Professional Documents
Culture Documents
Latar Belakang
Hipotiroid kongenital adalah rendahnya produksi hormon tiroid (kadar T4 diatas persentil
<10 dan TSH <10 mU/L) pada bayi baru lahir yang terjadi karena kecacatan anatomis
kelenjar tiroid, gangguan metabolisme tiroid, atau kekurangan iodium pada saat intrauterine
(Jose R,2012). Hormon tiroid sudah diproduksi dan diperlukan oleh janin sejak usia
kehamilan 12 minggu dan berfungsi untuk mengatur produksi panas tubuh, metabolisme,
pertumbuhan tulang, kerja jantung, mielinisasi syaraf pasca natal, serta tumbuh dan
kembang. Dengan demikian hormon ini sangat penting peranannya pada bayi dan anak yang
sedang tumbuh. Kekurangan hormon tiroid pada bayi pada masa awal kehidupan, bisa
mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan retardasi mental (Sherwood et al, 2001).
Kejadian hipotiroid kongenital bervariasi di berbagai negara yaitu 1:3000–4000 kelahiran
hidup dengan penyebab tersering adalah, defisiensi iodium yang merupakan komponen
pokok tiroksin (T4) dan triiodotiroksin (T3) yang mencakup 70% kasus. Kejadian hipotiroid
di Indonesia diperkirakan jauh lebih tinggi yaitu sebesar 1:1500 per kelahiran hidup dan
lebih sering ditemukan pada anak perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan 2:1.
Hipotiroid congenital dapat terjadi pada beberapa jalur seperti agenesis tiroid, defisiensi
yodium, dishormogenesis, kelainan kelenjar hipofisis, dan kelainan hipotalamus yang
berefek pada penurunan sintesis dan sekresi hormone tiroid sehingga merangsang hipofisis
mengeluarkan TSH lebih banyak (Jian M, 2014).
Deteksi dini hipotiroid kongenital melalui skrining pada bayi baru lahir (BBL)
merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan generasi yang lebih baik. Skrining atau uji
saring pada bayi baru lahir (neonatal screening) adalah tes yang dilakukan pada saat bayi
berumur 2-5 hari untuk memilah bayi yang menderita kelainan kongenital dari bayi yang
sehat dengan cara mengambil sampel darah kapiler dari permukaan lateral kaki bayi dan
diteteskan pada kertas saring khusus untuk mendapatkan kadar TSH. Gejala yang muncul
pada hipotiroid kongenital antara lain: lidah menjadi tebal (makroglosi), suara serak,
hipotoni, hernia umbilikalis, konstipasi, perut buncit, tangan dan kaki teraba dingin, disertai
miksedema. Jika gejala klinis telah muncul maka dapat dipastikan retardasi mental telah
terjadi. Mengingat manifestasi klinis hipotiroid kongenital merupakan petunjuk dari
keterlambatan diagnosis sehingga penting dilakukan skrining hipotiroid kongenital pada
semua bayi baru lahir karena makin lambat diagnosis ditegakkan makin rendah IQ (Kapita
Selekta FK UI, 2014).
2. Identifikasi Masalah
Hipotiroid kongenital sangat jarang memperlihatkan gejala klinis pada awal kehidupan.
Bila gejala klinis sudah tampak, berarti ada keterlambatan penanganan. Tanpa pengobatan
anak dengan hipotiroid kongenital memiliki gejala yang semakin berat dengan
bertambahnya usia. Kunci keberhasilan pengobatan anak dengan hipotiroid kongenital
adalah dengan deteksi dini dan pengobatan sebelum anak berumur 1 bulan dan apabila
diagnosis hipotiroid kongenital tegak setelah usia 3 bulan maka penurunan IQ akan menjadi
sangat bermakna. Program skrining memungkinkan bayi mendapatkan terapi dini dan
memiliki prognosis yang lebih baik, terutama dalam perkembangan sistem neurologis.
Pengobatan secara dini dengan hormon tiroid dapat mencegah terjadinya morbiditas fisik
maupun mental. Pemantauan tetap diperlukan untuk mendapatkan hasil pengobatan dan
tumbuh kembang anak yang optimal.
Kejadian hipotiroid kongenital bervariasi antar negara, umumnya sebesar 1 : 3000–4000
kelahiran hidup. Dengan penyebab tersering adalah, defisiensi yodium intrauterine yang
mencakup 80% kasus. Lebih sering ditemukan pada anak perempuan dari pada laki-laki
dengan perbandingan 2:1. Pada tahun 2007, angka bayi baru lahir dengan hipotiroid
kongenital primer di New York mengalami peningkatan selama 2 dekade terakhir yaitu dari
1: 3378 menjadi 1: 1414 dari angka kelahiran. Sedangkan secara nasional (USA) angka bayi
baru lahir yang mengalami hipotiroid kongenital juga mengalami peningkatan 1: 4098
menjadi 1: 2370 dari angka kelahiran. Di Negara berkembang seperti Brazil angka
hipotiroid kongenital pun cukup tinggi yaitu 1: 2595 sampai 1: 4795 dari angka kelahiran
bayi. Anak dengan sindrom Down memiliki resiko 35 kali lebih tinggi untuk menderita
hipotiroid kongenital dibanding anak normal. Insiden hipotiroid di Indonesia diperkirakan
jauh lebih tinggi yaitu sebesar 1:1500 kelahiran hidup (Schteingart 2006 ; Larson et al 2003)
Di Indonesia, skrining neonatal hipotiroid congenital saat ini belum merupakan program
nasional. Skrining hipotiroid congenital baru dikembangkan di 11 propinsi terpilih di
Indonesia. Telaah rekam medis di klinik endokrin anak RSCM dan RSHS menunjukkan
bahwa lebih dari 70% penderita HK didiagnosis setelah umur 1 tahun. Hanya 2,3% yang
bisa dikenali sebelum umur 3 bulan. Penyebab hiptiroid yang paling sering di dunia ialah
defisiensi Iodium yang merupakan komponen pokok tiroksin (T4) dan triiodotrionin (T3).
Anak yang lahir dari ibu dengan defisinsi Iodium berat akan mengalami hipotiroid yang
tidak terkompensasi karena hormon tiroid ibu tidak dapat melewati plasenta (Postellon C,
2010).
Banyak faktor yang berperan pada hipotiroid sehingga gambaran klinisnya bervariasi.
Terjadinya hipotiroid tidak dipengaruhi oleh faktor geografis, sosial ekonomi, maupun iklim
dan tidak terdapat predileksi untuk golongan etnis tertentu. Umumnya kasus tiroid
kongenital timbul secara sporadik. Faktor genetik hanya berperan pada hipotiroid tipe
tertentu yang diturunkan secara autosomal resesif (Rastologi M, 2010).
Gambar 3. Protokol alur diagnosis hipotiroid kongenital setelah dilakukan skrining pada bayi
(British Society for Paediatric Endocrinology, 2013).
4. Pelaksanaan Intervensi
A. B C D E
A.
B.
(Isilah setiap lingkaran dengan satu bercak darah hingga menyerap/ tembus bagian belakang)
PROGRAM SKRINING HIPOTIROID KONGENITAL
Rumah sakit :________________________/No.Rekmed________________________
Nama Ibu/Bayi : ___________________________________/suku _________________
Nama Ayah : ___________________________________/Suku__________________
Alamat :_________________________________________________________
__________________________________________________________
Telepon :__________________________________________________________
Dokter Penanggung Jawab:____________________________Tep/hp__________________
Kelahiran : Tunggal Kembar 1 2 3
Umur kehamilan : Prermatur: Ya Tidak
Gambar 4. Contoh kertas saring yang sudah diselipkan pada kartu informasi yang berisi
data demografi bayi, dan ditetesi darah pada kedua bulatannya
c. Pengisian kartu informasi dilakukan dengan ballpoint, jangan menggunakan tinta yang
dapat luntur.
d. Hindari pencemaran pada kertas saring, mengotori kertas saring atau merusak tetes
darah yang ada. Usahakan kertas saring tidak banyak disentuh petugas lain.
iii. Metode dan Tempat Pengambilan Darah
Metode Pengambilan Darah dari Tumit Bayi (heel prick)
Siapkan alat yang digunakan :
1. Sarung tangan
2. Lancet
3. Kartu-kertas saring (kertas saring yang diproduksi oleh Schleicher & Schuell, Inc
(S&S grade 903) atau Whatman 903)
4. Kapas
5. Alkohol 70%
6. Kasa steril
7. Rak pengering
7
4 6
1
3
2
Gambar 5. : Alat yang digunakan untuk pengambilan spesimen (1. Sarung tangan steril,
2. Lancet, 3. Kartu kertas saring, 4. Kapas, 5. Alkohol 70%, 6. Kasa steril, 7. Rak
pengering)
3. Prosedur pengambilan spesimen darah :
1. Cuci tangan menggunakan sabun dengan air bersih mengalir dan pakailah sarung
tangan
2. Hangatkan tumit
3. Supaya aliran darah lebih lancar, posisikan kaki lebih rendah dari kepala bayi
4. Tentukan lokasi penusukan yaitu bagian lateral atau medial tumit (daerah berwarna
merah), (gambar 6 dan 7)
Gambar 6 Gambar 7
5. Bersihkan daerah yang akan ditusuk de ngan antiseptik kapas alkohol 70%, biarkan
kering (gambar 8)
6. Tusuk tumit dengan lanset steril sekali pakai ukuran 2 mm. (gambar 9)
Gambar 8 Gambar 9
Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12
7. Setelah tumit ditusuk, usap tetes darah pertama dengan kain kasa steril (gambar 10)
8. Lakukan pijatan lembut sehingga terbentuk tetes darah yang cukup besar. Hindarkan
gerakan memeras karena akan mengakibatkan hemolisis atau darah tercampur cairan
jaringan. (gambar 11)
9. Selanjutnya teteskan darah ke tengah bulatan kertas saring sampai bulatan terisi penuh
dan tembus kedua sisi. Hindarkan tetesan darah yang berlapis-lapis (layering). Ulangi
meneteskan darah ke atas bulatan lain. Bila darah tidak cukup, lakukan tusukan di tempat
terpisah dengan menggunakan lanset baru. (gambar 12)
10. Tekan bekas tusukan dengan kasa/kapas steril. Bekas tusukan tidak perlu diberi plester
ataupun pembalut.
Gambar 14
4. Jangan meletakkan pengering berdekatan dengan bahan-bahan yang mengeluarkan uap
seperti cat, aerosol, dan insektisida.
Kemungkinan
Spesimen tidak baik :
penyebab :
Tetes darah kurang
Meneteskan darah
dengan tabung
kapiler
Kertas tersentuh
tangan, sarung
tangan, lotion
Kertas rusak,
meneteskan darah
dengan tabung
kapiler
Mengirim spesimen
sebelum kering
Meneteskan terlalu
banyak darah
Meneteskan darah di
kedua sisi bulatan
kertas
Darah diperas
(milking) dari tempat
tusukan
Kontaminasi
Terpapar panas
Alkohol tidak
dikeringkan
Kontaminasi dengan
alkohol dan lotion
Darah diperas
(milking)
Pengeringan tidak
baik
Penetesan darah
beberapa kali
Meneteskan darah di
kedua sisi bulatan
kertas
Gagal memperoleh
spesimen
5. Monitoring dan Evaluasi
Hal pertama yang harus dilakukan ketika mendapatkan hasil tes positif adalah sesegera
mungkin menghubungi orang tua bayi yang bersangkutan. Tugas dari tim tindak lanjut bayi
dengan hasil tes positif ialah mencari tempat tinggal bayi tersebut dan memfasilitasi
pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan diagnosis. Bila perlu, dilakukan tes konfirmasi
berupa pemeriksaan TSH, dan T4 bebas (FT4) serum terhadap bayi tersebut.
Beberapa kemungkinan hasil TSH yaitu:
a. Kadar TSH ≤ 20 mU/L
Bila tes konfirmasi mendapatkan hasil kadar TSH kurang dari 20 mU/L, maka hasil
dianggap normal dan akan disampaikan kepada pengirim spesimen dalam waktu 7 hari.
b. Kadar TSH antara >20 – ≤ 40 mU/L
Nilai TSH yang demikian menunjukkan hasil yang meragukan. Sehingga perlu
pengambilan spesimen ulang (resample). Bila pada hasil pengambilan ulang didapatkan:
Kadar TSH ≤ 20 mU/L, maka hasil tersebut dianggap normal
kadar TSH > 20 mU/L, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSH dan FT4 serum
c. Kadar TSH > 40 mU/L
Jika hasil pemeriksaan menunjukkan nilai yang demikian, maka perlu dilakukan
pemeriksaan konfirmasi TSH dan FT4 serum
Tabel 1. Skema Pelaksanaan Pengambilan Dan Pemeriksaan Spesimen Darah
Pencatatan Monitoring
dan LABORATORIUM SHK dan evaluasi
pelaporan
TIM FOLLOW UP
HASIL UJI
SARING