You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Keamanan dan kesejahteraansuatu negara sangat ditentukan oleh
kemampuan dan keberhasilan dalam melaksanakan penegakan hukum. Efektifitas
dan keberhasilan penegakan hukum terutama ditentukan oleh faktorsumber daya
manusia. Salah satu sumber daya manusia yang memegang peranan penting
dalam penegakan hukum di Indonesia yaitu kepolisian. Tetapi ironisnya, negara
tercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia masih belum
menjadi sebuah negara hukum yang tegas. Mengapa demikian? Salah satu
penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas
tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga
menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.

Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara


hukum negara menyebabkan terjadinya banyak fenomena kasus hukum.

Salah satu contoh fenomena kasus hukum yang terjadi di Indonesia dan
terbilang kasus hukum yang langka adalah kasus hukum Budi
Gunawan. Fenomena kasus hukum Budi Gunawan menumbulkan gumpalan asap
dalam dunia peradilan di Indonesia. Gumpalan asap yang menyembul di dunia
hukum Indonesia pasti ada asal dan penyebabnya. Tidak mungkin publik yang
mengatasnamakan relawan Jokowi mendatangani istana, meminta
pertanggungjawaban sang Presiden, kalau asapnya tak sampai ketahuan. Hal
tersebut karena KPK yang kembali menggemparkan tanah air, hanya satu-satunya
calon Kapolri yang akan di fit and proper test oleh DPR. Kenyataan yang
terjadi KPK mengumumkan calon tunggal Budi Gunawan sebagai tersangka
dalam perbuatan tindak pidana korupsi. Budi Gunawan dijerat dengan Pasal 12 a
atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11, atau Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi Junto Pasal 55 KUHP.

1
Berdasarkan sumber sorgemagz (2015), pada Senin, 16 Februari 2015,
Hakim praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi,
mengabulkan permohonan Budi Gunawan terkait penetapan tersangkanya oleh
KPK. Putusan tersebut menggugurkan status tersangka Budi Gunawan yang
ditetapkan KPK. Menangnya BG dalam sidang praperadilan memang sudah dapat
diprediksi sebelumnya. Langkah ini diyakini merupakan bagian dari skenario
pelemahan KPK. Namun berbagai permasalahan hukum di balik putusan tersebut
membuat tentangan keras bermunculan.

Putusan tersebut mendapat tentangan keras terutama dari para


ahli hukum. Mantan Ketua Mahkamah Agung, Harifin Tumpa bahkan secara
tegas telah menentang putusan tersebut. Kewenangan praperadilan dalam
permohonan tersebut menjadi pertanyaan besar karena penetapan tersangka tidak
termasuk dalam obyek kewenangan praperadilan berdasarkan pasal 77
KUHAP. Putusan itu diyakini melanggar hukum dan dapat menjadi preseden yang
buruk bagi hukum acara pidana.

Mencermati tekanan publik yang begitu kuat terhadap proses pengangkatan


Budi Gunawan, tentu carut marut hukumnya tersimpul dalam sebuah pertanyaan:
“apakah penetapan status tersangka seorang calon Kapolri dapat membatalkan
proses pengangkatannya yang sudah tegas diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara RI”? Pertanyaan tersebut harus diletakan dalam dua
norma, terkait dengan bisa tidaknya menderogasi diantara satu dengan lainnya,
saat ketentuannya dalam posisi berhadapan. Norma tersebut adalah UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) dan UU Kepolisian Negara RI.

Pada dasarnya proses pengangkatan Kapolri tunduk melalui Pasal 11 UU


Kepolisian Negara RI yang terdiri dari delapan ayat. Di dalam ketentuan ini
Presiden memiliki legalitas untuk mengusulkan pengangkatan Kapolri dengan
terlebih dahulu meminta persetujuan DPR. Jika selanjutnya telah disetujui oleh
DPR, maka kewenangan penuh untuk mengeluarkan SK (Surat keputusan)
pengangkatan berada di tangan Presiden. Atas ihwal peristiwa yang terjadi
terhadap proses pengangkatan Budi Gunawan, kini telah sampai pada tahap yang
telah mendapat persetujuan oleh DPR. Yakni anggota DPR telah bulat bermufakat

2
menyetujuinya melalui hasil paripurna. Itu artinya, keputusan untuk mengangkat,
kemudian selanjutnya melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri tinggal satu
tahapan. Yakni Presiden Jokowi harus menyetujuinya, kemudian menerbitkan SK
pengangkatan Kapolri atas nama Budi Gunawan.

Dalam konteks itu, sepanjang proses tahapan yang dijalani oleh Budi
Gunawan agar dapat terpilih sebagai Kapolri, apakah dimungkinkan tahapan yang
diikutinya dapat dinyatakan batal proses pencalonannya, karena di lain sisi
“terseret” proses pertanggungjawaban pidana? Penyebabnya

meliputi; Pertama, UU Kepolisian Negara RI maupun UU PTPK tidak ada


satupun ketentuan yang memberi persyaratan terhadap calon Kapolri, untuk
dinyatakan batal proses pengangkatannya dalam hal calon tersebut dalam status
tersangka. Kedua, proses pengangkatan Kapolri yang telah diikuti oleh Budi
Gunawan saat ini merupakan bagian hukum terkait dengan proses ketatanegaraan,
tidak dapat diderogasi oleh proses pidana. Bahkan saat asas-asas hukum hendak
diterapkan, in casutidak ada relevansinya, sebab materi hukumnya memang
berbeda. Ketiga, UU Kepolisian sudah jauh hari tegas mencantumkan ketentuan,
bahwa proses pengangkatan Kapolri dapat dinyatakan batal jika calon yang
diajukan dalam status tersangka.

Ketentuan hukum tersebut akan timpang dengan asas hukum yang telah
umum diakui oleh sarjana hukum“presumption of innocence”.Bagaimana
mungkin orang yang belum dinyatakan bersalah, belum jelas endingdari kasus
pidana yang kelak akan dipertanggungjawabkannya? Apakah akan berakhir dalam
dekaman penjara atau tidak, lalu haknya otomatis gugur untuk menempati jabatan
publik tersebut? Proses pengangkatan seorang dalam jabatan publik tidak dapat
dihentikan tahapan yang sudah diikuti gara-gara statusnya sebagai
tersangka. Pejabat publik seperti Kepala Daerah saja dapat dinonaktifkan (bukan
diberhentikan) jika berada dalam status terdakwa. Oleh sebab itu, penulis tertarik
untuk menganalisis lebih dalam kasus hukum Budi Gunawan karena dalam status
tersangka sudah pasti makin susah kiranya untuk “melabrak” asas hukum praduga
tak bersalah.

3
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan permasalahan yang
akan dipecahkan dalam penelitian ini menjadi, sebagai berikut:
1. Bagaimana rekam jejak kasus hukum Budi Gunawan dan Budi Waseso yang
tergolong langka terjadi di Indonesia?
2. Bagaimana sumber hukum yang digunakan dalam penyelesaian kasus Budi
Gunawan dan Budi Waseso ?
3. Bagaimana pra peradilan yang terjadi dalam kasus Budi Gunawan dan Budi
Waseso ?
4. Bagaimana dinamika hukum yang terjadi di Indonesia terkait dengan kasus
hukum Budi Gunawan dan Budi Waseso?
5. Bagaimanakah metode penafsiran yang digunakan dalam kasus Budi
Gunawan dan Budi Waseso ?
6. Bagaimana pandangan para pakar hukum dan pengamat hukum terhadap
kasus Budi Gunawan dan Budi Waseso ?
7. Bagaimana pandangan hakim terhadap kasus Budi Gunawan dan Budi
Waseso yang langka terjadi di Indonesia?
C. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelesaikan salah satu tugas mata
kuliah Pendidikan Anti Korupsi dan untuk pengembangan pengetahuan penulis
dalam menganalisa kasus hukum Budi Gunawan dan Budi Waseso.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Profil Budi Gunawan dan Budi Waseso


1. Budi Gunawan
Sebelum mengkaji lebih jauh tentang kasus hukum Budi Gunawan, ada
baiknya untuk mengenal profil Budi Gunawan. Omen Pol. Drs.Budi
Gunawan, S.H., M.Si., Ph.D. lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 11
Desember 1959. Budi Gunawan adalah tokoh kepolisian Indonesia. Saat ini ia
menjabat sebagai Kalemdikpol yang aktif sejakDesember 2012. Ia didapuk
sebagai orang nomor satu di Lemdikpol menggantikan Komjen Pol
Drs. Oegrosenoyang sekarang dipromosikan menjadi Wakapolri. Pada saat
berpangkat Komisaris Besar (Kombes) ia pernah menjabat sebagai Ajudan
Presiden RI di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Sejarah perjalanan karir Budi Gunawan, sempat tercatat sebagai jenderal


termuda di Polri saat dipromosikan naik pangkat bintang satu atau Brigadir
Jenderal (Brigjen) dengan jabatan sebagai Kepala Biro Pembinaan Karyawan
(Binkar) Mabes Polri. Setelah itu menjabat Kepala Selapa Polri, lembaga yang
menginduk pada Lemdikpol selama 2 tahun. Karirnya terus berkembang
sehingga ia dipromosikan lagi menjadi Kapolda Jambi yang merupakan Polda
tipe B. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia naik pangkat lg menjadi
bintang dua atau Inspektur Jenderal (Irjen) dengan jabatan sebagai Kepala
Divisi Pembinaan Hukum (Kadiv BinKum).

Budi Gunawan sempat mutasi dengan jabatan Kepala Divisi Profesi dan
Pengamanan (Kadiv Propam) sebelum dipromosikan menjabat di kewilayahan
sebagai Kapolda Bali yang merupakan Polda tipea A. Tanda pangkat bintang
tiga pun disematkan di pundaknya sampai akhirnya ia meraih pangkat
Komisaris Jenderal (Komjen) ketika dipromosikan dengan jabatan Kepala
Lembaga Pendidikan Polri (Kalemdikpol) yang membawahi lembaga-lembaga

5
pendidikan seperti Akademi Kepolisian (Akpol), Sekolah Staf dan Pimpinan
Polri (SESPIM), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan lainnya.

Riwayat jabatan :

a. Ajudan Wakil Presiden RI (1999-2001)


b. Ajudan Presiden RI (2001-2004)
c. Karobinkar SSDM Polri (2004-2006)
d. Kaselapa Lemdiklat Polri (2006-2008)
e. Kapolda Jambi (2008-2009)
f. Kadiv Binkum Polri (2009-2010)
g. Kadiv Propam Polri (2010-2012)
h. Kapolda Bali (2012)
i. Kalemdiklat Polri (2012-Sekarang)
2. Budi Waseso
Seperti nama panggilannya Buwas, empat hari pengangkatannya
sebagai Kabareskrim Polri, ia langsung bergerak cepat dengan menangkap
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di Depok, Senin, 23 Januari 2015.
Penangkapan ini akibat pengumuman KPK menetapkan calon Kapolri Budi
Gunawan sebagai tersangka kasus grafitikasi.
Sikap berani Buwas makin memanaskan hubungan lembaga KPK
dan Polri. Pihak kepolisian membantah penangkapan Bambang Widjojanto
alias BW sebagai aksi balas dendam. Menurutnya, BW ditangkap karena
tersangka kasus saksi palsu Pilkada. "Semua orang sama di mata hukum,"
tegas Budi Waseso di Jakarta, Kamis (5/2/2015)
Pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, 19 Februari 1961 ini adalah
lulusan Akademi Polisi (Akpol) pada tahun 1985. Usai lulus dari Akpol, Budi
ditugaskan di berbagai tempat kepolisian di wilayah Indonesia. Kehidupan
Buwas penuh warna.
Selama menjalani tugas sebagai polisi, ia mengalami kehidupan
yang kurang menguntungkan. Gaji dari kepolisian yang diterimanya tidak
mencukupinya. Ia sempat menjadi tukang ojek dengan menggunakan Vespa
tahun 70-an. Meski saat itu menyandang pangkat perwira, ia terpaksa

6
mengojek untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya, karena saat itu gaji
Polri masih sangat minim.
Budi mengojek setelah bertugas di Direktorat Pendidikan Polri.
Walaupun tak banyak yang didapat, namun cukup untuk menopang
kebutuhan hidup. Dua ribu rupiah ia peroleh dalam sehari dari hasil
mengojeknya. Uang tersebut hanya cukup untuk makan siang dan membeli
bahan bakar untuk kebutuhan dinas, sementara uang gaji polisinya untuk
biaya keluarganya. Selain mengojek, ia juga sempat menjadi sopir taksi
tembak. Ia tidak malu melakukan itu karena halal.
Perjuangan dan dedikasinya di kepolisian berbuah manis. Dia
memulai karier besarnya pada tahun 2009 sebagai Kepala Bidang Propam
Polda Jawa Tengah. Setahun kemudian, dirinya ditarik ke Mabes Polri untuk
menempati posisi Kepala Pusat Pengamanan Internal Mabes Polri. Pada tahun
2012, Budi Waseso menjadi Kapolda Gorontalo dengan pangkat Brigjen
polisi.
Belum sempat naik menjadi Irjen sudah ditarik ke Mabes Polri dan
mengisi posisi Widyaiswara Utama Sespim Polri. Tak lama kemudian,
kariernya mulai melesat dengan menduduki jabatan sebagai Kepala Sekolah
Staf dan Pimpinan Tinggi Polri pada tahun 2014.
Kariernya makin melesat, pada tahun 2015, saat terjadi pergantian
petinggi di tubuh Polri, Budi dipilih menjadi Kabareskrim. Namanya semakin
terkenal karena keberaniannya menyentuh lembaga Komisi Pemberantas
Korupsi (KPK). Saat itu, Budi Gunawan ditetapkan tersangka oleh KPK,
Kabareskrim Budi melakukan hal sama menetapkan kepada komisioner
Bambang Widjojanto sebagai tersangka.
Sikap-sikapnya yang tegas dan berani mengundang aksi demo
untuk meminta Budi diberhentikan dari jabatan Kabareskrim. Belum setahun
menduduki kursi Kabareskrim, Budi Waseso mendapatkan jabatan baru. Ia
resmi menjadi kepala BNN pada Selasa, 8 Septermber 2015. Ia menggantikan
posisi Komjen Anang Iskandar yang ditukar menjadi Kabareskrim Polri.
Riwayat Jabatan :
a. Kepala Bidang Propam Jateng, 2009

7
b. Kepala Pusat Pengamanan Internal Mabes Polri, 2010
c. Kapolda Gorontalo, 2012
d. Widyaiswara Utama Sespim Polri, 2013
e. Kepala Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Polri, 2014
f. Kabareskrim Polri, 2015
g. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), 2015
B. Jejak Kasus Budi Gunawan dan Budi Waseso
Seiring perjalanan karir Budi Gunawan, ia mulai terseret kasus hukum di
Indonesia. Perkembangan Kasus Hukum Komjen Budi Gunawan pasca KPK
memberikan gelar tersangka semakin menggelinding setelah pelantikannya
sebagai kapolri ditunda oleh presiden Jokowi. Pemerintah meminta KPK
mempercepat proses Hukum. Selang waktu beberapa jam, pasca hasil paripurna
persetujuan pengangkatan, sekelompok relawan Jokowi bergerumul memenuhi
depan istana negara. Para relawan tersebut menuntut agar Presiden Jokowi
membatalkan penunjukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Jika
Jokowi tetap bersikukuh melakukan pelantikan sudah pasti akan menodai korps
Bhayangkara dan dengan sendirinya Jokowi telah mengingkari program Nawa
Cita pemerintahan.

Dalam konfrensi persnya, wakil ketua KPK Bambang wijayanto


menjelaskan bahwa semua saksi yang dipanggil KPK kemarin tidak datang
memenuhi panggilan dan kebanyakan saksi yang dipanggil 5 orang tersebut
merupakan anggota Polri yang berpangkat perwira tinggi. Seperti diketahui
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Ronny F Sompie menyebut bahwa
Komjen Budi Gunawan sementara ini megajukan Pra Peradilan terhadap KPK
atas penetapannya sebagai tersangka, memang dalam hukum Positif Praperadilan
dibenarkan secara hukum dan diakui sebagai hak dari tersangka, terdakwa dan hal
ini sesuai dengan KUHAP.

C. Sumber Hukum
Sebagaimana diketahui bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia
mengenal 5 (lima) institusi sub sistem peradilan pidanasebagai Panca Wangsa
penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002), Kejaksaan
(UU No. 16 Tahun 2004), Peradilan (UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan

8
Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986), Lembaga Pemasyarakatan (UU No. 12 Tahun
1995) dan Advokat (UU No. 18 Tahun 2003). Bahwa berdasarkan literatureini,
DR. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. menjelaskan bahwa kepolisian secara lembaga
adalah penegak hukum berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.

Hal ini pun sesuai dengan Fungsi dan Tugas Kepolisian dalam Pasal 2 &
Pasal 13 huruf b UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian:

Pasal 2: “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di


bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Pasal 13:“Tugas
Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat; b. Menegakan hukum; dan c. Memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Ketentuan Pasal
6 huruf c jo. Pasal 11 UU KPK, yang berbunyi: Pasal 6 huruf c UU KPK,
menyebutkan: “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: c. melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”. Pasal
11 UU KPK, menyebutkan: “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain


yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah)”
D. Dinamika Hukum
Calon Kapolri yang berstatus tersangka agar dibatalkan proses
pencalonannya, bukanlah dengan sebatas memakai dalil moral dan etik saja. Mesti
“direkonseptualisasi” segala ketentuan yang terkait dengan dua peristiwa hukum
itu, lalu dirumuskan dalam ketentuan tegas setelah diturunkan dari
dalilconsensus moral yang bisa “terterima” secara terus menerus. Dalam tahapan
sederhana, singkat, tidak memakan waktu yang lama, sebenarnya Presiden Jokowi

9
atas otoritas penuhnya, saat ini dapat tidak menerbitkan SK pengangkatan Budi
Gunawan meskipun sudah disetujui oleh Paripurna DPR. Penidakterbitan SK
tersebut dapat dilakukan dengan alasan status tersangka sang Jenderal dapat
memicu kemarahan publik jika “dipaksakan” untuk dilantik. Ini berarti bukan lagi
soal legal atau non-legal-nya Budi Gunawan untuk ditetapkan sebagai Kapolri,
tetapi soal diterima atau tidak diterimanya yang bersangkutan oleh publik untuk
memimpin institusi Bhayangkara tersebut.

Sebagaimana dalam dinamikanya, massa (rakyat) tidak lagi menghendaki


calon kapolri yang “bermasalah hukum,” demi menciptakan pemerintahan yang
bersih. Meskipun tafsir demikian hanyalah “tafsir subjektif” bagi Presiden yang
memiliki kewenangan penuh untuk menerbitkan SK pengangkatan
Kapolri. Sedangkan dalam dinamika hukum yang membutuhkan waktu relatif
panjang. Paling tidak UU Kepolisian, kalau mau diatur ketegasannya; syarat calon
Kapolri tidak boleh berstatus tersangka. Maka dalil hukum abstrak yang
menyertainya, boleh jadi harus berlaku imperatif terhadap setiap jabatan publik
tatkala dalam proses pengangkatan jika sewaktu-waktu ditetapkan sebagi
tersangka. Adalah “setiap perkara yang ditangani oleh KPK adalah perkara
korupsi, yang mana “korupsi” merupakan kejahatan extra, dan akhir proses
hukumnya selalu “terbukti pelakunya.” Meskipun perumusan dalil hukum tersebut
pasti sulit dalam perkembangannya, tetapi siapa yang tahu, Undang-Undang dan
setiap ketentuannya memang selalu menyesuaikan dengan kondisi masyarakat
dimana hukum itu berada.

E. Pra Peradilan
Mengenai Pra Peradilan diatur dalam pasal 1 angka 10 KUHAP (UU No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), praperadilan adalah wewenang hakim
untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang tentang:
1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

10
3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Pra peradilan ini akan memiliki dampak yang cukup besar dan merupakan
upaya terkahir dari Komjen Budi Gunawan untuk lepas dari cengkraman KPK
asalkan Pengadilan Mengabulkan permohonan Pra Peradilan Komjen Budi
Gunawan dan menyatakan bahwa penetapan tersangka kepadanya termasuka
penahanan kota yag dilakukan kepadanya adalah bertentangan dengan Hukum dan
jika Pra Peradilan ini dikabulkan maka Jalan Komjen Budi Gunwan untuk dilantik
Sebagai Kapolri akhirnya bisa terwujud dan melalui Pra peradilan itu juga KPK
harus merehabilitisi nama baik dan kedudukan Komjen Budi Gunawan sebagai
Waraga Negara indonesia Yang baik. Dan seluruh kontroversi dan intri politik
yang muncul selama ini akan berakhir dengan adanya keputusan Pra peradilan
tersebut. Namun jika Pra Peradilan tersebut ditolak maka jalan Komjen Budi
Gunawan ke hotel prodeo KPK semakin terhampar didepan mata.dan saya rasa
Praperadilan ini merupakan pertarungan sengit lembaga Hukum antara KPK dan
POLRI. Kini keputusan ada ditangan para HAKIM yang merupakan wakil tuhan
dalam menegakkan keadilan

Praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, Calon


Kapolri yang merupakan Tersangka di KPK tidak begitu jelas, apakah terhadap
sah atau tidaknya penyidikan atau sah atau tidaknya penetapan tersangka. Namun
terlepas dari hal tersebut, proses persidangan praperadilan dimaksud telah usai,
yang mana amar putusannya kurang lebih berbunyi:

o Menyatakan surat perintah penyidikan yang menetapkan Komjen. Pol.


Budi Gunawan sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasar oleh
hukum dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
o Menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap diri
Pemohon adalah tidak sah dan tidak berdasar oleh hukum;
o Menyatakan penetapan tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh
Termohon adalah tidak sah;

11
o Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan lebih lanjut yang
dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka
oleh Termohon;

Dari literatur amar tersebut di atas, muncul suatu pertanyaan dalam benak
penulis, yaitu bagaimana caranya mengeksekusi putusan praperadilan tersebut?
Sebab salah satu amarnya berbunyi “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau
penetapan lebih lanjut yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan
penetapan Tersangka oleh Termohon”. Artinya, jika sudah tidak ada lagi upaya
hukum terhadap putusan dimaksud, maka segala keputusan yang akan ditempuh
oleh KPK terkait dengan status tersangka yang disandang oleh Komjen. Pol. Budi
Gunawan, termasuk dalam rangka upaya supaya perkara tersebut dapat selesai
(dalam pengertian bukan menghentikan penyidikan, sebab KPK tidak diberi
wewenang oleh UU untuk menerbitkan penghentian penyidikan) adalah tidak sah.
Penulis sendiri masih belum bisa membayangkan konstruksi hukum yang akan
dipakai oleh KPK untuk menghentikan perkara ini karena KPK itu sendiri tidak
diberi wewenang untuk menghentikan suatu penyidikan.

Mengenai kompetensi dari Pra Peradilan, yang pertama sah atau tidaknya
penyidikan atau sah atau tidaknya penetapan tersangka, menurut penulis,
berdasarkan hukum yang berlaku saat ini, bukanlah merupakan obyek
praperadilan. Kewenangan hakim praperadilan mengenai obyek perkara yang
menjadi wewenang praperadilan, diatur dalam Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi:

“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan


ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau


penghentian penuntutan;
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”

Dari ketentuan ini, dapat diklasifikasikan dua alasan yang dapat dijadikan
dasar untuk mengajukan praperadilan, yaitu, yang pertama, sah atau tidaknya

12
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, dan yang
kedua, mengenai ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat dari penghentian
penyidikan atau penuntutan

F. Metode Penafsiran
Perlu untuk diketahui bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia
tidak sama seperti sistem hukumAnglo-Saxon yang menganut aliran freie
rechtslehre, yang memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum (judge made
law). Hal ini sejalan dengan ketentuanPasal 20 Algemene Bepalingen van
Wetgeving voor Indonesie(AB –AB masih berlaku sepanjang belum dicabut
secara tegas oleh UU berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945, yang
menyatakan: “Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang”. Pernyataan
ini berarti, bahwa dalam hukum, hakim dilarang menafsirkan lebih dari yang
seharusnya jika sudah jelas pengaturannya. Namun bukan berarti hakim tidak
bebas dalam menjalankan kewenangannya, hakim tetap bebas sepanjang tidak
melanggar ketentuan yang ada.
Hakim diperkenankan untuk menafsirkan lebih luas suatu peraturan
dikala peraturan tersebut tidak jelas maksudnya atau hakim diperkenankan untuk
membuat suatu kaidah hukum disaat terjadi kekosongan hukum. Pada
hakekatnya, hakim dilarang menolak perkara dengan alasan tidak ada
hukumnya. Oleh karenanya, dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh
Komjen. Pol. Budi Gunawan. Dalam putusan praperadilan tersebut, hakim
mengakui bahwa permohonan praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi
Gunawan berkaitan erat dengan penyidikan karena hakim seakan-akan
menempatkan bahwa penetapan tersangka merupakan bagian dari penyidikan,
sehingga harus dianggap sebagai upaya penyidikan, hal tersebut juga kelihatan
dari amar putusan praperadilan tersebut, yang berbunyi: “Bahwa penyidikan yang
dilakukan oleh termohon…dst.”
Mengikuti cara berpikir hakim praperadilan tersebut, yang menafsirkan
secara harafiah, maka penulis menemukan juga penafsiran secara harafiah
berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu:
Aparat, berarti: 1. alat; perkakas: – radio; 2. badan pemerintahan; instansi
pemerintah; pegawai negeri; alat negara: – Pemerintah; 3.perlengkapan: –

13
militer. Penegak: orang yang menegakkan: para hakim adalah para ~
hukum. Hukum berarti: peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat,
yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.
Secara harafiah, hakim menafsirkan bahwa yang dimaksud aparat
penegak hukum adalah penyelidik, penyidik, jaksa, penuntut umum dan hakim,
sementara Komjen. Pol. Budi Gunawan pada waktu ia diduga melakukan tindak
pidana, ia merupakan seorang Polisi yang berpangkat Kombes, yang mengisi
jabatan Karobinkar (Kepala Biro Pembinaan Karir) Mabes Polri, yang menurut
Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keputusan Kapolri No. Pol.:
Kep/53/X/2002, tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Satuan Organisasi Pada Tingkat Mabes Polri dan perubahannya. Jabatan tersebut
merupakan pelaksana tugas staff administrasi di lingkungan Mabes Polri, bukan
merupakan bagian dari penyelidik ataupun penyidik.
Komjen. Pol. Budi Gunawan pada waktu itu bukan merupakan aparat
penegak hukum sebagaimana pengertian secara harafiah yang dimaksud hakim
tersebut. Jika digabungkan kata demi kata, dan dihubungkan dengan perkara
praperadilan dimaksud, maka aparat penegak hukum secara harafiah seharusnya
berarti “Alat atau badan pemerintahan atau instansi pemerintah atau pegawai
negeri atau alat negara atauperlengkapan militer yang menegakkan peraturan yang
secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah
untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat”. Mengenai definisi “Penegak
Hukum” dan “Penyelenggara Negara”yang kedua, pertimbangan hukum yang
menyatakan bahwa Komjen. Pol. Budi Gunawan bukan merupakan subyek hukum
pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan termohon (KPK), karena
Komjen. Pol. Budi Gunawan bukan termasuk aparat penegak hukum, dan bukan
termasuk juga sebagai penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf c jo. Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
G. Pandangan Pakar Hukum
Pakar hukum tata negara dari Universitas Khairun, Ternate, Margarito
merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 2002 bahwa Budi yang

14
dijerat sebagai tersangka saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier
Deputi Sumber Daya Manusia Mabes Polri itu hanya sebagai pejabat eselon
II. Karena itu, Margarito menganggap Budi bukan penyelenggara atau pejabat
negara. Margarito menukil Pasal 11 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi bahwa KPK berwenang menyidik penyelenggara negara. Margarito
mengartikan penyelenggara negara yang dimaksud adalah pejabat eselon
I. Padahal isi lengkap pasal 11 adalah KPK berwenang melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara
negara, aparat penegak hukum, dan orang lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara
negara.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin Prof Dr.
Aminuddin Ilmar MH, menilai kasus yang mendera calon Kepala Polisi RI
Komisaris Jenderal Budi Gunawan, terbilang langka dan bahkan belum pernah
terjadi di sejarah pemerintahan di Indonesia. Prof. Aminudin berpendapat bahwan
kasus hukum Budi Gunawan tak ada yurisprudensinya karenabelum pernah terjadi
dalam hukum tata negara di Indonesia. Tidak adanya yurisprudensi yang secara
spesifik mengatur status seorang jenderal bintang tiga menjadi tersangka setelah
diusulkan menjadi calon tunggal Kapolri ke DPR, maka keputusan terakhir kini
berada di meja presiden.
Prof. Aminudin berpandangan bahwapeliknya kasus ini, KPKsebagai
lembaga penyidik negara yang juga diakui undang-undang, presiden juga institusi
kenegaraan yang punya kewenangan mengganti dan mengusulkan calon tunggal
Kapolri ke DPR, meski putusan akhirnya tetap ada di presiden. Presiden
mengusulkan dua calon ke DPR mungkin ceritanya akan
berbeda. KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi,
hanya berselang sehari setelah Presiden bersurat ke DPR untuk meminta uji
kelayakan dan persetujuan dari legislator di paripurna. Sebab jabatan Komjen.
Pol. Budi Gunawan pada saat tindak pidana yang disangkakan, bukan dalam
jabatan melaksanakan fungsi penegakan hukum, namun dalam rangka
menjalankan fungsi administrative dan juga pada saat tindak pidana yang
disangkakan tersebut diduga dilakukan.

15
Pandangan ini dilihat berdasarkan kenyataan bahwa di luar intrik politik
antara KMP dan Indonesia Hebat, DPR sudah menjalankan tugasnya sesuai
prosedur tata pemerintahan. Adanya kenyataan ini membuat Prof. Aminudin
berpendapat bahwa bisa saja Presiden melantik Komjen Budi Gunawan, itu hak
prerogatifnya karena sudah dapat persetujuan DPR. Jika dilihat dari sisi
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, pakar hukum lain juga
akan memaklumi jika simpati publik ke Jokowi juga berkurang. Selain dari
pandangan dan pendapat dari Prof. Aminudin, beliau juga menyebutkan bahwa
kasus yang mendera Jokowi ini adalah imbas dari keputusannya mempercepat
penggantian Jenderal Sutarman, yang seharusnyabaru akan habis masa
pensiunnya Oktober 2015.
H. Pandangan Hakim
Pendapat hakim praperadilan yang menyatakan bahwa mengenai
permohonan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan mengenai
penetapan tersangka tidak diatur dalam KUHAP, sehingga terjadi kekosongan
hukum adalah pertimbangan yang salah tafsir menurut hemat penulis. Jika
memang pola berpikir hakim demikian, maka seharusnya ia harus menyadari
bahwa selaku hakim, ia terikat dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia,
yaitu positivismehukum, bukan sistem hukum Negara lain yang secara teori
akademis menjadi salah bagian ilmu yang dipelajari. Menyebutkan klausa
penyidikan yang dilakukan oleh termohon dalam amar putusannya, artinya hakim
mengakui bahwa yang dimohonkan untuk diuji keabsahannya adalah sah atau
tidaknya penyidikan.
Seharusnya hakim tidak memiliki alasan untuk menyatakan permohonan
tersebut belum diatur. Hal ini karena mengenai praperadilan yang berkaitan
dengan penyidikan telah diatur dalam Pasal 77 KUHAP, yaitu mengatur hanya
tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Dengan memperhatikan cara
berpikir hakim seperti yang telah penulis kemukakan di atas, maka seharusnya
hakim tidak menafsirkan lebih dari yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP ini.
Dalam penyidikannya, tenyata Komjen. Pol. Budi Gunawan belum
termasuk pejabat eselon 1, sehingga bukan merupakan penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara

16
Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (UU
Penyelenggara Negara), serta tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Komjen.
Pol. Budi Gunawan bukan termasuk tindak pidana korupsi yang merugikan
keuangan Negara, namun merupakan tindak pidana korupsi penyalanggunaan
kekuasaan atau kewenangan.
Dari pertimbangan di atas, dapat dipetakan beberapa permasalahan yang
perlu untuk ditelaah, yaitu apakah benar Komjen. Pol. Budi Gunawan, pada waktu
tindak pidana yang diduga dilakukannya, ia bukan merupakan aparat penegak
hukum sebagaimana dimaksud dalam UU dan ia bukan merupakan penyelenggara
Negara sebagaimana dimaksud dalam UU. Mensyaratkan bahwa KPK hanya
berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak
pidana korupsi terhadap aparat penegak hukum atau penyelenggara
Negara. Tidak semua perkara korupsi dapat ditangani oleh KPK.
Pendapat hakim praperadilan yang menyatakan bahwa mengenai
permohonan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan mengenai
penetapan tersangka tidak diatur dalam KUHAP, sehingga terjadi kekosongan
hukum adalah pertimbangan yang salah tafsir menurut hemat
penulis. Pertanyaannya, apakah Komjen. Pol. Budi Gunawan, pada saat ia diduga
melakukan tindak pidana, ia merupakan aparat penegak hukum atau
bukan?Menjawab pertanyaan ini, hakim memberikan pertimbangan bahwa UU
tidak memberikan pengertian secara jelas mengenai apa yang dimaksud dengan
aparat penegak hukum.

17
BAB lll

KESIMPULAN

Kesimpulan dari makalah ini yaitu, bahwa jabatan pemohon pada saat
tindak pidana yang disangkakan diduga dilakukan oleh Komjen. Pol. Budi
Gunawan, bukan dalam jabatan dalam rangka melaksanakan penegakan hukum,
namun dalam rangka menjalankan fungsiadministrative. Pada saat tindak pidana
yang disangkakan tersebut diduga dilakukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan,
ternyata Komjen. Pol. Budi Gunawan belum termasuk pejabat eselon 1, sehingga
bukan merupakan penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam UU
Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (UU Penyelenggara Negara). Selain itu,
tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan bukan
termasuk tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan Negara, namun
merupakan tindak pidana korupsi penyalanggunaan kekuasaan atau
kewenangan. Hal ini ada di dalam pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU KPK)

Demikianlah analisa dan pandangan sederhana dari penulis yang mencoba


melakukan penelitian sederhana dengan cara mengamati kasus hukum Budi
Gunawan dari berbagai media informasi dan komunikasi. Penulis menyadari
masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan bimbingan dan saran dari ibu dosen pengampu mata kuliah
Pengantar Ilmu Hukum agar dikemudian hari penulis dapat lebih memahami
bagaimana cara yang tepat untuk belajar menganalisa suatu kasus.

18
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. Hakim Praperadilan. Diunduh hari Kamis, 26 Maret 2015 Pukul 01.00
WIB dari websitehttp://www.sorgemagz.com/?p=5512

Anonim. 2015. Gugatan Budi Gunawan. Diunduh hari Kamis, 26 Maret 2015 Pukul
02.10 WIB dari websitehttp://nasional.kompas.com

Anonim. 2015. Pakar Hukum Tata Negara UNHAS. Diunduh hari Kamis, 26 Maret
2015 Pukul 02.10 WIB dari website http://makassar.tribunnews.com

Koran Tempo Februari 2015

Wikipedia. 2015. Profil Budi Gunawan. Diunduh hari Kamis, 26 Maret 2015 Pukul
00.30 WIB dari websitehttp://id.wikipedia.org/wiki/Budi_Gunawan

19

You might also like