You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seringkali peneliti mengamati beberapa parameter dari sampling atau satuan


pengamatan yang sama. Sebagai contoh, pada penelitian pengujian suatu jenis
pupuk tertentu, selain mencatat hasil padi, mungkin juga Peneliti ingin mencatat
beberapa respons lainnya, seperti jumlah bulir, berat 100 biji, jumlah anakan,
serapan Nitrogen, serapan kalium dsb. Apabila hanya terdapat dua variabel yang
dicatat, dikatakan bivariate, sedangkan apabila lebih, dikatakan multivariate.
Variabel yang di catat tersebut nilainya bersifat acak, sehingga dikatakan sebagai
variabel acak. Berbeda dengan dosis pupuk yang sudah ditentukan sebelumnya,
variabel pupuk tersebut bersifat tetap, sehingga dikatakan variabel tetap. Mungkin
saja, selain peneliti ingin melihat hubungan antara dosis pupuk (faktor) dengan hasil
padi (respons) , dia juga ingin melihat hubungan di antara pasangan variabel-
variabel respons yang dia amati. Apakah peningkatan serapan nitrogen seiring
dengan peningkatan hasil atau justru sebaliknya dan bagaimanakah pula kekuatan
hubungannya? Kekuatan dan arah hubungan linier di antara kedua variabel tersebut
bisa dijelaskan dengan ukuran statistik yang dinamakan dengan “koefisien korelasi”.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan uji hubungan Koefisien Korelasi ?

C. Tujuan

1. Agar mahasiswa mengetahui uji hubungan Koefisien Korelasi

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Koefisien Korelasi

Koefisien korelasi mengukur kekuatan dan arah hubungan linier dari dua
veriabel. Harus diingat bahwa nilai koefisien korelasi yang kecil (tidak signifikan)
bukan berarti kedua variabel tersebut tidak saling berhubungan. Mungkin saja dua
variabel mempunyai keeratan hubungan yang kuat namun nilai koefisien
korelasinya mendekati nol, misalnya pada kasus hubungan non linier. Dengan
demikian, koefisien korelasi hanya mengukur kekuatan hubungan linier dan tidak
pada hubungan non linier.

Harus diingat pula bahwa adanya hubungan linier yang kuat di antara variabel
tidak selalu berarti ada hubungan kausalitas, sebab-akibat. Kedua pasang variabel, x
dan y bisa saja nilai koefisien korelasinya tinggi sebagai akibat adanya faktor z.
Sebagai contoh, suhu (x) dengan tekanan udara (y) mungkin saja nilai koefisien
korelasinya tinggi, namun belum tentu keduanya menunjukkan adanya hubungan
sebab akibat (misal, semakin rendah suhu udara maka tekanan udara akan semakin
rendah). Adanya korelasi suhu dan tekanan udara tersebut bisa saja semata-mata
sebagai akibat dari perubahan ketinggian (z) suatu tempat, semakin tinggi tempat
maka baik suhu ataupun tekanan udara akan semakin menurun. (meskipun secara
teoritis memang terdapat hubungan sebanding antara suhu dan tekanan: PV = nRT).
Dengan demikian, Korelasi hanya menjelaskan kekuatan hubungan tanpa
memperhatikan hubungan kausalitas, mana yang dipengaruhi dan mana yang
mempengaruhi. Kedua variabel masing-masing bisa berperan sebagai Variabel X
maupun Variabel Y.

a. Karakteristik korelasi

 Nilai r selalu terletak antara -1 dan +1

2
 Nilai r tidak berubah apabila seluruh data baik pada variabel x, variabel y,
atau keduanya dikalikan dengan suatu nilai konstanta (c) tertetu (asalkan c ≠
0).

 Nilai r tidak berubah apabila seluruh data baik pada variabel x, variabel y,
atau keduanya ditambahkan dengan suatu nilai konstanta (c) tertetu.

 Nilai r tidak akan dipengaruhi oleh penentuan mana variabel x dan mana
variabel y. Kedua variabel bisa saling dipertukarkan.

 Nilai r hanya untuk mengukur kekuatan hubungan linier, dan tidak dirancang
untuk mengukur hubungan non linier

b. Asumsi

Asumsi untuk analisis korelasi:

1. Sampel data berpasangan (x, y) berasal dari sampel acak dan merupakan data
kuantitatif.
2. Pasangan data (x, y) harus berdistribusi normal.

Harus diingat bahwa analisis korelasi sangat sensitif terhadap data pencilan
(outliers)!

Asumsi bisa dicek secara visual dengan menggunakan:

 Boxplots, histograms & univariate scatterplots untuk masing-masing variabel


 Bivariate scatterplots

Apabila tidak memenuhi asumsi misalnya data tidak berdistribusi normal (atau ada
nilai data pencilan), kita bisa menggunakan korelasi Spearman (Spearman rank
correlation), korelasi untuk analisis non-parametrik.

c. Pengujian Koefisien Korelasi

3
Terdapat dua metode yang biasa digunakan untuk menguji kebermaknaan
koefisien korelasi. Metode pertama dengan menggunakan Uji-t dan Metode
kedua dengan menggunakan tabel r.

Bagan Alir untuk pengujian hipotesis:

Catatan:

Nilai tabel kritis r bisa di lihat pada tabel di bawah ini. Nilai kritis r selengkapnya
bisa di lihat pada link berikut critical-values-of-the-pearson-correlation-coeffiecient-
r:

4
Faktor yang akan mempengaruhi nilai uji korelasi:

d. Ukuran koefisien korelasi dan ukuran/banyaknya sampel.

Contoh Terapan

Berikut adalah data usia, berat, dan tekanan darah.

A
Weig Systolic
Individual g
ht Pressure
e
3
A 45 108
4
4
B 44 129
3
4
C 56 126
9
5
D 57 149
8
6
E 65 168
4
7
F 63 161
3
7
G 55 174
8

Untuk kasus ini, kita ingin melihat apakah terdapat hubungan linier antara usia
dengan tekanan darah sistolik? Taraf nyata yang digunakan adalah 5%.

Hipotesis:

5
H0: ρ = 0 vs H1: ρ ≠ 0

Eksplorasi Data

Berdasarkan diagram pencar (scatterplot), tampak bahwa sebaran titik-titik


mengikuti pola linier dengan kemiringan positif, yang berarti terdapat hubungan
yang sejalan antara usia dengan tekanan darah sistolik. Dengan demikian, kita bisa
menggunakan koefisien korelasi untuk menentukan apakah hubungan linier kedua
variabel tersebut bermakna atau tidak. Apabila pola hubungannya tidak linier, kita
tidak tepat menggunakan koefisien korelasi karena nilai r hanya untuk mengukur
kekuatan dan arah hubungan linier antara kedua varibel kuantitatif.

Asumsi:

Kedua data berasal dari data kuantitatif. Selanjutnya apakah sebaran kedua variabel
berdistribusi normal?

Uji Formal:

H0: data berdistribusi normal

H1: data tidak berdistribusi normal

6
Interpretasi:

Apabila nilai sig (p-value) ≤ 0.05, maka Tolak H0 yang berarti data tidak
berdistribusi normal

Apabila nilai sig (p-value) > 0.05, maka Terima H0 yang berarti data
berdistribusi normal

Pada kasus di atas, nilai p-value untuk kedua variabel > 0.05, sehingga kita bisa
menyimpulkan bahwa data berdistribusi normal.

Tampak bahwa uji normalitas untuk kedua variabel tersebut memenuhi


persyaratan, sebarannya mengikuti distribusi normal, baik dengan menggunakan Uji
Kolmogorov-Smirnov ataupun Shapiro-Wilk.

Grafis:

7
Secara grafis juga tampak bahwa kedua variabel tersebut berdistribusi normal.
Penggunaan box plot untuk melihat apakah sebaran data berdistribusi normal
ataukah tidak, diuraikan pada topik: Mengenal Box Plot

Perhitungan nilai koefisien korelasi (r)

Age Systolic Pressure


No X2 Y2 XY
(X) (Y)
115 1166 367
1 34 108
6 4 2
184 1664 554
2 43 129
9 1 7
240 1587 617
3 49 126
1 6 4
336 2220 864
4 58 149
4 1 2
409 2822 107
5 64 168
6 4 52
532 2592 117
6 73 161
9 1 53
608 3027 135
7 78 174
4 6 72
242 1508 601
Jumlah 399 1015
79 03 12
Rata-rata 57 145

Pengujian Hipotesis

Metode 1:

8
Tentukan nilai t-tabel dengan taraf nyata (α)= 5% dan db = n-2.

Dari tabel distribusi t, kita peroleh: t(0.05/2, 5)= 2.57

Bandingkan t-hitung dengan t-tabel:

Dari hasil perhitungan, kita peroleh nilai t-hitung = 7.30 dan t-tabel = 2.57. Jelas bahwa
nilai |t-hitung| > t-tabel sehingga Tolak H0 dan Terima H1. Dengan demikian, kita bisa
menyatakan bahwa terdapat hubungan linier antara usia dengan tekanan darah sistolik.

Metode 2:

Bandingkan nilai |r| dengan nilai tabel kritis r untuk n = 7. Nilai r pada tabel kritis =
0.754.

Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai r = 0.956. Jelas bahwa |r|> 0.754 sehingga kita
bisa menyimpulkan bahwa terdapat hubungan linier antara usia dengan tekanan darah
sistolik.

Output Analisis dengan menggunakan SPSS

Kita bisa menyatakan seperti ini:

Korelasi antara usia dengan tekanan darah sistolik: r(7) = 0.956; p < 0.01

9
Koefisien Determinasi

Nilai koefisien determinasi diatas menyatakan proporsi keragaman Tekanan darah


sistolik yang dapat diterangkan/dijelaskan oleh hubungan linier antara variabel usia dan
tekanan darah sistolik. Berdasarkan hasil analisis, kita yakin 95% bahwa sekitar 91%
variasi tinggi rendahnya tekanan darah sistolik ditentukan oleh usia seseorang.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Korelasi Pearson merupakan salah satu ukuran korelasi yang digunakan untuk
mengukur kekuatan dan arah hubungan linier dari dua veriabel. Dua variabel
dikatakan berkorelasi apabila perubahan salah satu variabel disertai dengan
perubahan variabel lainnya, baik dalam arah yang sama ataupun arah yang
sebaliknya. Harus diingat bahwa nilai koefisien korelasi yang kecil (tidak
signifikan) bukan berarti kedua variabel tersebut tidak saling berhubungan.

10
Mungkin saja dua variabel mempunyai keeratan hubungan yang kuat namun nilai
koefisien korelasinya mendekati nol, misalnya pada kasus hubungan non linier.
Dengan demikian, koefisien korelasi hanya mengukur kekuatan hubungan linier dan
tidak pada hubungan non linier. Harus diingat pula bahwa adanya hubungan linier
yang kuat di antara variabel tidak selalu berarti ada hubungan kausalitas, sebab-
akibat.

B. Saran
Dari hasil pembahasan diatas, maka disarankan agar mahasiswa dapat
memanfaatkan informasi yang diberikan secara baik.

DAFTAR PUSTAKA

http://smartstat.wordpress.com/2010/11/21/korelasi-pearson/

11

You might also like