You are on page 1of 20

1.

Latar Belakang

Hipotiroid kongenital adalah rendahnya produksi hormon tiroid (kadar T4 diatas persentil
<10 dan TSH <10 mU/L) pada bayi baru lahir yang terjadi karena kecacatan anatomis
kelenjar tiroid, gangguan metabolisme tiroid, atau kekurangan iodium pada saat intrauterine
(Jose R,2012). Hormon tiroid sudah diproduksi dan diperlukan oleh janin sejak usia
kehamilan 12 minggu dan berfungsi untuk mengatur produksi panas tubuh, metabolisme,
pertumbuhan tulang, kerja jantung, mielinisasi syaraf pasca natal, serta tumbuh dan
kembang. Dengan demikian hormon ini sangat penting peranannya pada bayi dan anak yang
sedang tumbuh. Kekurangan hormon tiroid pada bayi pada masa awal kehidupan, bisa
mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan retardasi mental (Sherwood et al, 2001).
Kejadian hipotiroid kongenital bervariasi di berbagai negara yaitu 1:3000–4000 kelahiran
hidup dengan penyebab tersering adalah, defisiensi iodium yang merupakan komponen
pokok tiroksin (T4) dan triiodotiroksin (T3) yang mencakup 70% kasus. Kejadian hipotiroid
di Indonesia diperkirakan jauh lebih tinggi yaitu sebesar 1:1500 per kelahiran hidup dan
lebih sering ditemukan pada anak perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan 2:1.
Hipotiroid congenital dapat terjadi pada beberapa jalur seperti agenesis tiroid, defisiensi
yodium, dishormogenesis, kelainan kelenjar hipofisis, dan kelainan hipotalamus yang
berefek pada penurunan sintesis dan sekresi hormone tiroid sehingga merangsang hipofisis
mengeluarkan TSH lebih banyak (Jian M, 2014).
Deteksi dini hipotiroid kongenital melalui skrining pada bayi baru lahir (BBL)
merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan generasi yang lebih baik. Skrining atau uji
saring pada bayi baru lahir (neonatal screening) adalah tes yang dilakukan pada saat bayi
berumur 2-5 hari untuk memilah bayi yang menderita kelainan kongenital dari bayi yang
sehat dengan cara mengambil sampel darah kapiler dari permukaan lateral kaki bayi dan
diteteskan pada kertas saring khusus untuk mendapatkan kadar TSH. Gejala yang muncul
pada hipotiroid kongenital antara lain: lidah menjadi tebal (makroglosi), suara serak,
hipotoni, hernia umbilikalis, konstipasi, perut buncit, tangan dan kaki teraba dingin, disertai
miksedema. Jika gejala klinis telah muncul maka dapat dipastikan retardasi mental telah
terjadi. Mengingat manifestasi klinis hipotiroid kongenital merupakan petunjuk dari
keterlambatan diagnosis sehingga penting dilakukan skrining hipotiroid kongenital pada
semua bayi baru lahir karena makin lambat diagnosis ditegakkan makin rendah IQ (Kapita
Selekta FK UI, 2014).

2. Identifikasi Masalah

Hipotiroid kongenital sangat jarang memperlihatkan gejala klinis pada awal kehidupan.
Bila gejala klinis sudah tampak, berarti ada keterlambatan penanganan. Tanpa pengobatan
anak dengan hipotiroid kongenital memiliki gejala yang semakin berat dengan
bertambahnya usia. Kunci keberhasilan pengobatan anak dengan hipotiroid kongenital
adalah dengan deteksi dini dan pengobatan sebelum anak berumur 1 bulan dan apabila
diagnosis hipotiroid kongenital tegak setelah usia 3 bulan maka penurunan IQ akan menjadi
sangat bermakna. Program skrining memungkinkan bayi mendapatkan terapi dini dan
memiliki prognosis yang lebih baik, terutama dalam perkembangan sistem neurologis.
Pengobatan secara dini dengan hormon tiroid dapat mencegah terjadinya morbiditas fisik
maupun mental. Pemantauan tetap diperlukan untuk mendapatkan hasil pengobatan dan
tumbuh kembang anak yang optimal.
Kejadian hipotiroid kongenital bervariasi antar negara, umumnya sebesar 1 : 3000–4000
kelahiran hidup. Dengan penyebab tersering adalah, defisiensi yodium intrauterine yang
mencakup 80% kasus. Lebih sering ditemukan pada anak perempuan dari pada laki-laki
dengan perbandingan 2:1. Pada tahun 2007, angka bayi baru lahir dengan hipotiroid
kongenital primer di New York mengalami peningkatan selama 2 dekade terakhir yaitu dari
1: 3378 menjadi 1: 1414 dari angka kelahiran. Sedangkan secara nasional (USA) angka bayi
baru lahir yang mengalami hipotiroid kongenital juga mengalami peningkatan 1: 4098
menjadi 1: 2370 dari angka kelahiran. Di Negara berkembang seperti Brazil angka
hipotiroid kongenital pun cukup tinggi yaitu 1: 2595 sampai 1: 4795 dari angka kelahiran
bayi. Anak dengan sindrom Down memiliki resiko 35 kali lebih tinggi untuk menderita
hipotiroid kongenital dibanding anak normal. Insiden hipotiroid di Indonesia diperkirakan
jauh lebih tinggi yaitu sebesar 1:1500 kelahiran hidup (Schteingart 2006 ; Larson et al 2003)
Di Indonesia, skrining neonatal hipotiroid congenital saat ini belum merupakan program
nasional. Skrining hipotiroid congenital baru dikembangkan di 11 propinsi terpilih di
Indonesia. Telaah rekam medis di klinik endokrin anak RSCM dan RSHS menunjukkan
bahwa lebih dari 70% penderita HK didiagnosis setelah umur 1 tahun. Hanya 2,3% yang
bisa dikenali sebelum umur 3 bulan. Penyebab hiptiroid yang paling sering di dunia ialah
defisiensi Iodium yang merupakan komponen pokok tiroksin (T4) dan triiodotrionin (T3).
Anak yang lahir dari ibu dengan defisinsi Iodium berat akan mengalami hipotiroid yang
tidak terkompensasi karena hormon tiroid ibu tidak dapat melewati plasenta (Postellon C,
2010).
Banyak faktor yang berperan pada hipotiroid sehingga gambaran klinisnya bervariasi.
Terjadinya hipotiroid tidak dipengaruhi oleh faktor geografis, sosial ekonomi, maupun iklim
dan tidak terdapat predileksi untuk golongan etnis tertentu. Umumnya kasus tiroid
kongenital timbul secara sporadik. Faktor genetik hanya berperan pada hipotiroid tipe
tertentu yang diturunkan secara autosomal resesif (Rastologi M, 2010).

3. Perencanaan dan Pemilihan Intervensi

Skrining Hipotiroid Kongenital


Pada dasarnya orientasi skrining HK adalah untuk mendeteksi hipotiroid primer
(permanen maupun transien) dan sesuai dengan rekomendasi American Thyroid Association,
pemeriksaan primer TSH merupakan uji fungsi tiroid yang paling sensitif. Peningkatan
kadar TSH sebagai tanda yang cukup akurat digunakan untuk mendeteksi hipotiroid
kongenital primer. Khusus untuk negara yang masih menghadapi masalah gangguan akibat
kekurangan Iodium (GAKI) seperti Indonesia, International Council for Control of Iodine
Deficiency Disorders (ICCIDD) menyatakan bahwa pemeriksaan primer TSH untuk
skrining HK akibat kekurangan iodium pada ibu hamil merupakan indikator yang sensitif
dalam menentukan derajat kekurangan iodium. Juga merupakan cara yang baik untuk
memantau hasil program penanggulangan GAKI.
Terdapat 3 strategi untuk mendeteksi hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir: (1)
pemeriksaan TSH dengan backup pemeriksaan T4 pada bayi baru lahir dengan kadar TSH
tinggi, (2) pemeriksaan T4 dengan backup pemeriksaan TSH pada bayi baru lahir dengan
kadar T4 rendah, (3) pemeriksaan TSH dan T4 yang dilakukan secara bersamaan. Pada
pemeriksaan TSH dengan backup pemeriksaan T4 dapat mendeteksi hipotiroid primer,
defisiensi Tiroglobulin (TBG), hipotiroid sentral atau hipotiroksiknemia. Pada pemeriksaan
T4 dengan backup pemeriksaan TSH dapat mendeteksi hipotiroid primer, TBG, hipotiroid
sentral, dan kemungkinan hipertiroksinemia (Van vlient et al, 2007).
Spesimen untuk skrining hipotiroid kongenital dilakukan pada tumit bayi baru lahir, yang
usianya 2-5 hari. Spesimen ini menggunakan kertas saring untuk diperiksa di laboratorium.
Pemeriksaan ini dapat diulang pada usia 2 minggu dan 6 minggu untuk memastikan
diagnosis hipotiroid kongenital dengan dilakukan pengukuran kadar free T4 atau TSH
(Smith, 2007).
Tes kedua kadar T4 dan TSH tersebut akan mendeteksi kemungkinan bayi baru lahir
mengalami hipotiroid kongenital bawaan. Terdapat keuntungan ataupun kerugian dengan
adanya pemeriksaan tersebut. Dimana pemeriksaan tersebut dikaitkan dengan bayi baru lahir
dengan hipotiroid kongenital primer, di sisi lain hal lain yang dapat dialami bayi baru lahir
juga memiliki kemungkinan mengalami hipotiroid sekunder atau sentral akibat perlambatan
peningkatan kadar TSH oleh kelenjar hipofisis. Belum ada pemeriksaan lain yang dapat
mendeteksi gangguan hipotiroid pada bayi akibat kesalan pada proses transpot atau
metabolisme hormon tiroid. Dengan adanya program skrining ini dikatakan banyak
ditemukan kasus hipotiroid kongenital.

Gambar 1. Algoritma Diagnosis Hipotiroid Kongenital (Smith L, 2007)


Skrining dilakukan dengan mengukur kadar T4 atau TSH yang dilakukan pada kertas
saring. Bayi yang memiliki kadar T4 diatas persentil <10 perlu dilakukan follow up
pemeriksaan TSH. Dikatakan hipotiroid kongenital jika kadar TSH >30 mU/L serum.
Adapun menurut pendapat lain mengemukakan, bayi dengan kadar TSH <10 mU/L serum
dikatakan skrining negatif hipotiroid kongenital, kadar TSH >10 mU/L serum dan <20
mU/L serum dikatakan borderline hipotiroid kongenital, dan kadar TSH >20 mU/L serum
dikatakan positif hipotiroid kongenital.
Bayi baru lahir dengan kadar TSH yang meningkat dan kadar T4 yang rendah dapat
dikatakan hipotiroid primer. Dengan adanya keadaan tersebut perlu dilakukan penanganan
segera dengan pemberian levotiroksin tanpa menunggu konfirmasi ulang hasil pemeriksaan.
Bila kadar TSH yang meningkat dan kadar T4 normal bayi baru lahir dapat dikatakan
mengalami hipertirotropinemia. Hal ini mungkin disebabkan kelainan permanen dari
kelenjar tiroid atau keterlambatan maturasi dari axis kelenjar hipofisis-hipotalamus. Pada
keadaan dimana kadar TSH normal dan kadar T4 rendah pada bayi baru lahir kemungkinan
disebabkan imaturitas pada aksis kelnjar hipofisis-hipotalamus dan insufisiensi kelenjar
tiroid ataupun pemberian glukokortikoid dosis tinggi juga dapat menyebabkan terhambatnya
TSH sehingga menyebabkan penurunan kadar T4. Adapun kadar TSH dapat mengalami
keterlambatan yang sering terjadi pada bayi BBLR. Selain itu terdapat keadaan yang sangat
jarang terjadi yaitu “transient TSH elevation”. Hal ini kemungkinan akibat pemberian anti
tiroid saat masa kehamilan, kelebihan iodium saat prenatal atau postnatal, dan defisiensi
iodium.
Gambar 2. Algoritma Skrining Hipotiroid Kongenital (British Society for Paediatric
Endocrinology, 2013)
Bayi yang telah terdeteksi fungsi hormon tiroid yang abnormal melalui skrining harus segera
mendapatkan pemeriksaan konfirmasi hasil laboratorium tentang kadar free T4 dan TSH.
Mengenai kadar TSH dan free T4 memiliki perbedaan kadar tergantung dari usia bayi.
Berikut tabel mengenai kadar normal T4 dan TSH berdasarkan usia bayi (Rastologi, 2010).
Bayi dengan hipotiroid kongenital yang dilakukan skrining boleh diberikan levotiroxin
10-15 mcg/kgbb/hari dengan dosis maksimum 50 mcg/kgbb/hari. Biasanya kadar TSH akan
menjadi normal saat 1 bulan pertama setelah pengobatan. Oleh karena itu, dosis levotiroxin dapat
mulai diturukan jika bayi menunjukkan tanda-tanda pengobatan yang berlebihan. Adapun
protokol alur diagnosis hipotiroid kongenital setelah dilakukan skrining pada bayi.10

Gambar 3. Protokol alur diagnosis hipotiroid kongenital setelah dilakukan skrining pada bayi
(British Society for Paediatric Endocrinology, 2013).
4. Pelaksanaan Intervensi

Pedoman Skrining Hipotiroid Kongenital


Adapun tahapan-tahapan dalam proses skrining hipotiroid kongenital berdasarkan
kebijakan pemerintah sebagai berikut:
1. Persiapan
a. Penjelasan kepada orangtua tentang skrining pada bayi baru lahir dengan pengambilan
tetes darah tumit bayi dan keuntungan skrining ini bagi masa depan bayi akan mendorong
orangtua untuk mau melakukan skrining bagi bayinya.
b. Persetujuan (informed consent) tidak perlu tertulis khusus, tetapi dicantumkan bersama-
sama dengan persetujuan tindakan medis lain pada saat bayi masuk ke ruang perawatan
bayi.
c. Bila tindakan pengambilan darah pada BBL ditolak, maka orangtua harus
menandatangani formulir penolakan.
2. Pengambilan Spesimen
Hal yang penting diperhatikan pada pemeriksaan spesimen ialah :
a. Waktu pengambilan (timing)
b. Data demografi bayi
c. Metode pengambilan
d. Pengiriman/transportasi
e. Proses skrining di laboratorium
i. Waktu Pengambilan Sampel
a. Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah ketika umur bayi 48 sampai 72
jam.
b. Pada keadaan tertentu pengambilan darah masih bisa ditolerir antara 24–48 jam.
c. Sebaiknya darah tidak diambil dalam 24 jam pertama setelah lahir karena pada saat
itu kadar TSH masih tinggi, sehingga akan memberikan sejumlah hasil positif palsu
(false positive).
ii. Data / Identitas Bayi
a. Isi kartu identitas bayi dengan lengkap dan benar dalam kartu informasi.
b. Kelengkapan dan akuratan data pada kartu informasi sangat penting untuk kecepatan
tindak lanjut hasil tes bagi pasien.

A. B C D E
A.
B.

(Isilah setiap lingkaran dengan satu bercak darah hingga menyerap/ tembus bagian belakang)
PROGRAM SKRINING HIPOTIROID KONGENITAL
Rumah sakit :________________________/No.Rekmed________________________
Nama Ibu/Bayi : ___________________________________/suku _________________
Nama Ayah : ___________________________________/Suku__________________
Alamat :_________________________________________________________
__________________________________________________________
Telepon :__________________________________________________________
Dokter Penanggung Jawab:____________________________Tep/hp__________________
Kelahiran : Tunggal  Kembar 1 2 3
Umur kehamilan :  Prermatur: Ya  Tidak 

Jenis Kelamin : L P Berat badan :___________Gram


Jam Tgl Bln Th Darah diambil dari:
Lahir Tumit 
Spesimen Vena 
Keterangan ::
Transfusi Darah : Ya  Tgl …/…../ …. Tidak 
Ibu makan obat anti tiroid : Ya  Tidak 
Bayi dengan kelainan bawaan/ sindrom :Ya , sebutkan….. Tidak 
Bayi sakit : Ya  Tidak 
Obat untuk bayi : Ya , sebutkan............ Tidak 

Gambar 4. Contoh kertas saring yang sudah diselipkan pada kartu informasi yang berisi
data demografi bayi, dan ditetesi darah pada kedua bulatannya

c. Pengisian kartu informasi dilakukan dengan ballpoint, jangan menggunakan tinta yang
dapat luntur.
d. Hindari pencemaran pada kertas saring, mengotori kertas saring atau merusak tetes
darah yang ada. Usahakan kertas saring tidak banyak disentuh petugas lain.
iii. Metode dan Tempat Pengambilan Darah
Metode Pengambilan Darah dari Tumit Bayi (heel prick)
Siapkan alat yang digunakan :
1. Sarung tangan
2. Lancet
3. Kartu-kertas saring (kertas saring yang diproduksi oleh Schleicher & Schuell, Inc
(S&S grade 903) atau Whatman 903)
4. Kapas
5. Alkohol 70%
6. Kasa steril
7. Rak pengering

7
4 6

1
3
2

Gambar 5. : Alat yang digunakan untuk pengambilan spesimen (1. Sarung tangan steril,
2. Lancet, 3. Kartu kertas saring, 4. Kapas, 5. Alkohol 70%, 6. Kasa steril, 7. Rak
pengering)
3. Prosedur pengambilan spesimen darah :
1. Cuci tangan menggunakan sabun dengan air bersih mengalir dan pakailah sarung
tangan
2. Hangatkan tumit
3. Supaya aliran darah lebih lancar, posisikan kaki lebih rendah dari kepala bayi
4. Tentukan lokasi penusukan yaitu bagian lateral atau medial tumit (daerah berwarna
merah), (gambar 6 dan 7)

Gambar 6 Gambar 7
5. Bersihkan daerah yang akan ditusuk de ngan antiseptik kapas alkohol 70%, biarkan
kering (gambar 8)
6. Tusuk tumit dengan lanset steril sekali pakai ukuran 2 mm. (gambar 9)

Gambar 8 Gambar 9
Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12

7. Setelah tumit ditusuk, usap tetes darah pertama dengan kain kasa steril (gambar 10)
8. Lakukan pijatan lembut sehingga terbentuk tetes darah yang cukup besar. Hindarkan
gerakan memeras karena akan mengakibatkan hemolisis atau darah tercampur cairan
jaringan. (gambar 11)
9. Selanjutnya teteskan darah ke tengah bulatan kertas saring sampai bulatan terisi penuh
dan tembus kedua sisi. Hindarkan tetesan darah yang berlapis-lapis (layering). Ulangi
meneteskan darah ke atas bulatan lain. Bila darah tidak cukup, lakukan tusukan di tempat
terpisah dengan menggunakan lanset baru. (gambar 12)
10. Tekan bekas tusukan dengan kasa/kapas steril. Bekas tusukan tidak perlu diberi plester
ataupun pembalut.

Gambar 13. Contoh bercak darah yang baik


4. Metode Pengeringan Spesimen
1. Setelah mendapatkan spesimen letakkan di rak pengering dengan posisi horisontal
atau diletakkan di atas permukaan datar yang kering dan tidak menyerap (non
absorbent).
2. Biarkan spesimen mengering (warna darah merah gelap).
3. Sebaiknya biarkan spesimen di atas rak pengering sebelum dikirim ke laboratorium.

Gambar 14
4. Jangan meletakkan pengering berdekatan dengan bahan-bahan yang mengeluarkan uap
seperti cat, aerosol, dan insektisida.

5. Pengiriman / Transportasi Spesimen


1. Ketika spesimen akan dikirim, susun berselang-seling untuk menghindari agar bercak
darah tidak saling bersinggungan, atau taruh kertas diantara bercak darah. Bisa juga
tiap spesimen dimasukkan ke dalam kantong khusus.
2. Masukkan ke dalam amplop dan sertakan daftar spesimen.
3. Pengiriman dapat dilakukan oleh petugas pengumpul spesimen atau langsung dikirim
melalui jasa layanan PT. POS Indonesia (Pos Express) maupun jasa pengiriman
swasta.
4. Pengiriman tidak boleh lebih dari 7 (tujuh) hari sejak spesimen diambil. Perjalanan
pengiriman tidak boleh lebih dari 3 hari.
Gambar 15. Menyusun kertas saring dengan berselang-seling

5. Spesimen dikirim ke salah satu Laboratorium Rujukan Skrining Hipotiroid Kongenital


di Indonesia :
 Pusat Skrining Hipotiroid Kongenital Propinsi Jawa Barat
Bagian Kedokteran Nuklir FK-Unpad RSUP Hasan Sadikin
 Laboratorium Patologi Klinik FK-UI RS Cipto Mangunkusumo
 Proses Skrining di Laboratorium
Setelah sampai di laboratorium, spesimen yang dikirim dipisahkan antara
spesimen pertama dan ulangan, kemudian diperiksa kelengkapan identitas spesimen.
Untuk spesimen yang tidak lengkap, pengawas laboratorium untuk menghubungi petugas
fasilitas kesehatan dan menanyakan secara lengkap identitas bayi. Spesimen diperiksa
satu persatu untuk melihat kualitasnya. Spesimen darah harus sudah kering, memenuhi
satu lingkaran penuh hingga tembus ke sisi belakangnya, berwarna gelap dan tidak
memudar pada sisi lingkaran. Spesimen darah yang telah memenuhi syarat diatas di
tandai dengan tulisan “SPESIMEN DITERIMA”. Spesimen yang terkontaminasi, warna
tetesan darah yang pudar, darah terlalu sedikit ( lihat gambar spesimen yang tidak baik),
termasuk juga spesimen yang diambil sebelum bayi berumur 24 jam, dipisahkan dalam
kantong plastik dan ditandai dengan tulisan “SPESIMEN DITOLAK”. Petugas harus
melaporkan kepada pengawas laboratorium agar dapat segera menghubungi petugas
fasilitas kesehatan yang bersangkutan untuk pengambilan spesimen kembali. Spesimen
perlu pengambilan ulang (resample) bila:

a. Spesimen dengan hasil TSH antara 20 - 40 mU/L


b. Spesimen yang tidak cukup untuk pengukuran TSH
c. Spesimen dengan kesalahan pengambilan (terkontaminasi, berlapis-lapis, < 24 jam,
dll.), seperti gambaran berikut :

Kemungkinan
Spesimen tidak baik :
penyebab :
 Tetes darah kurang
 Meneteskan darah
dengan tabung
kapiler
 Kertas tersentuh
tangan, sarung
tangan, lotion
 Kertas rusak,
meneteskan darah
dengan tabung
kapiler

 Mengirim spesimen
sebelum kering

 Meneteskan terlalu
banyak darah
 Meneteskan darah di
kedua sisi bulatan
kertas
 Darah diperas
(milking) dari tempat
tusukan
 Kontaminasi
 Terpapar panas
 Alkohol tidak
dikeringkan
 Kontaminasi dengan
alkohol dan lotion
 Darah diperas
(milking)
 Pengeringan tidak
baik
 Penetesan darah
beberapa kali
 Meneteskan darah di
kedua sisi bulatan
kertas

 Gagal memperoleh
spesimen
5. Monitoring dan Evaluasi

Hal pertama yang harus dilakukan ketika mendapatkan hasil tes positif adalah sesegera
mungkin menghubungi orang tua bayi yang bersangkutan. Tugas dari tim tindak lanjut bayi
dengan hasil tes positif ialah mencari tempat tinggal bayi tersebut dan memfasilitasi
pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan diagnosis. Bila perlu, dilakukan tes konfirmasi
berupa pemeriksaan TSH, dan T4 bebas (FT4) serum terhadap bayi tersebut.
Beberapa kemungkinan hasil TSH yaitu:
a. Kadar TSH ≤ 20 mU/L
Bila tes konfirmasi mendapatkan hasil kadar TSH kurang dari 20 mU/L, maka hasil
dianggap normal dan akan disampaikan kepada pengirim spesimen dalam waktu 7 hari.
b. Kadar TSH antara >20 – ≤ 40 mU/L
Nilai TSH yang demikian menunjukkan hasil yang meragukan. Sehingga perlu
pengambilan spesimen ulang (resample). Bila pada hasil pengambilan ulang didapatkan:
 Kadar TSH ≤ 20 mU/L, maka hasil tersebut dianggap normal
 kadar TSH > 20 mU/L, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSH dan FT4 serum
c. Kadar TSH > 40 mU/L
Jika hasil pemeriksaan menunjukkan nilai yang demikian, maka perlu dilakukan
pemeriksaan konfirmasi TSH dan FT4 serum
Tabel 1. Skema Pelaksanaan Pengambilan Dan Pemeriksaan Spesimen Darah

Memotivasi Memotivasi orang tua sebaiknya dilakukan oleh petugas


orang tua kesehatan yang terlibat langsung dengan pengawasan
antenatal

Pengambilan Pengambilan spesimen bisa dilakukan pada 24 – 72 jam


sampel darah setelah bayi lahir. Pengambilan darah bisa dikerjakan oleh
dokter, perawat, bidan , teknisi medis yang telah dilatih.

Pengiriman Lakukan pengambilan sampel atau pengiriman secara


sampel ke teratur oleh kurir atau melalui pos
laboratorium

Mengerjakan Dilaksanakan di laboratorium yang telah ditunjuk dan


tes uji saring mempunyai kemampuan mengerjakan tes uji saring

Penyampaian Hasil tes disampaikan dalam waktu satu minggu setelah


hasil skrining spesimen diterima di laboratorium. Hasil disampaikan ke
pengirim spesimen melalui fax, e-mail, telpon atau kurir

Pemanggilan Recall pasien merupakan tanggung jawab dari


ulang subkoordinator di tempat bayi lahir. Recall tes
positif
(recalling) untuk pemeriksaan diagnostik harus dilakukan
pasien
dengan segera.
KEMENKES POKJANAS

DINKES PROVINSI POKJA


PROVINSI

Pencatatan Monitoring
dan LABORATORIUM SHK dan evaluasi
pelaporan

TIM FOLLOW UP
HASIL UJI
SARING

Hasil TSH negatif Hasil TSH positif

Umpan balik segera kpd koordinator


RS/RB/PKM/Perawat/ Bidan/
Beritahu koordinator pengirim sampel
RS/RB/PKM/KL.
Bidan

Hubungi/cari/kunjungi orang tua


bayi, beri penjelasan

Ambil darah/serum untuk


pemeriksan TSH dan T4

TSH tinggi, T4 rendah: beri tiroksin


Pencatatan dan
Bila memungkinkan, pemeriksaan
pelaporan
diagnostik lain: scanning tiroid,
(rekam medis)
pencitraan sendi lututdan panggul,
serta pemeriksaan lain atas indikasi

Gambar 16. Algoritma Kerja Tim Skrining Hipotiroid Kongenital

Ketepatan Hasil Skrining


Dengan adanya program skrining neonatus untuk mendeteksi hipotiorid kongenital,
prognosis bayi hipotiroid kongenital lebih baik dari sebelumnya. Diagnosis awal dan
pengobatan yang cukup sejak umur minggu pertama kehidupan memungkinkan pertumbuhan
linier yang normal dan intelegensinya setingkat dengan saudara kandung yang tidak terkena.
Tanpa pengobatan bayi yang terkena perawakan pendek (cebol) dan defisiensi mental. Bila
pengobatan dimulai pada usia 46 minggu IQ pasien tidak berbeda dengan IQ populasi
kontrol. Program skrinng di Quebec (AS) mendapatkan bahwa IQ pasien pada usia 1 tahun
sebesar 115, usia 18 bulan sebesar 104, dan usia 36 bulan sebesar 103. Pada pemeriksaan di
usia 36 bulan didapatkan “hearing speech” dan “practical reasoning” lebih rendah dari
populasi control. Pada sebagian kecil kasus dengan IQ normal dapat dijumpai kelainan
neurologis, antara lain gangguan koordinasi motorik kasar dan halus, ataksia, tonus otot
meningggi atau menurun, gangguan pemusatan perhatian dan gangguan bicara. Tuli
sensorineural ditemukan pada 20% kasus hipotiroid kongenital. Dokter juga harus waspada
akan keterbatasan metode skrining meskipun jarang ditemui kesalahan pada manusia dan
penelitian sebelumnya, namun bias dapat terjadi kira-kira 5-10% bayi hipotiroid kongenital
memiliki kadar hormone yang normal (Maciel, 2013).

You might also like