Professional Documents
Culture Documents
Penerapan Design Principle-Pascaunand
Penerapan Design Principle-Pascaunand
Izharudin .
Mahasiswa (S3) Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang
Abstract
Abstrak
Secara nasional kelembagaan pembangunan pertanian sangat menonjol dalam
berbagai program. Kegiatan pembangunan perkebunan dituangkan dalam bentuk program
nucleus Estate Smallholder (NES). Kemudian berubah menjadi perusahaan Inti Rakyat
Perkebunan (PIR-BUN), dan disusul PIR –Transmigrasi.
Kajian ini bertujuan menganalis penerapan prinsip desain kelembagaan kemitraan
perkebunan kelapa sawit desa yang efektif dan berkelanjutan di kabupaten Mukomuko. Data
yang digunakan merupakan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara sebanyak 18
responden pengelola, tokoh masyarakat, perangkat desa dan didukung pernyataan quiesioner
masyarakat sebanyak 180 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan
kemitraan yang ada belum efektif dan belum menunjukkan keberlanjutan. Hal ini terlihat
kurang mendapat perhatian atau penanganan yang layak diantaranya prinsip : Monitoring,
sanksi berkala, mekanisme penyelesaian konflik. Prinsip desain yang telah menjadi kekauatan
adanya batasan yang jelas atas pengakuan hak pengeloaan fisik, administratif, dan sosial.
Dapat disimpulkan bahwa prinsip desain ostrom dapat digunakan pada kelembagaan
kemitraan usaha kebun kelapa sawit desa sebagai salah satu bentuk common, namun perlu
perhatian khusus terhadap prinsip yang kurang mendapat perhatian yang layak.
Kata kunci : kelembagaan, kemitraan, kebun kas masyarakat desa.
1
Latar Belakang
Kelembagaan pertanian adalah norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta
dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat
dengan kehidupan dari bidang pertanian pedesaan. Dalam kehidupan komunitas petani, posisi
dan fungsi kelembagaan petani merupakan pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial
(social interplay)dalam suatu komunitas. Kelembagaan petani juga memiliki titik strategis
dalam menggerakkan sistem agribisnis pedesaan. Saat ini potret petani dan kelembagaan
petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana diharapkan (Suradisastra,2008).
Berbagai kelembagaan kemitraaan telah dikembangkan pada komoditas pertanian,
namun sebagaian besar belum menunjukkan kinerja optimal, kecuali pada sebagian
komoditas perkebunan, khususnya kelapa sawit . Keberhasilan komoditas ini memiliki
jangkauan pasar yang lebih luas dan adanya pengembangan pabrik pengolahan (Erwidodo,
1995).
Kelembagaan kemitraan usaha telah diterapkan pemerintah dalam pembangunan
perkebunan, dengan tujuan semua pihak yang terlibat di dalamnya sama-sama memiliki
manfaat. Dalam pelaksanaannya tidaklah semudah dalam perencanaan, bahkan kemitraan
yang melibatkan pemerintah justru menambah kesulitan dan menimbulkan distorsi (Raharjo,
1990). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Syahyuti (2004), dimana peran pemerintah
yang terlalu dominan dalam kemitraan justru akan menghasilkan iklim yang kurang baik.
Sebaliknya kemitraaan yang terbentuk dengan sendirinya, khususnya di daerah sentra
produksi pertanian dianggap lebih berhasil. Hal ini disebabkan oleh adanya ketergantungan
dan kebutuhan bersamaan.
Pengelolaan sumberdaya bersama termasuk lahan pertanian, ladang gembala,
sumberdaya air, minyak dan pertambangan, pertanian dan pengelolaan hutan, bahkan konsep
ini secara teoritis disebut common pool resources (CPR) juga diterapkan pada infrastruktur,
internet,knowledge management dan intellectual property dimana sumberdaya ini
mempunyai aspek kebersamaan atau common. Lebih jauh lagi Ostrom dan Hess (2007)
memaparkan sumberdaya yang dimiliki bersama dapat dikelola oleh kelompok masyarakat
sebagai unit terkecil yang terlibat langsung dalam pengelolaan.
Sampai saat ini telah dibangun 38 kebun kas masyarakat desa yang memanfaaatkan
hutan desa di Kabupaten Mukomuko propinsi Bengkulu , 34 kebun masyarakat desa telah
berproduksi yang bermitra dengan PT. Agromuko. Setelah usaha kebun kelapa sawit
berproduksi diserahkan pengelolaanyanya kepada sebuah kepanitiaan desa, atau koperasi
desa, sebagai sebuah bentuk kelembagaan kemitraan lokal. Kelembagan kemitraan ini
berpotensi menjadi sebuah kelembagaan kemitraan yang sustainable, juga berpotensi
2
melahirkan konflik. Untuk itu perlu dikaji bagaimana kelembagaan kemitraan perkebunan
kelapa sawit desa yang efektif dan sustanable.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dari April 2012 sampai Oktober 2012 di kebun kas masyarakat
desa kabupaten Mukomuko, Propinsi Bengkulu. Kebun masyarakat desa yang terpilih sebagai
objek penelitian meliputi desa ; Pasar Bantal, Air Dikit, Tunggal Jaya, Lubuk Pinang, Pondok
Batu, dan Ujung Padang. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif menggunakan
data primer dan data skunder meliputi kondisi biofisik, aspek ekonomi , aspek sosial, dan
aspek aturan yang digunakan (rule in use) dalam pengelolaan kebun kelapa sawit desa. Data
sekunder berasal dari PT.Agromuko dan Instansi Terkait. Data primer biofisik kesesuai lahan
dan kondisi tanah dikumpulkan dengan observasi lapangan. Data ekonomi , sosial dan aturan
yang digunakan (rule in use) dikumpulkan melalui wawancara yang mendalam kepada
responden terpilih perangkat desa, masyarakat desa , pengelola usaha kebun masyarakat desa
tokoh masyarakat desa dan didukung dengan quesioner masyarakat. Pengolahan dan analisis
data dilakukan secara kualitatif melalui metode tabulasi dan deskripsi. design principle
Ostrom (1990).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Batas-batas yang jelas (clearly defined boundaries)
Individuals or households with rights to withdraw resource units from the CPR and the
boundaries of the CPR it self are clearly defined.
menunjukkan bahwa batasan fisik (ruang) yang jelas yakni berupa batas kepemilikan area
kebun kas masyarakat desa yang berbentuk : tonggak, derenase dan jalan. Selain itu batasan
dalam desa yakni merupakan anggota keluarga dan merupakan anak cucu orang desa
Hasil wawancara yang mendalam dengan kepala desa Bantal “Pak Sunardi”,
beliau mengemukakan bahwa kebun kas masyarakat desa memiliki batasan yang jelas.
Pernyataan ini diperkuat oleh “Pak Junaidi” seorang guru yang menjadi tokoh masyarakat.
Dalam pernyataannya kedua orang ini meberikan informasi yang sama bahwa lahan kebun
kas masyarakat seluas 15 Ha dengan batas-batas yang jelas, masyarakat bersama-sama
bergotong royong untuk menerbas/ membuka lahan tersebut. Lahan yang sudah
3
diterbas/dibuka kemudian diserhakan diserahkan kepada PT Agromuko untuk dibangun
kebun masyarakat desa.
Hal ini dibenarkan oleh senior manager administration (SMA) PT. Agromuko.
(Demikian juga hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, dan pengurus serta perangkat
desa lainnya Air Dikit, Tunggal Jaya, Lubuk Pinang, Pondok Batu, dan desa Ujung Padang).
Hasil qusioner dari pernyataan masyarakat, dengan 6 (enam) pertanyaan yakni :
(1) Keberadaan kebun kas masyarakat desa 100 %, masyarakat mengetahui adanya kebunkas
masayarakat desa di desa mereka. (2) Dari mana masyarakat mengetahui keberadaan kebun
kas masyarakat desa: dari orang lain (13,33 % - 86,87 %), dekat dengan lokasi mereka (10,00
% - 23,33 %), dari pengurus/ perangkat desa (16,67 % - 67,67 %). (3) Keanggotaan (83,33%
- 100,00%) yang menjawab” Ya”. (4) Syarat menjadi anggota seluruh warga/ rumah tangga
( 80,00 % - 100,00%), rumah tangga anak cucu kaum (10,00 % - 13,33%). (5) Batasan fisik
derase (73,33 % - 93,33 %), selebihnya menjawab tonggak dan jalan. (6) Status kepemilikan
resources adalah untuk kepentingan umum diantaranya dibangun jalan desa, tempat ibadah,
pembelian kantor desa dan lainnya, hanya desa Pondok Batu pada tahun 2012 membagi hasil
usaha ini secara langsung pada masyarakat, yakni berupa dana sebesar Rp. 1.300.000,- per
berdasarkan teori hak kepemilikan menurut Martial (2010) bahwa kebanyakan teori hak-hak
(common) ,milik Negara (state) akses terbuka (open acsess) yang berhubungan dengan
situasi dimana tidak ada hak- hak kepemilikan yang jelas, hal ini membedakannya dengan
milik umum. Lebih Lanjut Feder dan Feeny (1991) dalam Martial (2010) menyebutnya
sebagai kepemilikan komunal pada kepemilikan bersama (common property). Hal ini
memberikan indikasi sebagaimana teori ostrom dalam design principle yang pertama clearly
4
Perbandingan yang proporsional antara biaya dan manfaat (Proportional Equevalence
between benefit and cost)
Use rules restricting time, place, technology, and/or quantity of resource units are related to
local conditions and to provision rules requiring labor, materials, and/or money.
Prinsip yang kedua adalah ketentuan alokasi manfaat sesuai input yang diberikan.
sumberdaya, dan berapa besar biaya operasionalnya, sangat diperlukan untuk keberlanjutan
pemeliharaan dan kelanjutannya. Sistem yang berkeadilan berlaku atas semua pengguna,
sehingga kalau ada ketimpangan atau free rider, yang lain juga tidak akan mematuhi
peraturan.
equvalence beetween benefit and cost) dilihat dari kesesuai antara distribusi manfaat dan
biaya proporsional yang belum mencapai optimal hal ini tergambar dari penggunaan hasil
usaha kebun kelapa sawit desa di beberapa desa masih sebagian besar diperuntukkan untuk
pembiayaan pemeliharaan kebun dan pembayaran hutang. Proporsi penggunaan hasil yang
diatur oleh masyarakat melalui pemufakatan desa yang merupakan aturan lokal yang mampu
mengikat secara tegas. Aturan lokal hanya sebatas kesepakatan ini tak tak tertutup
kemungkinan berubah –ubah setiap saatnya. Dilihat dari dimensi waktu dan aspek fisik yang
terkait dengan kondisi lingkungan lokal, sosial budaya hal ini tidak dapat mengikat.
Pengaturan dilakukan sejak tahap awal pembangunan Kebun Kas Masyarakat
Desa, karena sudah disepakati aturan- aturan yang dapat mengatur pengelolaan Kebun Kas
Masyarakat Desa sebagai milik bersama (common property). Perjanjian yang dilakukan
antara pihak desa dalam hal ini diwakili oleh kepanitian desa atau koperasi dan pihak
perusahaan mitra sebagai pihak yang membiayai dan mengelola Kebun Kas Masyarakat
Desa.
5
Secara umum perjanjian pengaturan pembiayaan dan pengelolaan Kebun Kas
Masyarakat Desa di kabupaten Mukomuko dengan pihak mitra adalah sama yang mana isi
perjanjian tersebut meliputi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pihak perusahaan
sebagai mitra yang berkebwajiban melakukan pembiayaan dan pengelolaan Kebun Kas
Masyarakat Desa sesuai dengan luas masing-masing desa sampai memenuhi kultur teknis
yang baik dan benar. Persoalan jangka waktu pembiayaan sejak penanaman, persoalan
juga didalam perjanjian tersebut adalah (1) kewajiban menyerahkan TBS kepada mitra, (2)
cara penetapan harga, (3) besar pemotongan setiap penjualan TBS, (4) cara penyelesaian
yakni mengatur penggunaan dana dari hasil usaha Kebun Kas Masyarakat Desa juga di
berbeda antar satu desa dengan desa yang lainnya, hampir secara menyeluruh pengelola
merupakan tokoh masyarakat, baik itu yang berlatar belakang sarak, kaum, tokoh
merupakan salah satu dari sumber kekuasaan. Akan tetapi sumber kekuasaan yang diperoleh
para kepala pribumi Bengkulu sangat berbeda dengan sumber kekuasaan yang dimiliki oleh
para raja yang feodalistis. Kekuasaan yang dimiliki kepala pribumi Bengkulu adalah
kekusaan bersumber adat istiadat. Karena bersumber dari adat, kekuasaannya ditentukan oleh
Prinsip ke-3 yang dapat menunjang keberlanjutan adalah keterlibatan para aktor
dengan kondisi lokal yang dianggap wajar dan adil oleh para pelaku. Proses ini penting untuk
6
mengantisipasi perubahan lingkungan yang terjadi di tahap lokal sehingga dapat melakukan
penyesuaian.
Hasil kesepakatan bersama ( collective choice arrangement), pengaturan secara
kolektif, aturan dibuat oleh wakil komunitas dengan musyawarah desa. Kebersamaan,
yang melekat dalam kehidupan di kabupaten Mukomuko. Hal ini juga yang menempatkan
kearifan lokal segan menyegan antar masyarakat yang terikat dalam satu hubungan emosional
kekeluargaan . Sehingga apa yang telah diputuskan oleh wakil komunitas ( tokoh masyarakat,
kepala kaum, pemuda dan komponen lainnya di desa) menjadi keputusan desa.
Undang –undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan menyatakan
Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau
media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan
jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan
serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan
meningkatkan penerimaan devisa Negara, (d) menyediakan lapangan kerja, (e) meningkatkan
produktivitas, nilai tambah, dan daya saing, (f) memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan
baku industry dalam negeri dan (g) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara
berkelanjutan.
Selain Undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan, ada aturan lain
yang mengatur kebun Kas Masyarakat Desa antara lain peraturan Menteri Pertanian nomor :
nomor 4 Tahun 2007, tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa, Permendagri Nomor 39
7
Pemantauan (Monitoring)
Monitors, who actively audit CPR conditions and user behavior, are accountable to the users
and/or are the users themselves.
design principle Ostrom. Monitoring dari aspek pengawasan aktif, hasil penelitian dapat
pemantauan (monitoring) belum dilakukan secara terstruktur. Tidak ada pengawasan yang
betul-betul relevan, baik itu kebun kas desa yang dikelola oleh panitia ataupun koperasi.
Kelembagaan ini masih berjalan dengan baik disebabkan oleh rasa uuh pakeuh, dalam istilah
setempat disebut dengan segan menyegan, menurut teori Ostrom pengawasan dilakukan
secara terstruktur ataupun tidak terstruktur dengan pelaku pengawasan yang capable hal ini
belum dapat berjalan dengan baik. Kelembagaan tidak memiliki pengawas yang capable, hal
ini salah satu faktor penyebabnya adalah ketersediaan sumber daya manusia. Dilain pihak
masyarakat sendiri risih untuk melakukan pengawasan secara langsung, mengingat mereka
telah mempercayai (trust) pekerjaan melalui tokoh masyarakat, kepala kaum, pemuda dan
komponen lainnya yang berkompeten di desa. Kearifan lokal yang menempatkan posisi
kepemimpinan kepala suku (kaum ) menurut adat merupakan orang yang mendapatkan
tempat tertinggi di desa. Sehingga kita menjumpai pada masyarakat desa di kabupaten
Mukomuko peran kepala kaum dalam tatanan kehidupan bermasyarakat lebih dominan.
Masyarakat lebih menunggu apa dan bagaimana kepala kaum melakukan tindakan. Anak
cucu tidak dapat melakukan tindakan apapun tanpa sepengetahuan kepala suku/ kaum.
Hasil penelitian menunjukakan bahwa tidak ada pengawasan yang betul –betul
relevan, baik itu kebun kas masyarakat desa yang dikelola oleh koperasi maupun kebun kas
masyarakat desa yang dikelola oleh panitia desa. Sejak pembangunan perkebunan dari tahap
penyiapan lahan, penaman, pemeliharaan sampai berhasil tidak ada pihak khusus yang
mengawasi kegiatan tersebut. Ada berita yang beredar di kalangan masyarakat yang
8
mengatakan ada penyimpangan dalam pelaksanaan, namun tidak ada pihak yang bertanggung
jawab terhadap berita tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Armen Kelana ketua
ada pengawasan intern, yang dilakukan oleh ketua panitia ataupun ketua koperasi itu sendiri.
Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut mengingat apa yang dimaksud dengan
monitoring dalam prinsip desain itu tidak demikian. Pemantauan yang diatur dalam rezim
CPR jelas penting karena selalu ada kondisi yang menggoda beberapa individu menipu untuk
tidak dilakukan oleh pihak pengelola sendiri melainkan dilakukan oleh pihak lain yang
capable. Pengawasan dimaksud adalah aktif pengawasi kondisi kebun kelapa sawit dan
perilaku pengguna, bertanggung jawab kepada pengguna dan /atau pengguna sendiri. Karena
pengguna adalah masyarakat desa, maka pengawasan harus bertanggung jawab kepada
bertugas secara teratur memonitoring kebun kas masyarakat desa, yang berasal dari luar
masyarakat pengelola baik pada model panitia desa maupun pada model koperasi. Hasil
penelitian juga tidak menjumpai pihak yang memiliki kewenangan melakukan tekanan
kelapa sawit desa. Sebagaimana diungkapkan Melinda (2008) pembangunan berbasis lokal
9
yang datang dari bawah dalam hal ini dimaknai sebagai model pembangunan yang
dilakukan paling baik oleh orang- orang lokal. Sehubungan dengan itu, kelembagaan yang
tumbuh dan dikembangkan oleh orang – orang lokal sesuai asal usulnya diyakini dapat
memberikan panduan atau pedoman dalam pengambilan keputusan public khususnya pada
wewenang. Kelembagaan lokal yang berasal dari kapasitas wilayah yang laur biasa itu akan
keberhasilan usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pihak perusahaan mitra bekerja
lebih bebas dan leluasa dengan pengawasan monitoring yang minim. Pada model kepanitiaan
desa maupun koperasi persentase monitoring yang menurut pandangan masyarakat di desa
Bantal 86,67 persen menyatakan tidak ada monitoring, di desa Air Dikit hal yang sama dan di
desa Tunggal Jaya 83,33 persen. Lainnya menyatakan tidak tahu/ tidak jelas pelaksanaan
monitoring itu. Persentase masyarakat menjawab kadang- kadang desa Pasar Bantal dan air
Dikit dan Lubuk Pinang masing –masing 13,33 persen tunggal Jaya 16,67 persen. Pertanyaan
lebih lanjut tentang siapa pihak yang melaksanakan monitoring sebagian kecil masyarakat
menjawab nya adalah pengurus/ dan perangkat desa. Monitoring menurut masayarakat hanya
dilakukan oleh pengurus dan perangkat desa. Demikian juga apa yang dimonitor masyarakat
hanya menjawab fisik. Hal ini tercermin persentase masyarakat menjawab fisik diatas 86,67
kemitraan usaha kebun kelapa sawit desa. Prinsip Ostrom ini perlu dilakukan penyesuaian-
penyesuaian untuk dapat berjalan dengan optimal di desa yang memiliki budaya tersendiri.
Tidak ada pihak eksternal yang kompetensi untuk melakukan pengawasan. Pengawasan
10
Sanksi Berkala (graduated sanctions)
Users who violate operational rules are likely to receive graduated sanctions (depending on
the seriousness and context of the offense) from other users, from officials accountable to
these users, or from both.
Prinsip ke- 5 adalah penggunaan sanksi berkala dalam system tata kelola yang
mendukung. Ini berangkat dari peran monitor sebagai basis informasi tentang suatu
ditunjukan dengan tidak adanya laporan dari pengawasan yang relevan, maka prinsip sanksi
berjenjang juga tidak menunjukkan hasil. Dalam pemberian sanksi pelanggaran yang dipakai
adalah aturan desa, sebagaimana dikemukakan dalam istilah kampuang “ dimano batang
tagolek disinan, cendawan tumbuh”. Dimano bumi dipijak disinan langit dijunjung. Hal ini
berarti kelembagaan ini masih sejalan dengan prinsip Ostrom,1990, namun belum berjalan
dengan baik.
Dalam banyak kasus – kasus yang terjadi, namun tidak berfungsinya monitoring
dengan baik sehingga mungkin kurangnya informasi yang dikumpulkan di desa. Hal ini juga
mungkin tidak adanya pihak yang melanggar aturan terungkap dan kerugian yang cukup
berarti dari penyalah gunaan kebun kelapa sawit desa. Sebagaimana dikemukakan Ostrom
(2000) kebutuhan untuk memiliki sanksi timbul karena dua alasan: pertama, untuk
memberikan pesan kepada pengguna bahwa kecurangan apapun akan diperhatikan dan
dihukum, dan kedua, untuk menunjukan bahwa mereka yang melangggar aturan berulang-
ulang kali akan menghadapi hukuman berat, membuat biaya melanggar aturan lebih tinggi
dari pada manfaat yang akan diterima sehingga melanggar aturan akhirnya menjadi pilihan
yang tidak menarik bagi pengguna. Hal ini penting bagi CPRs karena memungkinkan
fleksibelitas dalam system dan membantu mereka menyesuaikan diri dengan perubahan.
Pada kasus Kebun Kas Masyarakat Desa sanksi melanggar aturan baik pada
perusahaan mitra maupun pada pengelola, ataupun masyarakat desa atau pihak lainnya.
11
Adapun menurut pengurus , perangkat desa dan masyarakat, sejak Kebun Kas Masyarakat
Desa dibangun belum ada pemberian sanksi. Sanksi yang tidak pernah dilakukan mulai dari
peringat sampai dengan pemutusan kontrak kerja dengan pihak ketiga dalam pembangunan
kebun maupun dalam mempekerjaan tenaga kerja. Menurut ketua panitia pengelola kebun
Jika ada pekerja –pekerja yang bekerja tidak sesuai dengan borongannya dalam
pembangunan dan pemeliharaan kebun kebun, maka pekerjaan borongan itu dihentikan
atau diputuskan, sehingga tidak menimbulkan kerugian lebih lanjut.
Pernyataan seperti ini kita jumpai di semua desa (Pasar Bantal, Air Dikit, Lubuk
Pinang, Tunggal Jaya, Pondok Batu, dan Ujung Padang), baik itu dari pengurus, kepala desa,
tokoh masyarakat dan bahkan masyarakat desa itu sendiri. Hasil penelitian disemua desa
juga memperoleh informasi bahwa belum ada kasus yang dibawa sampai penegakan hukum.
Sesungguhnya walaupun tidak ada kelembagan khusus dalam menyelesaikan kasus –kasus,
lembaga adat dapat digunakan dalam penyelesai kasus secara murah dan mudah.
pegang pakai masyarakatnya, seperti adat adat dusun nan bapenghulu, rantau nan barajo,
kampuang banantuo, rumah nan batungganai, kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka
panghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo kan bena, kebenaran manuruit alua jo
patuit. Hal ini merupakan cara penyelesaian kasus –kasus yang lazim digunakan didesa.
12
Afrizal dan Edy (2010) bahwa Konflik merupakan gejala sosial yang lumrah,
terjadi dimana-mana dan kapanpun. Makanya konflik tidak seharusnya dipandang sebagai
sesuatu yang negative atau penyakit sosial. Memang konflik sebagai penyakit sosial
prinsip yang menghendaki penyelesaian yang cepat dan murah. Prinsip ini dapat tidak
dijumpai secara langsung pada kelembagaan kemitraan kebun kelapa sawit desa ini. Hasil
penelitian tidak menemukan konflik yang mendasar, sehingga penyelesaian konflik yang
mendasar tidak ada. Berdasarkan penggang pakai masyarakat dengan budayanya, konflik
diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Tidak semua persoalan –persoalan diselesaikan
Musyawarah mufakat dilakukan secara berjenjang, dari ninik mamak sampai kepala kum,
Ada beberapa hal yang menyebabkan penyelesaian konflik menjadi rumit dan
memerlukan biaya yang mahal. Pertama, tataran kebijakan pengelola kebun di tingkat
masyarakat dan desa menyebabkan adanya perbedaan pemahaman satu sama lain terkait
masalah dan prioritas pengeloaan kebun kas desa. Kedua, tujuan penggunaan hasil produksi
kebun kelasawait kas desa, berbagai aktor yang mengakibatkan adanya konflik kepentingan
(masyarakat desa, perangkat desa, lembaga-lembaga desa, dan kepala kaum). Ketiga,
mekanisme tradisional untuk menghadapi konflik internal yang bekerjasama dalam selama
13
Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, perangkat desa,
pengurus mereka mengungkapkan bahwa pada dasarnya konflik itu terjadi dalam kebunkas
masyarakat desa di kabupaten Mukomuko. Sebagai contoh apa yang diungkapkan oleh “Pak.
A. Kadir “ desa Bandar Ratu yang merupakan pemekaran dari desa Ujung Padang bahwa
konflik itu terjadi hampir disemua lini kegiatan pembangunan kebun kas masyarakat desa.
Konflik itu tidak saja terjadi di desa Ujung Padang, Kelurahan Mukomuko, ataupun desa-
desa lainnya, namun tingkat konflik yang besar atau parah belum sampai. Perbedaan persepsi
beradat, punya tata nilai dan norma- norma yang baik, sehingga penyelesaian dengan
membusung dado dan tarik lengan baju ataupun cabut badik belum pernah terjadi. Konflik
hanya sebatas ribut-ribut mulut ataupun perbedaan pandangan, maka diselesaikan secara
terutama desa tradisional penyelesaian konflik dijumpai tiga jenis yakni diselesaikan secara
bertingkat, dari kelembagaan organisasi pengelolaan usaha, aparat desa, kepala kaum, dan
lembaga adat (Badan Musyawarah Adat). Sampai saat ini konflik pengelolaan kelapa sawit
desa belum ada yang sampai diselesaikan secara penegakan hukum formal, baik konflik
organize), merupakan prinsip yang tidak terlepas dalam mewujudkan kelembagaan yang
efisien dan berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengakuan ini ada, hal ini
14
terlihat dari instruksi bupati Nomor 02 tahun 2013, tentang pengelolaan kebun kas
masyarakat desa. Dan tidak ada aturan yang lebih tinggi dilanggar, bahkan ada aturan –aturan
yang lebih tinggi untuk dapat dijadikan dasar pengembangan kelembagaan kemitraaan usaha
kebun kelapa sawit desa, antara lain adalah Permendagri nomor 39 tahun 2010, tentang
Hak pengguna untuk merancang kelembagaan mereka sendiri tidak tentang atau
dihambat oleh faktor eksternal atau otoritas lokal yang mempunyai kemampuan untuk
Konsep di balik prinsip desain ini adalah ketika hak-hak kelembagaan merancang
peraturan sendiri diakui oleh Undang-undang yang relevan, maka peraturan lokal tidak sering
berubah (Ostrom 2000 ). Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 telah memberi wewenang
kepada desa untuk menyelenggarakan usaha desa. Kemudian di atur lebih lajut dalam PP
nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa. Undang-undang ini member
peluang yang besar bagi pemerintah desa untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang
dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2001 tentang Pedoman Umum
Lebih lanjut diatur oleh Permendagri Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Pengelolaan Kekayaan Desa. Hal ini memberikan kewenangan kepada desa sebagaimana
Pengelolaan kekayaan desa harus berdayaguna dan bersil guna untuk meningkatkan
pendapatan desa.
15
Appropriation, provision, monitoring, enforcement, conflict resolution, and governance
activities are organized in multiple layers of nested enterprises.
Prinsip ke-8 diterapkan pada pengeloaan sumberdaya yang cukup besar, sehingga
kehutanan yang melibatkan beberapa wilayah misalnya, membutuhkan tata kelola yang
berjenjang, dimana kelompok yang lebih kecil masuk pada organisasi diatasnya yang lebih
besar. Di dalam system polisentris berbeda dengan system yang sentralistik dan desntralistik,
pengusaan oleh pihak atau kelompok tertentu kemungkinannya kecil. Pada system polisentris
terdapat pola tata kelola multi pihak, dimana setiap pengelolaan mengatur provisinya sendiri,
dijalankan pada usaha kebun kelapa sawit desa, mengingat skala usaha masih relative kecil.
pengelolaan yang berjenjang. Untuk mencapai kelembagaan yang efisien dan berkelanjutan
baru sebatas masing-masing desa mebangun dan bekerjasama sendiri- sendiri dengan
16
(rendah) (rendah)
4 Monitoring Diawasi Diawasi masyarakat
a). Pengawasan Aktif masyarakat dipilih dipilih (Tidak)
b) Kompetensi Pengawas (Tidak) Kompetensi (Tidak)
b). Tidak Ada tekanan eksternal Kompetensi
(Tidak) Desa punya Otoritas
Desa punya otoritas (ya)
(Ya)
5 Penerapan Sanski Pernah diberi Pernah diberi sanksi
bertingkat dan dipatuhi sanksi (tidak) (tidak)
6 Mekanisme Penyelesaian Konflik Murah dan Cepat Murah dan Cepat
a). Pengadilan (tidak) (tidak)
b). Perundingan Perundingan (ya) Perundingan (ya)
7 Pengakuan hak berorgasisai Setiap Kaum punya Setiap Kaum punya
Hambatan otoritas lokal hak yang sama hak yang sama untuk
untuk berkelompok (ya)
berkelompok (ya)
8 Cabang Usaha Tidak ada Tidak Ada
PENUTUP
Pada dasarnya Penerapan prinsip desain Ostrom (1990) dapat dilakukan dalam kelembagaan
kemitraan usaha kebun kas desa, pengelolaan sumberdaya bersama termasuk lahan pertanian.
Hasil penelitian menemukan beberapa prinsip desain berjalan dengan baik yakni :
Batas-batas yang jelas (clearly defined boundaries), memberikan pengakuan atas hak
pengelolaan sumberdaya bersama (lahan desa) dengan batas fisik, administratif, dan
pemanfaatan hasil usaha. Perbandingan yang proporsional antara biaya dan manfaat
(Proportional Equevalence between benefit and cost), adanya aturan main pengelolaan
berlandaskan norma masyarakat setempat dan mengutamakan fungsi fisik sosial dan ekonomi
setempat. Hasil Kesepakatan bersama ( Colective choice arrangement ), dimana para pelaku
secara kolektif memberlakukan aturan dengan pola saling percaya. Prinsip desain lainnya
belum dijalankan secara optimal antara lain adalah Pemantauan (Monitoring), Sanksi
kelembagaan kemitraan usaha kebun kelapa sawit desa yang efektif dan berkelanjutan perlu
17
melakukan penyesuaian prinsip desain ostrom dengan keadaan common pool resources yang
DAFTRA PUSTAKA
---------------, 2004. Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang
Perkebunan . Menkumham. Jakarta.
-------------.2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 Tentang Badan
Usaha Milik Desa. Dedagri. Jakarta.
------------, 2013. Instruksi Bupati Kabupaten Mukomuko tahun 2013 Tentang Kebun Kas
Desa. Pemda Mukomuko. Mukomuko.
Afrizal dan Edi Indrizal, 2010. Manajemen Konflik Perkebunan Kelapa Sawit: Panduan
Mekanisme Berdasarkan FPIC (Free and Prior Informed Consent) Alih Fungsi
Tanah Ulayat untuk Pemabangunan Guna Meminimalisasi Konflik. Andalas
University Press. Padang.
Afrizal. 2006. Sosiologi Konflik Agraria: Protes – Protes Agraria Dalam Masyarakat
Indonesia Kontemporer. Andalas University Press. Padang.
Agus Setiyanto. 2001. Elite Pribumi Bengkulu: Persepektif Sejarah Abad ke 19. Balai
Pustaka .Jakarta.
Martial. 2010. Penataan Kelembagaan Penguasaan Lahan dan Pohon Pada Sistem
Agroforestri di Sumatra Barat. Desertasi. Program Doktor Pascasarjana
Universitas Andalas. Padang
18
Wilayah Di Propinsi Sumatra Barat. Mimbar Volume XXII No.2 April –Juni
2006: 234 -257.
Ostrom. Elinor, 1990. Governing The Commons; The Evolution of Institutions for Collective
Action. New York. Cambrige University Press.
Ostrom.Elinor dan Charlotte Hess. (2007). “A Framework for Analyzing The Knowledge
Commons”. Understanding knowledge as a commons. Ed.Charlotte Hess and
Elinor Ostrom London. The MIT Press.
Polski Margaret.M and Ostrom Elinor. 1999. An Institutional Framework for Policy Analysis
and Design. Workshop in Political Theory an Policy Analysis Departement Of
Political Science Indiana University.
Yondri. et.al. 2001. Budaya Masyarakat Suku Bangsa Mukomuko dan Lingkungannya di
Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu. Proyek Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sumatra Barat. PD.Syukri. Padang.
19