You are on page 1of 17

EMERGENCY CASE IN CARDIOVASCULAR DISEASE

Budi Yuli Setianto


Department of Cardiology and Vascular Medicine
Faculty of Medicine Universitas Gadjah Mada
Dr. Sardjito General Hospital Yogyakarta, Indonesia

Abstract

Cardiovascular emergencies are common in daily practice and require quick action.
Cardiac or cardiopulmonary arrest has several possible causes, all of which require prompt
resuscitative efforts. The 2010 American Heart Association guidelines have proposed
changes that make chest compressions a priority before assessment of airway and breathing,
in order to minimize time delays. All healthcare professionals need to be aware of these
changes. Hypertensive crisis or emergency causes end-organ damage and warrants admission
for intensive monitoring, including continuous arterial blood pressure measurement, and
treatment. Stanford type A categories of aortic dissection requires emergent surgery, whereas
type B is generally managed medically unless end-organ damage can be demonstrated. Acute
lung edema should be treated by improving oxygen delivery to end organs, decreasing
oxygen consumption of myocardial, and decreasing preload and afterload safely.

Keywords: cardio-pulmonary arrest – hypertensive emergency – aortic dissection – acute


lung edema.

Pendahuluan
Emergensi (kegawat-daruratan) kardiovaskular adalah gangguan yang mengancam
jiwa yang harus segera dikenali untuk menghindari keterlambatan dalam pengobatan dan
untuk meminimalkan morbiditas dan mortalitas. Pasien mungkin mengalami hipertensi berat,
nyeri dada, disritmia, atau henti kardiopulmoner. Dalam bab ini, kami meninjau pendekatan
klinisi terhadap gangguan dan pengobatan mereka.

Henti kardiopulmoner

Etiologi
Henti kardiopulmoner (henti jantung) adalah hilangnya aliran darah pulsatil yang tiba-
tiba dan tak terduga akibat berhentinya aktivitas mekanis jantung. Ini terjadi sebagai akibat
dari banyak penyakit kardiovaskular, metabolik, infeksi, neurologis, radang, dan trauma.
Penyakit ini umumnya dapat dikelompokkan menjadi 5 H dan 5 T (Hipovolemia,
Hipoksemia, ion hidrogen (asidosis), hipo atau hiperkalemia, hipotermia, tension
pneumotoraks, tamponade, toksin, dan trombosis baik paru maupun jantung). Akhir dari
kelainan tersebut umumnya adalah pulseless ventricular tachycardia (VT tanpa nadi) atau
ventricular fibrillation (VF), pulseless electrical activity, atau asistol.

Prevalensi
Insiden henti jantung di luar dan di dalam rumah sakit yang didapatkan oleh layanan
darurat medis (EMS) di Amerika Serikat pada tahun 2013 diperkirakan masing-masing
424.000 dan 209.000. Diantara sindrom koroner akut di luar rumah sakit yang bisa teratasi,
23% memiliki irama awal VF atau VT atau dapat dikejut oleh defibrilator eksternal otomatis.
Kualitas awal resusitasi kardiopulmonar (CPR) dan defibrilasi segera, telah terbukti di
banyak penelitian berbasis masyarakat. (1,2) Selain itu, peningkatan penggunaan defibrillator
eksternal otomatis oleh EMS di tempat-tempat bisnis dan bandara untuk pasien dengan VT
atau VF telah terbukti memperbaiki survival. (3,4) Tanpa defibrilasi, mortalitas dari VT, VF,
atau keduanya meningkat sekitar 10% per menit. (5,6)

Diagnosis dan terapi


The American Heart Association dan European Society of Cardiology telah
menerbitkan pedoman resusitasi yang direvisi pada tahun 2010, (7,8,9) yang mencakup
beberapa perubahan penting dari pedoman tahun 2005. Pedoman baru tersebut masih
mencakup langkah-langkah utama di bawah ini:
1. Aktifkan segera EMS atau tim kode yang ditunjuk.
2. Lakukan basic life support (CPR).
3. Evaluasi irama jantung dan lakukan defibrilasi awal jika diindikasikan.
4. Lakukan advanced cardiac life support (ACLS), seperti intubasi, akses intravena (IV),
dan dipindahkan ke unit perawatan intensif.
Perubahan yang baru adalah sebagai berikut:
1. Mengubah rangkaian Airway (A) - Breathing (B) - Circulation (C) ke C-A-B. Perubahan
ini dilakukan untuk menekankan pentingnya inisiasi kompresi dada dengan cepat, karena
dalam pedoman lama waktu yang berpotensi signifikan menyita adalah evaluasi jalan
napas. Evaluasi jalan nafas dan inisiasi pernapasan dari mulut ke mulut mungkin
merupakan proses yang kompleks dan memakan waktu bagi orang awam, dan akan
menunda kompresi pada dada. Ungkapan "Look, listen and feel" juga telah dihapus dari
algoritma untuk mencegah penundaan waktu.
2. Lebih menekankan pada kualitas CPR yang dilakukan, termasuk kecepatan dan
kedalaman kompresi, memungkinkan recoil dada lengkap, dan meminimalkan interupsi
dalam kompresi. Kurang penekanan pada pemeriksaan denyut nadi.
3. Menyoroti pentingnya tim tenaga kesehatan profesional yang melakukan banyak tugas
selama CPR, seperti membebaskan jalan napas atau memberikan obat-obatan untuk
ACLS.

VT tanpa nadi atau VF


1. Mulai kompresi dada sejak henti kardiopulmoner diidentifikasi. Pasang perangkat saluran
napas sesegera mungkin untuk oksigenasi dan ventilasi. Siapkan akses IV, identifikasi
irama, dan berikan obat yang sesuai untuk irama dan kondisinya. Cari dan obati penyebab
reversibel yang teridentifikasi (5 H dan 5 T), dengan fokus pada CPR dasar dan
defibrilasi awal.
2. Pada saat kedatangan seorang dengan sindrom koroner akut yang tidak disaksikan atau
downtime lebih lama dari 4 menit, lakukan lima siklus (~ 2 menit) CPR (setiap siklus
adalah 30 kompresi pada kecepatan ~ 100 kompresi per menit) harus dimulai sebelum
evaluasi irama. Jika sindrom koroner akut disaksikan atau downtime lebih pendek dari 4
menit, satu kejutan dapat diberikan segera jika pasien berada VF atau VT tanpa nadi
diikuti oleh lima siklus CPR.
3. Jika pasien VF atau VT tanpa nadi, kejut pasien sekali menggunakan 200 J pada bifasik
(atau ekivalen monofasik, 360 J).
4. Lanjutkan CPR segera setelah dilakukan defibrilasi, dimulai dengan kompresi dada. Tim
penyelamat tidak boleh mengganggu kompresi dada untuk memeriksa sirkulasi
(misalnya, mengevaluasi irama atau denyut nadi) sampai lima siklus atau 2 menit CPR
selesai.
5. Jika ada VT atau VF yang persisten atau berulang meskipun sudah beberapa kejutan dan
siklus CPR, lakukan survei ABC sekunder dengan fokus pada penilaian lanjutan dan
terapi farmakologis. Terapi farmakologis harus mencakup epinefrin (1 mg IV, diulang
setiap 3-5 menit) atau vasopressin (dosis tunggal 40 U IV, satu kali saja).
6. Pertimbangkan untuk menggunakan antiaritmia seperti amiodarone, lidocaine,
magnesium, dan procainamide untuk VT tanpa nadi atau VF persisten atau rekuren.
7. Lanjutkan CPR dan usaha defibrilasi
8. Jika sirkulasi spontan kembali, mulailah segera perawatan pasca henti jantung. Termasuk
optimalisasi oksigenasi dan ventilasi dengan penekanan pada menghindari hiperventilasi,
mengobati hipotensi dengan memulai infus vasopressor atau memasukkan pompa balon
intra-aorta, menilai status neurologis dan mulai menginduksi hipotermia jika ada indikasi
dan menilai kebutuhan reperfusi koroner jika kecurigaan tinggi terhadap sindrom koroner
akut.

Pulseless electrical activity atau asistol


1. Kaji pasien dan mulailah kompresi dada segera.
2. Berikan epinefrin (1 mg IV terus diulang setiap 3-5 menit). Pertimbangkan pacu jantung
transkutan jika asistol.
3. Lakukan survei ABC sekunder dan pertimbangkan penyebab reversibel (5 H dan 5 T).
4. Lanjutkan perawatan segera pasca henti jantung jika didapatkan kembalinya sirkulasi
spontan.

Bradikardia
1. Denyut jantung biasanya <50 denyut per menit.
2. Identifikasi dan obati penyebabnya jika pasien stabil (5 H dan 5 T).
3. Periksa tanda-tanda curah jantung yang rendah karena bradikardia seperti hipotensi,
perubahan status mental, atau gagal jantung akut.
4. Jika tanda atau gejala serius ada, mulailah urutan intervensi berikut ini:
a. Atropin, 0,5 mg, sampai total 3 mg IV
b. Pacu jantung transkutan, jika tersedia
c. Dopamin, 5 sampai 20 μg / kg / menit
d. Epinefrin, 2 sampai 10 μ / menit
e. Isoproterenol, 2 sampai 10 μ / menit
f. Pertimbangkan glukagon untuk toksisitas beta-bloker, infus kalsium untuk
toksisitas pintu kalsium bloker.
5. Jika tidak ada tanda atau gejala serius, evaluasi untuk blok atrioventrikular tingkat II tipe
II atau blok atrioventrikular derajat tiga.
6. Jika tidak satu pun jenis blok jantung ini ada, amati.
7. Jika salah satu jenis blok jantung ini ada, bersiaplah untuk pacu jantung transvenous.
8. Lanjutkan perawatan segera pasca henti jantung jika dapat kembali ke sirkulasi spontan.

Hipertensi emergensi

Definisi
Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah berat dan akut disertai
dengan end-organ compromise. Biasanya dikaitkan dengan tekanan darah sistolik (SBP)
≥180 mmHg dan / atau tekanan darah diastolik (DBP) ≥120 mmHg. (10,11) End-organ
compromise meliputi gagal ginjal akut akibat nefrosklerosis, keterlibatan mata dengan
eksudat retina, perdarahan, atau papiledema, ensefalopati hipertensi, stroke akut atau
perdarahan intrakranial, infark miokard akut, diseksi aorta, dan eklampsia. Ensefalopati
hipertensif menandakan adanya edema serebral dan hilangnya integritas vaskular. Jika tidak
diobati, ensefalopati hipertensi dapat berlanjut ke kejang dan koma. (12,13) Diseksi aorta
dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah sistemik dan tekanan dinding yang berat, yang
memerlukan segera penurunan tekanan darah dan operasi segera pada tipe A untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas. Eklampsia merupakan penyebab kematian maternal
paling umum kedua yang terjadi mulai trimester kedua hingga periode peripartum. Hal ini
ditandai dengan adanya kejang, koma, atau keduanya dalam setting preeklamsia. Disini,
persalinan tetap satu-satunya obatnya. (14)
Etiologi
Hipertensi emergensi disebabkan oleh eksaserbasi hipertensi yang sebelumnya tanpa
komplikasi atau memiliki penyebab sekunder, termasuk ginjal, vaskular, terkait kehamilan,
farmakologis, endokrin, neurologis, dan autoimun.
Prevalensi
Prevalensi hipertensi meningkat secara substansial seiring bertambahnya usia dan
lebih besar di antara orang kulit hitam daripada orang kulit putih di setiap kelompok usia.
(15,16) Berdasarkan the third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES
III), prevalensi hipertensi pada mereka yang berusia lebih dari 70 tahun ditemukan sekitar
55% sampai 60% dari populasi. (17,18) Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa
kurang dari 1% pasien dengan hipertensi primer mengalami krisis hipertensi. (19) Penelitian
ini juga menunjukkan bahwa walaupun terapi berkembang luas, jumlah pasien yang
mengalami krisis hipertensi tidak menurun antara tahun 1970 dan 1993.

Patofisiologi
Setiap sindrom yang menghasilkan peningkatan tekanan darah akut dapat
menyebabkan krisis hipertensi. Autoregulasi vasomotor serebral adalah aspek kunci dari
presentasi simtomatik pasien. Pasien tanpa hipertensi kronis umumnya mengalami krisis
hipertensi pada tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan dengan hipertensi kronis.
Meskipun prosesnya tidak sepenuhnya dipahami, peningkatan resistensi vaskular awal yang
dimediasi oleh vasokonstriktor seperti angiotensin II, asetilkolin, atau norepinephrine
bertanggung jawab atas peningkatan tekanan darah akut. Kaskade ini melebihi respon
vasodilator endothelium, yang dimediasi terutama oleh oksida nitrat. Kerusakan mekanis
endotelium oleh shear stress menyebabkan vasokonstriksi lebih lanjut, agregasi trombosit,
pembengkakan, dan peningkatan tekanan darah selanjutnya.
Pemahaman tentang autoregulasi adalah kunci pengelolaan krisis hipertensi yang
aman. Pada pasien dengan hipertensi kronis, vascular bed mengatur secara otomatis pada
rentang tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang baru didiagnosis
hipertensi. Oleh karena itu, tekanan darah tidak boleh diturunkan secara agresif pada orang
dengan hipertensi kronis, sebagai contoh penurunan SBP 130 mmHg misalnya, dapat
menyebabkan hipoperfusi end organ.
Evaluasi klinis
Gejala dan tanda-tanda hipertensi emergensi sangat bervariasi. Gejala keterlibatan
end-organ termasuk sakit kepala, penglihatan kabur, kebingungan, nyeri dada, sesak napas,
nyeri punggung (misalnya diseksi aorta), kejang, dan kesadaran yang berubah. (10,11)
Pemeriksaan fisik harus menilai keterlibatan end organ, termasuk pemeriksaan fundoskopik,
neurologis, dan kardiovaskular, dengan penekanan pada adanya gagal jantung kongestif dan
pengukuran tekanan darah ekstremitas atas bilateral. Evaluasi laboratorium harus mencakup
pemeriksaan darah lengkap dengan diferensial telling dan apus darah, elektrolit, nitrogen urea
darah, kadar kreatinin, elektrokardiografi, ronsen dada, dan urinalisis.

Pengobatan
Tidak ada uji klinis acak besar yang menilai terapi pada hipertensi emergensi.
Intervensi terapeutik sebagian besar merupakan hasil pendapat ahli. Semua pasien dengan
keterlibatan end organ harus dirawat untuk pemantauan intensif. (11)

Terapi farmakologis
Terapi vasodilator IV untuk mencapai penurunan tekanan arteri rata-rata 20% sampai
25% atau penurunan DBP menjadi 100 sampai 110 mmHg dalam 24 jam pertama dianjurkan.
Berkurangnya MAP dan DBP lebih lanjut harus dilakukan lebih lambat, selama beberapa
hari, karena risiko penurunan perfusi end organ. (16) Beberapa obat telah terbukti bermanfaat
dalam mencapai tujuan ini (Table 1.).

Tabel 1: Terapi Vasodilator Intravena untuk Krisis Hipertensi

Drug Dosis Waktu Paruh


Sodium nitroprusside 2.5-10 µg/kg/min 1-2 min
Nitroglycerin 5-200 µg/min 3-5 min
Nicardipine 5-15 mg/h 1-4 hr
Labetalol 20- to 80-mg bolus, 2 mg/min drip 2-6 hr
Enalaprilat* 1.25- to 5-mg bolus 4-6 hr

Pertimbangan tambahan
Selain mengurangi MAP dan DBP dengan pengobatan seperti dijelaskan di atas,
intervensi bedah dini untuk pembedahan tipe A telah terbukti mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Penurunan shear stress paling baik dicapai dengan beta-bloker IV dan sodium
nitroprusside. (20,21)
Terapi bolus hydralazine IV kadang-kadang digunakan di beberapa institusi untuk
mengobati hipertensi emergensi. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakannya, dan
harus sangat hati-hati karena farmakodinamik yang tidak dapat diprediksi dan tekanan
penurunan tekanan darah yang tidak diharapkan dari hidralazine IV. Hal ini dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah yang banyak dan mendadak yang dapat
menyebabkan stroke dan kerusakan end organ lainnya.
IV magnesium (sering digunakan sebagai tokolitik selama persalinan prematur),
hydralazine (obat kategori kehamilan B yang harus digunakan dengan hati-hati seperti yang
dijelaskan di atas), dan labetalol (kategori B) memiliki nilai dalam pengobatan preeklampsia
dan pencegahan eklampsia. (19) Penghambat ACE (kategori D) umumnya dihindari selama
kehamilan karena penggunaannya dikaitkan dengan peningkatan risiko malformasi
kongenital janin.
Terapi antihipertensi dalam konteks stroke iskemik dapat menjadi kontroversial dalam
kasus ketika recombinant tissue plasminogen activator (r-TPA) tidak digunakan. (22) Untuk
kasus seperti itu, obat antihipertensi umumnya tidak digunakan selama 24 jam pertama
selama SBP tidak melebihi 220 mmHg dan DBP tidak melebihi 120 mmHg. Hal ini karena
pemeliharaan tekanan perfusi serebral yang cukup tinggi secara teoritis dapat memberikan
manfaat neurologis. Di sisi lain, untuk pasien yang diobati dengan r-TPA tekanan darah harus
dikendalikan (SBP ≤185 mmHg dan DBP ≤105 mmHg) untuk mengurangi risiko konversi
hemoragik. (22).

Diseksi aorta

Definisi
Diseksi aorta adalah robeknya tunika intima aorta yang memungkinkan shear forces
dari aliran darah merobek tunika intima dari media dan dalam beberapa kasus, menembus
tunika media yang berpenyakitan dengan resultan ruptur dan perdarahan (Gambar 1). (23)
Enam puluh lima persen diseksi berasal dari aorta asenden, 20% aorta desenden, 10% arkus
aorta, dan sisanya aorta abdomen. (24,25)

Gambar 1. Tipe diseksi


Sementara beberapa sistem klasifikasi diseksi aorta yang lebih tua (seperti Stanford
dan DeBakey) masih digunakan, nampaknya anakronistik di era saat ini pencitraan sangat
maju yang dapat menggambarkan diseksi aorta secara anatomis dari lokasi flap intimal,
tingkat keterlibatan vaskular dan organ yang dipasok oleh true lumen dan/ atau false lumen.
Pendekatan ini secara lebih spesifik mengidentifikasi pembuluh dan organ utama yang
terlibat, yang memungkinkan antisipasi komplikasi dan pengambilan keputusan yang lebih
baik. Sistem klasifikasi lama yang paling umum digunakan adalah sistem Stanford. Diseksi
yang melibatkan aorta asenden diklasifikasikan sebagai tipe A, dan yang tidak yang hanya
melibatkan aorta distal ke arteri subklavia kiri diklasifikasikan sebagai tipe B (Gambar 2).
Diseksi selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kronisitas sebagai akut (<2 minggu) atau
kronis (>2 minggu). Kematian mencapai 80% setelah 2 minggu, dan kemudian akan
menurun. (24)

Gambar 2. Klasifikasi Diseksi Aorta (Stanford)

Etiologi
Setiap penyakit yang melemahkan tunika media aorta akan menyebabkan diseksi. Ini
termasuk penuaan, hipertensi, sindrom Marfan, sindrom Ehlers-Danlos, sindrom Loeys-
Dietz, katup aorta bikuspid (terkait dengan degenerasi medial), koarktasio, dan sindrom
Turner. Kehamilan menimbulkan risiko unik bagi wanita dengan penyakit ini karena
peningkatan volume darah, curah jantung, dan shear forces pada aorta. Pada wanita di bawah
40 tahun, 50% diseksi terjadi pada periode peripartum. (26) Trauma iatrogenik dari kateter
atau pompa balon intra-aorta dapat meenginisiasi diseksi antara tunika intima dan media
aorta. (27) Diseksi aorta juga jarang dikaitkan dengan trauma tumpul atau acceleration-
deceleration injury seperti yang bisa terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor.
Presentasi klinis
Sebagian besar pasien datang dengan nyeri dada akut yang memuncak intensitasnya
saat onset, dan sering digambarkan sendiri seperti dirobek atau dikoyak sifatnya. Biasanya,
pasien yang datang dengan gagal jantung kongestif dikarenakan adanya insufisiensi katup
aorta akut, tamponade, atau keduanya. Juga bisa datang dengan stroke akibat keterlibatan
sistem arteri karotid atau vertebrobasilar, sinkop dari tamponade, atau serangan jantung.
(28,29) Pada pemeriksaan fisik, biasanya dijumpai adanya hipertensi, baik sebagai penyebab
utama diseksi atau sekunder akibat keterlibatan arteri ginjal. Insufisiensi katup aorta akut
dengan resultan murmur diastolik dapat merupakan komplikasi diseksi aorta asenden.
Kehilangan denyut nadi, penurunan tekanan darah, atau keduanya (sering asimetris) juga
ditemukan pada banyak pasien. (28) Diseksi ke arah arteri tulang belakang, meski jarang
terjadi, dapat menyebabkan paraplegia sekunder.
Ronsen dada dapat menunjukkan kelainan pada sekitar 70% sampai 80% pasien, seperti
mediastinum yang melebar atau hilangnya demarkasi aortic knob, efusi pleura, atau edema
paru. (28) Yang penting, ronsen dada yang normal tidak mengesampingkan adanya diseksi
aorta. Elektrokardiogram (EKG) dapat menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri, depresi
ST, inversi gelombang T, atau elevasi ST bila arteri koroner terlibat. Ostium koroner kanan
terlibat sekitar 1% sampai 2% kasus diseksi aorta, yang menyebabkan infark miokard
inferior.
Diagnosis
Penting untuk mengenali beberapa tanda kunci dalam pencitraan diseksi aorta, karena
secara dramatis mempengaruhi pengobatan dan hasil:
1. Keterlibatan aorta asenden
2. Lokasi flap diseksi, robekan intima, dan keterlibatan pembuluh utama
3. Adanya efusi perikardial atau tamponade jantung
4. Keterlibatan ostia koroner
Sensitivitas computed tomography angiography (CTA) untuk mendeteksi diseksi aorta
adalah sekitar 83% sampai 100%, dan spesifisitas yang berkisar dari 87% sampai 100%.
(30,31) Pada saat ini ECG-gated CTA mempunyai sensitivitas dan spesifisitas untuk
mendeteksi pembedahan mendekati 100%, dan dengan demikian merupakan modalitas
pencitraan diagnostik pilihan. Ekokardiografi transesofagus memiliki sensitivitas sekitar
98%. Namun, spesifisitasnya yang lebih rendah 77% sampai 97%, mencerminkan perbedaan
pengalaman operator. (25,31) Magnetic resonance imaging (MRI) memiliki sensitivitas dan
spesifisitas sekitar 98% untuk deteksi diseksi namun portabilitasnya kurang, akses terbatas,
dan durasi yang lama. Membuat pencitraan ini pilihan yang kurang menguntungkan dalam
perawatan diseksi aorta akut. (32) Pilihan pemeriksaan harus didasarkan pada keahlian pusat
medis, stabilitas hemodinamik pasien, dan akses terhadap modalitas pencitraan. (30,32)
Pengobatan
Operasi
Terapi bedah adalah pilihan terbaik untuk diseksi aorta akut yang melibatkan aorta
asenden. Studi telah menunjukkan bahwa menunda intervensi bedah, bahkan untuk
melakukan kateterisasi jantung kiri, aortografi, atau keduanya, menghasilkan hasil yang lebih
buruk. (30,40) Kematian meningkat sebesar 1% per jam selama menunggu operasi. Perbaikan
bedah pada pasien dengan diseksi tipe B umumnya diperuntukkan bagi orang dengan end-
organ compromise atau mereka yang tidak respon terhadap erapi medis.
Terapi medis
Terapi medis harus dimulai pada semua pasien dengan diseksi akut. Penurunan shear
forces dan tekanan darah harus menjadi tujuan utama. Beta-bloker harus diberikan secara
intravena dan dititrasi sampai dengan efek yang diinginkan. Biasanya dimulai dengan bolus
metoprolol IV untuk mencapai denyut jantung 50 sampai 60 denyut/menit, mungkin
memerlukan dosis sangat tinggi 200 sampai 1000 mg, kemudian ditambahkan sodium
nitroprusside jika diperlukan karena onsetnya yang cepat dan kemudahan dititrasi untuk
mempertahankan MAP 65-75 mmHg.
Pada pasien hipotensi, tamponade, ruptur aorta, insufisiensi aorta, infark miokard,
atau kombinasi dari ini harus dicurigai dan diuji. Penggantian volume dan intervensi bedah
dini harus dilakukan. Perikardiosentesis harus dihindari jika ada tamponade, karena
intervensi bedah segera adalah terapi pilihan. Jika hipotensi terus berlanjut, norepinephrine
dan phenylephrine adalah vasopressor pilihan karena efeknya terbatas pada peningkatan
kontraktilitas jantung. Stenting endovaskular yang merupakan bidang yang tumbuh dengan
cepat, dan masih diteliti pada setting akut ini dan kadang-kadang digunakan pada pasien yang
berisiko tinggi dengan pembedahan seperti diseksi aorta tipe B atau aneurisma.

Edema paru akut

Definisi
Edema paru akut adalah keadaan darurat yang mengharuskan masuk ke rumah sakit.
Edema paru akut memiliki dua bentuk utama kardiogenik dan nonkardiogenik. Edema paru
kardiogenik umumnya lebih reversibel daripada bentuk nonkardiogenik.
Edema paru kardiogenik diakibatkan oleh peningkatan absolut tekanan atrium kiri,
dengan peningkatan tekanan kapiler dan vena pulmoner. Dalam pengaturan permeabilitas
kapiler normal, peningkatan tekanan ini menyebabkan ekstravasasi cairan ke dalam alveoli
dan mengganggu kemampuan limfatik paru untuk mengalirkan cairan, sehingga mengganggu
pertukaran gas di paru-paru. (35,36)

Etiologi dan patofisiologi


Disfungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri, dan penyumbatan saluran keluar atrium
kiri merupakan penyebab utama peningkatan tekanan atrium kiri. Disfungsi sistolik ventrikel
kiri adalah penyebab edema paru kardiogenik yang paling umum. (35) Disfungsi ini dapat
terjadi akibat penyakit arteri koroner, hipertensi, penyakit jantung katup, kardiomiopati,
toksin, endokrinologis atau metabolik, atau infeksi.
Disfungsi diastolik mengakibatkan gangguan pengisian ventrikel kiri dan peningkatan
tekanan diastolik ventrikel kiri. Selain iskemia miokard, hipertrofi ventrikel kiri,
kardiomiopati obstruktif hipertrofik, dan kardiomiopati infiltratif atau restriktif adalah
penyebab disfungsi diastolik.
Obstruksi aliran keluar atrium kiri seringkali merupakan hasil valvulopati, seperti
stenosis mitral atau regurgitasi mitral, tetapi juga dapat disebabkan oleh tumor (miksoma
atrium), katup prostetik disfungsional, trombus, dan cor triatriatum. Sangat penting untuk
membedakan antara regurgitasi dan stenosis mitral karena perlakuan yang sangat berbeda.
Diagnosis
Edema paru didiagnosis dengan adanya berbagai tanda dan gejala, termasuk takipnea,
takikardia, ronki (yang mencerminkan edema alveolar), hipoksia (sekunder akibat edema
alveolar), dan suara jantung S3 atau S4 secara sendiri atau kombinasi. Selain itu jika ada
hipertensi, mungkin ini merupakan disfungsi diastolik, penurunan compliance ventrikel kiri,
penurunan curah jantung, dan peningkatan ketahanan vaskular sistemik. Adanya peningkatan
tekanan vena jugularis mengindikasikan peningkatan tekanan pengisian ventrikel kanan
sekunder akibat disfungsi ventrikel kanan atau kiri. Akhirnya, adanya edema perifer
mengindikasikan tingkat kronisitas tertentu terhadap kondisi pasien.
Data laboratorium yang terkait dengan edema paru meliputi hipoksemia pada sampel
darah arteri dan ronsen dada yang menunjukkan edema perihilar bilateral dan tanda sefalisasi
vaskular pulmonal. Kardiomegali, efusi pleura, atau keduanya mungkin ada. Ekokardiografi
trans-torakal dua dimensi biasanya membantu dalam setting akut untuk menilai ukuran dan
fungsi biventrikular, untuk mengidentifikasi stenosis valvular atau regurgitasi, dan untuk
menentukan ada tidaknya kelainan perikardial. EKG mungkin mencerminkan iskemia yang
sedang berlangsung, injuri, takikardia, dan hipertrofi atrium atau ventrikel. Dalam banyak
kasus, membedakan edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik dapat menjadi tantangan
dan memerlukan insersi kateter arteri paru untuk mengukur tekanan baji kapiler pulmonal.

Pengobatan
Prinsipnya terapi segera yang mencakup perbaikan aliran oksigen ke end organ,
mengurangi konsumsi oksigen miokard, meningkatkan kapasitansi vena, mengurangi preload
dan afterload (dengan memperhatikan MAP), dan menghindari compromise hemodinamik.
Semua pasien harus menerima oksigen tambahan untuk memaksimalkan saturasi oksigen
hemoglobin. Pemberian tekanan saluran nafas positif terus-menerus dapat meningkatkan
pertukaran gas, dan mungkin dapat menurunkan preload melalui tekanan intratoraksik yang
meningkat. (37,38) Namun, bila upaya berulang untuk memperbaiki oksigenasi dengan
ventilasi tekanan positif noninvasif tidak memadai, pemulihan oksigenasi dapat dicapai
melalui intubasi endotrakeal segera dan inisiasi ventilasi mekanis.

Terapi farmakologis
Obat-obatan yang paling umum digunakan dalam pengobatan edema paru akut adalah
nitrogliserin dan diuretik. Nitrogliserin segera bekerja untuk mengurangi preload dan
afterload. (39) Obat ini sebaiknya digunakan untuk pengelolaan pasien dengan edema paru
yang tidak hipotensi. Pemberian sublingual memungkinkan bekerja cepat, yang sering
diperlukan untuk mengurangi preload. Pemberian nitrogliserin IV juga harus digunakan pada
pasien yang tidak hipotensi dan berdasarkan simtom, dititrasi ke MAP sekitar 70 sampai 75
mmHg. Sodium nitroprusid adalah vasodilator efektif yang sering diperlukan untuk
pengobatan pasien hipertensi dengan edema paru. (40) Karena efek sodium nitroprusid yang
cepat dan manjur, penggunaannya memerlukan pemantauan tekanan darah arteri secara terus-
menerus. Masalah toksisitas methemoglobinemia, sianida, dan tiosianat walaupun jarang
menjadi signifikan, namun karena pasien yang menerima infus kontinyu sering menyebabkan
takifilaksis karena resistansi progresif terhadap efek obat, sehingga perlu sering dilakukan
pemeriksaan darah. Sodium nitroprusid harus digunakan dengan hati-hati kalau ada disfungsi
hati, karena hati penting dalam mentransformasi radikal sianida menjadi tiosianat. Pasien
dengan disfungsi ginjal akan cenderung terjadi penumpukan tiosianat lebih cepat disbanding
normal, karena tiosianat diekskresikan dalam urin. Akhirnya, melalui pengaruhnya terhadap
resistensi pembuluh koroner, sodium nitroprusid berpotensi menyebabkan koroner coronary
steal, menarik aliran darah menjauh dari miokardium yang sedang iskemik. Umumnya
nitrogliserin diberikan bersama dengan sodium nitroprusid untuk melebarkan pembuluh
konduktan dan mengurangi risiko ini.
Diuretik IV sangat membantu untuk mengatasi kelebihan volume pada gagal jantung
kongestif kronis. Sifat vasodilatif dan diuretiknya juga berguna dalam pengelolaan edema
paru. Diuretik harus digunakan dengan hati-hati pada pasien euvolemik untuk menghindari
compromise curah jantung dan pengiriman oksigen.mMorfin IV dapat digunakan pada
beberapa pasien tertentu untuk mengurangi air hunger, kecemasan, dan tonus simpatik, yang
pada gilirannya dapat membantu mengurangi afterload.

Simpulan
Di antara kasus-kasus emergensi di bidang kardiovaskular yang sering ditemukan
dalam praktek sehari-hari adalah henti jantung paru mendadak yang sering disebabkan oleh 5
H dan 5 T, hipertensi emergensi, diseksi aorta, dan edema paru akut. Kesemuanya itu
merupakan kasus emergensi yang harus ditangani dengan segera karena bisa mengancam
jiwa dan menimbulkan kecacatan. Update terhadap sikap, pengetahuan dan skil bagi para
profesional di bidang kesehatan sangat diperlukan untuk menurunkan mortalitas dan
morbiditasnya.

Daftar Pustaka
1. Sedgwick ML, Watson J, Dalziel K, Carrington DJ, Cobbe SM. Efficacy of out of
hospital defibrillation by ambulance technicians using automated external defibrillators:
the Heartstart Scotland Project. Resuscitation 1992; 24:73–87.
2. Berg RA, Hilwig RW, Ewy GA, Kern KB. Precountershock cardiopulmonary
resuscitation improves initial response to defibrillation from prolonged ventricular
fibrillation: a randomized, controlled swine study. Crit Care Med 2004; 32:1352–1357.
3. Eisenberg MS. Is it time for over-the-counter defibrillators? JAMA 2000; 284:1435–
1438.
4. Hanefeld C, Lichte C, Mentges-Schröter I, Sirtl C, Mügge A. Hospital-wide first-
responder automated external defibrillator programme: 1 year experience. Resuscitation
2005; 66:167–170.
5. Larsen MP, Eisenberg MS, Cummins RO, Hallstrom AP. Predicting survival from out-of-
hospital cardiac arrest: a graphic model. Ann Emerg Med 1993; 22:1652–1658.
6. Ko PC, Ma MH, Yen ZS, Shih CL, Chen WJ, Lin FY. Impact of community-wide
deployment of biphasic waveform automated external defibrillators on out-of-hospital
cardiac arrest in Taipei. Resuscitation 2004; 63:167–174.
7. Field JM, Hazinski MF, Sayre MR, et al. Part 1: executive summary: 2010 American
Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation 2010; 122(18 suppl 3):S640–S656.
8. Nolan JP, Soar J, Zideman DA, et al; on behalf of the ERC Guidelines Writing Group.
European Resuscitation Council Guidelines for resuscitation 2010 Section 1. Executive
summary. Resuscitation 2010; 81:1219–1276.
9. International Liaison Committee on Resuscitation. 2005 International consensus on
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science with treatment
recommendations. Circulation 2005; 112(suppl):III-1–III-136.
10. Kaplan NM. Management of hypertensive emergencies. Lancet 1994; 344:1335–1338.
11. Vaughan CJ, Delanty N. Hypertensive emergencies. Lancet 2000; 356:411–417.
12. Ledingham JG, Rajagopalan B. Cerebral complications in the treatment of accelerated
hypertension. Q J Med 1979; 48:25–41.
13. Tsou TP, Yen ZS, Fang CC, Chen SC, Chen WJ. Hypertensive encephalopathy. J Emerg
Med 2004; 27:85–86.
14. ACOG Committee on Practice Bulletins-Obstetrics. ACOG practice bulletin. Diagnosis
and management of preeclampsia and eclampsia. Obstet Gynecol 2002; 99:159–167.
15. Kaplan NM. Ethnic aspects of hypertension. Lancet 1994; 344:450–452.
16. Sheats N, Lin Y, Zhao W, Cheek DE, Lackland DT, Egan BM. Prevalence, treatment,
and control of hypertension among African Americans and Caucasians at primary care
sites for medically under-served patients. Ethn Dis 2005; 15:25–32.
17. Marwick C. NHANES III health data relevant for aging nation. JAMA 1997; 277:100–
102.
18. Hajjar I, Kotchen TA. Trends in prevalence, awareness, treatment, and control of
hypertension in the United States, 1988-2000. JAMA 2003; 290:199–206.
19. Lip GY, Beevers M, Beevers G. The failure of malignant hypertension to decline: a
survey of 24 years' experience in a multiracial population in England. J Hypertens 1994;
12:1297–1305.
20. Grajek S, Cieśliński A, Mitkowski P, et al. Results of long-term medical treatment of
patients with arterial hypertension complicated by aortic dissection. J Hum Hypertens
1995; 9:987–992.
21. Murphy C. Hypertensive emergencies. Emerg Med Clin North Am 1995; 13:973–1007.
22. Jauch EC, Saver JL, Adams HP Jr, et al. Guidelines for the early management of patients
with acute ischemic stroke: a guideline for healthcare professionals from the American
Heart Association/American Stroke Association [published online ahead of print January
31, 2013]. Stroke 2013; 44:870–947. doi:10.1161/STR.0b013e318284056a
23. Prêtre R, von Segesser LK. Aortic dissection. Lancet 1997; 349:1461–1464.
24. Li JZ, Eagle KA, Vaishnava P. Hypertensive and acute aortic syndromes [published
online ahead of print September 20, 2013]. Cardiol Clin 2013; 31:493–501.
doi:10.1016/j.ccl.2013.07.011
25. Cigarroa JE, Isselbacher EM, DeSanctis RW, Eagle KA. Diagnostic imaging in the
evaluation of suspected aortic dissection: old standards and new directions. N Engl J Med
1993; 328:35–43.
26. Scott C, Burruss N, Kalimi R, Manetta F, Palazzo RS, Graver LM. Acute ascending
aortic dissection during pregnancy. Am J Crit Care 2001; 10:430–433.
27. Januzzi JL, Sabatine MS, Eagle KA, et al; for the International Registry of Aortic
Dissection Investigators. Iatrogenic aortic dissection. Am J Cardiol 2002; 89:623–626.
28. Hagan PG, Nienaber CA, Isselbacher EM, et al. The International Registry of Acute
Aortic Dissection (IRAD): new insights into an old disease. JAMA 2000; 283:897–903.
29. Januzzi JL, Isselbacher EM, Fattori R, et al. Characterizing the young patient with aortic
dissection: results from the International Registry of Aortic Dissection (IRAD). J Am
Coll Cardiol 2004 ;43:665–669.
30. Nienaber CA, von Kodolitsch Y, Nicolas V, et al. The diagnosis of thoracic aortic
dissection by noninvasive imaging procedures. N Engl J Med 1993; 328:1–9.
31. Shiga T, Wajima Z, Apfel CC, Inoue T, Ohe Y. Diagnostic accuracy of transesophageal
echocardiography, helical computed tomography, and magnetic resonance imaging for
suspected thoracic aortic dissection: systematic review and meta-analysis. Arch Intern
Med 2006; 166:1350–1356.
32. Roberts DA. Magnetic resonance imaging of thoracic aortic aneurysm and dissection.
Semin Roentgenol 2001 ;36:295–308.
33. Kouchoukos NT, Dougenis D. Surgery of the thoracic aorta. N Engl J Med 1997;
336:1876–1888.
34. Penn MS, Smedira N, Lytle B, Brener SJ. Does coronary angiography before emergency
aortic surgery affect in-hospital mortality? J Am Coll Cardiol 2000; 35:889–894.
35. Gropper MA, Wiener-Kronish JP, Hashimoto S. Acute cardiogenic pulmonary edema.
Clin Chest Med 1994; 15:501–515.
36. Szidon JP. Pathophysiology of the congested lung. Cardiol Clin 1989; 7:39–48.
37. Bersten AD, Holt AW, Vedig AE, Skowronski GA, Baggoley CJ. Treatment of severe
cardiogenic pulmonary edema with continuous positive airway pressure delivered by face
mask. N Engl J Med 1991; 325:1825–1830.
38. Winck JC, Azevedo LF, Costa-Pereira A, Antonelli M, Wyatt JC. Efficacy and safety of
non-invasive ventilation in the treatment of acute cardiogenic pulmonary edema—a
systematic review and meta-analysis. Crit Care 2006; 10:R69.
39. Johnson MR. Acute pulmonary edema. Curr Treat Options Cardiovasc Med 1999; 1:269–
276.
40. Palmer RF, Lasseter KC. Drug therapy: sodium nitroprusside. N Engl J Med 1975;
292:294–297.

You might also like