You are on page 1of 19

Penerapan Design Principle Pada kelembagaan Kemitraan Perkebunan Kelapa Sawit

Desa (Studi Kasus Perkebunan Kas Masyarakat Desa di Kabupaten Mukomuko)


In the application of the Design Principle Plantation Partnership Palm Plantation
Village
(Case Study Cash Village Community Plantation in the Mukomuko regency)

Izharudin .
Mahasiswa (S3) Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang
Abstract

Institutional nationally prominent agricultural development in a variety of


programs . Plantation development activities outlined in the program form the nucleus Estate
Smallholder ( NES ) . Then turned into a firm Nucleus Estates ( PIR - BUN ) , and followed
by PIR transmigration .
This study aims to analyze the application of the principle of institutional design
partnership of oil palm plantations are effective and sustainable village in the district
Mukomuko . The data used is primary data obtained from interviews of 18 respondents
managers , community leaders , village and community supported quiesioner statement by
180 respondents . The results showed that the existing institutional partnerships not yet
effective and have not been demonstrated sustainability . It is seen less attention or proper
handling of such principles : Monitoring , periodic sanctions , conflict resolution mechanisms
. Design principles that have become kekauatan lack of clear boundaries on the recognition of
rights management of physical , administrative , and social . It can be concluded that Ostrom
design principles can be used in institutional partnership village oil palm plantations as one of
the common forms , but need special attention to the principle that less attention it deserves.

Keywords : institutional , partnership , Cash Village Community Plantation .

Abstrak
Secara nasional kelembagaan pembangunan pertanian sangat menonjol dalam
berbagai program. Kegiatan pembangunan perkebunan dituangkan dalam bentuk program
nucleus Estate Smallholder (NES). Kemudian berubah menjadi perusahaan Inti Rakyat
Perkebunan (PIR-BUN), dan disusul PIR –Transmigrasi.
Kajian ini bertujuan menganalis penerapan prinsip desain kelembagaan kemitraan
perkebunan kelapa sawit desa yang efektif dan berkelanjutan di kabupaten Mukomuko. Data
yang digunakan merupakan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara sebanyak 18
responden pengelola, tokoh masyarakat, perangkat desa dan didukung pernyataan quiesioner
masyarakat sebanyak 180 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan
kemitraan yang ada belum efektif dan belum menunjukkan keberlanjutan. Hal ini terlihat
kurang mendapat perhatian atau penanganan yang layak diantaranya prinsip : Monitoring,
sanksi berkala, mekanisme penyelesaian konflik. Prinsip desain yang telah menjadi kekauatan
adanya batasan yang jelas atas pengakuan hak pengeloaan fisik, administratif, dan sosial.
Dapat disimpulkan bahwa prinsip desain ostrom dapat digunakan pada kelembagaan
kemitraan usaha kebun kelapa sawit desa sebagai salah satu bentuk common, namun perlu
perhatian khusus terhadap prinsip yang kurang mendapat perhatian yang layak.
Kata kunci : kelembagaan, kemitraan, kebun kas masyarakat desa.

1
Latar Belakang
Kelembagaan pertanian adalah norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta
dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat
dengan kehidupan dari bidang pertanian pedesaan. Dalam kehidupan komunitas petani, posisi
dan fungsi kelembagaan petani merupakan pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial
(social interplay)dalam suatu komunitas. Kelembagaan petani juga memiliki titik strategis
dalam menggerakkan sistem agribisnis pedesaan. Saat ini potret petani dan kelembagaan
petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana diharapkan (Suradisastra,2008).
Berbagai kelembagaan kemitraaan telah dikembangkan pada komoditas pertanian,
namun sebagaian besar belum menunjukkan kinerja optimal, kecuali pada sebagian
komoditas perkebunan, khususnya kelapa sawit . Keberhasilan komoditas ini memiliki
jangkauan pasar yang lebih luas dan adanya pengembangan pabrik pengolahan (Erwidodo,
1995).
Kelembagaan kemitraan usaha telah diterapkan pemerintah dalam pembangunan
perkebunan, dengan tujuan semua pihak yang terlibat di dalamnya sama-sama memiliki
manfaat. Dalam pelaksanaannya tidaklah semudah dalam perencanaan, bahkan kemitraan
yang melibatkan pemerintah justru menambah kesulitan dan menimbulkan distorsi (Raharjo,
1990). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Syahyuti (2004), dimana peran pemerintah
yang terlalu dominan dalam kemitraan justru akan menghasilkan iklim yang kurang baik.
Sebaliknya kemitraaan yang terbentuk dengan sendirinya, khususnya di daerah sentra
produksi pertanian dianggap lebih berhasil. Hal ini disebabkan oleh adanya ketergantungan
dan kebutuhan bersamaan.
Pengelolaan sumberdaya bersama termasuk lahan pertanian, ladang gembala,
sumberdaya air, minyak dan pertambangan, pertanian dan pengelolaan hutan, bahkan konsep
ini secara teoritis disebut common pool resources (CPR) juga diterapkan pada infrastruktur,
internet,knowledge management dan intellectual property dimana sumberdaya ini
mempunyai aspek kebersamaan atau common. Lebih jauh lagi Ostrom dan Hess (2007)
memaparkan sumberdaya yang dimiliki bersama dapat dikelola oleh kelompok masyarakat
sebagai unit terkecil yang terlibat langsung dalam pengelolaan.
Sampai saat ini telah dibangun 38 kebun kas masyarakat desa yang memanfaaatkan
hutan desa di Kabupaten Mukomuko propinsi Bengkulu , 34 kebun masyarakat desa telah
berproduksi yang bermitra dengan PT. Agromuko. Setelah usaha kebun kelapa sawit
berproduksi diserahkan pengelolaanyanya kepada sebuah kepanitiaan desa, atau koperasi
desa, sebagai sebuah bentuk kelembagaan kemitraan lokal. Kelembagan kemitraan ini
berpotensi menjadi sebuah kelembagaan kemitraan yang sustainable, juga berpotensi

2
melahirkan konflik. Untuk itu perlu dikaji bagaimana kelembagaan kemitraan perkebunan
kelapa sawit desa yang efektif dan sustanable.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dari April 2012 sampai Oktober 2012 di kebun kas masyarakat
desa kabupaten Mukomuko, Propinsi Bengkulu. Kebun masyarakat desa yang terpilih sebagai
objek penelitian meliputi desa ; Pasar Bantal, Air Dikit, Tunggal Jaya, Lubuk Pinang, Pondok
Batu, dan Ujung Padang. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif menggunakan
data primer dan data skunder meliputi kondisi biofisik, aspek ekonomi , aspek sosial, dan
aspek aturan yang digunakan (rule in use) dalam pengelolaan kebun kelapa sawit desa. Data
sekunder berasal dari PT.Agromuko dan Instansi Terkait. Data primer biofisik kesesuai lahan
dan kondisi tanah dikumpulkan dengan observasi lapangan. Data ekonomi , sosial dan aturan
yang digunakan (rule in use) dikumpulkan melalui wawancara yang mendalam kepada
responden terpilih perangkat desa, masyarakat desa , pengelola usaha kebun masyarakat desa
tokoh masyarakat desa dan didukung dengan quesioner masyarakat. Pengolahan dan analisis
data dilakukan secara kualitatif melalui metode tabulasi dan deskripsi. design principle
Ostrom (1990).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Batas-batas yang jelas (clearly defined boundaries)

Individuals or households with rights to withdraw resource units from the CPR and the
boundaries of the CPR it self are clearly defined.

Batasan definisi dengan jelas (clearly defined boundaries) hasil penelitian

menunjukkan bahwa batasan fisik (ruang) yang jelas yakni berupa batas kepemilikan area

kebun kas masyarakat desa yang berbentuk : tonggak, derenase dan jalan. Selain itu batasan

sosial meliputi batasan keanggotaan adalah ditentukan oleh status/kedudukan masyarakat

dalam desa yakni merupakan anggota keluarga dan merupakan anak cucu orang desa

(masyakat berkaum-kaum). Selain itu batasan administrative di tunjukkan dengan keberadaan

status administrasi kepemilikan lahan sebagai milik masyakat desa (SKT). .

Hasil wawancara yang mendalam dengan kepala desa Bantal “Pak Sunardi”,
beliau mengemukakan bahwa kebun kas masyarakat desa memiliki batasan yang jelas.
Pernyataan ini diperkuat oleh “Pak Junaidi” seorang guru yang menjadi tokoh masyarakat.
Dalam pernyataannya kedua orang ini meberikan informasi yang sama bahwa lahan kebun
kas masyarakat seluas 15 Ha dengan batas-batas yang jelas, masyarakat bersama-sama
bergotong royong untuk menerbas/ membuka lahan tersebut. Lahan yang sudah

3
diterbas/dibuka kemudian diserhakan diserahkan kepada PT Agromuko untuk dibangun
kebun masyarakat desa.
Hal ini dibenarkan oleh senior manager administration (SMA) PT. Agromuko.
(Demikian juga hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, dan pengurus serta perangkat
desa lainnya Air Dikit, Tunggal Jaya, Lubuk Pinang, Pondok Batu, dan desa Ujung Padang).
Hasil qusioner dari pernyataan masyarakat, dengan 6 (enam) pertanyaan yakni :

(1) Keberadaan kebun kas masyarakat desa 100 %, masyarakat mengetahui adanya kebunkas

masayarakat desa di desa mereka. (2) Dari mana masyarakat mengetahui keberadaan kebun

kas masyarakat desa: dari orang lain (13,33 % - 86,87 %), dekat dengan lokasi mereka (10,00

% - 23,33 %), dari pengurus/ perangkat desa (16,67 % - 67,67 %). (3) Keanggotaan (83,33%

- 100,00%) yang menjawab” Ya”. (4) Syarat menjadi anggota seluruh warga/ rumah tangga

( 80,00 % - 100,00%), rumah tangga anak cucu kaum (10,00 % - 13,33%). (5) Batasan fisik

derase (73,33 % - 93,33 %), selebihnya menjawab tonggak dan jalan. (6) Status kepemilikan

100,00 % menjawab sebatas SKT.


Clearly defined boundaries juga dilihat dari pemanfaatan hasil common pool

resources adalah untuk kepentingan umum diantaranya dibangun jalan desa, tempat ibadah,

pembelian kantor desa dan lainnya, hanya desa Pondok Batu pada tahun 2012 membagi hasil

usaha ini secara langsung pada masyarakat, yakni berupa dana sebesar Rp. 1.300.000,- per

kepala keluarga (KK).


Kebun kas masyarakat desa sebagai sumberdaya perkebunan milik bersama

berdasarkan teori hak kepemilikan menurut Martial (2010) bahwa kebanyakan teori hak-hak

kepemilikan menganut empat tipologi, yaitu perorangan (private), milik bersama

(common) ,milik Negara (state) akses terbuka (open acsess) yang berhubungan dengan

situasi dimana tidak ada hak- hak kepemilikan yang jelas, hal ini membedakannya dengan

milik umum. Lebih Lanjut Feder dan Feeny (1991) dalam Martial (2010) menyebutnya

sebagai kepemilikan komunal pada kepemilikan bersama (common property). Hal ini

memberikan indikasi sebagaimana teori ostrom dalam design principle yang pertama clearly

defined boundaries ini terpenuhi sebagai common pool resources.

4
Perbandingan yang proporsional antara biaya dan manfaat (Proportional Equevalence
between benefit and cost)

Use rules restricting time, place, technology, and/or quantity of resource units are related to
local conditions and to provision rules requiring labor, materials, and/or money.

Prinsip yang kedua adalah ketentuan alokasi manfaat sesuai input yang diberikan.

Membuat peraturan yang menentukan berapa, kapan dan bagaimana memanfaatkan

sumberdaya, dan berapa besar biaya operasionalnya, sangat diperlukan untuk keberlanjutan

jangka panjang. Para peserta cenderung berkolaborasi apabila dapat menimbang

pemeliharaan dan kelanjutannya. Sistem yang berkeadilan berlaku atas semua pengguna,

sehingga kalau ada ketimpangan atau free rider, yang lain juga tidak akan mematuhi

peraturan.

Prinsip ke dua berupa kesesuaian aturan dan kondisi lokal (proportional

equvalence beetween benefit and cost) dilihat dari kesesuai antara distribusi manfaat dan

biaya proporsional yang belum mencapai optimal hal ini tergambar dari penggunaan hasil

usaha kebun kelapa sawit desa di beberapa desa masih sebagian besar diperuntukkan untuk

pembiayaan pemeliharaan kebun dan pembayaran hutang. Proporsi penggunaan hasil yang

diatur oleh masyarakat melalui pemufakatan desa yang merupakan aturan lokal yang mampu

mengikat secara tegas. Aturan lokal hanya sebatas kesepakatan ini tak tak tertutup

kemungkinan berubah –ubah setiap saatnya. Dilihat dari dimensi waktu dan aspek fisik yang

terkait dengan kondisi lingkungan lokal, sosial budaya hal ini tidak dapat mengikat.
Pengaturan dilakukan sejak tahap awal pembangunan Kebun Kas Masyarakat

Desa, karena sudah disepakati aturan- aturan yang dapat mengatur pengelolaan Kebun Kas

Masyarakat Desa sebagai milik bersama (common property). Perjanjian yang dilakukan

antara pihak desa dalam hal ini diwakili oleh kepanitian desa atau koperasi dan pihak

perusahaan mitra sebagai pihak yang membiayai dan mengelola Kebun Kas Masyarakat

Desa.

5
Secara umum perjanjian pengaturan pembiayaan dan pengelolaan Kebun Kas

Masyarakat Desa di kabupaten Mukomuko dengan pihak mitra adalah sama yang mana isi

perjanjian tersebut meliputi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pihak perusahaan

sebagai mitra yang berkebwajiban melakukan pembiayaan dan pengelolaan Kebun Kas

Masyarakat Desa sesuai dengan luas masing-masing desa sampai memenuhi kultur teknis

yang baik dan benar. Persoalan jangka waktu pembiayaan sejak penanaman, persoalan

pengangsuran keridit dimulai, ditambah bunga 5 % pertahun, system pemotongan, termasuk

juga didalam perjanjian tersebut adalah (1) kewajiban menyerahkan TBS kepada mitra, (2)

cara penetapan harga, (3) besar pemotongan setiap penjualan TBS, (4) cara penyelesaian

perselisihan dan aturan – aturan lainnya.


Selain aturan- aturan yang bersifat eksternal itu atuaran yang bersifat internal

yakni mengatur penggunaan dana dari hasil usaha Kebun Kas Masyarakat Desa juga di

rapatkan di masing-masing desa. Pengelolapun mendapat upah/gaji dengan persentase yang

berbeda antar satu desa dengan desa yang lainnya, hampir secara menyeluruh pengelola

merupakan tokoh masyarakat, baik itu yang berlatar belakang sarak, kaum, tokoh

masyarakat, maupun dari kelompok kepemudaan.


Seperti yang dikatakan oleh Galtung dalam Agus (2001) bahwa status sosial

merupakan salah satu dari sumber kekuasaan. Akan tetapi sumber kekuasaan yang diperoleh

para kepala pribumi Bengkulu sangat berbeda dengan sumber kekuasaan yang dimiliki oleh

para raja yang feodalistis. Kekuasaan yang dimiliki kepala pribumi Bengkulu adalah

kekusaan bersumber adat istiadat. Karena bersumber dari adat, kekuasaannya ditentukan oleh

norma –norma soial yang berlaku dan diyakini dalam masyarakat.

Hasil Kesepakatan bersama ( Colective choice arrangement )


Most individuals affected by operational rules can participate in modifying operational rules.

Prinsip ke-3 yang dapat menunjang keberlanjutan adalah keterlibatan para aktor

dalam memberlakukan peraturan. Ini memungkinkan untuk menyesuaikan segala peraturan

dengan kondisi lokal yang dianggap wajar dan adil oleh para pelaku. Proses ini penting untuk

6
mengantisipasi perubahan lingkungan yang terjadi di tahap lokal sehingga dapat melakukan

penyesuaian.
Hasil kesepakatan bersama ( collective choice arrangement), pengaturan secara

kolektif, aturan dibuat oleh wakil komunitas dengan musyawarah desa. Kebersamaan,

solideritas, toleransi, semangat bekerjasama, kemampuan berempati, merupakan modal sosial

yang melekat dalam kehidupan di kabupaten Mukomuko. Hal ini juga yang menempatkan

kearifan lokal segan menyegan antar masyarakat yang terikat dalam satu hubungan emosional

kekeluargaan . Sehingga apa yang telah diputuskan oleh wakil komunitas ( tokoh masyarakat,

kepala kaum, pemuda dan komponen lainnya di desa) menjadi keputusan desa.
Undang –undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan menyatakan

Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau

media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan

jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan

serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan

masyarakat. Lebih lanjut undang-undang tersebut menyatakan bahwa Perkebunan

diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan,

keterbukaan, serta berkeadilan. Perkebunan diselenggarakan dengan tujuan ; (a)

meningkatkan pendapatan masyarakat, (b) meningkatkan penerimaan Negara, (c)

meningkatkan penerimaan devisa Negara, (d) menyediakan lapangan kerja, (e) meningkatkan

produktivitas, nilai tambah, dan daya saing, (f) memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan

baku industry dalam negeri dan (g) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara

berkelanjutan.
Selain Undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan, ada aturan lain

yang mengatur kebun Kas Masyarakat Desa antara lain peraturan Menteri Pertanian nomor :

273/Kpts/OT.160/4/2007, tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani , Permendagri

nomor 4 Tahun 2007, tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa, Permendagri Nomor 39

tahun 2010, tentang Badan Usaha Milik Desa.

7
Pemantauan (Monitoring)
Monitors, who actively audit CPR conditions and user behavior, are accountable to the users
and/or are the users themselves.

Pemantauan (Monitoring) merupakan prinsip yang sangat menentukan dalam

design principle Ostrom. Monitoring dari aspek pengawasan aktif, hasil penelitian dapat

dikatakan kurang berjalan sebagaimana mestinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pemantauan (monitoring) belum dilakukan secara terstruktur. Tidak ada pengawasan yang

betul-betul relevan, baik itu kebun kas desa yang dikelola oleh panitia ataupun koperasi.

Kelembagaan ini masih berjalan dengan baik disebabkan oleh rasa uuh pakeuh, dalam istilah

setempat disebut dengan segan menyegan, menurut teori Ostrom pengawasan dilakukan

secara terstruktur ataupun tidak terstruktur dengan pelaku pengawasan yang capable hal ini

belum dapat berjalan dengan baik. Kelembagaan tidak memiliki pengawas yang capable, hal

ini salah satu faktor penyebabnya adalah ketersediaan sumber daya manusia. Dilain pihak

masyarakat sendiri risih untuk melakukan pengawasan secara langsung, mengingat mereka

telah mempercayai (trust) pekerjaan melalui tokoh masyarakat, kepala kaum, pemuda dan

komponen lainnya yang berkompeten di desa. Kearifan lokal yang menempatkan posisi

kepemimpinan kepala suku (kaum ) menurut adat merupakan orang yang mendapatkan

tempat tertinggi di desa. Sehingga kita menjumpai pada masyarakat desa di kabupaten

Mukomuko peran kepala kaum dalam tatanan kehidupan bermasyarakat lebih dominan.

Masyarakat lebih menunggu apa dan bagaimana kepala kaum melakukan tindakan. Anak

cucu tidak dapat melakukan tindakan apapun tanpa sepengetahuan kepala suku/ kaum.

Hasil penelitian menunjukakan bahwa tidak ada pengawasan yang betul –betul

relevan, baik itu kebun kas masyarakat desa yang dikelola oleh koperasi maupun kebun kas

masyarakat desa yang dikelola oleh panitia desa. Sejak pembangunan perkebunan dari tahap

penyiapan lahan, penaman, pemeliharaan sampai berhasil tidak ada pihak khusus yang

mengawasi kegiatan tersebut. Ada berita yang beredar di kalangan masyarakat yang

8
mengatakan ada penyimpangan dalam pelaksanaan, namun tidak ada pihak yang bertanggung

jawab terhadap berita tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Armen Kelana ketua

Koperasi Teratai Indah Ujung Padang bahwa;

Kami dalam menjalankan koperasi itu ada badan pengawas, sebagaimana


struktur kepengurusan koperasi, di koperasi Teratai Indah badan pengawas yang diketuai
Pak Muzakri Maisin. Dalam kami menjalankan kerjasama, memang tidak setiap saat
pengawas ini bekerja. Kita tidak punya dana untuk melakukan pengawasan ini secara
khusus. Selama pelaksanaan pembangunan kebun kas masyarakat desa Ujung Padang saya
langsung mengawasi pembangunan tersebut. Sering kali saya menegor pihak perusahaan
dalam pembangunan kebun, seperti surat kami tentang kelanjutan pembangunan kebun
setelah cukup lama terbengkalai akibat kebakaran. Banyak pengawasan yang kami lakukan
setiap kegitan yang dilaksanakan oleh perusahaan.

Pengawasan pembangunan kebun kelapa sawit di desa –desa lain menunjukkan

ada pengawasan intern, yang dilakukan oleh ketua panitia ataupun ketua koperasi itu sendiri.

Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut mengingat apa yang dimaksud dengan

monitoring dalam prinsip desain itu tidak demikian. Pemantauan yang diatur dalam rezim

CPR jelas penting karena selalu ada kondisi yang menggoda beberapa individu menipu untuk

mendapatkan sesuatu, dan merugikan orang lain (Ostrom,2000). Semestinya pengawasan

tidak dilakukan oleh pihak pengelola sendiri melainkan dilakukan oleh pihak lain yang

capable. Pengawasan dimaksud adalah aktif pengawasi kondisi kebun kelapa sawit dan

perilaku pengguna, bertanggung jawab kepada pengguna dan /atau pengguna sendiri. Karena

pengguna adalah masyarakat desa, maka pengawasan harus bertanggung jawab kepada

masyarakat desa itu sendiri.


Dalam pengelolaan kebun kelapa sawit desa, tidak kita jumpai lembaga yang

bertugas secara teratur memonitoring kebun kas masyarakat desa, yang berasal dari luar

masyarakat pengelola baik pada model panitia desa maupun pada model koperasi. Hasil

penelitian juga tidak menjumpai pihak yang memiliki kewenangan melakukan tekanan

eksternal yang efektif mengendalikan upaya pemantauan kelembagaan kemitraan kebun

kelapa sawit desa. Sebagaimana diungkapkan Melinda (2008) pembangunan berbasis lokal

9
yang datang dari bawah dalam hal ini dimaknai sebagai model pembangunan yang

mengasumsikan bahwa pengambilan keputusan perencanaan dan implementasi kegiatan

dilakukan paling baik oleh orang- orang lokal. Sehubungan dengan itu, kelembagaan yang

tumbuh dan dikembangkan oleh orang – orang lokal sesuai asal usulnya diyakini dapat

memberikan panduan atau pedoman dalam pengambilan keputusan public khususnya pada

wewenang. Kelembagaan lokal yang berasal dari kapasitas wilayah yang laur biasa itu akan

dapat mendorong terjadinya inovasi di wilayah lokal.

Kegiatan monitoring merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan

keberhasilan usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pihak perusahaan mitra bekerja

lebih bebas dan leluasa dengan pengawasan monitoring yang minim. Pada model kepanitiaan

desa maupun koperasi persentase monitoring yang menurut pandangan masyarakat di desa

Bantal 86,67 persen menyatakan tidak ada monitoring, di desa Air Dikit hal yang sama dan di

desa Tunggal Jaya 83,33 persen. Lainnya menyatakan tidak tahu/ tidak jelas pelaksanaan

monitoring itu. Persentase masyarakat menjawab kadang- kadang desa Pasar Bantal dan air

Dikit dan Lubuk Pinang masing –masing 13,33 persen tunggal Jaya 16,67 persen. Pertanyaan

lebih lanjut tentang siapa pihak yang melaksanakan monitoring sebagian kecil masyarakat

menjawab nya adalah pengurus/ dan perangkat desa. Monitoring menurut masayarakat hanya

dilakukan oleh pengurus dan perangkat desa. Demikian juga apa yang dimonitor masyarakat

hanya menjawab fisik. Hal ini tercermin persentase masyarakat menjawab fisik diatas 86,67

sampai 100,00 persen.

Prinsip monitoring Ostrom tidak berlaku penuh dalam hal kelembagaan

kemitraan usaha kebun kelapa sawit desa. Prinsip Ostrom ini perlu dilakukan penyesuaian-

penyesuaian untuk dapat berjalan dengan optimal di desa yang memiliki budaya tersendiri.

Tidak ada pihak eksternal yang kompetensi untuk melakukan pengawasan. Pengawasan

sepenuhnya merupakan otoritas desa.

10
Sanksi Berkala (graduated sanctions)
Users who violate operational rules are likely to receive graduated sanctions (depending on
the seriousness and context of the offense) from other users, from officials accountable to
these users, or from both.

Prinsip ke- 5 adalah penggunaan sanksi berkala dalam system tata kelola yang

mendukung. Ini berangkat dari peran monitor sebagai basis informasi tentang suatu

pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kelompok disengaja maupun tidak.


Pada prinsi sanksi berjenjang (graduated sanctions). Hasil penelitian yang

ditunjukan dengan tidak adanya laporan dari pengawasan yang relevan, maka prinsip sanksi

berjenjang juga tidak menunjukkan hasil. Dalam pemberian sanksi pelanggaran yang dipakai

adalah aturan desa, sebagaimana dikemukakan dalam istilah kampuang “ dimano batang

tagolek disinan, cendawan tumbuh”. Dimano bumi dipijak disinan langit dijunjung. Hal ini

berarti kelembagaan ini masih sejalan dengan prinsip Ostrom,1990, namun belum berjalan

dengan baik.

Dalam banyak kasus – kasus yang terjadi, namun tidak berfungsinya monitoring

dengan baik sehingga mungkin kurangnya informasi yang dikumpulkan di desa. Hal ini juga

mungkin tidak adanya pihak yang melanggar aturan terungkap dan kerugian yang cukup

berarti dari penyalah gunaan kebun kelapa sawit desa. Sebagaimana dikemukakan Ostrom

(2000) kebutuhan untuk memiliki sanksi timbul karena dua alasan: pertama, untuk

memberikan pesan kepada pengguna bahwa kecurangan apapun akan diperhatikan dan

dihukum, dan kedua, untuk menunjukan bahwa mereka yang melangggar aturan berulang-

ulang kali akan menghadapi hukuman berat, membuat biaya melanggar aturan lebih tinggi

dari pada manfaat yang akan diterima sehingga melanggar aturan akhirnya menjadi pilihan

yang tidak menarik bagi pengguna. Hal ini penting bagi CPRs karena memungkinkan

fleksibelitas dalam system dan membantu mereka menyesuaikan diri dengan perubahan.

Pada kasus Kebun Kas Masyarakat Desa sanksi melanggar aturan baik pada

perusahaan mitra maupun pada pengelola, ataupun masyarakat desa atau pihak lainnya.

11
Adapun menurut pengurus , perangkat desa dan masyarakat, sejak Kebun Kas Masyarakat

Desa dibangun belum ada pemberian sanksi. Sanksi yang tidak pernah dilakukan mulai dari

peringat sampai dengan pemutusan kontrak kerja dengan pihak ketiga dalam pembangunan

kebun maupun dalam mempekerjaan tenaga kerja. Menurut ketua panitia pengelola kebun

kas desa Air Dikit;

Jika ada pekerja –pekerja yang bekerja tidak sesuai dengan borongannya dalam
pembangunan dan pemeliharaan kebun kebun, maka pekerjaan borongan itu dihentikan
atau diputuskan, sehingga tidak menimbulkan kerugian lebih lanjut.

Pernyataan seperti ini kita jumpai di semua desa (Pasar Bantal, Air Dikit, Lubuk

Pinang, Tunggal Jaya, Pondok Batu, dan Ujung Padang), baik itu dari pengurus, kepala desa,

tokoh masyarakat dan bahkan masyarakat desa itu sendiri. Hasil penelitian disemua desa

juga memperoleh informasi bahwa belum ada kasus yang dibawa sampai penegakan hukum.

Sesungguhnya walaupun tidak ada kelembagan khusus dalam menyelesaikan kasus –kasus,

lembaga adat dapat digunakan dalam penyelesai kasus secara murah dan mudah.

Sebagaimana peranan pemimpin adat didesa memiliki kebiasaan yang menjadi

pegang pakai masyarakatnya, seperti adat adat dusun nan bapenghulu, rantau nan barajo,

kampuang banantuo, rumah nan batungganai, kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka

panghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo kan bena, kebenaran manuruit alua jo

patuit. Hal ini merupakan cara penyelesaian kasus –kasus yang lazim digunakan didesa.

Mekanisme penyelesaian perselisihan (conflict reolution mechanism)


Users and their officials have rapid access to low-cost, local arenas to resolve conflict
among users or between users and officials.

Prinsip ke -6 yang menyediakan mekanisme yang mudah dan murah untuk


mengatasi konflik yang menungkin terjadi. Peraturan yang efektif harus dipahami anggota,
namun situasi yang berbeda memungkinkan perbedaan pemahaman atas peraturan. Dengan
menggunakan mekanisme pengelolaan konflik yang mudah dan segera penyelesaian yang
dipraktekkan dimasyarakat, tingkat perselisihan dapat menurun.

12
Afrizal dan Edy (2010) bahwa Konflik merupakan gejala sosial yang lumrah,

terjadi dimana-mana dan kapanpun. Makanya konflik tidak seharusnya dipandang sebagai

sesuatu yang negative atau penyakit sosial. Memang konflik sebagai penyakit sosial

menyebabkan orang berusaha untuk menghindari dan menekan konflik.

Mekanisme Penyelesaian konflik (conflict resolution mechanism) merupakan

prinsip yang menghendaki penyelesaian yang cepat dan murah. Prinsip ini dapat tidak

dijumpai secara langsung pada kelembagaan kemitraan kebun kelapa sawit desa ini. Hasil

penelitian tidak menemukan konflik yang mendasar, sehingga penyelesaian konflik yang

mendasar tidak ada. Berdasarkan penggang pakai masyarakat dengan budayanya, konflik

diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Tidak semua persoalan –persoalan diselesaikan

secara hukum pengadilan (hukum positif). Masyarakat Mukomuko yang merupakan

masyarakat beradat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, sehingga

persoalan lebih mengutamakan penyelesaiannya dengan musyawarah dan mufakat.

Musyawarah mufakat dilakukan secara berjenjang, dari ninik mamak sampai kepala kum,

bahkan lebih tinggi sampai kejenjang kaum seandeko

Ada beberapa hal yang menyebabkan penyelesaian konflik menjadi rumit dan

memerlukan biaya yang mahal. Pertama, tataran kebijakan pengelola kebun di tingkat

masyarakat dan desa menyebabkan adanya perbedaan pemahaman satu sama lain terkait

masalah dan prioritas pengeloaan kebun kas desa. Kedua, tujuan penggunaan hasil produksi

kebun kelasawait kas desa, berbagai aktor yang mengakibatkan adanya konflik kepentingan

(masyarakat desa, perangkat desa, lembaga-lembaga desa, dan kepala kaum). Ketiga,

mekanisme tradisional untuk menghadapi konflik internal yang bekerjasama dalam selama

berabad-abad telah terkikis akibat perubahan mendasar struktur pemerintahan desa.

13
Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, perangkat desa,

pengurus mereka mengungkapkan bahwa pada dasarnya konflik itu terjadi dalam kebunkas

masyarakat desa di kabupaten Mukomuko. Sebagai contoh apa yang diungkapkan oleh “Pak.

A. Kadir “ desa Bandar Ratu yang merupakan pemekaran dari desa Ujung Padang bahwa

konflik itu terjadi hampir disemua lini kegiatan pembangunan kebun kas masyarakat desa.

Konflik itu tidak saja terjadi di desa Ujung Padang, Kelurahan Mukomuko, ataupun desa-

desa lainnya, namun tingkat konflik yang besar atau parah belum sampai. Perbedaan persepsi

pekerjaan dan tatacara paling sering membuat konflik terjadi.

Dalam penyelesaian konflik masyarakat Mukomuko yang merupakan masyarakat

beradat, punya tata nilai dan norma- norma yang baik, sehingga penyelesaian dengan

membusung dado dan tarik lengan baju ataupun cabut badik belum pernah terjadi. Konflik

hanya sebatas ribut-ribut mulut ataupun perbedaan pandangan, maka diselesaikan secara

damai dan musyawarah sehingga biaya penyelesaian konflik tidak tingggi.

Dilihat dari kebiasaan pegang pakai masyarakat di kabupaten Mukomuko

terutama desa tradisional penyelesaian konflik dijumpai tiga jenis yakni diselesaikan secara

bertingkat, dari kelembagaan organisasi pengelolaan usaha, aparat desa, kepala kaum, dan

lembaga adat (Badan Musyawarah Adat). Sampai saat ini konflik pengelolaan kelapa sawit

desa belum ada yang sampai diselesaikan secara penegakan hukum formal, baik konflik

internal pengelolaan, masyarakat, aparatur desa maupun dengan perusahaan mitra.

Pengakuan minimum atas hak pengelolaan (Minimal recognition of rights to organize)


The rights of users to devise their own institutions are not challenged by external
governmental authorities.

Pengakuan minimum atas hak pengelolaan (Minimal recognition of rights to

organize), merupakan prinsip yang tidak terlepas dalam mewujudkan kelembagaan yang

efisien dan berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengakuan ini ada, hal ini

14
terlihat dari instruksi bupati Nomor 02 tahun 2013, tentang pengelolaan kebun kas

masyarakat desa. Dan tidak ada aturan yang lebih tinggi dilanggar, bahkan ada aturan –aturan

yang lebih tinggi untuk dapat dijadikan dasar pengembangan kelembagaan kemitraaan usaha

kebun kelapa sawit desa, antara lain adalah Permendagri nomor 39 tahun 2010, tentang

Badan Usaha Milik Desa.

Hak pengguna untuk merancang kelembagaan mereka sendiri tidak tentang atau

dihambat oleh faktor eksternal atau otoritas lokal yang mempunyai kemampuan untuk

mengendalikan kelembagaan pengguna.

Konsep di balik prinsip desain ini adalah ketika hak-hak kelembagaan merancang

peraturan sendiri diakui oleh Undang-undang yang relevan, maka peraturan lokal tidak sering

berubah (Ostrom 2000 ). Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 telah memberi wewenang

kepada desa untuk menyelenggarakan usaha desa. Kemudian di atur lebih lajut dalam PP

nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa. Undang-undang ini member

peluang yang besar bagi pemerintah desa untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang

potensial untuk digunakan mengembangkan perekonomian desa. Kemudian dipertegas

dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2001 tentang Pedoman Umum

pengaturan Mengenai Desa.

Lebih lanjut diatur oleh Permendagri Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Pedoman

Pengelolaan Kekayaan Desa. Hal ini memberikan kewenangan kepada desa sebagaimana

pasal 4 menyatakan bahwa Pengelolaan kekayaan desa dilaksanaan berdasarkan asas

fungsional, kepastian hokum, keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas dan kepastian nilai.

Pengelolaan kekayaan desa harus berdayaguna dan bersil guna untuk meningkatkan

pendapatan desa.

Pengelolaan berjenjang (nested enterprice)

15
Appropriation, provision, monitoring, enforcement, conflict resolution, and governance
activities are organized in multiple layers of nested enterprises.

Prinsip ke-8 diterapkan pada pengeloaan sumberdaya yang cukup besar, sehingga

tata kelolanya membutuhkan pengelolaan berjenjang. Sistem pengelolaan lingkungan

kehutanan yang melibatkan beberapa wilayah misalnya, membutuhkan tata kelola yang

berjenjang, dimana kelompok yang lebih kecil masuk pada organisasi diatasnya yang lebih

besar. Di dalam system polisentris berbeda dengan system yang sentralistik dan desntralistik,

pengusaan oleh pihak atau kelompok tertentu kemungkinannya kecil. Pada system polisentris

terdapat pola tata kelola multi pihak, dimana setiap pengelolaan mengatur provisinya sendiri,

dan dapat bergerak dengan leluasa.


Prinsip pengelolaan berjenjang (nested enterprice), prinsip ini belum dapat

dijalankan pada usaha kebun kelapa sawit desa, mengingat skala usaha masih relative kecil.

Pada pengelolaan sumberdaya yang cukup besar sehingga tatakelolanya membutuhkan

pengelolaan yang berjenjang. Untuk mencapai kelembagaan yang efisien dan berkelanjutan

prinsip ini tidak dapat diabaikan.


Kebun Kas Masyarakat Desa belum memiliki cabang – cabang usaha, yang ada

baru sebatas masing-masing desa mebangun dan bekerjasama sendiri- sendiri dengan

mitranya yakni PT. Agromuko..


Tabel 1. Pemenuhan Design Principle Kelembagaan Kemitraan Kebun Kas Masyarakat Desa
No Prinsip Desain Model Kepanitian Model Koperasi
1 Batasan Definis dengan Jelas Batas Jelas Batas Jelas diketahui
a). Sumberdaya diketahui dan dan disepakati
b). Pengguna disepakati bersama bersama (Ya)
(Ya) SKT (ya)
SKT (ya)
2 Kesesuaian Dapat dilakukan Dapat dilakukan
a). Distribusi Manfaat dan Biaya manfaat KMD manfaat KMD
Proporsional (belum) (belum)
b). Aturan membatasi Waktu dan aspek Aturan lokal (ya) Aturan lokal (ya)
fisik yang terkait kondisi lingkungan
lokal,sosekbud
3 Pengaturan Pilihan Kolektif Aturan dibuat oleh Aturan dibuat oleh
Aturan dibuat oleh wakil komunitas masyarakat dengan masyarakat dengan
dengan musyawarah dalam desa Musyawarah Desa Musyawarah Desa
(Ya) (Ya)
Partisipasi anggota Partisipasi anggota

16
(rendah) (rendah)
4 Monitoring Diawasi Diawasi masyarakat
a). Pengawasan Aktif masyarakat dipilih dipilih (Tidak)
b) Kompetensi Pengawas (Tidak) Kompetensi (Tidak)
b). Tidak Ada tekanan eksternal Kompetensi
(Tidak) Desa punya Otoritas
Desa punya otoritas (ya)
(Ya)
5 Penerapan Sanski Pernah diberi Pernah diberi sanksi
bertingkat dan dipatuhi sanksi (tidak) (tidak)
6 Mekanisme Penyelesaian Konflik Murah dan Cepat Murah dan Cepat
a). Pengadilan (tidak) (tidak)
b). Perundingan Perundingan (ya) Perundingan (ya)
7 Pengakuan hak berorgasisai Setiap Kaum punya Setiap Kaum punya
Hambatan otoritas lokal hak yang sama hak yang sama untuk
untuk berkelompok (ya)
berkelompok (ya)
8 Cabang Usaha Tidak ada Tidak Ada

PENUTUP

Pada dasarnya Penerapan prinsip desain Ostrom (1990) dapat dilakukan dalam kelembagaan

kemitraan usaha kebun kas desa, pengelolaan sumberdaya bersama termasuk lahan pertanian.

Hasil penelitian menemukan beberapa prinsip desain berjalan dengan baik yakni :

Batas-batas yang jelas (clearly defined boundaries), memberikan pengakuan atas hak

pengelolaan sumberdaya bersama (lahan desa) dengan batas fisik, administratif, dan

pemanfaatan hasil usaha. Perbandingan yang proporsional antara biaya dan manfaat

(Proportional Equevalence between benefit and cost), adanya aturan main pengelolaan

berlandaskan norma masyarakat setempat dan mengutamakan fungsi fisik sosial dan ekonomi

setempat. Hasil Kesepakatan bersama ( Colective choice arrangement ), dimana para pelaku

secara kolektif memberlakukan aturan dengan pola saling percaya. Prinsip desain lainnya

belum dijalankan secara optimal antara lain adalah Pemantauan (Monitoring), Sanksi

Berkala (graduated sanctions), Mekanisme penyelesaian perselisihan (conflict reolution

mechanism), Pengakuan minimum atas hak pengelolaan (Minimal recognition of rights to

organize), Pengelolaan berjenjang (nested enterprice). Untuk memperoleh model

kelembagaan kemitraan usaha kebun kelapa sawit desa yang efektif dan berkelanjutan perlu

17
melakukan penyesuaian prinsip desain ostrom dengan keadaan common pool resources yang

dikelola oleh sebagian kecil masyarakat.

DAFTRA PUSTAKA

Anonim. 1997. SK.Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997. Tentang Pedoman Kemitraan


Usaha Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

---------------, 2004. Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang
Perkebunan . Menkumham. Jakarta.

---------------,2007. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007. Tentang


Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani. Departemen Pertanian. Jakarta.
--------------,2007. Permendagri No.4 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan
Desa. Departemen Dalam Negeri. Jakarta.

-------------.2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 Tentang Badan
Usaha Milik Desa. Dedagri. Jakarta.

------------, 2013. Instruksi Bupati Kabupaten Mukomuko tahun 2013 Tentang Kebun Kas
Desa. Pemda Mukomuko. Mukomuko.

Afrizal dan Edi Indrizal, 2010. Manajemen Konflik Perkebunan Kelapa Sawit: Panduan
Mekanisme Berdasarkan FPIC (Free and Prior Informed Consent) Alih Fungsi
Tanah Ulayat untuk Pemabangunan Guna Meminimalisasi Konflik. Andalas
University Press. Padang.

Afrizal. 2006. Sosiologi Konflik Agraria: Protes – Protes Agraria Dalam Masyarakat
Indonesia Kontemporer. Andalas University Press. Padang.

Agus Setiyanto. 2001. Elite Pribumi Bengkulu: Persepektif Sejarah Abad ke 19. Balai
Pustaka .Jakarta.

Erwidodo. 1995. Tranformasi Struktural dan Industrialisasi Pertanian dalam Proseding


Agribisnis: Peluang dan Tantangan Agribisnis Perkebunan, Peternakan dan
Prikanan, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian . Bogor.

Kedi Suradisastra,1999. Peranan Pemerintah Dalam Pemacuan Industrilisasi Pertanian.


Dalam Dinamika Inovasi Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. PSE Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.

Martial. 2010. Penataan Kelembagaan Penguasaan Lahan dan Pohon Pada Sistem
Agroforestri di Sumatra Barat. Desertasi. Program Doktor Pascasarjana
Universitas Andalas. Padang

Melinda Noer. 2006. Pembangunan Berbasis Kelembagaan Adat: Sebuah Alternatif


Pembelajaran dari Kasus Kinerja Kelembagaan Nagari Dalam Perencanaan

18
Wilayah Di Propinsi Sumatra Barat. Mimbar Volume XXII No.2 April –Juni
2006: 234 -257.

Ostrom. Elinor, 1990. Governing The Commons; The Evolution of Institutions for Collective
Action. New York. Cambrige University Press.

--------------. 2000. Private and Common Property Right ( http://encydo


findlow.com/2000book.Pdf.

Ostrom.Elinor dan Charlotte Hess. (2007). “A Framework for Analyzing The Knowledge
Commons”. Understanding knowledge as a commons. Ed.Charlotte Hess and
Elinor Ostrom London. The MIT Press.

Polski Margaret.M and Ostrom Elinor. 1999. An Institutional Framework for Policy Analysis
and Design. Workshop in Political Theory an Policy Analysis Departement Of
Political Science Indiana University.

Yondri. et.al. 2001. Budaya Masyarakat Suku Bangsa Mukomuko dan Lingkungannya di
Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu. Proyek Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sumatra Barat. PD.Syukri. Padang.

19

You might also like