You are on page 1of 28

1

PRESENTASI KASUS BANGSAL


SKABIES

Pembimbing:
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp. KK

oleh :
Kartika Kencana Putri
G4A016090

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
2

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS POLI


SKABIES

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kepaniteraan klinik di SMF Ilmu


Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

oleh :
Kartika Kencana Putri
G4A016090

Telah disetujui dan dipresentasikan


pada April 2018

Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp. KK


3

DAFTAR ISI

Halaman
BAB I LAPORAN KASUS ............................................................................... 4
A. Identitas Pasien ................................................................................... 4
B. Anamnesis .......................................................................................... 4
C. Pemeriksaan fisik ............................................................................... 5
D. Pemeriksaan Penunjang ..................................................................... 7
E. Resume ............................................................................................... 7
F. Diagnosis Kerja .................................................................................. 7
G. Diagnosis Banding ............................................................................. 7
H. Pemeriksaan anjuran .......................................................................... 8
I. Penatalaksanaan ................................................................................. 8
J. Prognosis ............................................................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 10
A. Definisi ............................................................................................... 10
B. Epidemiologi ...................................................................................... 10
C. Etiologi ............................................................................................... 10
D. Patogenesis ......................................................................................... 14
D. Gejala Klinis ....................................................................................... 14
F. Penegakan Diagnosis.......................................................................... 17
G. Diagnosis Banding ............................................................................. 20
H. Penatalaksanaan ................................................................................. 21
I. Prognosis ............................................................................................ 23
BAB III PEMBAHASAN ...................................................................................
24
BAB IV KESIMPULAN ..................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 27
4

I. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Nn. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 21 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam

B. Anamnesis
1. Keluhan utama: Gatal pada tangan, kaki, dan kepala
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merupakan konsulan dari bagian penyakit dalam di bangsal
Dahlia dengan keluhan gatal-gatal pada tangan, kaki, dan kepalanya sejak
satu bulan sebelum masuk rumah sakit. Awalnya gatal hanya di jari-jari
tangannya, lalu menyebar ke telapak tangan, kaki, paha, bokong, hingga
kepala. Keluhan gatal dirasakan terus menerus, namun dirasa paling berat saat
malam hari sehingga mengganggu tidur pasien. Sebelumnya pasien sudah
pernah berobat ke dokter umum, namun keluhan pasien belum membaik.
Pasien mengaku keluhan gatal-gatal muncul saat pasien pindah kost. Pasien
juga mengatakan bahwa teman satu kost nya ada yang menderita penyakit
yang sama. Riwayat higienitas pasien buruk. Pasien mengaku hanya mandi
satu kali sehari, yaitu ketika ingin pergi kuliah. Pasien mencuci rambutnya
hanya dua kali dalam seminggu. Pasien juga mengaku handuk yang dipakai
untuk mandi diganti setiap dua minggu sekali.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal
b. Riwayat kontak dengan penderita keluhan yang serupa diakui yaitu teman
kostnya
c. Riwayat alergi obat, debu, dan cuaca dingin disangkal
d. Riwayat demam sebelumnya disangkal
5

4. Riwayat Penyakit Keluarga:


a. Riwayat keluhan yang sama pada anggota keluarga yang lain disangkal
b. Riwayat alergi obat, makanan, debu, dan cuaca dingin pada anggota
keluarga lain disangkal
c. Riwayat demam pada anggota keluarga disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi:
Pasien tinggal di sebuah kost putri dengan 4 orang temannya. Pasien sering
tidur bersama teman-temannya dalam satu kamar.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis/ E4M6V5
3. Tanda vital
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit, lemah
RR : 20 x/menit
Suhu : 36.6° C
4. Antropometri
Tinggi badan : 158 cm
Berat badan : 51 kg
5. Status Generalis :
Kepala : Mesochepal, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-/-)
Telinga : Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut basah, pucat (-), sianosis (-)
Tenggorokan : T1 – T1 tenang , tidak hiperemis
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Supel, datar, BU (+) normal, hepar/lien ttb
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)
6

6. Status Dermatologis
Lokasi : tangan, kaki, paha, bokong, kepala
Efloresensi : papul miliar, lentikular, ekskoriasi dan krusta dengan
daerah hiperpigmentasi di sekitarnya, multipel, pada regio capitis, ekstremitas
superior et inferior dextra et sinistra

Gambar 1.1. Ujud kelainan kulit berupa papul miliar, lentikular, ekskoriasi
dan krusta dengan daerah hiperpigmentasi di sekitarnya, multipel, pada
regio capitis, ekstremitas superior et inferior dextra et sinistra (Sumber:
Dokumentasi pribadi).

D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien tersebut.
7

E. Resume
Pasien merupakan konsulan dari bagian penyakit dalam di bangsal
Dahlia dengan keluhan gatal-gatal pada tangan, kaki, dan kepalanya sejak satu
bulan sebelum masuk rumah sakit. Awalnya gatal hanya di jari-jari tangannya,
lalu menyebar ke telapak tangan, kaki, paha, bokong, hingga kepala. Keluhan
gatal dirasakan terus menerus, namun dirasa paling berat saat malam hari
sehingga mengganggu tidur pasien. Sebelumnya pasien sudah pernah berobat
ke dokter umum, namun keluhan pasien belum membaik. Pasien mengaku
keluhan gatal-gatal muncul saat pasien pindah kost.
Pasien tinggal di sebuah kost putri dengan 4 orang temannya. Pasien
sering tidur bersama teman-temannya dalam satu kamar. Pasien juga
mengatakan bahwa teman satu kost nya ada yang menderita penyakit yang
sama.
Riwayat higienitas pasien buruk. Pasien mengaku hanya mandi satu kali
sehari, yaitu ketika ingin pergi kuliah. Pasien mencuci rambutnya hanya dua
kali dalam seminggu. Pasien juga mengaku handuk yang dipakai untuk mandi
diganti setiap dua minggu sekali.
Pada pemeriksaan status dermatologi didapatkan lesi berupa papul miliar,
lentikular, ekskoriasi dan krusta dengan daerah hiperpigmentasi di sekitarnya,
multipel, pada regio capitis, ekstremitas superior et inferior dextra et sinistra.

F. Diagnosis Kerja
Skabies

G. Diagnosis Banding
1. Prurigo hebra
2. Gigitan serangga
3. Pedikulosis corporis

H. Pemeriksaan Anjuran
1. Kerokan kulit: papul atau terowongan yang utuh ditetesi dengan minyak
mineral atau KOH 10%, lalu dilakukan kerokan kulit dengan mengangkat
8

papul atau atap terowongan menggunakan scalpel steril nomor 15. Kerokan
diletakkan pada kaca objek, diberi minyak mineral atau minyak emersi, diberi
kaca penutup, lalu diperiksa di bawah mikroskop pembesaran 20x atau 100x
dapat dilihat tungau, telur, atau fecal pellet.
2. Mengambil tungau dengan jarum: Bila menemukan terowongan, jarum suntik
yang runcing ditusukkan ke dalam terowongan yang utuh (pada titik yang
gelap, kecuali pada orang kulit hitam pada titik yang putih), digerakkan secara
tangensial ke ujung lainnya, kemudian dikeluarkan. Tungau akan memegang
ujung jarum dan dapat diangkat keluar. Tungau terlihat pada ujung jarum
sebagai parasit yang sangat kecil dan transparan.
3. Tes tinta Burowi (Burrow ink test): Papul skabies dilapisi dengan tinta cina,
dibiarkan 20-30 menit, kemudian dihapus dengan kapas alkohol, maka jejak
terowongan akan terlihat sebagai garis gelap yang karakteristik, berbelok-
belok, karena akumulasi tinta di dalam terowongan. Tes ini tidak sakit dan
dapat dikerjakan pada anak dan pada penderita yang non-kooperatif.

I. Penatalaksanaan
1. Edukasi
a. Penjelasan mengenai penyakit, meliputi penyebab, cara penularan,
pengobatan, pencegahan, dan komplikasi.
b. Menghindari kontak langsung dengan penderita (berjabat tangan,
berpelukan, tidur bersama) dan mencegah penggunaan barang-barang
secara bersama-sama.
c. Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.
d. Pengobatan topikal yang diberikan, dioleskan di seluruh kulit, kecuali
wajah, sebaiknya dilakukan pada malam hari sebelum tidur.
e. Pakaian, handuk dan barang-barang lainnya yang pernah digunakan oleh
penderita harus diisolasi dan dicuci dengan air panas.
f. Pakaian dan barang-barang yang berbahan kain dianjurkan untuk disetrika
sebelum digunakan.
g. Sprai penderita harus sering diganti dengan yang baru maksimal tiga hari
sekali.
9

h. Benda-benda yang tidak dapat dicuci dengan air (bantal, guling, selimut)
disarankan dimasukkan ke dalam kantung plastik selama tujuh hari,
selanjutnya dicuci kering atau dijemur di bawah sinar matahari sambil
dibolak balik minimal dua puluh menit sekali.
i. Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan
yang sama dan ikut menjaga kebersihan.
2. Medikamentosa
a. Sistemik
1) Per oral loratadine 1x10 mg
b. Topikal
1) Permetrin (scabimite) krim 5 %, dioleskan ke permukaan kulit seluruh
tubuh kecuali wajah setelah mandi sore, didiamkan selama 10 jam
kemudian dibilas bersih (mandi). Pemakaian hanya 1 kali dalam
seminggu.

J. Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad fungtionam : Ad bonam
Quo ad sanationam : Ad bonam
Quo ad kosmetikum : Ad bonam
10

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh investasi dan
sensitisasi terhadap ektoparasit Sarcoptes scabei var. hominis dan produknya.
Nama lain skabies adalah the itch, kudis, budukan dan gatal agogo. Transmisi
skabies terjadi akibat transfer tungau betina fertil melalui kontak kulit secara
langsung yang bersifat prolong (sekitar 5 menit) dengan orang yang telah
terinfeksi skabies (English et al,, 2009; Oakley, 2012; Handoko, 2013).

B. Epidemiologi
Skabies ditemukan hampir di semua negara dengan prevalensi bervariasi.
Prevalensi skabies di negara berkembang sekitar 6-27% populasi umum dan
cenderung tinggi pada anak-anak dan remaja. Daerah endemik skabies adalah di
daerah tropis dan subtropis seperti Afrika, Mesir, Amerika Tengah, Amerika
Selatan, Amerika Utara, Australia, Kepulauan Karibia, India, dan Asia
Tenggara. Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari 300 juta orang di seluruh
dunia terjangkit tungau scabies (Harahap, 2000; Binic et al., 2010).
Studi epidemiologi memperlihatkan bahwa prevalensi skabies cenderung
tinggi pada anak-anak serta remaja dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras,
umur, ataupun kondisi sosial ekonomi. Faktor primer yang berkontribusi adalah
kemiskinan dan kondisi hidup di daerah yang padat, sehingga penyakit ini lebih
sering di daerah perkotaan. Terdapat bukti menunjukkan insiden kejadian
berpengaruh terhadap musim di mana kasus skabies lebih banyak didiagnosis
pada musim dingin dibandingkan musim panas (Binic et al., 2010).

C. Etiologi
Penyakit scabies merupakan infestasi tungau yang dinamakan Acarus
scabiei dan Sarcoptes scabiei varian hominis. Pada manusia disebut Sarcoptes
scabiei varian hominis. Tungau ini khusus menyerang dan menjalani siklus
hidupnya dalam lapisan tanduk kulit manusia. Selain itu terdapat S. scabiei yang
lain, yakni varian animalis. Sarcoptes scabiei varian animalis menyerang hewan
11

seperti anjing, kucing, lembu, kelinci, ayam, itik, kambing, macan, beruang dan
monyet. Sarcoptes scabiei varian hewan ini dapat menyerang manusia yang
pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut di atas, misalnya
peternak, gembala, dll (Binic et al., 2010).

jantan

betina
Gambar 2.1. Tungau skabies jantan dan betina (English et al., 2009)

Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Arachnida
Ordo : Ackarima
Family : Sarcoptes
Genus : Sarcoptes scabiei varian hominis
Secara morfologik tungau ini berukuran kecil, berbentuk oval,
punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen,
berwarna putih kotor dan tidak bermata. Ukuran betina berkisar antara 330-450
mikron x 250-350 mikron, sedangkan jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron
x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di
depan yang berakhir dengan penghisap kecil di bagian ujungnya sebagai alat
untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut
(satae), sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan
rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat (Burns, 2004; Djuanda et al.,
2009).
Tungau skabies tidak dapat terbang namun dapat berpindah secara cepat
saat kontak kulit dengan penderita. Tungau ini dapat merayap dengan kecepatan
2,5 cm sampai 1 inch per menit pada permukaan kulit. Belum ada studi mengenai
12

waktu kontak minimal untuk dapat terjangkit penyakit skabies namun dikatakan
jika ada riwayat kontak dengan penderita, maka terjadi peningkatan resiko
tertular penyakit skabies. Skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung
maupun kontak tidak langsung. Penularan melalui kontak langsung (skin-to-
skin) menjelaskan mengapa penyakit ini sering menular ke seluruh anggota
keluarga. Penularan secara tidak langsung dapat melalui penggunaan bersama
pakaian, handuk, maupun tempat tidur. Bahkan dapat pula ditularkan melalui
hubungan seksual antar penderita dengan orang sakit, namun skabies bukan
manifestasi utama dari penyakit menular seksual (Hicks dan Elston, 2009).
Penyebab utama gejala-gejala pada skabies ini ialah Sarcoptes scabiei
betina. Tungau betina yang mengandung, membuat terowongan pada lapisan
tanduk kulit dan meletakkan telur di dalamnya. Setelah kopulasi yang terjadi di
atas kulit, tungau jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa
hari dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah
dibuahi, menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3
milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai
mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang dibuahi ini dapat hidup sebulan
lamanya. Telur akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva
yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan
pendek yang digalinya (moulting pouches), tetapi dapat juga ke luar. Setelah 2-
3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina
dengan 4 pasang kaki (Burns, 2004; Hicks dan Elston, 2009).
Seluruh siklus hidup tungau ini memerlukan waktu antara 8-12 hari tetapi
ada juga yang menyebutkan selama 8-17 hari. Studi lain menunjukkan bahwa
lamanya siklus hidup dari telur sampai dewasa untuk tungau jantan biasanya
sekitar 10 hari dan untuk tungau betina bisa sampai 30 hari. Tungau skabies ini
umumnya hidup pada suhu yang lembab dan pada suhu kamar (21ºC dengan
kelembapan relatif 40-80%) tungau masih dapat hidup di luar tubuh hospes
selama 24-36 jam (Burns, 2004; Hicks dan Elston, 2009).
13

Gambar 2.2. Siklus Hidup Tungau Skabies.

Sarcoptes scabiei varian hominis betina, melakukan seleksi bagian-bagian


tubuh mana yang akan diserang, yaitu bagian-bagian yang kulitnya tipis dan
lembab, seperti di lipatan-lipatan kulit pada orang dewasa, sekitar payudara, area
sekitar pusar, dan penis. Pada bayi karena seluruh kulitnya tipis, pada telapak
tangan, kaki. Wajah dan kulit kepala juga dapat diserang. Tungau biasanya
memakan jaringan dan kelenjar limfe yang disekresi dibawah kulit. Selama
makan, mereka menggali terowongan pada stratum korneum dengan arah
horizontal. Beberapa studi menunjukkan tungau skabies khususnya yang betina
dewasa secara selektif menarik beberapa lipid yang terdapat pada kulit manusia,
di antaranya asam lemak jenuh odd-chain-length (misalnya pentanoic dan
lauric) dan tak jenuh (misalnya oleic dan linoleic) serta kolesterol dan tipalmitin.
Hal tersebut menunjukkan bahwa beberapa lipid yang terdapat pada kulit
manusia dan beberapa mamalia dapat mempengaruhi baik insiden infeksi
maupun distribusi terowongan tungau di tubuh. Tungau dewasa meletakkan baik
telur maupun kotoran pada terowongan dan analog dengan tungau debu, enzim
pencernaan pada kotoran adalah antigen yang penting untuk menimbulkan
respons imun terhadap tungau skabies (Murtiastutik, 2005).
14

D. Patogenesis
Reaksi alergi yang sensitif terhadap tungau dan produknya
memperlihatkan peran yang penting dalam perkembangan lesi dan terhadap
timbulnya gatal. Masuknya S. scabiei ke dalam epidermis tidak segera
memberikan gejala pruritus. Rasa gatal timbul 1 bulan setelah infestasi primer
serta adanya infestasi kedua sebagai manifestasi respons imun terhadap tungau
maupun sekret yang dihasilkan terowongan di bawah kulit. Sarcoptes scabiei
melepaskan substansi sebagai respon hubungan antara tungau dengan
keratinosit dan sel-sel Langerhans ketika melakukan penetrasi ke dalam kulit
(Hicks dan Elston, 2009).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan keterlibatan reaksi
hipersensitivitas tipe IV dan tipe I. Pada reaksi tipe I, pertemuan antigen tungau
dengan Imunoglobulin E pada sel mast yang berlangsung di epidermis
menyebabkan degranulasi sel-sel mast. Sehingga terjadi peningkatan antibodi
IgE. Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV akan memperlihatkan gejala
sekitar 10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan akan memproduksi papul-papul
dan nodul inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan jumlah sel
limfosit T banyak pada infiltrat kutaneus. Kelainan kulit yang menyerupai
dermatitis tersebut sering terjadi lebih luas dibandingkan lokasi tungau dengan
efloresensi dapat berupa papul, nodul, vesikel, urtika, dan lainnya. Di samping
lesi yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei secara langsung, dapat pula terjadi
lesi-lesi akibat garukan penderita sendiri. Akibat garukan yang dilakukan oleh
pasien dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta hingga terjadinya infeksi sekunder
(Hicks dan Elston, 2009).

E. Gejala Klinis
Penderita skabies selalu merasa gatal, terutama pada malam hari.
Predileksi biasanya pada sela jari tangan, pergelangan tangan, ketiak, sekitar
pusat, paha bagian dalam, genitalia pria, areola mammae wanita, perut bagian
bawah dan bokong. Pada bayi sering pada kepala, telapak tangan, dan kaki
(Siregar, 2005).
15

Gejala klinis didasarkan pada jenis skabies yang diderita (English et al.,
2009):
1. Skabies tipikal
Pasien dengan skabies tipikal biasanya hanya memiliki 10-15 tungau
betina hidup pada tubuh dalam waktu tertentu. Hanya sekitar 2 atau 3 tungau,
lebih sering tidak ada tungau yang ditemukan dari kerokan kulit. Pruritus
hebat, memberat saat malam hari dan lesi papular dengan atau tanpa
kanalikuli ditemukan pada kulit pasien. Lesi dan pruritus muncul sebagai
reaksi hipersensitivitas lambat yang dimediasi sistem imun terhadap tungau,
telur, dan material fekal tungau. Area tubuh yang umumnya terkena adalah
pergelangan tangan, sela jari, lipat siku, ketiak, sekitar payudara dan genital,
pinggang, perut bawah, serta bokong.

Gambar 2.3 Lesi pada skabies tipikal (English et al., 2009).

2. Skabies atipikal
Apabila diagnosis dan pengobatan ditunda, skabies dapat memiliki
penampakan tidak umum atau atipikal, dengan infestasi ratusan hingga ribuan
tungau. Penampakan klinis skabies atipikal sering didapatkan pada orang-
orang di suatu institusi atau pasien dengan kondisi supresi imun akibat
penyakit lain atau terapi obat tertentu. Lesi kulit berupa hiperkeratotik luas
dengan pembentukan krusta atau skuama dan sering disebut skabies krustosa
atau skabies Norwegia. Skabies jenis ini sangat infeksius karena ribuan
tungau terdapat pada krusta tebal yang mudah lepas dari kulit. Rasa gatal yang
16

dialami biasanya bersifat minimal (English et al., 2009; Shimose dan Silvia,
2013).
Infant scabies pada anak menunjukkan adanya keterlibatan telapak
tangan dan kaki, leher, wajah serta kulit kepala. Skabies pada lansia, lesi lebih
banyak di batang tubuh. Skabies incognito terjadi pada pemakaian steroid
yang tidak tepat. Scabies in very clean menunjukkan jumlah lesi yang sedikit,
terjadi pada mereka yang mandi setiap hari, rasa gatal bersifat minimal.
Animal scabies, skabies yang ditularkan oleh binatang. Nodular scabies,
tungau masuk lapisan kulit lebih dalam pada beberapa daerah tubuh, terutama
pada genitalia pria, lipatan inguinal membentuk brownish itchy deep seated
nodules. Sexually transmitted scabies, muncul akibat kontak seksual. Scabies
bullosa, erupsi vesicular dan bulosa muncul pada anak dengan skabies.
Scabies ide and pompholyx, bentuk parah dari skabies, kulit menunjukkan
respon alergi terhadap tungau dan produk eksretnya bermanifestasi sebagai
erupsi vesikular sepanjang jari tangan dan kaki (English et al., 2009; Shimose
dan Silvia, 2013).

Gambar 2.4 Lesi pada skabies atipikal (English et al., 2009)


17

F. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Berdasarkan anamnesis, diagnosis skabies dapat ditetapkan dengan
terpenuhinya 2 dari 4 tanda kardinal sebagai berikut (Handoko, 2013):
1. Pruritus nokturnal, yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu pada suhu lembab dan panas.
2. Penyakit menyerang manusia secara kelompok, misalnya pada sebuah
keluarga atau pada perkampungan dengan padat penduduk. Dapat terjadi
gejala hiposensitisasi, yaitu seluruh anggota keluarga terkena. Walaupun
mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini
bersifat sebagai pembawa.
3. Ditemukannya terowongan (kanalikulus) pada tempat predileksi yang
berwarna putih atau keabuan, berbentuk garis lurus atau berbelok, rata-rata
sepanjang 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel yang
merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam stratum korneum. Jika
timbul infeksi sekunder, ruam kulit menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan
lain-lain).
4. Menemukan tungau dari terowongan pada pemeriksaan mikroskopis.

Gambar 2.6 Predileksi skabies

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan lesi kulit berupa terowongan


(kanalikuli) berwarna putih atau abu-abu dengan panjang rata-rata 1 cm. Ujung
18

terowongan terdapat papul, vesikel, dan bila terjadi infeksi sekunder, maka akan
terbentuk pustul, ekskoriasi, dsb. Pada anak-anak, lesi lebih sering berupa
vesikel disertai infeksi sekunder akibat garukan sehingga lesi menjadi bernanah.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan tungau dari lesi. Beberapa
cara dapat dilakukan untuk menemukan tungau sebagai berikut:
a. Kerokan kulit
Papul atau terowongan yang utuh ditetesi dengan minyak mineral atau
KOH 10%, lalu dilakukan kerokan kulit dengan mengangkat papul atau atap
terowongan menggunakan scalpel steril nomor 15. Kerokan diletakkan pada
kaca objek, diberi minyak mineral atau minyak imersi, diberi kaca penutup,
lalu diperiksa di bawah mikroskop pembesaran 20X atau 100X dapat dilihat
tungau, telur, atau fecal pellet.

Gambar 2.7 Sarcoptes scabiei dewasa dilihat dengan mikroskop (English et al.,
2009).

b. Mengambil tungau dengan jarum


Bila menemukan terowongan, jarum suntik yang runcing ditusukkan
ke dalam terowongan yang utuh (pada titik yang gelap, kecuali pada orang
kulit hitam pada titik yang putih), digerakkan secara tangensial ke ujung
lainnya, kemudian dikeluarkan. Tungau akan memegang ujung jarum dan
dapat diangkat keluar. Tungau terlihat pada ujung jarum sebagai parasit yang
sangat kecil dan transparan.
19

c. Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy)


Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai antara ibu jari dan
jari telunjuk, dengan menjepit lesi menggunakan ibu jari dan telunjuk, puncak
lesi diiris dengan scalpel steril nomor 15 dilakukan sejajar dengan permukaan
kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga tidak terjadi perdarahan
dan tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan pada gelas objek lalu ditetesi
minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop. Dapat pula diperiksa
dilakukan pewarnaan HE pada sediaan.

Gambar 2.8 Sarcoptes scabiei dalam epidermis (panah) dengan


pewarnaan HE (Walton dan Bart, 2007)

d. Kuretase terowongan
Kuretase superfisial mengikuti sumbu panjang terowongan atau puncak
papula kemudian kerokan diperiksa dengan mikroskop, setelah diletakkan di
gelas objek dan ditetesi minyak mineral.
e. Tes tinta Burowi (Burrow ink test)
Papul skabies dilapisi dengan tinta cina, dibiarkan 20-30 menit,
kemudian dihapus dengan kapas alkohol, maka jejak terowongan akan
terlihat sebagai garis gelap yang karakteristik, berbelok-belok, karena
akumulasi tinta di dalam terowongan. Tes ini tidak sakit dan dapat dikerjakan
pada anak dan pada penderita yang non-kooperatif.
Dari berbagai cara pemeriksaan di atas, kerokan kulit merupakan cara yang
paling mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling memuaskan.
Mengambil tungau dengan jarum memerlukan keterampilan khusus dan jarang
berhasil karena biasanya terowongan sulit diidentifikasi dan letak tungau sulit
20

diketahui. Tes tinta Burowi dan uji tetrasiklin jarang memberikan hasil positif
karena biasanya penderita datang pada keadaan lanjut dan sudah terjadi infeksi
sekunder sehingga terowongan tertutup oleh krusta dan tidak dapat dimasuki
tinta atau salep (Amiruddin, 2003).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar berhasil melakukan
pemeriksaan kerokan kulit, antara lain sebagai berikut (Amiruddin, 2003).
1. Kerokan harus dilakukan pada lesi yang utuh (papul, terowongan) dan tidak
dilakukan pada tempat dengan lesi yang tidak spesifik.
2. Sebaiknya lesi yang akan dikerok diolesi terlebih dahulu dengan minyak
mineral agar tungau dan produknya tidak larut, sehingga dapat menemukan
tungau dalam keadaan hidup dan utuh.
3. Kerokan dilakukan pada lesi di daerah predileksi.
4. Kerokan harus dilakukan di superfisial karena tungau terdapat dalam stratum
korneum dan menghindari terjadinya perdarahan.

G. Diagnosis Banding
Skabies sering disebut sebagai the great imitator karena dapat menyerupai
banyak penyakit kulit lain dengan keluhan gatal. Beberapa diagnosis banding
diantaranya prurigo, pedkulosis korporis, gigitan serangga, creeping eruption,
dan apabila telah terjadi infeksi sekunder dapat didiagnosis banding dengan
pioderma seperti impetigo.
a. Prurigo Hebra
Prurigo hebra didahului dengan gigitan serangga, selanjutnya timbul
urtikaria papular. Kemudia timbul rasa gatal dan bersifat kronik, akibatnya
kulit menjadi hitam dan menebal. Lokasi di ekstensor ekstremitas, dahi dan
abdomen (Siregar, 2005).
21

Gambar 2.10 Prurigo Hebra (Aisyah et al, 2001)

b. Gigitan serangga
Kelainan kulit akibat gigitan atau tusukan serangga yang disebabkan
reaksi terhadap toksin atau alergen yang dikeluarkan artropoda penyerang.
Setelah digigit serangga timbul edema pada kulit, disusul jaringan nekrosis
setempat. Penderita mengeluh gatal dan nyeri pada tempat gigitan. Gejala
sistemik dapat berupa demam, rasa tak enak, muntah-muntah, pusing sampi
syok. Lokalisasi dapat di mana saja di seluruh tubuh (Siregar, 2005).
c. Pedikulosis korporis
Penyakit kulit yang disebabkan oleh pediculus humanus var. Corporis.
Akibat gigitan tuma, timbul papula-papula dan karena digrauk akan tampak
bekas-bekas garukan. Lokalisasi di daerah pinggang, ketiak dan inguinal. Lesi
yang muncul berupa papula-papula miliar disertai bekas garukan yang
menyeluruh (Siregar, 2005).

H. Penatalaksanaan
1. Konseling dan edukasi
Edukasi yang dapat diberikan bertujuan untuk memberi pemahaman
bersama agar upaya eradikasi skabies dapat tercapai. Salah satu bentuk
edukasi yang diberikan adalah mengenai perbaikan higienitas diri dan
lingkungan seperti (Handoko, 2013):
a. Tidak menggunakan peralatan pribadi secara bersama-sama dan alas tidur
diganti bila ternyata pernah digunakan oleh penderita skabies.
22

b. Menghindari kontak langsung dengan penderita skabies.


c. Membersihkan semua benda yang berpotensi menjadi tempat penyebaran
penyakit.
Edukasi lain adalah mengenai pengobatan skabies yang memiliki
prinsip mengobati seluruh anggota keluarga, termasuk penderita yang
hiposensitisasi serta penggunaan masing-masing obat (Handoko, 2013).
2. Obat topikal
Obat topikal yang umum diberikan kepada pasien skabies antara lain
(Leone, 2007; Handoko, 2013):
a. Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20% dalam bentuk
salep atau krim. Preparat ini tidak efektif terhadap stadium telur, maka
penggunaannya tidak boleh kurang dari 3 hari. Kekurangan lain adalah
berbau dan mengotori pakaian dan kadang menimbulkan iritasi. Sediaan
ini dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun. Bila kontak
dengan jaringan hidup, preparat ini akan membentuk hidrogen sulfida dan
asam pentationida (CH2S5O6) yang bersifat germisida dan fungisida.
b. Emulsi benzil-benzoat 20-25% efektif terhadap semua stadium, diberikan
setiap malam selama 3 hari. Obat ini sulit diperoleh, sering menyebabkan
iritasi, dan kadang makin gatal setelah dipakai. Benzil benzoate bersifat
neurotoksik pada tungau skabies, efektif untuk semua stadium.
Kontraindikasi obat ini yaitu wanita hamil dan menyusui, bayi, dan anak-
anak kurang dari 2 tahun.
c. Gama benzena heksa klorida (gameksan) 1% dalam bentuk krim atau
losion, efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan, dan jarang
menimbulkan iritasi. Obat ini tidak dianjurkan untuk ibu hamil dan anak
di bawah 6 tahun karena toksis terhadap susunan saraf pusat. Pemberian
cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala pemberian diulang seminggu
kemudian. Obat ini diserap masuk ke mukosa paru-paru, mukosa usus, dan
selaput lendir, kemudian ke seluruh bagian tubuh tungau dengan
konsentrasi tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang
menyebabkan eksitasi, konvulsi, dan kematian tungau.
23

d. Krotamiton 10% dalam krim atau losion, mempunyai dua efek sebagai
antiskabies dan antipruritus. Krotamiton 10% dalam krim atau losion,
tidak mempunyai efek sistemik dan aman digunakan pada wanita hamil,
bayi, dan anak kecil
e. Permetrin 5% dalam sediaan krim, kurang toksik dibandingkan gameksan,
efektivitas sama dengan gameksan, aplikasi hanya satu kali dan dihapus
dalam waktu 10 jam. Bila belum sembuh dapat diulang setelah seminggu.
Tidak dianjurkan untuk bayi di bawah 2 bulan. Permetrin bekerja dengan
cara mengganggu polarisasi dinding sel melalui ikatan dengan natrium
sehingga menghambat repolarisasi dinding sel dan akhirnya terjadi
paralisis parasite. Obat ini ditoleransi dengan baik, diserap minimal oleh
kulit, tidak diabsorbsi sistemik, dimetabolisasi dengan cepat, serta
dikeluarkan kembali melalui keringat dan sebum. Oleh karena itu, obat ini
merupakan terapi pilihan lini pertama rekomendasi CDC untuk terapi
tungau tubuh. Penggunaan obat ini biasanya pada sediaan krim dengan
kadar 1% untuk terapi tungau pada kepala dan kadar 5% untuk terapi
tungau tubuh.

2. Prognosis
Prognosis skabies baik apabila memperhatikan pemilihan dan cara
pemakaian obat, syarat pengobatan, dan menghilangkan faktor predisposisi
(higiene). Penyakit skabies dapat diberantas dengan melakukan penatalaksanaan
terhadap lingkungan (Handoko, 2013).
24

III. PEMBAHASAN

Pasien merupakan konsulan dari bagian penyakit dalam di bangsal Dahlia


dengan keluhan gatal-gatal pada tangan, kaki, dan kepalanya sejak satu bulan
sebelum masuk rumah sakit. Awalnya gatal hanya di jari-jari tangannya, lalu
menyebar ke telapak tangan, kaki, paha, bokong, hingga kepala. Keluhan gatal
dirasakan terus menerus, namun dirasa paling berat saat malam hari sehingga
mengganggu tidur pasien. Sebelumnya pasien sudah pernah berobat ke dokter
umum, namun keluhan pasien belum membaik. Pasien mengaku keluhan gatal-gatal
muncul saat pasien pindah kost. Riwayat digigit serangga disangkal. Berdasarkan
keluhan tersebut, diagnosis yang mungkin adalah skabies, yakni memenuhi tanda
kardinal pruritus nokturna. Tidak adanya riwayat digigit serangga, menyingkirkan
diagnosis prurigo hebra dan gigitan serangga.
Pasien tinggal di sebuah kost putri dengan 4 orang temannya. Pasien sering
tidur bersama teman-temannya dalam satu kamar. Pasien juga mengatakan bahwa
teman satu kost nya ada yang menderita penyakit yang sama. Hal ini menunjukkan
tanda kardinal kedua yakni community infection. Kriteria diagnosis skabies sudah
bisa ditegakkan karena terpenuhinya 2 dari 4 tanda kardinal.
Riwayat higienitas pasien buruk. Pasien mengaku hanya mandi satu kali
sehari, yaitu ketika ingin pergi kuliah. Pasien mencuci rambutnya hanya dua kali
dalam seminggu. Pasien juga mengaku handuk yang dipakai untuk mandi diganti
setiap dua minggu sekali.
Pada pemeriksaan status dermatologi didapatkan lesi berupa papul miliar,
lentikular, ekskoriasi dan krusta dengan daerah hiperpigmentasi di sekitarnya,
multipel, pada regio capitis, ekstremitas superior et inferior dextra et sinistra. Status
dermatologis tersebut memenuhi gambaran khas skabies yaitu papula miliar-
lentikular, disertai ekskoriasi (scratch mark) yang berlokasi pada sela-sela jari
tangan, telapak tangan, kaki, paha, bokong, dan kepala.
Pasien ini mendapatkan terapi loratadine 10 mg dan skabisid topikal berupa
krim permetrin 5% dioleskan pada malam hari dan digunakan seminggu 1 kali, obat
topikal ini efektif pada semua stadium skabies dan toksisitasnya rendah. Hal
terpenting dalam penatalaksanaan skabies adalah pemberantasan tuntas. Untuk itu
25

diupayakan teman kost yang memiliki gejala sama dengan pasien maupun yang
sehari-hari tinggal bersama pasien juga diobati. Upaya preventif lain yang dapat
dilakukan yaitu menjaga kebersihan individu dan lingkungan.
26

IV. KESIMPULAN

1. Pasien seorang perempuan berusia 21 tahun mengeluh gatal pada jari-jari


tangan, telapak tangan, kaki, paha, bokong, hingga kepala sejak satu bulan
yang lalu.
2. Pada pemeriksaan status dermatologi didapatkan lesi berupa papul miliar,
lentikular ekskoriasi dan krusta dengan daerah hiperpigmentasi di sekitarnya,
multipel, pada regio capitis, ekstremitas superior et inferior dextra et sinistra.
3. Terapi secara medikamentosa yaitu dengan pemberian obat sistemik
(loratadin), dan obat topikal (krim permetrin 5%). Sedangkan terapi secara
non-medikamentosa yaitu menjaga kebersihan individu dan lingkungan.
4. Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat
pengobatan dan menghilangkan faktor prediposisi (antara lain higiene), maka
penyakit ini dapat diberantas dan memberikan prognosis yang baik.
27

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Siti, Achmad Tjarta, Santoso Comain, Unandar Budimulja, Adhi Djuanda,
Endang.S. Roostini, Meny Hartati. 2001. The immunohistopathological
features of prurigo Hebra. Vol 10 (1).

Amiruddin MD. 2003. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-1. Makassar:
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Binic I, Aleksandar J, Dragan J, Milanka L. Crusted (Norwegian) Scabies


Following Systemic And Topikal Corticosteroid Therapy. 2010. J Korean
Med Sci.

Burns DA. 2004. Diseases Caused by Arthropods and Other Noxious Animals. In:
Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology.
USA: Blackwell publishing.

English, L’Tanya, Dawn Terashita Gastelum, Patricia Marquez, Lorraine Sisneros,


Rachel Civen, Juliet Bugante, Kelly Ivie, Paula Marin, Laurene Mascol dan
David Dassey. 2009. Scabies Prevention and Control Guidelines Acute and
Sub-Acute Care Facilities. Los Angeles: Los Angeles Country Department of
Public Health Acute Communicable Disease Control Program.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Buku Pedoman


Penatalaksanaan Program. Jakarta: Depkes RI.

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, dll. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi
ke-5, cetakan ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Handoko, Ronny P. 2013. Skabies. Dalam: Adhi, Dhjuanda, Mochtar Hamzah, dan
Siti Aisah (Eds). Lmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK UI.

Hicks MI and Elston DM. 2009. Scabies. Dermatologic Therapy.

Harahap, M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hippokrates.

Leone P. 2007. Scabies and Pediculosis: An Update of Treatment Regiments and


General Review. Oxford Journals.

Murtiastutik D. 2005. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual Edisi ke-1. Surabaya:
Airlangga University Press.

Oakley, Amanda. 2012. Scabies: Diagnosis and Management. Hamilton: BPJ.

Shimose, Luis dan L. Silvia Munoz-Price. 2013. Diagnosis, Prevention, and


Treatment of Scabies. Current Infectious Disease Reports. Vol 15 (5): 426-
431.
28

Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Walton, Shelley F dan Bart J. Currie. 2007. Problems in Diagnosing Scabies, a


Global Disease in Human and Animal Populations. Clin Microbiol Rev. Vol
20 (2): 268–279.

You might also like