You are on page 1of 22

REFERAT

Henoch Schonlein Purpura (HSP)

Pembimbing
dr. M. Mukhson, Sp.A

Disusun Oleh
Hilmi Puguh Panuntun
G4A016142

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan serta disetujui referat dengan judul :

Henoch Schonlein Purpura (HSP)

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian


kepanitraan klinik dokter muda SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:

Hilmi Puguh Panuntun


G4A016142

Purwokerto, Februari 2018

Mengetahui,
Pembimbing

dr. M. Mukhson, Sp.A

2
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ............................................................................... 2


Daftar Isi .................................................................................................. 3
Kata Pengantar .......................................................................................... 4
I. Pendahuluan ................................................................................... 5
A. Latar Belakang ......................................................................... 5
II. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 7
A. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III ............................................. 7
B. Definisi Henoch-Schonlein Purpura ........................................ 10
C. Epidemiologi Henoch-Schonlein Purpura ................................ 10
D. Etiologi dan Faktor Risiko Henoch-Schonlein Purpura ........... 11
E. Patofisiologi Henoch-Schonlein Purpura ................................ 11
F. Manifestasi Klinis Henoch-Schonlein Purpura ........................ 15
G. Diagnosis dan Diagnosis Banding Henoch-Schonlein Purpura
.................................................................................................. 17
H. Pengobatan Henoch-Schonlein Purpura ................................... 18
I. Prognosis Henoch-Schonlein Purpura ...................................... 19
III. Kesimpulan ................................................................................... 20
Daftar Pustaka ........................................................................................... 21

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat, hidayah dan
inayah-Nya, sehingga referat dengan judul “Henoch Schonlein Purpura (HSP)” ini dapat
diselesaikan. Referat ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Kesehatan Anak. Oleh
karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penulisan di masa
yang akan datang.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. dr. M. Mukhson, Sp. A selaku dosen pembimbing


2. Dokter-dokter spesialis anak di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto
3. Orang tua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak pernah henti
diberikan kepada penulis
4. Rekan-rekan ko-assisten Bagian Ilmu Kesehatan Anak atas semangat dan
dorongan serta bantuannya.
Penulis menyadari referat ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini bermanfaat bagi semua pihak
yang ada di dalam maupun di luar lingkungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.

Purwokerto, Februari 2018

4
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Henoch-Schönlein Purpura (HSP) adalah kelainan vaskulitis sistemik


yang pertama kali dilaporkan oleh Heberden pada tahun 1806. Adanya purpura
dan nyeri sendi dijelaskan oleh Schönlein pada tahun 1837, yang menyebutnya
"peliosis rheumatica". Henoch menambahkan deskripsi dari empat anak dengan
lesi kulit yang berhubungan dengan nyeri kolik abdomen, perdarahan
gastrointestinal, dan nyeri sendi pada 1874, dan pada tahun 1899 menunjukkan
bahwa keterlibatan ginjal kadang-kadang terjadi. Nama lain dari Henoch-
Schönlein Purpura meliputi Anaphylactoid Purpura, Allergic Vasculitis,
Leukocytoclastic Vasculitis, dan Rheumatoid Purpura.
Henoch-Schönlein Purpura merupakan kelainan multisistem yang
terutama menyerang kulit, sendi, saluran pencernaan, dan ginjal tapi kadang-
kadang dapat juga menyerang organ lain.
Henoch-Schönlein Purpura terjadi pada kira-kira 10 sampai 22 orang
dalam 100.000 setiap tahunnya (Gardner, et al., 2002). Insidensi Henoch-
Schönlein Purpura cenderung lebih sering terlihat dari akhir musim gugur
sampai awal musim semi, namun dapat terjadi kapan saja (Gedalia, 2004).
Lebih dari 90 persen pasien adalah anak-anak di bawah umur 10 tahun, dengan
kejadian puncak pada usia enam tahun (Calviño, 2001). Namun, Henoch-
Schönlein Purpura juga dapat terjadi pada bayi, remaja, dan orang dewasa.
Henoch-Schönlein Purpura lebih ringan pada bayi dan anak-anak di bawah dua
tahun (Amitai, et al., 1993). Ini lebih parah dan lebih cenderung menyebabkan
penyakit ginjal jangka panjang pada orang dewasa (Pillebout, et al., 2002;
Kellerman, 2006). Henoch-Schönlein Purpura adalah vaskulitis yang paling
umum pada anak-anak dan memiliki sedikit dominasi pada laki-laki (Trapani,
et al., 2005). Penegakan diagnosis HSP didasarkan pada kriteria dari American
College of Rheumatology, yaitu (1) usia pasien saat awitan penyakit ≤ 20 tahun,
(2) purpura yang dapat dipalpasi, (3) nyeri abdomen difus atau perdarahan
saluran cerna (bowel angina), (4) biopsi kulit didapatkan granulosit pada
dinding arteriol atau venula. Diagnosis ditegakkan bila didapatkan setidaknya 2

5
dari 4 kriteria di atas dengan sensitivitas 87,1% dan spesifisitas 87,7% (Mills,
et al., 1990).

6
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

Hipersensitifitas ini terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan


antibodi yang mengendap dalam jaringa yang dapat berkembang menjadi
kerusakan pada jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen berada dalam
bentuk larutan dan dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi
patogenik kompleks imun tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang
besar akan mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah
oleh sistem fagosit mononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya
cenderung diendapkan pada pembuluh darah. Di sana, terjadi dimulai kerusakan
melalui ikatan reseptor Fc dan komponen komplemen pada permukaan endotel
yang berakibat pada kerusakan dinding pembuluh darah. Contoh kasus reaksi
tipe III ialah vaskulitis nekrotikans (Subowo, 2010).

Gambar 1. Mekanisme Hipersensitivitas Tipe III (Subowo, 2010)

Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti
protein asing yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari
dalam jika seseorang menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri
(autoimun). Penyakit yang dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat
sistemik jika terbentuk di sirkulasi dan terdeposit pada berbagai organ atau

7
terlokalisasi pada organ tertentu seperti ginjal (glomerulonefritis), sendi
(artritis) atau pembuluh darah kecil pada kulit (Kumar, et al., 2010). Reaksi
hipersensitifitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit individu
yang tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen
pemicu sensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikan ke dalam individu
tersebut, IgG yang telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa
kompleks imun setempat. Komplek imun tersebut akan mengikat reseptor Fc
pada permukaan sel dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang
terbentuk akan memicu respon peradangan setempat disertai peningkatan
permeabilitas pembuluh darah setempat. Peningkatan permeabilitas ini
memudahkan cairan dan sel-sel darah, khususnya netrofil, masuk ke jaringan
ikat setempat di sekitar pembuluh darah tersebut.
Hipersensitifitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik
berupa acute serum sickness serta lokal berupa reaksi artrus. Acute serum
sickness pada masa sekarang kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk
mengetahui reaksi ini dilakukan dengan pemberian sejumlah besar serum asing
seperti serum dari kuda yang terimunisasi yang digunakan untuk perlindungan
terhadap difteri.
Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun
yang berlangsung melalui 4 tahap yaitu (Subowo, 2010; Kumar, et al., 2010) :
1. Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun
Pengenalan antigen protein memicu respon imun yang membuat
dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein.
Antibodi tersebut disekresikan ke dalam darah, di mana mereka dapat bereaksi
dengan antigen yang masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-
antibodi.
2. Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel,
kulit, ginjal dan persendian
Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan
memicu deposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara
umum, kompleks imun yang berukuran medium merupakan yang paling
patogenik. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk

8
membentuk cairan lain seperti urin dan cairan sinovial lebih sering terserang
sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dan sendi.
3. Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler
akan berkumpul di daerah pengendapan
4. Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular.
Kompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi reaksi
inflamasi akut. Selama fase ini, sekitar 10 hari sesudah antigen masuk, dapat
terjadi manifestasi klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi (atralgia),
pembesaran nodus limfa, dan proteinuria. Kerusakan yang terjadi cukup mirip
pada organ apapun yang terlibat. Lesi inflamasi diberi nama sebagai vaskulitis
jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi pada
glomerulus ginjal, artritis jika terjadi pada sendi, dan sebagainya.
Antibodi yang mengikat komplemen (seperti IgG dan IgM) dan
antibodi yang mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa subkelas IgG)
menginduksi lesi patologis. Karena adanya penggunaan komplemen, dapat
terjadi penurunan level serum C3 yang biasanya digunakan untuk memonitor
aktivitas penyakit.
Jika penyakit berasal dari eksprosur terhadap antigen tunggal yang
besar, lesi cenderung untuk pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks imun.
Bentuk serum sickness yang kronis terjadi akibat eksposur antigen berulang
atau berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi pada penyakit seperti SLE yang
berkaitan dengan respon antibodi persisten terhadap autoantigen. Pada
beberapa penyakit, meski terdapat perubahan morfologis dan terdapat temuan
deposisi kompleks imun, tetapi antigennya tetap tidak diketahui dengan pasti
seperti pada glomerulonefritis dan poliarteritis nodosa.
Sementara itu, reaksi antrus merupakan nekrosis jaringan dengan area
terlokalisasi yang terjadi dari vaskulitis kompleks imun aktif yang biasanya
terjadi pada kulit. Secara eksprimen, reaksi dapat dihasilkan dengan injeksi
intrakutan suatu antigen pada hewan yang sudah terimunisasi dan memiliki
antibodi bersirkulasi yang melawan antigen tersebut. Ketika antigen berdifusi
ke dinding vaskular, akan terjadi ikatan yang ditunjukan oleh antibodi,
selanjutnya kompleks imun besar terbentuk secara lokal. Kompleks ini
mengendap pada dinding pembuluh darah dan menyebabkan nekrosis fibrinoid
maupun trombosis yang dapat memperburuk cedera berupa iskemik.

9
B. Definisi Henoch-Schönlein Purpura

Henoch-Schonlein Purpura (HSP) adalah penyakit sistemik berupa


vaskulitis pembuluh darah kecil yang terutama menyerang anak-anak (Yang,
et al., 2008). Vaskulitis sendiri didefinisikan sebagai suatu inflamasi yang
terjadi pada pembuluh darah, yang mengakibatkan rusaknya dinding pembuluh
darah sehingga menyebabkan terjadinya proses hemoragik dan atau iskemia
(Carlos, 2010; Gupta, et al., 2009). HSP merupakan suatu kelainan berupa
leukositoklastik vaskulitis (LcV) yang merupakan suatu proses imunologi dan
inflamasi yang sangat kompleks. Pada kondisi ini terdapat interaksi antara
leukosit dan sel endotel pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya LcV
(Tahan, 2007). Manifestasi klinis yang sama juga dapat ditemukan pada bentuk
LcV yang satu dengan bentuk lain, sehingga sulit untuk menentukan diagnosa
bila hanya dari pemeriksaan histopatologi atau dari klinis saja. Biopsi kulit
adalah standar baku untuk diagnosis vaskulitis kulit, dimana gambaran biopsi
ini memiliki korelasi dengan manifestasi klinis yang dapat berupa urtikaria,
eritema infiltratif, ptekiae, purpura, papula purpurik, vesikel atau bula
hemoragik, nodul, livedo racemosa, ulkus yang dalam dan gangren. Pentingnya
pemeriksaan histopatologi disertai dengan pemeriksaan direct
immunofluorescence (DIF), ANCA dan penemuan klinis dapat menegakkan
diagnosis yang lebih tepat dan akurat dari sindroma vaskulitis baik local
maupun sistemik (Carlson, 2010).

C. Epidemiologi Henoch-Schönlein Purpura

Insiden vaskulitis di kulit berkisar antara 15,4 – 29,7 kasus/1000 per


tahun. Insiden HSP sendiri adalah 13-20 kasus/100.000 populasi, dimana HSP
ini merupakan 10% dari semua kasus vaskulitis yang terutama terjadi pada
anak-anak (~90%) (Sundercotter, et al., 2005). Henoch-Schönlein Purpura
terjadi pada kira-kira 10 sampai 22 orang dalam 100.000 setiap tahunnya
(Gardner, et al., 2002). Insidensi Henoch-Schönlein Purpura cenderung lebih
sering terlihat dari akhir musim gugur sampai awal musim semi, namun dapat
terjadi kapan saja (Gedalia, 2004). Lebih dari 90 persen pasien adalah anak-
anak di bawah umur 10 tahun, dengan kejadian puncak pada usia enam tahun

10
(Calviño, 2001). Namun, Henoch-Schönlein Purpura juga dapat terjadi pada
bayi, remaja, dan orang dewasa. Henoch-Schönlein Purpura lebih ringan pada
bayi dan anak-anak di bawah dua tahun (Amitai, et al., 1993). Ini lebih parah
dan lebih cenderung menyebabkan penyakit ginjal jangka panjang pada orang
dewasa (Pillebout, et al., 2002; Kellerman, 2006). Henoch-Schönlein Purpura
adalah vaskulitis yang paling umum pada anak-anak dan memiliki sedikit
dominasi pada laki-laki (Trapani, et al., 2005)

D. Etiologi dan Faktor Risiko Henoch-Schönlein Purpura

Onset terjadinya LcV pada HSP maupun LcV yang lain dapat terjadi
antara 7-10 hari setelah terpapar suatu antigen, seperti obat-obatan,
mikroorganisme, bermacam-macam protein dan juga antigen yang berasal dari
tubuh (Koutkia, et al., 2001). LcV sendiri biasanya berkaitan dengan spektrum
luas dari suatu kondisi inflamasi sistemik, meliputi keganasan, infeksi,
hipersensitivitas obat, bahan kimia, bakteri, virus, penyakit kolagen-vaskular
dan hepatitis kronis yang aktif (Russel, et al., 2007). Obat-obatan dapat
menyebabkan LcV hingga 10%. Bagaimanapun juga, 50% kasus LcV ini tidak
diketahui penyebabnya. LcV merupakan suatu diagnosis histopatologi anatomi
yang dapat dijumpai pada berbagai macam penyakit. LcV biasanya terjadi pada
pembuluh darah kecil yang terbatas pada dermis superfisial (tetapi dapat
mengenai seluruh dermis) (Koutkia, et al., 2001).

E. Patofisiologi Henoch-Schönlein Purpura

Berbagai macam patogen infeksi dilaporkan dapat menjadi penyebab


terjadinya LcV pada HSP. 22% kasus vaskulitis pada kulit biasanya
berhubungan dengan suatu infeksi, dimana organisme apapun memungkinkan
terjadinya kondisi ini. Sebanyak 50% penderita HSP biasanya didahului oleh
suatu infeksi saluran pernapasan. Group A beta-hemolytic streptococcus(GAS)
ditemukan pada 20-50% penderita dengan HSP akut melalui tes serologi
maupun kultur bakteri. Baru-baru ini, reseptor plasmin yang berhubungan
dengan nefritis (nephritis-associated plasmin reseptor/NAPlr) yang merupakan
antigen GAS ditemukan pada mesangium glomerular pada anak dengan HSP

11
nefritis (HSN). Penemuan ini menunjukkan bahwa GAS memiliki peran pada
awal terjadinya maupun berkembangnya HSN, meskipun demikian pada
beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya peningkatan
anti-streptolisin-O titre (ASOT) pada penderita HSP. ASOT yang meningkat
pada serum banyak dijumpai pada HSN dibandingkan HSP tanpa nefritis
(Yang, et al., 2008).
Terdapat empat hipotesa mengenai mekanisme patogenik yang dapat
terjadi melalui infeksi (Yang, et al., 2008; Sohagia, 2010) :
Hipotesis pertama adalah molecular mimicry, sebagai contoh: mikroba
dan pembuluh darah kecil pejamu memiliki epitop yang sama. Bersamaan
dengan invasi patogen tersebut, respons imunitas seluler dan humoral akan
teraktivasi dan terjadi reaksi silang dengan pembuluh darah.
Hipotesis kedua adalah patogen dapat memulai proses inflamasi yang
dapat menimbulkan kerusakan sel dan jaringan. Proses ini akan menimbulkan
suatu autoantigen yang biasanya tidak terpapar oleh suatu sistem imun.
Hipotesis ketiga adalah bila mikroba yang sangat invasif secara
langsung berinteraksi dengan protein pembuluh darah, maka akan terbentuk
suatu antigen yang baru (neo-antigen) yang kemudian akan mengaktivasi suatu
reaksi imun.
Dan yang keempat yaitu hipotesis superantigen, dimana pada beberapa
bakteri seperti Streptococcus dan virus dapat menjadi suatu superantigen.
Tanpa adanya suatu proses dan presentasi suatu sel penyaji antigen, suatu
superantigen akan langsung berinteraksi dan mengaktifkan sel-T. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa tidak ada mikroba khusus yang menyebabkan
terjadinya HSP (Sohagia, 2010).
Seperti dijelaskan diatas, HSP merupakan suatu 1 penyakit inflamasi
sistemik. Limfokin mempunyai peranan penting pada terjadinya lesi vaskular.
Sitokin pro-inflamasi non spesifik seperti tumor necrosis alpha (TNF-α),
interleukin (IL)-6 dan IL-1β biasanya didapatkan lebih tinggi pada anak-anak
dengan HSP. fase akut. Baik TNF-α maupun IL-1 dapat menstimulasi
endotelium untuk mengaktifkan jalur koagulasi instrinsik dan ekstrinsik serta
mengurangi aktivitas fibrinolitik. Hal inilah yang dapat menerangkan adanya

12
trombosis yang terjadi pada vaskulitis. Besbas dan kawan-kawan dalam
penelitiannya mengungkapkan bahwa sitokin-sitokin pro inflamasi diatas dapat
menstimulasi pelepasan kemokin dari sel endotel, dengan demikian sitokin
tersebut dapat menarik sel-sel inflamasi, menginduksi ekspresi sel molekul
adhesi pada sel endotel serta memperantarai perlekatan molekul tersebut pada
dinding pembuluh darah. Yang dan kawan-kawan dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa beberapa faktor tertentu pada serum anak-anak dengan
HSP yang aktif dapat berinteraksi dengan sel endotel dan sel endotel yang
teraktivasi kemudian dapat menghasilkan beberapa kemotraktan yang potent,
seperti IL-8 dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi (Yang, et al., 2008).
LcV yang terjadi pada HSP biasanya muncul sebagai suatu makula
eritematosa atau suatu purpura yang palpabel dengan predileksi pada tempat
tertentu pada bagian tubuh, khususnya pada bagian bawah tungkai. Lesi yang
dapat timbul meliputi vesikel/bula haemoragik, nodul, ulkus berkrusta, livedo
retikularis dan pustul atau lesi anular (kondisi yang HSP merupakan penyakit
yang diperantarai oleh kompleks imun) (McCarthy, 2010). Terjadinya Suatu
reaksi kompleks imun pada HSP ini kurang lebih sama dengan reaksi kompleks
imun yang terjadi pada reaksi Arthus, suatu reaksi hipersensitivitas tipe III
menurut Coombs and Gell. Suatu kompleks imun yang menyebabkan penyakit
dibentuk oleh ikatan antibodi dengan self antigen maupun antigen asing.
Dengan demikian, penyakit yang diperantarai kompleks imun cenderung
bermanifestasi sistemik. Kompleks antigen-antibodi diproduksi selama terjadi
respons imun normal, tetapi keadaan ini dapat menimbulkan suatu penyakit
bila kompleks imun yang dihasilkan dalam jumlah banyak dan tidak
dibebaskan/dibersihkan secara efisien yang pada akhirnya akan terdeposit di
jaringan. Deposit kompleks imun pada dinding pembuluh darah menyebabkan
inflamasi pembuluh darah dan kerusakkan jaringan disekitarnya yang
diperantarai oleh komplemen dan reseptor Fc. Pada HSP, kompleks IgA
terbentuk dan terdeposit di kulit, saluran pencernaan dan glomeruli,
menyebabkan respons inflamasi lokal. LcV pada akhirnya timbul disertai
dengan nekrosis pada pembuluh darah kecil. Normalnya IgA ditemukan di
serum dan di cairan mukosa. Sebagai contoh, yang terjadi pada HSP yaitu

13
kompleks yang terbentuk adalah IgA1 yang berbentuk polimerik. IgA1 yang
abnormal ini dikenal dengan Gal-d IgA1 (galactose deficiency of the O-linked
glycan pada hinge region IgA1), yang lebih banyak ditemukan pada HSP
nefritis. Glikosilasi pada hinge region IgA1 yang tidak normal ini akan
menyebabkan defisiensi galaktosa dan atau asam sialik, dimana molekul-
molekul ini menyebabkan agregasi IgA dan dengan demikian terjadi kompleks
makromolekul (Yang, et al., 2008).
Bermacam-macam autoantibodi IgA dapat berhubungan dengan HSP.
ANCA terdiri dari kelompok antibodi terhadap bagian sitoplasma netrofil,
khususnya proteinase-3 (PR3) dan mieloperoksidase (MPO). Bagaimanapun
juga peran ANCA pada HSP masih kontroversial. Beberapa penelitian
menunjukkan klas IgA ANCA ditemukan pada beberapa persen penderita HSP,
dimana penelitian lain tidak dapat menunjukkan IgA ANCA pada penderita
HSP. Autoantibodi lain meliputi IgA rheumatoid factor dan IgA anticardiolipin
antibodies (aCL) yang juga dapat ditemukan pada beberapa penderita HSPakut.
LcV yang terjadi pada HSP biasanya muncul sebagai suatu makula eritematosa
atau suatu purpura yang palpabel dengan predileksi pada tempat tertentu pada
bagian tubuh, khususnya pada bagian bawah tungkai (Gambar 2). Lesi yang
dapat timbul meliputi vesikel/bula haemoragik, nodul, ulkus berkrusta, livedo
retikularis dan pustul atau lesi anular (kondisi yang jarang). Manifestasi
ekstrakutan terjadi pada 20% individu meliputi artralgia, miositis, demam
ringan dan malaise. Lebih jarang lagi, juga dapat terjadi gangguan ginjal,
gastrointestinal, paru dan neurologi. Beratnya perubahan histopatologi tidak
dapat memprediksikan adanya keterlibatan ekstrakutan (Yang, et al., 2008).

14
Gambar 2. Patofisiologi Henoch-Schönlein Purpura

F. Manifestasi Klinis Henoch-Schönlein Purpura

Pada 1/2 - 2/3 kasus pada anak ditandai dengan infeksi saluran napas
atas yang muncul 1-3 minggu sebelumnya berupa demam ringan dan nyeri
kepala. Artralgia dan artritis ditemukan pada 68-75% kasus dan 25% nya
merupakan keluhan penderita saat datang berobat. Timbul mendahului kelainan
kulit (1-2 hari); terutama mengenai lutut dan pergelangan kaki, dapat pula
mengenai pergelangan tangan, siku, dan persendian jari tangan. Sendi-sendi
bengkak dan nyeri, bersifat sementara dan tidak menimbulkan deformitas yang
menetap (McCarthy, 2010).

15
Gambar 3. LcV yang diinduksi oleh kompleks imun pada HSP dengan
manifestasi palpabel purpura pada tungkai.

Kelainan kulit ditemukan pada 95-100% kasus, 50% nya merupakan


keluhan penderita saat datang berobat; berupa macular rash simetris terutama di
kulit yang sering terkena tekanan yaitu bagian belakang kaki, bokong, dan
lengan sisi ulna. Dalam 24 jam makula berubah menjadi lesi purpura, mula-
mula berwarna merah, lambat laun berubah menjadi ungu, kemudian coklat
kekuning-kuningan lalu menghilang; dapat timbul kembali kelainan kulit baru.
Kelainan kulit dapat pula ditemukan di wajah dan tubuh, dapat berupa lesi
petekie dan ekimotik, dapat disertai rasa gatal (pruritic rash) (McCarthy, 2010).
Keluhan perut ditemukan pada 35-85% kasus; biasanya timbul sesudah
kelainan kulit (1-4 minggu sesudah onset). Nyeri perut dapat berupa kolik
abdomen di periumbilikal, disertai mual dan muntah (85%). Pada 2-3% kasus
dapat ditemukan intususepsi ileoilial atau ileokolonal. Diare berdarah dapat
menyertai pruritic rash. Pada 20-50% kasus ditemukan angioedema wajah
(kelopak mata, bibir) dan ekstremitas (punggung tangan dan kaki) Kelainan
ginjal ditemukan pada 50% kasus anak yang lebih besar dan 25 % ditemukan
pada anak usia < 2 tahun; < 1 % berkembang menjadi gagal ginjal. Biasanya
terjadi setelah 3 bulan onset penyakit atau 1 bulan setelah onset ruam kulit.
Adanya kelainana kulit yang persisten sampai 2-3 bulan biasanya berhubungan
dengan nefropati atau penyakit ginjal berat. Mungkin ditemukan hematuri
dengan proteinuri derajat ringan sampai berat; dapat terjadi sindrom nefrotik.
Risiko nefritis meningkat pada usia onset di atas 7 tahun, lesi purpura menetap,

16
keluhan abdomen yang berat dan penurunan faktor XIII. Jarang terjadi oliguri
dan hipertensi. Kelainan skrotum menyerupai testicular torsion; edema skrotum
dapat terjadi pada awal penyakit (2-35%). Kelainan susunan saraf pusat dan
paru-paru jarang terjadi (McCarthy, 2010).

G. Diagnosis dan Diagnosis Henoch-Schönlein Purpura

Berdasarkan kriteria baru dari Paediatric Rheumatology International


Trials Organisation (PRINTO) tahun 2008, diagnosis ditegakkan berdasarkan
adanya purpura yang dapat dipalpasi dengan predominasi pada ekstremitas
bawah disertai satu kriteria dari empat, yaitu (1) nyeri abdomen, (2)
histopatologi menunjukkan gambaran vaskulitis tipikal leukositoklastik
dengan predominasi deposisi IgA atau glomerulonefritis proliferatif dengan
deposisi IgA, (3) artritis atau artralgia, (4) keterlibatan ginjal (proteinuria atau
hematuria atau adanya sedimen eritrosit. Sensitivitas dan spesifisitas kriteria
ini 100% and 87%

Gambar 4. Kriteria diagnosis Henoch-Schönlein Purpura


menurut PRINTO, 2008.

Diagnosis banding HSP diantaranya adalah vasculitis urticarial (VU),


yaitu suatu kondisi yang ditandai oleh adanya wheals yang menetap lebih dari
24 jam. Sekitar 20% penderita yang mengalami urtikaria kronik akan
mengalami kondisi ini. Gambaran histopatologi VU sebenarnya tidak

17
sepenuhnya berupa LcVwalaupun terdapat debris nuklear fokal atau deposit
fibrin vaskular dengan atau tanpa extravasasi eritrosit. Neutrofilia pada
jaringan serta pemeriksaan DIF menunjukkan adanya lupus band test point
yang positif, yaitu kondisi yang berhubungan dengan penyakit gangguan
jaringan konektif, terutama SLE atau sindroma Sjorgen (Mutasim, et al., 2011).
Eritema elevatum diutinum (EED) adalah suatu LcV kronis dan
diklasifikasikan sebagai dermatosis neutrofilik. Salah satu faktor utama
imunopato genesis terjadinya EED adalah adanya deposit kompleks imun pada
sirkulasi, fiksasi komplemen, inflamasi dan destruksi vaskular. Manifestasi
klinis EED adalah berupa papula/nodula/plak multipel yang eritema hingga
violaseus yang menetap dan simetris pada permukaan ekstensor tangan, siku,
pergelangan tangan, lutut dan lain-lain. Gambaran histopatologi EED adalah
suatu LcV kronis yang ditandai dengan penebalan dinding pembuluh darah,
neutrofilia pada mural dan luminal, oklusi vaskular, nekrosis dinding pembuluh
darah, swelling pada sel endotel, leukositoklasia dan neutrofilia dengan
limfosit di dermal (Mutasim, et al., 2011).
Cryoglobulinemia vasculitis (CV) adalah vaskulitis yang mengenai
pembuluh darah kecil-sedang. Dasar patogenesis terjadinya CV yaitu adanya
deposit kompleks imun pada dinding pembuluh darah yang dibentuk oleh
krioglobulin. Imunoglobulin ini akan mengendap pada suhu 37° Celcius, dan
akan larut lagi pada temperatur yang lebih tinggi. Manfestasi klinis CV yaitu
purpura, sianosis pada akral, ulkus atau livedo retikularis (Mutasim, et al.,
2011).

H. Pengobatan Henoch-Schönlein Purpura

Pada dasarnya tidak ada pengobatan spesifik untuk HSP. Untuk


mengurangi nyeri dapat diberikan golongan NSAIDs seperti ibuprofen atau
parasetamol 10 mg/kgBB. Jika terjadi edema dilakukan elevasi tungkai. Beri
diet lunak selama terdapat keluhan perut seperti muntah dan nyeri perut.
Pertimbangkan pemberian kortikosteroid pada kondisi sangat berat
seperti sindrom nefrotik menetap, edema, perdarahan saluran cerna, nyeri
abdomen berat, keterlibatan susunan saraf pusat dan paru. Lama pemberian

18
berbeda-beda, penggunaan metilprednisolon 250-750 mg/hari/iv selama 3-7
hari dikombinasikan dengan siklofosfamid 100-200 mg/hari untuk fase akut
HSP yang berat; dilanjutkan dengan prednison oral 100-200 mg selang sehari
dan siklofosfamid 100-200 mg/hari selama 30-75 hari sebelum siklofosfamid
dihentikan langsung dan tapering off steroid hingga 6 bulan. Penderita dengan
nyeri perut hebat, perdarahan saluran cerna atau penurunan fungsi ginjal,
memerlukan perawatan di rumah sakit.

I. Prognosis Henoch-Schönlein Purpura

Prognosis baik pada sebagian besar kasus, sembuh pada 94% kasus
anak-anak dan 89% kasus dewasa (beberapa kasus memerlukan terapi
tambahan). Rekurensi dapat terjadi pada 10-20% kasus, umumnya pada anak
yang lebih besar dan dewasa; < 5% penderita berkembang menjadi HSP kronis.
Keluhan nyeri perut pada sebagian besar penderita biasanya sembuh spontan
dalam 72 jam (Barnadas, et al., 2004).

19
III. KESIMPULAN

1. Henoch-Schönlein Purpura merupakan penyakit autoimun (IgA


mediated) berupa hipersensitivitas vaskulitis, paling sering ditemukan
pada anak-anak. Merupakan sindrom klinis kelainan inflamasi vaskulitis
generalisata pembuluh darah kecil pada kulit, sendi, saluran cerna, dan
ginjal, yang ditandai dengan lesi kulit spesifik berupa purpura
nontrombositopenik, artritis, artralgia, nyeri abdomen atau perdarahan
saluran cerna, dan kadang-kadang disertai nefritis atau hematuria.
2. Insidensi Henoch-Schönlein Purpura adalah 13-20 kasus/100.000
populasi
3. Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya Henoch-
Schönlein Purpura antara lain : infeksi (bakteri, virus, parasit), obat-
obatan, vaksinasi dan reaksi autoimun
4. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya purpura yang dapat dipalpasi
dengan predominasi pada ekstremitas bawah disertai satu kriteria dari
empat, yaitu :
a. Nyeri abdomen
b. Histopatologi menunjukkan gambaran vaskulitis tipikal
leukositoklastik dengan predominasi deposisi IgA atau
glomerulonefritis proliferatif dengan deposisi IgA
c. Artritis atau artralgia
d. Keterlibatan ginjal (proteinuria atau hematuria atau adanya sedimen
eritrosit
5. Pada dasarnya tidak ada pengobatan spesifik untuk penyakit Henoch-
Schönlein Purpura. Tujuan terapi adalah untuk pencegahan komplikasi
dan terapi simptomatik.
6. Prognosis umumnya baik

20
DAFTAR PUSTAKA

Amitai Y, Gillis D, Wasserman D, Kochman RH. Henoch-Schönlein purpura in


infants. Pediatrics. 1993;92(6):865-867.

Barnadas AM, Perez E, Gich I, Lloblet MJ, Ballarin J, Calero F, Facundo C, Alomar
A. Diagnostic, prognostic and pathogenic value of the direct
immunofluorescence test in cutaneous leukocytoclastic vasculitis. Int J
Dermatol 2004;43:19-26.

Calviño MC, Llorca J, García-Porrúa C, Fernández-Iglesias JL, Rodriguez-Ledo P,


González-Gay MA. Henoch-Schönlein purpura in children from
northwestern Spain: a 20-year epidemiologic and clinical study. Medicine.
2001;80(5):279-290.

Carlson JA. The histological assessment of cutaneous vasculitis. Histopathology


2010 Jan; 56(1): 3-23.

Gardner-Medwin JM, Dolezalova P, Cummins C, South-wood TR. Incidence of


Henoch-Schönlein purpura, Kawasaki disease, and rare vasculitides in
children of different ethnic origins. Lancet. 2002;360(9341):1197-1202.

Gedalia A. Henoch-Schönlein purpura. Curr Rheumatol Rep. 2004;6(3):195-202.

Gupta S, Handa S, Kanwar AJ, Radotra BD, Minz RJ. Cutaneous vasculitides:
clinico pathological correlation. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2009;
75: 356-62.

Kellerman PS. Henoch-Schönlein purpura in adults. Am J Kidney Dis.


2006;48(6):1009-1016.

Koutkia P, Mylonakis E, Rounds S, Erickson A. Leukocytoclastic vasculitis: an


update for the clinician. Scand J Rheumatol 2001; 30:315-22.

Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbns and Cotran: Disease of The Immune System.
8thed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 198-201, 204-5.

McCarthy H, Tizard E. Clinical practice: Diagnosis and management of Henoch-


Schönlein purpura. Eur J Pediatr 2010; 169(6):643-50.

Mills JA1, Michel BA, Bloch DA, Calabrese LH, Hunder GG, Arend WP,
Edworthy SM, Fauci AS, Leavitt RY, Lie JT, et al. The American College
of Rheumatology 1990 criteria for the classification of Henoch-Schönlein
purpura. Arthritis and Rheumatology. 1990

Ozen, S., Pistorio, A., Iusan, S., Bakkaloglu, A., Herlin,T., Brik, R.,
Buoncompagni, A., Lazar, C., et al. 2008. EULAR/PRINTO/PRES criteria

21
for Henoch–Schönlein purpura, childhood polyarteritis nodosa, childhood
Wegener granulomatosis and childhood Takayasu arteritis: Ankara 2008.
Part II: Final classifi cation criteria. Ann Rheum Dis 2010;69:798–806

Pillebout E, Thervet E, Hill G, Alberti C, Vanhille P, Nochy D. Henoch-Schönlein


purpura in adults: outcome and prognostic factors. J Am Soc Nephrol.
2002;13(5):1271-1278.

Russel JP, Gibson LE. Primary cutaneous small vessel vasculitis: approach to
diagnosis and treatment. Int J Dermatol 2006;45:3-13.

Sohagia AB, Gunturu SG, Tong TR, Hertan HI. Henoch-Schonlein Purpura-a case
report and review of the literaure. Gastroenterol Res Pract 2010: 1-6

Subowo. Imunologi Klinik: Hipersensitivitas. 2nd Ed. Jakarta: Sagung Seto;


2010.p.31-84.

Sunderkotter C, Bonsmann G, Sindrilaru A, Luger T. Clinical review management


of leukocytoclastic vasculitisJ Dermatolog Treat 2005; 16:193-206

Tahan F, Dursun I, Poyrazoglu H, Gurgoze M, Dusunsel R. The role of chemokines


in HenochSchonlein Purpura. Rheumatol Int 2007; 27: 955- 960.

Trapani S, Micheli A, Grisolia F, et al. Henoch-Schönlein purpura in childhood:


epidemiological and clinical analysis of 150 cases over a 5-year period and
a review of the literature. Semin Arthritis Rheum. 2005;35(3):143-153.

Yang YH, Chuang YH, Wang LC, Huang HY, Gershwin ME, Chiang BL. The
immunobiology of Henoch-Schonlein Purpura. Autoimmune Review
2008;7:179-84.

22

You might also like