Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian akad?
b. Bagaimana rukun dan syarat pembagian akad?
c. Bagaimana pengertian khiyar dan pembagiannya dalam muamalah ?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian akad
b. Untuk mengetahui rukun dan syarat pembagian akad
c. Untuk mengetahui pengertian khiyar dan pembagiannya dalam
muamalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Akad
1
Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, (Yogyakarta : UII
Press Yogyakarta, 2009), hlm. 18.
3
b. Rukun dan syarat pembagian akad
Rukun Akad
Pendapat para ulama mengenai rukun dan syarat perikatan dalam Islam
beraneka ragam. Namun, sebagian besar ulama berpendapat, bahwa rukun dan
syarat perikatan Islam adalah sebagai berikut :
a) Sighat al-‘Aqd
Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para
pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
4
Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang
najis.2
Syarat-syarat akad
Ada beberapa syarat akad, yaitu syarat terjadinya akad (syuruth al-
in`iqad), syarat sah akad (syuruth al-shihhah), syarat pelaksanaan akad
(syuruth an-nafidz), dan syarak kepastian hukum (syuruth al-iltizam).
1. Syarat Terjadinya Akad
Syarat terjadinya akad (kontrak), yaitu terbagi kepada syarat umum
dan syarat khusus. Yang termasuk syarat umum yaitu rukun-rukun yang
harus ada pada setiap akad, seperti orang yang berakad, objek akad, objek
tersebut bermanfaat, dan tidak dilarang oleh syara`. Yang dimaksud syarat
khusus ialah syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad dan tidak
disyaratkan pada bagian lainnya, seperti syarat harus adanaya saksi pada
akad nikah (`aqd al-jawaz) dan keharusan penyerahan barang/objek akad
pada al-`uqud al-`ainiyyah.
2. Syarat Sahnya Akad
Menurut Ulama Hanafiah, sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr.
Fathurrahman Djamil, syarat sahnya akad, apabila terhindar dari 5 hal,
yaitu:
1. Al-Jahalah (Ketidakjelasan tentang harga, jenis dan spesifikasinya,
waktu pembayaran, atau lamanya opsi, dan penanggung jawab)
2. Al-Ikrah (Keterpaksaan)
3. Attauqit (Pembatasan Waktu)
4. Al-Gharar (Ada unsur kemudharatan)
5. Al-Syartu al-fasid (Syarat-syaratnya rusak, seperti pemberian
syarat terhadap pembeli untuk menjual kembali barang yang
dibelinya tersebut kepada penjual dengan harga yang lebih murah).
2
Wirdyaningsih, et.al, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005),
hlm. 116.
5
3. Syarat Pelaksanaan Akad
Syarat ini bermaksud berlangsungnya akad tidak tergantung pada izin
orang lain. Syarat berlakunya sebuah akad yaitu (1) adanya kepemilikan
terhadap barang atau adanya otoritas (al-wilayah) untuk mengadakan akad,
baik secara langsung ataupun perwakilan. (2) Pada barang atau jasa
tersebut tidak terdapat hak orang lain.
4. Syarat Kepastian Hukum atau Kekuatan Hukum
Suatu akad baru mempunyai kekuatan mengikat apabila ia terbebas dari
segala macam hak khiyar. Khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan
pembeli untuk melanjutkan atau membetalkan akad jual beli yang
dilakukan.
Pembagian Akad
Pembagian akad tergantung dari sudut pandangnya, diantara pembagian
akad yang terpenting adalah:
1. Berdasarkan ketentuan syara’
o Akad shahih
Adalah akad yang yang memenuhi unsur dan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh syara’
o Akad tidak shahih
Adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan ketentuan yang telah
ditetapkan oelh syara’.
2. Berdasarkan penamaannya
o Akad yang telah dinamai oleh syara’ seperti jual beli, hibah, gadai,
dan lain-lain.
o Akad yang belum dinamai oleh syara, tetapi disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
3. Berdasarkan masksud serta tujuannya
o Kepemilikan
o Menghilangkan kepemilikan
6
o Kemutlakan. Yaitu seseorang mewakilkan secara mutlak kepada
wakilnya.3
c. Pengertian Khiyar dan Pembagiannya dalam Muamalah
Pengertian Khiyar
Khiyar itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir
antara pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar.
Akan tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya menimbulkan
penyesalan kepada salah seorang dari pembeli atau penjual yaitu kalau
pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak senang kalau
barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat
mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hatinya
kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka oleh karena
itu, untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah
pihak atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua
3
Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 86-89
4
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor : Penerbit Ghalia
Indonesia, 2012), hlm. 26-27.
7
Macam – macam Khiyar
1) Khiyar majlis, yaitu penjual dan pembeli boleh memilih antara dua
(meneruskan atau mengurungkan jual-belinya) selama keduanya masih di
tempat jual beli. Rasulullah Saw bersabda: “Dua orang yang berjual-beli
boleh memilih (meneruskan atau mengurungkan jual-belinya) selama
keduanya belum berpisah.” (H.R. Bukhari Muslim).
2) Khiyar syarat, yaitu khiyar yang dijadikan syarat sewaktu dilakukan akad
oleh keduanya atau salah satu dari keduanya. Khiyar syarat boleh
dilakukan dalam setiap jual beli, kecuali jual beli yang penyerahannya
dilakukan ditempat jual beli. Masa khiyar syarat paling lama tiga hari tiga
malam, terhitung mulai akad jual beli dilakukan. Rasulullah Saw bersabda:
“engkau boleh memilih (khiyar) dalam setiap barang yang telah engkau
beli selama tiga hari tiga malam.”
3) Khiyar ‘aibi, yaitu khiyar yang si pembeli boleh mengembalikan barang
yang dibelinya dan si penjual boleh menerimanya apabila barang yang
dibeli itu terdapat cacat yang mengurangi nilai (harga) barang tersebut.
Adapun cacat yang terjadi pada barang setelah akad, dan barang itu belum
diterima si pembeli, maka barang itu masih dalam tanggungan si penjual.
Jika barang yang cacat tadi sudah diterima si pembeli, maka si pembeli
boleh mengembalikan barang itu dan menarik lagi uang harganya dari si
penjual. Jika terjadi kerusakan barang suatu ditangan pembeli dan barang
itu akan dikembalikan kepada si penjual, maka si pembeli harus
bertanggung jawab akan kerusakan barang itu. Kalau barang itu hilang
oleh si pembeli, maka ia harus menggantinya sebab yang bertanggung
jawab terhadap barang itu adalah si pemegang. Rasulullah Saw bersabda:
“Biaya barang itu tanggung jawab pemegangnya.”5
5
Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syariah Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka SM, 2007), hlm.
39
8
BAB III
PENUTUP
9
DAFTAR PUSTAKA
Wirdyaningsih, et.al, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005)
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor : Penerbit Ghalia
Indonesia, 2012)
10