You are on page 1of 13

TINJAUAN TEORI PERDARAHAN POSTPARTUM

A. DEFINISI

Postpartum adalah masa sesudah persalinan dapat juga disebut masa


nifas (puerperium) yaitu masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk
pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. Postpartum
adalah masa 6 minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ reproduksi
sampai kembali ke keadaan normal sebelum hamil (Bobak, 2010).
Perdarahan adalah hilangnya volume darah dari pembuluh kapiler baik
mengucur maupun merembes dalam waktu yang cepat (Bobak, 2010).
Perdarahan postpartum adalah perdarahan atau hilangnya darah 500 cc
atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi
sebelum, selama, atau sesudah lahirnya plasenta (Saifuddin, 2008).
Definisi lain menyebutkan perdarahan postpartum adalah perdarahan
500 cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta lahir (Morgan, 2009).
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian (Stright, 2004):

a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang


terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir
b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang
terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir.

B. ETIOLOGI
Penyebab umum perdarahan postpartum adalah (Manuaba, 2007):
1. Atonia uteri (keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka
dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir)
Faktor presdisposisi terjadinya antonia uteri adalah:
1) Persalinan yang terlalu cepat (partus precipitatus).
Kontrak uterus yang terlalu kuat dan terus menerus selama kala
I dan kala II persalinan (kontraksi yang hiperernik), maka otot-
otot uterus akan kekurangan kemampuannya untuk beretraksi
setelah bayi lahir.
2) Umur telalu muda atau terlalu tua (kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun)
3) Paritas sering terjadi atau dijumpai pada multipara
4) Partus lama, dapat menyebabkan terjadinya inersia uteri karena
kelelahan pada otot- otot uterus.
5) Uterus terlalu tegang dan besar misalnya pada (gemeli,
hidramnion, atau janin besar). Pada kondisi ini miometrium
teregang dengan hebat sehingga kontraksinya setelah kelahiran
bayi menjadi tidak efisien.
6) Riwayat perdarahan postpartum atau retensi plasenta pada
persalinan terdahulu. pada kondisi ini akan timbul resiko
terjadinya hal yang sama pada persalinan yang sekarang.
7) Stimulasi dengan oksitoksin atau protaklandin. Dapat
menyebabkan terjadinya inersia sekunder karena kelelahan
pada otot-otot uterus
8) Perut bekas seksio sesaria , miomektomi atau histerorafia.
Keadaan tersebut akan mengganggu kontraksi rahim
9) Anemia, wanita yang mengalami anemia dalam persalinan
dengan kadar hemoglobin 10g/dl,akan dengan cepat terganggu
kondisinya bila terjadi kehilangan darah meskipun hanya
sedikit. Anemia dihubungkan dengan kelemahan yang dapat
dianggap sebagai penyebab langsung atonia uteri. Sedangkan
penyebab anemia dalam kehamilan adalah:
a. Kurang gizi(malnutrisi).
b. Kurang zat besi.
c. Malabsorbsi.
d. Kehilangan darah yang banyak pada persalinan yang lalu,
dan haid.
2. Retensi plasenta (Tidak lahirnya plasenta dalam waktu 30 menit –
1 jam setelah bayi dilahirkan)
3. Terdapat sisa plasenta dan selaput ketuban yang menghalangi
kontraksi uterus sehingga masih ada pembuluh darah yang tetap
terbuka
4. Trauma jalan lahir
a. Episiotomi yang lebar
b. Lacerasi perineum, vagina, serviks, forniks dan rahim
c. Rupture uteri
5. Penyakit darah, kelainan pembekuan darah misalnya
afibrinogenemia /hipofibrinogenemia.

C. TANDA GEJALA

Tanda - tanda perdarahan post partum secara umum (Fransiska, 2012) :

a. Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan


menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam
keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-
lahan tapi terjadi terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan
menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh kedalam syok.
b. Pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil
c. Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan
tekanan darah (sistolik <90 mmHg) nadi (>100x / menit) dan napas
cepat, pucat (Hb <8%), extremitas dingin, sampai terjadi syok.

Gejala Klinis berdasarkan penyebab (Saifuddin, 2009):

1. Atonia Uteri
a. Gejala yang selalu ada : Uterus tidak berkontraksi dan lembek dan
perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan postpartum
primer).
b. Gejala yang kadang-kadang timbul : Syok (tekanan darah rendah,
denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan
lain-lain).
2. Robekan jalan lahir

a. Gejala yang selalu ada : perdarahan segera, darah segar mengalif


segera setelah bayi lahir, kontraksi uteru baik, plasenta baik.
b. Gejala yang kadang - kadang timbul : pucat, lemah, menggigil.

3. Retensio plasenta
a. Gejala yang selalu ada : plasenta belum lahir setelah 30 menit,
perdarahan segera, kontraksi uterus baik.
b. Gejala yang kadang - kadang timbul : tali pusat putus akibat traksi
berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan.
4. Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta)
a. Gejala yang selalu ada : plasenta atau sebagian selaput
(mengandung pembuluh darah) tidak lengkap dan perdarahan
segera
b. Gejala yang kadang - kadang timbul : Uterus berkontraksi baik
tetapi tinggi fundus tidak berkurang.

5. Inversio uterus
a. Gejala yang selalu ada : uterus tidak teraba, lumen vagina terisi
massa, tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir),
perdarahan segera, dan nyeri sedikit atau berat.
b. Gejala yang kadang-kadang timbul : Syok neurogenik dan pucat.

D. PATOFISIOLOGI
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk
meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus
menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah-
pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna sehingga
perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir seperti epiostomi
yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan
perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu;
misalnya afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak ada atau
kurangnya fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga
merupakan penyebab dari perdarahan postpartum. Perdarahan yang sulit
dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock hemoragik (Sright, 2004).

E. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada kasus perdarahan postpartum
yaitu, anatara lain (Manuaba, 2007):
a. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
b. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak
c. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: sisa plasenta atau
selaput ketuban, robekan rahim, plasenta suksenturiata
d. Inspekusi: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang
pecah.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu (Fransisca, 2012) :
a. Golongan darah : menentukan Rh
b. Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan peningkatan
jumlah sel darah putih (SDP)
c. Kultur uterus dan vagina: mengesampingkan infeksi pasca partum
d. Urinalisis : memastikan apakah terdapat kerusakan kandung kemih
e. Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk
split fibrin (FDP/FSP),penurunan kadar fibrinogen : masa tromboplastin
partial diaktivasi, masa tromboplastin partial (APT/PTT)
f. USG: menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan.
G. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan umum
1. Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal
2. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman
3. Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
4. Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila
dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
5. Atasi syok jika terjadi syok
6. Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan darah,
lakukan pijatan uterus, beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20
ml dalam 500 cc NS/RL dengan tetesan 40 tetes/menit ).
7. Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi kemungkinan
robekan jalan lahir
8. Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan darah.
9. Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk
10. Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska persalinan dan
lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (Saifuddin,
2008).

b. Penatalaksanaan khusus
a) Atonia uteri
1. Kenali dan tegakan kerja atonia uteri
2. Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian
uterotonika, lakukan pengurutan uterus
3. Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir
4. Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan :
5. Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui
dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah
telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan
berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat
kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehata rujukan.
6. Kompresi bimanual internal yaituv uterus ditekan diantara
telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam
vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam miometrium.
7. Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan
ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut genggam
tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak
lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna
vertebralis, penekanan yang tepat akan menghetikan atau
mengurangi, denyut arteri femoralis (Morgan, 2009).
b) Retensio plasenta dengan separasi parsial
1. Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan
tindakan yang akan diambil.
2. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila
ekspulsi tidak terjadi cobakan traksi terkontrol tali pusat.
3. Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan
tetesan 40/menit, bila perlu kombinasikan dengan misoprostol
400mg per rektal.
4. Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual
plasenta secara hati-hati dan halus.
5. Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
6. Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
7. Berikan antibiotik profilaksis (ampicilin 2 gr IV/oral +
metronidazole 1 g supp/oral) (Morgan, 2009)..

c) Plasenta inkaserata
1. Tentukan diagnosis kerja
2. Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi
serviks yang kuat, tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk
menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus
oksitosin 20 Untuk500 NS atau RL untuk mengantisipasi
gangguan kontraksi uterus yang mungkin timbul.
3. Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup
untuk melahirkan plasenta.
4. Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta
tampak jelas.
5. Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan
lepaskan spekulum
6. Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta
tampak jelas.
7. Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi
berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten
untuk memegang klem tersebut.
8. Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral
9. Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah
jarum jam tarik plasenta keluar perlahan-lahan.

d) Ruptur uteri
1. Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20
menit dan siapkan laparatomi
2. Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta,
fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke
rumah sakit rujukan
3. Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan
memungkinkan, lakukan operasi uterus
4. Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien
mengkwatirkan lakukan histerektomi
5. Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum
abdomen
6. Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi
(Morgan, 2009).

e) Sisa plasenta
1. Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta
setelah dilahirkan
2. Berikan antibiotik karena kemungkinan ada endometriosis
3. Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan
mengeluarkan bekuan darah atau jaringan, bila serviks hanya
dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta
dengan dilatasi dan kuret.
4. Hbv 8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus
600mg/hari selama 10 hari.
5. Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina
6. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan
sumber perdarahan
7. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
8. Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat
dengan benang yang dapat diserap
9. Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal
10. Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis
demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :
11. Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga
ujung robekan
12. Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul
sub mukosa, menggunakan benang polyglikolik No 2/0 (
deton/vierge ) hingga ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani
dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.
13. Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa
dengan benang yang sama ( atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
14. Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa
dan sub kutikuler
15. Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika
untuk terapi (Saifuddin, 2009).
f) Robekan serviks
1. Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan
mengalami robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh
kepala bayi.
2. Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi
perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri
dan kanan porsio
3. Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga
perdarahan dapat segera di hentikan, jika setelah eksploitasi
lanjutkan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan,
jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah luar
sehingga semua robekan dapat dijahit
4. Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi
fundus uteri dan perdarahan paska tindakan
5. Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-
tanda infeksi
6. Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb
dibawah 8 gr% berikan transfusi darah (Morgan, 2009).

H. PENCEGAHAN
a. Perawatan masa kehamilan
Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus
yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan
pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai
sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang
baik.Menangani anemia dalam kehamilan adalah penting, ibu-ibu yang
mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat
dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit.
b. Persiapan persalinan
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar
Hb,golongan darah, dan bila memungkinkan sediakan donor darah dan
dititipkan di bank darah. Pemasangan cateter intravena dengan lobang
yang besar untuk persiapan apabila diperlukan transfusi. Untuk pasien
dengan anemia berat sebaiknya langsung dilakukan transfusi.
Sangat dianjurkan pada pasien dengan resiko perdarahan
postpartum untuk menabung darahnya sendiri dan digunakan saat
persalinan.

c. Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan
circular atau maju mundur sampai uterus menjadi keras dan
berkontraksi dengan baik. Massae yang berlebihan atau terlalu keras
terhadap uterus sebelum, selama ataupun sesudah lahirnya plasenta
bisa mengganggu kontraksi normal myometrium dan bahkan
mempercepat kontraksi akan menyebabkan kehilangan darah yang
berlebihan dan memicu terjadinya perdarahan postpartum (Saifuddin,
2008).

I. KOMPLIKASI
Komplikasi perdarahan postpartum, yaitu: primer
1. Yang paling berat yaitu syok. Bila terjadi syok yang berat dan
pasien selamat, dapat terjadi komplikasi lanjutan yaitu anemia dan
infeksi dalam masa nifas.
2. Infeksi dalam keadaan anemia bisa berlangsung berat sampai
sepsis.
3. Pada perdarahan yang disertai oleh pembekuan intravaskuler
merata dapat terjadi kegagalan fungsi organ-organ seperti gagal
ginjal mendadak.
4. Anemia yang dapat memperlemah kondisi klien, menurunkan daya
tahan dan menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi nifas.
5. Kematian akibat kehilangan darah yang tidak dapat ditangani
(Manuaba, 2007).
J. PROGNOSIS
Untuk menentukan prognosis tergantung dari gejala klinis, banyaknya
volume darah yang keluar, serta lamanya perdarahan. Bila didapati gejala-
gejala seperti perubahan tanda vital yang drastis bahkan memasuki fase
syok akan memperburuk prognosis, tetapi dengan pengetahuan dan
penanganan yang maka prognosis lebih baik (Fransisca, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Bobak. 2010. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC


Fransisca. 2012. Perdarahan Post Partum. Surabaya: Fakultas Kedokteran
Universitas Kusuma Surabaya
Manuaba, I.B.G, dkk. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC
Morgan, Geri dan Carole Hamilton. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan
Praktik Edisi 2. Jakarta: EGC
Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka
Stright, Barbara R. 2004. Panduan Belajar: Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir
Edisi 3. Jakarta:EGC.

You might also like