis dipertimbangkan untuk penatalaksanaan diluar terapi inisial

sangat disarankan untuk merujuk ke spesialis

2.3.7 Penatalaksanaan

a. Scaling dan rootplaning


Skeling atau scaling adalah proses pengambilan plak dan kalkulus baik
supragingiva maupun subgingiva dari permukaan gigi. Penghalusan akar atau
rootplaning adalah proses penghalusan akar dari sisa sisa kalkulus dan sementum
yang nekrotik, untuk menghasilkan permukaan akar yang halus, keras dan bersih.
Scaling dan rootplaning bukan merupakan prosedur yang terpisah. Semua
prosedur scaling disertai juga dengan rootplaning. Kondisi gigi menentukan
apakah permukaannya perlu di “scaled” atau di “planed”. Scaling dan rootplaning
merupakan terapi awal/ initial phase dan harus menjadi bagian dalam setiap terapi
periodontal.13 Tahapan kerjascaling dan rootplaning:15

1. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan untuk melakukan tindakan
skeling dan penghalusan akar
2. Pengaturan posisi kerja
3. Aplikasi antiseptik pada area kerja dengan menggunakan cotton pellet dan
pinset
4. Lakukan eksplorasi dengan menggunakan sonde half moon untuk
mengetahui letak perbatasan kalkulus
5. Gunakan sickle scalers untuk melakukan pembersihan kalkulus
supragingiva

14
6. Gunakan kuret gracey untuk pembersihan kalkulus subgingiva dan
penghalusan akar:
i. Gracey no. 1-4 gigi anterior
ii. Gracey no. 5-6 gigi premolar
iii. Gracey no. 7-10 gigi posterior
iv. Gracey no. 11-12 gigi posterior bagian mesial
v. Gracey no. 13-14 gigi posterior bagian distal
7. Lakukan eksplorasi menggunakan sonde half moon untuk mengetahui jika
ada kalkulus tersisa
8. Lakukan polishing pada gigi geligi yang telah diskeling dengan
menggunakan rubber bur atau brush
9. Irigasi dengan menggunakan larutan antiseptik pada seluruh area yang
telah diskeling

b. Kuretase
Kuretase berarti mengerok dinding dalam gingiva dari poket (baik poket
gingiva maupun poket periodontal) untuk menghilangkan penyakit pada jaringan
lunak. Pada kedalaman saku gusi >3 mm - <6 mm dengan kondisi oedem
dilakukan kuretase. Kuretase harus dilakukan dibawah anastesi lokal yang
adekuat.Tahapan kerja kuretase:15

1. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan untuk melakukan tindakan
kuretase

2. Pengaturan posisi kerja

3. Aplikasi antiseptik pada daerah operasi

4. Pemeriksaan poket memakai periodontal probe

5. Lakukan anastesi lokal pada daerah operasi

6. Lakukan scaling dan root planing pada elemen gigi di daerah operasi,
dengan sisi tajam kuret gracey menghadap ke gigi. Kuret gracey yang
dipakai sesuaikan dengan elemen gigi yang dikerjakan

15
7. Menggunakan kuret gracey, buang jaringan nekrotik pada jaringan lunak.
Sisi tajam kuret gracey menghadap jaringan lunak. Kuret gracey yang
dipakai sesuaikan dengan elemen gigi yang dikerjakan

8. Pada perlakuan diatas jari, tangan kiri digunakan untuk menahan bagian
luar pada jaringan lunak yang sedang dikerjakan

9. Irigasi daerah operasi dengan larutan antiseptik

10. Kontrol perdarahan dengan menggunakan kasa

c. Farmakologi
Pemberian topikal antimikroba sering lebih efektif diberikan sebagai
tambahan setelah tindakan scaling dan rootplaning untuk perawatan penyakit
periodental. Antimikroba yang sering dipakai adalah tetrasiklin, minosiklin,
doksisiklin, chlorheksidin dan metronidazol.
Hasil penelitian Ainamo pada tahun 2002 membuktikan keefektifan
pemberian metronidazol gel 25% sebagai terapi tambahan dan dapat membrikan
hasil yang baik setara dengan pembersihan secara mekanis. Pemberian
metronidazol dilakukan selama 7 hari.

2.4 Diabetes Mellitus


2.4.1 Definisi
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan
klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat, jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes mellitus
ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerosis dan penyakit
vaskular mikroangiopati.16,22
Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikitmenurun atau
berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent
diabetes mellitus.21,24 Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan

16
metabolik yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi
insulin).18

2.4.2 Prevalensi
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita
lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar
pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai
57%, pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus didunia adalah sebanyak
371 juta jiwa, dimana proporsi kejadiandiabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari
populasi dunia yang menderita diabetesmellitus dan hanya 5% dari jumlah
tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1. 16,19

2.4.3 Patogenesis
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat terjadi
melalui 3 jalan, yaitu:2
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar(virus,zat kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer

2.4.4 Patofisiologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”.1,8 Resistensi
insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta
penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa
hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans

17
secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada
penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.19,20
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan
sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan
defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.

2.4.5 Faktor resiko


Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2,
berkaitan dengan beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah,
faktor risiko yang dapat diubah dan faktor lain. Menurut American
DiabetesAssociation (ADA) bahwa DM berkaitan dengan faktor risiko yang tidak
dapat diubah meliputiriwayat keluarga dengan DM (first degree relative), umur
≥45 tahun, etnik, riwayatmelahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000
gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan
beratbadan rendah (<2,5 kg).16,24 Faktor risiko yang dapatdiubah meliputi obesitas
berdasarkan IMT ≥25kg/m2 atau lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm
pada laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak
sehat.26
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita polycystic
ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolicmemiliki riwatyat toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau
Peripheral Arterial Diseases (PAD), konsumsi alkohol,faktor stres, kebiasaan
merokok, jenis kelamin,konsumsi kopi dan kafein.17,19,20
a. Obesitas (kegemukan)

18
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah,
pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan
kadar glukosa darah menjadi 200mg%. 16,17
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak
tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam
tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
c. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen diabetes.
Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang
bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes
Mellitus.
d. Dislipidemi
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma
insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien
diabetes.
e. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi >
4000gram
f. Faktor Genetik
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental Penyakit
ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Risiko
emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua sampai enam
kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami penyakitini.
g. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan
frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini dihubungkan
dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak aktifan fisik, faktor-
faktor lain yang berhubungan dengan perubahan dari lingkungan tradisional
kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi perubahan-perubahan dalam
konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe 2.

19
Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita
DM, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan
tekanan darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila
mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan 100 ml
proof wiski, 240 ml ml wine atau 720 ml.

2.4.6 Gejala klinis


Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut
diabetes melitus yaitu : Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum),
Poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah
namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah
lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu
hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan
bayi berat lahir lebih dari 4kg.

2.4.7 Diagnosis26
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glucometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti :

1. Keluhan klasik DM : polyuria, polydipsia, polifagia dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
2. Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita

20
Kriteria diagnosis DM :
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 216 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2-jam setelah test Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik
4. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP)

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan kedalam kelompok prediabetes yang meliputi : toleransi glukosa
terganggu dan glukosa darah puasa terganggu

1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : hasil pemeriksaan glukosa


plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2 jam <140 mg/dl
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) : hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl
3. Bersama – sama didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 – 6,4%

Cara pelaksanaan TTGO menurut WHO :

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat


yang cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari –
hari

2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,


minum air putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah meminum larutan glukosa selesai
6. Dilakukan pemeriksaankadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

21
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok

Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM tipe 2


dan prediabetes pada kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala
klasik DM yaitu :

1. Kelompok dengan berat badan lebih (IMT ≥ 23 kg/m 2)yang disertai dengan
satu atau lebih faktor resiko sebagai berikut :
a. Aktivitas fisik yang kurang
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga)
c. Kelompok ras/etnis tertentu
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4
kg atau mempunyai riwayat diabetes mellitus gestasional
e. Hipertensi ≥140/90 mmHG atau sedang mendapat terapi hipertensi
f. HDL < 35 mg/dl atau trigliserida >250 mg/dl
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
h. Riwayat prediabetes
i. Obesitas berat
j. Riwayat penyakit kardiovaskuler
2. Usia >45 tahun tanpa faktor resiko diatas

2.4.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima sesuai
dengan Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien DM.
Tujuan Penatalaksanaan DM adalah :17
Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman
dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan dan profil lipid,melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
1. Diet

22
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% danprotein 10-15%. Untuk menentukan
status gizi, dihitung dengan BMI (Body Mass Indeks). Indeks Massa Tubuh
(IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupupakan alat atau cara yang
sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Untuk mengetahui
nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut:

2. Exercise (latihan fisik/olahraga)


Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih
30 menit, yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval,
Progresive, Endurance (CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan
pasien. Sebagai contoh adalah olah raga ringan jalan kaki biasa selama 30
menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalasmalasan.
3. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan
kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok masyarakat
resiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok
pasien DM. Sedangkan pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier
diberikan kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit
menahun.
4. Obat - obatan : hipoglikemik oral, insulin

23
5. Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi tidak
berhasil mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian
obat hipoglikemik

2.4.9 Kriteria pengendalian DM26


Kriteria pengendalian diasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa,
kadar HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah apabila
kadar glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan,
serta status gizi maupun tekanan darah sesuai target yang ditentukan. Kriteria
keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada Tabel berikut:
Table 2.5Kriteria keberhasilan pengendalian DM
Parameter Sasaran
2
IMT (kg/m ) 18,5 - <23*
Tekanan darah sistolik(mmHg) <140
Tekanan darah diastolik (mmHg) <90
Glukosa darah preprandial 80-130
kapiler (mg/dl)
Glukosa darah 1-2 jam PP kapiler <180
(mg/dl)
HbA1c (%) < 7 (atau individual)
Kolesterol LDL (mg/dl) <100 (<70 bila risiko KV sangat
tinggi) (
Kolesterol HDL (mg/dl) Laki-laki: >40; Perempuan: >50
Trigliserida (mg/dl) <150

2.4.10 Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi
akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu :20,26
1. Komplikasi akut
a. Hipoglikemia, Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah seseorang
di bawahnilai normal (< 70 mg/dl). Hipoglikemia adalah penurunan
konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem
otonom, seperti adanya whipple’s triad:Terdapat gejala-gejala
hipoglikemiayaitu : Kadar glukosa darah yang rendah, gejala berkurang
dengan pengobatan.Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita
DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula

24
darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak
mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat
mengalami kerusakan.
b. Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah
meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan
metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik,
Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
2. Komplikasi Kronis
a. Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yangumum
berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan
darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner
(PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.
b. Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi
pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati
(kebutaan), neuropati, dan amputasi

Penatalaksanaan pada kondisi komplikasi akut dilakukan dengan cepat


untuk menghindari kerusakan yang irreversibel. Pada keadaan hipoglikemi, pasien
harus segera di tatalaksana sesuai tujuannya, yakni:
a. Memenuhi kadar gula darah dalam otak agar tidak terjadi kerusakan
irreversible
b. Tidak mengganggu regulasi DM
Penatalaksaan hipoglikemi berupa:
1. Glukosa oral
2. Glukosa intravena
3. Glucagon 1 mg (SC/IM)
4. Thiamine 100 mg (IV/IM) → pada pasien alcoholic, encephalophaty
5. Monitoring
Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terakit dengan
derajat keparahannya, yaitu :
1. Hipoglikemia berat: Pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk
pemberian karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya.
2. Hipoglikemia simtomatik apabila GDS < 70mg/dL disertai gejala
hipoglikemia.
3. Hipoglikemia asimtomatik apabila GDS <70mg/dL tanpa gejala

25
hipoglikemia.
4. Hipoglikemia relatif apabila GDS > 70mg/dL dengan gejala hipoglikemia.
5. Probable hipoglikemia apabila gejala hipogllikemia tanpa pemeriksaan
GDS.
Rekomendasi pengobatan hipoglikemia:
Hipoglikemia Ringan:
1. Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana)
2. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain
yang berisi glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah.
3. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikkan
glukosa darah.
4. Glukosa 15–20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah
terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar
5. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15
menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15
menit setelah pengobatan hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat
diulang kembali.
6. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal,
pasien diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk mencegah
berulangnya hipoglikemia.

Pengobatan pada hipoglikemia berat:


1. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa
pemberian dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan
dextore 40% sebanyak 25 cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%.
2. Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila kadar
glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian
dextrose 20%.
3. Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1-2 jam kalau masih
terjadi hipoglikemia berulangpemberian Dekstrose 20% dapat diulang
4. Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia.

Terapi hipoglikemi dengan rumus 3-2-1


1. <30 mg/dl : injeksi IV Dex.40% (25cc) bolus 3 flakon
2. 30 – 60 mg/dl : injeksi Dex.40% (25cc) bolus 2 flakon
3. 60-100 mg/dl : injeksi IV Dex.40% (25cc) bolus 1 flakon

26
Follow up
1. Periksa kadar gula darah lagi, 30 menit sesudah injeksi IV
2. Sesudah bolus 3 atau 2 atau 1 flakon setelah 30 menit dapat diberikan 1
flakon lagi sampai 2-3 kali untuk mencapai kadar ≥ 120 mg/dl
Sedangkan pada hiperglikemi, penatalaksaan diberikan berdasarkan kadar
gula darah sebelum diberikan terapi insulin injeksi subkutan. Tatalaksana
hiperglikemi :
Kadar gula darah Regulasi cepat intra Regulasi cepat subkutan
(sebelum RC) vena (rumus minus satu) (maintenance) (rumus kali2)

200-300 1 x (4 unit/jam) 3 x 4 unit

300-400 2x (4 unit/jam) 3x6 unit

400-500 3x (4 unit/jam) 3x8 unit

500-600 4x (4unit/jam) 3x10 unit

600-700 5x (4 unit/jam) 3 x 12 unit

2.4.11 Tindakan operatif pada pasien diabetes mellitus


Tindakan operatif yang dilakukan pada pasien dengan hiperglikemi dapat
meningkatkan resiko terjadinya sepsis pasca operasi, disfungsi endotel, iskemia
serebral, dan penyembuhan luka yang terganggu. Selain itu, respons stres juga
dapat menyebabkan patologi diabetes lainnya termasuk ketoasidosis diabetes
(DKA) atau sindrom hipermolar hiperglikemik (HHS) selama operasi atau pasca
operasi. Namun, bukti terbaru menunjukkan bahwa penanganan kadar glukosa
hati-hati pada pasien yang menjalani operasi besar dapat meminimalkan sekuel
negatif tersebut dan secara keseluruhan meningkatkan hasil yang lebih baik. Rata-
rata, penderita diabetes memerlukan lebih banyak rawat inap, masa tinggal lebih
lama, dan biaya lebih banyak untuk dikelola daripada nondiabetik.28,29,30
Tindakan operatif yang dilakukan pada pasien hipoglikemi yang tidak
dimanajemen dengan baik dapat menyebabkan komplikasi neurologi seperti
penurunan kesadaran, kejang, bahkan kematian.28,29,30
Beberapa persiapan sebelum operasi, antara lain melakukan pengendalian
metabolik (kadar glukosa darah puasa < 140 mg/dL, kadar glukosa darah 2 jam
setelah makan <200 mg/dL), serta menentukan keadaan kardiovaskular, neurologi,

27
dan fungsi ginjal. Penatalaksanaan pasien DM perioperative tergantung dari berat
ringannya tindakan pembedahan.31
Penatalaksanaan pasca tindakan operasi pada operasi besar, infus dekstrosa
dan insulin harus diteruskan sampaipasien bisa makan, kemudian dimulai dengan
pemberian insulin subkutansesuai kebutuhan. Bagi pasien yang memerlukan
nutrisi enteral tetapdianjurkan pemberian insulin kerja singkat setiap enam jam
dan perlupengawasan untuk menghindari terjadinya hipoglikemia. Pasien yang
tidakbisa makan dan harus mendapat nutrisi parenteral dapat mengalami gangguan
metabolik yang berat. Kadar glukosadarah dipertahankan pada kisaran 80 – 110
mg/dL untuk pasien kritis dankisaran 90 – 140 mg/dL untuk pasien operasi
lainnya.31

2.4.12 Hubungan diabetes mellitus dan periodontitis


Periodontitis telah diidentifikasi sebagai komplikasi diabetes. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa diabetes menjadi faktor risiko prevalensi dan
keparahan gingivitis (peradangan gingiva) dan periodontitis (peradangan jaringan
periodonsium). Gingivitis dan periodontitis, yang etiologi utamanya adalah plak
dan kalkulus, mempunyai ciri khas. Gingivitis ditandai dengan meningkatnya
produksi cairan sulkus gingiva dan perdarahan saat probing pada sulkus gingiva
(bleeding on probing). Selain itu, gingiva akan tampak merah atau merah
kebiruan, terasa lunak, memiliki permukaan licin dan mengilat atau kesat dan
membulat. Pada gingivitis, tidak terjadi kehilangan perlekatan. 34 Periodontitis
mempunyai ciri ciri peradangan gingiva yang mirip gingivitis. Akan tetapi, pada
banyak kasus periodontitis inflamasi gingiva sangat kecil dan sulit dideteksi.
Periodontitis dapat dideteksi dengan adanya poket periodontal, peradangan
gingiva, serta hilangnya perlekatan. Selain itu, gambaran radiografi juga
menunjukkan adanya kehilangan tulang.34

Diabetes diasosiasikan dengan respons inflamasi berlebih gingiva


terhadap plak. Secara umum, pasien dengan diabetes terkontrol dan pasien tanpa
diabetes mempunyai tingkat gingivitis yang serupa apabila jumlah plak pada
kedua kelompok tersebut serupa juga. Sementara itu, pasien diabetes tidak
terkontrol mempunyai tingkat gingivitis lebih parah dibandingkan pasien tanpa

28
32,34,
diabetes atau pasien dengan diabetes terkontrol. Terdapat pula asosiasi erat
antara diabetes dengan periodontitis. Sebuah penelitian longitudinal menunjukkan
bahwa pasien DM tipe 2 dewasa mempunyai risiko kehilangan tulang alveolar
progresif empat kali lipat lebih besar dibandingkan orang dewasa tanpa diabetes.
Seperti gingivitis, pasien diabetes dengan kontrol glikemik buruk juga mempunyai
risiko perkembangan periodontitis dan risiko kehilangan perlekatan lebih besar
dibandingkan pasien diabetes yang kontrol glikemiknya baik.32,34, 38

2.4.12.1 Efek diabetes mellitus terhadap jaringan periodonsium


Pada awalnya, peneliti memfokuskan studi terhadap mikroba subgingiva
pada pasien dengan atau tanpa diabetes. Penelitian awal menunjukkan
peningkatan jumlah bakteri tertentu pada poket pasien diabetes. Akan tetapi,
penelitian lanjutan menunjukkan hal sebaliknya: patogen penyebab periodontitis
tidak banyak berbeda pada pasien dengan atau tanpa diabetes. Oleh sebab itu,
peneliti mulai memfokuskan perhatian terhadap perbedaan respons inflamasi imun
pada kedua kelompok tersebut.32
Pada penderita diabetes, fungsi beberapa sel yang berperan dalam respons
inflamasi seperti neutrofil, monosit, dan makrofag mengalami perubahan.
Terdapat defisiensi fungsi neutrofil yang menyebabkan terhambatnya kemotaksis,
fagositosis, serta perlekatan sel. Sel-sel tersebut merupakan lini awal pertahanan
tubuh sehingga inhibisi fungsinya akan menghambat destruksi bakteri pada poket
dan meningkatkan destruksi jaringan periodontal. Selain itu, makrofag dan
monosit juga meningkatkan produksi pro-inflammatory cytokine serta mediator
mediator lain seperti tumor necrosis faktor (TNF-α). Peningkatan produksi
tersebut akan memperparah destruksi sel host.32,34,38

Pada pasien diabetes, fibroblas yang merupakan sel reparatif primer pada
jaringan periodonsium tidak dapat berfungsi dengan baik. Selain sintesis kolagen
yang berkurang, kolagen yang diproduksi fibroblas rentan terdegradasi oleh enzim
matriks metalloproteinase yang jumlah produksinya meningkat pada pasien
diabetes. Selain itu, pada kondisi hiperglikemik, terjadi pula inhibisi proliferasi
osteoblas yang menurunkan pembentukan tulang serta properti mekanik dari
tulang yang baru terdeposisi.32,39

29
Pembentukan Advanced Glycation End Products (AGEs) Salah satu
komplikasi mayor diabetes adalah perubahan integritas mikrovaskular, yang
sering menyebabkan kerusakan organ seperti retinopati dan nefropati. Pada
kondisi hiperglikemik, protein serta molekul matriks mengalami non-enzymatic
glycosylation yang menghasilkan advanced glycation end products (AGEs) pada
jaringan, termasuk jaringan periodonsium. AGEs merupakan rantai utama yang
menghubungkan banyak komplikasi diabetes karena AGEs menyebabkan
abnormalitas fungsi sel endotel serta perubahan pertumbuhan dan proliferasi
pembuluh darah kapiler.32,34,39 Akumulasi AGEs pada pasien diabetes
meningkatkan intensitas respons inflamasi monosit dan makrofag, yang
ditunjukkan dengan meningkatnya produksi proinfl ammatory cytokine seperti IL-
1α dan TNF-α. Selain itu, AGEs juga berinteraksi dengan kolagen dan membuat
kolagen lebih sulit diperbaiki bila mengalami kerusakan. Akibatnya, kolagen
pasien diabetes lebih mudah terdegradasi. 32,39

2.4.12.2 Efek penyakit periodontal terhadap diabetes melitus


Mekanisme pengaruh penyakit periodontal terhadap diabetes baru
diketahui belakangan ini Pada pasien dengan penyakit periodontal sering
ditemukan peningkatan kadar proinfl ammatory cytokine. Pada pasien diabetes,
respons imun berlebih akan lebih meningkatkan lagi produksi proinfl ammatory
cytokines. Hal ini menyebabkan peningkatan resistensi terhadap insulin dan
mempersulit kontrol glukosa darah.32

Beberapa studi juga menunjukkan bahwa pasien periodontitis, terutama


yang jaringan periodontalnya dikolonisasi oleh bakteri gram negatif seperti P.
gingivalis, Tannerella forsynthesis, dan Prevotella intermedia, mempunyai lebih
banyak marker peradangan seperti C-reactive protein (CRP), IL-6, dan fi brinogen
dibandingkan pasien tanpa periodontitis. Peningkatan resistensi insulin dan
penurunan kontrol glikemik juga ditemukan pada pasien periodontitis tersebut. 11
Terapi periodontal akan mereduksi peradangan lokal, yang diikuti dengan
penurunan level C-reactive protein (CRP), IL-6,dan TNF-α serta kontrol glikemik
yang lebih baik. Hal ini membuktikan bahwa kondisi lokal pada jaringan
periodontal sangat mempengaruhi kondisi sistemik.32,39

30
2.4.13 Halitosis pada pasien diabetes mellitus
Halitosis didefinisikan sebagai bau tidak enak yang keluar dari rongga
mulut, tanpa melihat sumber bahan odorus dalam nafas baik dari oral maupun
non-oral.40 Berdasarkan penyebabnya, halitosis dapat dikelompokkan menjadi
intraoral atau faktor lokal dan ekstraoral atau faktor sistemik. Dalam rongga
mulut, bau mulut biasanya disebabkan karena kebersihan mulut yang buruk,
gingivitis, periodontitis, soket gigi yang terinfeksi, sisa darah post bedah, debri
yang melekat pada bahan alat gigi, ulser mulut, serostomia dan tongue coating.
Penyebab ekstraoral dari halitosis antara lain sinusitis kronik, faringitis, laringitis,
tonsilitis dan tonsiloliths. Selain itu, penggunaan obat-obatan seperti kloral hidrat,
isorbid dinitrat, dimetil sulfoksida, dilsulfiram, bahan sitotoksik, paraldehid, dan
triamteren serta penyakit sistemik seperti diabetes melitus, penyakit pada sistem
respiratorius atau gastrointestinal, gagal organ hepar atau renal, dan gangguan
metabolik trimetilamin juga berperan dalam timbulnya halitosis.40,41
Pada halitosis ekstraoral, 90% substansi penyebab dalam saluran
gastrointestinal adalah asam lemak (asam asetat, asam propionik dan asam
butirat), 6,5% amoniak dan sisanya adalah komponen sulfur (hidrogen sulfida,
dan metil merkaptan) dan komponen nitrogen (indol, skatol, piridin, pirol,
amonia, trimetilamin).40.41
Penyakit diabetes melitus adalah suatu kondisi medis yang menyebabkan
tubuh memiliki gula darah tinggi yang disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh
untuk menghasilkan jumlah cukup insulin atau ketidakmampuannya untuk
merespon insulin. Kadar gula darah yang tidak terkontrol dan berfluktuasi ini
membuat orang dengan kondisi diabetes lebih rentan terhadap penyakit gusi atau
mulut yang menyebabkan bau mulut. Bau mulut yang disebabkan terjadinya
peningkatan kadar keton dalam aliran darah. Tingginya tingkat keton akan
meningkatkan pH darah. Dalam upaya untuk membawa pH turun kembali, tubuh
berusaha menyingkirkan keton melalui paru-paru dan urine sehingga
menyebabkan bau mulut.

31

You might also like