You are on page 1of 7

A.

Asas Keadilan dan Kebijaksanaan dalam mengambil keputusan HAN

Keputusan merupakan salah satu objek studi penting dalam Hukum Administrasi,
utamanya karena sebagai instrumen yuridis pemerintah untuk melakukan tindakan-
tindakannya.1 Dalam hal menentukan kebijakan publik atau keputusan HAN
badan/pejabat tata usaha negara perlu realiasi asas keadilan yang mengejawantahkan
suatu tindakan hukum yang layak/tidak bertentangan dengan konsep keadilan yang
diperuntukan bagi yang menerima keputusan. Hal ini sebagaimana pejabat berwenang
sebagai wakil rakyat yang keberadaannya membawa kepentingan-kepentingan publik
(masyarakat). Kehendak asas keadilan tidak lain adalah agar badan atau pejabat
administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan yang menuntut tindakannya
proporsional, sesuai, seimbang dan selaras dengan hak setiap orang. Mengingat dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara selalu bersinggungan dengan berbagai macam
persoalan-persoalan yang tidak hanya kecil dan sederhana melainkan persolan besar
yang menyangkut persoalan hidup banyak orang dan berkaitan dengan nilai-nilai yang
telah lama melekat pada masyarakat.

Selain itu, relevansinya dengan asas kebijaksanaan ialah badan/pejabat administrasi


negara yang mengabdi atau memperjuangkan kepentingan umum dalam tindakannya
tidak perlu menunggu instruksi. 2Artinya badan-badan pemerintah/pejabat administrasi
negara diberikan kebebasan bertindak dan keleluasaan dalam menerapkan kebijaksanaan
tanpa terpaku pada perundang-undangan formal yang berlaku dalam menghadapi
kondisi konkrit di masyarakat yang sangat kompleks. Karena peraturan perundang-
undangan formal atau hukum tertulis itu selalu membawa cacat bawaan yang berupa
tidak fleksibel dan tidak menampung persoalan serta cepat ketinggalan zaman,
sementara perkembangan masyarakat begitu pesat, cepat dan dinamis. Karena itu
pemerintah tidak hanya dituntut bertindak cepat, tetapi juga berpandangan luas dan jauh
serta mampu memperhitungkan akibat-akibat yang muncul dari tindakannya tersebut.

1
SF Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
1997, Hal 126
2
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : Rajawali, 2011, Hal 262
Hal ini sebagaimana pentingnya tindakan positif mengenai penyelengaraan
kepentingan publik, sehingga badan-badan pemerintah/pejabat administrasi negara
berhak membuat kebijaksanaan yang tepat. Adapun dalam penerapan asas kebijaksanaan
ini, wajib ditentukan kerangka hukumnya secara pasti untuk mencegah terjadinya
kerugian di masyarakat atas ketidakpahaman kebijaksanaan yang diambil.

Di Indonesia asas kebijaksanaan sejalan dengan hikmah kebijaksanaan yang


..terusinnnn di halaman 262 HAN BIRU

B. Asas Tidak Mencampuradukkan Kewenangan

Setiap pejabat pemerintah memiliki wewenang yang diberikan oleh peraturan


perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan legalitas. dengan sebuah
wewenang yang diberikan itulah maka pemerintah dapat melukan tindakan-tindakan
hukum dalam rangka melayani dan mengatur warga negara. Kewenangan pemerintah
secara umum mencakup tiga hal :

a. kewenangan dari segi material (bevogheid ratione material)


b. kewenangan dari segi wilayah (bevogheid ratione loci)
c. kewenangan dari segi waktu (bevogheid ratione temporis).3

Seorang pejabat pemerintahan memiliki kewenangan yang sudah ditentukan


dalam peraturan perundang-undangan baik dari segi materi, wilayah maupun waktu.
aspek wewenang ini tidak dapat dijalankan melebihi apa yang sudah ditentukan
dalam peraturan peraturan yang berlaku. Artinya asas tidak mencampuradukkan
kewenangan ini menghendaki agar pejabat tata usaha negara tidak menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentuknan dalam peraturan yang
berlaku atau menggunakan wewenang yang melampaui batas.

3
Nike K. Rumokoy, Tinjauan Terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam
Penyelenggaran Kekuasaan Pemerintahan, Jurnal : Vol. XVIII/ No. 3/ Mei-Agustus/2010, Fakultas
Hukum, Universitas Sam Ratulangi.
Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of
competence), artinya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah tidak boleh
digunakan untuk tujuan lain selain dari tujun yang ditentukan untuk kewenangan itu.
Suatu kewenangan yang diberikan haruslah dipergunakan sesuai dengan maksud dan
tujuan semula diberikannya kewenangan itu. Penyalahgunaan wewenang dapat
berakibat adanya pembatalan terhadap suatu keputusan badan atau pejabat tata usaha
negara.

Didalam UU No. 5 Tahun 1986 terdapat dua jenis penyimpangan penggunaan


wewenang, yaitu penyalahgunaan wewenang (detourant de pouvoir) dan sewenang-
wenang (willkeur), yang disebutkan dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c yang
berbunyi sebagai berikut :

a) Badan dan Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk
tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;

b) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak
mngeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampau pada pengambilan keputusan tersebut.

Menurut Prof. Dr. Abdul Latif, SH., Mhum., di dalam melaksanakan tugas
pembangunan khususnya yang berkaitan dengan kebijakan pengelolaan keuangan
negara, pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
optimal, transparan dan akuntabel (optimalization of public service), dengan tujuan
untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan pembangunan nasional. Jika pada
nyatanya, hasil perbuatan administrasi negara tidak bermanfaat bagi masyarakat dan
pembangunan, maka perbuatan tersebut tidak bersesuaian dengan tujuan
(ondoelmatig). Untuk menetapkan ada tidaknya perbuatan yang ondoelmatig, bukan
dilihat dari perbuatannya, tetapi lebih ditekankan pada hasil perbuatan yang
diwujudkan sebagai akibat perbuatan yang dilakukan. Ukuran bermanfaat tidaknya
suatu perbuatan administratif ditentukan tujuan akhir, yaitu apakah memenuhi
kepentingan umum atau tidak. Karena itu, wewenang tindakan kebijakan pejabat
administrasi negara meskipun faktanya merugikan, namun berguna bagi masyarakat
luas, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan
ondoelmatig.4

Tindakan pemerintah haruslah diarahkan pada tujuan yang telah ditetapkan


oleh peraturan yang menjadi dasarnya. Dalam hal pemerintah menyimpang dari
tujuan yang telah ditetapkan, pemerintah telah melakukan tindakan yang
“ondoelmatig”. Menurut praktik Conseil d'Etat di Perancis, tindakan yang demikian
disebut “detournement de pouvoir”.

Memang pengertian detournement de pouvoir dalam kaitannya dengan Freies


Ermessen ini melengkapi perluasan arti berdasarkan Yurisprudensi di Prancis yang
menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan
dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu

1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang


bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan
pribadi, kelompok atau golongan ;
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah
benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa
kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain.
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang
seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah
menggunakan prosedur lain agar terlaksana ;

Penggunaan kewenangan yang bersifat aktif, berupa kewenangan diskresioner


(“discretionary power”, “vrijsbestuur”, “freies ermessen”) untuk melaksanakan

4
Philipus M. Hadjon, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan (t.t.: t.p.,
1987), h.19-20.
kebijakannya (“beleid”) dalam mengatasi segera dan secepatnya dengan menetapkan
suatu perbuatan bagi kepentingan tugas pemerintahan, tidaklah sekadar kekuasaan
pemerintahan yang menjalankan undang-undang (“kekuasaan terikat”), tetapi
merupakan kekuasaan yang aktif, meliputi kewenangan interpretasi terhadap norma-
norma tersamar (vage norman). Adapun macam penyalahgunaan wewenang berikut
ini :5

a. Melampaui wewenang
Menurut Wiktionary, “melampaui wewenang adalah melakukan tindakan
di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan
tertentu. Berdasarkan pengertian dalam pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 37
Tahun 2008 yang menguraikan unsur dari pemenuhan suatu tindakan
administrasi point kedua: “Yang melampaui wewenang, atau menggunakan
wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, atau
termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan
pelayanan publik”.
b. Mencampuradukkan wewenang
Pengertian kedua ini sejalan dengan asas larangan untuk
mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk
bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak
atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang
pejabat atau badan lain”. Dengan demikian apabila instansi pemerintah atau
pejabat pemerintah atau alat administrasi negara diberi kekuasaan untuk
memberikan keputusan tentang suatu kasus (masalah konkrit), maka keputusan
yang dibuat tidak boleh digunakan untuk maksud-maksud lain terkecuali untuk
maksud dan tujuan yang berhubungan dengan diberikan kekuasaan/wewenang
tersebut.
c. Bertindak sewenang-wenang

5
Sjachran Basah. 1985. Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia. Alumni,
Bandung, hal. 223
Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang),
yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan
ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa
untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan
pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas
spesialitas). Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan
wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya
dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan.
Berikut ini merupakan contoh dari kasus penyalahgunaan wewenang dan
tindakan sewenang-wenang dari administrasi negara :
1. Kepala Biro Ketertiban DKI Jakarta pernah mengeluarkan instruksi pada
tahun 1987 mengenai pembongkaran bangunan milik AW, tetapi instruksi itu
ditangguhkan pelaksanaannya oleh wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 1988
dan 1989. Kemudian pada tahun 1990 Waki Gubernur DKI menerbitkan
instruksi kepada Walikota, sehingga pada 23 April 1990 terbit surat perintah
bongkar (I), setahun kemudian 30 April 1991 terbit surat bongkar (II), surat
perintah bongkar dari Walikota itu merupakan rekayasa itu merupakan
rekayasa dari Kepala Biro Ketertiban DKI Jakarta yang mungkin tidak
diketahuinya, sebab dutangguhkannya surat pelaksanaan pembongkaran sejak
tahun 1990 karena status kepemilikannya masih dalam proses sengketa AW
lawan AS di pengadilan Umum. anehnya selama menerima surat perintah
pembongkaran itu AW tidak pernah dipanggil, diberitahukan dan diminta
keterangannya. terbitnya surat perintah pembongkaran ini semata-mata untuk
memenuhi kepentingan AS yang memfitnah bahwa bangunan AS yang ada di
Pinangsia Raya No. 32 Jakarta Barat tanpa IMB. Padahal bangunan itu
memiliki IMB yang sah dan tidak menyimpang dari Tata Ruang Pemda DKI.
penggunaan dan peruntukan bangunan ini telah memperoleh izin sesuai denga
SIUP 6 Mei 983 dan terakhir 7 Januari 1989. karena itu dalam perkara ini
terlihat adanya penyalahgunaan wewenang, yakni pembongkaran
dimaksudkan untuk mengakhiri sengketa AW lawan AS dan bukan untuk
keoentingan umum, sesuai dengan dasar, maksud dan tujuan diberikannya
wewenang tersebut.
2. Putusan PTUN Medan dalam perkara gugatan terhada Kepala Perusahaan
Umum Listrik Negara karena telah memutuskan listrik di pabrik penggugat,
namun setelah diperiksa polisi ternyata meteran penggugat itu baik. PLN mau
memasangnya kembali apabila penggugat membayar sewa listrik yang
tertinggal sebanya Rp 73 Juta. ketika penggugat menanyakan hal itu kepada
PLN, pihak PLN menganjurkan agar pihak PLN menganjurkan agar
penggugat menemui Tim Opal. Supaya penggugat menghubungi saja tergugat
sendiri. PTUN mempertimbangkan bahwa dalam kasus ini tergugat telah
melakukan perbuatan sewenang-wenang (willekeur). Oleh akrenanya PTUN
membatalkan surat perintah membayar Rp 73 Juta sambil memerintahkan
tergugat untuk mengeluarkan surat perintah baru untuk menyambung kembali
listrik kepada pihak pabrik penggugat.6

6
Opcit, Hlm. 253-254

You might also like