You are on page 1of 11

1.

Sialadenitis
Sialadenitis merupakan suatu kondisi inflamasi dari kelenjar saliva
(kelenjar ludah) yang umumnya disertai dengan rasa sakit dan
pembengkakan pada kelenjar yang terkena. Penyakit ini paling sering
disebabkan oleh obstruksi duktus dengan infeksi bakteri sekunder karena
penurunan laju aliran saliva dan stasis sekresi.

a. Sialolithiasis
Sialolithiasis atau kalkulus kelenjar ludah merupakan suatu
penyakit kelenjar ludah yang dicirikan dengan terhalangnya sekresi
saliva yang dikarenakan oleh kalkulus. Calculi atau “batu” dapat
timbul di dalam duktus (saluran) kelenjar saliva yang berasal dari
garam kalsium yang mengendap dari saliva di suatu pusat lapisan
disekitar initial nidus dari debris.
Kurang lebih 80% sialolithiasis berasal dari kelenjar submandibula,
6% dari kelenjar parotis dan 2% dari kelenjar sublingualis dan kelenjar
minor. Sialolithiasis paling sering terjadi pada kelenjar submandibula,
mungkin dikarenakan viskositas saliva yang tinggi di kombinasi
dengan duktus yang relatif panjang dan berliku-liku.
Pasien biasanya mengeluh terjadi pembengkakan menyakitkan
yang episodik pada daerah kelenjar saliva yang terserang, yang mana
bisa sangat parah dan cenderung lebih terasa saat pasien
mengkonsumsi makanan. Gambaran klinis yang terjadi pada rongga
mulut pasien yaitu terjadinya pembengkakan dan erythema pada
daerah sekitar kelenjar saliva yang terserang (Gambar 1).
Gambar 7. Sialolithiasis yang terjadi pada duktus wharton, dimana terjadi
pembengkakan dan erythema dari sublingual papila.

Batu dapat dideteksi dengan palpasi, tetapi untuk menegakkan


diagnosis penyakit sialolithiasis dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu
pemeriksaan radiografi/sialografi dan computer tomografi scan (CT
scan). Pada hasil photo radiografi/sialografi, sialolith akan terlihat
gambaran putih (radiopaque) dibandingkan dengan daerah sekitarnya
(Gambar 8). Sedangkan gambaran sialolith pada CT scan yaitu adanya
iregularitas pada dinding duktus dengan melihat adanya penebalan dan
penyangatan pada dinding duktus. Pada obstruksi yang disebabkan
karena batu, kalsifikasi dapat dilihat berupa masa hiperdens tanpa
penyangatan pada pemeriksaan tomografi komputer (Gambar 9).

Gambar 8. Gambaran sialolith yang radiopaque pada hasil photo


radiografi/sialografi.
Gambar 9. Gambaran sialolith berupa masa hiperdens pada hasil CT scan.

Diagnosis banding untuk penyakit sialolithiasis ini yaitu tumor


kelenjar saliva dan kista kelenjar saliva. Penatalaksanaan sialolithiasis
ini yaitu dengan dilakukan pijat kelenjar, hidrasi, dan penggunaan
sialagogues (seperti tetesan asam lemon) untuk meningkatkan
kemajuan dari sekresi saliva, pemberian analgesik, dan antibiotik jika
terjadi infeksi. Penghilangan atau penghapusan intraoral dari batu jika
itu tidak lolos secara spontan dan dijangkau, maka bisa dilakukan
operasi pengangkatan batu dari kelenjar.

b. Nekrosis Sialometaplasia
Nekrosis sialometaplasia merupakan suatu kondisi peradangan
yang jarang ataupun langka dari etiologi yang belum jelas yang
mempengaruhi kelenjar saliva minor pada palatum. Penyakit ini
kemungkinan hasil dari iskemia lokal dan nekrosis dari kelenjar saliva
yang kemudian bengkak yang menyakitkan dan ulserasi yang sering
mucul secara klinis sehingga dicurigai sebagai keganasan. Lesi pada
umumnya muncul pada posterolateral palatum keras, akan tetapi, dapat
muncul pada tempat dimana jaringan kelenjar saliva minor ditemukan.
Gambaran klinis dari penyakit ini yaitu adanya ulser dengan erythema,
dan nekrosis pada jaringan lunak (Gambar 4 dan Gambar 5).
Biopsi diindikasikan untuk menetapkan diagnosis, meskipun
penampilan histopatologi bisa juga salah untuk karsinoma. Sekalipun
sifat dasar jinak, dari lesi yang tidak dapat dipungkiri, tidak ada
perawatan yang diperlukan, seperti itu akan sembuh sendiri/ selesai
dengan sendirinya selama berminggu-minggu.

Gambar 10. Nekrosis sialometaplasia pada palatum keras dengan gambaran


erythema, ulserasi, dan nekrosis pada jaringan lunak.

Gambar 5. Nekrosis sialometaplasia dengan gambaran 2 ulser yang irregular


pada bagian posterior palatum dengan bagian tepinya kemerahan (erythema),
dan didaerah sekitarnya tampak memutih (pucat).

Diagnosis banding untuk penyakit nekrosis sialometaplasia ini


yaitu kronis traumatic ulcer, malignant ulcer, syphilis ulser,
adenocarsinoma pada kelenjar saliva minor pada palatum.
Penatalaksanaannya yaitu tidak ada perawatan dikarenakan biasanya
lesi akan sembuh sendiri dengan 4-10 minggu.

2. Sialadenosis
Sialadenosis merupakan suatu pembesaran kelenjar saliva mayor
yang difuse tanpa adanya inflamasi. Peyakit ini, biasanya terjadi pada
kelenjar parotis, yang berkaitan dengan berbagai gangguan sistemik yang
termasuk alkoholik, diabetes, malnutrisi, dan bulimia. Sialadenosis
umunya bilateral dan menyakitkan, dan berkembang dari waktu ke waktu.
Jika dilihat dari pemeriksaan histologi, terdapat sel asinar yang
hipertropi yang terlihat dimungkinkan adanya infiltrasi dari lemak.
Etiologi dari penyakit ini masih belum diketahui, bagaimanapun, mungkin
berhubungan pada stimulasi sistem saraf otonom yang tidak tepat.
Penyebabnya bisa dikategorikan sebagai : nutrisi (alkoholik, sirosis,
gangguan makan, kwashiokor, dan pellagra), endokrin (diabetes mellitus,
penyakit tiroid, disfungsi gonadal), dan neurochemical (keadaan vegetatif,
merkuri, iodine, thiouracil, isoproterenol). Dimana penatalaksanaannya
yaitu dengan dilakukan pengobatan pada kondisi dasarnya.

Gambar 6. Sialadenosis. Pembesaran kelenjar parotis yang asimptomatik pada


alkoholik.
3. Kelainan kelenjar saliva yang disebabkan oleh virus.
Virus telah dikaitkan dengan pembesaran saliva akut nonsupuratif.
Dimana virus yang menginduksi terjadinya pembesaran kelenjar saliva
nonsupuratif yaitu : Paramyxovirus, cytomegalovirus (CMV), HIV, dan
hepatitis C virus (HCV), echovirus, epstein-barr virus, parainfluenza virus,
dan infeksi virus choriomeningitis.
a. MUMPS (Epidemik parotitis).
Etiologi dari Mumps (Gondok/gondong) yaitu RNA
Paramixovirus. Penyakit ini ditularkan melalui kontak langsung
dengan tetesan saliva penderita. Di Amerika dan Kanada telah
merekomendasikan vaksin MUMPS sejak tahun 1970-an. Biasanya,
penyakit ini terjadi pada anak-anak antara usia 4 dan 6 tahun.
Diagnosis penyakit ini pada orang dewasa akan lebih sulit. Inkubasi
periode ini 2-3 minggu, diikuti oleh kelenjar saliva yang meradang
dan membesar, sakit pada preauricular, demam, malaise, sakit kepala,
dan mialgia. Sebagia besar kasus, melibatkan kelenjar parotis, tetapi
10% dari kasus MUMPS melibatkan kelenjar submandibula.
Gambaran klinis pada penyakit ini yaitu terjadi edema pada kulit
diatas kelenjar saliva, terjadi pembesaran kelenjar saliva secara tiba-
tiba dan sakit saat dipalpasi. Duktus kelenjar saliva yang terlibat
terjadi inflamasi tanpa adanya nanah. Jika sebagian duktus terjadi
obstruksi, maka akan terasa sakit saat makan. Satu kelenjar bisa
menjadi simptomatik 24-48 jam sebelum kelenjar yang lainnya juga.
Pembengkakan biasanya bilateral dan berlangsung sekitar 7 hari
(Gambar 7).
A B

Gambar 13. MUMPS. A. MUMPS terjadi pada anak-anak. B. MUMPS yang


terjadi pada dewasa.

Diagnosa banding dari penyakit MUMPS ini yaitu penyakit dengan


etiologi virus yang lain seperti : parainfluenza virus, cytomegalovirus
(CMV), HIV, dan hepatitis C virus (HCV), echovirus, dan epstein-
barr virus. Untuk menegakkan diagnosa, maka bisa dilakukan
pemeriksaan penunjang yaitu dengan tes laboratorium dimana dengan
melakukan oral fluid swab. Jika positif MUMPS maka hasilnya yaitu :
kultur positif, adanya IgM atau peningkatan IgG sebesar 4 kali lipat.
Penatalaksanaan dari penyakit MUMPS yaitu dengan pengobatan
pada gejalanya dan vaksinasi penting untuk pencegahan.

b. Infeksi Cytomegalovirus (CMV).


Etiologi dari penyakit ini yaitu cytomegalovirus. Dimana virus ini
merupakan virus DNA yang tergolong dalam genus virus herpes.
Virus yang spesifik menyerang manusia disebut sebagai human CMV
dan merupakan human herpesvirus 5, anggota famili dari 8 virus
herpes manusia, subgrup beta-herpes-virus. Penamaan Cytomegalo
terkait pembesaran ukuran sel sampai dengan dua kali lipat dari
ukuran sel yang tidak terinfeksi. Penularan virus ini dapat dengan cara
transfusi darah, transplantasi allograft, dan hubungan seksual pada
transmisi horizontal. Sedangkan transmisi pada anak-anak ke orang
dewasa ataupun sebaliknya yaitu bisa dengan cara fomites, urin, dan
sekresi pernapasan.
CMV mononukleosis sering terjadi pada orang dewasa muda dan
ditunjukkan dengan demam akut dan juga pembesaran kelenjar saliva.
Diagnosis didasarkan pada peninggian titer antibodi CMV dan
prognosis akan sangat baik jika pada orang dewasa yang sehat. Sangat
penting untuk mendeteksi CMV pada wanita hamil dikarenakan jika
terjadi transmisi transplacenta CMV dapat mengakibatkan
prematur, berat lahir rendah, dan berbagai malformasi kongenital.
Gejala dan tanda yang timbul akibat infeksi CMV kongenital
ditentukan oleh beberapa hal seperti usia kehamilan saat terinfeksi,
rute penularan, dan kemampuan imun individu. Penelitian yang
pernah dilakukan di Amerika pada tahun 2009 menyebutkan jumlah
bayi yang terinfeksi CMV kongenital dengan kelainan yang
simptomatik saat lahir sebesar 10% dan sisanya tidak ditemukan bukti
kelainan saat lahir. Pada bayi dengan infeksi CMV kongenital dapat
ditemukan Cytomegalic Inclusion Disease (CID) yang memiliki tanda
dan gejala klinis berupa hiperbilirubinemia, ptekie atau purpura,
hepatosplenomegali, infeksi saluran nafas dan variasi dari kelainan-
kelainan ekstraneural dan okuloserebral. Pada beberapa kepustakan
juga disebutkan korioretinitis, mikrosefali, Intra Uterine Growth
Retardation (IUGR) sebagai bagian dari CID. Sedangkan pada
keadaan lanjut seringkali ditemukan penyulit berupa sequel yang
merupakan manifestasi infeksi CMV. Sequel yang paling banyak
dijumpai yakni abnormalitas perkembangan berupa tuli sensoris atau
Sensory Neural Hearing Loss (SNHL) keadaan ini banyak ditemukan
terutama pada infeksi CMV asimptomatik.
Infeksi CMV kongenital dapat dideteksi sejak intra uterine,
pemeriksaan USG pada fetus yang terinfeksi infeksi CMV kongenital
memberikan gambaran abrormalitas yang jelas. Pemeriksaan radiologi
lain yakni computed tomography (CT) dan magnetic resonance
imaging (MRI). Pemeriksaan radiologi penting dilakukan terutama
untuk menilai perkembangan neurodevelopmental anak dengan infeksi
CMV kongenital. Pemeriksaan penunjang lain seperti gelaja klinis
atau pemeriksaan laboratoris juga dapat dilakukan namun, terdapat
beberapa kelemahan seperti kurang peka dalam prediksi keluaran
neurodevelopmental.
Penatalaksanaan pada pasien dengan penyakit ini yaitu pasien
immunocompeten pengobatan dilakukan pada gejalanya, pada pasien
immunocompromise memerlukan manajemen yang agresif dan
mungkin diberikan intravena gancyclovir, foscarnet, atau cidofovir.

c. Infeksi HIV.
Etiologi penyakit kelenjar saliva HIV (HIV SGD) yaitu masih
belum diketahui. HIV SGD menggambarkan terjadinya xerostomia
dan juga pembesaran kelenjar saliva yang jinak (bilateral/ unilateral).
Gejala yang paling menonjol dari HIV SGD adalah terjadinya
pembengkakan pada kelenjar ludah yang mungkin ataupun tidak
mungkin disertai dengan xerostomia. Pada kasus yang telah
dilaporkan, sebanyak 98% terjadi pada kelenjar parotis, sedangkan
60% dari pasien memiliki pembesaran bilateral.
Diagnosa banding dari penyakit ini yaitu sindrom sjogren dan
infeksi HCV. Pengobatan untuk penderita HIV SGD yaitu ditujukan
pada gejalanya, jika terjadi xerostomia maka diberikan air liur
pengganti, mengunyah permen karet bebas gula, atau menghisap
permen bebas gula. Topikal fluoride disarankan untuk kontrol karies.
Gambar 8.

d. Hepatitis C Virus (HCV).


Virus telah dianggap berpotensi sebagai pemicu penyakit autoimun
selama bertahun-tahun. Retrovirus dikenal menginfeksi sel-sel sistem
kekebalan tubuh dan mengganggu imunoregulasi. DNA virus hepatitis
C (HCV) telah terdeteksi di air liur pasien ynag terinfeksi hepatitis C
kronis, dan itu telah menunjukkan bahwa air liur HCV pembawa
infeksi.
Infeksi HCV memiliki banyak ekstrahepatik manifestasi, termasuk
pembesaran kelenjar saliva. Pasien biasanya juga melaporkan bahwa
terjadi xerostomia bersamaan dengan terjadinya pembesaran kelenjar
saliva. Penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang
berupa deteksi anti-HCV antibodi dan HCV DNA. Pada penderita
infeksi HCV biasanya dikaitkan dengan sialadenitis dan
pengobatannya simptomatik.
A. Kalkulus Saliva (Sialolit)
Sialolit atau batu saliva (kalkuli) adalah kompleks kalsifikasi di dalam
kelenjar atau duktus saliva yang menyumbat aliran saliva dan menyebabkan
pembengkakan di dasar mulut. Sialolit ini biasanya berbentuk bundar atau oval
dan permukaannya kasar atau halus. Terlihat adanya laminasi konsentrik dengan
berbagai kepadatan. Batu terjadi paling sering terjadi pada individu di atas 25
tahu, dua kali lebih sering pada pria dibanding wanita, dan biasanya terletak di
kelenjar submandibula. Perjalanan duktus eksketori yang naik ke atas, bersama
dengan kandungan mukus tinggi serta PH saliva yang alkali, merupakan faktor
yang signifikan dalam pembentukan batu.
Penyumbatan aliran saliva oleh sialolit dalam duktus Whartoni akan
menyebabkan terbentuknya pembengkakan di dasar mulut yang keras, nyeri
tekan, dan sakit. Gejala akut sering terjadi pada saat makan. Pembengkakan dapat
meluas sepanjang perjalanan jalur duktus ekskretori dan berlangsung berjam-jam
atau berhari-hari, tergantung pada penyumbatan tersebut. Mukosa yang
menutupinya biasanya tetap berwarna merah muda, kecuali jika mengalami
infeksi sekunder. Pada kasus ini mukosa akan menjadi merah dan mengeluarkan
nanah dari lubang duktus. Sialolit juga dapat menyebabkan kista duktus salive
dengan caramenaikkan tekanan intraduktus. Penatalaksanaannya mencakup
radiografi oklusal yang tepat, sialografi (jika tidak ada infeksi),dan pengangkatan
sialolit secara bedah.

Gambar 7. Sialolit: Laminasi konsentrik dari beberapa kalkuli

You might also like