You are on page 1of 19

TUGAS MENGANALISA

TERAPI SPIRITUAL

Oleh:
Imam Jainuri
2013.02.055

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

BANYUWANGI

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat

rahmat dan bimbingan-Nya kami dapat menyelesaikan tugas menganalisa terapi

spiritual agam islam dapat terselesaikan. Tugas menganalisa ini merupakan salah

satu syarat untuk memenuhi nilai tugas agama pada rogram S1 keperawatan

STIKES Banyuwangi.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik semua pihak yang

telah memberikan dukungan, bantuan, kesempatan dalam menyelesaikan tugas

menganalisa ini. Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyelesaian tugas ini

masih jauh dari sempurna, sehingga penulis mohon kritik dan saran yang sifatnya

membangun. Penulis berharap semoga tugas ini berguna bagi pembaca.

Banyuwangi, 01 Februari 2017


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang menganut dan mengakui faham Ketuhanan.

Sikap ini tercermin dari rumusan konstitusi dasar negara Pancasila, dalam

pernyataan sila pertamanya, Ketuhanan yang Maha Esa. Telah dipahami bersama

bahwa Dasar Negara Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum

yang berlaku di Indonesia. Pernyataan tersebut mengandung arti, semua peraturan

perundangan yang ada di Indonesia harus merujuk dan tidak boleh bertentangan

dengannya. Konsekwensi dari sikap konstitusional itu diantaranya adalah semua

penduduk di Indonesia wajib berketuhanan dan dilarang berkembangnya ateisme.

Klien adalah anggota masyarakat yang merupakan bagian dari penduduk baik

dalam skala nasional (klien sebagai bagian dari penduduk suatu negara) maupun

dalam skala global (klien sebagai bagian dari penduduk dunia).

Klien dalam perspektif keperawatan seperti dikemukakan Henderson

(2006) merupakan individu, keluarga atau masyarakat yang memiliki masalah

kesehatan dan membutuhkan bantuan untuk dapat memelihara, mempertahankan

dan meningkatkan status kesehatannya. Sebagai manusia, klien selain sebagai

mahluk individu, juga merupakan mahkuk sosial dan mahluk Tuhan. Berdasarkan

hakikat manusia itu, maka keperawatan memandang manusia sebagai mahluk

yang holistik yang terdiri atas aspek biologis (fisiologis), psikologis, sosiologis,

kultural dan spiritual. Hal ini seperti di nyatakan Xiaohan (2005) bahwa manusia

merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri atas fisiologis (physiological),
psikologis (psychological), sosial (social), spiritual (spiritual), dan kultural

(cultural). Hal serupa dikemukakan Dossey & Dossey (1998), Govier (2000), dan

Stoter (1995) dalam Govier (2000) yang menyatakan bahwa manusia merupakan

mahluk unik dan kompleks yang terdiri atas berbagai dimensi. Dimensi yang

komprehensif pada manusia itu meliputi dimensi biologis (fisik), psikologis,

sosial, kultural dan spiritual.

Dalam kata lain, Makhija (2002) mendeskripsikan bahwa tiap individu

manusia adalah mahluk yang holistik yang tersusun atas body, main dan spirit.

Beberapa pandangan pakar di atas, sesungguhnya memiliki esensi yang sama

bahwa manusia adalah mahluk unik yang utuh menyeluruh, yang tidak saja terdiri

atas aspek fisik, melainkan juga psikologis, sosial, kultural dan spiritual.

Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu saja diantara

dimensi di atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat.

Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial,

spiritual, dan kultural atau dimensi body, main dan spirit merupakan satu kesatuan

yang utuh. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan mencapai

kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut sejahtera. Terkait konsep ini,

Plato dalam Makhija (2002) mengungkapkan bahwa tidak sepatutnya berusaha

mengobati dan menyembuhkan mata tanpa kepala, atau mengobati kepala tanpa

badan, demikian juga badan tanpa jiwa, karena bagian-bagian tersebut tidak akan

pernah sejahtera kecuali keseluruhannya sejahtera. Kesadaran akan konsep ini

melahirkan keyakinan dalam keperawatan bahwa pemberian asuhan keperawatan

hendaknya bersifat komprehensif atau holistik, yang tidak saja memenuhi


kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan kultural tetapi juga kebutuhan spiritual

klien.

Dimensi spiritual merupakan salah satu dimensi penting yang perlu

diperhatikan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada semua

klien. Bahkan, Makhija (2002) menyatakan bahwa keimanan atau keyakinan

religius adalah sangat penting dalam kehidupan personal individu. Lebih lanjut

dikatakannya, keimanan diketahui sebagai suatu faktor yang sangat kuat

(powerful) dalam penyembuhan dan pemulihan fisik. Mengingat pentingnya

peranan spiritual dalam penyembuhan dan pemulihan kesehatan maka penting

bagi perawat untuk meningkatkan pemahaman tentang konsep spiritual agar dapat

memberikan asuhan spiritual dengan baik kepada semua klien.

Sementara itu, jika kita lakukan analisis situasi saat ini, termasuk di

Indonesia, kenyataannya menunjukan bahwa asuhan spiritual (spiritual care)

belum diberikan oleh perawat secara kompeten. Setidaknya fakta tersebut,

didasarkan oleh beberapa data yang didapat penulis dari hasil penelusuran

terhadap berbagai sumber di beberapa negara maupun pengalaman dan observasi

klinis penulis di beberapa institusi atau lembaga pelayanan kesehatan dimana

penulis pernah melaksanakan praktik klinik. Fakta tersebut antara lain seperti

yang di kemukakan oleh: 1) Rankin dan DeLashmutt (2006) dalam penelitiannya

yang menemukan bahwa banyak perawat mengakui belum memahami secara jelas

dan mengalami kebingungan antara konsep spiritualitas dan religius, 2)

kesimpulan Rieg, Mason dan Preston, (2006) dalam studinya juga

memperlihatkan terdapat banyak perawat yang mengakui bahwa mereka tidak

dapat memberikan asuhan spiritual secara kompeten karena selama masa


pendidikannya mereka kurang mendapatkan panduan tentang bagaimana

memberikan asuhan spiritual secara kompeten, 3) Makhija (2002) melihat bahwa

praktik asuhan spiritual menjadi sulit ditemukan akibat terjadinya pergeseran

budaya dalam pelayanan kesehatan dan kedokteran yang lebih berespon terhadap

kepentingan bisnis yang berorientasi material, dan 4) kesimpulan sementara

penulis dari hasil observasi penulis selama melaksanakan praktik di tatanan

pelayanan kesehatan yang menyimpulkan bahwa asuhan spiritual belum dilakukan

oleh perawat dalam praktik profesionalnya sehari-hari dengan dibuktikan oleh

sulitnya menemukan dokumen dalam catatan keperawatan yang memperlihatkan

bukti bahwa asuhan spiritual telah dilakukan dengan baik.

Disamping itu merujuk pada hasil riset yang dilakukan di negara lain

seperti oleh Oswald (2004) dalam disertasinya berjudul Nurses’s Perception of

Spirituality and Spiritual Care di Drake University Amerika, yang

merekomendasikan empat hal untuk dilakukakn penelitian lebih lanjut meliputi 1)

perlunya penelitian lanjutan yang serupa pada populasi dan lokasi (termasuk

negara) berbeda, yang mempunyai latar belakang sosiobudaya berbeda, 2)

penelitian dilakukan dalam kerangka waktu yang lebih panjang, 3) perlunya

memperluas data demografi meliputi tiga area antara lain lokasi dimana perawat

melakukan praktik profesionalnya (location of practice), tingkat pendidikan

perawat (educational level of the nurse), dan lamanya bekerja (years of service in

the profession); dan 4) penelitian spiritualitas dan asuhan spiritual dalam

kurikulum pendidikan keperawatan. Hasil studi tersebut kiranya menjadi

fenomena penting yang perlu dilakukan studi lebih lanjut.


Berdasarkan uraian di atas tampak adanya dua pertentangan antara

pentingnya asuhan spiritual di satu sisi dan fakta permasalahan aplikasi asuhan

spiritual oleh perawat di sisi lainnya, sekaligus juga peluang dan tantangan untuka

melakukan studi lebih lanjut terkait dengan spiritualitas dan asuhan spiritual.

Untuk itu perlu direnungkan dan dilakukan pengkajian lebih lanjut bagaimana

persepsi perawat tentang konsep spiritualitas dan asuhan spiritual, sebagai langkah

awal untuk mulai memfokuskan dan mendudukan sama pentingnya aspek

spiritual, seperti juga aspek lainnya (fisik, psiko, dll). Setelah itu perlu pula studi

lanjutan tentang faktor-faktor apa yang mempengaruhi implementasi asuhan

spiritual, baik faktor pendukung maupun penghambatnya.

Nilai yang membentuk dan mempengaruhi kehidupan kita adalah

keabadian dan kesehatan. Kesehatan seseorang bergantung pada keseimbangan

variabel fisik, psikologis, sosiologis, cultural, perkembangan an spiritual.

Kesejahteraan spiritual adalah suatu aspek yang terintegrasi dari manusia secara

keseluruhan, yang ditanai oleh makna dan harapan ( Clark at all, 1991 )

spiritualitas memberi dimensi luas pada pandangan holistic kemanusiaan. Agar

perawat dapat memberikan keperawatan yang berkualitas, mereka harus

mendukung klien seperti halnya ketika mereka mengidentifikasikan dan

mengeksplorasi apa yang sangat bermakna dalam kehidupan mereka dan ketika

mereka menemukan cara untuk mengadaptasi nyeri dan menderita penyakit.

Keperawatan membutuhkan keterampilan dalam keperawatan spiritual. Setiap

perawat harus memahami tentang spiritualitas dan bagaimana keyakinan spiritual

mempengaruhi kehidupan setiap orang. Berdasarkan latar belakang diatas, maka

makalah ini akan membahas mengenai konsep umum spiritualitas pada lansia.
B. Tujuan

1. Tujuan umum

Diharapkan mahasiswa mengetahui tentang konsep umum spiritual pada

pasien lansia.

2. Tujuan khusus

a. Mahasiswa mengetahui pengertian spiritual

b. Mahasiswa mengetahui dimensi spiritual lansia

c. Mahasiswa mengetahui perkembangan spiritual lansia

d. Mahasiswa mengetahui kebutuhan dasar spiritual pada lansia

e. Mahasiswa mengetahui sikap kelompok lansia tentang sakit dan

kematian
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Spiritual

Spiritualitas adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha

pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh individu.

Spiritual adalah kebutuhan dasar dan pencapaian tertinggi seorang

manusia dalam kehidupannya tanpa memandang suku atau asal-usul. Kebutuhan

dasar tersebut meliputi: kebutuhan fisiologis, keamanan dan keselamatan, cinta

kasih, dihargai dan aktualitas diri. Aktualitas diri merupakan sebuah tahapan

Spiritual seseorang, dimana berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan,

sukacita, kasih sayang, kedamaian, toleransi, kerendahatian serta memiliki tujuan

hidup yang jelas (Maslow 1970, dikutip dari Prijosaksono, 2003).

Spiritual adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa

dan Maha Pencipta (Hamid, 1999). Spiritual juga disebut sebagai sesuatu yang

dirasakan tentang diri sendiri dan hubungan dengan orang lain, yang dapat

diwujudkan dengan sikap mengasihi orang lain, baik dan ramah terhadap orang

lain, menghormati setiap orang untuk membuat perasaan senang seseorang.

Spiritual adalah kehidupan, tidak hanya doa, mengenal dan mengakui Tuhan

(Nelson, 2002).

Menurut Mickley et al (1992) menguraikan Spiritual sebagai suatu yang

multidimensi yaitu dimensi eksitensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial

berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus

pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Spiritual sebagai
konsep dua dimensi, dimensi vertikal sebagai hubungan dengan Tuhan atau Yang

Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal

adalah hubungan dengan diri sendiri, dengan orang.

Berdasarkan konsep keperawatan, makna spiritual dapat dihubungkan

dengan kata-kata : makna, harapan, kerukunan, dan system kepercayaan (Dyson,

Cobb, Forman,1997). Dyson mengamati bahwa perawat menemukan aspek

spiritual tersebut dalam hubungan dengan seseorang dengan dirinya sendiri, orang

lain dan dengan Tuhan. Menurut Reed (1992) spiritual mencakup hubungan intra,

inter, dan transpersonal. Spiritual juga diartikan sebagai inti dari manusia yang

memasuki dan mempengaruhi kehidupannya dan dimanifestasikan dalam

pemikiran dan perilaku serta dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain,

alam ,dan Tuhan (Dossey & Guazetta, 2000).

Para ahli keperawatan menyimpilkan bahwa spiritual merupakan sebuah

konsep yang dapat diterapkan pada seluruh manusia. Spiritual juga merupakan

aspek yang menyatu dan universal bagi semua manusia. Setiap orang memiliki

dimensi spiritual. Dimensi ini mengintegrasi, memotivasi, menggerakkan, dan

mempengaruhi seluruh aspek hidup manusia.

B. Karakateristik Spiritual

Adapun karakteristik spiritualitas menurut Hamid (2000) meliputi :

1. Hubungan dengan diri sendiri (kekuatan dalam atau self-reliance)

meliputi: pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya)

dan sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan,

ketenangan pikiran, harmoni atau keselarasan dengan diri sendiri.


2. Hubungan dengan alam (harmoni) meliputi: mengetahui tentang tanaman,

pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan alam (bertanam,

berjalan kaki), mengabadikan dan melindungi alam.

3. Hubungan dengan orang lain (harmonis atau suportif) meliputi: berbagi

waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik, mengasuh anak,

orang tua dan orang sakit, serta meyakini kehidupan dan kematian

(mengunjungi, melayat dll), dikatakan tidak harmonis apabila: konflik

dengan orang lain, resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan

friksi.

4. Hubungan dengan ketuhanan (agamais atau tidak agamais) meliputi:

sembahyang atau berdoa atau meditasi, perlengkapan keagamaan dan

bersatu dengan alam (hamid, 2000).

C. Dimensi Spiritual Pada Pasien Lansia

Menurut Koezier & Wilkinson, 1993 cit Hamid, 2000, dimensi spiritual

adalah upaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan

dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapat kekuatan ketika sedang

menghadapi stres emosional, penyakit fisik atau kematian. kekuatan yang timbul

diluar kekuatan manusia.

Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau

keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan

kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau

kematian. Dimensi spiritual juga dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul

diluar kekuatan manusia (Kozier, 2004).


Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial

dan dimensi agama, Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan,

sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan

Yang Maha Penguasa. Spirituaiitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal

adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun

kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang

dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan

yang terus menerus antara dua dimensi tersebut (Hawari, 2002).

D. Perkembangan Spiritual Pada Pasien Lansia

Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak waktu

untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti agama dan berusaha untuk

mengerti nilai-nilai agama yang diyakini oleh generasi muda. Perasaan kehilangan

karena pensiun dan tidak aktif serta menghadapi kematian orang lain (saudara,

sahabat) menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri. Perkembangan filosofis

agama yang lebih matang sering dapat membantu orang tua untuk menghadapi

kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan dan merasa berharga serta lebih dapat

menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan

(Hamid, 2000).

Mubarak et.al (2006), perkembangan spiritual yang terjadi pada lanjut usia

antara lain: 1) agama/kepercayaan semakin terintegrasi dalam kehidupan; 2) lanjut

usia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berfikir

dan bertindak dalam sehari-hari. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun

menurut Fowler : universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini


adalah berfikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai dan

keadilan.

E. Konsep Kebutuhan Dasar Spiritual

1. Pengertian kebutuhan dasar spiritual

Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau

mengembalikan keyakinan dan rnemenuhi kewajiban agamas serta kebutuhan

untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan

penuh rasa percaya dengan Tuhan.

Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan mencari arti dan tujuan hidup,

kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, serta kebutuhan untuk memberikan dan

mendapatkan maaf (Kozier, 2004).

Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau

mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan

untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan

penuh rasa percaya dengan Tuhan. dapat disimpulkan kebutuhan spiritual

merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk

mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan dan kebutuhan untuk memberikan

dan mendapatkan maaf. (Hamid, 2000).

Menginventarisasi 10 butir kebutuhan dasar spiritual manusia (Clinebell

dalam Hawari, 2002), yaitu :

a. Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust), kebutuhan ini secara

terus-menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini

adalah ibadah.
b. Kebutuhan akan makna dan tujuan hidup, kebutuhan untuk menemukan

makna hidup dalam membangun hubungan yang selaras dengan Tuhannya

(vertikal) dan sesama manusia (horisontat) serta alam sekitaraya.

c. Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dengan

keseharian, pengalaman agama integratif antara ritual peribadatan dengan

pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.

d. Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan secara teratur mengadakan

hubungan dengan Tuhan, tujuannya agar keimanan seseorang tidak

melemah.

e. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa. rasa bersaiah dan

berdosa ini merupakan beban mental bagi seseorang dan tidak baik bagi

kesehatan jiwa seseorang. Kebutuhan ini mencakup dua hal yaitu pertama

secara vertikal adalah kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah, dan

berdosa kepada Tuhan. Kedua secara horisontal yaitu bebas dari rasa

bersalah kepada orang lain .

f. Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri {self acceptance dan self

esteem), setiap orang ingin dihargai, diterima, dan diakui oleh

lingkungannya.

g. Kebutuhan akan rasa aman, terjamin dan keselamatan terhadap harapan

masa depan. Bagi orang beriman hidup ini ada dua tahap yaitu jangka

pendek (hidup di dunia) dan jangka panjang (hidup di akhirat). Hidup di

dunia sifatnya sementara yang merupakan persiapan bagi kehidupan yang

kekal di akhirat nanti.


h. Kebutuhan akan dicapainya derajat dan martabat yang makin tinggi

sebagai pribadi yang utuh. Di hadapan Tuhan, derajat atau kedudukan

manusia didasarkan pada tingkat keimanan seseorang. Apabila seseorang

ingin agar derajatnya lebih tinggi dihadapan Tuhan maka dia senantiasa

menjaga dan meningkatkan keimanannya.

Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan

spiritualnya apabila mampu (Hamid, 2000) :

a. Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di

dunia/kehidupan.

b. Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu

kejadian atau penderitaan.

c. Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya

dan cinta.

d. Membina integritas personal dan merasa diri berharga.

e. Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan.

f. Mengembangkan hubungan antar manusia yang positif.

2. Pengkajian kebutuhan dasar spiritual pada pasien lansia

Dalam pengkajian terhadap lansia perawat harus bisa memberikan

ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama

yang dianutnya dalam keadaan sakit atau mendeteksi kematian.

Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang

menghadapi kematian, DR. Tony styobuhi mengemukakn bahwa maut sering kali
menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam factor,

seperti ketidak pastian akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit dan

kegelisahan kumpul lagi bengan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dalam

menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberikan reaksi yang

berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara dalam mengahadapi hidup ini.

Adapun kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat

harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun kelurga tadi di tinggalkan ,

masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu

menghantui pikiran lanjut usia.

Umumnya pada waktu kematian akan datang agama atau kepercayaan

seseorang merupakan factor yang penting sekali. Pada waktu inilah kelahiran

seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia. Dengan

demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya terhadap fisik

saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia

melalui agama mereka. Mengingatkan klien lansia apakah sudah beribadah,

bagaimana perasaan lansia setelah beribadah, melakukan hal-hal yang

berhubungan dengan beribadah lainnya (berdoa, pergi ketempat beribadah,

berpuasa, berdoa bersama atau pengajian, membaca kitab suci atau al’quran dan

lain-lain).
F. Bagaimana sikap pasien lansia sesuai tingkat perkembangan lansia

mengahadapi sakit dan kematian. Jelaskan alasannya?

Pada kelompok lansia saat menghadapi sakit dan kematian, lansia lebih

cenderung :

1. Mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama

2. Berusaha untuk mengerti agama dan berusaha untuk mengerti nilai-nilai

agama yang diyakini oleh generasi muda.

3. Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif serta menghadapi

kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa kesepian dan

mawas diri.

4. Perkembangan filosofis agama yang lebih matang sering dapat membantu

orang tua untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan

dan merasa berharga serta lebih dapat menerima kematian sebagai sesuatu

yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan (Hamid, 2000).

Alasannya : karena pada kelompok lansia lebih cenderung memikirkan

aspek spiritual keagamaan yang lebih utama dari aspek-aspek yang lain, sehingga

kelompok lansia lebih focus pada satu aktivitas spiritual keagamaan untuk

mendekatkan dirinya dengan Tuhannya.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada kelompok lansia saat menghadapi sakit dan kematian, lansia lebih

cenderung: Mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama, berusaha

untuk mengerti agama dan berusaha untuk mengerti nilai-nilai agama yang

diyakini oleh generasi muda, perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif

serta menghadapi kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa

kesepian dan mawas diri, perkembangan filosofis agama yang lebih matang sering

dapat membantu orang tua untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam

kehidupan dan merasa berharga serta lebih dapat menerima kematian sebagai

sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan (Hamid, 2000).

B. Saran

Sebagai perawat professional kita harus melakukan hal yang memang

dibutuhkan oleh pasien termasuk salah satunya adalah melakukan asuhan

keperawatan spiritual, jangan hanya mementingkan kepentingan bisnis yang

berorientasi pada material saja


DAFTAR PUSTAKA

Govier (2000). Spiritual care in nursing: A systematic approach. Nursing


standard, 1, (1), diambil pada tanggal 20 September 2007.

Henderson, V. (2006). The concepts of nursing. Journal of advance nursing, 53,


(1), 25-31. Diambil pada 24 Desember 2009 dari jam 20.00 WIB.

Makhija (2002). Spiritual nursing. Nursing journal of India. (June, 2002).


Diambil pada tanggal 10 Februari 2008.

Oswald (2004). Nurses’ perceptions of spirituality and spiritual care. Diambil


pada 27 Desember 2008 jam 14.20 WIB.

Rankin & DeLashmutt (2006). Finding spirituality and nursing presence: The
student’s challenge. Journal of holistic nursing. (Vol 24; number 4).
December 2006. Diambil pada tanggal 21 September 2007.

Rieg, Mason & Preston (2006). Spiritual care: Practical guidelines for
rehabilitation nurses. Nov/Dec 2006. Vol. 31. Diambil pada tanggal 15
Februari 2008.

Taylor, Lilis & LeMone. (1997). Fundamentals of nursing: The art and science
of nursing care. (3rd Ed.). Philadelphia: Lippincott.

Xiaohan, L. (Maret 2005). Basic concepts in nursing science. China: School of


Nursing China Medical University. Diambil pada 26 Desember 2009
jam 15.17 WIB.

You might also like