Professional Documents
Culture Documents
Mengingat bahwa hanya sedikit informasi yang didapat dari pemeriksaan ini yang dapat
mengubah alternatif pengobatan yang diberikan pada penderita cedera kepala, maka
pemeriksaan ini sudah ditinggalkan dan digantikan dengan pemeriksaan penunjang yang
lebih canggih seperti CT-Scan atau MRI. Informasi yang bisa kita dapatkan dari hasil
pemeriksaan ini adalah :
1. Fraktur tulang kepala, diharapkan dapat diperoleh informasi tentang lokasi dan tipe
fraktur, baik bentuk linear, stelata atau depresi
2. Adanya benda asing
3. Pneumocephalus (udara yang masuk ke rongga tengkorak)
4. Brain shift, kalau kebetulan ada klsifikasi kelenjar pineal
Angiografi Serebral
Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostik standar terpilih 9gold standard) untuk
kasus cedera kepala mengingat selain prosedur ini tidak invasif (sehingga aman), juga
memiliki kehandalan yang tinggi. Dalam hal ini dapat diperoleh informasi yang lebih jelas
tentang lokasi dan adanya perdarahan intrakranial, edema, kontusi, udara, benda asing
intrakranial, serta pergeseran struktur di dalam rongga tengkorak. Pada trauma kapitis akut
lebih baik dilakukan CT Scan dengan gambaran yang lebih tajam untuk menunjukkan
perdarahan. Suatu penelitian prospektif terhadap gambaran sken komputer tomografi otak
dari 207 penderita cedera kepala berat menjumpai hasil yang normal pada 30% kasus,
sedangkan sisanya hiperdens menunjukkan abnormalitas sebagai berikut : 10% ada lesi
hipodens (edema/infark), 19% hiperdens yang nonbedah (kontusi/hematom dengan
pergeseran garis tengah < 5 mm) dan 41% adalah lesi-lesi hiperdens yang memerlukan
tindakan operasi(hematom epidural, subdural, atau intraserebral).
Hematom epidural yang kadang sulit dibedakan dari subdural, memiliki ciri gambaran
khas berupa bentuk bikonveks, atau lentikuler (ada perlekatan yang erat antara duta dengan
tabula interna tulang sehingga hematom ini menjadi terbatas). Hematom subdural cenderung
lebih difus dibandingkan dengan hematom epidural di atas dan mempunyai tampilan batas
dalam yang konkav sesuai dengan permukaan otak. Perbedaan gambaran sken komputer
tomografi otak antara lesi akut, subakut, dan kronis agak sulit. Hematom intraserebral
traumatika biasanya berlokasi di bagian frontal dan lobus temporal anterior (walaupun dapat
juga terjadi di lokasi lainnya). Kebanyakan hematom berkembang segera setelah cedera,
tetapi ada juga yang baru timbul kemudian (sampai 1 minggu). Tampilan berupa lesi
hiperdens dengan nilai atenuasi antara 70-90 HU, dan di kelilingi oleh zona yang hiperdens
(edema). Perdrahan intraventrikuler sering kali dikaitkan dengan perdarahan parenkhim.
Perdarahan ini relatif cepat menjadi isodens dan kemudian menghilang dalam satu minggu.
Edema tampak sebagai suatu zone yang hipodens dengan nilai atenuasi antara 16-24
HU (dibandingkan dengan massa putih otak 22-36 HU). Kadang dijumpai adanya efek masa
terhadap ventrikel yang berdekatan dan direfleksikan sebagai kompresi, distorsi atau
pergeseran sistem ventrikel. Edema ini dapat berupa edema fokal, multifokal, atau difus.
Kontusi serebri tampak sebagi area yang hiperdens non-homogen bercampur dengan
hipodens dan mempunyai nilai atenuasi antara 50-6-0 HU. Batasnya biasanya tidak tegas dan
bila ada efek massa biasanya minimal. Hidrosefalus obstruktif dapat terjadi akibat adanya
hematom di fosa posterior yang menimbulkan obstruksi saluran ventrikel. Infark iskhemik
tampil sebagai suatu daerah hipodens dan biasanya terdeteksi dalam 24 jam pertama setelah
onset.
MRI memiliki keunggulan untuk melihat perdarahan kronis maupun kerusakan otak yang
kronis. Dalam hal ini MRI T2 mampu menunjukkan gambaran yang lebih jelas terutama
untuk memberi identifikasi yang lebih jelas lesi hipodens pada CT Scan atau lesi yang sulit
dibedakan densitasnya dengan korteks.
Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat didasarkan atas patokan
pemantauan dan penanganan terhadap penderita secara umum yaitu perhatian urutan prioritas
terhadap “6B” yakni :
Perlu diperhatikan adanya obstruksi jalan napas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-
tindakan : Suction, intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila
perlu merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema serebri yang
terjadi. Sangat penting diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernapasan penderita.
Blood (Sirkulasi Darah)
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb, Leukosit).
Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu
peninggian tekanan intrakranial sebaliknya tekanan darah yang menurun dan makin cepatnya
denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan
bukan dari kepala / otak) dan memerlukan tindakan transfusi.
Brain (Otak)
Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respons-respons mata, fungsi
motorik, dan fungsi verbal (GCS). Perubahan respons ini merupakan implikasi adanya
perbaikan/perburukan cedera kepalanya, dan bila pada pemamantauan menunjukkan adanya
perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (Ukuran,
bentuk, dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata (Refleks okulosefalik,
okulovestibuler, deviasi konjugat, nistagmus)
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa kandung
kemih yang penuh akan dapat menyebabkan penderita mengejan sehingga tekanan
intrakranial cenderung lebih meningkat.
Seperti halnya di atas, bahwa usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan tekanan
intrakranial.
Bone (Tidang)
Adanya fraktur mengakibatkan nyeri yang juga pada giliranyya akan mengakibatkan
kenaikan tekanan intrkranial. Sehingga penanganan kelainan tulang sehubungan dengan
trauma yang dialami penderita juga harus dilakukan secara adekuat.
Pada prakteknya dengan memperhatikan hal-hal di atas cedera kepala ditangani sesuai
dengan tingkat-tingkat gradasi klasifikasi klinisnya.
Pembagian derajat cidera kepala dibedakan sebagai berikut, dtentukan berdasarkan tingkat
kesadaran (GCS) terbaik 6 jam pertama pascatrauma :
Indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera kepala ringan adalah :
1. Amnesia antegrade/pascatraumatika
2. Adanya riwayat penurunan kesadaran/pingsan
3. Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat yang moderat sampai berat
4. Intoksikasi alkohol atau obat-obatan
5. Adanya fraktur tulang tengkorak
6. Adanya kebocoran likuor serebro-spinalis(Otorre/rinorre)
7. Cedera berat bagian tubuh lain
8. Indikasi sosial (Tidak ada keluarga/pendamping di rumah)
Penderita cedera kepala yang tidak mempunyai atau memenuhi kriteria indikasi rawat di atas,
setelaha beberapa saat menjalin pemantauan di rumah sakit diperkenalkan untuk pulang
berobat jalan dengan catatan bila ada gejala-gejala seperti yang tercantum di bawah ini harus
segera kembali ke rumah sakit :
Penanganan pertama selain mencakup anamnesia dan pemeriksaan fisik serta foto polos
tengkorak, juga mencakup pemeriksaan sken tomografi komputer otak (CT-Scan). Pada
tingkat ini semua kasus mempunyai indikasi untuk dirawat. Selama hari pertama
perawatan di rumah sakit perlu dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam
sekali, sedangkan follow up sken tomografi komputer otak pada hari ke -3 atau bila ada
perburukan neurologis.
Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan pada penderita dalam kelompok ini
karena sedikit keterlambatan akan mempunyai risiko terbesar berkaitan dengan
morbiditas dan mortalitas, dimana tindakan ‘menunggu’ (wait anda see) di sini dapat
berakibat sangat fatal. Penanganan kasus-kasus yang termasuk kelompok ini mencakup
tujuh tahap yaitu :
1. Lesi masa intra atau ekstra-aksial yang menyebabkan pergeseran garis tengah
(pembuluh darah serebral anterior) yang melebihi 5 mm
2. Lesi masa ekstra-aksial yang tebalnya mlebihi 5 mm dari tabula interna tengkorak dan
berkaitan dengan pergeseran arteri serebri anterior atau media
3. Lesi massa ektra-aksial bilateral dengan tebal melebihi 5 mm dari tabula eksterna
(kecuali bila ada atrofi otak)
4. Lesi masa intra-aksial lobus temporalis yang menyebabkan elevasi hebat dri arteri
serebri media atau menyebabkan pergeseran garis tengah
Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan operatif adalah
adanya lesi masa intrakranial dengan pergeseran garis tengah > 5 mm (kesuali penderita
sudah ‘mati otak’). Prinsip pertimbangan pemilihan obat anestesi di dasari oleh pemakaian
obat yang tidak meningkatkan tekanan intrakranial. Semua obat anastesi inhalasi volatil
seperti halotan, enflurane dan isoflurane dapat meningkatkan aliran darah serebral, sehingga
umumnya dipergunakan dalam kadar yang rendah.
Tindakan operasi pada cedera kepala terbuka agak berbeda dengan cedera kepala
yang tertutup. Pada cedera kepala terbuka yang menjadi tujuan adalah debridemen jaringan
otak yang nekrotik, mengangkat fragmen tulang atau korpus alinenum, menghentikan
perdarahan, evakuasi hematom dan penutupan durameter serta kulit yang kedap air.
Pembukaan kranial di sini cenderung terbatas. Berupa insisi linear, huruf “S” atau flap bentuk
“U” dan dilanjutkan dengan kraniektomi atau kraniotomi kecil.
Pengobatan yang lain diberikan pda cedera kepala adalah obat-obatan golongan deksametha-
sone (dengan dosis awal 10 mg dan kemudian dilanjutkan 4 mg setiap 6 jam ), manitol 20%
(dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema serebri yang terjadi akan
terapi memang hal ini masih banyak kontroversi pendapat dalam memilih mana yang terbaik.
Demikian pula pemberian rutin obat-obat anti kejang seperti golongan fenitoin hingga kini
masih kontroversi sehubungan dengan variasi insidens epilepsi pascatrauma. Namun,
berdasarkan data statistik beberapa penelitian menunjukkan nilai insidensi epilepsi sebesar
5% dari semua kasus yang dirawat dan 15% dari kasus cedera kepala berat, di mana hal ini
dikaitkan dengan : (1) adanya kejang dalam waktu 1 minggu pertama, (2) hematom
intrakranial, dan (3) fraktur depres tengkorak. Dalam hal ini dianjurkan untuk memberikan
terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah
timbulnya fokus epileptogenik. Untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan
karbamazepin (Tagretol). (Satyanegara, et al., 2010)
Bibliography
Satyanegara, Hasan, R. Y., Abubakar, S., Maulana, A. J., Sufarnap, E., Benhadi, I., et al. (2010). ILMU
BEDAH SARAF SATYANEGARA. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.