Professional Documents
Culture Documents
Referat Hilmi Puguh P
Referat Hilmi Puguh P
Pembimbing
dr. M. Mukhson, Sp.A
Disusun Oleh
Hilmi Puguh Panuntun
G4A016142
2018
1
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh:
Mengetahui,
Pembimbing
2
DAFTAR ISI
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat, hidayah dan
inayah-Nya, sehingga referat dengan judul “Henoch Schonlein Purpura (HSP)” ini dapat
diselesaikan. Referat ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Kesehatan Anak. Oleh
karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penulisan di masa
yang akan datang.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
4
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
5
dari 4 kriteria di atas dengan sensitivitas 87,1% dan spesifisitas 87,7% (Mills,
et al., 1990).
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti
protein asing yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari
dalam jika seseorang menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri
(autoimun). Penyakit yang dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat
sistemik jika terbentuk di sirkulasi dan terdeposit pada berbagai organ atau
7
terlokalisasi pada organ tertentu seperti ginjal (glomerulonefritis), sendi
(artritis) atau pembuluh darah kecil pada kulit (Kumar, et al., 2010). Reaksi
hipersensitifitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit individu
yang tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen
pemicu sensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikan ke dalam individu
tersebut, IgG yang telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa
kompleks imun setempat. Komplek imun tersebut akan mengikat reseptor Fc
pada permukaan sel dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang
terbentuk akan memicu respon peradangan setempat disertai peningkatan
permeabilitas pembuluh darah setempat. Peningkatan permeabilitas ini
memudahkan cairan dan sel-sel darah, khususnya netrofil, masuk ke jaringan
ikat setempat di sekitar pembuluh darah tersebut.
Hipersensitifitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik
berupa acute serum sickness serta lokal berupa reaksi artrus. Acute serum
sickness pada masa sekarang kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk
mengetahui reaksi ini dilakukan dengan pemberian sejumlah besar serum asing
seperti serum dari kuda yang terimunisasi yang digunakan untuk perlindungan
terhadap difteri.
Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun
yang berlangsung melalui 4 tahap yaitu (Subowo, 2010; Kumar, et al., 2010) :
1. Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun
Pengenalan antigen protein memicu respon imun yang membuat
dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein.
Antibodi tersebut disekresikan ke dalam darah, di mana mereka dapat bereaksi
dengan antigen yang masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-
antibodi.
2. Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel,
kulit, ginjal dan persendian
Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan
memicu deposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara
umum, kompleks imun yang berukuran medium merupakan yang paling
patogenik. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk
8
membentuk cairan lain seperti urin dan cairan sinovial lebih sering terserang
sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dan sendi.
3. Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler
akan berkumpul di daerah pengendapan
4. Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular.
Kompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi reaksi
inflamasi akut. Selama fase ini, sekitar 10 hari sesudah antigen masuk, dapat
terjadi manifestasi klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi (atralgia),
pembesaran nodus limfa, dan proteinuria. Kerusakan yang terjadi cukup mirip
pada organ apapun yang terlibat. Lesi inflamasi diberi nama sebagai vaskulitis
jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi pada
glomerulus ginjal, artritis jika terjadi pada sendi, dan sebagainya.
Antibodi yang mengikat komplemen (seperti IgG dan IgM) dan
antibodi yang mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa subkelas IgG)
menginduksi lesi patologis. Karena adanya penggunaan komplemen, dapat
terjadi penurunan level serum C3 yang biasanya digunakan untuk memonitor
aktivitas penyakit.
Jika penyakit berasal dari eksprosur terhadap antigen tunggal yang
besar, lesi cenderung untuk pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks imun.
Bentuk serum sickness yang kronis terjadi akibat eksposur antigen berulang
atau berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi pada penyakit seperti SLE yang
berkaitan dengan respon antibodi persisten terhadap autoantigen. Pada
beberapa penyakit, meski terdapat perubahan morfologis dan terdapat temuan
deposisi kompleks imun, tetapi antigennya tetap tidak diketahui dengan pasti
seperti pada glomerulonefritis dan poliarteritis nodosa.
Sementara itu, reaksi antrus merupakan nekrosis jaringan dengan area
terlokalisasi yang terjadi dari vaskulitis kompleks imun aktif yang biasanya
terjadi pada kulit. Secara eksprimen, reaksi dapat dihasilkan dengan injeksi
intrakutan suatu antigen pada hewan yang sudah terimunisasi dan memiliki
antibodi bersirkulasi yang melawan antigen tersebut. Ketika antigen berdifusi
ke dinding vaskular, akan terjadi ikatan yang ditunjukan oleh antibodi,
selanjutnya kompleks imun besar terbentuk secara lokal. Kompleks ini
mengendap pada dinding pembuluh darah dan menyebabkan nekrosis fibrinoid
maupun trombosis yang dapat memperburuk cedera berupa iskemik.
9
B. Definisi Henoch-Schönlein Purpura
10
(Calviño, 2001). Namun, Henoch-Schönlein Purpura juga dapat terjadi pada
bayi, remaja, dan orang dewasa. Henoch-Schönlein Purpura lebih ringan pada
bayi dan anak-anak di bawah dua tahun (Amitai, et al., 1993). Ini lebih parah
dan lebih cenderung menyebabkan penyakit ginjal jangka panjang pada orang
dewasa (Pillebout, et al., 2002; Kellerman, 2006). Henoch-Schönlein Purpura
adalah vaskulitis yang paling umum pada anak-anak dan memiliki sedikit
dominasi pada laki-laki (Trapani, et al., 2005)
Onset terjadinya LcV pada HSP maupun LcV yang lain dapat terjadi
antara 7-10 hari setelah terpapar suatu antigen, seperti obat-obatan,
mikroorganisme, bermacam-macam protein dan juga antigen yang berasal dari
tubuh (Koutkia, et al., 2001). LcV sendiri biasanya berkaitan dengan spektrum
luas dari suatu kondisi inflamasi sistemik, meliputi keganasan, infeksi,
hipersensitivitas obat, bahan kimia, bakteri, virus, penyakit kolagen-vaskular
dan hepatitis kronis yang aktif (Russel, et al., 2007). Obat-obatan dapat
menyebabkan LcV hingga 10%. Bagaimanapun juga, 50% kasus LcV ini tidak
diketahui penyebabnya. LcV merupakan suatu diagnosis histopatologi anatomi
yang dapat dijumpai pada berbagai macam penyakit. LcV biasanya terjadi pada
pembuluh darah kecil yang terbatas pada dermis superfisial (tetapi dapat
mengenai seluruh dermis) (Koutkia, et al., 2001).
11
nefritis (HSN). Penemuan ini menunjukkan bahwa GAS memiliki peran pada
awal terjadinya maupun berkembangnya HSN, meskipun demikian pada
beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya peningkatan
anti-streptolisin-O titre (ASOT) pada penderita HSP. ASOT yang meningkat
pada serum banyak dijumpai pada HSN dibandingkan HSP tanpa nefritis
(Yang, et al., 2008).
Terdapat empat hipotesa mengenai mekanisme patogenik yang dapat
terjadi melalui infeksi (Yang, et al., 2008; Sohagia, 2010) :
Hipotesis pertama adalah molecular mimicry, sebagai contoh: mikroba
dan pembuluh darah kecil pejamu memiliki epitop yang sama. Bersamaan
dengan invasi patogen tersebut, respons imunitas seluler dan humoral akan
teraktivasi dan terjadi reaksi silang dengan pembuluh darah.
Hipotesis kedua adalah patogen dapat memulai proses inflamasi yang
dapat menimbulkan kerusakan sel dan jaringan. Proses ini akan menimbulkan
suatu autoantigen yang biasanya tidak terpapar oleh suatu sistem imun.
Hipotesis ketiga adalah bila mikroba yang sangat invasif secara
langsung berinteraksi dengan protein pembuluh darah, maka akan terbentuk
suatu antigen yang baru (neo-antigen) yang kemudian akan mengaktivasi suatu
reaksi imun.
Dan yang keempat yaitu hipotesis superantigen, dimana pada beberapa
bakteri seperti Streptococcus dan virus dapat menjadi suatu superantigen.
Tanpa adanya suatu proses dan presentasi suatu sel penyaji antigen, suatu
superantigen akan langsung berinteraksi dan mengaktifkan sel-T. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa tidak ada mikroba khusus yang menyebabkan
terjadinya HSP (Sohagia, 2010).
Seperti dijelaskan diatas, HSP merupakan suatu 1 penyakit inflamasi
sistemik. Limfokin mempunyai peranan penting pada terjadinya lesi vaskular.
Sitokin pro-inflamasi non spesifik seperti tumor necrosis alpha (TNF-α),
interleukin (IL)-6 dan IL-1β biasanya didapatkan lebih tinggi pada anak-anak
dengan HSP. fase akut. Baik TNF-α maupun IL-1 dapat menstimulasi
endotelium untuk mengaktifkan jalur koagulasi instrinsik dan ekstrinsik serta
mengurangi aktivitas fibrinolitik. Hal inilah yang dapat menerangkan adanya
12
trombosis yang terjadi pada vaskulitis. Besbas dan kawan-kawan dalam
penelitiannya mengungkapkan bahwa sitokin-sitokin pro inflamasi diatas dapat
menstimulasi pelepasan kemokin dari sel endotel, dengan demikian sitokin
tersebut dapat menarik sel-sel inflamasi, menginduksi ekspresi sel molekul
adhesi pada sel endotel serta memperantarai perlekatan molekul tersebut pada
dinding pembuluh darah. Yang dan kawan-kawan dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa beberapa faktor tertentu pada serum anak-anak dengan
HSP yang aktif dapat berinteraksi dengan sel endotel dan sel endotel yang
teraktivasi kemudian dapat menghasilkan beberapa kemotraktan yang potent,
seperti IL-8 dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi (Yang, et al., 2008).
LcV yang terjadi pada HSP biasanya muncul sebagai suatu makula
eritematosa atau suatu purpura yang palpabel dengan predileksi pada tempat
tertentu pada bagian tubuh, khususnya pada bagian bawah tungkai. Lesi yang
dapat timbul meliputi vesikel/bula haemoragik, nodul, ulkus berkrusta, livedo
retikularis dan pustul atau lesi anular (kondisi yang HSP merupakan penyakit
yang diperantarai oleh kompleks imun) (McCarthy, 2010). Terjadinya Suatu
reaksi kompleks imun pada HSP ini kurang lebih sama dengan reaksi kompleks
imun yang terjadi pada reaksi Arthus, suatu reaksi hipersensitivitas tipe III
menurut Coombs and Gell. Suatu kompleks imun yang menyebabkan penyakit
dibentuk oleh ikatan antibodi dengan self antigen maupun antigen asing.
Dengan demikian, penyakit yang diperantarai kompleks imun cenderung
bermanifestasi sistemik. Kompleks antigen-antibodi diproduksi selama terjadi
respons imun normal, tetapi keadaan ini dapat menimbulkan suatu penyakit
bila kompleks imun yang dihasilkan dalam jumlah banyak dan tidak
dibebaskan/dibersihkan secara efisien yang pada akhirnya akan terdeposit di
jaringan. Deposit kompleks imun pada dinding pembuluh darah menyebabkan
inflamasi pembuluh darah dan kerusakkan jaringan disekitarnya yang
diperantarai oleh komplemen dan reseptor Fc. Pada HSP, kompleks IgA
terbentuk dan terdeposit di kulit, saluran pencernaan dan glomeruli,
menyebabkan respons inflamasi lokal. LcV pada akhirnya timbul disertai
dengan nekrosis pada pembuluh darah kecil. Normalnya IgA ditemukan di
serum dan di cairan mukosa. Sebagai contoh, yang terjadi pada HSP yaitu
13
kompleks yang terbentuk adalah IgA1 yang berbentuk polimerik. IgA1 yang
abnormal ini dikenal dengan Gal-d IgA1 (galactose deficiency of the O-linked
glycan pada hinge region IgA1), yang lebih banyak ditemukan pada HSP
nefritis. Glikosilasi pada hinge region IgA1 yang tidak normal ini akan
menyebabkan defisiensi galaktosa dan atau asam sialik, dimana molekul-
molekul ini menyebabkan agregasi IgA dan dengan demikian terjadi kompleks
makromolekul (Yang, et al., 2008).
Bermacam-macam autoantibodi IgA dapat berhubungan dengan HSP.
ANCA terdiri dari kelompok antibodi terhadap bagian sitoplasma netrofil,
khususnya proteinase-3 (PR3) dan mieloperoksidase (MPO). Bagaimanapun
juga peran ANCA pada HSP masih kontroversial. Beberapa penelitian
menunjukkan klas IgA ANCA ditemukan pada beberapa persen penderita HSP,
dimana penelitian lain tidak dapat menunjukkan IgA ANCA pada penderita
HSP. Autoantibodi lain meliputi IgA rheumatoid factor dan IgA anticardiolipin
antibodies (aCL) yang juga dapat ditemukan pada beberapa penderita HSPakut.
LcV yang terjadi pada HSP biasanya muncul sebagai suatu makula eritematosa
atau suatu purpura yang palpabel dengan predileksi pada tempat tertentu pada
bagian tubuh, khususnya pada bagian bawah tungkai (Gambar 2). Lesi yang
dapat timbul meliputi vesikel/bula haemoragik, nodul, ulkus berkrusta, livedo
retikularis dan pustul atau lesi anular (kondisi yang jarang). Manifestasi
ekstrakutan terjadi pada 20% individu meliputi artralgia, miositis, demam
ringan dan malaise. Lebih jarang lagi, juga dapat terjadi gangguan ginjal,
gastrointestinal, paru dan neurologi. Beratnya perubahan histopatologi tidak
dapat memprediksikan adanya keterlibatan ekstrakutan (Yang, et al., 2008).
14
Gambar 2. Patofisiologi Henoch-Schönlein Purpura
Pada 1/2 - 2/3 kasus pada anak ditandai dengan infeksi saluran napas
atas yang muncul 1-3 minggu sebelumnya berupa demam ringan dan nyeri
kepala. Artralgia dan artritis ditemukan pada 68-75% kasus dan 25% nya
merupakan keluhan penderita saat datang berobat. Timbul mendahului kelainan
kulit (1-2 hari); terutama mengenai lutut dan pergelangan kaki, dapat pula
mengenai pergelangan tangan, siku, dan persendian jari tangan. Sendi-sendi
bengkak dan nyeri, bersifat sementara dan tidak menimbulkan deformitas yang
menetap (McCarthy, 2010).
15
Gambar 3. LcV yang diinduksi oleh kompleks imun pada HSP dengan
manifestasi palpabel purpura pada tungkai.
16
keluhan abdomen yang berat dan penurunan faktor XIII. Jarang terjadi oliguri
dan hipertensi. Kelainan skrotum menyerupai testicular torsion; edema skrotum
dapat terjadi pada awal penyakit (2-35%). Kelainan susunan saraf pusat dan
paru-paru jarang terjadi (McCarthy, 2010).
17
sepenuhnya berupa LcVwalaupun terdapat debris nuklear fokal atau deposit
fibrin vaskular dengan atau tanpa extravasasi eritrosit. Neutrofilia pada
jaringan serta pemeriksaan DIF menunjukkan adanya lupus band test point
yang positif, yaitu kondisi yang berhubungan dengan penyakit gangguan
jaringan konektif, terutama SLE atau sindroma Sjorgen (Mutasim, et al., 2011).
Eritema elevatum diutinum (EED) adalah suatu LcV kronis dan
diklasifikasikan sebagai dermatosis neutrofilik. Salah satu faktor utama
imunopato genesis terjadinya EED adalah adanya deposit kompleks imun pada
sirkulasi, fiksasi komplemen, inflamasi dan destruksi vaskular. Manifestasi
klinis EED adalah berupa papula/nodula/plak multipel yang eritema hingga
violaseus yang menetap dan simetris pada permukaan ekstensor tangan, siku,
pergelangan tangan, lutut dan lain-lain. Gambaran histopatologi EED adalah
suatu LcV kronis yang ditandai dengan penebalan dinding pembuluh darah,
neutrofilia pada mural dan luminal, oklusi vaskular, nekrosis dinding pembuluh
darah, swelling pada sel endotel, leukositoklasia dan neutrofilia dengan
limfosit di dermal (Mutasim, et al., 2011).
Cryoglobulinemia vasculitis (CV) adalah vaskulitis yang mengenai
pembuluh darah kecil-sedang. Dasar patogenesis terjadinya CV yaitu adanya
deposit kompleks imun pada dinding pembuluh darah yang dibentuk oleh
krioglobulin. Imunoglobulin ini akan mengendap pada suhu 37° Celcius, dan
akan larut lagi pada temperatur yang lebih tinggi. Manfestasi klinis CV yaitu
purpura, sianosis pada akral, ulkus atau livedo retikularis (Mutasim, et al.,
2011).
18
berbeda-beda, penggunaan metilprednisolon 250-750 mg/hari/iv selama 3-7
hari dikombinasikan dengan siklofosfamid 100-200 mg/hari untuk fase akut
HSP yang berat; dilanjutkan dengan prednison oral 100-200 mg selang sehari
dan siklofosfamid 100-200 mg/hari selama 30-75 hari sebelum siklofosfamid
dihentikan langsung dan tapering off steroid hingga 6 bulan. Penderita dengan
nyeri perut hebat, perdarahan saluran cerna atau penurunan fungsi ginjal,
memerlukan perawatan di rumah sakit.
Prognosis baik pada sebagian besar kasus, sembuh pada 94% kasus
anak-anak dan 89% kasus dewasa (beberapa kasus memerlukan terapi
tambahan). Rekurensi dapat terjadi pada 10-20% kasus, umumnya pada anak
yang lebih besar dan dewasa; < 5% penderita berkembang menjadi HSP kronis.
Keluhan nyeri perut pada sebagian besar penderita biasanya sembuh spontan
dalam 72 jam (Barnadas, et al., 2004).
19
III. KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
Barnadas AM, Perez E, Gich I, Lloblet MJ, Ballarin J, Calero F, Facundo C, Alomar
A. Diagnostic, prognostic and pathogenic value of the direct
immunofluorescence test in cutaneous leukocytoclastic vasculitis. Int J
Dermatol 2004;43:19-26.
Gupta S, Handa S, Kanwar AJ, Radotra BD, Minz RJ. Cutaneous vasculitides:
clinico pathological correlation. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2009;
75: 356-62.
Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbns and Cotran: Disease of The Immune System.
8thed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 198-201, 204-5.
Mills JA1, Michel BA, Bloch DA, Calabrese LH, Hunder GG, Arend WP,
Edworthy SM, Fauci AS, Leavitt RY, Lie JT, et al. The American College
of Rheumatology 1990 criteria for the classification of Henoch-Schönlein
purpura. Arthritis and Rheumatology. 1990
Ozen, S., Pistorio, A., Iusan, S., Bakkaloglu, A., Herlin,T., Brik, R.,
Buoncompagni, A., Lazar, C., et al. 2008. EULAR/PRINTO/PRES criteria
21
for Henoch–Schönlein purpura, childhood polyarteritis nodosa, childhood
Wegener granulomatosis and childhood Takayasu arteritis: Ankara 2008.
Part II: Final classifi cation criteria. Ann Rheum Dis 2010;69:798–806
Russel JP, Gibson LE. Primary cutaneous small vessel vasculitis: approach to
diagnosis and treatment. Int J Dermatol 2006;45:3-13.
Sohagia AB, Gunturu SG, Tong TR, Hertan HI. Henoch-Schonlein Purpura-a case
report and review of the literaure. Gastroenterol Res Pract 2010: 1-6
Yang YH, Chuang YH, Wang LC, Huang HY, Gershwin ME, Chiang BL. The
immunobiology of Henoch-Schonlein Purpura. Autoimmune Review
2008;7:179-84.
22