You are on page 1of 27

KAJIAN TAFSIR AL-MANAR KARYA MUHAMMAD RASYID RIDHA

DAN TAFSIR FI DZILALIL QUR’AN KARYA SAYID QUTUB

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
“Studi Al-Qur’an”

Disusun Oleh:
Rozaq Fakhtian Ahmad
NIM: 17771024

Dosen Pengampu:
Drs. Bakhruddin Fannani, MA, Ph.D

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Dasar Pemikiran
Al-quran al-Karim adalah sebuah kitab yang tidak datang kepadanya
kebatilan dari awal sampai akhirnya, yang diturunkan oleh Allah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji. Kitab yang mendapat keistimewaan, yaitu yang
mampu mencetak ulama Islam yang tahu dan mengerti tentang penafsiran
nas-nas Al-Qur‟an dan ulama yang mengamalkan hukum-hukum yang tersirat
di dalamnya, demi kemashlahatan umat manusia di dunia maupun di akhirat.
Terdapat berbagai macam sumber yang dijadikan sandaran oleh para
ulama dan ahli tafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Qur‟an. Mereka berusaha
untuk mengetahui pemahaman secara detail dan bisa diungkapkan dengan
kata-kata yang sesuai. Hal ini dupayakan agar pemahaman terhadap A-Qur‟an
bisa dicapai oleh setiap insan yang senang dengan Al-Qur‟an agar manusia
bisa membaca, memahami, dan mengamalkan isi kandungan ayat-ayat Al-
Qur‟an yang mengajak kepada kebaikan dunia dan akhirat.
Jika kita melihat kembali dunia Islam pada abad ke-19, pada masa
abad ke-19 tersebut dunia Islam sedang mengalami masa-masa kritis, dimana
pada saat itu peradaban islam sedang mengalami kemrosotan,
keterbelakangan, kejumudan dan selain itu banyak Negara Islam yang
ditindas oleh penjajahan asing. Namun pada akhirnya muncullah sosok
pembaharu peradaban Islam yang mengumandangkan kebangkitan Islam, ia
adalah Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemikir Islam yang mengajak umat
Islam untuk bangkit dari keterpurukan dan keterbelakangan di seuruh dunia.
Setelah munculnya gerakan pembaharu Islam tersebut banyak kitab-
kitab tafsir yang lahir dari para ulama, kitab-kitab tafsir yang dihasilkan para
ulama tersebut mulai ada sedikit perubahan, dimana pada waktu dulu para
ulama tersebut hanya memfokuskan kajiannya dalam hal nahwu, istilah-
istilah dalam balaghah, bahasa dan lain sebagainya. Kini mereka mulai berani

1
memfungsikan Al-Qur‟an sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai
untuk menggali makna-makna Alqur‟an dengan lebih mendalam.1
Diantara kitab tafsir yang muncul setelah gerakan pembaharuan Islam
adalah tafsir Al-Manar yang merupakan hasil karya kolaborasi seorang guru
dan murid, yaitu Syaikh Muhaammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha. Selain itu ada juga tafsir Fi Zhilalil Qur‟an karya Sayyid Qutub dan
beberapa tafsir lainnya yang dikarang oleh Ahmad Musthafa Al-Maraghi,
Hamka, Abdullah Yusuf Ali, dan M.Quraish Shihab.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dasar pemikiran diatas dapat diambil beberapa inti sari
pertanyaan untuk dijadikan sebagai rumusan masalah antara lain sebagai
berikut:
1. Bagaimana metode tafsir yang digunakan dalam kitab tafsir Al-Manar
dan kitab tafsir Fi Zhilalil Qur‟an?
2. Bagaimana kecenderungan kitab tafsir Al-Manar dan kitab tafsir Fi
Zhilalil Qur‟an dalam menafsirkan Al-Qur‟an?
3. Bagaimana keistimewaan dan kelemahan tafsir Al-Manar dan tafsir Fi
Zhilalil Qur‟an?

1
Ali Hasan Al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: CV. Rajawali Press,
1992), 69-70.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Kitab Tafsir Al-Manar Karya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha


1. Riwayat Hidup Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dan Karyanya
Salah seorang tokoh pembaharuan Islam adalah Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha bin Muhammad Syamsuddin Alkalmuni.
Muhammad Rasyid Ridha tumbuh dan dibesarkan di desa Qalmun, salah
satu daerah yang berada di Baghdad Irak. Ia termasuk dari penulis, ulama
hadis, sastrawan, ahli sejarah dan tafsir. Muhammad Rasyid Ridha
merupakan pemilik majalah al-Manar yang sanagat amat populer,
majalah yang menjadi menara pemikiran dan reformasi sosial di zaman
modern ini.2
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan pada 27 Jumadil „Ula tahun
1282 H. Dia adalah seorang bangsawan arab yang mempunyai garis
keturunan langsung dari cucu Rasulullah Sayyidina Husain, putra
Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah saw. Keluarga
Muhammad Rasyid Ridha terkenal di lingkungannya sebagai keluarga
yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga
mereka juga dikenal dengan sebutan “Syaikh”. Gelar “Sayyid” yang ada
pada permulaan namanya adalah sebuah gelar yang yang biasa diberikan
kepada orang-orang yang mempunyai garis keturunan tersebut.3
Kakek Muhammad Rasyid Ridha yaitu Sayyid Syaikh Ahmad, ia
merupakan seseorang yang sangat patuh dan wara‟, sehingga seluruh
waktunya hanya digunakan untuk membaca dan juga beribadah, serta
tidak menerima tamu kecuali sahabat-sahabat terdekat dan ulama, itu pun
hanya waktu-waktu tertentu, yaitu antara waktu ashar dan waktu
maghrib. Ketika Muhammad Rasyid Ridha telah mencapai umur dewasa,

2
Mani‟ Abd Halim Mahmud, Metodoogi Tafsir (Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 271.
3
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994),
59.

3
ayahnya telah mewarisi kedudukan, kewibawaan, serta ilmu dari sang
kakek, sehingga Muhammad Rasyid Ridha banyak mengikuti jejak
ayahnya dan terpengaruh dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh ayahnya
sendiri.4
Disamping belajar kepada orang tuanya sendiri, Muhammad
Rasyid Ridha juga belajar kepada beberapa guru. Di masa kecilnya ia
belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya yang ketika saat itu
dinamai dengan al-Kuttab, di lembaga pendidikan Kuttab tersebut
Muhammad Rasyid Ridha mulai belajar membaca serta menulis Al-
Qur‟an, dan belajar dasar-dasar ilmu berhitung.
Setelah tamat dari pendidikan dasar al-Kuttab, orang tua
Muhammad Rasyid Ridha berinisiatif untuk mengirim putranya ke
Tripoli (Lebanon) untuk meneruskan pendidikannya di sebuah Madrasah
Ibtidaiyah yang banyak mengajarkan tentang Aqidah, Fiqih, Nahwu,
Sharaf, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Karena pada saat itu
Lebanon berada dalam kekuasaan kerajaan Utsmaniyah maka sekolah
Madrasah Ibtidaiyah tersebut menggunakan bahasa pengantar bahasa
Turki. Murid-murid yang sekolah di madrasah tersebut sebenarnya
dipersiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintahan kerajaan
Utsmaniyah.5
Dikarenakan hal tersebut, Muhammad Rasyid Ridha merasa tidak
tertarik untuk terus belajar di madrasah tersebut, ia belajar di madrasah
itu hanya sekitar satu tahun, kemudian ia pindah ke Sekolah Islam Negeri
pada tahun 1299 H/ 1822 M yang merupakan sekolah terbaik pada saat
itu dengan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya,
disamping bahasa Arab juga diajarkan pula bahasa Perancis dan turki.
Sekolah Islam Negeri tersebut didirikan oleh seorang ulama besar Syam
pada saat itu, yakni Syaikh Husain al-Jisr. Kelak Syaikh Husain al-Jisr
inilah yang mempunyai andil yang cukup besar terhadap perkembangan

4
Ibid, 59.
5
Ibid, 60.

4
pemikiran Muhammad Rasyid Ridha, dikarenakan keduanya mempunyai
hubungan yang sangat erat dan tidak terhenti walaupun Sekolah Islam
Negeri yang didirikan oleh Syaikh Husain al-Jisr ditutup oleh pemerintah
Turki. Muhammad Rasyid Ridha diberi kesempatan oleh Syaikh Husain
al-Jisr untuk menulis beberapa surat kabar Tripoli, kesempatan yang
diberikan itu kelak akan menjadikan Muhammad Rasyid Ridha sebagai
seseorang pemimpin majalah al-Manar yang sangat terkenal dan
fenomenal.6
Sebagai seorang guru bagi Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh
Husain al-Jisr juga memberikan ijazah kepada Muhammad Rasyid Ridha
pada tahun 1314 H/ 1897 M dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan
juga filsafat. Selain Syaikh Husain al-Jisr, Muhammad Rasyid Ridha
juga berguru kepada beberapa ulama yang lain, walaupun pengaruh yang
diberikan oleh para ulama itu tidak sebesar pengaruh Syaikh Husain al-
Jisr terhadap pemikiran Rasyid Ridha. Diantara ulama-ulama tersebut
adalah:
a. Syaikh Muhammad Al-Qawijiy, salah satu ulama ahli hadis yang
mengajarkan salah satu kitab hadis karangannya kepada Muhammad
Rasyid Ridha.
b. Syaikh Mahmud Nasyabah, seseorang ahli hadis yang mengajar
Muhammad Rasyid Ridha sampai selesai dan memberikan ijzah
kepadanya. Karena jasa Syaikh Mahmud Nasyabah inilah, Rasyid
Ridha mampu untuk menilai hadis-hadis yang dha‟if dan maudhu‟,
sehingga ia digelari “Voltaire”-nya kaum Muslimin oleh teman-
temannya, karena keahlian Rasyid Ridha dalam menggoyahkan
segala sesuatu yang tidak benar dalam bidang agama.
c. Syaikh Abdul Ghani Ar-Rafi, yang mengajarkan kepada Muhammad
Rasyid Ridha kitab hadis Nail Al-Authar (salah satu kitab hadis yang
dikarang oleh Al-Syaukani yang bermadzhab Syiah Zaidiyah).
d. Syaikh Muhammad Kamil Ar-Rafi.

6
Ibid, 61.

5
e. Al-Ustadz Muhammad Al-Husaini.
Muhammad Rasyid Ridha selalu menyempatkan untuk hadir
dalam setiap diskusi mereka tentang ilmu Ushul dan Ilmu Logika.7
Pada saat Muhammad Rasyid Ridha memulai perjaungan di
kampung halamannya, baik melalui pengajaran-pengajaran untuk kaum
pria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di media masa, Muhammad
Abduh memimpin pula gerakan pembaruan di mesir. Majalah Al-„Urwah
al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh di Paris perancis, yang diterbitkan diseluruh dunia
Islam ikut pula dibaca oleh Muhammad Rasyid Ridha, ketika membaca
majalah Al-„Urwah al-Wutsqa ia merasa bahwa pemikiran-pemikran
yang ada dalm majalah tersebut memberi pengaruh yang sangat besar
terhadap jiwanya, sehingga hal tersebut dapat mengubah sikap
Muhammad Rasyid Ridha yang berjiwa sufi menjadi seorang pemuda
yang penuh dengan semangat untuk melaksanakan ajaran agama secara
utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan
dan industri.8
Muhammad Abduh merupakan seorang tokoh yang telah
merintis kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada para
muridnya. Kebangkitan ini lahir dari kesadaran Islami untuk memahami
ajaran-ajaran Sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap
problematika kehidupan masa kini. Benih-benih kebangkitan tersebut
sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaluddin Al-Afghani, yang
kepadanya Muhammad Abduh berguru. Abduh memberikan mata kuliah
tafsir di Universitas Al-Azhar Kairo dan mendapat sambutan baik dari
mahasiswanya. Rasyid Ridha salah satunya, ia murid paling tekun
mempelajari mata kuliah tersebut, paling bersemangat dan mencatatnya
dengan teliti. Dapat dikatakan bahwa ia adalah ahli waris tunggal ilmu-
ilmu Muhammad Abduh. Buah nyata akan hal ini tampak jelas dalam
7
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994),
61.
8
Ibid, 63.

6
tafsirnya yang diberi nama Tafsir Al-Qur‟an Al-Hakim, tetapi lebih
terkenal dengan nama Tafsir Al-Manar.9
Selain Tafsir Al-Manar, Muhammad Rasyid Ridha juga memiliki
beberapa karya ilmiah, karya ilmiah tersebut adalah sebagai berikut:
a. Al-Hikmah Asy Syar‟iyah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa Al-
Rifa‟iyah. Merupakan karya peratamanya sewaktu masih belajar,
yang berisi bantahan kepada Abdul Hadyi Ash-Shayyad yang
merendahkan tokoh sufi besar Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, selain
itu juga menjelaskan kekeliruan yang dilakukan oleh para penganut
tasawuf tentang busana Muslim, sikap meniru non-Muslim, Imam
Mahdi serta masalah dakwah dan kekeramatan.
b. Al-Azhar dan Al-Manar. Yang berisi sejarah Al-Azhar,
perkembangan dan misinya, serta bantahan terhadap ulama Azhar
yang menentang pendapat-pendapatnya.
c. Tarikh Al-Ustadz Al-Imam. Yang berisi riwayat hidup Muhammad
Abduh dan perkembangan masyarakat mesir pada masanya.
d. Nida‟ lil Al-Jins Al-Lathif. Membahas tentang hak dan kewajiban
seorang wanita.
e. Risalatu Hujjah Al-Islam Al-Ghazali.
f. Al-Sunnah wa Al-Syi‟ah
g. Zikra Al-Maulid An-Nabawi.
h. Al-Wahdah Al-Islamiyah
i. Haqiqah Al-Riba
j. Majalah Al-Manar, terbit pertama kali pada 1315 H/1898 M sampai
dengan 1354 H/1935 M.
k. Tafsir Al-Manar
l. Tafsir surah-surah Al-Kautsar, Al-Kafirun, Al-Ikhlas, dan Al-
Mu‟awidztayn.10

9
Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an (terj. Aunur Rafiq El-Mazni),
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 462.
10
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994),
65-66.

7
Begitu banyak karya yang telah dihasilkan oleh seorang
Muhammad Rasyid Ridha, pemikiran-pemikirannya sangat menarik
untuk dikaji dan didalami. Muhammad Rasyid Ridha wafat pada 23
Jumadil „Ula 1354 H yang bertepatan pada 22 agustus 1953 M dalam
sebuah kecelakaan mobil yang dikendarainya setelah mengantarkan
Pangeran Sa‟ud Al-Faisal dari kota Suez di Mesir, dan ia menderita
gagar otak akibat benturan yang terjadi pada saat kecelakaan tersebut.11
2. Metode Kitab Tafsir Al-Manar
Kata metode dalam bahasa Arab sering disebut dengan manhaj
dan thariqah. Sedangkan kata metode sendiri dalam bahasa Indonesia
merupakan kata serapan dari bahasa Yunani berasal dari kata methodos
yang berarti cara atau jalan. Kata-kata tersebut apabila dikaitkan dengan
ilmu tafsir, maka yang dimaksud disini adalah cara yang dapat digunakan
untuk menafsirkan Al-Qur‟an untuk meminimalisir kesalahan-kesalah
yang timbul dari adanya usaha menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an.12
Muhammad Rasyid Ridha dalam menyampaikan penafsirannya
dalam Tafsir Al-Manar menggunakan sistematika yang berbeda dengan
kitab tafsir pada umumnya. Pada setiap surat yang akan ditafsirkan selalu
didahului dengan muqaddimah, selain itu ia juga mencantumkan kalimat
“‫ ”أقىل‬untuk setiap pendapat yang ia sampaikan dan mencantumkan
kalimat “‫ ”قال األستاذ االمام‬untuk setiap pendapat yang disampaikan oleh
Muhammad Abduh.
Jika ditinjau dari segi sumber, cara penjelasan, keluasan
pembahasan serta tertib ayat, maka Tafsir Al-Manar didasarkan pada
metode berikut:
a. Sumber Penafsiran
Jika dilihat dari segi sumber penafsiran, metode tafsir Al-
Qur‟an terbagi menjadi tiga macam pembagian, yaitu; tafsir bil
ma‟tsur, tafsir bil ra‟yi, tafsir bil iqtiran. Tafsir bil ma‟tsur
11
Ibid, 66.
12
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 1982), 2.

8
merupakan sebuah metode penafsiran Al-Qur‟an yang segala sumber
rujukannya diambil dari Al-Qur‟an, Hadits, perkataan sahabat,
perkataan tabi‟in yang mempunyai sangkut paut dengan ayat Al-
Qur‟an yang ditafsirkan. Tafsir bil ra‟yi merupakan sebuah metode
penafsiran Al-Qur‟an yang bersumber dari pemikiran-pemikiran
mefassir dengan menggunakan metode penafsiran yang telah
ditentukan oleh para ulama‟. Sedangkan tafsir bil iqtiran merupakan
gabungan dari metode tafsir bil ma‟tsur dan tafsir bil ra‟yi.
Dalam Tafsir Al-Manar sumber penafsiran yang digunakan
Muhammad Rasyid Ridha lebih condong menggunakan tafsir bil
ra‟yi (menggunakan akal) sebagai sumber penafsirannya.13
Dikarenakan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha memiliki
kesamaan dengan Muhammad Abduh. Penggunaan akal secara luas
dalam upaya menggali arti dan penafsiran dalam Al-Qur‟an menurut
Muhammad Abduh sebagai sebuah alternatif yang baik dikarenakan
banyak permasalahan-permasalahan agama yang tidak bisa
dibuktikan kecuali hanya menggunakan akal.14
Oleh karena itu, Rasyid Ridha dalam menafsirkan Al-Qur‟an
lebih cenderung menggunakan logika (tafsir bil ra‟yi). Penafsiran
Rasyid Ridha terhadap surah Al-Anfal ayat 9 dapat disebut sebagai
contoh aplikasi penafsiran yang dibangun diatas prinsip rasionalitas.
Rasyid Ridha berpendapat bahwa pertolongan Allah kepada
balatentara kaum muslimin dengan mendatangkan bala bantuan
seribu malaikat bukan bukan bantuan materiil melainkan spiritual.
Baginya tidak masuk akal Allah menurunkan Malaikat secara fisik
membantu peperangan melawan kaum musyrik, meski ada hadis
yang menunjukkan hal itu.15 Meskipun tidak semua penafsiran yang

13
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an (Studi Kritis Tafsir Al-Manar), (Jakarta:
Penerbit Lentera Hati, 2006), 95.
14
Rosihan Anwar, Samudra Al-Qur‟an, (Bandnung: CV Pustaka Setia, 2001), 260.
15
Saifullah, Nuansa Inklusif dalam Tafsir Al-Manar, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012), 45.

9
disampaikan oleh Rasyid Ridha bersumberkan pada ra‟yu, ada
banyak hadis nabi, riwayat para sahabat dan tabi‟in yang dinilainya
shahih untuk memberikan penafsiran Alqur‟an.16 Contohnya ketika
Rasyid Ridha menafsirkan ayat pertama surat al-Maidah:

ِ‫َيأيُّ َها الَّ ِذيْنَِ أ َ َمنُ ْىا أ َ ْوفُ ْىا ِب ْالعُقُ ْى ِد‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah secara
sempurna akad-akad (Perjanjian).”

Dalam hal itu, Rasyid Ridha mengutip pendapat para sahabat


dan tabi‟in tentang arti (‫ ) ْالعُقُ ْى ِِد‬serta macam-macamnya, kemudian
dijelaskannya bahwa perintah menunaikan akad (perjanjian) dalam
ayat tersebut adalah secara umum dan mutlak, dengan demikian
segala macam perjanjian hukumnya mubah.17
b. Cara Penjelasan
Jika ditinjau dari cara penjelasannya terhadap suatu ayat
maka metode tafsir dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu
metode tafsir bayani dan metode tafsir muqaran. Metode bayani
adalah metode menafsirkan suatu ayat dengan memberikan
penjelasan secara deskriptif tanpa ada perbandingan riwayat dan
pendapat para mufassir yang lain. Sedangkan metode muqaran
adalah metode menafsirkan suatu ayat dengan cara
mengkomparasikan antara ayat satu dengan ayat yang lainnya, ayat
dengan hadis, pendapat mufassir satu dengan mufassir lainyya
dengan menyebutkan keunggulan masing-masing pendapat.
Dalam banyak ayat, Muhammad Rasyid Ridha berusaha
untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang dikandung oleh suatu
kata, atau rahasia-rahasia yang dapat ditarik dari suatu susunan
redaksi, khususnya yang berbeda dengan redaksi ayat lain yang juga
berbicara tentang persoaan yang sama. Apa yang ditempuh oleh

16
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an (Studi Kritis Tafsir Al-Manar), (Jakarta:
Penerbit Lentera Hati, 2006), 118.
17
Ibid, 118.

10
Rasyid Ridha ini oleh para ulama tafsir dikenal dengan istilah
metode Tafsir Muqaran, yang salah satu bagiannya adalah
membandingkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang berbeda redaksinya
padahal masing-masing ayat tersebut berbicara tentang masalah yang
sama, atau membandingkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang redaksinya
sama atau mirip sedang konteks masing-masing berbeda.18
Sebagai contoh dapat dikemukakan uraian Muhammad
Rasyid Ridha ketika menafsirkan firman Allah dalam surah Al-
An‟am ayat 32:

ِ ِِ ِِِِِ

Artinya: ”Kehidupan dunia tiada lain kecuali permainan dan


kelengahan.”
Rasyid Ridha memberikan penjelasan tentang kata ‫اللعب‬
(permainan), yaitu: “Suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya
bukan untuk suatu tujuan yang wajar, yakni mengakibatkan manfaat
atau mencegah madharat. Sedangkan ‫ اللهى‬adalah suatu perbuatan
yang mengakibatkan lengahnya seseorang dari pekerjaannya yang
lebih bermanfaat dan penting, sehingga dengan demikian segala
19
sesuatu yang mengakibatkan kesenangan disebut dengan ‫اللهى‬.

Kata ‫ اللهى‬dapat pula diartikan dengan menyibukkan diri dari


suatu persoalan penting ke persoalan penting lainnya, walaupun
untuk maksud ini biasanya digunakan kata kerja bukan mashdar
(kata bentukan), seperti firman Allah dalam surah „Abasa ayat 10:

َِ ‫فَأ َ ْن‬
ُ‫ت تَلَ َّهيِ َع ْن ِه‬
Artinya: “Maka kamu mengabaikannya.”
c. Keluasan Penjelasan
Metode tafsir Al-Qur‟an jika ditinjau dari segi keluasan
penjelasannya maka dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu

18
Ibid, 137-138.
19
Ibid, 138.

11
ijmali dan tafsili. Ijmali adalah metode penafsiran Al-Qura‟an
dengan cara memaparkan tafsir ayat-ayat Al-Qur‟an secara global,
tidak mendalam dan tidak terperinci. Sedangkan tafsili adalah
metode penafsiran Al-Qur‟an dengan penjelasan yang sangat luas
dan sangat terperinci, sehingga pembahasannya cukup terang dan
jelas.
Dalam Tafsir Al-Manar keluasan penjelasan yang digunakan
adalah bersifat terperinci (tafsili) dikarenakan di dalam tafsir tersebut
penjelasannya sangat luas dan begitu mendetail, dengan
menyebutkan uraian-uraian panjang yang cukup jelas dan terang.
Salah satu pengaruh Tafsir Ibnu Katsir terhadap Muhammad Rasyid
Ridha adalah usahanya mengikuti jejak Ibnu Katsir dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan ayat-ayat lainnya, suatu
cara penafsiran yang dinilai oleh ulama paling tepat untuk
memahami arti ayat-ayat Al-Qur‟an.20 Contohnya surah Al-An‟am
ayat 165:

ِ ِِِِ ِِِِِِِِِِِِِ

Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa di bumi,


Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain
beberapa tingkat karena Dia hendak mengujimu melalui
apa yang diberikannya kepada mu.”

Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa banyak ayat-


ayat yang turun yang menjelaskan ayat tersebut, dan menjelaskan
bahwa nikmat Tuhan merupakan fitnah (ujian) Tuhan bagi hamba-
hamba-Nya, dalam arti mendidik dan menguji mereka agar tampak
secara jelas siapakah diantara mereka yang lebih baik amalnya.
Kemudian Rasyid Ridha mengemukakan ayat-ayat yang
menjelaskan arti surah Al-An‟am ayat 165 tersebut, yaitu: Al-A‟raf:
168, Hud: 7, Al-Mulk: 2, Al-Kahfi: 7, Al-Furqan: 20, Ali Imran:

20
Ibid, 133-134.

12
186, Al-Baqarah: 155, Muhammad: 3, Al-„Ankabut: 1-2, An-Naml:
40.
d. Sasaran dan Tertib Ayat
Berkenaan dengan sasaran dan tertib ayat, jika melihat pada
semua tafsir yang ada pada saat ini kesemuanya akan menggunakan
salah satu dari tiga kategori tertib ayat, yaitu: tahlili, nuzuli dan
maudhu‟i. Metode Tahlili adalah cara menafsirkan Al-Quran yang
dimulai dari surat Al-Fatihah sampai ke surat An-Nass sesuai dengan
urutan Mushaf Utsmani. Metode Nuzuli merupkan cara menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur‟an dengan cara diurutkan berdasarkan pada urutan
turunnya suatu ayat. Yang terakhir yaitu Metode Maudhu‟i adalah
cara menafsirkan Al-Qura‟an dengan mengumpulkan ayat-ayat yang
mempunyai kesamaan dalam inti tema pembahsannya.21
Tafsir Al-Manar dapat digolongkan kedalam metode tahlili,
dikarenakan cara penafsirannya dimulai dari awal yaitu surah Al-
Fatihah sesuai dengan urutan yang ada dalam Mushaf Utsmani.
Dalam tafsir Al-Manar surah Al-Fatihah sampai dengan surah An-
Nisa‟ ayat 125 disadur dari pendapat Muhammad Abduh pada
kuliah-kuliah tafsirnya yang di ikuti oleh Muhammad Rasyid Ridha.
Kemudian Rasyid Ridha menafsirkan sendiri ayat-ayat Al-Qur‟an
dengan mengikuti metode dan ciri pokok yang digunakan oleh
gurunya (Muhammad Abduh) sampai dengan ayat 52 surah Yusuf.
Karenanya tafsir al-Manar yang terdiri dari 12 jilid lebih
pantas untuk dinisbahkan kepada Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,
sebab disamping lebih banyak yang ditulisnya juga karena dalam
penafsiran ayat-ayat surah Al-Fatihah dan surah Al-Baqarah serta
surah An-Nisa‟ banyak ditemui pendapat-pendapat Rasyid Ridha.22

21
M. Ridlwan Nasir, Memahami Al-Qur‟an Prespektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin,
(Surabaya: CV Indra Media, 2003), 17.
22
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an (Studi Kritis Tafsir Al-Manar), (Jakarta:
Penerbit Lentera Hati, 2006),

13
3. Kecenderungan/Aliran Kitab Tafsir Al-Manar
Bila dilihat dari corak tafsirnya, tafsir Al-Manar memiliki
kecenderungan untuk mengaitkan penafsiran Al-Qur‟an dengan upaya-
upaya yang dapat digunakan untuk perbaikan kondisi sosial
kemasyarakatan (al-Adab al-Ijtima‟i).23
Diantara problem sosial umat islam yang mendapat perhatian dari
tafsir al-Manar adalah persoalan kebebasan, seperti kebebasan beragama
dan kebebasan berpolitik. Dalam konteks kebebasan beragama, tafsir al-
Manar memberikan penjelasan dalam surah Al-Baqarah, ayat 256.
Muhammad Abduh menegaskan “Tidak ada paksaan dalam beragama”
merupakan prinsip yang dijunjung tinggi dalam Islam. Islam tidak
membenarkan seseorang memaksa orang lain untuk memeluk Islam
begitu juga sebaliknya. Prinsip ini hanya bisa ditegakkan dengan mudah
jika umat Islam memiliki kekuatan untuk menjaga agama dari
rongrongan musuh dengan cara mengimbangi kekuatan mereka, atas
dasar adanya perintah dakwah kepada jalan Allah dengan penuh
bijaksana dan nasihat yang baik. Dengan demikian, jihad dalam Islam
bukanlah inti dan tujuan, melainkan sekedar sebagai perisai dan benteng
guna mempertahankan diri.24
Sedangkan dalam konteks problem politikumat Islam, Rasyid
Ridha menafsirkan surah Ali-Imran ayat 159: ”Dan bermusyawarahlah
engkau dengan mereka dalam urusan itu.” Rasyid Ridha menafsirkan
ungkapan “urusan itu” dengan urusan publik, yaitu mengatur umat, baik
dalam keadaan perang maupun damai, dalam keadaan takut maupun
aman, dan bentuk-bentuk kebaikan umat lainnya. Musyawarah harus
selalu dilakukan, meski mungkin kesimpulan dari musyawarah bisa
salah. Sebab dalam musyawarah ada aspek kebersamaan umat, sehingga
yang dijalankan bukan pendapat pribadi pemimpin sendiri.25

23
Abd Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), 45.
24
Saifullah, Nuansa Inklusif dalam Tafsir Al-Manar, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012), 53.
25
Ibid, 54.

14
4. Keistimewaan dan Kelemahan Kitab Tafsir Al-Manar
Sebagai hasil buah karya pemikiran manusia, tentu saja tafsir al-
Manar memiliki beberapa keistimewaan dan kelemahan. Pada bahasan
kali ini akan dipaparkan beberapa keistimewaan dan kelemahan yang ada
dalam kitab tafsir al-Manar:
a. Keistimewaan
1) Penekanan penggunaan akal sebagai dasar untuk memahami
ayat-ayat Al-qur‟an, sehingga hasil penafsirannya dapat diterima
secara logika.
2) Penafsiran yang dihasilkan oleh tafsir al-Manar mencakup
permasalahan-permasalahan yang sedang berkembang pada
zaman sekarang.
3) Banyak menggunakan teori-teori ilmiah sehingga dapat
mendukung penafsirannya.
b. Kelemahan
1) Penafsiran yang disampaikan atas suatu ayat jangkauan
penafsirannya terkadang terlalu luas, sehingga terkadang sulit
untuk dapat menemukan kesimpulan pembahasannya.

B. Kajian Kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Karya Sayyid Quttub


1. Riwayat Hidup Sayyid Qutub dan Karyanya
Sayyid Qutub mempunyai nama lengkap Sayid Qutub Ibrahim
Husain Syadzili. Ia dilahirkan di Mausyah, sebuah wilayah yang masuk
dalam Provinsi Asyuth, di dataran tinggi Mesir. Sayid Qutub lahir pada
tanggal 9 Oktober 1906 dan ia merupakan anak pertama dari lima
bersaudara yang terdiri dari dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan.
Di usia Sayid Qutub yang masih belia ia sudah hafal Al-Qur‟an diluar
kepala atau hafal dengan sangat lancar, Al-Qur‟an yang sudah dihafalnya
mempunyai pengaruh yang besar dalam mengembangkan kemampuan
sastra dan seninya dalam usia yang masih muda. Pada masa kecilnya ia

15
mengenyam pendidikan dasar di Kuttab dan juga di sekolah pemerintah,
Sayid Qutub lulus dari pendidikan dasar pada tahun 1918 M.26
Ayah dan ibunya adalah seorang mukmin yang bertaqwa, yang
begitu bersemangat dalam menunaikan kewajiban-kewajiban agama,
bergegas untuk menggapai ridha Allah dan senantiasa menjauhi segala
larangan-larangan-Nya. Ayah sayid Qutub merupakan seorang anggota
Partai Nasionalis Mustafa Kamil dan pengelola majalah al-Liwa‟.
Sedangkan ibunya adalah seorang wanita sholihah, mempunyai sikap
yang lembut terhadap orang-orang miskin dan orang yang membutuhkan.
Sayid Qutub tumbuh dalam lingkungan islami, dan menghabiskan masa
kanak-kanaknya dalam asuhan keluarga yang beriman, lalu tumbuh
dewasa di tengah saudara-saudara yang terhormat.27
Pada tahun 1919 berangkat ke Kairo unutk tinggal bersama
pamannya yang bernama Ahmad Husain Utsman, melalui pamannya ini
ia bisa berkenalan dengan seorang sastrawan besar, Abbas Mahmud Al-
Aqqad, yang sudi membukakan pintu-pintu perpustakaannya yang besar
untuk Sayid Qutub. Pada tahun 1930, Sayid masuk sebagai mahasiswa di
Institut Darul Ulum, setelah sebelumnya menyelesaikan tingkat
menengah di Tajhiziyah Darul Ulum, kemudian lulus dari perguruan
tinggi tersebut pada tahun 1933 dengan meraih gelar Lc dalam bidang
sastra dan diploma dalam bidang tarbiyah. Dan pada tahun 1948 ia
mendapat tugas belajar di Wilson‟s Teacher College dan Stanford
University dan berhasil mendapatkan gelar M.A dalam bidang
pendidikan (education).
Ketika Sayid Qutub bergabung dengan Jamaah Ikhwanul
Muslimin, beliau menjadi anggota aktif (amil) di dalam jamaah ini,
dengan ikut serta dalam berbagai kegiatannya secara aktif, menulis
berbagai artikel keislaman yang cukup berani di berbagai koran dan

26
Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur‟an Kontemporer, (Yogyakarta:
PT Tiara Wacana, 2002), 111.
27
Shalah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an (terj.
Salafuddin Abu Sayyid), (Surakarta: Era Intermedia, 2001), 24.

16
majalah. Pada tahun 1953, Sayid Qutub mengadakan kunjungan ilmiah
dan dakwah keluar Mesir. Ketika Ikhwanul Muslimin untuk pertama
kalinya berlawanan dengan pemerintah Revolusi pada awal tahun 1954
karena dituduh berupaya menjatuhkan pemerintah, maka Sayid Qutub
adalah orang yang pertama kali ditangkap dan dipenjarakan. Sayid Qutub
menjalani hukuman penjara kurang lebih sekitar sepuluh tahun
Pada tahun 1964, pemimpin irak, Abdus Salam Arif berkunjung
ke Mesir dan meminta kepada Abdun Nashir (pemimpin Mesir) agar
Sayid Qutub di bebaskan. Pada akhirnya Abdun Nashir menyetujui
permintaan Abdus Salam Arif dan kemudian Sayid Qutub di bebaskan.
Namun tak lama kemudian Sayid Qutub kembali lagi ke penjara dengan
tuduhan yang baru.
Hal itu terjadi pada tahun 1965, ketika Abdun Nashir
mengumumkan tersingkapnya konspirasi yang dikoordinasi oleh
Ikhwanul Muslimin di bawah komando Sayid Qutub untuk menjatuhkan
kekuasaannya serta merobohkan negara Mesir. Maka para aparat negara
dan kepolisian segera melakukan penangkapan terhadap Ikhwanul
Muslimin, serta teman-teman, kenalan, dan kerabat-kerabat mereka. Dan
Sayid Qutub adalah orang yang pertama kali ditangkap. Dan diputuskan
bahwa Sayid Qutub akan dihukum gantung. Akhirnya pada tanggal 29
Agustus 1966 dini hari, Sayid Qutub dan dua orang temannya, Abdul
Fattah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy, wafat di tiang
gantungan.28
Sayid Qutub meninggalkan sejumlah kajian dan studi yang
bersifat sastra maupun keislaman, berikut ini beberapa karya Sayid
Qutub yang sampai saat ini masih bisa dikaji oleh umat Islam:
a. Muhimmatus Sya‟ir fil Hayah wa Syi‟r Al-Jail Al-Hadhir, terbit
tahun 1933.
b. Asy-Syathi‟al Majhul, kumpulan sajak Sayid satu-satunya, terbit
bulan Februari 1935.

28
Ibid, 27-36.

17
c. Naqd Kitab “Mustaqbal Ats-Tsaqafah fi Mishr” li Ad-Duktur Thaha
Husain, terbit tahun 1939.
d. At-Tashwir Al-Fanni fil Qur‟an, buku keislaman Sayid yang yang
pertama, terbit bulan April 1945.
e. Al-Athyaf Al-Arba‟ah, ditulis bersama saudara-saudaranya: Aminah,
Muhammad, dan Hamidah, terbit tahun 1945.
f. Tifhl min Al-Qaryah, berisi gambaran desanya serta catatan masa
kecilnya di desa, terbit tahun 1946.
g. Al-Madinah Al-Manshurah, sebuah kisah khayalan semisal kisah
seribu satu malam, terbit pada tahun 1946.
h. Kutub wa Syakhsyiyat, Sebuah studi Sayid terhadap karya-karya
pengarang lain, terbit tahun 1946.
i. Asywak, terbit tahun 1947.
j. Masyahid Al-Qiyamah fil Qur‟an, bagian kedua dari serial Psutaka
Baru Al-Qur‟an, terbit pada bulan April 1947.
k. Raudhatut Thifl, ditulis bersama Aminah As-Sa‟id dan Yusuf Murad,
terbit dua episode.
l. Al-Qashas Ad-Diniy, ditulis bersama Abdul Hamid Jaudah As-
Sahhar.
m. Al-Jadid fi Al-Lughah Al-Arabiyah, bersama penulis lain.
n. Al-Jadid fi Al-Mahfuzhat, ditulis bersama penulis lain.
o. Al-Adalah Al-Ijtima‟iyah fi Al-Islam, terbit pada bulan April 1949.
p. Ma‟rakah Al-Islam wa Ar-Ra‟samaliyah, terbit pada bulan Februari
1951.
q. As-Salam Al-Alami wa Al-Islam, terbit pada bulan Oktober 1951.
r. Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, cetakan petama juz pertama terbit pada
bulan Oktober 1952.
s. Dirasat Islamiyah; kumpulan berbagai macam artikel yang dihimpun
oleh Muhibbudin Al-Khatib; terbit pada tahun 1953.
t. Al-Mustaqbal li Hadza Ad-Din; terhitung sebagai penyempurna buku
Hadza Ad-Din.

18
u. Khasha‟ish At-Tashawwur Al-Islami wa Muqawwimatuhu.
v. Al-Islam wa Musykilat Al-Hadharah.
w. Ma‟alim fi Ath-Thariq; berisi ringkasan pemikiran gerakan beliau,
dan juga yang menyebabkan penulisnya dijatuhi hukuman
eksekusi.29
2. Metode Kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an karya Sayid Qutub memiliki
karaktersitik atau ciri khas tersendiri dalam penyusunan sistematika
pembahasannya. Ketika Sayid Qutub akan memulai penafsiran suatu
ayat, ia selalu memberikan gambaran umumnya terlebih dahulu,
sehingga seseorang yang akan membaca tafsiran ayat tersebut sedikit
banyak akan mengerti isi dari kandungan ayatnya, sebelum ia membaca
secara detail penjelasan yang ada dalam Fi Zhilalil Qur‟an.
Jika ditinjau dari segi sumber, cara penjelasan, keluasan
pembahasan serta tertib ayat, maka Tafsir Al-Manar didasarkan pada
metode berikut:
a. Sumber Penafsiran
Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an jika kita lihat dari sumber
penafsirannya maka termasuk dalam metode tafsir bil iqtiran
dikarenakan Sayid Qutub dalam memberikan penafsirannya
menggunakan dua sumber yaitu dari riwayat dan dari ijtihad Sayid
Qutub sendiri. Contohnya ketika ia menafsirkan surah Al-An‟am
ayat 82:

ِ ِِِِِِِِِِِِِِ

Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan


iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk.”

Di sini Sayid mengemukakan riwayat yang disebutkan oleh


Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya dengan isnadnya sendiri yang

29
Ibid, 41-42.

19
menggambarkan kekhawatiran para sahabat mengenai kandungan
ayat ini serta sikap mereka yang berusaha menjauhi segala bentuk
kedzaliman. Hal ini membuat mereka bergegas menemui Rasulullah
saw, kemudian beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
kezaliman disini adalah syirik.30
b. Cara Penjelasan
Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an jika kita lihat dari cara
penjelasannya maka termasuk dalam metode muqaran. Dikarenakan
dalam pembahasannya Sayid Qutub membandingkan pendapat-
pendapat mufassir, kemudian ia mengunggulkan salah satu pendapat
yang dianggapnya paling benar. Contohnya ketika ia menentukan
maksud dari as-sab‟ al-matsani dalam firman Allah swt:

       


Artinya:“Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh
ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang
agung.”

Di antara para mufassir ada yang berpendapat bahwa yang


dimaksud adalah surah Al-Fatihah yang berisi tujuh ayat itu. Yang
lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah as-sab‟ ath-thiwal
(tujuh buah surat yang panjang) dari Al-Qur‟an, yaitu surah Al-
Baqarah, Ali-Imran, An-Nisa‟, Al-Maidah, Al-An‟am, Al-A‟raf, dan
Al-Anfal beserta At-Taubah. Sedangkan Sayid Qutub menguatkan
pendapat yang pertama. “Yang dimaksud dengan al-matsani
menurut pendapat yang kuat adalah ayat-ayat surah Al-Fatihah yang
berjumlah tujuh itu, sebagaimana yang disebutkan dalam atsar,
karena ayat-ayat itu dibaca berulang-ulang dalam shalat atau
digunakan untuk memuji Allah.” Sayid membantah pendapat kedua

30
Shalah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an (terj.
Salafuddin Abu Sayyid), (Surakarta: Era Intermedia, 2001), 181.

20
bahwa ayat ini Makiyah, padahal as-sab‟ ath-thiwal lima diantaranya
adalah Madaniyah.31
c. Keluasan Penjelasan
Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur‟an keluasan penjelasan yang
digunakan adalah keluasan penjelasan yang bersifat terperinci
(tafsili), dikarenakan di dalam tafsir tersebut penjelasannya sangat
luas dan begitu mendetail, dengan menyebutkan uraian-uraian
panjang yang cukup jelas dan terang. Sebagai sebuah contoh
penafsirannya yang bersifat tafsili adalah ketika Sayid Qutub
menafsirkan surah Al-Qashas ayat 71-73:

 
               

              

              

           
Artinya:“Katakanlah: "Terangkanlah kepadaKu, jika Allah
menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai hari
kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan
mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka Apakah kamu
tidak mendengar?" Katakanlah: "Terangkanlah kepadaKu,
jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus
sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan
mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat
padanya? Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?" dan
karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang,
supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu
mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari)
dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.”

Dengan kaca mata ini, Sayid Qutub melihat ayat-ayat Allah


dan nikmat-Nya kepadanya sebagai sesuatu yang baru dan baru.
Menumbuhkan rasa yang khas, berinteraksi dengannya dengan
interaksi yang menjadikan lisan dan perasaannya menghadap kepada
Allah dengan kesyukuran yang sebesar-besarnya, dan seindah-
31
Ibid, 213-214.

21
indahnya atas segala nikmat yang dianugerahkan. Bahkan ia
menganggap bahwa syukur itu sendiri sebagai sebuah nikmatbaru
diantara nikmat-nikmat Allah yang lain, yang Allah kehendaki siapa
saja yang berhak mendapatkannya, untuk mengahadap, tulus
mengabdi dan ikhlas.
Dengan kaca mata ini jika kita ingin gunakan sebaik-baiknya
alam akan tampak baru, pemandangan-pemandangannya akan
tampak unik dan inspiratif, ia akan tampak sebagai kitab ynag
terbuka bagi ayat-ayat Allah, layar hidup yang bergerak
menakjubkan menampilkan ciptaan Allah yang indah
mengagumkan.32
Dengan kaca mata ini Al-Qur‟an akan selalu baru, karena ia
memperbaharui indra dan perasaan manusia dengan berbagai
pemandangan, fenomena, dan bukti-bukti yang ada di alam dan jiwa
yang tak akan pernah habis, tidak akan terselidiki secaramendalam
oleh manusia dalam umurnya yang terbatas, tidak akan pernah
terselidiki secara mendalam oleh umat manusia selama waktu yang
telah dijanjikan.33
d. Sasaran dan Tertib Ayat
Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an dapat digolongkan kedalam metode
tahlili, dikarenakan cara penafsirannya dimulai dari awal, yaitu surah
Al-Fatihah sampai dengan surah An-Nas sesuai dengan urutan-
urutan surah yang ada dalam Mushaf Utsmani.
3. Kecenderungan/Aliran Kitab Fi Zhilalil Qur’an
Penafsiran Sayid Qutub dalam tafsir Fi Zhilalil Qur‟an
mempunyai keunikan dan keistimewaan tersendiri dibanding dengan
tafsir-tafsir yang lainnya. Sebagai seorang ahli sastra, tentu saja hal
tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap gaya penafsirannya.
Gaya bahasa yang digunakan oleh Sayid Qutub sangat mudah dipahami,

32
Ibid, 165-166.
33
Ibid, 167.

22
sehingga kitab tafsir karangannya ini menjadi enak untuk dibaca. Kitab
tafsir karangannya tersebut memiliki corak atau kecenderungan al-Adab
al-Ijtima‟i, yakni berkaitan dengan sastra dan sosial kemasyarakatan.
Sebagai sebuah contoh ketika Sayid Qutub memberikan
penafsiran tentang amanat dalam surah An-Nisa‟ ayat 58:

       

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat


kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”

Sayid Qutub berpendapat bahwa amanat itu merupakan istilah


yang masih umum yang mencakup seluruh amanat dengan segala bentuk
dan tingkatannya. Beliau kemudian menyebutkan bentuk-bentuk amanat
ini sebagai contoh untuk menggambarkannya, yaitu amanat besar
(amanah kubra): amanat hidayah, makrifah dan iman kepada Allah. Dari
amanat inilah bertolaknya seluruh amanat yang ada, seperti amanat
syahadat (kesaksian) terhadap agama ini dengan kesungguhan jiwa serta
menyeru manusia sesudah itu. Selanjutnya beramal, bergerak dan jihad
untuk meneguhkannya di muka bumi. Amanat-amanat yang lain adalah
amanat berinteraksi dengan manusia, amanat muamalah dan titipan-
titipan harta benda, amanat nasihat untuk memimpin rakyat, amanat
untuk membimbing anak-anak yang sedang berkembang, amanat untuk
memelihara kehormatan jama‟ah, harta benda dan sebagainya.34
4. Keistimewaan dan Kelemahan Kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Sebagai hasil buah karya pemikiran manusia, tentu saja tafsir Fi
Zhilalil Qur‟an memiliki beberapa keistimewaan dan kelemahan. Pada
bahasan kali ini akan dipaparkan beberapa keistimewaan dan kelemahan
yang ada dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Qur‟an:

34
Shalah Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an (terj.
Salafuddin Abu Sayyid), (Surakarta: Era Intermedia, 2001), 317-318.

23
a. Keistimewaan
1) Menggunakan tata bahasa dan sastra yang indah, sehingga
mudah untuk dipahami.
2) Mencakup permasalahan-permasalahan kontekstual pada zaman
sekarang.
3) Sayid Qutub dalam tafsirnya berusaha untuk menghindari
penggunaan kisah-kisah Isra‟iliyat, dikarenakan masih banyak
perbedaan pendapat para ulama berkaitan dengan boleh tidaknya
Isra‟iliyat digunakn sebagai sumber penafsiran.
4) Dalam menafsirkan ayat-ayat dalm suatu surah, Sayid Qutub
terlebih dahulu memberikan gamabaran ringkas kandungan surat
yang akan dikaji.35
b. Kelemahan
1) Penjelasan Sayid Qutub terkadang berbau radikal, sehingga
kitab tafsirnya dicurigai sebagai sebuah tafsir provokatif.
2) Terlalu banyak cela dan kekurangannya dikarenakan terlalu
fanatik dalam membela faham dan madzhabnya.

35
Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an (terj. Aunur Rafiq El-Mazni),
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 363.

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan diatas, dan
setelah melakukan pembahasan. Maka, dapat disimpulkan bahwa:
1. Tafsīr al-Qur‟an al-Adzim karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ini,
lebih dengan nama tafsir al-Manar. Kitab ini termasuk salah satu kitab tafsir
bil ra‟yi pada abad modern. Metode yang digunakan dalam penulisan kitab
Tafsīr al-Manār adalah metode tahlili atau yang sering dikenal dengan
metode analisis. Hal tersebut dapat dilihat dari penafsiran suatu ayat dengan
menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Dalam memahami
dan menjelaskan suatu ayat, beliau menggunakan kerasionalitasannya dan
memperhatikan beberapa kitab tafsir terdahulu untuk dijadikan sebagai
bahan rujukan dalam menafsirkan suatu ayat.
2. Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an yang dikarang oleh Sayyid Qutub merupakan
tafsir yang memiliki ciri khas dan keistimewaan tersendiri. Sayyid
Qutub sebelum menjelaskan suatu surah selalu memberikan gambaran
global mengenai isi dari sebuah surah terlebih dahulu, sebelum ia
membahas secara detail ayat per ayatnya. Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an
dapat digolongkan kedalam metode tahlili, dikarenakan cara
penafsirannya dimulai dari awal, yaitu surah Al-Fatihah sampai
dengan surah An-Nas sesuai dengan urutan-urutan surah yang ada
dalam Mushaf Utsmani.

B. Saran
Berdasarkan klarifikasi diatas, penulis yakin masih jauh dari kata
sempurna baik dari aspek penulisan atau pemaparan isi makalah, maka
dari itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun sebagai
upaya menuju yang lebih baik dari para pembaca.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abd Halim Mahmud, Mani‟. Metodoogi Tafsir (Kajian Komprehensif Metode


Para Ahli Tafsir). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Abdul Fattah Al-Khalidi, Shalah. Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an


(terj. Salafuddin Abu Sayyid). Surakarta: Era Intermedia, 2001.

Al-Qaththan, Manna‟. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an (terj. Aunur Rafiq El-
Mazni). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.

Anwar, Rosihan. Samudra Al-Qur‟an. Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar Offset, 1982.

Hasan Al-„Aridl, Ali. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: CV. Rajawali
Press, 1992.

Muin Salim, Abd. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.

Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsudin. Studi Al-Qur‟an Kontemporer.


Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002.

Quraish Shihab, M. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah,


1994.

____________. Rasionalitas Al-Qur‟an (Studi Kritis Tafsir Al-Manar). Jakarta:


Penerbit Lentera Hati, 2006.

Ridlwan Nasir, M. Memahami Al-Qur‟an Prespektif Baru Metodologi Tafsir


Muqarin. Surabaya: CV Indra Media, 2003.

Saifullah. Nuansa Inklusif dalam Tafsir Al-Manar. Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012.

26

You might also like