You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 29 disebutkan “Hai orang-orang


yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan
berinteraksi mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu
praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya
jual-beli, dalam islam praktek ini disebut dengan muamala, dengan jaual-beli
tersebut mereka dapat memenuhi segala kebutuhan yang diinginkan. Agama
Islam telah mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama, sehingga
ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalm
koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama
manusia.
Melihat paparan diatas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa teknik
tentang jual beli yang patut diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya
bergelut dengan transaksi jual beli, karena sudah jelas bahwa agama Islam
mensyari’atkannya, salah satu pembahasan dalam muamalah adalah akad dan
khiyar, kedua pembahasan tersebut adalah sangat penting, karena hal ini
bertujuan untuk melindungi pembeli dari kemungkinan penipuan dari pihak
penjual. Sesungguhnya agama islam adalah agama yang penuh kemudahan
dan syamil (menyeluruh) meliputi segenap aspek kehidupan, selalu
memperhatikan berbagai maslahat dan keadaan, mengangkat dan
menghilangkan segala beban umat.

1
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian akad?
b. Bagaimana rukun dan syarat pembagian akad?
c. Bagaimana pengertian khiyar dan pembagiannya dalam muamalah ?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian akad
b. Untuk mengetahui rukun dan syarat pembagian akad
c. Untuk mengetahui pengertian khiyar dan pembagiannya dalam
muamalah

2
BAB II

PEMBAHASAN

a. Pengertian Akad

Akad atau al-‘aqd adalah perikatan,perjanjian dan permufakatan (al-ittifaq).


Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan
ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan.
Hal tersebut berarti bahwa di dalam akad masing-masing pihak terikat untuk
melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih
dahulu.1

Akad atau transaksi yang digunakan lembaga keuangan syariah dalam


operasinya terutama diturunkan dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan
sebagian dari kegiatan tolong menolong (tabarru). Akad yang berhubungan
dengan kegiatan usaha bank syariah dapat digolongkan kedalam transaksi untuk
mencari keuntungan (tijarah) dan transaksi tidak untuk mencari keuntungan
(tabarru’). Transaksi untuk mencari keuntungan dapat dibagi menjadi dua, yaitu
transaksi yang mengandung kepastian (natural certainty contracts / NCC),
yaitu kontrak dengan prinsip non-bagi hasil ( jual beli dan sewa ), dan transaksi
yang mengandung ketidakpastian (natural uncertainty contracts / NUC), yaitu
kontrak dengan prinsip bagi hasil.

1
Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, (Yogyakarta : UII
Press Yogyakarta, 2009), hlm. 18.

3
b. Rukun dan syarat pembagian akad
 Rukun Akad

Pendapat para ulama mengenai rukun dan syarat perikatan dalam Islam
beraneka ragam. Namun, sebagian besar ulama berpendapat, bahwa rukun dan
syarat perikatan Islam adalah sebagai berikut :

a) Sighat al-‘Aqd

Sighatsssssss al-‘Aqd berupa ijab dan kabul. Para pihak yang


melakukan ikrar ini harus memerhatikan tiga syarat berikut ini yang
harus dipenuhi agar memiliki akibat hukum.

1) Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam


pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis
akad yang dikehendaki.
2) Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan
kabul.

Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para
pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.

b) Al ‘Aqidain (Subjek Perikatan)

Al ‘Aqidain adalah para pihak yang melakukan akad sebagai suatu


perbuatan hukum yang mengemban hak dan kewajiban. Ada dua bentuk al
‘aqidain, yaitu manusia dan badan hukum

c) Ma'qud ‘Alaih (objek transaksi)


Ma'qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
 Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang
dilakukan.
 Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang
diperbolehkan syara' untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh
pemiliknya.
 Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau
dimungkinkan dikemudian hari.

4
 Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
 Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang
najis.2
 Syarat-syarat akad
Ada beberapa syarat akad, yaitu syarat terjadinya akad (syuruth al-
in`iqad), syarat sah akad (syuruth al-shihhah), syarat pelaksanaan akad
(syuruth an-nafidz), dan syarak kepastian hukum (syuruth al-iltizam).
1. Syarat Terjadinya Akad
Syarat terjadinya akad (kontrak), yaitu terbagi kepada syarat umum
dan syarat khusus. Yang termasuk syarat umum yaitu rukun-rukun yang
harus ada pada setiap akad, seperti orang yang berakad, objek akad, objek
tersebut bermanfaat, dan tidak dilarang oleh syara`. Yang dimaksud syarat
khusus ialah syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad dan tidak
disyaratkan pada bagian lainnya, seperti syarat harus adanaya saksi pada
akad nikah (`aqd al-jawaz) dan keharusan penyerahan barang/objek akad
pada al-`uqud al-`ainiyyah.
2. Syarat Sahnya Akad
Menurut Ulama Hanafiah, sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr.
Fathurrahman Djamil, syarat sahnya akad, apabila terhindar dari 5 hal,
yaitu:
1. Al-Jahalah (Ketidakjelasan tentang harga, jenis dan spesifikasinya,
waktu pembayaran, atau lamanya opsi, dan penanggung jawab)
2. Al-Ikrah (Keterpaksaan)
3. Attauqit (Pembatasan Waktu)
4. Al-Gharar (Ada unsur kemudharatan)
5. Al-Syartu al-fasid (Syarat-syaratnya rusak, seperti pemberian
syarat terhadap pembeli untuk menjual kembali barang yang
dibelinya tersebut kepada penjual dengan harga yang lebih murah).

2
Wirdyaningsih, et.al, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005),
hlm. 116.

5
3. Syarat Pelaksanaan Akad
Syarat ini bermaksud berlangsungnya akad tidak tergantung pada izin
orang lain. Syarat berlakunya sebuah akad yaitu (1) adanya kepemilikan
terhadap barang atau adanya otoritas (al-wilayah) untuk mengadakan akad,
baik secara langsung ataupun perwakilan. (2) Pada barang atau jasa
tersebut tidak terdapat hak orang lain.
4. Syarat Kepastian Hukum atau Kekuatan Hukum
Suatu akad baru mempunyai kekuatan mengikat apabila ia terbebas dari
segala macam hak khiyar. Khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan
pembeli untuk melanjutkan atau membetalkan akad jual beli yang
dilakukan.
 Pembagian Akad
Pembagian akad tergantung dari sudut pandangnya, diantara pembagian
akad yang terpenting adalah:
1. Berdasarkan ketentuan syara’
o Akad shahih
Adalah akad yang yang memenuhi unsur dan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh syara’
o Akad tidak shahih
Adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan ketentuan yang telah
ditetapkan oelh syara’.
2. Berdasarkan penamaannya
o Akad yang telah dinamai oleh syara’ seperti jual beli, hibah, gadai,
dan lain-lain.
o Akad yang belum dinamai oleh syara, tetapi disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
3. Berdasarkan masksud serta tujuannya
o Kepemilikan
o Menghilangkan kepemilikan

6
o Kemutlakan. Yaitu seseorang mewakilkan secara mutlak kepada
wakilnya.3
c. Pengertian Khiyar dan Pembagiannya dalam Muamalah
 Pengertian Khiyar
Khiyar itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir
antara pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar.
Akan tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya menimbulkan
penyesalan kepada salah seorang dari pembeli atau penjual yaitu kalau
pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak senang kalau
barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat
mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hatinya
kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka oleh karena
itu, untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah
pihak atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua

pihaknya, kalau kedua belah pihak menghendakinya.4

Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari


bahwa khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau
membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau
ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab yang lain. Tujuan
diadakannya khiyar tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi
kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai,
karena mereka sama-sama rela atau setuju.

3
Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 86-89
4
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor : Penerbit Ghalia
Indonesia, 2012), hlm. 26-27.

7
 Macam – macam Khiyar

Khiyar terdapat tiga macam, diantaranya:

1) Khiyar majlis, yaitu penjual dan pembeli boleh memilih antara dua
(meneruskan atau mengurungkan jual-belinya) selama keduanya masih di
tempat jual beli. Rasulullah Saw bersabda: “Dua orang yang berjual-beli
boleh memilih (meneruskan atau mengurungkan jual-belinya) selama
keduanya belum berpisah.” (H.R. Bukhari Muslim).
2) Khiyar syarat, yaitu khiyar yang dijadikan syarat sewaktu dilakukan akad
oleh keduanya atau salah satu dari keduanya. Khiyar syarat boleh
dilakukan dalam setiap jual beli, kecuali jual beli yang penyerahannya
dilakukan ditempat jual beli. Masa khiyar syarat paling lama tiga hari tiga
malam, terhitung mulai akad jual beli dilakukan. Rasulullah Saw bersabda:
“engkau boleh memilih (khiyar) dalam setiap barang yang telah engkau
beli selama tiga hari tiga malam.”
3) Khiyar ‘aibi, yaitu khiyar yang si pembeli boleh mengembalikan barang
yang dibelinya dan si penjual boleh menerimanya apabila barang yang
dibeli itu terdapat cacat yang mengurangi nilai (harga) barang tersebut.
Adapun cacat yang terjadi pada barang setelah akad, dan barang itu belum
diterima si pembeli, maka barang itu masih dalam tanggungan si penjual.
Jika barang yang cacat tadi sudah diterima si pembeli, maka si pembeli
boleh mengembalikan barang itu dan menarik lagi uang harganya dari si
penjual. Jika terjadi kerusakan barang suatu ditangan pembeli dan barang
itu akan dikembalikan kepada si penjual, maka si pembeli harus
bertanggung jawab akan kerusakan barang itu. Kalau barang itu hilang
oleh si pembeli, maka ia harus menggantinya sebab yang bertanggung
jawab terhadap barang itu adalah si pemegang. Rasulullah Saw bersabda:
“Biaya barang itu tanggung jawab pemegangnya.”5

5
Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syariah Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka SM, 2007), hlm.
39

8
BAB III

PENUTUP

Dari pemaparan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa


kesimpulan, diantaranya adalah:
Pengertian akad secara etimologi adalah perjanjian atau kontrak
dalam jual beli, sedangkangkan dari segi etimologi bahasa arab akad
berarti “ikatan antara dua perkara baik ikatan secara nyata meupun
ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dua segi. Bisa juga akad
berarti sambungan dan janji.secara terminology sebagaimana yang
dikemukakan oleh ulama fikih adalah “perkataan yang ditetapkan
dengan ijab qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada
objeknya.” Atau “pengaitan ucapan salah seseorang yang akad dengan
yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak
pada objeknyai.”
Akad memiliki tiga rukun: Adanya ‘aqid’ yaitu dua orang atau
lebih yang saling terikat dengan akad, adanya ‘maqud alaih’ adalah
sesuatu yang diikat dengan akad, serta ‘ijab qabul’ atau pengucapan
akad/perjanjian tersebut.
Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’
untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi maka
akad tersebut rusak. Ulama’ hanafiyah dalam hal ini mensyaratkan
terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli, yaitu
kebodohan, kepaksaan, pembatasan waktu perkiraan, ada unsur
madharat, dan syarat-syarat jual beli rusak (fasid).
Menurut para ulama’ ahli fikih adalah “suatu keadaan yang
menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni
menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa syarat,
‘aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang jika
khiyar ta’yin”. Diantara macam khiyar adalah: khiyar majlis, khiyar
syarat, dan khiyar aib.

9
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, (Yogyakarta : UII


Press Yogyakarta, 2009)

Wirdyaningsih, et.al, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005)

Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada, 2002)

Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor : Penerbit Ghalia
Indonesia, 2012)

Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syariah Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka SM,


2007)

10

You might also like