You are on page 1of 15

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at:


https://www.researchgate.net/publication/320196136

Minuman Keras sebagai Necessary Evil di


Surabaya 1900—1942 (Alcoholic Drink as a
Necessary Evil in Surabaya 1900—1942)

Research · October 2017

CITATIONS READS

0 160

3 authors, including:

Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari


Airlangga University
3 PUBLICATIONS 1 CITATION

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Sistem Perekonomian Kerajaan Majapahit View project

Minuman Keras sebagai Necessary Evil di Surabaya 1900—1942 (Alcoholic Drink


as a Necessary Evil in Surabaya 1900—1942) View project

All content following this page was uploaded by Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari on 04 October 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Mozaik Humaniora
Vol 15 (2): 205-218
© Penulis (2015)

Minuman Keras sebagai Necessary Evil di Surabaya 1900—1942


(Alcoholic Drink as a Necessary Evil in Surabaya 1900—1942)
Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari
Departemen Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga
Jalan Dharmawangsa Dalam, Surabaya
Tel.: +62 (031) 5035676
Surel: ikhsan-r-m-a@fib.unair.ac.id

Abstrak
Penelitian ini berkaitan dengan pentingnya minuman keras di Surabaya pada tahun 1900—1942.
Fokus penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan mengapa minuman keras yang dari
sisi kesehatan merupakan minuman berbahaya dan dapat dikatakan sebagai “minuman jahat”
namun pada aspek ekonomi, sosial, dan budaya merupakan kebutuhan yang diperlukan. Kajian
ini menggunakan metode sejarah meliputi pencarian sumber, kritik, interpretasi, dan penulisan.
Kajian ini menggunakan pendekatan multidimensional, yakni perspektif kesehatan, ekonomi, sosial,
dan budaya. Berdasarkan pendekatan tersebut, dapat diketahui bagaimana peran minuman keras
bagi manusia dan interaksinya. Oleh karena itu, digunakan konsep a neccesary evil. Minuman keras
menjadi salah satu simbol budaya modern bagi masyarakat pribumi perkotaan dari tingkat elit
sampai rakyat jelata serta golongan masyarakat Timur Asing terutama Tionghoa. Secara sosial dan
ekonomi, minuman keras memiliki nilai prestise sosial, di mana minuman keras akan menunjukan
status sosial dan kemajuan dalam memaknai simbol-simbol perubahan zaman. Hasil penelitian ini
mengungkapkan bahwa ternyata gerak ekonomi dalam minuman keras mengalami tren peningkatan
guna penyediaan komoditas tersebut. Bahkan, di Surabaya sendiri kemudian dibangun pabrik bir
sebagai penyedia salah satu jenis minuman keras. Secara kesehatan, minuman keras sangat berbahaya
dan merugikan tubuh. Namun, di sisi yang lain, dalam tingkatan sosiologis dan ekonomis, minuman
keras juga diperlukan walaupun seringkali mendatangkan masalah kesehatan dan sosial.

Kata kunci: kolonial, minuman keras, necessary evil

Abstract
This study aims to answer the question of why the alcoholic drink from the health side is a dangerous
beverage and can be considered as “evil drink” but from the aspects of economic, social, and culture
it is necessary. This study uses historical method heuristic, criticism, interpretation, and writing. This
study uses a multidimensional approach, namely health perspective, economic, social, and cultural.
The concept of a necessary evil was introduced since alcoholic drink became one of the symbols of
modern culture for urban indigenous people from the elite level to ordinary people. Socially and
economically, alcoholic drink had a value of social prestige, in which liquor would indicate social
status and progress over the meanings of the symbols of the changing times. The economic movement
in liquor increased as the supply of the commodity increased. In fact, in Surabaya a brewery as a
provider of one type of liquor was bulit. In the point of view of health, liquor was very dangerous
and detrimental to the body. However, in the sociological and economic point of view, liquor was
also required although it proved to cause many problems for health and social interaction.

Keywords: colonial, evil drink, liquor, necessary evil

PENDAHULUAN
Minuman keras merupakan hasil kebudayaan yang telah ada sejak masa periode
klasik sejarah manusia. Dalam catatan sejarah, Mesir Kuno dan Mesopotamia
merupakan bangsa yang telah mengenalkan minuman ini sejak satu abad sebelum
Masehi (Nelson 2005:1). Bir merupakan minuman beralkohol yang sangat umum
selain air dan teh. Faktor yang memengaruhi penerimaan konsumsi minuman
beralkohol ini bervariasi dari berbagai masyarakat. Diantaranya adalah gaya hidup,
Mozaik Humaniora Vol 15 (2)

demografi, batasan usia, serta kondisi alam, dan sosial sekitarnya (Bamforth 2008:7).
Bangsa Eropa yang hadir ke tanah jajahannya masing-masing secara sadar maupun
tidak telah membawa minuman keras sebagai budaya dan entitas baru di koloni
masing-masing.

Hiburan dan ikatan keeropaan diadakan dengan berbagai perkumpulan orang-orang


Barat di waktu-waktu tertentu. Di Surabaya sendiri terdapat tempat perkumpulan
yang disebut Societet Concordia dan Societeit “De Club” Simpang (von Faber
1933:354-357). Selain itu juga, banyak tempat yang menyediakan sarana hiburan serta
tempat untuk memenuhi selera lidah dan perut orang-orang Eropa yakni restoran
dan tempat-tempat bilyar yang lebih dikenal dengan “rumah bola.” Berbagai jenis
minuman keras dari Eropa dibawa oleh agen-agen import di Hindia Belanda (Allister
1925:339-381). Sebut saja jenis-jenis minuman seperti cognac, jenever, bier, dan jenis
minuman keras lainnya yang didatangkan oleh agen-agen impor.

Meskipun secara kesehatan tidak baik dan berbahaya bagi tubuh, pada kenyataannya,
minuman keras tetap menjadi minuman yang memiliki prestise bagi masyarakat,
atau setidaknya dapat disebut sebagai neccesary evil. Dampak dan bahaya minuman
keras yang mengandung alkohol ini telah dikemukakan oleh J. Kats dalam Het
Alcoholkwaad en Zijn Bestrijding yang sekaligus diterjemahkan menjadi Bahaja
Minoeman Keras serta Daja Oepaja Mendjaaoehnja. Menurut Kats, beberapa organisasi
di Hindia Belanda seperti Sarikat Islam, Marditomo, Muhammadiyah, Regentebond
(Perkumpulan Bupati), Budi Oetomo, Mim-Pitoe (Kats 1920), dan lain-lain telah
memberikan pandangan tentang bahaya dan dampak negatif dari minuman keras,
sehingga pandangan tersebut kemudian menjadi masukan kepada pemerintah untuk
dapat mengurangi peredaran miras.

Keberadaan orang-orang Barat dengan gaya hidup mereka menyebabkan


diperlukannya ketersediaan pemenuh kebutuhan dan gaya hidup bagi mereka.
Salah satunya adalah minuman keras. Selain mendatangkan langsung dari luar
Hindia terutama dari Eropa, di Jawa mulai tahun 1931 dibangun pabrik minuman
beralkohol guna memenuhi kebutuhan tersebut. Keberadaan pabrik bir tersebut
secara ekonomis telah memberikan sumbangan bagi kondisi perekonomian kota.
Bagi kalangan elit pribumi, kebiasaan minum-minuman yang mengandung alkohol
menjadi simbol dan status sosial. Permasalahan utama yang diteliti dirumuskan
dalam pertanyaan, mengapa minuman keras yang dari sisi kesehatan merupakan
minuman berbahaya dan dapat dikatakan sebagai “minuman jahat” namun pada
sisi lain merupakan barang yang sangat dibutuhkan secara ekonomis dan sosiologis
bahkan dijadikan sebagai salah satu gaya hidup dan status masyarakat?

Konsep yang digunakan yakni a necessary evil. Penggunaan istilah ini pertama kali
muncul dalam tulisan Liesbeth Hesselink dengan judul Prostitution A Necessary
Evil, Particularly in Colonies: Views on Prostitution in the Netherlands Indies. Buku
ini meminjam konsep tentang a necessary evil, yakni bahwa prostitusi merupakan
necessary (kebutuhan) laki-laki guna tercukupinya selera seksual alamiah mereka,
meskipun juga prostitusi menyebabkan penyakit kelamin yang mematikan dan
menjadi momok (Hesselink 1987:206-207) sehingga kondisi tersebut diibaratkan

206
Minuman Keras sebagai Necessary Evil di Surabaya 1900—1942

sebagai kebutuhan yang jahat. Meskipun jahat, kebutuhan akan prostitusi tetap
tinggi.

Berdasarkan konsep tersebut di atas, minuman keras juga dipersepsikan juga


sebagai a necessary evil. Pada satu sisi, minuman keras merupakan kebutuhan sosial.
Masyarakat Eropa ataupun petinggi dari golongan bangsa lain seperti Cina dan
bangsa lainnya kecuali golongan Arab di rumah tempat tinggal mereka selalu
menyediakan bir atau minuman keras lainnya. Minuman keras tersebut biasa
disajikan untuk menjamu tamu-tamu penting yang datang ke rumah. Di rumah
orang-orang Eropa, bir ini biasanya disimpan di ruang rumah yang disebut kelder
atau dispens (Soekiman 2011:148).

Tata cara borjuasi Barat telah masuk ke dalam tradisi dan budaya priyayi pribumi,
salah satunya adalah upacara toast yakni bersulang dengan minuman keras dari tuan
rumah bagi yang dihormati. Kebiasaan ini telah diserap menjadi kebiasaan elit. Salah
satu contohnya diceritakan oleh Darsiti Soeratman dalam bukunya Kehidupan Dunia
Keraton Surakarta 1830-1839. Untuk menunjukan kepatuhan secara simbolik terhadap
kekuasaan politik pemerintah kolonial ketika upacara perkawinan agung antara
Susuhunan Paku Buwono IX dengan RA Koestidjah, upacara toast dilakukan sebagai
pembukaan dari seluruh rangkaian upacara. Toast dilakukan sebanyak tujuh kali
disertai sorak-sorai tamu serta dengan diiringi musik selamat datang, gamelan Jawa,
brassband modern, tembakan salvo, serta suara letupan botol-botol champagne yang
dibuka tutupnya. Dalam upacara tersebut juga dihidangkan masakan-masakan Eropa
lengkap dengan menu minuman keras dari berbagai jenis yang dalam bahasa Jawa
keraton dibahasakan dengan Ratu Mas Drink (Soeratman 2000:108). Hal ini selaras
dengan kondisi budaya masyarakat kota yang cenderung lebih terbuka dan kondisi
pada waktu itu masih sangat erat dengan simbol-simbol modernisme. Tidaklah
mengejutkan bahwa orang-orang Eropa tetap bertahan dengan menu mereka sendiri
yang dipromosikan dengan cara yang sama dengan mode Eropa di koran-koran
(Scholten 2005:253). Dengan demikian, masyarakat pribumi dan lingkungannya
terpengaruh untuk mengikuti. Makanan kemasan dalam kaleng yang diimpor dari
Eropa mulai banyak memasuki pasaran dan banyak dikonsumsi oleh orang-orang
Eropa maupun elit pribumi. Kebiasaan sehari-hari dari kebudayaan borjuasi Barat
yang menjadi simbol status baru kaum elit pribumi adalah minum-minuman yang
berkadar alkohol tinggi (minuman keras) (Riyanto 2005:184). Dalam derajat kualitas
yang disesuaikan dengan stratifikasi masyarakat yang berbeda-beda sesuai dengan
harga yang ditawarkannya, penduduk pribumi dari kalangan rakyat kecil sampai
kaum elit telah banyak mengonsumsi minuman keras. Sebagai contoh, di Batavia
banyak penduduk pribumi yang bertingkah laku seperti orang-orang Barat dengan
makan kentang dan minum-minuman keras atau bir (Hanna 1988:183).

Kebiasaan baru tersebut merangsang penyediaan minuman yang diimpor serta


kemudian tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang memproduksi minuman keras
maupun soft drink. Pada masa tersebut telah dikenal berbagai jenis minuman keras
yang dikemas dalam botol seperti whisky, anggur, cognac, bier, bier hitam, dan lain-lain.
Kebanyakan minuman keras jenis anggur (wine), cognac, maupun whisky diimpor
dari Paris dan merupakan minuman mahal yang sangat bergengsi pada pesta-pesta

207
Mozaik Humaniora Vol 15 (2)

mewah kaum elit. Sedangan minuman bier banyak didatangkan dari Belanda serta
kemudian diproduksi juga di Jawa, yakni di Surabaya, dengan merek Java Bier. Selain
itu juga dikenal minuman merek Jenever untuk produk minuman keas jenis whisky
dan masyarakat pribumi sering menyebutnya dengan jenewer (Riyanto 2005:185).

Namun pada sisi lain, secara medis dan psikologis, minuman keras menimbulkan
penyakit dan bahaya bagi tubuh. Seperti yang sudah diungkapkan oleh J. Kasts,
minuman keras memiliki dampak negatif bagi tubuh, di antaranya lebih mudah
terserang penyakit, terutama penyakit otak yang menyebabkan kegilaan (Kats
1920:65). Bahkan, selain merusak diri sendiri, minuman keras tidak hanya merusak
para alcoholist, tetapi juga merugikan bagi seluruh keluarga dan negara. Oleh karena
itu, minuman keras selayaknya dihindari karena merupakan “setan” yang bisa
menjerumuskan. Konsep a necessary evil inilah yang digunakan untuk melihat
bagaimana minuman keras ini dimanfaatkan sekaligus dijauhi.

Penelitian tentang minuman keras di Surabaya periode kolonial sejauh ini belum
peneliti temukan. Pembahasan tentang minuman keras menjadi bagian kecil dari
tulisan-tulisan yang pernah ada, terlebih lagi penelitian tentang sejarah industri
minuman keras. Pada tahun 2005 telah ada penelitian tentang minuman keras di
Batavia dengan periode tahun 1873-1898 yang ditulis oleh Yusana Sasanti Dadtun
(2005). Penelitian ini merupakan penelitian tesis di Program Studi Sejarah Universitas
Gadjah Mada. Hasil penelitian tersebut, seperti terwakili dalam judulnya membahas
tentang sistem produksi dan perdagangan minuman keras di Batavia pada tahun
1873—1898. Sesuai dengan batasan spasial, penelitian tersebut mengambil tempat
Batavia. Penelitian yang dilakukan oleh Mancall dkk. (2000) yang berjudul Maori and
Alcohol: A Reconsidered History mengungkapkan tentang sejarah konsumsi alkohol
di Suku Maori berpengaruh terhadap perilaku orang-orang Maori. Pada mulanya
mengalami resistensi terhadap alkohol karena terkait dengan tradisi. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Gentry (2004), A Place of Gathering Carolina Drink Houses,
mengungkapkan bahwa ada tempat yang digunakan untuk transaksi dan meminum
alkohol secara ilegal.

Buku yang bersifat deskriptif naratif tentang minuman keras dan tempat-tempat
hiburan yang menyediakan minuman keras yang ada di Surabaya sampai tahun
1930-an disajikan oleh G.H. von Faber (1933). Buku tersebut memberikan informasi
sedikit tentang beberapa jenis minuman keras dan tempat-tempat hiburan yang
menyediakan minuman keras. Selain itu, diinformasikan pula tentang kebiasaan
orang-orang Eropa yang minum minuman keras, terutama pada saat pesta.

Tulisan J. Kats dalam Het Alcoholkwad en Zijn Bestrijding dengan terjemahannya Bahaja
Minoeman Keras serta Daja Oepaja Mendjaoehinja (Kats 1920) mendeskripsikan berbagai
dampak bahaya yang muncul jika seseorang meminum minuman beralkohol.
Buku ini adalah manfaat dan berbagai bahaya yang muncul jika mengkonsumsi
minuman keras. Media surat kabar dijadikan sebagai sarana promosi modern
(iklan) bagi pemasaran produk-produk minuman keras. Berbagai merek minuman
keras diiklankan dalam surat kabar karena merupakan media yang efektif untuk
promosi dan pemasaran. Hal ini diungkapkan oleh Bedjo Riyanto dalam Iklan Surat

208
Minuman Keras sebagai Necessary Evil di Surabaya 1900—1942

Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915) (Riyanto 2000).
Lebih lanjut dijelaskan, dari iklan-iklan tersebut menjadi tolak ukur bahwa dalam
masyarakat telah terjadi perubahan baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya
sehingga merujuk pada masyarakat modern. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Livingstone dan kawan-kawan yang berjudul “We Drink, Therefore We Are”: The Role
of Group Identification and Norms in Sustaining and Challenging Heavy Drinking “Culture”
(2011:637-649) mengungkapkan bahwa penerimaan seseorang dalam kelompok
dapat dilihat dari kebiasaan minum minuman keras. Penelitian ini dilakukan di
Inggris yang memiliki kebiasaan minuman keras. Penelitian lainnya yang dilakukan
di Denmark oleh Jarvinen dkk. (2014:384-405) dengan judul Drinking Successfully:
Alcohol Consumption, Taste and Social Status mengungkapkan adanya korelasi antara
status sosial, konsumsi minuman keras, dan rasa. Sedangkan fungsi konsumsi
minuman keras di Surabaya masa kolonial Belanda belum ada yang membahas.

METODE
Metode yang digunakan dengan metode penelitian deskriptif yaitu memecahkan
permasalahan dengan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasi,
menganalisis, dan mengintepretasi. Kajian ini menggunakan sumber-sumber tertulis
sebagai data analisis. Sumber-sumber tertulis diperoleh dari kantor Arsip Nasional
Republik Indonesia di Jakarta, Arsip Propinsi Jawa Timur, Perpustakaan Badan
Perencanaan Daerah Propinsi Jawa Timur, dan perpustakaan Nasional di Jakarta.
Sumber penting lainnya adalah surat kabar yang terbit sezaman dengan periode yang
diteliti. Dari sumber-sumber tertulis yang diperoleh, kemudian dilakukan kritik dan
pemilahan untuk menentukan apakah sumber tersebut dapat dimanfaatkan atau
tidak. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisa terhadap sumber-sumber yang
telah melalui tahap kritik dan pemilahan dan selanjutnya melakukan interpretasi
yang terwujud dalam bentuk tulisan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gaya hidup dan budaya Indis (Soekiman 2011) di Hindia Belanda tercipta dari
fungsi integratif arus besar kebudayaan, antara lain ekonomi, politik, sosial, seni,
religi bahasa, dan lain-lain sehingga mendorong terciptanya pola gaya hidup dan
budaya masyarakat di Hindia Belanda. Situasi pemerintahan kolonial mengharuskan
penguasa bergaya hidup, berbudaya, serta membangun gedung dan rumah tempat
tinggalnya dengan menggunakan ciri-ciri yang berbeda dengan rumah bumiputra.
Ciri-ciri khas ini dipergunakan untuk menunjukkan jati diri mereka sebagai anggota
kelompok golongan yang berkuasa dan untuk membedakan kedudukannya dengan
rakyat bumiputra (Kartodirdjo 1990:211).

Pada awal abad XX, kehidupan bagi banyak orang Eropa di berbagai wilayah Jawa
maupun Hindia Belanda mirip dengan negara asalnya. Seperti yang digambarkan
oleh Susan Blackburn, pada tahun 1920-an dan 1930-an, kehidupan orang Eropa di
Batavia sangat mirip dengan negara asalnya (Blackburn 2011:158). Hiburan orang
Eropa tidak boleh dihadiri komunitas lain kecuali orang-orang Bumiputra, Cina, dan
Arab yang sangat kaya. Pelampiasan hiburan bagi orang-orang Eropa maupun yang
termasuk golongan-golongan di dalamnya lebih banyak didasarkan pada budaya
asal Eropa. Dalam setiap kesempatan hiburan, yang tidak bisa dilepaskan dari ritual

209
Mozaik Humaniora Vol 15 (2)

pesta adalah tradisi untuk minum-minuman keras. Bagi mereka, minuman keras
sudah menjadi minuman wajib bagi mereka, sama halnya seperti minuman teh bagi
orang Timur Asing dan Bumiputra yang sudah menjadi keseharian, demikian pula
minuman keras bagi orang-orang Eropa dan Amerika.

Guna memenuhi kebutuhan akan budaya minuman keras orang-orang Eropa dan
keturunannya, berbagai macam jenis dan merek minuman keras telah beredar dan
tersedia di berbagai tempat yang ditinggali oleh mereka. Berbagai jenis dan merek
seperti wine (baik yang red wine maupun white wine), bir, cognac, brandwine, dan lain
sebagainya menjadi suguhan di berbagai acara hiburan dan pesta orang Eropa. Jenis
dan merek inilah yang kemudian dijadikan sebagai rujukan bagi masyarakat golongan
lainnya baik Bumiputra maupun Timur Asing sebagai minuman elit. Meskipun pada
masing-masing golongan masyarakat juga sudah memiliki tradisi dalam minuman
keras, akan tetapi ketika dihadapkan pada simbol eksklusif status sosial masyarakat,
mau tidak mau selalu mengacu pada golongan status sosial yang paling tinggi.

Usaha ekonomi orang-orang Arab di Surabaya lebih banyak berkutat pada sektor
perdagangan terutama untuk menjual barang-barang seperti kain, keperluan ibadah
untuk orang Islam, maupun barang-barang impor dari kawasan Arab. Usaha lain
yang tidak banyak juga memiliki perusahaan pembuatan material bahan bangunan
dalam skala sedang, usaha percetakan, dan lain-lain. Secara umum perekonomian
orang-orang Arab lebih kecil dibandingkan orang-orang Cina, namun kondisinya
lebih baik daripada pada bumiputra pada umumnya (Blackburn 2011:74-84).

Bagi masyarakat Tionghoa, minuman keras juga sudah menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari masyarakat. Beragam jenis minuman keras telah populer dikalangan
masyarakat Indonesia. Arak dan ciu merupakan dua macam minuman keras khas
Tionghoa. Bahkan khusus untuk arak yang diproduksi di Batavia sudah sangat
terkenal di seluruh Nusantara bahkan sampai luar negeri. Mereka menyebutnya
dengan Arak Batavia. Bahkan kepopuleran Arak Batavia ini menjadi menu baru dan
merupakan bahan-bahan paling top pada masa ini (Stubbs 2008).

Proses modernisasi yang terjadi akibat interaksi intensif antara orang-orang Eropa
dan Elit birokrasi Bumiputra mengakibatkan dominasi kebudayaan modern Barat
atas kebudayaan Bumiputra yang oleh Wertheim disebut sebagai westernisasi
(Wertheim 1999:234). Namun, proses westernisasi sebenarnya hanya ditujukan untuk
golongan elit Bumiputra dengan jalan pendidikan Barat sehingga sebagian besar
arus modernisasi lebih tepatnya hanya terjadi di kalangan elit Bumiputra. Mobilitas
sosial secara vertikal yang dialami masyarakat Bumiputra yang mengenyam
pendidikan Barat dan menempati fungsi-fungsi tertentu dalam birokrasi pemerintah
mengakibatkan terjadinya perubahan sistem kekerabatan besar dan fokus pada
keluarga inti (Kartodirjdo 1990:166).

Tingginya mobilitas manusia dalam kegiatan perekonomian serta tumbuhnya


kebiasaan mengadakan rekreasi sebagai selingan penyegaran akibat kelelahan
bekerja bagi kalangan elit memunculkan pertumbuhan jasa perhotelan maupun
penginapan. Hotel-hotel dengan standar pelayanan Eropa banyak bermunculan

210
Minuman Keras sebagai Necessary Evil di Surabaya 1900—1942

dan ditawarkan di kota-kota termasuk Surabaya. Beberapa nama hotel yang ada di
Surabaya di antaranya Grand Hotel Noailles & Metropoli, Hotel Ngemplak, Hotel
Simpang, Hotel Brunet, dan Oranje Hotel (Allister 1925:347-384).

Dalam gaya hidup sehari-hari, kalangan elit Eropa banyak memengaruhi elit
Bumiputra berupa menu makanan, bentuk-bentuk hiburan, serta media sosialisasi.
Kemampuan ekonomi elit Eropa telah memungkinkan mereka untuk memindahkan
suasana lingkungan budaya borjuasi Eropa tempat asal mereka ke dalam lingkungan
baru di tanah jajahan Jawa. Maka, kemudian dibangun infrastruktur penunjang
kebiasaan mereka seperti gedung kesenian, gedung bioskop, klub-klub eksklusif
atau rumah bola (bilyar) serta restoran dan hotel (Riyanto 2000:196-197).

Masuknya Minuman Keras ke Surabaya


Ditinjau dari kemunculannya, minuman keras memiliki sejarah yang panjang.
Minuman keras dikategorikan menjadi bir dan wine yang didasarkan pada bahan
pembuatan serta fungsinya. Bir diolah dari bahan dasar gandum dan wine dari
anggur. Pada awalnya wine dikonsumsi hanya khusus untuk kelas atas, sedangkan
bir identik dengan kaum bawah atau proletar. Pada perjalanannya, pada masa agama
Kristen menjadi kuat, minuman wine sangat erat kaitannya dengan agama Kristen
(Bamforth 2008). Wine lebih banyak mengandung alkohol dibandingkan bir dan
dampak yang ditimbulkan juga berbeda. Bir diklaim pertama kali kemunculannya
dari daerah Mesopotamia (Bamforth 2008:26).

Di Surabaya sendiri, untuk memenuhi selera hiburan mereka, dibangun schouwburg


(gedung teater opera atau komedi). Setidaknya terdapat 3 (tiga) gedung kesenian yang
ada pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Gedung kesenian yang pertama muncul
berada di Jalan Werf, kemudian gedung kesenian kedua berlokasi di sudut Jalan
Bubutan dan Jalan Komedi Lama yang didirikan oleh Hannema kepala perusahaan
Dunlop & Co. Sedangkan gedung yang ketiga berada di Lapangan Komedie yang
didirikan tahun 1854 dan dibongkar tahun 1923. Selain untuk pertunjukan opera
komedi, gedung tersebut juga digunakan untuk pertunjukan musik dan tonel (von
Faber 1933:333-343).

Selain gedung kesenian, Kota Surabaya juga memiliki media perkumpulan orang-
orang Eropa sekaligus tempat hiburan. Perkumpulan itu dinamakan soos. Soos ini
merupakan sarana yang penting untuk kehidupan sosial anggotanya, yakni orang-
orang Eropa. Di tempat perkumpulan tersebut, mereka dapat melakukan aktivitas
membaca, pesta, mabuk, bermain bilyar, maupun melakukan percakapan atau obrolan
dari yang gurauan sampai serius. Soos menyediakan ruang dansa, mengadakan
pertandingan kartu, pentas musik, serta hiburan lainnya bagi anggotanya. Soos ini
dilakukan di tempat yang disebut societeit. Societeit pertama di Surabaya bernama
Concordia berdiri 4 Maret 1843 berada di Jalan Kromojayan. 80 tahun kemudian
Concordia pindah ke Jalan Tunjungan dan digunakan mulai tanggal 11 November
1916 karena gedung lama dijual ke Perusahaan Minyak Dordtsche.

Setiap akhir pekan, tempat-tempat pertemuan dan hiburan selalu ramai dikunjungi
oleh anggotanya. Mereka minum-minum yang mereka sebut apenmilk yang terdiri

211
Mozaik Humaniora Vol 15 (2)

dari campuran jenever dan air sampai larut malam. Selain itu juga disuguhkan
brendy soda. Minuman whisky untuk pertama kali didatangkan ke Hindia Belanda
pada tahun 1890 (von Faber 1933:356). Tempat perkumpulan lainnya yang berada di
daerah Ujung dan biasanya merupakan persinggahan para pelaut maupun pekerja
kapal yang sedang sandar di pelabuhan Tanjung Perak adalah Modderlust. Societeit
Modderlust ini didirikan sekitar tahun 1856 dan tahun 1859 memiliki gedung
dan banyak orang menyebutnya sebagai Rumah Jenever. Minuman yang sering
disuguhkan adalah berupa cognac atau rijnwijn (von Faber 1933:358).

Selain tempat-tempat hiburan yang ada, penikmat minuman keras juga dapat
memperoleh di restoran-restoran Eropa dan Tionghoa. Beberapa nama restoran
Eropa yang ada di Surabaya diantaranya adalah Haven, Hellendoorn, Johannes Bar,
Kranggan Bar, Luxor Restaurant, Stadtuin Restaurant, Stam & Weijns, Tutti Frutti Ice
Cream. Sedangkan nama-nama restoran Tionghoa diantaranya adalah Hongkong Kit
Wan Kie, Shanghai, Tjiang An Kie, Sing An Kie, Hwa Kiauw, jublieum, Tau Tjhan,
tjeng Bing Tjwan, dan lain-lain (Koster 1928).

Impor minuman keras melalui pelabuhan Surabaya yang didatangkan dari Jepang,
Amerika, (Deensch) dan Belanda tahun 1915 sebanyak 780,89 Liter vatbier (tong) dan
675,880 Liter flesschenbier (botol) dan tahun 1914 56,100 Liter vatbier dan 994,000 Liter
flesschenbier (“Verslag der Handelvereeniging te Soerabaia over hat jaar” 1915).

Jenis-jenis Minuman Keras


Minuman yang umum didatangkan dari negara lain biasanya berupa bir, wine,
jenever, cognac dan likeur. Masing-masing jenis minuman keras tersebut juga memiliki
nama tersendiri berdasarkan bahan baku dan wilayah asal produksi seperti minuman
keras jenis bir dari Inggris yang dikenal dengan Engelsch Bier dan Dutch Bier yang
merupakan bir poduksi Belanda. Sementara itu, wine memiliki macam-macam nama
seperti Rijn wijn (wine asam), Bordeaux wine (wine Perancis), Italian Wine (wine Italia),
Brandewine (masyarakat mengenal sebagai brendi yang merupakan wine Belanda),
dan lain-lain. Masing-masing jenis minuman tersebut memiliki kadar alkohol
yang berbeda-beda. Ini terjadi karena perlakukan dalam pemasakan (pembuatan)
minuman tersebut serta bahan-bahan yang digunakan berbeda-beda.

Secara umum, jenis minuman keras yang beredar di Hindia Belanda termasuk
Surabaya adalah bir Inggris (Engelsch bier), Rijn wijn (anggur asam), Bordeaux wijn
(anggur Perancis), Italiansche wijn (anggur Italia), Portwijn (anggur Port), likeur (sopi
manis), jenever (sopi), brandewijn (brendi), cognag (konyak), rum, dan wiski. Berbagai
jenis minuman keras tersebut terdiri dari berbagai macam merek.

Setiap barang yang berasal dari luar negeri harus melalui bea cukai (douane) yang
masing-masing barang akan dikenakan tarif cukai sesuai dengan jenis barang yang
masuk. Tarif douane untuk minuman bir yang masuk melalui pelabuhan Surabaya
ditetapkan sebesar f. 8 untuk setiap hektoliter bir yang masuk (Koster 1928). Selain
itu, khusus untuk minuman keras, sebelum diedarkan ke pasaran ia harus melalui
uji laboratorium terlebih dahulu. Uji laboratorium digunakan untuk mengetahui
kadar alkohol yang terkandung dalam minuman keras, sehingga jenis minuman

212
Minuman Keras sebagai Necessary Evil di Surabaya 1900—1942

keras tersebut dapat diedarkan atau tidak di Hindia Belanda. Uji laboratorium ini
dilakukan oleh Departemen van Landbouw, Nijverheid en Handel di Batavia.

Beberapa contoh yang dapat dijelaskan adalah pengujian terhadap minuman


jenis cognac dengan merek Landy Freres bintang tiga. Berdasarkan arsip agenda no
A/22e/5/14 tertanggal 5 November 1825 yang dikeluarkan bagian analis laboratorium
Departemen van Landbouw, Nijverheid en Handel, dijelaskan bahwa telah ia
menerima permintaan pengujian dari Hoofdcontroler der in-en Uitvoerrechten en
Accijzen di Tanjung Priok tertanggal 26 Oktober 1925 no 03/4/6 yang meminta
agar 2 botol minuman keras diujikan, yakni Landy Freses Cognac driee sterren dan J.
Maurice Lacroux Cognac drie sterren. Dalam agenda tersebut, disertakan pula etiket
kedua produk cognac yang asli. Kemudian, hasil laboratorium diserahkan kembali ke
Hoofdinspecteur der in-en uitvoerrechten en Accynzen tertanggal 14 November 1925
yang menerangkan bahwa cognac dengan merek Landy Freses mengandung alkohol
sebanyak 42,8% dan alkohol lainnya sebanyak 43,2% sedangkan cognac dengan merek
J. Maurice Lacroux, Chateau Paulet drie sterren mengandung alkohol sebanyak 42,1%
dan alkohol lainnya sebanyak 40,6%.

Perusahaan dagang di Surabaya yang menjadi agen impor minuman keras


di antaranya adalah The East Asiatic Company, Ltd. dengan alamat di Nieuw
Hollandstraat no 24. Perusahaan ini berdiri pada Agustus 1920 yang merupakan
usaha dagang ekspor hasil bumi seperti karet, gula kopra, tepung jagung, kopi,
serta importir semen, besi, kertas, susu, serta bir. Perusahaan ini merupakan agen
dari Transatlantic Steamship Co, Ltd. Perusahaan yang menjadi agen bagi produsen
minuman-minuman keras Eropa salah satunya adalah Jacobson, van den Berg & Co.
Namun yang menjadi spesial adalah perusahaan ini menjadi agen minuman keras
bagi Dewar’s Whisky, agen wine W. and A. Gilbey, Ltd., likeur Marie Brizard &
Roger, wine Ade Luze et Fils, vermouth Italia Cora, Champagne Veuve Cliquot. Selain
Surabaya, juga membuka cabang di Batavia, Semarang, Cirebon, dan Rotterdam.
Perusahaan ini berdiri tahun 1860 dan memiliki luas tanah 600 m2 di Surabaya.

Handelsvereeniging vooheen Reiss & CO yang beralamat di Chineesce Voorstraat


juga merupakan importir minuman keras berbagai merek. Perusahaan ini merupakan
cabang kantor pusat di Amsterdam yang berdiri sejak tahun 1869 sedangkan di
Surabaya mulai dibuka tahun 1903 bersama dengan pembukaan cabang di kota
Batavia, Semarang, Makasar, Denpasar, dan Ampenan. Perusahaan ekspor-impor
lainnya yang juga melayani minuman keras adalah Apcar & Jordan, Ltd. Perusahaan
yang beralamat di Heerenstraat ini mulai berdiri sejak tahun 1923 dengan direkturnya
adalah H.A. Apcar dan G.A. Jordan. Dengan modal f. 3.000.000 perusahaan ini mulai
berbisnis ekspor-impor. Barang-barang ekspor Apcar & Jordan, Ltd. berupa kopi,
gula, kapok, tapioka serta membawa barang dari luar negeri berupa berbagai macam
tepung, wine, spirtus, dan barang-barang kebutuhan umum.

Pabrik Bir Heineken


Berdasarkan laporan tahunan yang dikeluarkan oleh perusahaan PT Multi Bintang
Indonesia Tbk., disebutkan bahwa perusahaan ini pertama kali didirikan di Kota
Medan 26 November 1929 sedangkan pabriknya terletak di Surabaya yang diresmikan

213
Mozaik Humaniora Vol 15 (2)

pada tanggal 21 Nov 1931, tepatnya di daerah kawasan industri Ngagel. Meskipun
dibangun pada saat depresi ekonomi melanda barbagai penjuru dunia, ternyata
malah berdiri pabrik bir di Surabaya. Menurut berita dari Heineken Internasional,
ternyata pada saat depresi ekonomi tidak ada satu pun pekerja yang di-PHK.
Heineken justru meluaskan pasar dan bisnisnya ke daerah Amerika Serikat dan
Asia (Heineken 2014). Baru pada tahun 11 Juni 1937, semua aktivitas perusahaan di
pindahkan dari Medan ke Surabaya dengan modal total f 1.500.000 (“Handboek voor
Cultuur” 1888:1033). Sampai tahun 1939, susunan dewan direktur terdiri atas C.J.
Baron Collot d’Escury sebagai presiden direktur, dan anggota direksi lainnya yakni
Rene Gaston Dreyfus, Leon Wielemans, Remi van der Vaeren, dan agen di Surabaya
dipegang oleh J.C. de Man dan K Busch (“Handboek voor Cultuur” 1888:1033).

Produksi pabrik bir NV Ned Ind Bierbrouwerijen Soerabaia dikenal dengan nama
Java Bier. Guna memasarkan dan merebut konsumen sebanyak-banyaknya, langkah
yang dilakukan adalah dengan cara memuat iklan pada berbagai media cetak yang
ada pada waktu itu. Semua media cetak baik yang berbahasa Belanda, Melayu,
Jawa, maupun Cina menjadi tempat bagi promosi produk Java Bier. Periklanan pada
awal abad XX tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakat dan media
massa. Sebagai penghubung berbagai kepentingan masyarakat dalam interaksi sosial
tertentu, iklan menjadi ujung tombak pemasaran produk-produk industri maupun
layanan jasa moderen yang mampu menembus berbagai lapisan masyarakat yang
heterogen. Dengan metode persuasif yang efektif maka suatu produk dapat dengan
mudah akan langsung diketahui oleh masyarakat (Riyanto 2000). Oleh karena itu,
Java Bier sebagai sebuah produk industri modern juga memanfaatkan media iklan
sebagai sarana promosi. Berbagai macam kata-kata persuasif yang ada dalam iklan
Java Bier dalam berbagai bahasa pun mulai dikenal oleh masyarakat pembaca media
cetak pada masa itu.

Iklan Java Bier yang menggambarkan bagaimana bahasa untuk menarik pelanggan
adalah edisi pasar malam. Dalam iklan tersebut, digambarkan sebuah stand dan
satu pasar malam yang menjual Java Bier. Stand tersebut menyerupai botol yang
amat besar dan banyak orang antri di depan stand untuk mendapatkan Java Bier.
Saking banyaknya yang antri di depan stand, sampai perlu ada petugas keamanan
yang digambarkan sedang mengatur antrian. Di luar antrian panjang terdapat satu
orang yang sedang menenggak bir dan terlihat gembira. Selain gambar tersebut,
juga terdapat kata-kata yang berbunyi “Di waktoe Pasar Malem Beriboe Orang Jang
Hanja Menoedjoe Java Bier” (“Java Bier” 1928). Bahkan, ada juga sebuah iklan yang
menarik jika dikaitkan dengan persoalan perayaan hari raya seperti dapat dilihat
pada Gambar 1.

214
Minuman Keras sebagai Necessary Evil di Surabaya 1900—1942

Gambar 1.  Iklan Java Bier (“Java Bier” 1932)

Iklan tersebut dalam pemaknaan sekarang memiliki makna bias. Kata-kata yang
muncul dalam iklan tersebut adalah “Di Dalem Hari Raja Slamet Minoem Java
Bier Toean2 dan Sobat2 Semoeanja.” Makna kata hari raya di atas dapat diartikan
merayakan hari raya bagi penganut agama. Selain itu, makna lainnya adalah hari
raya sebagai perayaan di luar konteks religiusitas. Inti dari maksud pemasangan
berbagai iklan Java Bier adalah agar produk bir ini dapat dinikmati secara luas oleh
masyarakat dari berbagai kalangan dan dalam berbagai kesempatan.

Pengaruh kehidupan sehari-hari menurut tata cara budaya borjuasi Eropa dalam
hal kebiasaan makan dan jenis makanannya sangat terlihat jelas. Berbagai makanan
dan minuman yang selaras dengan lidah orang Eropa mulai banyak beredar di
perkotaan. Produk-produk makan maupun minuman yang lazim dikonsumsi orang-
orang Eropa kemudian dikonsumsi pula oleh kalangan elit pribumi sebagai bentuk
prestise sosial. Ladang bisnis baru ini sangat menguntungkan bagi para pengusaha
dengan munculnya kebiasaan makan di restoran yang menjadi simbol prestise baru
di kota-kota besar. Salah satu budaya borjuasi Barat yang menjadi simbol status baru
kaum elit pribumi adalah minum-minuman yang mengandung alkohol (minuman
keras). Berbagai lapisan masyarakat Bumiputera telah mulai mengkonsumsi berbagai
merek minuman keras yang tentu saja disesuaikan dengan derajat dan kemampuan
masing-masing kelompok masyarakat. Sebagai contoh pembanding, di Batavia
banyak penduduk Bumiputera yang telah bertingkah laku seperti orang Barat yaitu
makan kentang dan minumn-minuman keras atau bier (Hanna 1988:183).

Kebutuhan akan minuman keras ini kemudian memiliki dampak luas bagi masyarakat
yang secara ekonomi tidak mampu untuk membeli minuman keras dengan harga
mahal. Berbagai cara dilakukan agar bisa menikmati minuman keras ini. Beberapa
diantaranya adalah dengan melakukan produksi minuman keras secara ilegal.
Dalam berbagai laporan pemerintah, banyak dilakukan proses verbal bagi orang
yang melakukan produksi minuman keras ilegal (Arsip Nasional Republik Indonesia
1907).

Bahaya Mengonsumsi Minuman Keras


Kadar alkohol yang terdapat dalam berbagai jenis minuman keras memiliki
persentase berbeda-beda. Alkohol inilah yang menjadi pemicu terhadap gangguan

215
Mozaik Humaniora Vol 15 (2)

fungsi bagian tubuh manusia. Sebenarnya alkohol digunakan dalam dunia medis,
namun demikian kandungan yang terdapat dalam minuman keras dan menjadikan
sebagai kebiasaan untuk meminumnya kemudian disebut sebagai alkoholisme.
Menurut ensiklopedia umum, alkoholisme didefinisikan sebagai suatu masalah yang
timbul akibat penggunaan minuman yang mendukung alkohol secara berlebihan dan
merupakan keadaan yang timbul karena kebiasaan penggunaan secara berlebihan.
Penggunaan yang demikian dapat berpengaruh buruk terhadap susunan urat saraf
dan dapat menimbulkan kematian (Pringgodigdo 2005:40).

Kats dalam bukunya yang berjudul Bahaja Minoeman Keras serta Daja Oepaja
Mendjaoehinja menyebutkan berbagai macam penyakit dapat muncul yakni
dahak lebih banyak dan mudah beku sehingga peminum alkohol biasanya suka
meludah dan berdehem karena mulut dan kerongkongan penuh lendir dahak,
terjadi penyumbatan pada pembuluh darah sehingga aliran darah tidak lancar,
pada pangkal pembuluh nafas mengalami gangguan sehingga suara menjadi parau,
jantung dan limpa mengalami gangguan akibat penumpukan kotoran sehingga
sering merasa tertekan pada jantung dan limpa, selain itu juga terjadi gangguan
pada bawah punggung (Kats 1920:47-59).

SIMPULAN
Minuman keras memang memiliki dua sisi yang kontradiktif dalam fungsi sosial
dan dampak kesehatan. Pada satu sisi, secara sosial dan ekonomi ia memiliki nilai
prestise sosial. Minuman keras akan menunjukan status sosial dan kemajuan dalam
maknai simbol-simbol perubahan zaman serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Bukti-bukti sejarah mengungkapkan bahwa ternyata gerak ekonomi dalam minuman
keras mengalami trend peningkatan guna penyediaan komoditas tersebut. Bahkan,
di Surabaya sendiri kemudian dibangun pabrik bir sebagai penyedia salah satu jenis
minuman keras.

Jenis-jenis dan merek turut menyumbang relasi fungsi ini. Selain itu, fungsi budaya
dan kebiasaan yang sudah melekat pada masyarakat pendukung juga menjadi
alasan penting keberadaan minuman keras ini. Oleh karena itu, tidak heran apabila
pemenuhan kebutuhan ini sejalan dengan jumlah yang beredar dalam masyarakat.
Berbagai jenis dan merek minuman keras yang dibawa oleh orang-orang Eropa ke
Hindia Belanda menjadi komoditas penting pula dalam dunia perdagangan.

Isu modernisasi perilaku dan gaya hidup yang dibawa oleh “bangsa penjajah” telah
menjadi bagian tak terpisahkan dari prestise sosial ini, tak terkecuali dalam budaya
minum minuman keras. Ini menjadi bagian yang lebih mendominasi dibandingkan
bahaya yang muncul akibat minum minuman keras. Sebab, pada sisi yang lain
minuman keras ternyata justru lebih banyak mendatangkan masalah terutama
bagi kesehatan tubuh dan masalah interaksi sosial akibat alkoholisme. Akhirnya,
minuman keras ini meskipun banyak mendatangkan masalah kesehatan dan pemicu
tindakan kriminal tetapi kalah dominasinya dibandingkan manfaat secara status
sosial maupun budaya yang dianut masyarakat.

216
Minuman Keras sebagai Necessary Evil di Surabaya 1900—1942

DAFTAR PUSTAKA
Koster, K. 1928. Algemeen Adresboek voor Soerabaja 1928. Surabaya: J.W.F.Sluyler.
Arsip Nasional Republik Indonesia. 1907. Financien no. 777. Jakarta.
Bamforth, Charles. 2008, Grape vs Grain: A Historical, Technological, and Social
Comparison of Wine and Beer. New York: Cambridge University Press.
Blackburn, Susan. 2011. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup Jakarta.
Dadtun, Yusana Sasanti. 2005. “Air Api di Mulut Ciliwung: Sistem Produksi dan
Perdagangan Minuman Keras di Batavia 1873-1898.” Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Gentry, Cythia S. 2004. “A Place of Gathering Carolina Drink Houses.” Journal of
Black Studies 34 (4): 449-461.
Handboek voor Cultuur en Handels-ondernemingen in Nederlansch Indië. 1888. Amsterdam:
NV Drukkerij J.H. de Bussy.
Hanna, Williard A. 1988. Hikayat Jakarta. Diterjemahkan oleh Mien Joebhaar dan
Ishak Zahir. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Heineken. 2014. “Our History.” Heineken. http://www.heinekeninternational.com/history_
page.aspx
Hesselink, Liesbeth. 1987. “Prostitution A Necessary Evil, Particularly in The Colonies:
Views on Prostitution in The Netherlands Indies.” Dalam Indonesian Women in
Focus: Past and Present Notions, disunting oleh Elasebth Locher-Scholten dan
Anke Nierhof. Dordrecht: Foris Publications.
Jarvinen, Margaretha, Christoph Houman Ellergaard, dan Anton Grau Larsen. 2014.
“Drinking Successfully: Alcohol Consumption, Taste and Social Status”. Journal
of Consumer Culture 14 (3): 384-405.
“Java Bier.” 1932. Pewarta Soerabaia, Januari 15.
Kats, J. 1920. Het Alkoholkwaad en Zijn Bestrijding (Bahaja Minoeman Keras serta Daja
Oepaja Mendjaoehnja). Weltevreden: Balai Poestaka.
Kartodirdjo, Sartono. 1990. Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Jakarta: Gramedia.
Koster Algemeen Adresboek voor Soerabaja 1928. 1928. Surabaya: J.W.F. Sluyler.
Livingstone, Andrew G, Hollie Young, dan SR Manstead. 2011. “We Drink,
Therefore We Are”: The Role of Group Identification and Norms in Sustaining
and Challenging Heavy Drinking “Culture”.” Group Processes Intergroup
Relations 14 (5):  637-649.
Mancall, Peter C, Paul Robertson, dan Terry Huriwai, 2000. “Maori and Alcohol: A
Reconsidered History.” Australian and New Zealand Journal of Psychiatry 34 (1): 129-
134.

217
Mozaik Humaniora Vol 15 (2)

Nelson, Max. 2005. The Barbarian’s Beverage: A History of Beer in Ancient Europe. New
York: Routledge.
Pringgodigdo. 2005. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Riyanto, Bedjo. 2000. Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial.
Yogyakarta: Tarawang.
Scholten, Elsbeth Locher. 2005. “Pakaian Musim Panas dan Makanan Kaleng:
Perempuan Eropa dan Gaya Hidup Barat di Hindia Belanda Tahun 1900-1942.”
Dalam Outward Appearances: Trend Identitas, Kepentingan, disunting oleh Henk
Schulte Nordholt. Yogyakarta: LKiS.
Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis: dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi. Jakarta:
Komunitas Bambu.
Soeratman, Darsiti. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1839. Yogyakarta:
Yayasan untuk Indonesia.
Stubbs, Merrill. 2008. “The Get: The New Staples.” NYTimes.com, 7 November. http://
www.nytimes.com/2008/05/04/style/tmagazine/06get-staples-t.html?_r=0&
adxnnl=1&adxnnlx=1375203610bRvEjLD9bysERR9ArP0XwA
von Faber, GH. 1933. Oud Soerabaia. Soerabaia: N.V. Boekhandelen Drukkerij H. van
Ingen Bussum.
Wertheim, WF. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana.

218

View publication stats

You might also like