You are on page 1of 20

Pengadaan

Berdasarkan PP 51 2009, Pasal 6 :

(1)Pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada fasilitas produksi, fasilitas distribusi atau
penyaluran dan fasilitas pelayanan sediaan farmasi.

(2) Pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
oleh Tenaga kefarmasian.

(3) Pengadaan Sediaan Farmasi harus dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat dan
khasiat Sediaan Farmasi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

Tujuan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan adalah :

1. Tersedianya obat dan perbekalan kesehatan dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai
kebutuhan pelayanan kesehatan.

2. Mutu obat dan perbekalan kesehatan terjamin.

3. Obat dan perbekalan kesehatan dapat diperoleh pada saat diperlukan.

Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan perencanaan


kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang
tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan merupakan
kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah yang
dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan,
pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan
pembayaran.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai antara lain:

a. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa.

b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS).

c. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus mempunyai
Nomor Izin Edar.

d. Masa kadaluarsa (expired date) minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-lain),
atau pada kondisi tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan. Rumah Sakit harus
memiliki mekanisme yang mencegah kekosongan stok Obat yang secara normal tersedia
di Rumah Sakit dan mendapatkan Obat saat Instalasi Farmasi tutup.
METODE PELAKSANAAN PENGADAAN OBAT Terdapat banyak mekanisme
metode pengadaan obat, baik dari pemerintah, organisasi nonpemerintahan dan organisasi
pengadaan obat lainnya. Sesuai dengan keputusan Presiden No.18 Tahun 2000 tentang
Pedoman Pelaksanaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah, metode pengadaan
perbekalan farmasi di setiap tingkatan pada sistem kesehatan dibagi menjadi 5 kategori
metode pengadaan barang dan jasa, yaitu:

1. Pembelian
PEMBELIAN Pembelian adalah rangkaian proses pengadaan untuk mendapatkan
perbekalan farmasi. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden RI No. 94 tahun
2007 tentang Pengendalian dan Pengawasan atas Pengadaan dan Penyaluran
Bahan Obat, Obat Spesifik dan Alat Kesehatan yang Berfungsi Sebagai Obat dan
Peraturan Presiden RI No. 95 tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh atas
Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Proses pembelian mempunyai beberapa
langkah yang baku dan merupakan siklus yang berjalan terus-menerus sesuai
dengan kegiatan rumah sakit. Langkah proses pengadaan dimulai dengan
mereview daftar perbekalan farmasi yang akan diadakan, menentukan jumlah
masing-masing item yang akan dibeli, menyesuaikan dengan situasi keuangan,
memilih metode pengadaan, memilih rekanan, membuat syarat kontrak kerja,
memonitor pengiriman barang, menerima barang, melakukan pembayaran serta
menyimpan kemudian mendistribusikan

a. Pelelangan umum Adalah metoda pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan


secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan
pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang
berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. Semua pemilihan penyedia
barang/jasa pemborongan/jasa lainnya pada prinsipnya dilakukan dengan pelelangan
umum.

b. Pemilihan terbatas Yaitu pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan


membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 penawaran dari
penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis
maupun biaya serta harus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untuk
penerangan umum dan bila memungkinkan melalui internet, pemilihan langsung dapat
dilaksanakan untuk pengadaan yang bernilai sampai dengan Rp100.000.000,00.

c. Penunjukan langsung Dalam hal jumlah penyedia barang/jasa yang mampu


melaksanakan diyakini terbatas yaitu untuk pekerjaan yang kompleks, maka pemilihan
penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan metoda pelelangan terbatas dan diumumkan
secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan
penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada
penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi.
d. Penunjukkan langsung Dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan
penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung terhadap 1
penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya
sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.

2. Swakelola

3. Produksi Kriterianya adalah obat lebih murah jika diproduksi sendiri, Obat tidak
terdapat di pasaran atau formula khusus Rumah Sakit.

4. Obat untuk penelitian

5. Kerja sama dengan pihak ketiga

6. sumbangan/droping/hibah. Pembelian dengan penawaran yang kompetitif (tender)


merupakan suatu metode penting untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara mutu
dan harga, apabila ada dua atau lebih pemasok, apoteker harus mendasarkan pada kritera
berikut: mutu produk, reputasi produsen, harga, berbagai syarat, ketepatan waktu
pengiriman, mutu pelayanan pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang barang yang
dikembalikan, dan pengemasan.

7. . PRODUKSI Produksi perbekalan farmasi di rumah sakit merupakan kegiatan


membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau nonsteril
untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kriteria perbekalan
farmasi yang diproduksi:

a. Seidaan farmasi dengan formula khusus

b. Seidaan farmasi dengan mutu sesuai standar denan harga lebih murah

c. Sediaan farmasi yang memerlukan pengemasan kembali

d. Seidaan farmasi yang tidak tersedia dipasaran

e. Sediaan farmasi untuk penelitian

f. Sediaan nutrisi parenteral

g. Rekonstitusi sediaan perbekalan farmasi sitostatika

h. Sediaan farmasi yang harus selalu dibuat baru

Pada proses pengadaan ada 3 elemen penting yang harus diperhatikan:

1. Pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan “biaya tinggi”

2. Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja (harga kontrak = visible cost + hidden cost),
sangat penting utuk menjaga agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu (misalnya
persyaratan masa kadaluwarsa, sertifikat analisa/standar mutu, harus mempunyai Material
Safety Data Sheet (MSDS), untuk bahan berbahaya, khusus untuk alat kesehatan harus
mempunyai certificate of origin, waktu dan kelancaran bagi semua pihak, dan lain-lain.

3. Order pemesanan agar barang dapat sesuai macam, waktu, dan tempat. Beberapa jenis
obat, bahan aktif yang mempunyai masa kadaluwarsa relatif pendek harus diperhatikan
waktu pengadaannya. Untuk itu harus dihindari pengadaan dalam jumlah besar. Guna
menjamin tata kelola perbekalan farmasi yang baik, dalam proses pengadaan harus
diperhatikan adanya:

1. Prosedur yang transparan dalam proses pengadaan

2. Mekanisme penyanggahan bagi peserta tender yang diolak penawarannya.

3. Prosedur tetap untuk pemeriksaan rutin consignments (pengiriman).

4. Pedoman tertulis mengenai metode pengadaan bagi panitia pengadaan

5. Pernyataan dari anggota panitia pengadaan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai
konflik kepentingan.

6. SOP dalam pengadaan.

7. Kerangka acuan bagi panitia pengadaan selama masa tugasnya.

8. Pembatasan masa kerja anggota panitia pengadaan misalkan maksimal 3 tahun.

9. Standar kompetensi bagi anggota tim pengadaan, panitia harus mempunyai Sertifikat
Pengadaan Barang dan Jasa.

10. Kriteria tertentu untuk menjadi anggota panitia pengadaan terutama: integritas,
kredibilitas, rekam jejak yang baik.

11. Sistem manajemen informasi yang digunakan untuk melaporkan produk perbekalan
farmasi yang bermasalah.

12. Sistem yang efsien untuk memonitor post tender dan pelaporan kinerja pemasok
kepada panitia pengadaan.

13. Audit secara rutin pada proses pengadaan

Kriteria Obat dan Perbekalan Kesehatan.

1. Kriteria Umum.

a. Obat termasuk dalam daftar obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD), obat program
kesehatan, obat generik yang tercantum dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
yang masih berlaku.
b. Obat dan perbekalan kesehatan telah memiliki izin edar atau Nomor Registrasi dari
Departemen Kesehatan RI/Badan POM.

c. Batas kadaluwarsa obat dan perbekalan kesehatan pada saat diterima oleh panitia
penerimaan minimal 24 (dua puluh empat) bulan.

d. Khusus untuk vaksin dan preparat biologis ketentuan kadaluwarsa diatur tersendiri.

e. Obat dan perbekalan kesehatan memiliki Sertifikat Analisa dan uji mutu yang sesuai
dengan Nomor Batch masing-masing produk.

f. Obat diproduksi oleh Industri Farmasi yang memiliki Sertifikat CPOB untuk masing-
masing jenis sediaan yang dibutuhkan.

2. Kriteria mutu obat dan perbekalan kesehatan. Mutu dari obat dan perbekalan kesehatan
harus dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria mutu obat dan perbekalan kesehatan adalah
sebagai berikut :

a. Persyaratan mutu obat dan perbekalan kesehatan harus sesuai dengan persyaratan mutu
yang tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir dan persyaratan lain sesuai
peraturan yang berlaku.

b. Industri Farmasi bertanggungjawab terhadap mutu obat hasil produksinya. melalui


pemeriksaan mutu (Quality Control) yang dilakukan oleh Industri Farmasi.

Persyaratan Pemasok. Pemilihan pemasok adalah penting karena dapat mempengaruhi


kualitas dan kuantitas obat dan perbekalan kesehatan. Persyaratan pemasok antara lain :

1. Memiliki izin Pedagang Besar Farmasi ( PBF ) yang masih berlaku. Pedagang Besar
Farmasi terdiri pusat maupun cabang. Izin Pedagang Besar Farmasi pusat dikeluarkan
oleh Departemen Kesehatan sedangkan izin untuk Pedagang Besar Farmasi Cabang
dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi.

2. Pedagang Besar Farmasi (PBF) harus memiliki dukungan dari Industri Farmasi yang
memiliki sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) bagi masing-masing jenis
sediaan obat yang dibutuhkan.

3. Pedagang Besar Farmasi harus memiliki reputasi yang baik dalam bidang pengadaan
obat, misalnya dalam pelaksanaan kerjanya tepat waktu.

4. Pemilik dan atau Apoteker/Asisten Apoteker penanggungjawab Pedagang Besar


Farmasi tidak sedang dalam proses pengadilan atau tindakan yang berkaitan dengan
profesi kefarmasian.

5. Mampu menjamin kesinambungan ketersediaan obat sesuai dengan masa kontrak.

C. Penilaian Dokumen Data Teknis. Penilaian dokumen data teknis antara lain :
1. Surat Ijin Edar (Nomor Registrasi) tiap produk yang ditawarkan. Penilaian didasarkan
atas kebenaran dan keabsahan Surat Ijin Edar (Nomor Registrasi).

2. Sertifikat CPOB untuk tiap bentuk masing-masing jenis sediaan yang ditawarkan.
(Fotokopi yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang dari Industri Farmasi).

Surat Dukungan dari Industri Farmasi untuk obat yang diproduksi dalam negeri yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Industri farmasi (asli).

4. Surat Dukungan dari sole agent untuk obat yang tidak diproduksi di dalam negeri yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari sole agent tersebut (asli).

5. Surat pernyataan bersedia menyediakan obat dengan masa kadaluarsa minimal 24 (dua
puluh empat) bulan sejak diterima oleh panitia penerimaan.

6. Surat Keterangan (referensi) pekerjaan dari Instansi Pemerintah/swasta untuk


pengadaan obat.

Pengadaan di RS era BPJS :

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63


TAHUN 2014 TENTANG PENGADAAN OBAT BERDASARKAN KATALOG
ELEKTRONIK (E-CATALOGUE)

Pengadaan secara elektronik atau E-Procurement merupakan pengadaan barang/jasa yang


dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemajuan teknologi informasi lebih
mempermudah dan mempercepat proses pengadaan barang/jasa, karena penyedia
barang/jasa tidak perlu lagi datang ke Kantor Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan
(Pokja ULP) untuk melihat, mendaftar dan mengikuti proses pelelangan, tetapi cukup
melakukannya secara online pada website pelelangan elektronik.

A. Persiapan Pengadaan obat dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Unit Layanan


Pengadaan (Pokja ULP) atau Pejabat Pengadaan Satuan Kerja berdasarkan
perintah dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satuan Kerja di bidang
kesehatan baik Pusat maupun Daerah dan FKTP atau FKRTL dengan tahapan
sebagai berikut:
1. Satuan Kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun Daerah dan FKTP atau
FKRTL menyampaikan rencana kebutuhan obat kepada PPK.
2. PPK melihat Katalog Elektronik (E-Catalogue) obat dalam Portal Pengadaan
Nasional yang memuat nama provinsi, nama obat, nama penyedia, kemasan,
harga satuan terkecil, distributor dan kontrak payung penyediaan obat.
3. PPK menetapkan Daftar Pengadaan Obat sesuai kebutuhan dan ketersediaan
anggaran yang terdiri atas:
a. Daftar Pengadaan Obat berdasarkan Katalog Elektronik (ECatalogue) obat
sebagaimana contoh Formulir 2, yaitu daftar kebutuhan obat yang tercantum
dalam sistem Katalog Elektronik (E-Catalogue) obat yang ditayangkan di
Portal Pengadaan Nasional.
b. Daftar Pengadaan Obat di luar Katalog Elektronik (ECatalogue) obat
sebagaimana contoh Formulir 3, yaitu daftar kebutuhan obat yang tidak
terdapat dalam Katalog Elektronik (E-Catalogue) obat. Kedua Daftar
Pengadaan Obat tersebut harus ditandatangani oleh PPK.

4. Daftar Pengadaan Obat berdasarkan Katalog Elektronik (ECatalogue) obat


sebagaimana contoh Formulir 2 yang sudah ditandatangani selanjutnya diteruskan oleh
PPK kepada Pokja ULP/Pejabat Pengadaan untuk diadakan dengan metode E–
Purchasing.

5. Daftar Pengadaan Obat di luar Katalog Elektronik (E-Catalogue) obat sebagaimana


contoh Formulir 3 selanjutnya diteruskan oleh PPK kepada Pokja ULP/Pejabat
Pengadaan untuk diadakan dengan metode lainnya sesuai Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012.

B. Pengadaan Obat Dengan Prosedur E-Purchasing Pembelian obat secara elektronik (E-
Purchasing) berdasarkan sistem Katalog Elektronik (E-Catalogue) obat dilaksanakan oleh
PPK dan Pokja ULP atau Pejabat Pengadaan melalui aplikasi E-Purchasing pada website
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), sesuai Peraturan Kepala Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 17 Tahun 2012 tentang E-
Purchasing.

ULP atau Pejabat Pengadaan harus memiliki kode akses (user ID dan password) dengan
cara melakukan pendaftaran sebagai pengguna kepada LPSE setempat. Tahapan yang
dilakukan dalam pengadaan obat melalui EPurchasing adalah sebagai berikut:

1. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat dalam aplikasi E-


Purchasing berdasarkan Daftar Pengadaan Obat sebagaimana tercantum dalam Formulir 2
yang diberikan oleh PPK. Paket pembelian obat dikelompokkan berdasarkan penyedia. 2.
Pokja ULP/Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan pembelian obat
kepada penyedia obat/Industri Farmasi yang termasuk dalam kelompok paket pengadaan
sesuai angka 1.

3. Penyedia obat/Industri Farmasi yang telah menerima permintaan pembelian obat


melalui E-Purchasing dari Pokja ULP/Pejabat Pengadaan memberikan persetujuan atas
permintaan pembelian obat dan menunjuk distributor/PBF. Apabila menyetujui, penyedia
obat/Industri Farmasi menyampaikan permintaan pembelian kepada distributor/PBF
untuk ditindaklanjuti. Apabila menolak, penyedia obat/Industri Farmasi harus
menyampaikan alasan penolakan.
4. Persetujuan penyedia obat/Industri Farmasi kemudian diteruskan oleh Pokja
ULP/Pejabat Pengadaan kepada PPK untuk ditindaklanjuti. Dalam hal permintaan
pembelian obat mengalami penolakan dari penyedia obat/Industri Farmasi, maka ULP
melakukan metode pengadaan lainnya sesuai Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012.

5. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/kontrak jual beli terhadap obat yang telah
disetujui dengan distributor/PBF yang ditunjuk oleh penyedia obat/Industri Farmasi.

6. Distributor/PBF kemudian melaksanakan penyediaan obat sesuai dengan isi


perjanjian/kontrak jual beli.

7. PPK selanjutnya mengirim perjanjian pembelian obat serta melengkapi riwayat


pembayaran dengan cara mengunggah (upload) pada aplikasi E-Purchasing.

. PPK melaporkan item dan jumlah obat yang ditolak atau tidak dipenuhi oleh penyedia
obat/Industri Farmasi kepada Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah (LKPP) c.q Direktur Pengembangan Sistem Katalog, tembusan kepada
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan c.q Direktur Bina Obat Publik
dan Perbekalan Kesehatan paling lambat 5 (lima) hari kerja menggunakan sebagaimana
contoh Formulir 4. C. Proses Pengadaan Obat Secara Manual (Offline) Dalam hal
aplikasi E-Purchasing mengalami kendala operasional/offline (gangguan daya listrik,
gangguan jaringan, atau gangguan aplikasi), maka pembelian dapat dilaksanakan secara
manual. Tahapan yang dilakukan dalam pengadaan obat secara manual adalah sebagai
berikut: 1. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat berdasarkan
Daftar Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik (E-Catalogue) (Formulir 2) yang
diberikan oleh PPK. Paket pembelian obat dikelompokkan berdasarkan penyedia yang
tercantum pada Katalog Elektronik (E-Catalogue).

2. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan pembelian obat


kepada penyedia obat/Industri Farmasi yang terdaftar pada Katalog Elektronik (E-
Catalogue).

3. Penyedia obat/Industri Farmasi yang telah menerima permintaan pembelian obat dari
Pokja ULP/Pejabat Pengadaan memberikan persetujuan atas permintaan pembelian obat
dan menunjuk distributor/PBF. Apabila menolak, penyedia obat/Industri Farmasi harus
menyampaikan alasan penolakan.

4. Persetujuan penyedia obat/Industri Farmasi kemudian diteruskan oleh Pokja


ULP/Pejabat Pengadaan kepada PPK untuk ditindaklanjuti. Dalam hal permintaan
pembelian obat mengalami penolakan dari penyedia obat/Industri Farmasi, maka ULP
melakukan metode pengadaan lainnya sesuai Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012.
5. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/kontrak jual-beli terhadap obat yang telah
disetujui dengan distributor yang ditunjuk oleh penyedia obat/Industri Farmasi.

6. Distributor melaksanakan penyediaan obat sesuai dengan isi perjanjian/kontrak jual-


beli
Pemesanan Narkotika, Psikotropika, Preskursor (Kemenkes RI NO 3 tahun 2015)

Pasal 9
(1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan berdasarkan:

a. surat pesanan; atau


b. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk pesanan dari
Puskesmas.

(3)Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis Narkotika.

(4) Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan untuk
1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau Prekursor Farmasi.
(5) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) harus terpisah
dari pesanan barang lain.

Pasal 10
(1) Penyaluran Narkotika Golongan I hanya dapat dilakukan oleh perusahaan PBF
milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada Lembaga Ilmu
Pengetahuan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
termasuk untuk kebutuhan laboratorium.
(2) Penyaluran Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab dan/atau Kepala
Lembaga Ilmu Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 1 terlampir.

Pasal 11
(1) Penyaluran Narkotika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan oleh
perusahaan PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada
Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
(2) Penyaluran Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab produksi dan/atau
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 1 terlampir.
Pasal 12
(1) Penyaluran Psikotropika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan oleh
PBF yang memiliki izin sebagai IT Psikotropika kepada Industri Farmasi dan/atau
Lembaga Ilmu Pengetahuan.
(2) Penyaluran Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab produksi
dan/atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 2 terlampir.
Pasal 13
(1) Penyaluran Prekursor Farmasi berupa zat/bahan pemula/bahan kimia atau produk
antara/produk ruahan hanya dapat dilakukan oleh PBF yang memiliki izin IT
Prekursor Farmasi kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
(2) Penyaluran Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab produksi
dan/atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 3 terlampir.

dilakukan oleh Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi Pemerintah harus
dilengkapi dengan: a. surat pesanan;
b. faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat:

1. nama Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi;


2. bentuk sediaan;
3. kekuatan;
4. kemasan;
5. jumlah;
6. tanggal kadaluarsa; dan
7. nomor batch.
(2) Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan melalui jasa pengangkutan hanya dapat
membawa Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi sesuai dengan jumlah
yang tecantum dalam surat pesanan, faktur, dan/atau surat pengantar barang yang
dibawa pada saat pengiriman.

BAB IV
PEMUSNAHAN
Pasal 37
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan dalam
hal:
a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak
dapat diolah kembali;
b. telah kadaluarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan;
d. dibatalkan izin edarnya; atau
e. berhubungan dengan tindak pidana.

Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a sampai dengan huruf d


dilaksanakan oleh Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan,
Dokter atau Toko Obat.
(2) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang memenuhi kriteria
pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a sampai dengan huruf d
yang berada di Puskesmas harus dikembalikan kepada Instalasi Farmasi Pemerintah
Daerah setempat.
(3) Instalasi Farmasi Pemerintah yang melaksanakan pemusnahan harus melakukan
penghapusan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah.
(4) Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang berhubungan
dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf e dilaksanakan
oleh instansi pemerintah yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:
a. penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan menyampaikan surat
pemberitahuan dan permohonan saksi kepada: 1. Kementerian Kesehatan dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan, bagi Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat;
2. Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan
setempat, bagi Importir, Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau
Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi; atau
3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau Toko Obat.

Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan


Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, dan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi
pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.
c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud
pada huruf b.
d. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku, produk
antara, dan produk ruahan harus dilakukan sampling untuk kepentingan pengujian
oleh petugas yang berwenang sebelum dilakukan pemusnahan.
e. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus
dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan
pemusnahan.

Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam rangkap
3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal dan Kepala
Badan/Kepala Balai menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 10
terlampir.

You might also like